BAB I
KONSEP PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Konsep Kurikulum
Kata kurikulum muncul pertama pada kamus Webster pada tahun 1856,
yang digunakan dalam bidang olah raga, yang berarti jarak yang harus ditempuh
oleh pelari atau kereta mulai awal sampai akhir atau mulai start sampai finish.
Kemudian pada tahun 1955 kata kurikulum muncul dalam kamus tersebut, khusus
digunakan dalam bidang pendidikan yang artinya sejumlah mata pelajaran di
sekolah atau mata kuliah di perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk
mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah.1
Carter V. Good dalam Dictionary of Education, menyebutkan bahwa
kurikulum adalah sejumlah materi pelajaran yang harus ditempuh dalam suatu
mata pelajaran atau disiplin ilmu tertentu, seperti kurikulum Pendidikan Bahasa
Arab, kurikulum Pendidikan Bahasa Inggris atau kurikulum Ilmu Pengetahuan
Sosial. Kurikulum juga diartikan sebagai garis-garis besar materi yang harus
dipelajari oleh siswa di sekolah untuk mencapai tingkat tertentu atau ijazah, atau
sejumlah pelajaran dan kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa di bawah
bimbingan dan pengawasan sekolah atau kampus.2
Menurut pandangan tersebut, kurikulum merupakan kumpulan mata
pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Sesungguhnya
anggapan ini telah ada sejak jaman Yunani kuno, dalam lingkungan atau
hubungan tertentu. Pandangan ini masih di pakai sampai sekarang, seperti yang
disinyalir oleh Zais bahwa kurikulum sebagai, “…a racecaurse of subject
matters to be mastered.”3 Banyak kalangan yang masih berpendapat bahwa
1
Marvin D. Alcom and James M. Linely, Issus in Curriculum Development,
(New York: World Book Co., 1959) p. 3.
2
Carter V. Good, Dictionary of Education, (New York: Mc. Graw-Hill Book Co.,
1973), third edition, p. 157. Lihat pula Hendyat Soetopo dan Wasti Sumanto, Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), h. 12.
3
Robert S. Zais, Curriculum Principles and Fondations, (New York: Harper and
Row Publisher, 1976), p. 7
2
kurikulum adalah bidang studi atau mata pelajaran bahkan lebih khusus lagi
kurikulum diartikan hanya sebagai isi atau materi pelajaran. Konsep kurikulum
yang sempit ini seperti ditegaskan oleh Muhammad Muzammil al-Basyir dan
Muhammad Malik M. Sa’id dalam bukunya Madkhal ila al-Manahij wa Thuruq
al-Tadris, masih berlaku sampai sekarang terutama di negara-negara dunia
ketiga.4
Kurikulum pada perkembangan selanjutnya dipandang sebagai seluruh
pengalaman belajar siswa. Perubahan penekanan pada pengalaman ini ditegaskan
oleh Ronald C. Doll sebagai berikut: “The commonly accepted definition of the
curriculum has changed from content of course of study and list of subjects and
courses to all the experiences which are offered to learnes under the auspices or
direction off the school.”5 Konsep yang ditawarkan Ronald Doll ini menunjukkan
adanya perubahan lingkup, dari konsep yang sangat sempit kepada konsep yang
lebih luas. Pengalaman siswa yang dimaksud itu dapat berlangsung di sekolah, di
rumah ataupun di masyarakat, bersama guru atau tanpa guru, berkenaan langsung
dengan pelajaran ataupun tidak. Pengalaman siswa juga mencakup berbagai upaya
guru dalam memberikan motivasi dan mendorong terjadinya pengalaman tersebut
serta berbagai fasilitas atau sarana yang mendukung proses pembelajaran.
J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam bukunya Secondary School
Improvement, seperti yang dikutip oleh S. Nasution, menyebutkan bahwa
kurikulum itu termasuk metode pembelajaran, cara mengevaluasai siswa dan
program pembelajaran, perubahan tenaga pengajar, bimbingan penyuluhan,
supervise dan administrasi, alokasi waktu, jumlah ruang dan kemungkinan
memilih mata pelajaran. Bahkan Alice Miel dalam bukunya Changing
Curriculum a Social Process, menambahkan bahwa kurikulum itu meliputi
keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan pengetahuan dan sikap
semua komponen sekolah seperti anak didik, kepala sekolah, guru, pegawai
administrasi dan masyarakat.6
al-Manahij wa Thuruq al-Tadris, (Riyadh: Dar al-Liwa’, 1995), cet. II, h. 17.
5
Ronald C. Doll , Curriculum Improvement, Decision Making and Process,
(Boston: Allyn & Bacon Inc., 1974), p. 22.
6
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), h. 6
3
10
Mauritz Jhonsons, Intensionality in Education, (Albany New York: Center for
Curriculum Research and Service, 1977), p. 130.
11
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, h. 8.
5
bahwa kurikulum adalah rencana pembelajaran yang berkaitan dengan proses dan
pengembangan individu anak didik. Bagaimanapun polanya tiap kurikulum akan
memuat rencana-rencana yang mengarah pada komponen-komponen tertentu
yakni pernyataan tentang tujuan pembelajaran, seleksi dan organisasi bahan
pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar mengajar, serta evaluasi pembelajaran. 12
Dalam UURI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1
ayat 19 juga ditegaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Pengertian kurikulum itu ternyata sangat luas dan berkembang sesuai
dengan situasi dan kondisi. Kurikulum tidak bisa diungkapkan dalam satu
pendapat yang dianggap baku, karena semua pendapat tersebut memiliki alasan
masing-masing yang rasional. Pada masa lalu kurikulum dipandang sebagai
sesuatu yang sempit yaitu sejumlah mata pelajaran, kemudian di pandang sebagai
sesuatu yang sangat luas yaitu seluruh pengalaman siswa, kemudian pada
perkembangan selanjutnya kurikulum adalah rencana pembelajaran, disusul
pendapat yang menyatakan bahwa kurikulum bukan hanya rencana (curriculum
plan) tetapi juga pelaksanaannya (curriculum fungsional).
Sebagian pendapat menekankan pada isi atau mata pelajaran, sebagian
menekankan pada proses atau pengalaman sedangkan pihak yang lain memadukan
dua pendapat tersebut dalam artian menekankan pada isi atau mata pelajaran, dan
juga proses atau pengalaman.13 Sedangkan istilah pengembangan kurikulum dapat
diartikan sebagi suatu kegiatan yang menghasilkan kurikulum, atau proses yang
mengaitkan satu komponen dengan komponen lainnya untuk menghasilkan suatu
kurikulum yang lebih baik, atau kegiatan penyusunan, implementasi dan evaluasi
serta kegiatan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum.14
12
Hilda Taba, Curriculum Development Theory and Practice, (New York:
Hartcourt Brace and World, 1962), p. 10-11.
13
Bandingkan dengan S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, h. 9. dan Armai Arif,
Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 30.
14
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 10.
6
15
Ibid, h. 11
7
16
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta: gaya
media Pratama, 1999),h. 135.
17
M.Muslich, Dasar-dasar Pemahaman Kurikulum, (Malang: YA3, 1994), h. 2.
8
20
Hilda Taba, Curriculum Development, p. 10.
21
S. Hamid Hasan, Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia, 2002).
Lihat pula http://www.pdk.go.id/balitabang/publikasi/jurnal/no.026/pendekatan hamid hasan.htm.
22
Ibid
13
23
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, h. 13