Anda di halaman 1dari 24

BAI ISTISHNA’

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


PRODUK DAN OPERASIONAL BANK SYARIAH
Dosen Pengampu : Sulistyowati, S.HI, M.EI

Disusun oleh :
Kelompok 7
1. Moch. Rizki Nanda Setiawan (934207119)
2. Aurel Alvia Metha Setyoni (934207919)
3. Syavika Azka Vinnia (934208019)

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)KEDIRI 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena telah melimpahkan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyusun serta menyelesaikan makalah mengenai Bai Istishna’. Sholawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun
kita dari zaman jahiliyah menuju jalan yang terang benderang yaitu Agama Islam.
Kami sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas dari mata
kuliah Produk dan Oprasional Bank Syariah dengan tepat waktu. Disamping itu kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada dosen mata kuliah Produk dan Oprasional Bank Syariah, Bu
Sulistyowati, S.HI, M.EI yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung
sehingga dapat terealisasikan makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Kami mengharap kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami
perbaiki kembali.

Kediri, 10 Januari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................................i


DAFTAR ISI ..................................................................................................................................................... ii
BAB I ................................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................................. 1
BAB II ............................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................................... 2
A. Pengertian Bai’ al-Istishna’ ................................................................................................................ 2
B. Dasar Hukum Bai’ al-Istishna’ .......................................................................................................... 4
C. Rukun dan Syarat bai’ al-Istishna’ .................................................................................................... 7
D. Macam-macam Jual Beli................................................................................................................... 12
E. Sifat akad bai’al-Istishna’ ................................................................................................................. 14
F. Ishtisna Pararel .................................................................................................................................. 15
G. Contoh Kasus Bai 'Istishna'.......................................................................................................... 15
Argumentasi Kelebihan dan Kekurangan Bai Istishna ............................................................................. 17
BAB III ........................................................................................................................................................... 20
PENUTUP ...................................................................................................................................................... 20
A. KESIMPULAN .................................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................... 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat
barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang
lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang
telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa
harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai
suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam.
Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian
ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalahnya adalah :
1. Apa yang dimaksud Bai Istishna’ ?
2. Apa landasan hukum Bai Istishna’ ?
3. Bagaimana Rukun dan syarat Bai' Istishna’ ?
4. Apa saja Macam macam jual beli ?
5. Bagaimana Sifat akad Bai Istishna’ ?
6. Apa yang dimaksud Istishna Pararel ?
7. Sebutkan Contoh kasus Bai Istishna’ ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Bai Istishna’
2. Untuk mengetahui landasan hukum Bai Istishna’
3. Untuk mengetahui Rukun dan syarat Bai' Istishna’
4. Untuk mengetahui Macam macam jual beli
5. Untuk mengetahui Sifat akad Bai Istishna’
6. Untuk mengetahui Istishna Pararel
7. Untuk mengetahui Contoh kasus Bai Istishna’

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bai’ al-Istishna’


Sebelum penulis membahas mengenai pengertian istishna, terlebih dahulu penulis
akan menjelaskan pengertian akad. Akad secara bahasa berasal dari kata al-‘aqd, yang
berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan ar-rabt sebagai suatu istilah hukum
Islam, ada beberapa definisi yang diberikan kepada akad (perjanjian).1
1. Menurut pasal 262 Mursyid al-Hairan, akad merupakan ijab yang diajukan oleh salah
satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek
akad.
2. Menurut penulis (Prof. Syamsul anwar), akad adalah pertemuan Ijab dan Kabul
sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat
hukum pada objeknya.
Kedua definisi di atas memperlihatkan bahwa, akad merupakan keterikatan atau
pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Akad tidak terjadi apabila
pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain, karena akad adalah
keterkaitan kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.2
Lafal istishna’ berasal dari akar kata shana’a ( ‫(صنع‬diatambah alif, sin, dan ta’
menjadi istisna’a ( ‫(ستصنع ا‬yang sinonimnya , ‫یصنعلھ أن طلب‬artinya: “meminta untuk
dibuatkan sesuatu”. Pengertian istishna’ menurut istilah tidak jauh berbeda dengan menurut
bahasa. Wahbah zuhaili mengemukakan pengertian menurut istilah ini sebagai berikut: 3
‫ أي العقد‬,‫تعریف اإلستصناع ھوعقد مع صا نع علي عمل شيء معین في الذمة‬
‫على شراء ما سیصنعھ الصا نع و تكون العین ولعمل من الصنع‬.
Artinya:
Defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk mengerjakan
sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ; yakni akad untuk membeli sesuatu yang dibuat
oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.” Ali Fikri
memberikan defenisi istishna’ sebagai berikut:
‫اإل ستصنا ع ھو طلب عمل شيء خاص على وجھ مخصوص ما دتھ من طرف‬
‫الصنع‬.
Artinya:
”Istishna’ adalah suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang tertentu menurut
cara tertentu yang materinya ( bahannya ) dari pihak pembuat ( tukang )”. Istishna’ berarti
minta dibuatkan. Secara terminologi muamalah berarti akad jual beli dimana shani’
(produsen) ditugaskan untuk membuat suatu barang (pesanan) dan mustashni’ (pemesan).
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Istishna’ adalah jual beli barang atau jasa
dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pihak pemesan dengan pihak penjual.4
Secara istilah ialah akad jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan atas
sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.
Menurut pandangan ulama :
➢ Mazhab Hanafi

‫عقد على مبیع في الذمة شرط فیه العمل‬


1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,(Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,2010)h.274
2
Prof. Dr. Syamsul anwar, Hukum perjanjian syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 2007),h.68
3
Mardani, Ayat-ayat dan hadist Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Raja grafindo persada,2011),h.195
4
Ahmad Ihfan Sholihin, Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta : Gramedia),h.199
2
Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya.
Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat
sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu
menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.
➢ Mazhab Hambali

‫بیع سلعة لیست عنده على وجه غیر السلم‬


Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak
termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan
pembuatan (‫)بیع بالصنعة‬.

➢ Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah

‫الشيء المسلم للغیر من الصناعات‬


Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.
Bai’ al-istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli)
dan penjual/Shani’. Shani akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi
yang telah disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain. Kedua
belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan di
muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.5
Akad istishna' juga identik dengan akad ijarah, ketika bahan baku untuk produksi
berasal dari pemesan, sehingga produsen (shani') hanya memberikan jasa pembuatan, dan ini
identik dengan akad ijarah. Berbeda ketika jasa pembuatan dan bahan bakunya dari
produsen (shani'), maka ini dinamakan dengan akad istishna'.6
Menurut ulama Fiqh, istishna’ sama dengan jual beli salam dari segi objek
pesanannya, yang mana sama-sama harus dipesan terlebih dahulu dengan cirri-ciri atau
kriteria khusus yang dikehendaki pembeli. Perbedaannya : pembayaran pada jual beli As-
salam diawal sekaligus, sedangkan pembayaran. pada Bai’ al-istishna’ dapat diawal,
ditengah, dan di akhir sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan menurut kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna’ adalah sebuah
akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya, sehingga bila
seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,” buatkan
untukku sesuatu barang dengan harga sekian”, dan orang tersebut menerimanya, maka akad
bai’ al-istishna’ telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.7
Berdasarkan pemikiran dari mazhab Imam Hanafi, ada beberapa alasan yang
mendasari diizinkannya transaksi berdasarkan bai’ al-Istishna’ ini, yaitu:
1. Masyarakat banyak mempraktikkan bai’ al Istishna’ secara luas dan terus menerus
tanpa adanya keberatan dan keterpaksaan sama sekali8.
2. Keberadaan bai’ al-Istishna’ selama ini didasarkan akan kebutuhan orang banyak,
bisa terjadi orang yang memerlukan barang yang selama ini tidak ada dipasaran,
akan tetapi ia lalu membuat kontrak pembelian agar ada orang yang membuatkan
barang tersebut bagi mereka.
5
Kamsir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta : Rajawali Pers, 2002),h.91
6
Imam Musthofa, Fiqih muamalah, (Jakarta : Wali Pers, 2016),h.176
7
H. Abdul Aziz Dahlan, Terjemah Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung : PT. Iktiar Baru, 1983),h.39
8
Muhammad Ayub, Keuangan Syariah, (Jakarta : PT Raja Gramedia Press,2011),h.61
3
3. Bai’ al-Istishna’ diizinkan selama sesuai dengan aturan umum kontrak bai’ al-
istishna’ yang sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Menurut Az-Zuhaili, bai’ al- Istishna’ ialah kontrak jual beli antara pembeli
(mustashni’) dengan cara melakukan pemesanan pembuatan barang barang, dimana kedua
belah pihak sepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan
dimuka, melalui cicilan ataupun ditangguhkan pada masa yang akan datang.
Adapun menurut Fatwa DSN MUI, dijelaskan bahwa bai’ al-Istishna’ adalah akad
jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustshni’) dan penjual
(pembuat, shani’). Pada dasarnya, bai’ al-istishna’ merupakan suatu transaksi yang hampir
sama dengan bai’ as-Salam dan jual beli murabahah mua’jjal, namun sedikit terdapat
perbedaan diantara ketiganya, dimana dalam bai’ as-salam pembayaran dimuka dan
penyerahan barang nya dikemudian hari, sedangkan pada murabahah mua’jjal barang
diserahkan dimuka dan uangnya bias dibayar dengan cicilan, dan dalam bai’ al- Istishna’,
barang diserahkan dibelakang, sedangkan pembayarannya juga bisa dilakukan dengan
cicilan. Karena tidak mengandung pelarangan terhadap apapun, dan telah terjadi praktik
yang umum dimasyarakat karena kemudahan bagi umat manusia. Bai’ al-Istishna’
berevolusi ke ilmu hukum Islam secara histori karena kebutuhan tertentu dalam area
pekerjaan manual. Namun, ia telah berkembang dalam era modern sebagai salah satu
kontrak (akad) yang memungkinkan pemenuhan proyek dan industri. Oleh sebab itu,
keunggulan kontrak untuk menufaktur telah meningkat dengan cakupan proyek yang
dibiayai. Jual beli dengan tempo pembayaran dibolehkan secara syar’i.9 Sebagaimana
dibolehkannya jual beli dengan pembayaran kontan, jual beli dengan pembayaran
ditangguhkan juga dibolehkan. Rasulullah SAW bersabda, “ barang siapa yang berhutang
dengan kurma, maka hutangnya tersebut harus jelas takarannya, jelas timbangannya dan
jelas tempo pembayarannya”. Bai’ al-Istishna’ merupakan akad yang sah dan praktik bisnis
yang umum dilakukan, sebagai salah satu cara atau model trasnsaksi yang telah disahkan
yang berdasarkan kepada istihsan (kepentingan masyarakat).10
B. Dasar Hukum Bai’ al-Istishna’
Mengingat bai’ al-Istishna’ merupakan lanjutan dari bai’ as-salam maka secara
umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as salam juga berlaku untuk bai’ al-Istishna’.
Sungguhpun demikian, para ulama membahas labih lanjut kebasahan bai’ al-Istishna’
dengan penjelasan sebagai berikut:
Menurut mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena
bertentangan dengan semangat bai’ secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi
bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki penjual. Meskipun demikian,
mazhab Hanafi menyetujui kontrak bai’ al-Istishna’ atas dasar istihsan karena alasan-alasan
berikut ini:
1. Masyarakat telah mempraktikkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus
tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ alIstishna’ sebagai
kasus ijma’ atau konsensus secara umum.11
2. Keberadaan bai’ al-Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat banyak yang
sering kali memerlukan barang yang tidak tersedia dipasar sehingga mereka
cenderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
3. Bai’ al-Istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan nash atau aturan syari’ah.
Sebagian Fuqoha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-Istishna’ sah atas dasar
qiyas dan aturan umum Syari’ah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan

9
Muhammad, Sistem Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta : UII Pres, 2000),h.55
10
Imam Musthofa, Fiqih muamalah, (Jakarta : Wali Pers, 2016),h.173
11
Muhammad Syafii, Bank Byariah dari Teori ke Prakte, (Jakarta : Gema Insane, 2008),h.114
4
mampu mengadakan barang yang dipesan tersebut pada saat penyerahan barang sesuai
dengan perjanjian, demikian juga dengan kemungkinan terjadinya perselisihan atas jenis dan
kualitas barang dpat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi pada barang tersebut12.
Dalam buku fiqih muamalah karangan Ahmad Wardi musclich, dijelaskan bahwa
menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad Istishna’ dibolehkan atas dasar
kebiasaan manusia dan akad salam, syarat-syarat yang berlaku pada salam juga berlaku pada
akad bai’ al-Istishna’. Hukum bai’ al-Istishna’ adalah boleh karena dapat memberikan
keringanan, kemudahan kepada setiap manusia dalam bermuamalah13. Adapun dalil yang
membolehkan bai’ al-Istishna’ adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’anul karim
Q.S.Al-baqarah : Ayat 282

‫وه َو ۡل َی ۡكتب ب َّۡینَك ۡم َكا ِت ُۢب ِب ۡٱلعَ ۡد ِۚ ِل‬ َ ‫ََٰٓیأ َ ُّی َھا ٱلَّذِینَ َءا َمن َٰٓواْ ِإذَا تَدَا َینتم ِبدَ ۡی ٍن ِإلَ َٰٓى أ َ َج ٖل ُّم‬
ِۚ ‫س ّٗمى فَ ۡٱكتب‬
‫علَّ َمه‬
َ ‫ب َك َما‬ َ ‫ب َكاتِبٌ أَن َی ۡكت‬ َ ‫َو ََل َی ۡأ‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.(QS. Al-
Baqarah : 282).
Q.S. Al-Baqarah : ayat 275

َ‫طن ِمنَ ْٱل َم ِس ِۚ ذَلِك‬ َ ‫ش ْی‬ َّ ‫ٱلر َبو ۟ا ََل َیقومونَ ِإ ََّل َك َما َیقوم َّٱلذِى َیتَ َخبَّطه ٱل‬ ِ َ‫َّلذِینَ َیأْكلون‬
‫ظةٌ ِمن‬َ ‫ٱلر َبو ۟ا ِۚ فَ َمن َجا َٰٓ َءهۥ َم ْو ِع‬ َّ ‫ٱلر َبو ۟ا ۗ َوأَ َح َّل‬
ِ ‫ٱَّلل ْٱل َب ْی َع َو َح َّر َٰٓ َم‬ ِ ‫ِبأ َ َّنھ ْم قَال َٰٓو ۟ا ِإ َّن َما ْٱل َبیْع ِم ْثل‬
‫ار ۖ ھ ْم فِی َھا‬ ِ ‫ص َحب ٱل َّن‬ ْ َ ‫عادَ فَأ ۟ولَئِكَ أ‬ َ ‫ٱَّلل ۖ َو َم ْن‬ِ َّ ‫ف َوأ َ ْمر َٰٓهۥ إِلَى‬
َ َ‫سل‬
َ ‫َّر ِبِۦه فَٱنتَ َھى فَلَهۥ َما‬
‫َخ ِلدون‬
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”(QS. Al Baqarah :
275)14
Dari dua ayat Al-Qur’an diatas Allah SWT menerangkan bahwa telah
menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba, juga menerangkan tuntunan
tentang bermu’amalah tidak secara tunai hendaklah menuliskannya, bai’ al-Istishna’
merupakan jual beli yang dilakukan tidak secara tunai yang didasarkan atas
kepentingan manusia, yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu, dan tidak
ada seorang sahabat atau ulamapun yang mengingkarinya.15
2. Hadist yang pertama
‫ث‬ َ ‫ی ْسأَلونَھ َع ِن ْال ِم ْن َب ِر فَقَا َل َب َع‬َ ‫س ْع ٍد‬ َ ‫از ٍم قَا َل أَتَى ِر َجا ٌل ِإلَى‬
َ ‫س ْھ ِل ب ِْن‬ ِ ‫ع ْن أ َ ِبي َح‬
َ
‫س ْھ ٌل أ ْن م ِري غالَ َم ِك‬ َ َ َ َ َّ
َ ‫سل َم ِإلى فالَ َنة ا ْم َرأةٍ قَ ْد‬
َ ‫س َّماھَا‬ َ
َ ‫عل ْی ِھ َو‬ َّ
َ ‫صلى هللا‬ َ ‫هللا‬
ِ ‫َرسول‬
12
Adi Warman, Bank Islam Analisis Fiqih, (Jakarta : PT. Raja Grafindo),h.161
13
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Amzah,2010),h.253
14
Ahmad Ihfan Sholihin, Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta : Gramedia),h.198
15
Adi Warman, Bank Islam Analisis Fiqih, (Jakarta : PT. Raja Grafindo),h.111
5
‫ی ْع َمل َھا ِم ْن‬ َ ‫علَ ْی ِھ َّن ِإذَا َك َّل ْمت ال َّن‬
َ ‫اس فَأ َ َم َر ْتھ‬ َ ‫ار َی ْع َمل ِلي أَع َْوادًا أَجْ ِلس‬ َ ‫ال َّن َّج‬
‫سلَّ َم ِب َھا فَأ َ َم َر‬ َ ‫صلَّى هللا‬
َ ‫ع َل ْی ِھ َو‬ ِ ‫ت ِإلَى َرسو ِل‬
َ ‫هللا‬ َ ‫اء ْالغَا َب ِة ث َّم َجا َء ِب َھا فَأ َ ْر‬
ْ َ‫سل‬ ِ َ‫ط ْرف‬ َ
‫علَ ْی ِھ‬
َ ‫س‬َ ‫ت فَ َج َل‬ ْ َ‫ضع‬ ِ ‫ِب َھا فَو‬
Artinya : Dari Abu Hazim, ia berkata: Ada beberapa lelaki datang kepada Sahal
bin Sa’ad menanyakan tentang mimbar lalu ia menjawab: Rasululah saw
mengutus seorang perempuan yang telah diberi nama oleh Sahal, ”
Perintahkanlah budakmu yang tukang kayu, untuk membuatkan aku mimbar
dimana aku duduk di atasnya ketika saya nasehat pada manusia.” Maka aku
memerintahkan padanya untuk membuatkan dari pohon kayu. Kemudian tukang
kayu datang dengan membawa mimbar, kemudian ia mengirimkannya pada
Rasululah saw. Maka beliau perintahkan padanya untuk meletakkannya, maka
Nabi duduk di atasnya. (HR Bukhari, Kitab al- Buyu’)16
Hadist yang kedua
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memesan agar dibuatkan cincin dari
perak.
‫ب إِلَى‬َ ‫َّللا صلى هللا علیه و سلم َكانَ أ َ َرادَ أ َ ْن َی ْكت‬ ِ َّ ‫ى‬َّ ‫ع ْن أَن ٍَس رضي هللا عنه أَ َّن َن ِب‬ َ
.ٍ‫ضة‬َّ ِ‫ط َن َع خَاتَ ًما ِم ْن ف‬ َ ‫ص‬ َ ‫ْال َع َج ِم فَ ِقی َل لَه ِإ َّن ال َع َج َم َلَ َی ْق َبلونَ ِإَلَّ ِكتَابًا‬
ْ ‫ فَا‬.‫ع َل ْی ِه خَا ِت ٌم‬ ْ
‫ رواه مسلم‬.ِ‫اض ِه فِى َی ِده‬ ِ ‫قَا َل َكأ َ ِنى أ َ ْنظر إِلَى َب َی‬
Artinya:
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non
arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia
dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat
Muslim)Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna’ adalah
akad yang dibolehkan.17
Hadist yang Ketiga
Para ulama’ di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah
umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:

‫ حتى یدل الدلیل على التحریم‬،‫األصل في األشیاء اإلباحة‬


Artinya:“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang
menunjukkan akan keharamannya."18
Hadist yang keempat
banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu
barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan.
Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga
ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.19 Bila akad pemesanan
semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak
kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya
disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
(Badai’i As shanaai’i oleh Al Kasaani 5/3)

16
Muhammad Syafii, Bank Byariah dari Teori ke Prakte, (Jakarta : Gema Insane, 2008),h.187
17
Zukifli Sunarto, Panduan Praktis Perbankan Syariah, (Jakarta : Zikrul Hakim,2011),h.86
18
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta : Gema Insani, 2001),h.101
19
Imam Musthofa, Fiqih muamalah, (Jakarta : Wali Pers, 2016),h.174
6
Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir
(memudahkan):
‫ رواه البخاري‬.‫ِإ َّن الدِینَ یس ٌْر‬
“Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat Bukhari)
Hadist yang kelima
Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat
dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna’ sebagai salah satu akad yang
mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan
produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak ada
hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana
produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya kepada orang lain.
(Fathul Qadir oleh Ibnul Humamm 7/116-117 & Al Bahru Ar Raa’iq oleh Ibnu
Nujaim 6//186).20
Menurut hemat saya, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua
belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya
berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ِ ‫علَى شر‬
‫ رواه أبو داود والحاكم والبیھقي وصححه األلباني‬.‫وط ِھ ْم‬ َ َ‫الم ْس ِلم ْون‬
Artinya:
“Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka.” (Riwayat Abu
Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al
Albany).
Hadist yang keenam
Dasar dibolehkan akad as-salam ini adalah hadist Ibnu Abbas :
‫ار‬ ِ ‫سلَّ َم ْال َمدِی َنةَ َوھ ْم ی ْس ِلفونَ فِي‬
ِ ‫الث َم‬ َ ‫علَ ْی ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫َّاس قَا َل قَد َِم ال َّن ِب‬
ٍ ‫ع ْن اب ِْن َعب‬ َ
‫وم ِإلَى‬
ٍ ‫وم َو َو ْز ٍن َم ْعل‬
ٍ ‫ف ِفي َك ْی ٍل َم ْعل‬ ْ ‫ف ِفي ت َْم ٍر فَ ْلی ْس ِل‬َ َ‫س َنتَی ِْن فَقَا َل َم ْن أ َ ْسل‬
َّ ‫س َنةَ َوال‬َّ ‫ال‬
‫وم‬ٍ ‫أ َ َج ٍل َم ْعل‬
Artinya :
“ Dari Ibnu Abbas dia berkata, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba di
Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di
muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo
setahun atau dua tahun kemudian. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Siapa yang menjual kurma dengan akad as-salam, hendaklah dengan
takaran tertentu, timbangan tertentu dan jangka waktu tertentu." (HR. Bukhari
dan Muslim).21
C. Rukun dan Syarat bai’ al-Istishna’
1. Rukun Istishna’
Bai’ al-Istishna’ merupakan salah satu pengembangan bai’ as- salam, waktu
penyerahan barang dilakukan dikemudian hari sementara pembayarannya dapat
dilakukan melalui cicilan atau ditangguhkan. Karena bai’ al-Istishna’ merupakan akad
khusus dari bai’ as-salam maka ketentuan dan landasan hukum Syariah bai’ al-Istishna’
mengikuti ketentuan bai’ as-salam, adapun rukun bai’ al-Istishna’.22
a. Penjualan atau penerima pesanan (shani’)

Q.S Al-Baqarah:254

20
Adi Warman, Bank Islam Analisis Fiqih, (Jakarta : PT. Raja Grafindo),h.228
21
Zukifli Sunarto, Panduan Praktis Perbankan Syariah, (Jakarta : Zikrul Hakim,2011),h.86
22
Mardani, Ayat-ayat dan hadist Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Raja grafindo persada,2011),h.211
7
‫ي َي ْوم َّّل َبيْع ِف ْي ِه َو َّل ُخلَّة َّو َّل‬ ْ
َ ‫ٰٓيا َ ُّي َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْٰٓوا ا َ ْن ِفقُ ْوا ِم َّما َرزَ ْقن ُك ْم ِم ْن قَ ْب ِل ا َ ْن يَّأ ِت‬
ّٰ ‫عة ۗ َو ْالك ِف ُر ْونَ ُه ُم ال‬
َ‫ظ ِل ُم ْون‬ َ ‫شفَا‬ َ

Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami
berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi
persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang yang zalim.
b. Pembeli atau pemesan (mustshni’)

Q.S At-Taubah:111
ۗ
‫ّللا‬ َ ‫س ُه ْم َوا َ ْم َوالَ ُه ْم ِبا َ َّن َل ُه ُم ْال َج َّنةَ يُ َقا ِتلُ ْونَ فِ ْي‬
ِ ّٰ ‫س ِب ْي ِل‬ َ ُ‫ّللا ا ْشتَرى ِمنَ ْال ُمؤْ ِم ِنيْنَ ا َ ْنف‬ َ ّٰ ‫ا َِّن‬
َ‫اّل ْن ِج ْي ِل َو ْالقُ ْرا ۗ ِن َو َم ْن ا َ ْوفى ِب َع ْهدِه ِمن‬ ِ ْ ‫علَ ْي ِه َحقًّا فِى التَّ ْورى ِة َو‬ َ ‫فَ َي ْقتُلُ ْونَ َويُ ْقتَلُ ْونَ َو ْعدًا‬
‫ي َبا َي ْعت ُ ْم ِب ۗه َوذلِكَ ه َُو ْالفَ ْو ُز ْال َع ِظ ْي ُم‬ ْ ‫ّللا فَا ْستَ ْبش ُِر ْوا ِب َب ْي ِع ُك ُم الَّ ِذ‬
ِ ّٰ
Artinya: Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri mau-pun
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan
Allah; sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari
Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati
janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan
itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung. (Q.S At-Taubah:111)
c. Barang (mashnu’)
d. Harga (tsaman)
e. Ijab qabul (shighat)23

Q.S An-Nisaa’:29
‫ع ْن ت ََراض‬
َ ً ‫ارة‬ ِ ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا َّل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْال َب‬
َ ‫اط ِل ِإ َّّل أ َ ْن تَ ُكونَ ِت َج‬
‫ّللا َكانَ ِب ُك ْم َر ِحي ًما‬ َ َّ ‫س ُك ْم ۚ ِإ َّن‬ َ ُ‫ِم ْن ُك ْم ۚ َو َّل تَ ْقتُلُوا أ َ ْنف‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.S An-Nisaa’:29)24
Segala macam pernyataan akad dan serah terima, dilahirkan. dan jiwa yang saling
merelakan (taradli) untuk menyerahkan barangnya masing-masing kepada siapa yang
melakukan transaksi. Dengah demikian penyerahan barang itu dapat diartikan sebagai
ijabnya, sekalipun tanpa kalimat penyerahan, dan sebalikuya penerimaan barang itulah
qabulnya, sekalipun tanpa kalimat yang diucapkan.
Berdasarkan ketentuan syara' akad dibagi menjadi dua macam
yaitu:
a. Akad shahih adalah akad yang memenuhi seluruh persyaratan yang
berlaku pada setiap unsur akad (aqidaian, shighatul a'qad, maudlin 'ul
aqad dan mahallul a'aqad).25
b. Akad ghairu shahih adalah akad yang sebagian rukunnya tidak
terpenuhi. Akad ghairu shahih dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Akad fasid yaitu akad yang pada prinsipnya tidak bertentangan
dengan syara' namun terdapat sifat-sifat tertentu yang dilarang oleh

23
Imam Musthofa, Fiqih muamalah, (Jakarta : Wali Pers, 2016),h.102
24
Al-Quranul Karim, Kudus: Menara Kudus, 2005, hlm. 84
25
Ritonga, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Bachtiar Baru Vann Hoeve, Cet. 1, 1997, hlm. 67.
8
syara' yang dapat menyebabkannya cacatnya iradah, seperti adanya
unsur tipuan atau paksaan.
2) Akad batil yaitu akad yang cacat rukun dan tujuannya, atau karena
prinsip dan sifat-sifat akadnya bertentangan dengan ketentuan
syari'at, seperti akadnya orang gila atau cacat pada shighat
akadnya.26
Menurut pendapat Imam Syafii Antonio rukun istishna adalah sebagai berikut:
a. Al-mustashni (pembeli / pemesan)
• Hendaknya menentukan jenis, bentuk dan sifat yang dipesan
• Tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya
• Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakat sebuah, pemesan
memiliki hak pemilih untuk memberikan atau membatalkan akad27

b. As-shani (penjual)
• Boleh menjual barang yang dibuat oleh orang lain yang mempunyai kualitas dan
kuantitas yang dikehendaki oleh pemesan.
• Tidak ada priaukar barang kecuali dengan barang yang sejenis sesuai dengan
kesepakatan barang yang dipesan.

c. Al-mashu (barang yang dijual)


• Harus jelas ciri-cirinya
• Barang yang dipesankan permintaannyaba rang yang biasa dijual belikan sesuai
pesanan oleh banyak orang.
• Harus dapat spesifikasinya
• Penyerahannya dilakukan kemudian
• Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditentukan berdasarkan kesepakatan
• Bahan-bahan untuk membuat barang yang diinginkannya dari pihak penjual

d. Harga
• Barang pesanan yang dibayar semua pada saat akad
• Harga barang yang dipesan boleh dibayar semua pada saat penyerahan barang
• Secara angsuran sesuai dengan kesepakat
• Pembayaran tidak boleh dalam perubahan bentuk utang

e. Sighat atau ucapan / ijab kabul


• Kebanyakan ulama mensyaratkan sebuah penyerahan barang harus ditunda pada
suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi 'i diizinkan penyerahan segera.
• Boleh menentukan tanggal / waktu dimasa yang akan datang untuk penyerahan
barang
• Tempat penyerahan28

Sedangkan menurut fatwa DSN-MUI tentang jual beli istishna 'yaitu sebagai berikut:29
a. Ketentuan tentang pembayaran:
➢ Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau
manfaat.

26
Ghufron Mas'adi, op.cit., hlm. 103-104.
27
Syafi’i Antonio, Sebagaimana dikutip oleh Enny Pujy Lestari, “ Resiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank
Umum Syariah”, STAIN Jurai Siwo, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol.02, No.1, 2004,h.12
28
Syafi’i Antonio, Sebagaimana dikutip oleh Enny Pujy Lestari, “ Resiko Pembiayaan Dalam Akad Istishna Pada Bank
Umum Syariah”, STAIN Jurai Siwo, Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, Vol.02, No.1, 2004,h.12
29
Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 06/DSN-MUI/IV/2000
9
➢ Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
➢ Pembayaran tidak boleh dalam bentukdalam hutang.

b. Ketentuan tentang barang:


➢ Harus jelas sebagai ciri-ciri nya dan dapat di akui sebagai hutang.
➢ Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
➢ Penyerahannya dilakukan kemudian.
➢ Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
➢ Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
➢ Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
➢ Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk memilih atau membatalkan akad.

c. Ketentuan lain:
➢ Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
➢ Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak ada siap pula pada jual beli istishna.
➢ Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan Arbitrasi
Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Sedangkan syarat-syarat Istishna’ adalah sebagai berikut:30


Pihak yang berakal cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli.
a. Ridha atau kerelaan kedua belah pihak dan tidak ingkar janji
b.Apabila isi akad disyaratkan shani’ (pembuat barang) hanya bekerja saja, maka akad ini
bukan lagi Istishna’, tetapi menjadi akad ijarah (sewa- menyewa).
c. Pihak yang membuat menyatakan kesanggupan untuk mengadakan atau membuat
barang itu.
d.Mashnu’ (barang atau objek pesanan) mempunyai kriteria yang jelas, seperti jenis
ukuran,mutu, jumlah, dll.
e. Barang tersebut tidak termasuk dalam kategori yang dilarang syara’ (najis, haram,
samar, atau tidak jelas) atau menimbulkan kemudhratan.31

Berkaitan dengan syarat istishna, kalangan hanfiyah mensyaratkan beberapa hal agar
istishna ' sah. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka akad istshna’ akan rusak atau
batal.
a. Barang yang menjadi objek istishna’ harus jelas, baik jenis, macam, kadar dan sifatnya.
Apabila salah satu tidak ini tidak jelas, maka akad istishna rusak. Karena barang
tersebut adalah objek jual beli yang harus diketahui. Apabila seseorang memesan suatu
barang, harus benar spesifikasinya; bahan, jenis, model, ukuran, bentuk, sifat, kualitas,
dan hal-hal yang terkait dengan barang tersebut. Jangan sampai ada hal yang tidak jelas,
karena hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan di antara pihak yang bertransaksi.
b. Barang pesanan merupakan barang yang bisa digunakan untuk keperluan dan sudah
umum digunakan, seperti pakaian, perabot rumah, mebel dan sebagainya.
c. Tidak dibolehkan menetakan dan memastikan waktu Tertentu untuk menyerahkan
barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan, maka dikategorikan
sebagai akad salam.32
d. Produsen dan pemesanan (shani 'dan mustashni') cakap hukum, tidak dalam keadaan
terpaksa, dan tidak ingkar janji.
30
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan Syariah, (Jakarta : Raja Wali),h.111
31
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Gema Insani, 20014),h.202
32
Nurul Huda dan Mohammad heykal, Lembaga Keuangan Islam: tinjaun teoritis dan praktis, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group,2010),h.97
10
e. Produsen (shani') memiliki kapasitas dan kesanggupan untuk membuat atau
mengadakan barang yang dipesan.
f. Barang yang dipesan (mashnu’) harus jelas spesifikasinya dan tidak termasuk yang
dilarang syari'ah sedangkan waktu penyerahannya sesuai kesepakatan.
g. Harga barang (tsaman’) harus dinyatakan secara jelas dan pembayaran dilakukan sesuai
dengan kesepakatan.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dikalangan hanafiyah barang yang
sudah dipesan sebaiknya harus jelas apa barangnya, fungsi barang tersebut dan tidak
dibolehkan untuk menempatkan kapan waktu barang tersebut diserahkan.
Meskipun waktu dan penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad istishna ',
pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum yang berarti bahwa jika
perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan
membayar harganya. Namun demikian, harga dalam istishna 'dapat dikaitkan dengan waktu
penyerahan. Jadi, boleh disepakati bahwa apabila terjadi keterlambatan penyerahan harga
dapat dipotong sejumlah tertentu perhari keterlambatan. Dalam aplikasinya bank syariah
melakukan istishna pararel, yaitu bank menerima pesanan barang dari nasabah, kemudian
bank memesankan permintaan barang nasabah kepada produsen penjual (shani ') dengan
pembayaran di muka, cicil, atau di belakang, dengan jangka waktu penyerahan yang
disepakati bersama.33
Syarat barang yang diperjual belikan.
Syarat yang diperjualbelikan secara umum, adalah sebagai berikut :
1. Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakansanggup
untuk mengadakan barang itu.
2. Barang tersebut dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Olehkarena itu
keluar dari syarat ini adalah menjual khamar, bangkai haram untukdiperjualbelikan,
karena tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan
syara’.
3. Milik seseorang. Maksudnya adalah barang yang belum milik seseorang tidakboleh
menjadi objek jual beli, seperti menjual ikan yang masih di laut, emasyang masih dalam
tanah, karena keduanya belum menjadi milik penjual.34
Ketentuan syariah objek akad istisna’
a. Ketentuan tentang pembayaran adalah sebagai berikut.
1.Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,barang, atau
manfaat, demikian juga dengan cara pembayarannya.
2. Harga yang telah ditetapkan daam akad tidak boleh berubah. Akan tetapiapabila
setelah akad di tandatanganni pembeli mengubah spesifikasidalam akad maka
penambahan biaya akibat perubahan ini menjaditanggung jawab pembeli.
3. Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan.
4. Pembayaran tidak boleh berupa pembebasan utang.
b. Ketentuan tentang barang, sebagai berikut :
1. Barang pesanan harus jelas spesifikasinya (jenis, ukuran, mutu) sehinggatidak ada
lagi jahalah dan perselisihan dapat di hadapi.
2. Barang pesanan diserahkan kemudian.35
3. Waktu dan penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkankesepakatan.
4. Barang pesanan yang beum diterima tidak boleh dijual.
5. Tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
6. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan,pemesan
memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan danmembatalkan akad.

33
Ascarya, “ Akad dan Produk Bank Syariah”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),h.98-99
34
Veithzal Rival, Islamic Financial Management Teori, (Jakarta: Raja grafindo Prasada, 2008), h.175
35
Gita Danu Pranata, Manajemen Perbankan Syaria, (Jakarta : Salemba Empat, 2013),h.79
11
7. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan,hukumnya
mengikat, tidak boleh dibatalkan sehingga penjual tidakdirugikan karena ia telah
menjalankan kewajibannya sesuaikesepakatan.
D. Macam-macam Jual Beli
1. Ditinjau dari sifatnya, jual beli terbagi kepada dua bagian.
a. Jual beli shahih
Jual beli yang shahih adalah jual beli yang disyariatkna dengan memenuhi
asalnya dan sifatnya, atau dengan kata lain jual beli shahih adalah jual beli yang tidak
terjadi kerusakan, baik rukun maupun syaratnya.
b. Jual beli ghairu shahih
Jual beli ghairu shahih adalah jual beli yang tidak dibenarkan sama sekali oleh syara’
dan dinamakan jual beli yang batil, atau jual beli yang disyariatkan dengan terpenuhi
rukunnya namun tidak pada sifatnya. Dan ini juga dinamakan jual beli fasid.36
2. Ditinjau dari segi sighat-nya, jual beli terbagi kepada dua bagian:
a. Jual beli mutlak
Jual beli mutlak adalah jual beli yang dinyatakan dengan sighat yang bebas dari
kaitannya dengan syarat dan sandaran kepada masa yang akan datang.
b. Jual beli ghair mutlak
Jual beli ghair mutlak adalah jual beli yang sighatnya dikaitkan atau disertai dengan
syarat atau sandaran kepada masa yang akan datang.37
3. Jual beli dari segi hubungan dengan barang yang dijual (objek akad) terbagi empat
bagian:
a. Jual beli Muqayyadah
Jual beli muqayyadah adalah jual beli barang dengan barang seperti jual beli
binatang dengan binatang, beras dengan gula.
b.Jual beli sharf
Jual beli sharf adalah tukar menukar emas dengan emas, dan perak dengan perak,
atau menjual salah satu dari keduanya dengan yang lain.
c. Jual beli Salam dan Istishna’
Jual beli salam adalah jual beli sesuatu yang disebutkan sifat- sifatnya dalam
perjanjian dengan harga pemabayaran secara tunai. Sedangkan jual beli Istishna’
merupakan kontrak jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan teretntu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan
penjual (pembuat). Dalam hal pembayaran, transaksi Istishna’ dapat dilakukan dimuka,
melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.38
Ijab kabul (sighat) dalam akad jual beli
Ijab dan kabul sebagai salah satu rukun akad merupakan manifestasikerelaan yang
terdapat dalam batin seseorang. Namun harus dipahami jugabahwa dalam ijab dan kabul
terdapat dua dimensi yang satu sama lain tidakterpisahkan, keduanya saling terpaut
yaitu dimensi perijinan atau kerelaan danungkapannya berupa ijab dan kabul. Dimensi
perijinan atau kerelaan merupakansubstansi dari sebuah akad yang dijalin sedangkan
ungkapan yang diwujudkandengan ijab dan kabul adalah sarana atau penanda adanya
kerelaan tersebut.Karena bersifat substansi, maka perijinan atau kerelaan merupakan
sesuatuyang bersifat abstrak, batin dan berada dalam sanubari hati seseorang yangtidak
mungkin bisa diketahui oleh orang lain.39
Oleh karena itu, perlu ada perwujudan perijinan atau kerelaan tersebutdalam bentuk
tanda yang dapat dipahami bahwa itu merupakan cerminan daribatin seseorang. Dari

36
Zukifli Sunarto, Panduan Praktis Perbankan Syariah, (Jakarta : Zikrul Hakim,2011),h.191
37
Muhammad Ayub, Keuangan Syariah, (Jakarta : PT Raja Gramedia Press,2011),h.99
38
Prof. Dr. Syamsul anwar, Hukum perjanjian syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo persada, 2007),h.177
39
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Jakarta : Gema Insani, 20014),h.203
12
uraian ini, menurut Syamsul Anwar jelas bahwa yangdimaksud dengan shigat akad
dalam rukun jual beli adalah “an taradhin ” yang diartikan sebagai kerelaan atau
perijinan yang bersifat substansi. Sedangkan apayang dimaksud dengan ungkapan atau
ijab dan kabul tidak menjadi rukun,karena itu adalah hanya penenda dari yang bersifat
subtansi di atas. Sebuahungkapan ijab dan kabul tanpa adanya “an taradhin ” dalam
sebuah transaksidinyatakan sebagai sebuah transaksi yang hampa, tanpa substansi.18
Hal inisejalan dengan apa yang terungkap dalam Alquran surah An-Nisaa ayat 29
yangartinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
hartasesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku suka sama suka di antara kamu”.40
Dengan demikian dapat dipahami bahwa shigat ijab dan kabul yangmenjadi salah
satu rukun dalam sebuah transaksi merupakan media untukmemunculkan dan
mendeskripsikan kehendak batin yang tersembunyi. Olehkarena itu, shigat ijab dan
kabul bisa saja dilakukan berupa ucapan, tindakanatau perbuatan, isyarat dan juga
tulisan.Shigat akad ijab dan kabul berupa ucapan merupakan yang lazim danbiasa
dilakukan oleh, terutama di tengah masyarakat yang masih bertransaksisecara
tradisional dan memegang teguh budaya dan kebiasaan, seperti didaerah Kalimantan
Selatan pada umumnya yang bermazhab Syafi ’i. Ada duabentuk shigat akad berupa
ucapan yaitu dengan kalimat yang jelas (kalimahsharih) dan kalimat sindiran (kalimah
kinayah ). Kalimat yang jelas (sharih ) adalahshigat jual beli yang mengandung makna
jual beli, dan tidak ada arti yang lainseperti kalimat “saya jual kepada engkau barang ini
dengan harga sekian”kemudian dijawab dengan kalimat “saya beli barang tersebut dari
kamu denganharga sekian”. Sedangkan sindiran (kinayah) adalah kalimat yang tidak
hanyamengandung makna jual beli saja, namun juga mengandung makna lain.
Apabilakalimat tersebut disertai dengan penyebutan harga maka kalimatnya menjadi
sharih.Shigat akad berupa perbuatan dalam literatur fi kih dikenal dengan konsep
ta‟athi atau mua‟atah. Yang dimaksud dengan konsep ini adalah bahwapara pihak yang
bertransaksi tidak menggunakan kata, isyarat ataupun tulisandalam menyatakan
persetujuannya terhadap transaksi yang mereka lakukan,namun dengan cara perbuatan
langsung untuk menutup transaksi yang merekalakukan. Jual beli yang dilakukan
dengan shigat akad seperti ini disebut denganba‟i al - mu‟athah.Praktik jual beli seperti
ini biasa di lakukan di pasar-pasarmodern seperti mall, swalayan, mini market, dan lain-
lain yang mana pembelidan kasir sama-sama menyerahkan uang dan barang sebagai
bukti terjadinya Rusdiyah, Zainal Muttaqin, Sa'adah,“Sighat Ijab Kabul Transaksi Jual
Beli:Perspektif Ulama Kalimantan Selatan” yang merupakanbentuk shigat akad.Shigat
akad berupa isyarat adalah salah satu cara untuk mengungkapkankehendak bertransaksi
melalui isyarat yang dapat dipahami. Dengan demikian,bentuk isyarat merupakan solusi
bagi pihak yang bisu untuk menggantikankedudukan ucapan dalam berkomunikasi.
41
Sehubungan dengan hal ini menurutHasbi ash-Shiddieqy ada kaidah yang ditetapkan
yang maknanya adalah bahwaisyarat bagi orang yang bisu sama dengan ucapan lidah
(sama denganpenjelasan menggunakan lidah). Penggunaan isyarat sebagai shigat
akadmenurut Syamsul Anwar harus memenui kriteria berupa isyarat yang
dapatdipahami yaitu jelas maksudnya dan tegas menunjukkan kepada suatu
kehendakuntuk melakukan transaksi.42
Shigat akad dengan tulisan adalah merupakan salah satu cara untukmewujudkan
akad dengan melalui sebuah tulisan. Kedudukan tulisan ini sesuaidengan kaidah fikih
yang artinya bahwa tulisan sama dengan ucapan. Pilihanuntuk melakukan shigad akad
dengan tulisan ini muncul dari kenyataan bahwapara pihak yang ingin melakukan

40
Heri Susarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta : Ekonosia, 2005),h.80
41
Siti Mujiatun, Jurnal Riset akuntansi dan Bisnis, September, 2013
42
Andiwarman Karim, Perbankan Syariah, (Jakarta : PT.Raja Grafindo, 2016),h.200
13
sebuah transaksi berada pada tempat yangsaling berjauhan, tidak pada satu tempat (satu
majelis), sehingga komunikasitransaksi sangat sulit untuk dilakukan. Dalam praktiknya,
apabila ada seseorangyang berada pada tempat yang jauh dengan pemilik barang dan
mereka sepakatuntuk menjalin komunikasi transaksi, maka ijab dan kabul bisa
dilakukan padatempat yang terpisah berupa ijab dalam bentuk tulisan disampaikan
kepadapihak lain dan menerima pernyataannya (kabul) pada tempat dia
menerimatulisan itu, maka transaksinya dinyatakan sah, bahkan selama tulisan itu
masihada pada pihak yang menerima (kabul) maka transaksinya tetap dinyatkan
sahwalaupun yang menerima tidak menyatakan penerimaannya di tempat diamenerima
tulisan tersebut
E. Sifat akad bai’al-Istishna’
Akad Istishna’ adalah akad ghairi lazim (tidak mengikat), baik sebelum pembuatan
pesanan maupun setelah pembuatan pesanan, oleh karena itu, bagi masing-masing pihak ada
hak khiyar untuk melangsungkan akad atau membatalkannya, dan berpaling dari akad
sebelum mustashni’ melihat barang yang dibuat/dipesan.43 Apabila shani’ membuat barang
yang dibuatnya sebelum dilihat oleh shani’ maka hukum akad sah, karena adanya ghair
lazim, dan objek akadnya bukan benda yang dibuat itu sendiri, melainkan sejenisnya yang
masih ada dalam tanggungan. Apabila pembuat (produsen) membawa barang yang
dibuatnya kepada (pemesan), maka hak khiyarnya menjadi gugur, karena ia dianggap setuju,
dengan tindakannya mendatangi konsumen (pemesan) tersebut. Apabila
(konsumen/pemesan) telah melihat barang yang dipesannya, maka ia memiliki hak khiyar.
Apabila ia menghendaki ia boleh meninggalkannya dan membatalkan akadnya. Ini menurut
imam Abu hanifah dan Muhammad.44 Alasannya adalah karena ia membeli sesuatu yang
belum dilihatnya, oleh karena itu ia berhak atas khiyar. Tetapi menurut Imam Abu Yusuf
apabila (konsumen) telah melihat barang yang dipesannya maka akad menjadi lazim
(mengikat), dan tidak ada hak khiyar, apabila barang tersebut sesuai dengan syarat-syarat
yang ditetapkan dalam perjanjian. Hal ini dikarenakan barang tersebut merupakan objek
akad yang kedudukannya sama seperti dalam akad salam, yakni tidak ada khiyar. Disamping
itu, hal ini juga untuk menghilangkan terjadinya kerugian dari pembuat (produsen)
karenatelah rusaknya bahan-bahan yang telah dibuat sesuai dengan permintaan konsumen,
dan untuk dijual kepada orang lain juga belum tentu ada yang mau.45
Adapun ketentuan penyediaan barang dan penyerahan barang dalam akad
pembiayaan bai al-Istishna’ adalah sebagai berikut :
1. Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu penyerahan,
kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan, nasabah memiliki hak untuk :
a. Membatalkan akad dan meminta pengembalian dana
b. Menuggu penyerahan barang tersedia
c. Atau meminta untuk mengganti dengan barang lain yang sejenis
2. Dalam hal menyerahkan barang kepada pemesan dengan kualitas yang lebih tinggi,
perusahaan penyedia barang tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat
kesepakatan antar pemesan dengan pihak perusahaan atau produsen.
3. Ketika pihak perusahaan menyerahkan barang kepada pemesan dengan kualitas yang
lebih rendah dan pihak pemesan sukarela menerimanya maka pemesan tidak boleh
meminta pengurangan harga.

43
Imam Musthofa, Fiqih muamalah, (Jakarta : Wali Pers, 2016),h.144
44
Adi Warman, Bank Islam Analisis Fiqih, (Jakarta : PT. Raja Grafindo),h.227
45
Muhammad Safi’i, Bank Syariah, (Jakarta : Gemal Sani, 2001),h.148
14
F. Ishtisna Pararel
Istishna pararel adalah suatu bentuk akad istishna antara penjual dan pemesan,
dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna
dengan pihak lain (subkontraktor) yang dapat memenuhi aset yang dipesan pemesan.
Syaratnya akad istishna pertama (antara penjual dan pemesan) tidak bergantung pada
istishna kedua (antara penjual dan pemasok). Selain itu, akad antara pemesan dengan
penjual dan akad antara penjual dan pemesan harus terpisah dan penjual tidak boleh
mengakui adanya keuntungan selama konstruksi.
Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:
a) Akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank
dan pembeli akhir
b) Akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.46
Ada beberapa konsekuensi saat bank syariah menggunakan kontrak istishna 'paralel.
Di antaranya sebagai berikut:
a) Bank syariah sebagai pembuat pada kotrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab tehadap pelaksanaan kewajibannya. Isthisna 'paralel atau
subkontrak untuk sementara harus menjawab tidak ada. Dengan demikian, sebagai shani'
pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau
pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel.
b) Penerima subkontrak pembuatan pada istishna 'paralel bertanggung jawab kepada bank
syariah sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan
nasabah pada kontrak paralel, akan tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk
kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kotrak tersebut tidak mempunyai hukum sama
sekali.
c) Bank sebagai shani atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggung jawab atas nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor dan jaminan
yang timbul darinya. Kewajiban inilah yang membenarkan kesalahan istishna' paralel,
juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.47
Istishna paralel dalam teknis perbankan
Aplikasi:
➢ Pembiayaan modal kerja misalnya, untuk modal kerja industri barang-barang
konsumsi, termasuk garmen, sepatu dan sebagainya.
➢ Pembiayaan investasi misalnya untuk mengadakan barang-barang modal seperti
mesin-mesin.
➢ Pembiayaan kontruksi (construction financing).48

G. Contoh Kasus Bai 'Istishna'


Contoh 1:
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum sepak
bola sebesar 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan
datang. Harga kostum di pasar biasanya Rp 40.000 sedangkan perusahaan itu bisa
menjual kepada bank dengan harga Rp 38.000.
Jawaban: Produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum tersebut,
ia hanya ingin memberikan hingga Rp 2.000 per kostum / sekitar Rp 1 juta (20 juta / Rp
38.000 x Rp 2000) atau 5 persen dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum
itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.49

46
Syafaatmuhari, BAI’ ISTSHNA’ dalam laman syafaatmuhari.wordpres.com, diunduh pada 10 September 2020
47
Syafi’i Antonio, Sebagaimana dikutip oleh Mardani, “ Fiqh Ekonomi Syariah”, (Jakarta: Kencana.2012),h.127-128
48
Veithzal Rivai,Ibid.,176
49
Mahmudatus Sa’diyah, Fiqih Muamalah II,(Jepara: UNISNU PRESS, 2019),h.51

15
Contoh 2 :
Ingin rumah dengan 3 kamar, desainnya minimalis, dan ada kolam renangnya.
Jawaban: Untuk memenuhi keinginan memiliki rumah dengan 3 kamar, desainnya
minimalis dan ada kolam renangnya maka anda bisa memesan rumah kpr di perbankan
syariah yang menyediakan fasilitas tersebut.50

50
Muhammad, Sistem Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta : UII Pres, 2000),h.56
16
Argumentasi Kelebihan dan Kekurangan Bai Istishna

A. Ba’i istishna’

merupakan kontrak penjualan antara pemembeli dan pembuat barang. Pembuat barang lalu berusaha
melalui orang lain untuk membuat atau barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan
menjualnyakepada pembeli akhir. Menurut jumhur fuqaha, ba’i istishna’ merupakan suatu jenis
khusus dari akdad ba’i asalam.

Dalam fatwa DSN-MUI, jual-beli istishna adalah akad jual beli dlam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan pesyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli, mustashni’) dan penjual (pembuat, shani’).

Padadasarnya pembiayaan istishna’ merupakan transaksi jual beli cicilan seperti transaksi
murabahah. Hanya saja berbeda dengan murabahah dimana barang diserahkan di muka sedangkan
uangnya dibayar cicilan, dalam jual beli istishna’ barang disaerahkan di belakang, walaupun
uangnya sama-sama dibayar secara cicil juga.

Dapat disimpulkan di sini bahwa al-istisna' adalah perjanjian jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan dan penjual atau merupakan jual beli yang mana seseorang pembeli membuat tempahan
sesuatu barang seperti baju, kereta, perabot, dan sebagainya kepada pihak lain. Jual beli ini
hukumnya harus.

B. Perbedaan ba’i istishna’ dan ba’i salam

17
C. Ba’i istishna paralel

Istishna pararel adalah suatu bentuk akad istishna antara penjual dan pemesan, dimana untuk
memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna dengan pihak lain
(subkontraktor) yang dapat memenuhi aset yang dipesan pemesan.

Syaratnya akad istishna pertama (antara penjual dan pemesan) tidak bergantung pada istishna kedua
(antara penjual dan pemasok). Selain itu, akad antara pemesan dengan penjual dan akad antara
penjual dan pemesan harus terpisah dan penjual tidak boleh mengakui adanya keuntungan selama
konstruksi.

Jadi kesimpulannya ba’i ishtisna merupakan

Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:

➢ Akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara
bank dan pembeli akhir

➢ Akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.

Ada beberapa konsekuensi saat bank syariah menggunakan kontrak istishna 'paralel. Di
antaranya sebagai berikut:

➢ Bank syariah sebagai pembuat pada kotrak pertama tetap merupakan


satu-satunya pihak yang bertanggung jawab tehadap pelaksanaan
kewajibannya. Isthisna 'paralel atau subkontrak untuk sementara harus
menjawab tidak ada. Dengan demikian, sebagai shani' pada kontrak
pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian
atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel.

➢ Penerima subkontrak pembuatan pada istishna 'paralel bertanggung


jawab kepada bank syariah sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai
hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak
paralel, akan tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak
pertama. Dengan demikian, kedua kotrak tersebut tidak mempunyai
hukum sama sekali.

➢ Bank sebagai shani atau pihak yang siap untuk membuat atau
mengadakan barang, bertanggung jawab atas nasabah atas kesalahan
pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya.
Kewajiban inilah yang membenarkan kesalahan istishna' paralel, juga
menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.

Istishna paralel dalam teknis perbankan

Aplikasi:

➢ Pembiayaan modal kerja misalnya, untuk modal kerja industri barang-barang


konsumsi, termasuk garmen, sepatu dan sebagainya.

➢ Pembiayaan investasi misalnya untuk mengadakan barang-barang modal seperti


mesin-mesin.

➢ Pembiayaan kontruksi (construction financing).


18
D. Tujuan Istishna’

Pembiayaan dengan akad Istishna’ ini bertujuan untuk mempermudah nasabah dalam melakukan
jual beli terutama dalam hal manufaktur yang mana membutuhkan biaya besar, sedangkan nasabah/
pembeli tidak cukup memiliki biaya. Sehingga pihak pemberi biaya memberikan kemudahan dalam
pembiayaan nasabah kepada penjual.

E. Manfaat Penggunaan Akad Istishna’

Manfaat ba’i istishna’ sama dengan ba’i salam, karena pada hakekatnya sama. Dan manfaat yang
diperoleh dari ba’i istishna’ yaitu memperoleh selisih haraga yang didapat dari nasabah dengan
harga jual kepada pembeli.

F. kekurangan Pembiayaan Istishna’

1. waktu pengerjaan barang karena barang perlu dipesan terlebih dahulu.

2. Ada resiko penipuan karena sistemnya yang diansur.

G. Keuntungan pembiayaan istishna’

1. Barang sesuai kriteria pembeli.

2. Pebayaran menggunakan metode dicicil sehingga memudahkan pembeli.

3. Ketika ada kecacatan barang dapat diperbaiki.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Lafal istishna’ berasal dari akar kata shana’a ( ‫(صنع‬diatambah alif, sin, dan ta’
menjadi istisna’a ( ‫(ستصنع ا‬yang sinonimnya , ‫یصنعلھ أن طلب‬artinya: “meminta untuk
dibuatkan sesuatu”. Defenisi istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk
mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian ; yakni akad untuk membeli sesuatu
yang dibuat oleh seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.
Hukum bai’ al-Istishna’ adalah boleh karena dapat memberikan keringanan,
kemudahan kepada setiap manusia dalam bermuamalah. Adapun dalil yang membolehkan
bai’ al-Istishna’ adalah sebagai berikut : Al-Qur’anul karim dan As-Sunnah.
Rukun bai’ al-Istishna’.Penjualan atau penerima pesanan (shani’), Pembeli atau
pemesan (mustshni’), Barang (mashnu’), Harga (tsaman) dan Ijab qabul (shighat).
Sedangkan syarat-syarat Istishna’ adalah sebagai berikut: Pihak yang berakal cakap hukum
dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli, Ridha atau kerelaan kedua belah
pihak dan tidak ingkar janji, dll.
Sedangkan Macam-macam jual-beli : Jual-beli dapat ditinjau dari sifatnya, Jual-beli
ditinjau dari segi sighat-nya, Jual-beli dari segi hubungan dengan barang yang dijual (objek
akad).
Akad Istishna’ adalah akad ghairi lazim (tidak mengikat), baik sebelum pembuatan
pesanan maupun setelah pembuatan pesanan, oleh karena itu, bagi masing-masing pihak ada
hak khiyar untuk melangsungkan akad atau membatalkannya, dan berpaling dari akad
sebelum mustashni’ melihat barang yang dibuat/dipesan.
Istishna pararel adalah suatu bentuk akad istishna antara penjual dan pemesan,
dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna
dengan pihak lain (subkontraktor) yang dapat memenuhi aset yang dipesan pemesan.
Contoh Kasus Bai 'Istishna' : Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan
untuk pembuatan kostum sepak bola sebesar 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh
pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga kostum di pasar biasanya Rp 40.000
sedangkan perusahaan itu bisa menjual kepada bank dengan harga Rp 38.000.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syamsul. 2007. Hukum perjanjian syariah. Jakarta : PT. Raja Grafindo
persada.
Andiwarman Karim, 2016. Perbankan Syariah, Jakarta : PT.Raja Grafindo,
Ascarya. 2011. “ Akad dan Produk Bank Syariah”. Jakarta: Rajawali Pers

Ayub, Muhammad. 2011. Keuangan Syariah. Jakarta : PT Raja Gramedia Press

Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 06/DSN-MUI/IV/2000

Huda, Nurul dan Mohammad heykal. 2010. Lembaga Keuangan Islam: tinjaun teoritis
dan praktis.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
H. Abdul Aziz Dahlan, 1983 Terjemah Al-Qur’an Al-Karim, Bandung : PT. Iktiar Baru

Kamsir. 2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta : Rajawali Pers


Mardani. 2011. Ayat-ayat dan hadist Ekonomi Syariah. Jakarta: PT Raja grafindo
persada.

Mardani, 2001 Fiqih Ekonomi Syariah, Jakarta : Gema Insani


Muhammad. 2000. Sistem Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta : UII Pres

Musthofa, Imam. 2016. Fiqih muamalah. Jakarta : Wali Pers

Rival,Veithzal. 2008. Islamic Financial Management Teori. Jakarta: Raja grafindo


Prasada.

Safi’i,Muhammad. 2001. Bank Syariah. Jakarta : Gemal Sani.

Sholihin,Ahmad Ihfan. Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta : Gramedia

Sunarto, Zukifli. 2011. Panduan Praktis Perbankan Syariah. Jakarta : Zikrul Hakim

Warman, Adi. Bank Islam Analisis Fiqih. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Yunus, Mahmud. 2010. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: PT.Mahmud Yunus Wa


Dzurriyah.

Nurhayati, Sri. 2008. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat

Sa’diyah, Mahmudatus. 2019. Fiqih Muamalah II. Jepara: UNISNU PRESS

21

Anda mungkin juga menyukai