Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

NAMA DOSEN:

Lusiana Wulansari, S.P, Mpd.

DISUSUN OLEH:

Kelompok 8

Annisa Dwi Rahmayanti 201901500557

Safitri Ramadhani 201901500565

Alviany Sudrajat 201901500591

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala nikmat dan
karunia-Nya kita dapat menyelesikan makalah ini sesuai dengan apa yang kami harapkan.

Adapun maksud dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi apa yang menjadi tugas
kami sebagai mahasiswa dalam mata kuliah Filsafat Ilmu yang membahas tentang “Pengetahuan dan
Kriteria Kebenaran.”

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Lusiana Wulansari, S.P, Mpd. selaku dosen pengampu
mata kuliah Filsafat Ilmu pada semester ke-2 ini yang telah memberikan amanah pembuatan makalah
ini kepada kami dan juga teman-teman kelas R2F yang selalu mendukung kami dalam proses
pembuatan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami pribadi dan
pembaca. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan pengetahuan kami
tentang Persepsi Sosial.

Tentu kami juga manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, oleh karena itu atas
segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini kami mohon maaf sebesar-besarnya. Selamat
membaca, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya mahasiswa Program
Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan sosial Universitas
Indraprasta PGRI.

Jakarta, 4 April 2020

Kelompok 8
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2

BAB I..........................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................................4

BAB II....................................................................................................................................................5

PEMBAHASAN.....................................................................................................................................5

A. Definisi Hakikat Pengetahuan......................................................................................................5

B. Sumber Pengetahuan.....................................................................................................................6

C. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya...................................................................................8

D. Kriteria kebenaran......................................................................................................................10

BAB III.................................................................................................................................................12

PENUTUP............................................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah jenis makhluk yang memiliki potensi luar biasa dari bekal akal yang ada
padanya. Dengan akal manusia secara terus menerus menjalani kehidupan secara dinamis,
terutama perkembangan mental atau psikis. Akal menunjukan perubahan positif (perkembangan
cara berpikir) seiring pertumbuhan usia manusia. Kapasitas berpikir akan semakin kompleks
ketika manusia hidup dan tumbuh di kehidupannya.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar dimana
sesuatu yang dianggap benar bagi sesorang belum tentu dianggap benar oleh orang lain. Oleh
karena itu, kegiatan berpikir adalah suatu usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu
atau kriteria kebenaran. Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan masyarakat
sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya, sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha berpegang pada suatu kebenaran.

Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran.
Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah
kebenaran secara epistemologi membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa ada tiga jenis
kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis.
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia.
Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat
segala sesuatu yang ada atau diadakan. Sedangkan kebenaran dalam arti semantis adalah
kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam makalah ini
penulis membatasi makna “kebenaran” pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hakikat Pengetahuan


Secara umum, hakikat diartikan sebagai sesuatu yang inti, yang sebanarnya, yang sejati,
yang tak dapat berubah pengertiannya tentang sesuatu. Secara etimologi pengetahuan berasal dari
kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa
definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Secara
terminologi dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Drs. Sidi Gazalba,
pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pengetahuan itu adalah semua
milik atau isi pikiran. Jadi, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui
manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Pengetahuan dalam arti luas berarti semua
kehadiran internasional objek dalam subjek. Namun dalam artian sempit pengetahuan hanya
berarti putusan yang benar dan pasti.
Pengetahuan memiliki makna yang lebih radikal. Namun, pengetahuan bukan hanya
penyatuan antara subjek dan objek, akan tetapi pengetahuan merupakan integrasi keduanya yang
bersifat mendalam. Artinya, pengetahuan adalah segenap pengetahuan kita tentang suatu objek
tertentu termasuk kedalamnya adalah ilmu dan dari pengetahuan itu kita bisa membuat sebuah
keputusan.
Orang sering menyebutkan secara bersama-sama antara ilmu dan pengetahuan sebagai satu
istilah. Ada yang berpendapat bahwa keduanya memiliki kaitan proses. Namun, ada juga yang
memisahkan dan membedakan pengertian antara keduanya. Mohammad Adib menyebutkan
beberapa diantaranya yaitu, seorang filsuf John F. Kemeny. Ia menggunakan ilmu dalam arti
semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah.
Bagi Charles Singer ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Sedangkan Harold H.
Titus mengatakan bahwa banyak orang telah mempergunakan ilmu untuk menyebut suatu
metode guna memperoleh pengetahuan yang obyektif dan dapat diperiksa kebenarannya.
Dalam filsafat Islam, hakikat pengetahuan memiliki pengertian tersendiri. Pada umumnya para
filsuf muslim hampir mirip dengan Fenomenalisme Kant. Mereka tidak mendewakan akal
ataupun inderawi, tetapi mengakui potensi dan eksistensi keduanya untuk mengetahui hakekat
tentang segala sesuatu termasuk pengetahuan. Para filsuf muslim masa skolastik mulai dari Al-
Kindi hingga Ibnu Rusyd atau yang lebih dikenal dengan Averoes memiliki pandangan bahwa
pengetahuan pada hakekatnya datang dari Allah. Adapun semua potensi yang ada pada manusia
baik akal, indera, hati, maupun jiwa sama-sama penting dan berperan serta secara bersama-sama
untuk menemukan hakekat tentang segala sesuatu. Pengetahuan yang diperoleh oleh akal, indera,
hati, dan jiwa kebenarannya bersifat subyektif dan sementara, oleh karenanya harus disesuaikan
dengan petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah.
Al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan petunjuk yang diberikan oleh Allah untuk
membimbing manusia menuju hakekat dan menemukan kebenaran. Karena keduanya berasal dari
Allah maka kebenaran dan pengetahuan yang tercakup di dalam keduanya merupakan
pengetahuan dan kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Untuk itulah pengetahuan yang
diperoleh oleh potensi manusia tersebut harus disesuaikan dengan petunjuk wahyu yang berupa
al-Qur’an dan as-Sunnah.

B. Sumber Pengetahuan
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya adalah dari mana pengetahuan
itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Persoalan yang muncul tentang bagaimana
proses terbentuknya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dapat diperoleh melalui cara
pendekatan apriori maupun aposteriori. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan apriori
adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa mengetahui proses pengalaman, baik pengalaman yang
bersumber pada panca indra maupun pengalaman batin atau jiwa. Sebaliknya, pengetahuan yang
diperoleh melalui pendekatan aposteriori adalah pengetahuan yang diperolehnya melalui
informasi dari orang lain atau pengalaman yang telah ada sebelumnya.
Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan
sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan,
antara lain:

1. Empirisme
Menurut aliran ini, manusia meperoleh pengetahuan melalui pengalamannya,
kebenaran pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-fakta yang ada dilapangan. Pengetahuan
manusia itu dapat diperoleh melalui pengalaman yang konkret karena gejala-gejala alamiah
yang terjadi dimuka bumi ini adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan melalui
pancaindra manusia.
Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yakni kesan-
kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kesan-
kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan
terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-
samar yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan
yang diterima dari pengalaman.
Berdasarkan teori ini, akal hanya megelola konsep gagasan inderawi. Sumber utama untuk
memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak
berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.

2. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan
yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui
kegiatan menangkap objek. Fungsi pancaindera hanya untuk memperoleh data-data dari alam
nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain. Dalam penyusunan
ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal.
Spinoza memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan menyusunn sistem rasionalisme
atas dasar ilmu ukur. Dalil ilmu ukur merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan
lagi. Contohnya “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat diantara dua titik”.
Kant menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh
indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal dengan melakukan penelitian yang lebih
mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus
menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen.

3. Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi.
Intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang
nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat
analisis, menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena
itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat
dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya
pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu
dalam menemukan kebenaran.
Bagi Nietzchen intuisi merupakan “intelegensi yang paling tinggi” dan bagi Maslow intuisi
merupakan “pengalaman puncak” (peak experience). Adapun perbedaan antara intuisi dalam
filsafat barat dengan makrifat dalam islam adalah kalau intuisi dalam filsafat barat diperoleh
lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam islam makifat diperoleh
lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan.

4. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat
perantara para Nabi. Para Nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa
bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan, mereka
terjadi atas kehendak Tuhan semesta.
Pengetahuan dengan jalan ini merupkan kekhususan para Nabi. Hal inilah yang membedakan
mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan
mereka berasal dari Tuhan, karena memang pengetahuan itu ada pada saat manusia biasa
tidak mampu mengusahakannya. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan
membenarkan semua yang berasal dari Nabi.
Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang
terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transendental. Kepercayaan
ini yang merupakan titik tolak dalam agama lewat pengkajian selanjutnya dapat menigkatkan
atau menurunkan kepercayaan itu.
Tingkat-Tingkat Kebenaran
Kebenaran yang dicari manusia dapat dicapai dengan berbagai cara. Di antara sekian banyak
sumber, rasio dan pengalaman inderawi merupakan sumber utama sekaligus ukuran
kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Sumber lain seperti yang dikatakan oleh Ansar Bahtiar
adalah iluminasi atau intuisi. Selain itu, agama dan dogma termasuk sumber kebenaran.
Karena keaneka ragaman sumber tersebut, maka kebenaran itu terbagi atas beberapa macam
tingkatan, tergantung dari segi mana orang berpijak untuk membaginya.

C. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya

Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan
bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Ada dua
pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi, dan kebenaran dalam arti
lawan dari keburukan (ketidakbenaran). Persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itu yang
disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui.
Benar adalah sesuatu yang apa adanya atau sesuai kenyataan yang ada, sebuah fakta tentang
realita berdasarkan data-data yang ada. Sedangkan “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu
kata benda yang kongkret maupun abstrak (Hamami dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM,
2010:135). Lebih lanjut Hamami mengatakan bahwa setiap subjek yang memiliki pengetahuan
akan memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda-beda satu dengan lainnya tentang
kebenaran, karena kebenaran tidak bisa dilepaskan dari makna yang dikandung dalam suatu
pernyataan atau statement (proposisi). Senada dengan Hamami, Louis Kattsoff (1996:178)
mengatakan “kebenaran” menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan (proposisi) sunggung-
sungguh merupakan halnya, bila proposisi bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan
bahwa proposisi itu sesat atau bila proposisi itu mengandung kontradiksi (bertentangan) maka
kita dapat mengatakan bahwa proposisi itu mustahil. Artinya kebenaran berkaitan erat dengan
kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai kebenaran itu sendiri. Adapun penjelasan
Hamami berkaitan dengan kebenaran adalah sebagai berikut:
Pertama, kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya kebenaran itu
dipengaruhi oleh jenis pengetahuan yang dimiliki oleh subjek. Jika subjek memiliki
pengetahuan biasa ataucommon sense knowledge, maka pengetahuan seperti ini akan
menghasilkan kebenaran yang bersifat subjektif, sangat tergantung pada subjek yang
melihat. Selanjutnya jika subjek memiliki pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang
sudah memiliki objek yang khas atau spesifik dengan pendekatan metodologis yang khas
pula, yaitu adanya kesepakatan diantara ahli yang ada. Maka kebenaran dalam konteks ini
bersifat relatif, yaitu akan selalu mendapatkan revisi atau perubahan jika ditemukan
kebanaran yang baru pada penelitian-penelitian yang akhir dan mendapat persetujuan
(agreement) dari konvensi ilmuan sejenis. Kemudian jenis pengetahuan pengetahuan
filsafati, yaitu melalui pendekatan filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh
dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran pengetahuan ini
bersifat absolut-intersubjektif. Artinya kebenaran ini merupakan pendapat yang selalu
melekat pada pandangan seorang filsafat itu dan selalu mendapat pembenaran dari filsuf
kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran sama. Jenis pengetahuan yang
terakhir adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam agama, yang memiliki
sifat dogmatis, artinya kebenaran dalam agama sudah tertentu dan sesuai ajaran agama
tertentu, kemudian di yakini sesuai dengan keyakinan subjek untuk memahaminya.
Kebenaran makna kandungan kitab suci berkembang secara dinamis sesuai dengan
perkembangan waktu, akan tetapi kandungan maksud ayat kitab suci tidak dapat dirubah
dan sifatnya absolut.

Kedua, kebanaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik tentang cara atau metode
apa yang digunakan subjek dalam membangun pengetahuannya itu. Apakah ia
membangun pengetahuannya dengan penginderaan atau sense experience, akal pikir,
ratio, intuisi, atau keyakinan. Dimana cara atau metode yang digunakan subjek akan
mempengaruhi karakteristik kebenaran, sehingga harus dibuktikan juga dengan metode
atau cara yang sama. Misalnya, jika subjek memperoleh kebenaran melalui sense
experiense, maka harus dibuktikan juga dengan sense experience, bukan dengan cara
yang berbeda, begitu pula dengan yang lainnya.

Ketiga, nilai kebenaran dikaitkan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan itu.


Artinya kebenaran ini berkaitan dengan relasi antara subjek dan objek. Manakala subjek
memiliki dominasi yang tinggi dalam membangun suatu kebenaran. Maka kebenaran itu
akan bersifat subjektif, artinya nilai kebenaran yang terkandung di dalam pengetahuan itu
sangat bergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau sebaliknya, jika
objek lebih berperan maka sifat pengetahuannya objektif, seperti ilmu alam.
tiga penafsiran utama tentang kebenaran menurut Sahakian dan Sahakian (1966:23)
adalah sebagai berikut:
1. Kebanaran sebagai sesuatu yang mutlak (absolut).
2. Kebenaran sebagai subjektivitas atau pendapat pribadi.
3. Kebenaran sebagai sesuatu yang mustahil dan sulit untuk di jangkau

Berdasarkan potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu dapat dibagi menjadi:
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama
yang dialami manusia.
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indera, diolah pula dengan rasio.
3. Tingkatan filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat kebenaran ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga
proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek
yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya
pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indera.

D. Kriteria kebenaran
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang
disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama, oleh karena itu kegiatan proses berpikir untuk
menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan
pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai criteria kebenaran dan criteria kebenaran ini
merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut.

Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran
mempunyai criteria kebenaran masing-masing. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran
mempunyai ciri-ciri tertentu:
a. Bepikir secara luas dapat pula disebut logika. Dalam hal ini, tiap bentuk penalaran
mempunyai logikanya sendiri. Dengan kata lain, bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu
proses berpikir logis yang diartikan sebagai suatu pola logika tertentu.
b. Analitik, penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu
analisis dan kerangka berpikir yang logis dan ilmiah.
c. Non analitik, cara berpikir ini tidak rnenyandarkan pada suatu pola pikir tertentu.
d. Dogmatis, ini adalah manifestasi dari keyakinan terhadap suatu agama dan diyakini
kebenarannya.
Kebenaran pengetahuan dalam pandangan Sains jelas berbeda dengan kebenaran
pengetahuan menurut filsafat dan Agama. Masing-masing memilki kriteria tersendiri. Sains
berobyek empiris berparadigma positivistis bernntode sains dan berukuran logis dan bukti
empiris. Filsafat berobyek abstrak logis, berparadigma logis, bermetode rasio dan berukuran
logis sementara Agama berobyeak abstrak supralogis atau metarasional, berparadigma mistis
bermetode latihan mistik atau riyadlah berukuran rasa yakin, kadang-kadang empiris.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pengetahuan merupakan sesuatu yang paling berharga bagi kehidupan manusia, dan dengan
pengetahuan yang kemudian dia bisa berpikir tentang alam ini, berpikir tentang kebenaran yang
selalu dicari, berpikir tentang kebesaran Tuhan melalui alam ciptannya ini, maka dia menjadi
makhluk yang paling berguna dan paling mulia dari pada makhluk yang lain.
Akan tetapi jika seorang manusia dengan obsesi pengetahuannya, yang kemudian akhirnya
merusak lingkungan, mengabaikan keharmonisan alam, hingga membunuh sesamanya, maka
dengan itu dia bisa menjadi makhluk yang paling mengerikan dan paling hina diantara makhluk
yang lain.
Dengan pengetahuan yang berorientasi pada pencarian kebenaran dengan berbagai kriteria
dan fersi yang telah dipaparkan diatas, maka hendaklah manusia bisa lebih arif dalam menyikapi
fenomena yang terjadi dengan berbagai perbedaan yang ada, bagaimana bisa mengakomodir
semua perbedaan tersebut menjadi suatu khazanah yang harmonis dan bersanding bersama untuk
berjalan bareng menuju kemajuan kehidupan bersama yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. XVI, Jakarta : Sinar
Harapan, 2003.

Anda mungkin juga menyukai