Anda di halaman 1dari 5

PERMASALAHAN MENGANALISA TENTANG UPAH

Salah satu persoalan utama dalam hubungan kerja antara pekerja dan pemilik
modal/pengusaha adalah bagaimana pendistribusian hasil produksi dapat memuaskan kedua
belah pihak. Sehingga terjadi kompromi antara kedua belah pihak dan tidak terjadi benturan.
Salah satu aspek yang sangat menetukan baik dan buruknya hubungan pekerja dan pemilik
modal/pengusaha adalah upah. Hingga saat ini persoalan nominal upah yang layak masih
banyak diperdebatkan. Hal ini terjadi antara lain karena pekerja dan pemilik modal memiliki
pandangan yang berbeda dalam melihat upah tersebut. Dalam pendekatan (paradigma)
kapitalis, pekerja/buruh dipandang sebagai faktor ekonomi saja sehingga nilai buruh
diserahkan pada mekanisme pasar. Pandangan seperti ini memberikan mekanisme pasar
sebagi faktor dominan dalam penentuan upah buruh/pekerja dibandingkan faktor tenaga, skill
atau waktu yang di korbankan buruh kepada pengusaha/pemilik modal. Padahal realita
menunjukkan antara jumlah angkatan kerja dengan permintaan pengusaha di pasar tidaklah
seimbang, artinya tingkat angkatan kerja selalu lebih tinggi dari permintaan pengusaha.
Faktor inilah yang memberikan posisi kuat bagi pengusaha untuk menekan upah
pekerja/buruh serendah-rendahnya dan mengabaikan kewajibannya pada buruh/pekerja. Dan
hal tesebut merupakan salah satu bagian dari kepentingan pengusaha. Kepentingan dari
pemilik modal ini bertentangan dengan kepentingan orang-orang yang bekerja pada mereka.
Kelas pekerja berkepentingan terhadap meningkatnya upah, meningkatnya kesejahteraan.
Sedangkan kepentingan pengusaha adalah untuk meningkatkan keuntungan. Pengusaha akan
selalu berusaha untuk mempertahankan keuntungannya, dan para pengusaha biasanya
menyiasatinya dengan cara :
1. Menekan serendah mungkin upah buruh/pekerja ini adalah hal yang biasa dilakukan
pengusaha.
2. Meningkatkan setinggi mungkin kuantitas (jumlah) produksi, ini berarti pekerja/buruh
dituntut untuk bekerja lebih keras.
3. Meningkatkan harga produk.

Agar kepentingan masing-masing pihak tercapai, maka masing-masing pihak harus


mengorbankan kepentingan pihak lain. Dan biasanya pihak buruh/pekerja sering kali yang
menjadi korban. Hal ini ditunjukkan selain jumlah upah yang masih di bawah standar, juga
sama sekali tidak memenuhi prinsip utama pengupahan itu sendiri, yaitu pembagian atas
keuntungan didasarkan pada nilai lebih barang yang di hasilkan pekerja.
Hal inilah yang sering melahirkan konflik vertikal antara buruh/pekerja dengan pemilik
modal/pengusaha. Sering terdengar dalam beberapa pemberitaan media masa, kelompok
buruh melakukan aksi unjuk rasa bahkan mogok kerja di beberapa tempat. Fenomena ini
menunjukkan bahwa persoalan upah masih menyimpan potensi konflik yang tinggi yang akan
senantiasa menunggu waktu untuk meledak. Dan apabila persoalan ini tidak dapat di tangani
oleh pemerintah melalui institusi terkait dengan baik, maka stabilitas Negara dapat terganggu.
Untuk itulah pemerintah sebagai institusi pengambil kebijakan harus turut serta dan berperan
aktif untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena, selain berkepentingan untuk menjaga
stabilitas Negara, sesuai konstitusi pemerintah juga mempunyai tugas dan tanggung jawab
untuk memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negaranya.
Sebab dalam memberikan kehidupan yang layak pada rakyatnya faktor upah mempunyai
peranan yang penting dalam pencapaian tujuan tersebut. Maka persoalan perburuhan yang
dalam hal ini masalah upah buruh, pemerintah harus melakukan intervensi dalam bentuk
pembuatan kebijakan. Karena tanpa adanya pihak ketiga yang menengahi konflik
kepentingan buruh/pekerja dan pengusaha/pemilik modal maka akan sulit terjadi kesepakatan
antara kedua belah pihak.
Untuk mengatasi problema upah, pemerintah saat ini mengambil kebijakan dengan membuat
batas minimal upah yang harus di bayarkan oleh perusahaan kepada pekerja/buruh. Penetapan
upah minimum dimaksudkan sebagai jaring pengaman agar upah pekerja/buruh tidak terus
turun semakin rendah sebagai akibat tidak seimbangnya pasar kerja. Penetapan batas minimal
upah dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan Upah Minimum.
Penentuan Upah Minimum merupakan proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah. Dimana pada prinsipnya setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
harus berorientasi pada pencapaian kesejahteraan masyarakat banyak. Sehingga dalam
perumusan kebijakan publik dibutuhkan adanya proses yang akomodatif dengan kepentingan
semua pihak dalam rangka pencarian alternatif rumusan kebijakan yang dapat diterima semua
pihak untuk pencapaian kesejahteraan bersama. Maka dalam hal ini tentunya akan ada
interaksi antara aktor-aktor kepentingan. Dimana masing-masing kepentingan akan saling
berebut pengaruh agar kebijakan yang dikeluarkan nantinya berpihak pada kepentingan yang
dibawanya.

B. Tujuan
1) Tujuan Teoritis
Tujuan teoritis dari makalah ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis proses formulasi
kebijakan upah minimum provinsi.
2) Tujuan Praktis
Tujuan praktis dari makalah ini adalah diharapkan hasil analisis ini dapat memberikan
sumbangan positif terhadap pemerintah dalam membuat kebijakan.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas yang menjadi permasalahan dalam makalah ini
adalah bagaimana proses formulasi kebijakan upah minimum provinsi baik kekurangan atau
kelebihannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Perumusan Upah Minimum Provinsi
Dalam perumusan Upah Minimum Provinsi (UMP) Pemeritah Daerah membentuk dewan
pengupahan Provinsi yang beranggotakan dari wakil pemerintah, kantor/dinas, unit terkait,
organisasi serikat pekerja, organisasi pengusaha, dan akademisi. Dewan pengupahan Provinsi
berfungsi melakukan survei dan pendataan harga-harga bahan pokok di daerah sekitarnya,
dalam komponen kelompok-kelompok kebutuhan hidup layak yang antara lain meliputi
komponen sandang, pangan, perumahan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan.
Setelah data terhimpun kemudian dikaji, dihitung, dan dianalisa apakah perusahaan-
perusahaan mampu membayar kenaikan yang akan ditetapkan. Kebijakan diambil
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan inflasi, dan faktor-faktor lain. Biasanya masing-
masing perwakilan menghitung kenaikan berbeda-beda karena mereka melihat sudut pandang
dan kepentingan yang berbeda. Organisasi serikat pekerja selalu minta lebih tinggi dari wakil
pengusaha, sedangkan untuk wakil pemerintah berperan sebagai stabilisator.
Hasil survei yang dilakukan oleh tim peneliti nantinya akan dibawa dalam forum
musyawarah dewan pengupahan untuk dibahas dan disepakati besaran nilai Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) yang akan diajukan kepada kepala daerah nantinya, sebagai bentuk bahan
pertimbangan dalam menetapkan UMP. Masing-msaing perwakilan pastinya mengahendaki
hasil survei mereka yang disepakati ataupun yang paling mendekati untuk menjadi
pertimbangan yang akan diajukan kepada kepala daerah.
Upah minimum berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berjalan dan ditetapkan 60
hari sebelumnya (untuk UMP), dan 40 hari sebelumnya (untuk UMK).

60 Hari 40 Hari UPAH MINIMUM

UMP UMK
Untuk mencapai kesepakatan akan tingkat upah yang menjadi dasar pertimbangan dalam
penetapan upah minimum maka lembaga tripartit yang terdiri dari unsur pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah daerah harus melakukan rapat dan forum musyawarah
yang membahas, mengkaji, dan menganalisis tingkat upah yang diusulkan oleh masing-
masing lembaga. Upah minimum yang nantinya menjadi rekomendasi yang disepakati
bersama oleh ketiga lembaga tripartit tersebut haruslah berdasarkan hasil survei Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) yang menjadi dasar perumusan upah minimum.
Dalam forum diskusi dan musyawarah yang dilakukan oleh lembaga tripartit tersebut tidak
dapat dihindari terjadinya pertentangan dan perdebatan tentang tingkat upah yang menjadi
usulan nantinya. Masing-masing lembaga akan mempertahankan pandanganya tentang
tingkat upah yang mereka usulkan. hal ini karena masing-masing lembaga memiliki usulan
upah yang berbeda sesuai dengan kepentingan yang mereka wakili. Inilah yang menjadi salah
satu permasalahan dalam perumusan tingkat upah, oleh karena itu tidaklah mudah untuk
mencapai kesepakatan akan tingkat upah minimum.
Sebelum perumusan kebijakan pengupahan, terlebih dahulu lembaga tripartit tersebut
melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di pasar-pasar tradisional. Dengan survei
KHL ini maka dewan pengupahan dapat menyesuaikan tingkat harga kebutuhan buruh saat
ini dengan usulan upah yang nantinya di rumuskan. KHL bukan satu-satunya faktor yang
dipertimbangkan dalam penetapan upah minimum, masih ada 4 faktor lain, yaitu:
produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kemampuan usaha marginal dan kondisi pasar kerja.
Namun keempat faktor tersebut masih bersifat kualitatif. KHL merupakan faktor yang
bersifat kuantitatif, oleh karena itu dalam menetapkan nilai KHL yang akan dijadikan sebagai
dasar pertimbangan dalam penetapan upah minimum haruslah tepat dan akurat.
Hasil survei KHL tersebut nantinya akan menjadi dasar perumusan tingkat upah oleh
pemerintah daerah, serikat pekerja/serikat buruh dan juga dunia usaha. Ketiga lembaga
tripartit tersebut mewakili kepentingan masing-masing. Sehingga mereka mengusulkan
tingkat upah yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan dan kepentingan yang melatar
belakangi mereka. Hanya pemerintah lah yang menjadi penengah antara kedua kelompok
kepentingan tersebut. Tidak lah mudah untuk mencapai kesepakatan dalam menentukan
tingkat upah minimum tersebut, karena masing-masing pihak memiliki pandangan dan latar
belakang kepentingan yang berbeda tentang upah. Keinginan untuk mempertahankan
pandangan atau pun kepentingannya pasti ada. Setiap perbedaan dan perdebatan tentang
tingkat upah yang diusulkan oleh masing-masing lembaga akan dirapatkan dan
dimusyawarahkan.
Hal yang menjadi perdebatan dalam forum atau rapat dewan pengupahan adalah usulan akan
tingkat upah minimum yang akan disepakati nantinya. Serikat pekerja/serikat buruh akan
mengusulkan tingkat upah yang tinggi dan diatas dari nilai KHL, namun sebaliknya tingkat
upah yang diusulkan dunia usaha cenderung rendah dan dibawah nilai KHL. Dan pemerintah
daerah sendiri sebagai penengah juga akan mengusulkan tingkat upah yang dinilai mampu
menengahi kedua kepentingan dari serikat pekerja dan pengusaha. Perdebatan dan perbedaan
usulan antara serikat pekerja dan pengusaha ini harus dibahas bersama dan di
musyawarahkan demi mencapai kesepakatan. Jika musyawarah tidak menghasilkan
kesepakatan maka dewan pengupahan melakukan voting tentang tingkat upah yang menjadi
hasil kesepakatan bersama. Hasil kesepakatan rapat diputuskan dengan syarat 2/3 kuorum.
Bagaimana pun juga kesepakatan akan tingkat upah yang nantinya menjadi dasar penetapan
upah minimum haruslah diputuskan.
Melalui rapat dewan pengupahan maka semua perbedaan hasil survei dibahas, dikaji,
dihitung, dan dianalisa untuk mendapatkan besaran upah yang menjadi usulan bagi
pertimbangan penetapan upah minimum yang nantinya diputuskan oleh kepala daerah.
Meskipun ada perbedaan dari masing-masing lembaga dapat dimusyawarahkan atau mungkin
tidak, maka jumlah nominal tetap diusulkan kepada kepala daerah. Oleh karena itu interaksi
lembaga tripartit tersebut akan menentukan tercapai tidaknya kesepakatan akan tingkat upah
yang menjadi usulan dewan pengupahan nantinya sebagai dasar pertimbangan dalam
penetapan tingkat upah minimum oleh kepala daerah.

B. Analisis Formulasi Kebijakan Upah Minimum Provinsi


Dari mekanisme perumusan kebijakan upah minimum provinsi diata, kita dapat mengetahui
bahwa ada tiga pelaku yang turut serta berkontribusi dalam perumusan kebijakan ini yang
disebut tripartit. Tripartit ini terdiri dari pemerintah daerah, serikat pekerja/serikat buruh dan
juga dunia usaha. Namun dalam proses perumusan upah minimum tersebut, ketiga aktor ini
saling mempertahankan pendapat masing-masing karena mereka membawa kepentingan
masing-masing.
Survey yang dilakukan oleh dewan pengupahan bersifat kuantitatif. Sehingga hasilnya hanya
secara umum saja. Peneliti harusnya mengkaji lebih dalam apa yang benar-benar dibutuhkan
oleh buruh/pekerja. Sehingga upah yang mereka dapatkan dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup mereka.
Untuk mencegah terjadinya gejolak akibat permasalahan upah, dewan pengupahan
hendaknya mengedepankan upaya perundingan untuk mencapai mufakat didalam
menyelesaikan permasalahan penetapan upah minimum provinsi. Dengan begitu tidak akan
terjadi konflik antara pengusaha dan buruh seperti yang terjadi di Bekasi beberapa waktu
yang lalu. Aksi demo ribuan buruh yang memprotes sejumlah perusahaan yang belum
menggaji karyawan sesuai upah minimum kabupaten. Di Bekasi, aksi itu dilakukan dengan
cara menutup ruas Jalan Arteri Cibitung sebagai salah satu kawasan industri terbesar di
Kabupaten Bekasi dengan cara berjalan kaki. Akibatnya, terjadi kepadatan lalu lintas
sepanjang 13 kilometer hingga ke pintu tol Cibitung.
Untuk menyelesaikan masalah penetapan upah minimum provinsi, alternatif terbaik yang
perlu dilakukan memang melalui perundingan. Selain itu, masing-masing unsur melakukan
pendekatan persuasif dalam mengantisipasi permasalahan hubungan industrial, serta
menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, upah minimum provinsi yang ditetapkan sebagian besar masih terpaku pada
penetapan upah minimum. Padahal Upah Minimum hanya berlaku bagi mereka yang lajang
dan belum berpengalaman. Selain itu, perusahaan yang menerapkan struktur dan skala upah
masih terbatas pada perusahaan besar. Ketentuan tentang penyusunan struktur skala upah
belum bersifat wajib (tidak ada sanksi). Sehingga perusahaan yang tidak menerapkan UMP
dalam memberikan upah kepada pekerjanya tidak mendapatkan sanksi. Upah minimum di
Indonesia ditetapkan berdasarkan hasil survey kebutuhan hidup layak (KHL) dan menjadi
dasar bagi Dewan Pengupahan dalam memberikan rekomendasi kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota. Komponen KHL berasal dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17
Tahun 2005 dan dijadikan rujukan dalam penetapan upah minimum dan dianggap sebagai
upah layak. Namun, pada prakteknya upah minimum tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
dasar pekerja. Banyak pekerja yang harus mencari tambahan upah diluar jam kerja. Hal ini
menyebabkan para pekerja harus bekerja terus menerus tanpa istirahat yang cukup. Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, upah minimum sebenarnya adalah upah yang ditujukan bagi
pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Namun, upah minimum juga
berlaku bagi pekerja yang telah berkeluarga dan telah bekerja lebih dari satu tahun.
Selain itu, pemerintah daerah terkadang lebih mengutamakan kepentingan para pengusaha
yang menguntungkan mereka. Padahal mereka adalah wakil rakyat yang harusnya
mengutamakan kepentingan rakyat. Pemerintah daerah hendaknya berperan sebagai
stabilisator antara serikat buruh/pekerja dengan pengusaha. Upah Minimum memang sangat
diperlukan, tetapi untuk upah layak haruslah melalui negosiasi tripartit sesuai kemampuan
dan produktivitas usaha masing-masing. Upah layak harus di atas upah minimum.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran
Dari penjelasan dalam pembahasan diatas, maka dalam proses perumusan kebijakan upah
minimum provinsi, sangat diperlukan sebuah perundingan antara unsur pemerintah daerah,
serikat kerja dan para pengusaha serta dewan pengupahan untuk memperoleh keputusan yang
mufakat. Dan diharapkan masing-masing unsur tidak egois dalam mempertahankan
kepentingannya. Sehingga tidak akan terjadi konflik antara pengusaha dan serikat buruk.
Dengan begitu akan tercipta hubungan yang baik antara pekerja dan pengusaha.
Dewan pengupahan harusnya mengkaji lebih dalam apa yang benar-benar dibutuhkan oleh
buruh/pekerja. Sehingga upah yang mereka dapatkan dapat meningkatkan kesejahteraan
hidup mereka. Dan setelah upah minimum ditentukan, hendaknya para pengusaha
memberikan upah diatas upah minimu tersebut (upah layak)

Anda mungkin juga menyukai