Anda di halaman 1dari 4

Nama : Naely Khusnaeni Rohmah

Prodi : S1 Keperawatan B
Nim : 108120058

AKHLAK TERHADAP ULAMA

1. Siapa Ulama
Seseorang dikatakan ulama disebabkan oleh rasa takutnya pada Allah karena
ilmu dan kedalaman hikmahnya. Derajat mereka ditinggikan Allah sebelum
dimuliakan manusia. Allah berfirman, “Niscaya Allah meninggikan orang beriman
dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al – Mujadalah [58] : 11)
2. Keuntungan Seorang Ulama
Bersikap objektiflah sebagaimana Rasul memuliakan ulama dan tidak
menjelekkan atau merendahkannya. Diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit,
Rasul bersabda, “Bukanlah dari golongan umatku orang yang tidak menghormati
orang lebih besar di antara kami, tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak
mengetahui hak ulama kami.” (HR Ahmad dan Thabrani).
Bahkan, Allah menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan, mengolok-olok, dan
merendahkan orang beriman itu salah satu perbuatan dan kebiasaan orang kafir
dan munafik. “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang
kafir dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal, orang-
orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka pada hari kiamat. Dan,
Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
(QS al-Baqarah [2]: 212).
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
Allah berfirman, ‘Barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku umumkan perang
kepada mereka.’” Yang dimaksud dengan wali Allah di sini adalah orang alim yang
selalu taat dan ikhlas dalam beribadah. Imam Syafii menjelaskan, jika para ulama
itu bukanlah wali-wali Allah, maka tidak ada wali Allah di muka bumi ini.
3. Tugas Ulama
a) Tugas Intelektual, ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai
rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan
majelis–majelis ilmu, pesantren, atau lewat menyusun kitab-kitab yang
bermanfaat bagi manusia yang meliputi ilmu Al-Qur’an, Al-Hadits, Fiqh, ilmu-
ilmu Aqliah, dan lain-lain.
b) Tugas bimbingan keagamaan, ia harus menjadi rujukan dalam menjelaskan
halal haram, ia mengeluarkan fatwa tentang berbagai hal yang berkenaan
dengan hukum – hukum Islam.
c) Tugas komunikasi dengan umat, ia harus dekat dengan umat yang
dibimbingnya. Ia tidak boleh berpisah dengan membentuk kelas elit. Akses
pada umatnya diperoleh melalui hubungan langsung, mengirim wakil ke setiap
daerah secara permanen, atau menyampaikan khotbah.
d) Tugas menegakkan syi’ar Islam, ia harus memelihara, melestarikan dan
menegakkan berbagai manifestasi ajaran Islam. Hal ini dapat dilakukan
dengan membangun Masjid, meramaikannya dan menghidupkan ruh Islam di
dalamnya, menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan
maknanya dalam kehidupan akhlak dan dengan menghidupkan sunah Rasulullah
SAW, sambil menghilangkan bid’ah –bid’ah jahiliyah.
e) Tugas mempertahankan hak–hak umat, ia harus tampil membela kepentingan
umat, bila hak–hak mereka dirampas, ia harus berjuang meringankan
penderitaan mereka dan membebaskan belenggu–belenggu yang memasung
kebebasan mereka.
f) Tugas berjuang melawan musuh Islam dan Mukminin, Ulama adalah Mujahidin
yang siap menghadapi lawan-lawan Islam, bukan saja dengan pena dan ibadah,
tetapi dengan tangan dan dada. Mereka selalu mencari syahada sebagai
kesaksian dan komitmennya yang total terhadap Islam.
4. Peran dan Tanggung Jawab Seorang Ulama
Ulama berperan sebagai “pewaris nabi” (waratsatul ambiya), “Sesungguhnya
ulama itu adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Daud dan At – Tirmidzi)”. Seorang
ulama menjalankan peran sebagaimana para nabi, yakni memberikan petunjuk
kepada umat dengan aturan Islam, seperti mengeluarkan fatwa, laksana bintang –
bintang di langit yang memberikan petunjuk dalam kegelapan bumi dan laut (HR.
Ahmad).
Konsep ulama dengan ciri keintelektualan yang bertanggung jawab ini dalam
bahasa al - Qur'an disebut rabbani (QS. 3:79). Ulama yang memenuhi kualifikasi
itu disebut ulama rabbani.
Allah berfirman :
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al – Kitab,
hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia. “Hendaklah kamu menjadi
penyembah – penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia
berkata):”Hendaklah kamu menjadi orang – orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al – Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. 3:79)
Ulama adalah pewaris para nabi. Warisan nabi dalam hal ini bukan hanya ilmu.
Tetapi peran dan tanggung jawab. Ilmu dan peran serta tanggung jawab itulah
yang diwarisi ulama.
Para nabi diutus oleh Allah swt dengan misi perbaikan. Para nabi berperan di
tengah umatnya sebagai pelita yang menerangi jalan umat menuju cita – cita
luhur penciptanya. Ulama sebagai pewaris nabi dituntut mampu melakoni peran
yang sama. Ia memikul tanggung jawab untuk berperan di masyarakat. Ulama
harus menjadi solusi terhadap berbagai persoalan yang menghimpit masyarakat.
Untuk memainkan peran tersebut, ulama dituntut aspiratif dan memiliki
kepekaan. Kepekaan menangkap akar dari setiap permasalahan. Ia tidak terjebak
pada sebatas mengenal fenomena masalah. Sehingga jalan keluar yang
diwariskannya tidak justru menimbulkan persoalan baru.
Ulama rabbani juga responsif. Ia menawarkan solusi – solusi kreatif dan
inovatif terhadap persoalan umat. Untuk itu, ia tidak pasif. Apalagi berpangku
tangan terhadap masalah - masalah umat. Ia justru terjun ke masyarakat. Ia
larut dalam denyut nadi masyarakat. Kemudian, dengan kapasitas intelektual dan
kepemimpinannya, ia tuntun umat menuju kepada kehidupan yang lebih baik.
5. Risiko dan Beban Seorang Ulama
Beberapa hukum tidak bisa dipersamakan antara ulama panutan dan orang
awam. Sesuatu yang boleh bagi kalangan awam belum tentu boleh bagi sang ulama.
Imam Ahmad ketika disiksa sebegitu kejamnya agar mengakui al – Quran itu
makhluk, diusulkan untuk mengaku saja, darurat demi menyelamatkan jiwa beliau,
kasus beliau disamakan dengan apa yang dialami oleh sahabat Ammar bin Yasir
(yang disiksa). Tapi usulan ini beliau tolak sebab masalahnya tidak sederhana
Ammar.
Posisi Imam Ahmad adalah benteng terakhir dan rujukan penting
Ahlussunnah, kalau sampai beliau mengatakan al – Quran makhluk, maka ulama
yang levelnya di bawah beliau tidak akan didengar lagi, karena bercanggah dengan
“pendapat terbaru” Imam Ahmad.
Itulah risiko menjadi tokoh, sebab perbuatan, kata – katanya, cara
berpakaiannya, semuanya jadi dalil bagi ummat Islam, jika dia bermudah – mudah
maka ummat kehilangan panutan ideal.
Seorang ulama berkelakuan buruk serta berfikir tentang tindakan – tindakan
yang menyeleweng, akan menjadi bahaya yang sangat hebat. Sementara manusia
biasa atau orang awam tidak akan sampai membawa keadaan yang sedemikian
rupa, karena mereka tidak menjadi sebab setiap penyimpangan orang lain,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh seorang ulama yang bersorban dan
berjubah. Orang awam tidak berupaya untuk mendakwahkan dirinya sebagai
pemimpin, memberi petunjuk, mempunyai martabat kenabian dan ketuhanan. Oleh
karena itu, apabila alim ulamanya rusak, maka akan rusak pula dunia ini
seluruhnya.

https://www.kompasiana.com/muhammadsarbini/5528f9556ea834d83d8b46
47/peran-dan-tanggungjawab-ulama
http://www.almujtaba.com/malay/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/Al-
Shia.Com%20Indonesian%20Page/www.al-
shia.com/html/id/service/maqalat/Tanggung%20Jawab%20Ulama.htm
https://m.republika.co.id/berita/m3scwk/adab-terhadap-ulama

Anda mungkin juga menyukai