1.1 Makroskopik
a. Hidung
Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembaban udara
(humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra pencium, dan
resonator suara.
Ada 2 bagian dari hidung, yaitu :
Eksternal : menonjol dr wajah disangga oleh os.nasi dan tulang rawan
cartilago
Internal : permukaan yang bermukosa berupa rongga ( vestibulum nasi) yang
disekat oleh septum nasi.
Vestibulum nasi terdapat cilia yang fungsinya untuk menyaring udara. Bagian rongga
hidung yg berbentuk trowongan ( cavum nasi) , dimulai dari lubang hidung depan ( nares
anterior) sampai lubang hidung belakang ( nares posterior) yang mempunya 3 concha
nasalis, yaitu :
Concha nasalis superior
Concha nasalis media
Concha nasalis inferior
Ada 4 buah sinus yang berhubungan dengan cavum nasi :
Sinus maxillaris
Sinus ethmoidalis
Sinus frontalis
Sinus spenoidalis
b. Faring
Faring merupakan pipa berotot
berbentuk cerobong yang letaknya
bermula dari dasar tengkorak
sampai persambungannya dengan
esofagus pada ketinggian tulang
rawan (kabrtilago) krikoid. Faring
digunakan pada saat ‘digestion’
(menelan) seperti pada saat
bernapas.
Berdasarkan letaknya faring dibagi
menjadi tiga yaitu :
c. Laring
Fungsi utama laring adalah untuk pembentukan suara, sebagai proteksi jalan napas
bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya
batuk.
Laring terdiri atas:
1. Epiglotis; katup kartilago yang menutup dan
membuka selama menelan.
2. Glotis; lubang antara pita suara dan laring.
3. Kartilago tiroid; kartilago yang terbesar pada
trakhea, terdapat bagian yang membentuk jakun.
4. Kartilago krikoid; cincin kartilago yang
utuh di laring (terletak di bawah kartilago
tiroid).
5. Kartilago aritenoid; digunakan pada
pergerakan pita suara bersama dengan kartilago
tiroid.
6. Pita suara; sebuah ligamen yang
dikontrol oleh pergerakan otot yang
menghasilkan suara dan menempel pada lumen
laring.
Os hyoid
Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk perlekatan otot mulut
dan cartilago thyroid
Cartilago thyroid
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut promines’s laryngis atau
lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
Mempunyai cornu superior dan inferior. Pendarahan dari a. Thyroidea superior dan inferior.
Cartilago arytenoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan cuneiforme.
Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
Epiglotis
Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid. Berfungsi untuk
membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan epiglotis menutup aditus laryngis
supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid
Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid dengan
ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral
Dalam cavum laryngis terdapat :
Plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah pita suara palsu. Antara
plica vocalis kiri dan kanan terdapat rima glottidis sedangkan antara plica vestibularis
terdapat rima vestibuli. Persyarafan daerah laring adalah serabut nervus vagus dengan
cabang ke laring sebagai n.laryngis superior dan n. recurrent.
1.2 Mikroskopik
Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk mengabsorbsi O2 dan
mengeluarkan CO2 dalam tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis.
Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem pernapasan dimulai dari rongga hidung/mulut
hingga ke alveolus, di mana pada alveolus terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida
dengan pembuluh darah.
Bagian konduksi: meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
bronkiolus terminalis
Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares
terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan
epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi
dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada
masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi,
sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi
menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel
sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan
epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps
dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada
lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel
olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa,
konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk
mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.
Sinus paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid,
semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh
epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina
propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan
periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.
Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole,
sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria
laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah
masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis
merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan
laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan
permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah
epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen laring:
pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel
respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang
terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis
(otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi
yang berbeda-beda.
Gambar: Epitel Laring
(sumber: Leeson CR, Leeson TS, Paparo AA (1996). Buku Ajar Histologi. Edisi 5. Jakarta: EGC)
Fase 1 (Inspirasi)
Paru2 memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita suara menutup, sehingga
udara terjerat dalam paru2
Fase 2 (Kompresi)
Otot perut berkontraksi, diafragma naik dan menekan paru2, diikuti pula dengan kontraksi
intercosta internus. Pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada paru2 meningkat
hingga 100mm/hg.
Fase 3 (Ekspirasi)
Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari paru
MEKANISME BERSIN
Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini berlangsung pada saluran
hidung, bukan pada saluran pernapasan bagian bawah. Rangsangan awal menimbulkan
refleks bersin adalah iritasi dalam saluran hidung, impuls saraf aferen berjalan dalam nervus
ke lima menuju medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian reaksi yang mirip
dengan refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara dengan cepat
melalui hidung, dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung dari benda
asing
LI 3 : MM RHINITIS ALERGI
3.1 Definisi
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin - bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE
3.2 Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran
penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi. Apabila
kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %.
Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara
pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari,
dan lain-lain. Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang
diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
Immediate Phase Allergic Reaction, Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam
setelahnya Late Phase Allergic Reaction, Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat
jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.
3.3 Klasifikasi
Menurut guideline dari ARIA, 2001 (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
disdasarkan pada waktu terjadinya gejala dan keparahannya adalah:
1. Rhinitis intermiten : ketika total durasi episode peradangan kurang dari 6 minggu
3. Rhinitis ringan : ketika pasien umumnya bisa tidur normal dan melakukan kegiatan
yang normal (termasuk kerja atau sekolah ) ; gejala ringan biasanya bersifat intermiten.
3.4 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari:
1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier
3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
(Price, silvya A. 1995. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit edisi 4, jakarta :
EGC. )
2) Berdasarkan gejala yang menonjol, dibedakan atas golongan yang obstruksi dan rinorea.
Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukkan gambaran klasik berupa edema mukosa
hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, dapat pula pucat. Permukaanya dapat
licin atau berbenjol. Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit, namun
pada golongan rinorea, sekret yang ditemukan biasanya serosa dan dalam jumlah banyak.
3) Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya
bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika
berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4) Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
6) Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.
7) Keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau, krusta hijau, gangguan
penciuman, sakit kepala, dan hidung tersumbat.
8) Pada penderita THT ditemukan ronnga hidung sangat lapang, kinka inferiordan media
hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta berwarna hijau
Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada pagi hari dan
karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik dan perlu dicurigai adanya
rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase cepat.Gejala lain berupa keluarnya ingus
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, mata gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak
sering gejala tidak khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat.
1.Allergic salute: adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan tangannya karenagatal.
2.Allergic crease: adalah alur yang melintang di sepertiga bawah dorsum nasiakibat sering
menggosok hidung
3.Allergic shiner: adalah bayangan gelap di bawahmata yang terjadi akibat stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung.
4."Bunny rabbit" sound: adalah suara yang dihasilkan karena lidah menggosok palatum yang
gatal dangerakannya seperti kelinci mengunyah
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan dugaan rhinitis alergi harus mencakup penilaian tanda-
tanda luar, hidung , telinga , sinus , posterior orofaring( daerah tenggorokan yang berada di
bagian belakang mulut ) , dada dan kulit.
Tanda-tanda lahiriah yang mungkin sugestif dari rhinitis alergi meliputi : Sering
bernapas melalui mulut , menggosok-gosok hidung atau terlihat jelas lipatan nasal
melintang , sering pilek atau kliring tenggorokan , dan alergi shiners ( lingkaran hitam
di bawah mata yang disebabkan oleh hidung tersumbat ) .
pemeriksaan hidung : biasanya mengungkapkan pembengkakan mukosa hidung dan
pucat , sekresi tipis. Pemeriksaan hidung dengan endoskopi internal juga harus
dipertimbangkan untuk menilai kelainan struktural dan polip hidung.
Telinga umumnya tampak normal pada pasien dengan rhinitis alergi , namun ,
penilaian untuk disfungsi tuba Eustachian menggunakan otoscope pneumatik harus
dipertimbangkan. Manuver Valsava itu ( meningkatkan tekanan dalam rongga hidung
dengan mencoba untuk meniup melalui hidung sambil menutup telinga dan mulut )
juga dapat digunakan untuk menilain cairan di belakang gendang telinga.
Pemeriksaan sinus harus mencakup palpasi sinus bukti kelembutan atau penyadapan
dari gigi rahang atas dengan lidah depressor untuk bukti sensitivitas . Posterior
orofaring juga harus diperiksa untuk tanda-tanda pasca nasal drip ( akumulasi lender
di belakang hidung dan tenggorokan ) , dan dada serta kulit harus diperiksa dengan
hati-hati untuk tanda-tanda asma ( misalnya , mengi ) atau dermatitis.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent
Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,
2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000).
(Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan Makalah
Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi)
DIAGNOSIS BANDING
1) Rhinitis vasomotor : suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan obat.
2) Rhinitis medikamentosa : suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu lama
dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
3) Rhinitis simpleks : penyakit yang diakibatkan oleh virus. Biasanya adalah rhinovirus.
Sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau
menurunnya daya tahan tubuh.
4) Rhinitis hipertrofi : hipertrofi chonca karena proses inflamasi kronis yang disebabkan
oleh bakteri primer atau sekunder.
5) Rhinitis atrofi : infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa
dan tulang chonca.
3.7 Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologi
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga
lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya
melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1
jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang
efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan
membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan
oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)
juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi
kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya
sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak
dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis
terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan
kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat
ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal
terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak
dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun
belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung
jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa
dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis
alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
b. Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon,
prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi
dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian
kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik
mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis
alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat
intranasal dan inhalasi.
Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator termasuk histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang
dirangsang antigen melewati membran sel mast.
c. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
3.8 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-
sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia
epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein
basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham,
2006).
3.9 Prognosis
Prognosis baik apabila penderita tidak terpajan dengan alergen dan belum terjadi
komplikasi serta tidak memiliki predisposisi seperti asma dan riwayat keluarga
3.10 pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari alergen. Ada 3
tipe pencegahan :
Mencegah terjadinya tahap sensitasi : menghindari paparan terhadap alergen
inhalan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan makana padat.
Mencegah gejala yang timbul dengan cara terapi medikamentosa
Pencegahan melalui edukasi
3.11 Epidemiologi
Rinitis tersebar di seluruh dunia, baik bersifat endemis maupun muncul sebagai KLB. Di
daerah beriklim sedang, insidensi penyakit ini meningkat di musim gugur, musim dingin, dan
musim semi. Di daerah tropis, insidensi penyakit tinggi pada musim hujan. Sebagian besar
orang, kecuali mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah penduduk sedikit dan terisolasi,
bisa terserang satu hingga 6 kali setiap tahunnya. Insidensi penyakit tinggi pada anak-anak
di bawah 5 tahun dan akan menurun secara bertahap sesuai dengan bertambahnya umur.
Rinitis merupakan salah satu penyakit paling umum yang terdapat di amerika Serikat,
mempengaruhi lebih dari 50 juta orang. Keadaan ini sering berhubungan dengan kelainan
pernapasan lainnya, seperti asma. Rhinitis memberikan pengaruh yang signifikan pada
kualitas hidup. Pada beberapa kasus, dapat menyebabkan kondisi lainnya seperti masalah
pada sinus, masalah pada telinga, gangguan tidur, dan gangguan untuk belajar. Pada pasien
dengan asma, rinitis yg tidak terkontrol dapat memperburuk kondisi asmanya.
Karena rinitis alergik ditimbulkan oleh tepung sari atau kapang (mold) yang terbawa angin,
keadaan ini dditandai oleh insiden musiman di Negara empat musim :
· Setiap tahunya, serangan dimulai dan berakhir pada waktu yang kurang-lebih sama.
Spora kapang yang hangat dan lembab. Meskipun pola musiman yang kaku tidak
terdapat, spora ini muncul pada awal musim semi, bertambah banyak selama musim
panas dan berkurang serta menghilang menjelang turunnya salju yang pertama