Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN PADA Ny “L”

DENGAN DIAGNOSA MEDIK DIABETES MILITUS TIPE II DIRUANGAN


MAMINASA BAJI DIRSUD LABUANG BAJI

Oleh :

SRI WULANDARI, S.Kep


NIM: 20203018

CI LAHAN CI INSTITUSI

(...........................................) (...........................................)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

STIKES GUNUNG SARI MAKASSAR 2020/2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995). DM
merupakan penyakit yang menjadi masalah pada kesehatan masyarakat.
Oleh karena itu DM tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian
nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler,
serebrovaskuler, rheumatik dan katarak (Tjokroprawiro, 2001).
Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan
meningkat jumlahnya dimasa mendatang. Diabetes merupakan salah satu
ancaman utama bagi kesehatan umat manusia abad 21. WHO membuat
perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20
tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian,
pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang
(Suyono, 2006). Diabetes mellitus tipe II merupakan tipe diabetes yang lebih
umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan Diabetes Mellitus tipe I.
Penderita diabetes mellitus tipe II mencapai 90-95 % dari keseluruhan
populasi penderita DM (Anonim, 2005).
Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya
hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidak mampuan dari organ pancreas
untuk memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin pada sel target
tersebut. Abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang ditemukan pada penderita penyakit diabetes mellitus terjadi dikarenakan
kurangnya aktivitas insulin pada sel target. Diabetes mellitus dikategorikan
menjadi empat tipe yaitu diabetes mellitus tipe-1, diabetes mellitus tipe-2,
diabetes mellitus gestational dan diabetes mellitus tipe lain yang disebabkan
oleh faktor-faktor lain.(Kerner and Brückel, 2014)
Prevalensi diabetes yang terjadi di seluruh dunia diperkirakan 2,8 %
pada tahun 2000 dan 4,4 % pada 2030.Jumlah penderita diabetes
diproyeksikan meningkat dari 171 juta di tahun 2000 hingga mencapai 366
juta di tahun 2030. Negara-negara Asia berkontribusi lebih dari 60% dari
populasi diabetes dunia. (Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus,
2011) Di Indonesia prevalensi penduduk yang berumur ≥15 tahun dengan
diabetes mellitus pada tahun 2013 adalah sebesar 6,9% dengan perkiraan
jumlah kasus adalah sebesar 12.191.564 juta. Sebanyak 30,4% kasus telah
terdiagnosis sebelumnya dan 73,7% tidak terdiagnosis sebelumnya. Pada
daerah bali prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,3% dengan kota Denpasar
sebagai penyumbang terbanyak dibandingkan dengan kota lainnya yaitu
sebesar 2% (Riskesdas, 2013)
Melihat kenaikan insiden diabetes mellitus secara global yang
sebagian besar disebabkan oleh perubahan pola gaya hidup yang kurang
sehat, dapat diperkirakan bahwa kejadian diabetes mellitus akan meningkat
drastis. Melihat bahwa diabetes mellitus akan memberikan dampak terhadap
kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup
besar, maka sangat diperlukan program pengendalian dan penatalaksanan
diabetes mellitus tipe-2. Penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari 5 pilar
yaitu edukasi, diet, latihan fisik, kepatuhan obat, selain itu juga termasuk
pencegahan diabetes mellitus dengan pemantauan kadar gula darah. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi kenaikan kasus diabetes mellitus. Salah
satunya adalah pengetahuan. Pengetahuan penderita tentang diabetes
mellitus sangat membantu pasien dalam menjalankan penanganan diabetes
mellitus selama hidupnya sehingga semakin baik penderita mengerti tentang
penyakitnya semakin mengerti bagaimana harus berperilaku dalam
penanganan penyakitnnya. Untuk itu penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan pasien diabetes mellitus pada rumah sakit
sanglah terhadap penatalaksanaan daripada diabetes mellitus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Diabetes Melitus


Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya
hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidak mampuan dari organ pancreas
untuk memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin pada sel target
tersebut. Abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang ditemukan pada penderita penyakit diabetes mellitus terjadi dikarenakan
kurangnya aktivitas insulin pada sel target.(Kerner and Brückel, 2014)
Diabetes mellitus seperti juga penyakit menular lainnya akan
berkembang sebagai suatu penyebab utama kesakitan dan kematian di
Indonesia. Penyakit ini akan merupakan beban yang besar bagi pelayanan
kesehatan dan perekonomian di Indonesia baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui komplikasi-komplikasinya.
B. Etiologi
Pada penderita diabetes mellitus pangaturan sistem kadar gula darar
terganggu , insulin tidak cukup mengatasi dan akibatnya kadar gula dalam
darah bertambah tinggi. peningkatan kadar glukosa darah akan menyumbat
seluruh sistem energi dan tubuh berusaha kuat mengeluarkannya melalui
ginjal. Kelebihan gula dikeluarkan didalam air kemih ketika makan makanan
yang banyak kadar gulanya. Peningkatan kadar gula dalam darah sangat
cepat pula karena insulin tidak mencukupi jika ini terjadi maka terjadilah
diabetes mellitus. (Tjokroprawiro, 2006 ). Insulin berfungsi untuk mengatur
kadar gula dalam darah guna menjamin kecukupan gula yang disediakan
setiap saat bagi seluruh jaringan dan organ, sehingga proses-proses
kehidupan utama bisa berkesinambungan. Pelepasan insulin dihambat oleh
adanya hormon – hormon tertentu lainnya, terutama adrenalin dan
nonadrenalin, yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar adrenal, yang juga
dikenal sebagai katekolamin, dan somatostatin.(Bogdan Mc Wright, MD.
2008).
Penyebab DM adalah kurangnya produksi dan ketersediaan insulin
dalam tubuh yang mencukupi maka tidak dapat bekerja secara normal atau
terjadinya gangguan fungsi insulin. Insulin berperan utama dalam mengatur
kadar glukosa dalam darah, yaitu 60-120 mg/dl waktu puasa dan dibawah
140 mg/dl pada dua jam sesudah makan (orang normal) (Tjokroprawiro,
2006).
Kekurangan Insulin disebabkan karena terjadinya kerusakan sebagian
kecil atau sebagian besar dari sel-sel beta pulau langerhans dalam kelenjar
penkreas yang berfungsi menghasilkan insulin. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan DM sebagai berikut :

1. Genetik atau Faktor Keturunan


Diabetes mellitus cenderung diturunkan atau diwariskan, bukan
ditularkan. Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih
besar terserang penyakit ini dibandingkan dengan anggota keluarga yang
tidak menderita DM. Para ahli kesehatan juga menyebutkan DM
merupakan penyakit yang terpaut kromosom seks. Biasanya kaum laki-
laki menjadi penderita sesungguhnya, sedangkan kaum perempuan
sebagai pihak yang membawa gen untuk diwariskan kepada anak-
anaknya (Maulana, 2008).
2. Virus dan Bakteri
Virus yang menyebabkan DM adalah rubella, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Diabetes mellitus akibat bakteri masih belum bisa
dideteksi. Namun, para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan
menyebabkan DM (Maulana, 2008).
3. Bahan Toksin atau Beracun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara
langsung, yakni allixan, pyrinuron (rodentisida), streptozotocin (produk dari
sejenis jamur) (Maulana, 2008).
4. Asupan Makanan
Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan
asupan makanan, baik sebagai factor penyebab maupun pengobatan.
Asupan makanan yang berlebihan merupakan factor risiko pertama yang
diketahui menyebabkan DM. Salah satu asupan makanan tersebut yaitu
asupan karbohidrat. Semakin berlebihan asupan makanan semakin besar
kemungkinan terjangkitnya DM (Maulana, 2008).
5. Obesitas
Retensi insulin paling sering dihubungkan dengan kegemukan atau
obesitas. Pada kegemukan atau obesitas, sel-sel lemak juga ikut gemuk
dan sel seperti ini akan menghasilkan beberapa zat yang digolongkan
sebagai adipositokin yang jumlahnya lebih banyak dari keadaan pada
waktu tidak gemuk. Zat-zat itulah yang menyebabkan resistensi terhadap
insulin (Hartini, 2009).
C. Patofisiologi
Pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke lambung
dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan itu makanan di pecah
menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein
menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makan itu
akan diserap oleh usus dan kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan
diedarkan keseluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ didalam
tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar,
zat makanan itu harus masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah. Di
dalam sel, zat makan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang
rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang
sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk
selanjutnya dapat dipergunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu
zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas (Suyono, 2004).
Pada DM type II jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi
jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
Reseptor insulin ini dapat di ibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke
dalam sel. Pada keadaan tadi lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun
anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor)
kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah
meningkat (Suyono, 2004). Efek samping insulin adalah penambahan berat
badan yang mungkin diduga karena tiga penyebab : (Bogdan Mc Wright, MD.
2008)
1. Insulin diketahui memiliki efek anabolik (pembentukan tubuh)
2. Ketika kontrol terdapat glisemia yang baik mulai dicapai karena adanya
terapi insulin, sedikit gula yang hilang didalam urin.
3. Pengobatan insulin membuat orang merasa lebih baik.

D. Klasifikasi
1. Diabetes Mellitus mencakup 3 sub kelompok diagnostik, yaitu :
a. Diabetes Mellitus tipe I (Insulin dependent) : DM jenis ini paling sering
terdapat pada anak-anak dan dewasa muda, namun demikian dapat
juga ditemukan pada setiap umur. Destruksi sel-sel pembuat insulin
melalui mekanisme imunologik menyebabkan hilangnya hampir
seluruh insulin endogen. Pemberian insulin eksogen terutama tidak
hanya untuk menurunkan kadar glukosa plasma melainkan juga untuk
menghindari ketoasidosis diabetika (KAD) dan mempertahankan
kehidupan.
b. Diabetes Mellitus tipe II (non-insulin dependent) : DM jenis ini biasanya
timbul pada umur lebih 40 tahun. Kebanyakan pasien DM jenis ini
bertubuh gemuk, dan resistensi terhadap kerja insulin dapat ditemukan
pada banyak kasus. Produksi insulin biasanya memadai untuk
mencegah KAD, namun KAD dapat timbul bila ada stress berat. Insulin
eksogen dapat digunakan untuk mengobati hiperglikemia yang
membandel pada para pasien jenis ini.
c. Diabetes Mellitus lain (sekunder) : Pada DM jenis ini hiperglikemia
berkaitan dengan penyebab lain yang jelas, meliputi penyakit-penyakit
pankreas, pankreatektomi, sindroma cushing, acromegaly dan
sejumlah kelainan genetik yang tak lazim
2. Toleransi Glukosa yang terganggu merupakan klasifikasi yang cocok
untuk para penderita yang mempunyai kadar glukosa plasma yang
abnormal namun tidak memenuhi kriteria diagnostik.
3. Diabetes Mellitus Gestasional : istilah ini dipakai terhadap pasien yang
menderita hiperglikemia selama kehamilan. Ini meliputi 2-5% dari seluruh
diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin
kurang baik bila tidak ditangani dengan benar (Suyono, 2006). Pada
pasien-pasien ini toleransi glukosa dapat kembali normal setelah
persalinan (Anonim, 1995)
E. Komplikasi
1. Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah) terjadi apabila
kadar glukosa darah turun dibawah 50 mg/ dl. Keadaan ini dapat
terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan,
konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang
berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam
hari. Hipoglikemia merupakan komplikasikomplikasi yang tersering dan
paling serius pada terapi insulin. Keparahan dan lamanya hipoglikemia
bisa diperkirakan dari dosis, aktivitas puncak dan lama aksi jenis
insulin yang diberikan secara S.C (Anonim, 1995).
1) Hipoglikemia Ringan
Ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatis akan
terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan
gejala seperti perspirasi, tremor, takikardia, palpitasi, kegelisahan
dan rasa lapar.
2) Hipoglikemia Sedang
Penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak
mendapatkan cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik.
Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup
ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, confuse,
penurunan daya ingat, mati rasa didaerah bibir serta lidah, bicara
rero, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku
yang tidak rasional, penglihatan ganda, dan perasaan ingin
pingsan.
3) Hipoglikemia Berat
Fungsi sitem saraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat
sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk
mengatasi Hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat mencakup
perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang, sulit
dibangunkan, atau bahkan kehilangan kesadaran.
b. Diabetes Ketoasidosis
KAD timbul sebagai akibat insufisiensi insulin yang berat (biasanya
dengan bertambah buruknya kebutuhan dasar) dank arena adanya
kelebihan hormone yang pengaruhnya berlawanan dengan insulin
(misalnya glucagon). Predisposisi KAD merupakan ciri khas pada DM
tipe 1 dan dapat merupakan gejala yang mendorong pasien konsultasi
ke dokter. Meskipun demikian KAD dapat terjadi pada setiap pasien
DM yang mengalami stress cukup berat. Bila pasien di diagnosis KAD
maka perlu dicari penjelasannya, misalnya penghentian terapi insulin,
terkena stress yang menaikkan dasar insulin. Terapi KAD hendaknya
mencakup juga:
1) Pemulihan cairan tubuh, dengan pengelolaan elektrolit yang tepat
2) Penormalan kembali asidosis dan ketosis yang parah, dan
3) Pengadilan glukosa plasma

KAD sering timbul denagan didahului oleh penurunan berat badan,


poliuria dan polidipsia. Gejalanya meliputi muntah-muntah dan nyeri
perut yang khas samar-samar dan tanpa menunjukkan tempatnya
(Anonim, 1995).

c. Sindrom Hiperglikema Hiperosmolar Non Ketotik (SHHNK)


Sindrom ini timbul terutama pada pasien dengan DM tipe 2 atau jenis
lain. Pada pasien dengan sindroma ini maka hiperglikemia berat dan
dehidrasi dapat timbul tanpa disertai ketoasidosis. SHHNK dpat terjadi
sebagai gejala sisa terhadap stress berat dan dapat terjadi setelah
“stroke” atau pemasukan hidrat arang yang berlebihan. Patogenesis
SHHNK biasanya meliputi gangguan ekskresi glukosa oleh ginjal jadi
pada umumnya didahulukan oleh insufisiensi ginjal azotemia prerenal.
Karena kebutuhan insulin dasar tidak terganggu maka tidak terjadi
produksi keton yang berlebihan (Anonim, 1995).
2. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik dari diabetes melitus dapat menyerang semua sistem
organ tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lazim digunakan
adalah penyakit makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis.
a. Komplikasi Makrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar sering terjadi
pada diabetes. Perubahan aterosklerotik ini serupa degan pasien-
pasien non diabetik, kecuali dalam hal bahwa perubahan tersebut
cenderung terjadi pada usia yang lebih muda dengan frekuensi yang
lebih besar pada pasien-pasien diabetes. Berbagai tipe penyakit
makrovaskuler dapat terjadi tergantung pada lokasi lesi
aterosklerotik.Aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah arteri
koroner, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner.
Sedangkan aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah serebral,
akan menyebabkan stroke infark dengan jenis TIA (Transient Ischemic
Attack). Selain itu aterosklerotik yang terjadi pada pembuluh darah
besar ekstremitas bawah, akan menyebabkan penyakit okluisif arteri
perifer atau penyakit vaskuler perifer.
b. Komplikasi Mikrovaskuler
1) Retinopatik Diabetik
Disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil
pada retina mata, bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh
darah dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena yang
kecil, arteriol, venula dan kapiler.
2) Nefropatik Diabetik
Bila kadar gluoksa darah meninggi maka mekanisme filtrasi ginjal
akan mengalami stress yang mengakibatkan kebocoran protein
darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya tekanan dalam pembuluh
darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut diperkirakan
berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati.
3) Neuropati Deabitikum
Neuropati adalah komplikasi kronik yang paling umum pada
diabetes mellitus lanjut usia. Mekanisme yang mendasari
perkembangan neuropati adalah hiperglikemia yang disebabkan
metabolik yang jalur polyol dari saraf tepi (Prabhu, 2009)
F. Penatalaksanaan Terapi
1. Terapi Non Farmakologi
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini
pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara
lain : menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid,
meningkatkan sensitivitas resseptor insulin, memperbaiki system
koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk
mencapai dan mempertahankan :
a. Kadar glukosa darah mendekati normal
1) Glukosa puasa berkisar 90 – 130 mg/dl
2) Glukosa daarah 2 jam setelah makan 180 mg/dl
3) Kadar Hb AIC < 7 %
b. Tekanan darah 130<80 mmHg
c. Profil Ipid
1) Kolesterol LDL < 100 mg/dl
2) Kolesterol HDL > 40 mg/dl
3) Trigliserida < 150 mg/dl
d. Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih
difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya
hidup dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain
yang perlu diberikan prioritas. Beberapa faktor yang harus diperhatikan
sebelum melakukan perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi
badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik, dan
faktor usia (Soebardi, 2006).
2. Terapi Farmakologi
a. Insulin
Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak
berbeda dengan pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari
monoterapi untuk terapi kombinasi yang digunakan dalam
mempertahankan kontrol glikemik. Apabila terapi kombinasi oral gagal
dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti menjadi insulin
setiap harinya. Meskipun aturan pengobatan insulin pada pasien lanjut
usia tidak berbeda dengan pasien dewasa, prevalensi lebih tinggi dari
faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipoglikemia yang dapat
menjadi masalah bagi penderita diabetes pasien lanjut usia. Alat yang
digunakan untuk menentukan dosis insulin yang tepat yaitu dengan
menggunakan jarum suntik insulin premixed atau predrawn yang dapat
digunakan dalam terapi insulin. 16 Lama kerja insulin beragam antar
individu sehingga diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien. Oleh
karena itu, jenis insulin dan frekuensi penyuntikannya ditentukan
secara individual. Umumnya pasien diabetes melitus memerlukan
insulin kerja sedang pada awalnya, kemudian ditambahkan insulin
kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Namun,
karena tidak mudah bagi pasien untuk mencampurnya sendiri, maka
tersedia campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin
kerja sedang (Anonim, 2000).
Jika dimulai dengan pemberian insulin kerja panjang (NPH)
bukan Insulin long acting/ Glargine 10 U sebelum tidur •5 U pada
keadaan yang dikhawatirkan terjadi hipoglikemia. •15 U pada pasien
DM tipe 2, obesitas, infeksi, luka terbuka, dalam terapi steroid, pasca
CABG Insulin Short/ Rapid acting 0,1 U/kg tiap makan Sesuaikan atau
berikan setelah makan pada pola makan yang tidak teratur Periksa
glukosa saat makan dan sebelum makan-insulin tambahan 200-299
mg/dl Tambah insulin rapid acting 0,075 U/kgBB >300 mg/dl Tambah
insulin rapid acting 0,1 U/kgBB Sesuaikan dosis glargine untuk
mempertahankan glukosa darah puasa 80- 110 mg/dl Jika tercapai
sesuaikan insulin rapid acting untuk mencapai kadar glukosa darah
sebelum makan dan sebelum tidur 120-200mg/dl 17 glargine/detemir,
maka dosis yang diberikan 0,25 U/kgBB NPH saat makan pagi dan
sebelum tidur (0,15 U/kgBB bila takut terjadi hipoglikemia ; 0,35 U/kg
untuk kondisi dengan peningkatan kebutuhan insulin basal). Selain itu,
tetap diberikan 0,1 U/kgBB rapid acting insulin sebelum makan. Insulin
analog kerja panjang digunakan 2-4 kali sehari. Sementara itu,
kebutuhan insulin prandial dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat
(insulin regular atau rapid acting insulin analog). Insulin tersebut
diberikan sebelum makan atau setelah makan (hanya untuk
penggunaan rapid acting insulin analog)
Idealnya insulin digunakan sesuai dengan keadaan fisiologis
tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga
kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun
demikian, terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai
dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati
kebutuhan fisiologis (Anonim, 2009)

b. Obat Antidiabetik Oral


1) Sulnonilurea
Pada pasien lanjut usia lebih dianjurkan menggunakan OAD
generasi kedua yaitu glipizid dan gliburid sebab resorbsi lebih
cepat, karena adanya non ionic-binding dengan albumin sehingga
resiko interaksi obat berkurang demikian juga resiko hiponatremi
dan hipoglikemia lebih rendah. Dosis dimulai dengan dosis rendah.
Glipizid lebih dianjurkan karena metabolitnya tidak aktif sedangkan
metabolit gliburid bersifat aktif (Djokomoeljanto, 1999). Glipizide
dan gliklazid memiliki sistem kerja metabolit yang lebih pendek atau
metabolit tidak aktif yang lebih sesuai digunakan pada pasien
diabetes geriatri. Generasi terbaru sulfoniluera ini selain
merangsang pelepasan insulin dari fungsi sel beta pankreas juga
memiliki tambahan efek ekstrapankreatik (Chau dan Edelman,
2001)
2) Golongan Biguadid
Metformin pada pasien lanjut usia tidak menyebabkan
hipoglekimia jika digunakan tanpa obat lain, namun harus
digunakan secara hati-hati pada pasien lanjut usia karena dapat
menyebabkan anorexia dan kehilangan berat badan. Pasien lanjut
usia harus memeriksakan kreatinin terlebih dahulu. Serum kretinin
yang rendah disebakan karena massa otot yang rendah pada
orangtua. Metformin tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin
3) Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose
Obat ini merupakan obat oral yang menghambat
alfaglukosidase, suatu enzim pada lapisan sel usus, yang
mempengaruhi digesti sukrosa dan karbohidrat kompleks.
Sehingga mengurangi absorb karbohidrat dan menghasilkan
penurunan peningkatan glukosa postprandial (Soegondo, 1995).
Walaupun kurang efektif dibandingkan golongan obat yang lain,
obat tersebut dapat dipertimbangkan pada pasien lanjut usia yang
mengalami diabetes ringan. Efek samping gastrointestinal dapat
membatasi terapi tetapi juga bermanfaat bagi mereka yang
menderita sembelit. Fungsi hati akan terganggu pada dosis tinggi,
tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah klinis (Chau dan
Edelman, 2001).
4) Thiazolidinediones
Thiazolidinediones memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik
dan dapat meningkatkan efek insulin dengan mengaktifkan PPAR
alpha reseptor. Rosiglitazone telah terbukti aman dan efektif untuk
pasien lanjut usia dan tidak menyebabkan hipoglekimia. Namun,
harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung.
Thiazolidinediones adalah obat yang relatif mahal tetapi obat
tersebut sangat berguna bagi pasien lanjut usia (Chau dan
Edelman, 2001).  
5) Glinid
Repaglinide (Prandin) adalah obat oral glukosa baru yang dapat
digunakan dalam penggunaan monoterapi atau kombinasi dengan
metformin untuk diabetes tipe 2. Serupa dengan sulfonilurea utama
yaitu dapat meningkatkan sekresi insulin pankreas tapi sistem
kerjanya terpisah pada sel β pancreas dan memiliki sistem kerja
lebih pendek, dan lebih cepat bereaksi daripada golongan
sulfonilurea. Seperti sulfonilurea, repaglinide dapat menyebabkan
hipoglikemia yang serius dan berhubungan dengan kadar insulin
yang meningkat dan juga berat badan. Tetapi obat ini bermanfaat
bagi pasien lanjut usia dengan pola makan yang tidak teratur atau
mereka yang rentan terhadap hipoglikemia.
Megtilinida harus diminun cepat sebelum makan dan karena
resorpsinya cepat, maka mencapai kadar puncak dalam 1 jam.
Insulin yang dilepaskan menurunkan glukosa darah secukupnya.
Ekskresinya juga cepat sekali, dalam waktu 1 jam sudah
dikeluarkan tubuh (Tjay dan Raharja, 2007).
c. Penggunaan Obat Rasional
Penggunaan obat dikatakan rasional jika tepat secara medik dan
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Masing-masing
persyaratan mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda. Sebagai
contoh, kekeliruan dalam menegakkan diagnosis akan memberi
konsekuensi berupa kekeliruan dalam menentukan jenis pengobatan
(Anonim, 2006).
Dalam konteks biomedis mencakup kriteria berikut :
1) Obat yang benar
2) Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran, keamanan,
kecocokan bagi pasien dan harga.
3) Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan pada
pertimbangan medis yang tepat.
4) Dosis pemberian, dan durasi pengobatan yang tepat.
5) Pasien yang tepat, yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan
reaksi merugikan adalah minimal.
6) Dispensing yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi pasien
tentang obat yang ditulis
7) Kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
d. Ketepatan Pemilihan Obat
Agar tercapai pengobatan yang efektif, aman, dan ekonomis maka
harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :
1) Indikasi tepat
2) Penilaian kondisi tepat
3) Pemilihan obat tepat
4) Dosis dan cara pemberian obat secara tepat
5) Informasi untuk pasien secara tepat
6) Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat.
BAB III

GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR NYAMAN (NYERI)


A. Pengkajian
1. Riwayat keperawatan Sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi Keadaan Umum pasien yang
terdiri atas tingkat kesadaran, apakah pasien tampak lemah, gelisah
ataupun kelelahan. Pengkajian dilakukan dengan mengidentifikasi
keluahan utama pasien. Pada pasien yang mengalami nyeri biasanya
dapat ditandai dengan ekspresi wajah yang tampak kesakitan atau
meringis,pucat, tampak menahan kesakitan.ataupun mengerutkan alis.
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital, hasil yang biasa didapatkan berupa
peningkatan frekuensi pernapasan, dilatasi pupil, dilatasi saluran
bronkiolus dan penurunan mobiltas cerna
2. Pemeriksaan fisik (Data Fokus)
a. Lokasi
Pengkajian lokasi nyeri mencakup 2 dimensi :
1) Tingkat nyeri, nyeri dalam atau superficial
2) Posisi atau lokasi nyeri

Nyeri superfisial biasanya dapat secara akurat ditunjukkan oleh klien,


sedangkan nyeri yang timbul dari bagian dalam (visceral) lebih
dirasakan secara umum. Nyeri dapat pula dijelaskan menjadi empat
kategori yang berhubungan dengan lokasi:
1) Nyeri terlokalisir : nyeri dapat jelas terlihat pada area asalnya
2) Nyeri Terproyeksi : nyeri sepanjang saraf atau serabut saraf
spesifik
3) Nyeri Radiasi : penyebaran nyeri sepanjang area asal yang tidak
dapat dilokalisasi
4) Reffered Pain (Nyeri alih) : nyeri dipersepsikan pada area yang
jauh dari
b. Intensitas
Nyeri dapat berupa ringan, sedang, berat atau tak tertahankan.
Perubahan dari intensitas nyeri dapat menandakan adanya perubahan
kondisi patologis dari pasien
c. Waktu dan Lama (Time & Duration)
Perawat perlu mengetahui/mencatat kapan nyeri mulai timbul, berapa
lama, bagaimana timbulnya, interval tanpa nyeri dan kapan nyeri
terakhir timbul.
d. Kualitas
Deskripsi menolong orang mengkomunikasikan kualitas dari nyeri.
Anjurkan pasien menggunakan bahasa yang dia ketahui: nyeri kepala
mungkin dikatakan “ada yang membentur kepalanya”, nyeri abdominal
dikatakan “seperti teriris pisau”
e. Skala Nyeri
Beberapa contoh alat pengukur nyeri :
1) Anak-anak
2) Dewasa
Skala intensitas nyeri deskriptif

Skala Identitas Nyeri Numerik

f. Perilaku Nonverbal
Beberapa perilaku nonverbal yang dapat kita amati antara lain :
ekspresi wajah, gemeretak gigi, menggigit bibir bawah dan lain-lain
G. Faktor Prepitasi
Beberapa faktor presipitasi yang akan meningkatkan nyeri : lingkungan,
suhu ekstrim, kegiatan yang tiba-tiba, stressor fisik dan emosi.

B. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul (SDKI,2017)


1. Nyeri Kronik
a. Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan yang
berlangsung lebih dari 3 bulan
b. Penyebab
1) kondisi musculoskeletal kronis
2) Kerusakan system saraf
3) Penekanan saraf
4) Gangguan fungsi metabolic
5) Riwayat posisi berkerja statis
6) Tenanan emosional
7) Riwayat penganiyayan
8) Riwayat penyalagunaan obat
9) Gangguan imunitas

c. Gejala dan Tanda Mayor


Subjektif
1) Mengeluh sulit nyeri
2) Merasa depresi
Objektif
1) Tampak meringis
2) Gelisah
3) Tidak mampu menuntaskan aktifitas
d. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
1) Merasa takut mengalami cedera berulang
Objektif
1) Bersikap protektif
2) Waspada
3) Pola tidur berubah
4) Anoreksia
5) Focus menyempit
6) Berfkus pada diri sendiri
e. Kondisi Klinis Terkait
1) Kondisi kronis
2) Infeksi
3) Cedera medulla spinalis
4) Kondisi pasca trauma
5) Tumor
2. Nyeri Akut
a. Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak
atau lambar dan berintraksi ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan
b. Penyebab
1) Agen pencedera fisiologis ( mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
2) Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
3) Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan)
c. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
Mengeluh Nyeri
Objektif
1) Tampak meringis
2) Bersikap protektif (mis. Posisi menghindari nyeri)
3) Gelisah
4) Frekuensi nadi meningkat
5) Sulit tidur
d. Gejala dan tanda Minor
Subjektif
Tidak tersedia
Objektif
1) Tekanan darah meningkat
2) Pola napas berubah
3) Nafsu makan berubah
4) Proses berfikir terganggu
5) Menarik diri
6) Berfokus pada diri sendiri
7) Diaphoresis

e. Kondisi klinis terkait


1) Kondisi pembedahan
2) Cedera traumatis
3) Infksi
4) Sindrom korener akut
5) Glaucoma
3. Gangguan Mobilitas Fisik
a. Definisi
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih Ekstremitas
secara Mandiri
b. Penyebab
1) Kerusakan intergritas struktur tulang
2) Perubahan metabolism
3) Ketidakbugaran fisik
4) Penurunan kendali otot
5) Penurunan kekuatan otot
6) Keterlambatan perkembangan
7) Kekakuan sendi
8) Kontraktur
9) Malnutrisi
10)Gangguan muskuloskeletal
11)Gangguan neuromuscular
12)Efek agen farmakologis
13)Program pembatasan gerak
14)Nyeri
15)Kecemasan
16)Keengganagn kelakukan pergerakan
17)Kurang terpapar informasi tentang aktivtas fisik

c. Gejala dan Tanda Mayor


Subjektif
1) Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Objektif
1) Kekuatan otot menurun
2) Rentang Gerak (ROM) Menurun)
d. Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
1) Nyeri saat bergerak
2) Enggan melakukan pergerakan
3) Merasa cemas saat bergerak
Objektif
1) Sendi Kaku
2) Gerakan tidak terkoordinasi
3) Gerakan terbatas
4) Fisik Lemah
e. Kondisi Klinis Terkait
1) Stroke
2) Cedera medulla spinalis
3) Trauma
4) Fraktur
5) Osteoarthritis
6) Ostemalasia
7) Keganasan
C. Perencanaan (SIKI, 2018 ; SLKI, 2019)
1. Nyeri Akut dan Nyeri Kronik
Manajemen Nyeri
a. Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan
Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional
dengan onset mendadak atau lambar dan berintraksi ringan hingga
berat
Kriteria Hasil
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak
atau lambar dan berintraksi ringan hingga berat dan konstan dapat
menurut dengan kriteria hasil:
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis dapat menurun
3) Gelisah dapat menurun
4) Sikap protektif dapat menurun
5) Kesulitan tidur menurun
b. Intervensi keperawatan dan rasional
1) Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
intensitas nyeri
Rasional : mengetahui lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan intensitas nyeri dari pasien
b) Identifikasi skala nyeri
Rasional : mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan pasien
c) Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
Rasional : mengetahaui hal-hal yang dapat memperberat
ataupun memperingan nyeri yang dirasakan pasien
d) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
13 seberapa besar rasa nyeri mempengarui
Rasional : mengetahui
kualitas hidup pasien
2) Terapeutik
a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. Terapi pijat, kompres hangat/dingin, hypnosis, relaksasi
napas dalam)
Rasional : mengurangi tingkat nyeri pasien/ mengalihkan
pasien dari rasa nyerinya
b) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
Rasional : mengurangi resiko factor yang dapat memperberat
nyeri/menimbulkan nyeri
c) Fasilitasi isterahat dan tidur
Rasional : mengalihkan dan memenuhi kebutuhan istrahat
pasien
3) Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
Rasional : memberikan informasi terkait nyeri yang dirasakan
pasien
b) Jelaskan strategi mengatasi nyeri
Rasional : membantu pasien mengatasi saat rasa nyeri muncul
c) Anjurkan untuk memonitor nyeri secara mandiri
Rasional : pasien dapat mengetahui sendiri karakteristik,
penyebak, lokasi saat nyeri muncul
d) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Rasional : memudahkan pasien untuk mengotrol nyeri dengan
cara sederhana
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Rasional : mengurangi/ menghilangkan rasa nyeri yang
dirasakan pasien

2. Gangguan Mobilitas Fisik


Dukungan Mobilisasi
a. Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan
Menfasilitasi pasien untuk mingkatkan aktivitas pergerakan fisik
Kriteria Hasil
Kemampuan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dapat meningkat dengan kriteria hasil:
1) Pergerakan ekstremitas meningkat
2) Kekuatas otot meningkat
3) Rentang gerak meningkat
b. Intervensi keperawatan dan rasional
1) Observasi
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluahan fisik lainnya
Rasional : mengetahui keluhan lain pasien dan rencana tidakan
berikutnya yang dapat dilakukan
b) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Rasional : mengetahui kemampuan dan batasan pasien terkait
latiahan/gerak yang akan dilakukan berikutnya
c) Monitor frekuensi dan tekanan darah sebelum dan memulai
mobilasis
Rasional : mengetahui adanya perubahan status kerja frekuensi
dan tekanan darah pasien
d) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Rasional: mengetahui kondisi terkini pasien dan perubahan yang
dapat terjadi selama melakukan mobilisasi
2) Terapeutik
a) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis. Berpegang
pada pagar tempat tidur)
Rasional : memberikan bantuan kepada pasien saat akan
melakukan mobilisasi dan mengurangi resiko jatuh/ sakit saat
berpindah
b) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
Rasional : meningkatkan status mobilitas fisik pasien
c) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Rasional : keluarga dapat secara mandiri membantu pasien
melakukan latihan pergerakan
3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan Prosedur Tindakan
Rasional : memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
terkait tindakan yang akan diberikan
b) Anjurkan mobilisasi dini
Rasional : untuk mengurangi resiko kekakuan dan kelemahan
otot yang berkepanjangan
c) Ajarkan mobilisasi sederhana yang dapat dilakukan (mis. Duduk
ditempat tidur, duduk disisi tempat tidur)
Rasional : melatih kekuatan otot dan pergerakan pasien agar
tidak terjadi kekakuan otot maupun sendi.
Penyimpangan KDM
Kurang Pengetahuan
Luka Traumatik Perawatan tidak maksimal

Nekrosis Jaringan

Amputasi
Gangguan Citra Tubuh

Terputusnya
Hilangnya Organ Kontinuitas otot dan Luka Pasca Amputasi
saraf

Saraf Terputus

Nyeri
Transmisi
Implus sensorik dari Nosiseptor melepas bahan
ujung saraf menuju kimia dan merangsang
medulla spinalis ujung saraf
Gangguan Mobilitas
(Bradikini, prostaglandin,
Fisik
substansi P)
Persepsi nyeri di
hipothalamus
Nyeri

Gangguan DAFTAR
Pola Tidur PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi.2008.Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep Aplikasi Kebutuhan Dasar


Klien.Jakarta : Salemba Medika.
Herlman, T. Heather.2012.  NANDA International Diagnosis Keperawatan : Definisi
dan  Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC.
Herlman, T. Heather, dkk.2015. NANDA International Diagnosis Keperawatan :
Definisi dan  Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.
Aziz.2006.Nursing Interventions Classification (NIC). Solo: Mosby An Affiliate Of
Elsefer.
Wartonah. 2006.Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.

Muhammad,Wahit Iqbal dkk. 2009.Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta :


EGC

Tarwoto. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta:


Salemba Medik

Anda mungkin juga menyukai