Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I
KONSEP PENGEMBANGAN KURIKULUM

A. Konsep Kurikulum
Kata kurikulum muncul pertama pada kamus Webster pada tahun 1856,
yang digunakan dalam bidang olah raga, yang berarti jarak yang harus ditempuh
oleh pelari atau kereta mulai awal sampai akhir atau mulai start sampai finish.
Kemudian pada tahun 1955 kata kurikulum muncul dalam kamus tersebut, khusus
digunakan dalam bidang pendidikan yang artinya sejumlah mata pelajaran di
sekolah atau mata kuliah di perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk
mencapai suatu tingkat tertentu atau ijazah.1
Carter V. Good dalam Dictionary of Education, menyebutkan bahwa
kurikulum adalah sejumlah materi pelajaran yang harus ditempuh dalam suatu
mata pelajaran atau disiplin ilmu tertentu, seperti kurikulum Pendidikan Bahasa
Arab, kurikulum Pendidikan Bahasa Inggris atau kurikulum Ilmu Pengetahuan
Sosial. Kurikulum juga diartikan sebagai garis-garis besar materi yang harus
dipelajari oleh siswa di sekolah untuk mencapai tingkat tertentu atau ijazah, atau
sejumlah pelajaran dan kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa di bawah
bimbingan dan pengawasan sekolah atau kampus.2
Menurut pandangan tersebut, kurikulum merupakan kumpulan mata
pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Sesungguhnya
anggapan ini telah ada sejak jaman Yunani kuno, dalam lingkungan atau
hubungan tertentu. Pandangan ini masih di pakai sampai sekarang, seperti yang
disinyalir oleh Zais bahwa kurikulum sebagai, “…a racecaurse of subject
matters to be mastered.”3 Banyak kalangan yang masih berpendapat bahwa

1
Marvin D. Alcom and James M. Linely, Issus in Curriculum Development,
(New York: World Book Co., 1959) p. 3.
2
Carter V. Good, Dictionary of Education, (New York: Mc. Graw-Hill Book Co.,
1973), third edition, p. 157. Lihat pula Hendyat Soetopo dan Wasti Sumanto, Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), h. 12.
3
Robert S. Zais, Curriculum Principles and Fondations, (New York: Harper and
Row Publisher, 1976), p. 7
2

kurikulum adalah bidang studi atau mata pelajaran bahkan lebih khusus lagi
kurikulum diartikan hanya sebagai isi atau materi pelajaran. Konsep kurikulum
yang sempit ini seperti ditegaskan oleh Muhammad Muzammil al-Basyir dan
Muhammad Malik M. Sa’id dalam bukunya Madkhal ila al-Manahij wa Thuruq
al-Tadris, masih berlaku sampai sekarang terutama di negara-negara dunia
ketiga.4
Kurikulum pada perkembangan selanjutnya dipandang sebagai seluruh
pengalaman belajar siswa. Perubahan penekanan pada pengalaman ini ditegaskan
oleh Ronald C. Doll sebagai berikut: “The commonly accepted definition of the
curriculum has changed from content of course of study and list of subjects and
courses to all the experiences which are offered to learnes under the auspices or
direction off the school.”5 Konsep yang ditawarkan Ronald Doll ini menunjukkan
adanya perubahan lingkup, dari konsep yang sangat sempit kepada konsep yang
lebih luas. Pengalaman siswa yang dimaksud itu dapat berlangsung di sekolah, di
rumah ataupun di masyarakat, bersama guru atau tanpa guru, berkenaan langsung
dengan pelajaran ataupun tidak. Pengalaman siswa juga mencakup berbagai upaya
guru dalam memberikan motivasi dan mendorong terjadinya pengalaman tersebut
serta berbagai fasilitas atau sarana yang mendukung proses pembelajaran.
J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam bukunya Secondary School
Improvement, seperti yang dikutip oleh S. Nasution, menyebutkan bahwa
kurikulum itu termasuk metode pembelajaran, cara mengevaluasai siswa dan
program pembelajaran, perubahan tenaga pengajar, bimbingan penyuluhan,
supervise dan administrasi, alokasi waktu, jumlah ruang dan kemungkinan
memilih mata pelajaran. Bahkan Alice Miel dalam bukunya Changing
Curriculum a Social Process, menambahkan bahwa kurikulum itu meliputi
keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan pengetahuan dan sikap
semua komponen sekolah seperti anak didik, kepala sekolah, guru, pegawai
administrasi dan masyarakat.6

Muhammad Muzammil al-Basyir dan Muhammad Malik M. Sa’id, Madkhal ila


4

al-Manahij wa Thuruq al-Tadris, (Riyadh: Dar al-Liwa’, 1995), cet. II, h. 17.
5
Ronald C. Doll , Curriculum Improvement, Decision Making and Process,
(Boston: Allyn & Bacon Inc., 1974), p. 22.
6
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), h. 6
3

Beberapa ahli memandang bahwa kurikulum sebagai rencana pendidikan


atau pembelajaran. Menurut Mac Donald, seperti yang dikutip oleh Sukmadinata,
mengungkapkan bahwa sistem persekolahan terbentuk atas empat subsistem yaitu
mengajar, belajar, pembelajaran, dan kurikulum.7 Mengajar (teaching) merupakan
kegiatan, aktivitas atau perlakuan profesional yang diberikan oleh seorang guru.
Belajar (learning) adalah segala kegiatan, aktivitas atau upaya yang dilakukan
oleh siswa sebagai respons terhadap kegiatan mengajar guru. Keseluruhan
pertautan kegiatan yang memungkinkan dan berkenaan dengan terjadinya
interaksi belajar-mengajar disebut pembelajaran (instructions). Kurikulum
(curriculum) merupakan seperangkat rencana yang menjadi pedoman dan
pegangan dalam proses pembelajaran. Al Nahlawi memandang bahwa kurikulum
adalah rencana sekolah yang berisi pokok-pokok pembelajaran, tujuan, tingkatan
dan apa yang diberikan setiap tahun ajaran, yang dijelaskan pokok-pokok bahasan
yang akan disampaikan pada tingkatan atau kelas tertentu dengan melihat tingkat
usia anak didik serta berisi tentang kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh
anak didik pada tiap pokok bahasan dalam suatu materi pelajaran.8
Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana
(curriculum plan) dengan kurikulum yang fungsional (functioning curriculum).
Menurut Beauchamp “A curriculum is a written document which may contain
many ingredients, but basicaly it is a plan for the education of pupils during their
enrollment in given school”.9 Ia menekankan bahwa kurikulum adalah suatu
rencana pendidikan atau pengajaran. Selanjutnya Zais menjelaskan kebaikan
kurikulum tidak dapat dinilai dari dokumen tertulisnya saja, melainkan harus
dinilai dalam proses pelaksanaan fungsinya didalam kelas. Kurikulum bukan
hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan sesuatu yang
fungsional yang beroperasi dalam kelas yang memberi pedoman mengatur
lingkungan kegiatan yang berlangsung dalam kelas. Rencana tertulis merupakan
dokumen kurikulum (curriculum document or inert curriculum), sedangkan
7
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek,
(Bandung : Remaja Rosda Karya, 2002), h. 5.
8
Abdurrahman Al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibuha, (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1979), h. 173.
9
George A. Beauchamp, Curriculum Theory, (Wilmette Illionis: The Kagg Press,
1975), p. 6.
4

kurikulum yang dioperasikan dikelas merupakan kurikulum fungsional


(functioning, live or operative curriculum). Jadi kurikulum itu tidak hanya
rencana tertulis yang didokumenkan tetapi juga pelaksanaan rencana tersebut.
Beberapa ahli menilai bahwa konsep kurikulum yang terlalu luas akan
membuat kabur, tidak jelas, dan tidak fungsional serta sulit untuk
dioperasionalkan. Salah satunya adalah Mauritz Jhonsons, ia mengajukan
keberatan terhadap konsep kurikulum yang sangat luas. Menurut Jhonsons
pengalaman hanya muncul apabila terjadi interaksi antara siswa dengan
lingkungannya. Interaksi semacam itu bukanlah termasuk kurikulum, tetapi
merupakan pengajaran. Jhonson membedakan dengan tegas antara kurikulum
dengan pengajaran. Semua yang berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan,
seperti perencanaan isi dengan kegiatan belajar mengajar, evaluasi termasuk
pengajaran, sedangkan kurikulum hanya berkenaan dengan hasil-hasil belajar
yang diharapkan di capai oleh siswa. Jhonsons menegaskan bahwa kurikulum
adalah “a structured series of intended learning autcomes.”10
Sejalan dengan Jhonsons, Edward A. Krug dalam The Secondary School
Curriculum, seperti yang dikutip S. Nasution mengungkapkan bahwa kurikulum
merupakan cara-cara maupun usaha-usaha untuk mencapai tujuan sekolah. Ia
membedakan antara tanggung jawab sekolah dengan tanggung jawab pendidikan
lain seperti keluarga, lembaga agama atau masyarakat. Menurutnya memborong
segala tanggung jawab atas pendidikan anak akan merupakan beban yang
terlampau berat. Sehingga ia membatasi kurikulum pada pengajaran atau
organisasi di dalam kelas atau sekolah dan kegiatan-kegiatan tertentu diluar
pengajaran seperti bimbingan penyuluhan, pengabdian pada masyarakat dan
perkemahan sekolah.11
Hilda Taba juga menyatakan hal yang senada, ia mengajukan konsep
kurikulum yang tidak terlalu luas tetapi juga tidak terlalu sempit, karena konsep
yang terlalu sempit tidak akan diterima di sekolah-sekolah modern. Ia
mengungkapkan dalam bukunya Curriculum Development Theory and Practice

10
Mauritz Jhonsons, Intensionality in Education, (Albany New York: Center for
Curriculum Research and Service, 1977), p. 130.
11
S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, h. 8.
5

bahwa kurikulum adalah rencana pembelajaran yang berkaitan dengan proses dan
pengembangan individu anak didik. Bagaimanapun polanya tiap kurikulum akan
memuat rencana-rencana yang mengarah pada komponen-komponen tertentu
yakni pernyataan tentang tujuan pembelajaran, seleksi dan organisasi bahan
pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar mengajar, serta evaluasi pembelajaran. 12
Dalam UURI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1
ayat 19 juga ditegaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Pengertian kurikulum itu ternyata sangat luas dan berkembang sesuai
dengan situasi dan kondisi. Kurikulum tidak bisa diungkapkan dalam satu
pendapat yang dianggap baku, karena semua pendapat tersebut memiliki alasan
masing-masing yang rasional. Pada masa lalu kurikulum dipandang sebagai
sesuatu yang sempit yaitu sejumlah mata pelajaran, kemudian di pandang sebagai
sesuatu yang sangat luas yaitu seluruh pengalaman siswa, kemudian pada
perkembangan selanjutnya kurikulum adalah rencana pembelajaran, disusul
pendapat yang menyatakan bahwa kurikulum bukan hanya rencana (curriculum
plan) tetapi juga pelaksanaannya (curriculum fungsional).
Sebagian pendapat menekankan pada isi atau mata pelajaran, sebagian
menekankan pada proses atau pengalaman sedangkan pihak yang lain memadukan
dua pendapat tersebut dalam artian menekankan pada isi atau mata pelajaran, dan
juga proses atau pengalaman.13 Sedangkan istilah pengembangan kurikulum dapat
diartikan sebagi suatu kegiatan yang menghasilkan kurikulum, atau proses yang
mengaitkan satu komponen dengan komponen lainnya untuk menghasilkan suatu
kurikulum yang lebih baik, atau kegiatan penyusunan, implementasi dan evaluasi
serta kegiatan perbaikan dan penyempurnaan kurikulum.14

12
Hilda Taba, Curriculum Development Theory and Practice, (New York:
Hartcourt Brace and World, 1962), p. 10-11.
13
Bandingkan dengan S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, h. 9. dan Armai Arif,
Pengantar Ilmu Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 30.
14
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 10.
6

Masing-masing pendapat tersebut juga akan berimplikasi pada


pengembangan kurikulum. Jika ditilik dari landasan filosofinya maka pihak
pertama yang menekankan pada isi atau mata pelajaran adalah penganut aliran
perrenialisme dan essensialisme. Pihak kedua yang menekankan pada proses atau
pengalaman adalah penganut aliran eksistensialisme dan progressivisme. Dan
pihak ketiga yang memadukan dua pendapat tersebut dalam artian menekankan
pada isi atau mata pelajaran, dan juga proses atau pengalaman adalah penganut
aliran rekonstruksi sosial. Dalam pengembangan kurikulum pihak pertama akan
cenderung pada pendekatan subyek akademis. Pihak kedua akan cenderung pada
pendekatan teknologis-humanis. Dan pihak ketiga akan cenderung pada
pendekatan rekonstruksi sosial.

B. Fungsi Kurikulum dalam Pendidikan


Fungsi kurikulum bagi sekolah yang bersangkutan adalah sebagai alat
untuk mencapai tujuan pembelajaran, yang dalam kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) disebut sebagai standar kompetensi. Kompetensi itu meliputi antara lain
kompetensi lintas kurikulum, kompetensi lulusan, kompetensi mata pelajaran, dan
kompetensi dasar. Kurikulum merupakan pedoman untuk mengatur kegiatan-
kegiatan yang akan diselenggarakan oleh sekolah. Bagi sekolah yang berada di
level bawahnya atau di level atasnya, maka kurikulum berfungsi sebagai
pedoman untuk melakukan penyesuaian- penyesuaian, menjaga kesinambungan
dan dapat menghindari keterulangan,15 baik dari sisi materi, kegiatan
pembelajaran maupun komponen lain dalam proses dan sistem belajar-mengajar.
Bagi masyarakat kurikulum dapat berfungsi sebagai acuan dalam mengevaluasi
proses dan output yang dihasilkan oleh kurikulum tertentu, sehingga masyarakat
dapat bekerjasama dan memberi masukan untuk mengembangkan dan
memperbaiki kurikulum di masa depan, yang sesuai dengan kehendak dan
kebutuhan masyarakat sebagai pengguna (user dan atau stakeholders).
1. Fungsi kurikulum bagi sekolah

15
Ibid, h. 11
7

Fungsi kurikulum bagi sekolah adalah sebagai alat untuk mencapai


tujuan16 atau kompetensi pendidikan yang diinginkan. Kurikulum bagi sekolah
juga berfungsi pedoman kegiatan pendidikan secara menyeluruh.17 Apabila
tujuan-tujuan atau kompetensi standar yang telah ditetapkan tersebut belum atau
tidak tercapai maka kurikulum sekolah tersebut harus ditinjau ulang. Peninjauan
tersebut tentunya setelah dilaksanakannya proses pembelajaran melalui
penyampaian atau penemuan materi pelajaran, dengan metode pembelajaran yang
bervariasi dan media yang bermacam-macam baik media audio, visual maupun
media audio visual. Setelah itu baru dilakukan evaluasi atau assesmen terhadap
peserta didik sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh lembaga
pendidikan tertentu. Setelah proses assesmen selesai itulah dapat disimpulkan
bahwa kompetensi standar atau kurikulum yang diberlakukan itu telah berhasil
atau belum. Oleh karena itulah fungsi kurikulum tersebut adalah sebagai alat
untuk mencapai tujuan atau kompetensi pendidikan yang diinginkan.
Fungsi kurikulum bagi sekolah pada tingkat berikutnya adalah untuk
menjaga keseimbangan, kesesuaian dan keteraturan serta urutan dalam proses
pembelajaran selanjutnya. Apabila suatu materi itu telah disajikan oleh lembaga
pendidikan dibawahnya maka sekolah tersebut bisa mempertimbangkan untuk
memberikan materi tersebut atau tidak, termasuk dalam menyusun kurikulum.
Atau sebaliknya materi-materi yang belum disampaikan pada sekolah di tingkat
bawahnya, maka sekolah tersebut dapat mempertimbangkan untuk
memasukkannya dalam kurikulum.
2. Fungsi kurikulum bagi anak didik
Kurikulum yang telah tersusun dengan baik sebagai organisasi
pembelajaran merupakan persiapan bagi individu peserta didik. Artinya peserta
didik akan mendapatkan pengetahuan baru, program baru dan pengalaman baru
yang diharapkan dapat dikembangkan secara maksimal seiring dengan
perkembangan anak, agar memiliki bekal yang kokoh untuk mengahadapi masa
depannya. Program-program pendidikan seyogyanya diorientasikan pada

16
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta: gaya
media Pratama, 1999),h. 135.
17
M.Muslich, Dasar-dasar Pemahaman Kurikulum, (Malang: YA3, 1994), h. 2.
8

kebutuhan dan kepentingan peserta didik, yang merupakan subyek sekaligus


obyek pendidikan.
3. Fungsi kurikulum bagi pendidik
Pendidik adalah salah satu komponen yang amat penting dalam system
pendidikan karena pendidik adalah sokoguru bagi berhasil tidaknya sebuah proses
pembelajaran. Oleh karena itu seorang pendidik harus memiliki beberapa
kompetensi baik kompetensi professional, kompetensi personal, maupun
kompetensi sosial. Fungsi kurikulum bagi pendidik adalah sebagai pedoman kerja
dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman belajar para peserta didik. Serta
merupakan pedoman untuk melakukan assesmen terhadap peserta didik setelah
diselesaikannya proses pembelajaran tertentu. Pendidiklah yang paling
bertanggungjawab terhadap berjalannya suatu kurikulum, karena orang yang
selalu mendampingi proses pembelajaran peserta didik adalah pendidik itu.
Sehingga diharapkan dengan adanya kurikulum yang tertata rapi maka akan
membantu tugas professional seorang pendidik. Melalui kurikulum guru dapat
menyusun program pembelajaran antara lain penyusunan tujuan pembelajaran,
memilih materi, menentukan strategi dan metode, media, mengalokasikan waktu
dan memilih dan melaksanakan evaluasi.
4. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah
Kepala sekolah adalah seorang yang mempunyai fungsi supervisi,
kepemimpinan, administrator dan manajer yang pertama dan utama pada sekolah
tertentu. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah adalah sebagai pedoman dalam
memperbaiki situasi dan kondisi belajar yang lebih baik, sebagai pedoman dalam
memberikan bantuan pada pendidik untuk menciptakan dan memperbaiki proses
pembelajaran. Kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk evaluasi terhadap
kemajuan belajar anak didik, dan sebagai pedoman untuk pengmbangan
kurikulum pada masa yang akan datang. Melalui kurikulum kepala sekolah dapat
menyusun program pendidikan, baik yang bersifat intra maupun ekstra kurikuler.
Dengan penyusunan program tersebut akan dapat diketahui keselarasannya
dengan tujuan pendidikan yang akan dicapai.
5. Fungsi kurikulum bagi orang tua
9

Orang tua sesungguhnya adalah orang yang pertama bertanggung jawab


atas pendidikan dan pendewasaan anak-anaknya. Seharusnyalah orang tua
memahami dan mendalami isi kurikulum yang telah ditetapkan oleh sekolah.
Orang tua harus bekerjasama dengan pihak sekolah dalam mewujudkan tujuan
yang ingin dicapai, dengan mengkomunikasikan segala hal yang berkaitan dengan
perkembangan anak, baik fisik maupun psikis. Fungsi kurikulum bagi orang tua
adalah agar dapat memberikan bantuan kepada pihak sekolah untuk dapatnya
mencapai target kurikulum yang telah dicanangkan oleh pihak sekolah. Bantuan
tersebut bisa berupa informasi mengenai cara belajar anak, keadaan lingkungan
anak, kesehatan anak, maupun gejala-gejala yang tidak wajar yang dilakukan oleh
anak-anak. Dengan bantuan tersebut guru dapat mencari solusi yang strategis
untuk mengatasi masalah yang muncul pada peserta didik, guna mencapai
keberhasilan. Keberhasilan tersebut akan mudah dicapai dengan adanya kerjasama
yang harmonis antara pendidik dan orang tua.
6. Fungsi kurikulum bagi masyarakat dan pemakai lulusan (stake holders)18
Kurikulum suatu sekolah sebaiknya relevan dengan kebutuhan
masyarakat dan pangsa pasar kerja, sehingga setelah anak-anak menyelesaikan
program pendidikan tertentu, mereka dibutuhkan oleh masyarakat, kantor,
perusahaan maupun lembaga tertentu. Fungsi kurikulum bagi masyarakat dan
pemakai lulusan Fungsi kurikulum bagi masyarakat dan pemakai lulusan adalah
agar mereka dapat memberikan kontribusi dalam memperlancar jalannya proses
pembelajaran, yang membutuhkan kerjasama dengan masyarakat. Masyarakat
juga dapat memberikan kritik dan saran yang konstruktif untuk menyempurnakan
program pendidikan di sekolah. Bagi pengguna lulusan kurikulum juga berfungsi
sebagai tolok ukur penentuan kadar atau kualitas lulusan. Apabila lulusan tersebut
belum atau tidak sesuai dengan kebutuhan suatu lapangan kerja maka pengguna
lulusan dapat memberi masukan dan kontribusi pemikiran kepada pihak sekolah.
C. Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya merupakan proses interaksi antara pendidik dan
anak didik dalam upaya membantu anak-didik mencapai tujuan-tujuan
pendidikan. Interaksi tersebut dapat berlangsung di lingkunagn pendidikan seperti
18
Abdullah Idi, Pengembangan, h. 139
10

keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga interaksi terjadi


antara kedua orang tua sebagai pendidik dan anak-anak sebagai peserta didik.
Semua orang tua menghendaki anak-anaknya menjadi orang yang baik, bertakwa,
pandai dan sukses. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak memiliki rencana tertulis,
jelas dan terrinci. Karena orang tua itu tidak tahu apa, bagaimana dan kapan harus
diberikan kepada anak-anaknya, untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia itu.
Oleh karena itulah pendidikan dalam keluarga itu disebut pendidikan informal.
Pendidikan informal adalah pendidikan yang tidak formal, tidak memiliki
kurikulum yang jelas dan tertulis, serta kadang tidak disadari dan tanpa
kesengajaan. Dalam pendidikan informal tersebut, interaksi bisa terjadi kapan
saja, setiap orang tua ketemu dengan anaknya, bergaul, berdialog dan bekerja
sama. Orang tua menjadi pendidik anak-anaknya kadang bukan karena ia
mempunyai kapasitas secara formal sebagai pendidik profesional, tetapi karena
secara umum dan lazim ia harus mendidik anaknya, berhubung statusnya sebagai
ayah dan ibu. Mereka tidak sadar bahwa semua tingkah laku mereka akan
dicontoh dan diteladani anak-anaknya. Cara mendidik orang tua sangat
bergantung pada tingkat keilmuan dan pengalaman hidupnya, sehingga banyak
yang merasa bahwa mereka telah mendidik anak-anaknya dengan sangat baik.
Padahal baik menurut mereka belum tentu baik secara teoritis-pedagogis,
misalnya mendidik dengan menggunakan kekerasan.
Sekolah merupakan salah satu lingkungan pendidikan yang bersifat
formal. Guru sebagai pendidik, telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga
pendidikan keguruan. Ia telah dibekali dengan pengetahuan tentang seluk beluk
dan teori-teori pendidikan anak, seperti pengembangan kurikulum, ilmu jiwa,
strategi belajar mengajar dan lain-lain. Guru juga telah diberi keterampilan praktis
sebagai pendidik atau pengajar. Ia telah dibimbing untuk memiliki kepribadian
yang baik sebagai pendidik. Ia telah diberikan kepercayaan dan pengakuan baik
oleh pemerintah maupun masyarakat. Guru menjalankan tugasnya sebagai
pendidik secara professional dengan menyiapkan rencana yang matang melalui
kurikulum tertulis.
Guru mengajar untuk mencapai tujuan-tujuan yang jelas, dengan bahan
atau materi yang telah dipilih dan dipilah sesuai dengan kemampuan dan minat
11

anak didik. Dalam proses pendidikannya guru menggunakan metode-metode dan


media-media tertentu sesuai dengan karakteristik pelajaran yang disampaikan. Ia
juga melakukan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar peserta didik, untuk
mengetahui tingkat keberhasilan atau kegagalan program yang telah
dirancangnya. Oleh karena itulah guru melaksanakan proses pembelajaran secara
sadar, sengaja dan direncanakan. Proses yang demikian itu biasa disebut sebagai
pendidikan formal.
Interaksi pendidikan juga terjadi di lingkungan masyarakat, baik yang
bersifat formal maupun non formal. Lembaga pendidikan di masyarakat yang
mirip dengan sekolah formal berwujud kursus-kursus yang berijazah atau
bersertifikat, atau pondok pesantren yang telah mengadopsi sistem sekolah yang
disebut madrasah. Pendidikan non formal yang berlangsung dalam masyarakat
seperti ceramah, pengajian, sarasehan, majlis ta’lim dan pergaulan sehari-hari.
Guru di lembaga pendidikan tersebut bervariasi, ada yang memang sesuai dengan
ketentuan formal atau berijazah keguruan, ada pula yang hanya berdasarkan
pengalaman dan senioritas. Kurikulumnya juga bervariasi, ada yang tertulis secara
rinci dan terrencana, ada pula yang hanya tergantung pada penceramah dan tokoh
masyarakat.
Pendidikan formal merupakan Pertama, memiliki rencana dan rancangan
atau kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas dan rinci. Kedua,
pendidikan dilaksanakan secara formal, terencana, dan diadakan pengawasan dan
penilaian. Ketiga, pendidikan diberikan oleh guru yang memiliki ilmu dan
keterampilan khusus dalam bidang pendidikan. Keempat, interaksi pendidikan
berlangsung pada lingkungan tertentu dengan metode dan sarana serta aturan-
aturan tertentu pula.19 Empat hal tersebut sekaligus merupakan kelebihan
pendidikan formal bila dibanding dengan pendidikan informal atau non formal
yang tidak memiliki kurikulum tertulis, guru atau pendidik yang belum tentu
professional, dan interaksi pendidikan berlangsung tidak mesti menggunakan
metode dan media tertentu.
Kurikulum adalah syarat mutlak dan ciri utama pendidikan sekolah atau
pendidikan formal, sehingga kurikulum adalah bagian tak terpisahkan dari proses
19
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hal. 2.
12

pendidikan dan pembelajaran. Setiap praktek pendidikan diarahkan untuk


mencapai tujuan-tujuan tertentu, baik aspek pengetahuan (cognitive), sikap
(afektiv) maupun keterampilan (psikomotorik). Untuk mengembangkan
kompetensi-kompetensi tersebut perlu adanya bahan atau materi yang
disampaikan melalui proses pembelajaran dengan menggunakan metode dan
media yang cocok dengan karakteristik bahan pelajaran. Dan untuk mengetahui
keberhasilan pembelajaran perlu adanya evaluasi dengan cara, jenis dan bentuk
tertentu pula. Keempat hal diatas yakni tujuan pendidikan, materi, metode-media
serta evaluasi seperti yang disinyalir Hilda Taba adalah komponen pokok
kurikulum,20 yang menjadi pedoman dan pegangan bagi pendidik atau guru dalam
menjalankan tugas. Dengan demikian kurikulum memiliki kedudukan sentral
dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktifitas
pendidikan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati.

D. Langkah-Langkah Pengembangan Kurikulum


Proses pengembangan kurikulum menurut Hamid Hasan21 haruslah
meliputi tiga dimensi kurikulum yaitu kurikulum sebagai ide, kurikulum sebagai
dokumen dan kurikulum sebagai proses. Ketiga dimensi kurikulum ini saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Kurikulum sebagai proses
dilaksanakan dengan berbagai kebijakan kurikulum. Kebijakan-kebijakan tersebut
merupakan operasionalisasi kurikulum sebagai ide dan kurikulum sebagai
dokumen.
Kegiatan pengembangan kurikulum itu harus dimulai dari perencanaan. Dalam
menyusun perencanaan tersebut didahului oleh ide-ide yang akan dituangkan dan
dikembangkan dalam program. Ide-ide tersebut berkenaan dengan penentuan
filosofi kurikulum, model kurikulum yang digunakan, pendekatan dan teori
belajar yang digunakan dan model evaluasi pembelajaran yang dipilih.22 Ide-ide
tersebut dapat berasal dari:

20
Hilda Taba, Curriculum Development, p. 10.
21
S. Hamid Hasan, Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia, 2002).
Lihat pula http://www.pdk.go.id/balitabang/publikasi/jurnal/no.026/pendekatan hamid hasan.htm.
22
Ibid
13

1. Visi yang dicanangkan


Visi (vision) adalah pernyataan tentang cita-cita atau harapan-harapan yang
ingin dicapai oleh suatu lembaga pendidikan dalam jangka panjang (the
statement of ideas or hopes)
2. Kebutuhan siswa, masyarakat, pengguna lulusan (stakeholders) dan kebutuhan
untuk studi lanjut
3. Hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kemajuan jaman.
4. Pandangan-pandangan para ahli/pakar berbagai bidang
5. Kecenderungan era globalisasi yang menuntut seseorang harus memiliki etos
belajar sepanjang hayat, melek social, politik, ekonomi, budaya dan
teknologi.23
Kelima hal diatas kemudian diramu sedemikian rupa untuk dikembangkan
dalam program atau kurikulum sebagi dokumen yang antara lain berisi informasi
dan jenis dokumen yang akan dihasilkan, bentuk atau format silabus dan
komponen-komponen kurikulum yang harus dikembangkan. Segala sesuatu yang
tertuang dalam dokumen tersebut kemudian dikembangkan dan disosialisasikan
dalam proses implementasinya, yang bisa saja berupa pengembangan kurikulum
dalam bentuk rencana pembelajaran, proses pembelajaran didalam/luar kelas serta
evaluasi pembelajaran, sehingga akan diketahui tingkat efektifitas dan
efisiensinya. Dari evaluasi ini akan diperoleh umpan balik yang dapat digunakan
dalam penyempurnaan kurikulum berikutnya. Dengan demikian proses
pengembangan kurikulum diawali perencanaan, kemudian pelaksanaan dan
terakhir adalah evaluasi. Pengembangan kurikulum menuntut adanya evaluasi
berkelanjutan mulai dari perencanaan (planning), pelaksanaan (implementating)
hingga proses evaluasi itu sendiri. Jika evaluasi kurikulum telah dilaksanakan
maka biasanya akan ditentukan langkah selanjutnya yaitu perbaikan, perubahan,
pembaharuan atau inovasi terhadap suatu kurikulum itu atau akan dipertahankan
sampai batas waktu tertentu.

23
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum, h. 13

Anda mungkin juga menyukai