Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PEMBAHASAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kepemilikan sekarang ini masih menjadi perselisihan. Ada

yang menganggap milik nasional dan masyarakat harus mengakui bahwa

pemerintahlah yang memiliki semua sumber. Ada juga yang memperlakukan

sebagai milik perorangan, sehingga setiap orang bisa menikmati kebebasan

hak memiliki.

Kepemilikan sebagai persoalan ekonomi mendapat perhatiaan yang

cukup besar dalam islam. Pada dasarnya, kepemilikan merupakan pokok

persoalan dalam aktivitas ekonomi manusia. Secara teologis, kepemilikan

yang hakiki berada di tangan Allah. Manusia hanya diberi kesempatan untuk

menjalankan dalam bentuk amanat. Islam menggariskan bahwa kepemilikan

senantiasa dipahami dalam dua dimensi, kepemilikan umum, dan khusus.

Kepemilikan umum berkaitan dengan karakte rmanusia sebagai makhluk

sosial, sedangkan kepemilikan khusus merupakan pengejawantahan sebagai

makhluk individu. Manusia harus diberikan ruang yang sama untuk

mengakses sumber kekayaan umum. Tidak ada pembedaan hirarki mengingat

manusia mempunyai kedudukan sama dihadapan Tuhan. Hanya ketakwaan,

dan kepatuhan terhadap demarkasi ketetapan Tuhan yang membedakan

manusia. Dalam hal ini, kreativitas dan kapasitas personal memiliki peran

penentu dalam mewujudkan kesejahteraan dari usaha pemanfaatan kekayaan

alam yang telah disediakan oleh Tuhan.

1
Karakter makhluk sosial bukanlah hal dominan yang berkembang

dalam diri manusia. Pada saat tertentu, manusia menunjukkan sisi lainnya

yaitu sikap egois dan tidak mempedulikan orang lain yang merupakan

pengejawantahan sisi sebagai makhluk hidup. Bahkan dalam batas-batas

tertentu, manusia dapat saling menjatuhkan dan menyingkirkan orang lain.

Sebagai pertimbangan, harus ada institusi sosial yang mengatur dan

memberikan regulasi dalam relasi sosial.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dengan latar belakang di atas dan untuk memperoleh

kejelasan yang lebih mengarah dalam penulisan ini, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut,

1. Apa konsep kepemilikan dalam islam?

2. Apa saja macam-macam kepemilikan dalam islam?

3. Bagaimanakah distribusi kepemilikan dalam islam?

4. Apa pengembangan kepemilikan dalam islam?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasar pada latar belakang di atas, penulisan karya ilmiah ini

memiliki beberapa tujuan sebagai berikut,

1. Untuk mengetahui konsep kepemilikan dalam islam.

2. Memudahkan pembaca dalam memahami macam-macam kepemilikan

dalam islam.

2
3. Menjadi sarana pembantu dalam mengerti tentang distribusi kepemilikan

dalam islam.

4. Memberi wawasan tentang pengembangan kepemilikan dalam islam.

5. Untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi mikro islam.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Kepemilikan dalam Islam

Kepemilikan dalam islam memiliki beberapa konsep yang berbeda dari

kosep kepemilikan yang lain, baik sosialisme maupun kapitalisme.

Berdasarkan sifat kepemilikannya, dalam islam Allah adalah pemilik utama

yang bersifat mutlak, sedangkan manusia memiliki hak kepemilikan tersebut.

Maksudnya adalah Allah yang memiliki alam semesta beserta isinya, tetapi

oleh Allah, manusia diberi kehendak untuk mimiliki sesuatu.

Dari segi pemanfaatannya, kepemilikan dalam islam menegaskan

bahwa setiap manusia yang memiliki sesuatu baik berupa material riil

maupun tidak riil, harus memenuhi kewajiban dalam memanfaatkannya

sesuai syari’at yang ditentukan oleh Allah. Hal ini memungkinkan bagi

manusia untuk memanfaatkan kepemilikan mereka secara maksimal asal

sesuai dengan aturan-atura islam dan tidak menimbulkan kerugian bagi diri

sendiri maupun orang lain.

Segi prioritas kepemilikan, berbeda dengan konsep kepemilikan

kapitalisme dan sosialisme. Jika dalam kapitalisme, hak milik individu

dijunjung tinggi, dalam sosialisme hak milik kolektif/sosial dijunjung tinggi,

sedangkan dalam islam hak milik individu dan kolektif diatur oleh agama.

Dari segi peran individu dan negara, kepemilikan dalam islam terdapat

kewajiban individu-masyarakat-negara secara proporsional. Maksudnya

4
adalah, setiap pihak baik individu, masyarakat, maupun negara memiliki

kewajiban dan hak, seperti kewajiban menjaga atau hak untuk mengatur dan

memanfaatkan.

Dilihat dari sudut pandang distribusi kepemilikan, dalam islaam

sebagian diatur oleh pasar, sebagian oleh pemerintah dan sebagian lagi diatur

langsung oleh Allah lewat perantara Al-Qur’an. Hal ini tentu berbeda dengan

konsep kapitalisme yang bertumpu hanya pada mekanisme pasar saja, atau

konsep sosialisme yang hanya bertumpu pada peran pemerintah.

Terakhir, dilihat dari segi tanggung jawab pemanfaatan, seperti

dijelaskan diatas bahwa semua pihak memiliki kewajiban dan hak, maka

setiap pihak pun juga memiliki sebuah tanggung jawab atas kepemilikan.

Yakni pertanggung jawaban kepada diri, pertanggung jawaban pada publik,

dan pertanggung jawaban kepada Allah baik di dunia maupun di akhirat

nanti.1

Indikator Kapitalisme Sosialisme Islam


Allah adalah
pemilik mutlak,
Kepemilikan Kepemilikan sementara
Sistem
mutlak oleh mutlak oleh manusia
Kepemilikan
manusia manusia memiliki
kepemilikan
terbatas
Pemanfaatan
Hak Manusia bebas Manusia bebas oleh manusia
pemanfaatan memanfaatkannya memanfaatkannya mengikuti
ketentuan Allah
Prioritas Hak milik Hak milik Hak milik
1
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), hlm. 77.

5
individu dan
individu dijunjung kolektif/sosial
kepemilikan kolektif diatur
tinggi dijunjung tinggi
oleh agama
Terdapat
Negara yang kewajiban
Individu bebas
Peran individu mengatur individu-
memanfaatkan
dan negara pemanfaatan masyarakat-
sumber daya
sumber daya negara secara
proporsional
Sebagian diatur
oleh pasar,
Distribusi Bertumpu pada Bertumpu pada
pemerintah, dan
kepemilikan mekanisme pasar peran pemerintah
langsung oleh
Al-Qur’an
Pertanggung
Pertanggung Pertanggung
jawaban kepada
jawaban kepada jawaban kepada
Tanggung jawab diri sendiri,
diri sendiri secara publik secara
kepemilikan publik, dan Allah
ekonomis-teknis ekonomis-teknis
di dunia dan
belaka belaka
akhirat
Tabel 2.1

Perbandingan Konsep Kepemilikan Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam

2.2 Macam-Macam Kepemikan dalam Islam

2.2.1 Kepemilikan Individu

Kepemilkan individu adalah hukum syara’ yang ditentukan pada

zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang

mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta

memperoleh kompensasi –baik karena barangnya diambil kegunaan

(utility) –nya oleh orang lain seperti dipinjam, disewa, ataupun

dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.

6
Sebagai contoh, semisal hak milik seserang atas roti dan rumah.

Maka, boleh saja orang itu memiliki roti untuk dimakan, dijual, atau

dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Orang itu juga boleh memiliki rumah

untuk dihuni, dijual, atau disewakan. Yang mana masing-masing dari

roti dan rumah tersebut adalah zat. Sementara hukum syara’ yang

ditentukan untuk keduanya adalah izin al-Syari’ kepada manusia untuk

memanfaatkannya. Hukum syara’ yang dikenakan pada roti adalah

hukum syara’ yang ditentukan pada zatnya, seperti izin untuk

memakannya. Sedangkan hukum syara’ yang dikenakan pada rumah

adalah hukum syara’ yang ditentukan pada kegunaannya (utility),

seperti izin untuk menempatinya.

Atas dasar inilah, maka kepemilikan itu merupakan izin al-Syari’

dalam memanfaatkannya. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak

akan ditetapkan selain dengan ketetapan al-Syari’ atas zat tersebut, serta

sebab-sebab kepemilikannya. Jika demikian, maka kepemilikan atas

suatu zat tentu bukan semata-mata dari zat itu sendiri ataupun karakter

dasarnya (bermanfaat atau tidak bermanfaat). Akan tetapi, ia berasal

dari adanya izin yang diberikan al-Syari’, serta dari sebab-sebab

kepemilikan, sehingga menimbulkan akibatnya yaitu adanya hak milik

atas zat tersebut secara syar’i.

Dalam hal ini melihat bahwa Allah memberikan izin untuk

memiliki beberapa zat dan melarang memiliki zat-zat yang lain. Allah

juga telah memberikan izin terhadap beberapa zat yang memang

7
memberi izin atas beberapa transaksi dan melarang beberapa transaksi

yang lain. Contoh, larangan seorang muslim untuk memiliki minuman

keras dan babi, sebagaimana larangan Allah bagi siapapun terkait

masalah riba dan perjudian. Tetapi Allah memberi izin melakukan jual

beli, disamping melarang dan menghalalkan riba.

Kepemilikan atas suatu zat itu berarti kepemilikan atas zat

barangnya sekaligus kegunaannya (utility) zatnya, bukan hanya sekedar

kepemilikan atas kegunaannya (utility) saja. Karena tujuan dari

kepemilikan adalah pemanfaatan atas suatu zat. Dengan demikian

jelasalah bahwa makna kepemilkan individu itu adalah mewujudkan

kekuasaan seseorang terhadap kekayaan yang dimilikinya.2

2.2.2 Kepemilikan Umum

Kepemilikan umum adalah izin al-syari kepada suatu komunitas

untuk bersama-sama memanfaatkan benda/barang, Sedangkan benda-

benda yang tergolong dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-

benda yang telah dinyatakan oleh al-syari sebagai benda-benda yang

dimiliki suatu komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai

oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu

dapat memanfaatkannya, namun dilarang memilikinya. Setidaknya,

benda-benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum

ini ada tiga jenis yaitu:

2
Ali Akbar, “Konsep Kepemilikan dalam Islam”. Jurnal Ushuluddin. Vol. XVIII No. 2, Juli 2012.
hlm. 131-133.

8
 Fasilitas dan Sarana Umum

Maksud fasilitas atau sarana umum adalah apa saja yang dianggap

sebagai kepentingan manusia secara umum. Benda ini tergolong ke

dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi kebutuhan pokok

masyarakat, dan jika tidak terpemhi dapat menyebabkan perpecahan

dan persengketaan. Contohnya adalah air, transportasi, lahan, dan

sebagainya.

 Sumber alam yang tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki

oleh individu secara perorangan

Meski sama-sama sebagai sarana umum sebagaimana

kepemilikan umum jenis pertama, akan tetapi terdapat perbedaan antara

keduanya. Jika kepemilikan jenis pertama, tabiat dan asal

pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya,

maka jenis kedua ini, Secara tabiat dan asal pembentukannya,

menghalangi seseorang untuk memilikinya secara pribadi.

Contohnya adalah jalan, manusia berhak lalu lalang di atasnya.

Oleh karena itu, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain

yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa. Yang

termasuk dalam kategori ini adalah kereta api, instalasi air dan listrik,

tiang-tiang penyangga istrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya

adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai

milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.

9
 Barang tambang yang depositnya tidak terbatas

Dalil yang digunakan sebagai dasar untuk jenis ini adalah hadist

Nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyadhibn Hamal yang meminta

kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola tambang garam di

daerah Ma’rab.

ِ ِ ِ ِ
َ ‫أَنَّهُ َوفَ َد إِىَل َر ُسول اللَّه‬
ْ َ‫صلَّى اللَّ ُه ْم َعلَْيه َو َسلَّ ْم ف‬
ُ‫اسَت ْقطَ َعهُ الْم ْل َح َف َقطَ َعهُ لَه‬

‫ت لَهُ الْ َماءَ العِ َّد‬


َ ‫ت لَهُ إِمَّنَا قَطَ ْع‬ ِ ِ‫َفلَ َّما أَ ْن َوىَّل قَ َال َر ُج ٌل ِم َن الْ َم ْجل‬
َ ‫س أَتَ ْد ِري َما قَطَ ْع‬

ِ ‫قَ َال فَا ْنَتز‬


ُ‫ع مْنه‬
َ َ

Artinya:

Bahwa ia datang kepada Rasulullah SWA meminta (tambang)

garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang

laki-laki yang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa

yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah

memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir”. Lalu ia berkata:

kemudian Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya”.

Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja,

melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya

banyak. Contoh lainnya adalah emas, perak, dan sebagainya.

Barang tambang seperti ini menjadi milik umum sehingga tidak

boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Juga tidak boleh

hukumnya member keistimewaan kepada seseorang atau lembaga

10
tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi penguasa wajib

membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah

yang wajib menggalinya, mengolahnya, dan menjualnya.3

2.2.3 Kepemilikan Negara

Kepemilikan Negara adalah harta yang ditetapkan Allah menjadi

hak seluruh rakyat, dan pengelolaannya menjadi wewenang Negara,

dimana Negara berhak memberikannya kepada sebagian rakyat sesuai

dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh pemerintah ini adalah

adanya kekuasaan yang dimiliki pemerintah untuk mengelolanya.

kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang

tidak dapat digolongkan ke dalam jenis harta milik umum, namun

terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu.

Maksudnya adalah kepemilikan negara pada dasarnya juga merupakan

hak milik umum tetapi hak pengelolaannya menjadi wewenang dan

tanggung jawab pemerintah. Meskipun demikian, cakupan kepemilikan

umum dapat dikuasai oleh pemerintah, karena ia merupakan hak

seluruh rakyat dalam suatu negara, yang wewenang pengelolaannya ada

pada tangan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah memiliki

wewenang untuk mengelola hak milik umum karena ia merupakan

representasi kepentingan rakyat dan mengemban amanah masyarakat.

Perlu dipahami bahwa hak milik negara berbeda dengan hak milik

umum. Hak milik negara ini dapat dialihkan menjadi hak milik
3
Ibid., hlm. 133-136.

11
individu, jika memang kebijakan negara menghendaki demikian. Akan

tetapi hak milik umum tidak dapat dialihkan menjadi hak milik individu

meskipun ia dikelola oleh pemerintah. dalam hubungannya dengan hak

milik umum, pada dasarnya pemerintah hanyalah pengorganisir dan

pelaksana amanah dari masyarakat. Sedangkan dalam hak milik negara

pemerintah memiliki otoritas sepenuhnya.

berikut adalah beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam

jenis kepemilikan negara menurut al-Syari’:

1. Harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir dan

harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan.

2. Hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir baik

melalui peperangan atau tidak.

3. Hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir

sebagai tunduknya mereka kepada Islam.

4. Harta yang berasal dari pajak.

5. Harta yang berasal dari pajak penjualan yang diambil pemerintah

dari pedagang yang melewati batas wilayahnya.

6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa

waris.

7. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad.

8. Harta yang diperoleh secara tidak sah oleh para penguasa dan

pegawai negara.

12
9. Harta yang didapat tidak menurut syariah agama.4

2.3 Distribusi Kepemilikan

Distribusi yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dengan istilah “dulah”

yang artinya peredaran. Distribusi pendapatan merupakan suatu proses

pembagian (sebagian hasil penghasilan produk) kepada faktor-faktor produksi

yang ikut menentukan pendapatan. Distribusi dalam sistem ekonomi islam

menjunjung tinggi nilai keadilan.

Konsep utama distribusi menurut pandangan islam adalah peningkatan

dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat

ditingkatkan, sehingga kekayaan yang melimpah ini bisa merata dan tidak

hanya beredar antara golongan tertentu saja. Sebagaimana sesuai dengan Q.S.

Al-Hasyr ayat 7 yang artinya:

“ ......... supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang

kaya di antara kamu....”

Kebijakan distribusi yang diajarkan islam sangat berkaitan dengan harta

agar tidak menumpuk pada golongan tertentu di masyarakat. Serta

mendorong terciptanya keadilan distribusi, karena islam juga menghedaki

kesamaan pada setiap orang dalam memperoleh peluang mendapatkan harta

kekayaan tenpa memandang perbedaan apapun.Semua orang dapat

memperoleh harta dengan bebas berdasarkan kemampuan usaha mereka,

4
Ibid., hlm. 136-137.

13
sehingga setiap orang dapat memperoleh harta dengan jumlah yang berbeda-

beda.

Bentuk distribusi pendapatan dan kekayaan menurut islam:

1. Zakat menjadi model distribusi wajib individu.

Kesadaran untuk menunaikan kewajiban zakat merupakan kata kunci

bagi terciptanya umat yang sejahtera. Zakat memiliki dimensi sosial, moral,

dan ekonomi. Dalam dimensi sosial, zakat merupakan kewajiban sosial yang

bersifat ibadah. Pada dimensi moral, zakat mengikis ketamakan dan

keserakahan di kaya, sedangkan dalam dimensi ekonomi, zakat mencegah

penumpukan harta kekayaan pada segelintir orang tertentu.

Kewajiban membayar zakat secara tegas telah tertulis dalam Q.S. At-

Taubah: 103, sebagai berikut:

“ Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat kamu

membersihkan dan menyucikan mereka. Sesungguhnya do’a kamu menjadi

ketentraman jiwa mereka. Dan Allah Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa bersih dan suci dalam ibadah zakat

memiliki makna penyucian bagi hati dan jiwa pada kecenderungan

14
egoisme dan kecintaan terhadap duniawi, serta terhadap harta benda itu

sendiri.

2. Wakaf sebagai Instrumen Distribusi Individu untuk masyarakat.

Menurut istilah, wakaf diartikan sebagai suatu jenis pemberian yang

dilakukan dengan cara menahan (kepemilikan) untuk dimanfaatkan guna

kepentingan umum. Ajaran wakaf bersumber pada pemahaman akan teks

Al-Qur’an dan hadist. Di Al-Qur’an dan hadis tidak dijelaskan secara

langsung mengenai ajaran wakaf, tetapi yang ada ialah hanya pemahaman

yang menganjurkan untuk melakukan amal kebijakan (sunnah) agar

mendapatkan kemenangan dan kebajikan.

Harta wakaf sepenuhnya digunakan untuk kemaslahatan umat dan

substansi ajaran wakaf terletak pada nilai kemanfaatan yang diperoleh dari

harta wakaf untuk kepentingan umat. Contoh pemanfaatan wakaf ialah

penggunaan dana wakaf untuk menyediakan air bersih, mendukung

terciptanya institusi pendidikan, riset dan perpustakaan untuk kualitas

SDM.

3. Mawaris sebagai Instrumen Distribusi dalam keluarga

A. Pengertian

 Mawaris ialah harta-harta peninggalan yang dapat diwarisi oleh

orang-orang yang dapat menerimanya.

 Muwaris adalah orang yang meninggalkan harta warisan.

15
 Waris (asli waris) ialah orang yang berhak menerima warisan

dari orang yang meninggal.

Membagikan harta waris kepada ahli waris yang berhak baik

karena hubungan perkawinan, kekerabatan maupun perwalian, secara

langsung telah menciptakan jaminan sosial dalam keluarga.5

B. Ketentuan Harta Waris

Harta waris dapat diberikan apabila telah dilakukan hal-hal

berikut:

1. Diambil untuk biaya perawatan mayat sewaktu sakit. Misalnya biaya

pengobatan, biaya rumah sakit dan sebaginya.

2. Diambil untuk biaya pengurusan mayat. Misalnya kain kafan, papan

dan lain-lainnya.

3. Diambil untuk hak harta itu sendiri. Misalnya zakat.

4. Diambil untuk membayar hutang, nadzar, sewa dan lain-lain.

5. Diambil untuk wasiat apabila ada.

Setelah hak tersebut diselesaikan barulah harta peninggalan

dibagikan. Bagian ahli waris yang telah ditetapkanoleh Allah SWT.,

di Al-Qur’an disebut dengan “Furudul Muqoddaroh” yaitu ½, 1/3, ¼,

1/6, 1/8 ,2/3 dan sisa (‘ashobah).6

C. Ahli Waris Dzawil Furudl dan Ashobah.

5
Syuhada’ Syarkun, Menguasai Ilmu Fara’idh (Jakarta: Pustaka Syarkun, 2014), hlm.9.
6
Ibid., hlm. 7.

16
Ahli waris dzawil furudl ialah ahli waris yang sudah ditentukan

secara jelas besar kecilnya. Misalnya 1/2, 1/3, 1/4 dan sebagainya.

Sedangkan ahli waris ashobah ialah ahli waris yang belum tentu

bagianya, mungkin menerima semua harta atau tidak sama sekali.

Adapun bagian-bagian dari ahli waris dzawil furudl adalah sebagai

berikut:

a. Yang mendapat bagian setengah (1/2).

1. Anak perempuan tunggal.

2. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki.

3. Saudara perempuan sekandung.

4. Saudara perempuan sebapak (jika no: 3 tidak ada)

5. Suami, jika istri yang meninggal tidak punya anak.

b. Yang mendapat bagian seperempat (1/4).

1. Suami, jika istri mempunyai anak.

2. Istri, jika suami yang meninggal tidak punya anak.

c. Yang mendapat bagian seperdelapan (1/8)

1. Istri, jika suami mempunyai anak.

d. Yang mendapat bagian dua pertiga (2/3)

1. Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.

2.Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki jika tidak ada

anak perempuan.

3. Dua saudara perempuan sekandung/lebih.

17
4. Dua saudara perempuan sebapak/lebih jika tidak ada saudara pr.

sekandung.

e. Yang mendapat bagian sepertiga (1/3)

1. Ibu, jika yang meninggal tidak mempunyai anak atau saudara

perempuan.

2. Dua orang saudara perempuan/lebih, jika yang meninggal tidak

punya anak atau orang tua.

f. Yang mendapat bagian seperenam (1/6)

1. Ibu, jika bersama anak/cucu dari anak laki-laki.

2. Ayah, jika bersama anak/cucu.

3. Kakek, jika bersama anak/cucu sedangkan ayahnya tidak ada.

4. Nenek, jika tidak ada ibu.

5. Saudara seibu, jika tidak ada anak.

Adapun yang tidak masuk dalam ahli waris dzawil furudl berarti

ia mendapat bagian ashobah.7

Ashobah terbagi tiga jenis yaitu ashabah bin nafsihi, ashobah

bighairi dan ashobah yang menghabiskan bagian tertentu.

 Ashobah bin nafsihi adalah yang ashobah dengan

sendirinya. Tertib ashobah bin nafsihi sebagai berikut:

a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah

c. Ayah
7
Ibid., hlm. 19-21.

18
d. Kakek dari garis ayah keatas

e. Saudara laki-laki kandung

f. Saudara laki-laki seayah

g.Anak laki-laki saudara laki-laki kandung sampai

kebawah

h. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah sampai ke bawah

i. Paman kandung

j. Paman seayah

k. Anak laki-laki paman kandung sampai ke bawah

l. Anak laki-laki paman seayahsampai ke bawah

m. Laki-laki yang memerdekakan yang meninggal

 Ashobah dengan saudaranya

a. Anak perempuan bersama anak laki-laki atau cucu laki.

b. Cucu perempuan bersama cucu laki-laki

c. Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki

kandung atau saudara laki-laki seayah.

d. Saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki

seayah.

 Ashobah yang menghabiskan bagian tertentu

a. Anak perempuan kandung satu orang bersama cucu

perempuan satu atau lebih (2/3).

b. Saudara perempuan kandung bersama saudara

perempuan seayah (2/3).8


8
Ibid., hlm. 21-31.

19
D. Hijab dan Mahjub.

Hijab berarti tutup/tabir, maksudnya ialah seorang yang menjadi

penghalang atas ahli waris lainnya untuk menerima harta waris. Hijab

dibagi menjadi 2 macamyaitu :

a. Hijab hirman, yakni tertutup secara mutlak

Misalnya: Anak dan cucu sama-sama ahli waris, namun cucu tidak

mendapat harta karena ada anak laki-laki.

b. Hijab nuqson, yakni hijab yang hanya sekedar mengurangi jumlah

yang diterima waris.9

4. Infak dan Sedekah sebagai Instrumen Distribusi di Masyarakat

Infak dan sedekah merupakan pemberian dari seorang muslim

secara sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu, atau suatu

pemberian yang dilakukan oleh seseorang sebagai kebajikan yang

mengharap ridla Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam konsepsi

islam mempunyai arti luas dan tidak hanya terbatas pada pemberian

sesuatu yang bersifat material, tetapi lebih dari itu. Sedekah mencangkup

seluruh kebaikan baik dari fisik maupun non fisik.

Penekanan terhadap sikap berinfak dan bersedekah merupakan

sarana yang tepat untuk membantu menciptakan masyarakat yang peduli

akan kondisi sosial, karena pada dasarnya setiap manusia harus menyadari

bahwa setiap individu tidak dapat hidup sendiri, melainkan membutuhkan

individu lain. Jika kesadaran ini terus dibangun, maka akan memunculkan
9
Ibid., hlm. 59-61.

20
dermawan-dermawan baru yang mampu berbagi bukan hanya dengan

harta, namun juga dengan perbuatan (keahlian dan kemampuan) yang

mampu dilakukan. Dengan demikan, maka tujuan keadilan distribusi harus

terlaksana.

Kemudian mengenai infak dan sedekah non-material (keahlian dan

kemampuan), kiranya sangat sesuai dengan kondisi masyarakat dan

perkembangan zaman saat ini, dimana persaingan dalam segi aspek

kehidupan membutuhkan keahlian dan ketrampilan.Untuk itu, rekonstruksi

terhadap pemahaman infak dan sedekah harus dimulai dengan

menyadarkan kepada masyarakat bahwa infak dan sedekah bukan hanya

bersifat material atau tunai, namun infak dan sedekah dapat diberikan

dengan berbagai keahlian dan ketrampilan. Rekonstruksi perlu dilakukan

karena selama ini model infak dan sedekah yang dipahami oleh

masyarakat luas ialah model infak dan sedekah yang terbatas pada harta

kekayaan (material) saja.

2.4 Pengembangan Hak Milik

2.4.1 Pengelolaan Kepemilikan

Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tata cara (kaifiyah)

yang berupa hukum-hukum syara' yang wajib dipegang seorang muslim

tatkala ia memanfaatkan harta yang dimilikinya.

Mengapa seorang muslim wajib menggunakan cara-cara yang

dibenarkan Al-Syari' (Allah SWT) dalam mengelola harta sebab harta

21
dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.

Maka dari itu, ketika Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk

menguasai harta, artinya adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang

muslim akan dinilai sah memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu

terwujud dalam bentuk sekumpulan hukum-hukum syara'.

Alhasil, setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta

tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya.

Hanya saja dalam pengelolaan harta yang telah dimilikinya seorang

tersebut, ia wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan syara' yang

berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan.

Secara garis besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua

kegiatan. Pertama, pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua,

pengembangan harta (tanmiyatul mal).

2.4.2 Pengembangan Harta

Pengembangan harta adalah kegiatan yang memperbanyak jumlah

harta yang telah dimiliki. Seorang muslim yang ingin mengembangkan

harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam

berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam

memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah

seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang islami dalam bidang

pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga

melarang mengembangkan harta yang terlarang seperti dengan jalan

aktifitas riba, judi, serta aktifitas terlarang lainnya.

22
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan

umum (collective property) itu adalah hak negara, karena negara adalah

wakil umat. Meskipun menyerahkan kepada negara untuk

mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang negara untuk

mengelola kepemilikan umum (collective property) tersebut dengan

jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara

mengelola dengan selain cara tersebut diperbolehkan, asal tetap

berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.

Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan

kepemilikan negara (state property) dan kepemilikan individu (prívate

property), nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-

hukum mu'amalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. Al-

Syari' juga telah memperbolehkan negara dan individu untuk mengelola

masing-masing kepemilikannya, dengan cara lain, asal tetap berpijak

kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara'.

23
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Dari penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan beberapa poin


diantaranya yaitu:
1. Konsep-Konsep ekonomi islam yakni Allah pemilik yang mutlak dan
sesungguhnya sementara manusia memiliki hak kepemilikan terbatas,
pemanfaatan harta mengikuti ketentuan Allah, hak milik individu dan
kolektor diatur agama, terdapat kewajiban individu-masyarakat-negara
secara proporsional, distribusi kepemilikan sebagian diatur oleh pasar,
pemerintah, dan langsung oleh Al-Qur’an, sifat pertanggungjawaban
pada diri-publik-Allah baik di dunia maupun di akhirat.
2. Macam-macam kepemilikan dalam islam itu ada tiga, yaitu
kepemilikan individu, kepemilikan umum, kepemilikan negara.
3. Beberapa macam cara distribusi dalam islam adalah dengan zakat,
wakah, muwaris, sedekah dan infak.
4. Secara garis besar, pengembangan kepemilikan meliputi dua kegiatan.
Pertama, pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua, pengembangan
harta (tanmiyatul mal).

3.2 Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis memberi saran kepada pembaca
ketika selesai memahami materi ini, Penulis harap pembaca akan bisa
menerapkan atau mengaplikasikan ilmu ini dalam kehidupan sehari-hari.
Terutama dalam masalah kepemilikan, distribusi kepemilikan pengembangan
kepemilikan, dan pengelolahan harta.

24
DAFTAR PUSTAKA

Chalil, Zaki Fuad. 2009. Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam.

Jakarta: Erlangga.

Chaudhry, Muhammad Sharif. 2012. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana.

Karim, Adiwarman. 2010. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. 2008. Ekonomi Islam.

Jakarta: Rajawali Pers.

Syarkun, Syuhada’. 2014. Menguasai Ilmu Fara’idh. Jakarta: Pustaka Syarkun.

25

Anda mungkin juga menyukai