Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PERNIKAHAN

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Dossen Pengampu:

Dr. Hj. Mutimmatul Faidah, M.Ag.

Disusun Oleh:

1. Fajarani Erliana Fatmawati (19050404004)


2. Suci Wulan Ningsih (19050404006)
3. Rizki Lailatul Zakiyah (19050404017)
4. Airiza Aulia (19050404030)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN TATA BUSANA
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb
Salam sejahtera bagi kita semua

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan rahmat
hidayah dan inayah-Nya yang membantu kami mengerjakan sebuah karya tulis berupa
makalah ini dengan tepat waktu. Selain itu kami berterima kasih kepada Dosen yang
mengajar dan semua teman-teman yang kami hormati dan sayangi telah mendukung kami.

Pada makalah kali ini, banyak hal yang akan disampaikan mengenai Materi
Pernikahan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai hukum dan permasalahan dalam
pernikahan. Untuk membaca lebih lanjut dan dapat memahami dengan baik, anda dapat
membaca hasil karya ilmiah berupa makalah dari kami ini.

Kami menyadari bahwa karya ilmiah makalah masih membutuhkan saran dan kritik
dari pembaca. Kami berharap laporan yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Kritik dan saran sangat diterima dari anda untuk kami.

Demikian, kami mengucapkan terima kasih pada para pembaca yang telah
memberikan waktu untuk membaca makalah kami.

Wassalamualaikum wr.wb

Surabaya, 13 April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL.....................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................2

1.3 Tujuan.....................................................................................................................2

1.4 Manfaat...................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Perundang Undangan.............................3

2.2 Membentuk Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah.......................................5

2.3 Ragam Perkawinan di Masyarakat.........................................................................8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...........................................................................................................14

3.2 Saran.....................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................15

iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri ataupun keinginan didalam


dirinya. Pernikahan merupakan salah satu naluri serta kewajiban dari seorang
manusia. Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan
memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Swt.
Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun
di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Menikah merupakan perintah dari
Allah Swt. Seperti dalil berikut ini:

“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang
baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”(An-
Nahl;72)

Adapun secara Islam pernikahan itu sendiri mempunyai tatacara, syarat, tujuan,
hukum, serta hikmahnya tersendiri. Berdasarkan dalil dibawah ini merupakan salah satu
tujuan dari pernikahan:
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam
pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Al Irwa` no. 1994)
Berdasarkan dalil-dalil diatas jelas sekali Allah Swt. Telah mengatur sedemikian rupa
permasalahan mengenai pernikahan. Adapun pernyempurnaan dari wahyu yang diturunkan
oleh Allah swt. Telah disempurnakan oleh ahli tafsir dengan mengeluarkan dalil yang dapat
memperjelas mengenai pernikahan tanpa mengubah ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Allah Swt.
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna
ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan,
tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam
Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam
surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah).
Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang
yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia,
ketika manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat
adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya

1
manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia
dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT.

1.2 Rumusan Masalah

Beberapa Permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian Pernikahan ?

2. Bagaimana Hukum Pernikahan dalam islam?

3. Apa saja yang menjadi syarat pernikahan?

4. Apa tujuan dari pernikahan?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mengetahui pentingnya pengetahuan
terhadap Pernikahan (Munahakat) dimana setiap orang pasti akan mengalami sebuah
Pernikahan. Mulai dari pengertian, hukum, syarat tujuan dari pernikahan dalam islam.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari makalah ini adalah:


1. Pembaca dapat memahami pengertian dari Pernikahan.
2. Pembaca dapat mengetahui rinci hukum dari pernikahan dalam islam
3. Pembaca dapat mengetahui proses dalam sebuah Pernikahan secara Islam
4. Pembaca dapat mengetahui tujuan serta hikmah dari Pernikahan yang benar secara
Islam.

2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Perundang-Undangan
1. Konsep Pernikahan
Perkawinan dalam ilmu hukum Islam menggunakan kata nikah yang berasal dari
bahasa arab "nakaha", "yankihu", atau "nikahan" yang berarti kawin atau mengawini
(Munawwir, 1997: 1461). Ensiklopedi Islam, pengertian nikah adalah akad yang
mengandung kebolehan melakukan hubungan suami-istri dengan lafal nikah/kawin alàu vang
semakna dengan itu (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994: 34). Sementara itu, Shihab
(1999:191) mengemukakan bahwa perkawinan dalam al-quran selain menggunakan kata
nikah juga menggunakan kata "zawwaja" dari "zauwj" yang berarti "pasangan".
Menurut istilah, pernikahan berarti: (1) aqad antara calon stami-istri untuk memenuhi
hajat jenisnya menurut aturan syariat; (2) aqad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-
rukun serta syarat yang telah ditentukan untuk berkumpul; dan (3) aqad adalah ijab dari wali
perempuan atau wakilnya dan qabul adalah pihak calon suami atau wakilnya. Berdasar
pengertian di atas, pengertian nikah secara syar'i adalah seorang pria mengadakan akad
dengan wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta' (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, apat
beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah. Allah SWT berfirman:
"Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) Perjanjian yang
kuat".(An-Nisa': 21)
Dalam UU Perkawinan (UU No. Tahun 1974) bab 1 pasal 1, pengertian nikah adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
a. Syarat dan Rukun Nikah
Suatu perkawinan (nikah) dianggap sah, jika telah memenuhi syarat dan rukunnya. Secara
terperinci, syarat perkawinan menurut UU perkawinan :
(1) harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai;
(2) calon pengantin laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan
sudah mencapai usia 16 tahun; dan
(3) antara kedua calon pengantin tidak ada larangan untuk kawin.
Adapun rukun nikah ada enam, yaitu:
1. Pengantin laki-laki (calon suami) dengan syarat:
a) tidak dipaksa atau terpaksa;
b) tidak beristri empat orang;
c) bukan muhrimnya (pengantin perempuan) baik muhrim nashab (wanita yang
tidak boleh dikawini karena keturunan), muhrim rodlo'ah (wanita yang tidak
boleh dikawini karena persusuan), muhrim mushaharoh (wanita yang tidak
boleh dikawini sebab perkawinan);

3
d) tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan bakal istrinya;
e) tidak sedang berihram haji atau umroh; dan
f) beragama Islam

2. Pengantin perempuan (calon istri), dengan syarat:


a) telah mendapat izin walinya;
b) tidak bersuami atau tidak sedang iddah;
c) bukan muhrimnya (pengantin laki-laki);
d) belum pernah dili'an;
e) jelas orangnya;
f) bukan sedang berihram haji atau umrah; dan
g) beragama Islam.

3. Sighat akad (kalimat akad), yang terdiri dari ijab dan Kabul. Ijab adalah pernyataan
wali perempuan, seperti kata wali "saya nikahkan engkau dengan anak saya
bernama...dengan mahar..." ljab dapat dilakukan oleh naibul wali. Kabul adalah
jawaban dari mempelai laki- laki, misalanya denga kata-kata "saya terima
nikahnya...binti...dengan mahar kontan /utang".

4. Wali. Orang yang dapat menjadi wali ialah: (a) bapak; (b) kakek; saudara laki-laki
seibu-bapak (sekandung); (d) saudara laki-laki sebapak; (e) anak laki-laki saudara
sekandung; (f) anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak; (g) paman dari pihak
bapak; (h) anak laki- laki dari paman dari pihak bapak; dan (i) hakim.

5. Mas kawin (Mahar), yaitu pemberian sejumlah barang yang wajib diberikan
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan.

6. Saksi-saksi. Jumlah minimal dua orang. Berdasarkan hadis nabi "tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil". Saksi harus memenuhi syarat-
syarat seperti syarat-syarat menjadi wali.
Akad atau perjanjian pernikahan ini dikatakan sah, apabila dilaksanakan sesuai
dengan syarat akad nikah dan rukun nikah diatas. Syarat sah perkawinan menurut Islam idak
mengharuskan adanya pencatatan resmi dari instansi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Konsepsi tersebut berbeda dengan UU Perkawinan 1974, Undang-Undang perkawinan
memberikan konsep tentang pengertian perkawinan, yang diatur dalam pasal 1 yang
barbunvi: "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki- laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Rumusan tersebut mengandung pengertian: pertama, perkawinan merupakan ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, kedua orang berlainan
jenis tersebut telah terikat baik secara lahir maupun batin, sehingga mereka disebut suami
istri.
Kedua, perkawinan merupakan ikatan suci sesuai dengan agama atau kepercayaan
yang dianut oleh pasangan suami istri, sehingga perkawinan juga disebut lembaga sakral.
Ketiga, perkawinan dilaksanakan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, rukun,

4
aman, dan harmonis, serta saling pengertian sampai waktu memisahkan mereka atau
keduanya telah meninggal dunia.
Pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Perkawinan dikemukakan bahwa
suatu perkawinan dianggap sah jika telah memenuhi ketentuan hukum agama dan
kepercayaan yang dianur Suami maupun istri. Perkawinan perlu dicatat oleh PPN sesuai
engan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan suatu peristiwa hukum dalam
kehidupan seseorang dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum. Dengan demikian,
perkawinan dinyatakan sah apabila telah dilakukan sesuai hukum agama dan hukum negara
melalui pencatatan.
b. Hukum Nikah
Ketentuan hukum dalam melaksanakan pernikahan menurut Islam dibagi menjadi
lima, yaitu:
1. Wajib : Bagi mereka yang sudah berkeinginan menikah dan sudah
mempunyai kemampuan berumah tangga dari sisi ekonomi dan mentalitas,
apabila tidak segera menikah dikhawatirkan terjerumus perbuatan zina
2. Haram : Bagi mereka yang punya niat jahat dalam melaksanakan
pernikahan
3. Sunnah : Bagi mereka yang berkeinginan menikah dan sudah
mempunyai kemampuan untuk membiayai keluarga, tapi tidak ada
kekhawatiran terjerumus ke dalam zina
4. Makruh : Bagi mereka yang belum berkeinginan menikah sehingga
dikhawatirkan apabila menikah akan mengakibatkan keteledoran dalam
menunaikan kewajibannya
5. Mubah : Hukum asli pernikahan. Artinya, tiap orang yang telah
memenuhi syarat perkawinan, mubah atau boleh atau halal kawin

2.2 Membentuk Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah


Tujuan pernikahan adalah untuk meneruskan kelangsungan keturunan dengan penuh
kasih saying , mencetak generasi yang berkualitas , mencapai kebahagiaan yang kekal ,
tentram dan aman,( sakinah, mawaddah, warahmah ).
1. Syarat memilih calon suami dan istri.
Dalam memilih calon suami dan istri islam telah memberikan beberapa petunjuk
diantaranya:
a) Memilih calon istri yang memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik
karena wanita yang beragama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai
seorang istri dan ibu. Dalil yang menerangkan tentang calon istri yang
berakhlak baik adalah:
1) Rasulullah bersabda :
“ Perempuan dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunanya,
kecantikannya, dan karena agamanya lalu pilihlah perempuan yang beragama,niscaya
kamu akan bahagia.”

5
Allah SWT berfirman yang :

ِ I‫ ا‬Iَ‫ ب‬IِّI‫ ي‬Iَّ‫ط‬I‫ ل‬Iِ‫ ل‬I‫ن‬Iَ I‫ و‬Iُ‫ ب‬IِّI‫ ي‬Iَّ‫ط‬I‫ل‬I‫ ا‬I‫ َو‬I‫ن‬Iَ I‫ ي‬Iِ‫ ب‬IِّI‫ ي‬Iَّ‫ط‬I‫ ل‬Iِ‫ ل‬I‫ت‬
Iۚ I‫ت‬ Iُ I‫ ا‬Iَ‫ ب‬IِّI‫ ي‬Iَّ‫ط‬I‫ل‬I‫ ا‬I‫ َو‬Iۖ I‫ت‬
ِ I‫ ا‬Iَ‫ث‬I‫ ي‬Iِ‫ ب‬I‫ َخ‬I‫ ْل‬Iِ‫ ل‬I‫ن‬Iَ I‫ و‬Iُ‫ث‬I‫ ي‬Iِ‫ ب‬I‫ َخ‬I‫ ْل‬I‫ ا‬I‫و‬Iَ I‫ن‬Iَ I‫ ي‬Iِ‫ث‬I‫ ي‬Iِ‫ ب‬I‫خ‬Iَ I‫ ْل‬Iِ‫ ل‬I‫ت‬
Iُ I‫ ا‬Iَ‫ث‬I‫ ي‬Iِ‫ ب‬I‫ َخ‬I‫ ْل‬I‫ا‬ -

Iَ Iِ‫ ئ‬Iَ‫ل‬IٰI‫ و‬Iُ‫أ‬


ٌ I‫ز‬Iْ I‫ ِر‬I‫ َو‬Iٌ‫ ة‬I‫ َر‬Iِ‫ ف‬I‫ ْغ‬I‫ َم‬I‫ ْم‬Iُ‫ ه‬Iَ‫ ل‬Iۖ I‫ن‬Iَ I‫ و‬Iُ‫ل‬I‫ و‬Iُ‫ ق‬Iَ‫ ي‬I‫ ا‬I‫ َّم‬I‫ ِم‬I‫ن‬Iَ I‫ و‬I‫ ُء‬IَّI‫ ر‬Iَ‫ ب‬I‫ ُم‬I‫ك‬
Iٌ‫م‬I‫ ي‬I‫ ِر‬I‫ َك‬I‫ق‬

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh)
itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan
dan rezeki yang mulia (surga).( QS. An Nur : 26)

I‫ا‬I‫ و‬I Iُ‫ ق‬Iَ‫ ف‬I‫ ْن‬Iَ‫ أ‬I‫ ا‬III‫ َم‬Iِ‫ ب‬I‫ َو‬I‫ض‬ Iَ I‫ ْع‬Iَ‫ ب‬Iُ ‫ هَّللا‬I‫ َل‬I Iَّ‫ض‬IIَ‫ ف‬I‫ ا‬I‫ َم‬Iِ‫ ب‬I‫ ِء‬I‫ ا‬I‫ َس‬Iِّ‫ن‬I‫ل‬I‫ ا‬I‫ ى‬Iَ‫ ل‬I‫ َع‬I‫ن‬Iَ I‫ و‬I‫ ُم‬I‫ ا‬IَّI‫ و‬Iَ‫ ق‬I‫ ُل‬I‫ ا‬I‫ج‬Iَ IِّI‫ر‬I‫ل‬I‫ا‬
ٍ I‫ع‬Iْ Iَ‫ ب‬I‫ى‬Iٰ Iَ‫ ل‬I‫ َع‬I‫ ْم‬Iُ‫ ه‬II‫ض‬ -

ِ I‫ ْي‬I‫ َغ‬I‫ ْل‬Iِ‫ ل‬I‫ت‬


I‫ ي‬Iِ‫اَّل ت‬I‫ل‬I‫ ا‬I‫و‬Iَ Iۚ Iُ ‫ هَّللا‬Iَ‫ ظ‬IIIِ‫ ف‬I‫ َح‬I‫ ا‬III‫ َم‬Iِ‫ ب‬I‫ب‬ Iٌ I‫ ا‬IIIَ‫ ظ‬Iِ‫ف‬I‫ ا‬I‫ َح‬I‫ت‬
Iٌ I‫ ا‬IIَI‫ ت‬Iِ‫ن‬I‫ ا‬Iَ‫ ق‬I‫ت‬ Iَّ ‫ل‬I‫ ا‬Iَ‫ ف‬Iۚ I‫ ْم‬I‫ ِه‬Iِ‫ل‬I‫ ا‬I‫و‬Iَ III‫ ْم‬Iَ‫ أ‬I‫ن‬Iْ I‫ِم‬
Iُ I‫ ا‬I‫ َح‬Iِ‫ل‬I‫ ا‬II‫ص‬I

I‫ن‬Iْ Iِ‫ إ‬IIIَ‫ ف‬Iۖ I‫ َّن‬Iُ‫ه‬I‫ و‬Iُ‫ ب‬I‫ ِر‬II‫ض‬I


Iْ ‫ ا‬I‫ َو‬I‫ ِع‬I‫ج‬Iِ I‫ ا‬II‫ض‬ Iَ I‫ َم‬I‫ ْل‬I‫ ا‬I‫ ي‬Iِ‫ ف‬I‫ َّن‬Iُ‫ه‬I‫ و‬I‫ ُر‬IIُI‫ ج‬I‫ ْه‬I‫ ا‬I‫و‬Iَ I‫ َّن‬Iُ‫ه‬I‫ و‬IIIُ‫ ظ‬I‫ ِع‬Iَ‫ ف‬I‫ َّن‬Iُ‫ ه‬I‫ َز‬I‫ و‬II‫ش‬I Iُ Iُ‫ ن‬I‫ن‬Iَ I‫ و‬Iُ‫ف‬I‫ ا‬IIَI‫ خ‬Iَ‫ت‬

I‫ ا‬I‫ ًر‬I‫ ي‬Iِ‫ ب‬I‫ َك‬I‫ ا‬Iًّ‫ ي‬Iِ‫ ل‬I‫ َع‬I‫ن‬Iَ I‫ ا‬I‫ َك‬Iَ ‫ هَّللا‬I‫ َّن‬Iِ‫ إ‬Iۗ ‫اًل‬I‫ ي‬Iِ‫ ب‬I‫ َس‬I‫ َّن‬I‫ ِه‬I‫ ْي‬Iَ‫ ل‬I‫ َع‬I‫ا‬I‫ و‬I‫ ُغ‬I‫ ْب‬Iَ‫ اَل ت‬Iَ‫ ف‬I‫ ْم‬I‫ ُك‬Iَ‫ ن‬I‫ ْع‬Iَ‫ ط‬Iَ‫أ‬

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”(QS. An Nisa :34)

2) Rasulullah bersabda yang artinya:

Dunia adalah perhiasan, dan sebaik baik perhiasan adalah wanita shalihah"
(HR. Muslim no 1467)

Hendaklah menikahi calon istri penyayang dan banyak anak:

3) Rasululla bersabda,yang artinya:

6
“ … kawinilah perempuan yang penyayang dan banyak anak…”(HR. Ahmad dan di sahihkan
oleh Ibnu Hibban.).dalam memilih wanita yang banyak melahirkan ada tiga hal yang harus di
perhatikan,pertama , kekuatan fisik dan penyakit-penyakit yang menghalangi dari
kehamilan.kedua, melihat keadaan ibunya dan saudara saudaranya yang telah menikah,
sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirakan anak maka biasanya
wanita itu pun akan seperti itu.,dan yang ketiga hendaknya memilih calon istri yang masih
gadis terutama bagi pemuda yang belum pernah menikah . hal ini di maksudkakn untuk
mencapai hikmah secara sempurna dan manfaatnya adalah memelihara keluarga dari hal-hal
yang akan menyusahkan kehidupannya dan menjerumuskan ke dalam berbagai macam
perselisihan. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya
kepada laki-laki yang pertama kali melindungi, menemui, dan mengenalinya.

Sedangkan syarat memilih calon suami adalah:

a. Berilmu dan baik akhlaknya


Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“apabila kamu sekalian di datangi seseorang yang diam dan akhlaknya kamu
ridhai maka kawinkanlah dia.jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka
akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.”

b. Bertaqwa dan berakhlak mulia


Rasulullah SAW bersabda:
“jangan membenci orang mukmin (laki- laki)pada mukminat (perempuan) jka
ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan yang lainnya ia sukai.
(HR.Muslim)

2. Hak dan kewajiban suami dan istri


Kewajiban suami antara lain:
a. Memberikan kebutuhan hidup ,baik materiil maupun spiritual
b. Melindungi keluarganya dari berbagai macam ancaman,serta memelihara
diri dan keluarganya dari perbuatan keji dan maksiat.
c. Mengasihi dan menyayangi istri dan keluarga
d. Membimbing dan mengarahkan keluarga ke jalan yang benar dan di ridhai
Allah.
e. Memberikan kebebasan bagi istri untuk belajar ilmu pengetahuan yang
berguna bagi diri da
f. Sopan dan hormat kepada orang tua baik mertua maupun keluargannya.

Kewajiban istri antara lain;


a. Menyenangkan apabila di lihat suami
b. Mendatangi panggilan suami
c. Taat lepada suami selama tidak melanggar agama
d. Memelihara harta suami dengan sebaik baiknya,
e. Mendidik, memelihara, dan mengajarkan ajaran agama kepada anak
anaknya.
f. Berbakti kepada orang tua (mertua atau keluarganya)

7
2.3 Ragam Perkawinan di Masyarakat
1. Nikah Beda Agama
Pernikahan beda agama diatur dalam Surat Al-Baqoroh :221 yang menerangkan
larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman. Selain itu didalam surat
Al-Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya larangan mengembalikan wanita Islam yang
hijrah dari makkah ke madinah kepada suami mereka di makkah dan meneruskan
hubungan rumah tangga dengan perempuan kafir.
Meski secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda agama dalam
teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan untuk terjadinya
pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dengan wanita ahli kitab,
pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat al- Maidah ayat 5 yang
menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab bagi kaum
muslim.
Masalah perkawinan beda agama telah mendapatkan perhatian serius ulama diTanah
Air. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah
mendapatkan fatwa tentang pernikahan beda agama ini.
1. Ulama di Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita muslim dengan laki-
laki non muslim hukumnya haram.
2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim.
Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Al-Quran dan hadis sebagai dasar
hukum ayat dan hadis yang mendasari bahwa tersebut adalah sebagai berikut:
a. “Dan jangan kamu nikahi wanita musyrik hingga mereka beriman (masuk Islam).
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan wanita orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia
menarik hatimu” (QS: Al-Baqarah ayat 221)
b. “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-
orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu. Dan makanan kamu halal pula bagi
mereka, (yang dihalalkan mengawini) wanita wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, dengan tidak maksud tidak berzina
dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuskanlah
amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS Al-
Maidah ayat 5)
c. “Hai orang-orang yang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka dan bahan bakarnya adalah manusia dan batu: penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar yang keras yang tidak mendurhakai Allah kepada apa yang
diperintahkan” (At-Tahrim ayat 6).

8
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama
itu ditetapkan di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya
menegaskan bahwa antara dua orang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Majelis Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama secara
tegas ulama Muhammadiyah menyatakan seorang bahwa seorang wanita muslim dilarang
menikah dengan pria non muslim hal itu sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 20 21 seperti
yang telah disebutkan di atas.
Pernikahan beda agama juga dilarang dari segi hukum dalam UU Nomor 1 Tahun
1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama yang dianut oleh kedua mempelai pernikahan beda agama
yang dicatat di Kantor Catatan Sipil tidak tetap tidak sah hal itu dinilai sebagai sebuah
perjanjian yang bersifat administratif.
Implikasi Pernikahan Beda Agama terhadap Status Anak, Anak adalah belahan jiwa
dan potongan daging orang tuanya. Begitu pentingnya eksistensi akan lambang penerus dan
lambang keabadian ini, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya pernikahan. Pensyari’atan
pernikahan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan yang baik, memelihara nasab,
menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah. Pernikahan beda
agama yang terjadi antara dua insan manusia, tentunya memiliki dampak atau implikasi pada
status anak dikemudian hari. Implikasi tersebut dapat diidentifikasikan dengan status anak
yang bukan menjadi anak kandung, karena dalam pembahasan di atas hukum pernikahan
beda agama dalam Islam adalah dilarang (haram). Status anak ‘haram’ akibat pernikahan
beda agama pada prinsipnya, penulis tidak sependapat dengan istilah tersebut, karena di
samping istilah itu tidak dikenal dalam hukum positif, juga terdengar kurang etis bagi yang
bersangkutan. Selain itu, kelahiran seorang anak di dunia ini tidak pernah dikehendaki oleh
anak itu sendiri. Kelahirannya semata-mata merupakan kehendak sadar kedua orang tuanya.
Terhadap anak tersebut lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah.
2. Nikah Sirri
Nikah sirri kata sirih berasal dari bahasa Arab yang artinya harfiahnya rahasia
menurut terminologi fiqih Maliki ialah atas pesanan suami para saksi merahasiakannya jika
poligami suami merahasiakan nya pada istri pertamanya dan juga keluarganya. Nikah sirri
sendiri menurut arti diksi bermakna perkawinan yang dilakukan secara sembunyi- sembunyi
atau rahasia yang dalam perkembangannya istilah kawin siri mempunyai keterikatan dengan
aturan Negara. Sehingga kawin siri bermakna suatu perkawinan yang tidak dicatatkan kepada
petugas pencatat akta nikah.
Nikah sirri dianggap sah secara agama Islam oleh masyarakat kebanyakan namun
juga dianggap melanggar aturan pemerintah. Namun demikian konsep dan tafsir atas kawin
siri tetap mengudara dari waktu ke waktu dan lebih kepada “merahasiakan” suatu perkawinan
tertentu. Sementara itu pemaknaaan kawin siri dalam ajaran Islam merupakan suatu bentuk
substantif yang di dalamnya terdapat kekurangan syarat dan rukun perkawinan meskipun
dilihat secara formal itu terpenuhi. Sedangkan dari sisi sosiologisnya masyarakat dalam
spektrum perundangan akan dimaknai bahwa setiap perkawinan yang tidak dicatatkan oleh
lembaga yang berwenang. Perkawinan sirri ada beberapa macam, di antaranya yaitu
perkawinan tanpa wali. Perkawinan semacam ini kadang dilakukan secara rahasia atau siri,
sebab wali perempuan mungkin tidak setuju atau mungkin pula karena keabsahan perkawinan

9
dianggap belum terpenuhi. Mungkin pula hanya demi memuaskan nafsu syahwat sehingga
mengindahkan ketentuan syariat-syariat. Perkawinan seperti yang dijelaskan ini jelas sekali
sangat tidak sah, sebab wali merupakan rukun sah nikah.
Menurut pandangan ulama nikah siri terbagi menjadi dua :
a. Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran Wali dan saksi saksi,
atau hanya dihadiri Wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi kemudian pihak-pihak
yang hadir (suami istri dan wali) meyepakati untuk menyembunyikan pernikahan
tersebut.
b. Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang terpenuhi
seperti ijab, kabul, wali, dan saksi-saksi. Akan tetapi mereka suami istri Wali dan
saksi 1 kata untuk merahasiakan pernikahan ini dari masyarakat. Jumhur Ulalma
memandang pernikahan seperti ini sah, tapi hukumnya dilarang. Sebab, suatu
perkara yang rahasia jika telah dihadiri 2 orang atau lebih, maka sudah bukan
rahasia lagi.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, definisi nikah siri ada beberapa versi :
1. Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam, namun tidak didaftarkan
ke KUA (selaku lembaga perwakilan Negara dalam bidang pernikahan).
2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak perempuan.
3. Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama, maupun secara negara (juga
tercatat dalam KUA), namun tidak disebarluaskan (tidak diadakan walimah/
resepsi)
Di antara efek pernikahan sirri bagi anak dan istri :
1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan suami.
2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum
adat, tidak bisa dipengadilan agama.
3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat karena tidak tercatat secara
hukum.
4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status, seperti akta
kelahiran. Sebab untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta
nikah.
5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal seperti tinjangan jasa
raharja. Apabila suami sebagai PNS, maka istri tidak memperoleh tunjangan
perkawinan dan tunjangan suami.
6. Anak dan istri terancam tidak mendapatkan hak waris, karena tidak ada bukti
administrasi perkawinan.
7. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal seperti tinjangan jasa
raharja. Apabila suami sebagai PNS, maka istri tidak memperoleh tunjangan
perkawinan dan tunjangan suami.
8. Anak dan istri terancam tidak mendapatkan hak waris, karena tidak ada bukti
administrasi perkawinan.
3. Nikah Mut’ ah

10
Mut'ah identik dengan kata tamattu' yang berarti bersenang- senang atau menikmati.
Secara istilah, mut'ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan
sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan
batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau
tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya, jika meninggal sebelum
berakhirnya masa nikah mut'ah itu.
Nikah mut'ah disebut juga pernikahan sementara. Dinamakan mut'ah karena laki-
lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Dalam nikah mut'ah,
jangka waktu perjanjian pernikahan dan besarnya yang harus diberikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi dinyatakan secara spersifik dan eksplisit.
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut'ah dihalalkan, hadits Nabi: ”Kami pergi
berperang bersama Rasulullah SAW, tanpa membawa istri lalu kami bertanya: bolehkah kami
menyendiri? Beliau melarang kami melakukan itu kemudian memberikan rukhsah untuk
menikahi wanita dengan pakaian sebagai mahar selama tempo waktu tertentu lalu Abdullah
membacakan ayat tersebut. (HR. Bukhari Muslim). Hadits dari Jabir bin Abdillah dan
Salamah bin ”Akwa berkata: pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami
Rasul SAW: ”telah diizinkan bagi kalian nikah mut'ah, maka sekarang mut' ahlak. ”
Namun hukum ini telah dimansukh/dihapus dengan larangan Rasul SAW untuk
menikahi mut'ah. Para Ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya nikah mut'ah
tersebut. Pendapat yang lebih rajah bahwa nikah mut'ah diharamkan pada saat fathu makkah
tahun 8 Hijriyah.
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi'in bahwa nikah mut'ah
hukumnya boleh, sedangka Ibnu Abbas membolehkan nikah mut'ah ini tidaklah secara
mutlak, akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan
kedharuratannya, maka ia merevisi pendapatnya tersebut. Ia berkata:
"inna lillahi wainna ilaihi raji'un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu
(hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang gaya inginkan. Saya tidak
menghalalkan nikah mut'ah kecuali dalam keadaan darura sebagaimana halalnya bangkai,
darah, dan daging babi ketika dalam keadaan darurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi
dalam keadaan dharurat. Nikah mut'ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang
awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi
boleh”.
Nikah mut'ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila
waktunya telah habis maka akan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam
nikah mut'ah, seorang wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika suami
meninggal. Namun demikian, wanita yang bersedia dinikahi secara mutt'ah berhak
menentukan mahar sebesar yang diinginkan. Dengan begitu, tujuan nikah mut'ah ini tidak
sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam dan dalam nikah mut'ah ini pihak wanita
sangat dirugikan. Oleh karena itu, nikah mut'ah ini dilarang oleh Islam.
Pendapat yang mengharamkan nikah nikah didasarkan atas hadist shahih sbb.
”Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa'r.a berkata: Rasulullah s.a.w
memperbolehkan nikah mut'ah selama tiga hari dalam tahun Authas (ketika ditundukannya

11
Makkah, fathu Makkah) kemudian (selain itu) melarangnya" .”Wahai sekalian manusia,
Sesungguhnya aku pernah mengijinkan nikah mut'ah dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya, barang siapa yang masih mempunyai
ikatan mut'ah maka segara lepaskanlah, dan janganlah kalian ambil apa yang telah kalian
berikan kepada wanita yang kalian mut'ah”.

4. Poligami
Pada dasarnya Islam 'memperbolehkan' seorang pria boleh memperistri lebih dari satu
(poligami). Hal tersebut diatur dalam QS An-Nisaa: 3,
”Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, (bila menikahi) anakanak yatim maka
nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu
takut tidak akan bisa berlaku adil, maka seorang sajalah, atau hamba-hamba sahaya yang
kamu miliki yang demikian itulah yang lebih memungkinkan kamu terhindar dari berlaku
sewenang-wanang”.
Untuk menjaga kebolehan poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang kurang
mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran Islam, negara dibenarkan
mengadakan penertiban, tetapi tidak berkecenderungan untuk menutup sama sekali poligami.
Menurut UU No 1, tahun 1974 pasal 1 dan 2, pada dasarnya seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri. Pasal-pasal selanjutnya dijelaskan bahwa suami mendapat izin
berpoligami dari pengadilan agama setempat, jika memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak melahirkan keturunan.
Suami berpoligami menempuh prosedur sebagai berikut:
1. Suami mengajukan pernikahan poligami dengan alasan yang kuat kepada
pengadilan agama setempat.
2. Adanya persetujuan dari istri pertama
3. Suami mampu memberikan nafkah
4. Adanya jaminan bahwa suami akan berbuat adil kepada istriistrinya
Adapun dampak-dampak poligami bagi istri antara lain:
1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa
tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya
memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2. Dampak ekonomi: ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada
beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam
praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda
dan menelatarkan istri dan anak-anaknya yang terdalahulu. Akibatnya istri yang
tidak memiliki perkerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Dampak hukum: seringya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan tidak dapat
dicatatkan pad kantor catatan sipil atau KUA), sehingga perkawinan dianggap
tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak

12
perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan dianggap
tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
4. Dampak kesehatan: kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau
istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan
terjangkit HIV atau AIDS.
5. Kekerasan terdapat perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi. seksual,maupun
psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu
kekerasan terjadi pada rumah tangga yang monogami.

13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pernikahan yang dilandasi karena Allah, bukan karena harta benda dan lain-
lain akan dapat menjadikan pasangan suami-isteri memperoleh keridhan Allah
SWT, sehingga akan dengan mudah terwujud kehidupan keluarga yang sakinah,
mawaddah, warahmah.
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran dari pemabaca agar
makalah yang kami buat menjadi lebih baik lagi. Kritik dan saran dari pembaca
sangat berguna bagi kami kedepannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

M. Turhan Yani, dkk. 2020. Pendidikan Agama Islam Kontekstual di Perguruan Tinggi,
Surabaya : Unesa University Press.
Fakta Empiris Nikah Beda Agama di
http://blog.umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07/fakta-empiris-nikah-beda-agama
Naharin, Ni’matun dan Nur Fadhilah. 2017. “Pernikahan dibawah Tangan (Nikah Siri) dalam
Prespektif Feminis”. Jurnal Hukum Islam

15

Anda mungkin juga menyukai