Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Laba

Laba merupakan suatu pos dasar dan penting dalam laporan keuangan

yang memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba pada umumnya

dipandang sebagai suatu dasar bagi perpajakan, penentuan kebijakan pembayaran

dividen, pedoman investasi dan pengambilan keputusan serta unsur prediksi

kinerja perusahaan (Belkaouli, 1997).1 Menurut Triyuwono (2001), definisi laba

atau profit dalam akuntansi konvensional oleh para akuntan merupakan:

“Kelebihan pendapatan (surplus) dari kegiatan usaha, yang dihasilkan dengan

mengaitkan (matching) antara pendapatan (revenue) dengan beban terkait dalam

suatu periode yang bersangkutan (biasanya dalam waktu tahunan)”.

Laba ditentukan setelah proses usaha terjadi.2 Proses pengkaitan

(matching) menyebabkan timbulnya kewajiban untuk mengalokasikan beban yang

belum teralokasikan ke dalam neraca. Beban-beban yang belum teralokasikan

(aktiva non-moneter) bersama-sama dengan aktiva moneter (misal kas,

persediaan, dan piutang) setelah dikurangkan dengan kewajiban yang timbul

menghasilkan sisa yang disebut accounting capital atau residual equity. Konsep

laba dalam struktur teori akuntansi dapat diketahui dengan menggunakan

1
Arwani, Agus, Akuntansi Perbankan Syariah dari Teori ke Praktik (Adopsi IFRS),
(Yogyakarta:DEEPUBLISH, 2016), hlm. 16.
2
Fitri Kurniawati, Laba dalam Akuntansi Syariah, download.portalgaruda.org html, diakses 12
Oktober 2018.

1
pendekatan sintaksis, semantis, dan pragmatis. Konsep laba secara sintaksis, yaitu

melalui aturan-aturan yang mendefinisikannya yang secara semantis yaitu melalui

hubungan pada realitas ekonomi yang mendasari. Dan secara pragmatis, yaitu

melalui penggunaannya oleh investor tanpa memperhatikan bagaimana hal itu

diukur dan tahu apa artinya (Triyuwono 2001).

Dalam ekonomi konvesional, baik yang bermazhab kapitalis, sosialis,

maupun Negara kesejahteraan (walfare state), hampir dipastikan definisi jual beli

hanya dilihat dari sudut pandang ekonomik. Bisnis atau jual beli hanyalah upaya

dari prilaku seorang pengusaha dalam mengambil keputusan atau kebijakan dalam

memproduksi barang dan jasa untuk meraih tingkat keuntungan dan kebutuhan.

Keuntungan atau profit bagi produsen, sedangkan kebutuhan dalam arti kepuasan

di tingkat konsumen. Maka orientasi laba yang menjadi tujuan produsen hanya

berputar sekitar nilai materil dan memuaskan kebutuhan nafsu untuk menimbun

kekayaan produktif, juga merupakan bagian dari ekspresi diri.

Teori laba dalam konvensional dibangun di atas filosofis materialisme dan

sekulerisme.3 Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa

tindakan individu adalah rasional. Rasionality yang dimaksud adalah tindakan

individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self

interest) yang menjadi satusatunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Menurut

konvensional, rasionalitas diartikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi

keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa

berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want) yang

3
Fachri Fachrudin, Kajian Teori Laba Pada Transaksi Jual Beli Dalam Fiqh Mu’amalah,
jurnal.staialhidayahbogor.ac.id, diakses pada 02 Desember 2018.

2
digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat

keputusan yang bias merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. Teori laba

konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan asumsi

mereka terhadap unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa

mengambil hari akhirat (Nur Kholis, 2011). Konvensional memandang manusia

hanya bersifat materi semata, tanpa kecenderungan-kecenderungan spiritual.

Mereka tidak pernah memperhatikan masalah-masalah yang semestinya harus

dijadikan pijakan oleh masyarakta, seperti ketinggian moral dan sifat-sifat terpuji

sebagai dasar bagi interaksinya. Dari sini dapat disimpulakan bila landasan

filosofi sistem ekonomi kapitalis adalah sekularisme, yaitu memisahkan hal-hal

yang bersifat spiritual dan material (atau agama dan dunia) secara dikotomis.

Landasan filosofis teori laba dalam bisnis menurut konvensional berdasarkan

pemikiran manusia yang bisa berubah berdasarkan waktu dan tidak bersifat kekal,

serta selalu membutuhkan perubahan tergantung untuk kepentingan apa dan siapa.

Tentunya tujuan yang berbeda akan melahirkan implikasi yang berbeda pula.

Sedangkan dalam masyarakat muslim, laba bukanlah tujuan yang paling

utama dalam pendirian suatu perusahaan atau organisasi. Tetapi bukan berarti

perusahaan tersebut tidak boleh mendapatkan laba, hanya saja laba yang diperoleh

harus halal dan sesuai dengan prinsip syariah Islam. Ada dua konsep Islam yang

sangat berkaitan dengan pembahasan masalah laba, yaitu adanya mekanisme

pembayaran zakat dan sistem tanpa bunga (Triyuwono, 2001). Oleh karena itu,

Islam menyetujui laba biasa yang mengacu pada tingkat laba yang jelas tidak

menimbulkan kecenderungan bagi perusahaan baru untuk memasuki perdagangan

3
tertentu ataupun bagi perusahaan lama untuk keluar. Islam memang mengakui

laba normal dan melarang bunga.4

B. Profit (Laba) dalam Islam

Profit dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan keuntungan atau laba.

Profit merupakan salah satu unsur penting dalam perdagangan yang di dapat

melelui proses pemutaran modal dalam kegiatan ekonomi. Islam sangat

mendorong pendayagunaan harta melalui berbagai kegiatan ekonomi dan

melarang untuk menganggurkannya (idle) agar tidak habis dimakan zakat.

Bahkan, dorongan ini secara khusus diperintahkan Allah kepada orang-orang yang

mendapatkan amanah untuk memelihara harta milik orang-orang yang tidak atau

belum mampu melakukan bisnis dengan baik, mislanya anak-anak yatim (QS. An

– Nisa’ : 29, Al Baqarah ; 194,275, 282 ; An Nur : 37; Al Jumuah : 10; Al

Muzammil : 20; Al Quraisy : 1-30).

Profit dalam bahasa Arab disebut dengan ar-ribh yang berarti

pertumbuhan dalam perdagangan. Profit merupakan pertambahan penghasilan

dalam perdagangan. Profit kadang dikaitkan dengan pemilik barang dagangan dan

adakalanya dikaitkan dengan barang dagangan itu sendiri. Kata ini disebut hanya

satu kali dalam Al-Qur’an, yaitu ketika Allah mengecam tindakan orang-orang

munafik: “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka

tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”

(QS. Al Baqarah : 16).

4
Ahmad Subagyo, Kamus Istilah Ekonomi Islam, (Jakarta:PT. Elex Media Komputindo, 2009),
hlm. 350.

4
Selain ribh istilah lain yang terkait dengan keuntungan yaitu al nama’, al

ghallah, dan al faidah. Nama’ yaitu laba dagang (ar ribh at tijari) adalah

pertambahan pada harta yang telah dikhususkan untuk perdagangan sebagai hasil

dari proses barter dan perjalanan bisnis. Al ghallah (laba insidental), pertambahan

yang terdapat pada barang dagangan sebelum penjualan, seperti wol atau susu dari

hewan yang akan dijual. Pertambahan seperti ini tidak bersumber pada proses

dagang dan tidak pula pada usaha manusia. Pertambahan seperti ini dalam konsep

akuntansi disebut laba yang timbul dengan sendirinya laba incidental atau laba

minor atau pendapatan marginal atau laba sekunder. Adapun Al faidah (laba yang

berasal dari modal pokok) adalah pertambahan pada barang miliki (asal modal

pokok) yang ditandai dengan perbedaan antara harga waktu pembelian dan harga

penjualan, yaitu sesuatau yang baru dan berkembang dari barang-barang milik,

seperti susu yang telah diolah yang berasal dari hewan ternak. Dalam konsep

akuntansi disebut laba utama (primer) atau laba dari pengoperasian modal pokok.5

Menurut Qal’ahjiy, profit adalah tambahan dana yang diperolah sebagai

kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. Secara khusus laba dalam

perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga

pembelian barang dengan harga jualnya. Menurut at Tabari, untukng yang

diperoleh dari perdagangan adalah sebagai ganti baranag yang dimiliki oleh si

penjual ditambah denga kelebihan dari harga saat dibeli sebelumnya. Dengan

demikian, jika terjadi pertukaran barang tanpa ada pergantian atau kelebihan dari

harga baranag yang dibeli sebelumnya, berarti pedagang tersebut merugi. Adapun
5
Isnaini, Yenni. dkk, Hadis-hadis Ekonomi, (Jakarta:PRENADAMEDIA GROUP,
2015), hlm. 92.

5
an Naisabury menjelaskan bahwa untung adalah pertambahan dari modal pokok

setelah ada unsur usaha perdagangan. Sebab, an Naisabury mendefinisikan

perdagangan sebagai perputaran harta dalam lingkaran perdagangan yang

bertujuan memeperoleh pertambahan (nilai) dari barang tersebut. Mirip dengan

pendapat an Naisabury, Zamakhsary mendefinisikan untung sebagai kelebihan

dari modal pokok setelah ada unsur usaha perdagangan. Karena tujuan dalam

perdagangan dalam arti sederhana adalah memperoleh laba atau keuntungan,

secara ilmu ekonomi murni asumsi yang sederhana menyatakan bahwa sebuah

industry dalam menjalankan produksinya adalah bertujuan untuk memaksimalkan

keuntungan (laba/profit) dengan cara dan sumber-sumber yang halal.

C. Ketentuan Profit

ً‫ أَ ْعطَاهُ ِد ْينَارًا يَ ْشتَ ِري لَهُ بِ ِه َشاة‬,‫َع ْن عُرْ َوةَ أَ َّن النّبي صلى هللا عليه وسلّم‬

ُ‫ار َو َشا ٍة فَ َد َعالَه‬ ٍ َ‫فَا ْشتَ َرى لَهُ بِ ِه َشاتَي ِْن فَبَا َع اِحْ َداهُ َما بِ ِد ْين‬
ٍ َ‫ار َو َجا َءهُ بِ ِد ْين‬

َ ‫ان لَ ْوا ْشتَ َرى التُّ َر‬


‫اب لَ َربِ َح فِ ْي ِه‬ ْ ِ‫ب‬
َ ‫االبَ َر َك ِة فِي بَي ِْع ِه َو َك‬

“Dari Urwah al Bariqi, bahwasannya Rasulullah SAW memberinya uang satu

dinar untuk membeli seekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut, dia

membeli dua ekor kambing dan kemudian menjual kembali seekor kambing

seharga satu dinar. Selanjutnya dia datang menemui Nabi SAW dengan membawa

seekor kambing dan uang satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah SAW

mendoakan keberkahan pada perniagaan Urwah, sehingga seandainya ia membeli

debu, niscaya ia mendapatkan lebih darinya.”

6
Dalam perspektif ulama fikih, terdapat perbedaaan pendapat tentang

ketentuan profit yang dibolehkan. Sebagian ulama Mazhab Maliki, mengatakan

bahwa maksimal profit dalam perdagangan yaitu sepertiga (sulus), dengan dalil

sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan yaitu

sepertiga (sulus). Namun pendapat ini tidak dapat diterima dengan dua alas an:

Pertama, sabda Rasulullah SAW yang menyebut batas maksimal sepertiga

tersebut tidak dapat menjadi taqyid (pembatasan) terdapat kemutlakan ayat diatas

(QS. An Nisa’:29). Sebab sabda Rasulullah SAW itu topiknya terkait dengan

wasiat, sementara ayat diatas topiknya terkait dengan perdagangan. Jadi,

konteksnya berbeda. Kedua, penetapan batas maksimal laba sepertiga

bertentangan dengan nash-nash syariah yang membolehkan laba lebih dari

sepertiga, seperti hadis Urwah.

Ketentuan tentang ukuran besarnya profit atau laba tidak ditemukan dalam Al

Qur’an maupun hadis. Para pedagang boleh menentukan profit pada ukuran

berapa pun yang mereka inginkan, misalnya 25 persen, 50 persen, 100 persen,

atau lebih dari modal. Dengan demikian, pedagang boleh mencari laba dengan

persentase tertentu selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal

haram, seperti ghaban fahisy (menjual dengan harga jauh lebih tinggi atau jauh

lebih rendah dari harga pasar), ihtikar (menumbun), ghisy (menipu), gharar

(menimbulkan bahaya), dan tadlis (menyembunyikan cacat barang dagangan).

D. Batasan Penentuan Laba

7
Keuntungan adalah kompensasi untuk menghadapi ketidakpastian atau untuk

suatu monopoli atau dapat berupa suatu laba yang tidak terduga. David C.

Colander mendefinisikan keuntungan dengan return on entrepreneurial

activityand risk taking. Sementara Jack Harvey mendefinisikan keuntungan

dengan reward of uncertainty-bearing. Secara historis, laba sebenarnya (true

profit) merupakan ciri khas sistem kapitalis. Pada sistem tersebut, keempat factor

produksi, yaitu modal, tenaga kerja, tanah, dan entrepreneurship harus ada pada

satu kesatuan produktif. Oleh karena itu, keuntungan perusahaan ditentukan

melalui:

a. Inovasi: dalam suatu perekonomian, biasanya terdapat banyak perusahaan

yang menghasilkan barang sejenis dan barang yang tidak sejenis tetapi

sangat mendekati dan dapat menggantikan yang lain. perusahaan-

perusahaan tersebut saling bersaing, dan untuk itu perusahaan harus

melakukan inovasi. Dengan inovasi teknik produksi yang baru dapat

diperkenalkan, mutu produksi dapat ditingkatkan, dan barang baru dapat

diperkenalkan. Langkah-langkah seperti itu dapat menaikkan profit.

Dengan demikian profit dapat dipandang sebagai pembayaran atas

kegiatan inovasi.

b. Imbalan atas risiko yang dipikul: mendirikan dan melaksanakan adalah

kegiatan yang penuh risiko dan tidak terdapat jaminan akan berhasil.

Kegiatan perusahaan bukan saja untuk memenuhi permintaan pasar

sekarang, melainkan juga permintaan pasar yang akan datang. Dalam hal

ini pengusaha membuat ramalan tersebut ia menjalankan usahanya,

8
padahal ramalan tersebut belum tentu benar. Ini berarti pengusaha

menghadapi ketidaktepatan ramalannya. Kalau ramalannya benar ia akan

mendapatkan profit, sebaliknya jika ramalannya salah ia akan menghadapi

kerugian. Maka ditinjau dari sudut risiko yang dihadapi oleh setiap jenis

usaha, profit dipandang sebagai pembayaran untuk menghadapi risiko.

c. Pengembalian monopoli: jika suatu pasar telah menyimpang dari

persaingan sempurna, perusahaan-perusahaan dalam industry dapat

memperoleh laba yang sangat tinggi dengan menaikkan harga.

Dalam kajian konvensional, keuntungan hanya diukur dari satu aspek yaitu

material. Karenanya semua orang yang berbisnis akan berlomba-lomba

menigkatkan aset atau harta melalui semua kegiatan bisnis diukur dengan

pertambahan atas sesuatu. Akibatnya manusia menjadi self interest, bahkan

dalam konteks hubungan kerja antara pemilik karyawan perusahaan, pemilik

perusahaan cenderung untuk melakukan eksploitasi yang dilakukan dengan:

(1) menekan upah karyawan pada level yang paling rendah dalam rangka

efisiensi biaya-biaya produksi; dan (2) mengurangi hak-hak karyawan seperti

hak cuti, hak pendapat, dan ha katas kenaikan jabatan, dalam rangka

menghasilkan pertambahan laba yang cukup signifikan. Adapun, dalam

konteks tatanan kehidupan sosial, konsep keuntungan kapitalis akan

menciptakan masyarakat yang tidak memiliki sikap peduli terhadap sesame

bahkan budaya saling menghargai, menghormati, dan tolong menolong

menjadi sesuatu yang sangat langka.

9
Menurut konsep Islam, nilai-nilai keimanan, akhlak, dan tingkah laku

seorang pedagang Muslim memegang peranan utama dalam mempengaruhi

penentuan kadar keuntungan dalam transaksi atau muamalah. Husein Syahatah

memberikan beberapa kriteia umum islami yang dapat memberi pengaruh

dalam penentuan batas keuntungan yang di inginkan oleh pedagang. Diantara

kriteria-kriteria tersebut yaitu:

a. Kelayakan dalam Penetapan Laba

Islam menganjurkan agar para pedagang tidak berlebihan dalam

mengambil keuntungan. Ali bin Abi Thalib sebagaimana dikemukakan

Syahatah berkata, “Wahai para saudagar! Ambillah (laba) yang pantas,

maka kamu akan selamat (berhasil) dan jangan kamu menolak laba yang

kecil karena itu akan mengahali kamu dari mendapatkan (laba) yang

banyak.” Pernyataan ini menjelaskan bahwa batasan laba ideal (yang

pantas dan wajar) dapat dilakukan dengan merendahkan harga. Keadaan

ini sering menimbulkan pertambahan jumlah barang dan meningkatnya

peranan uang dan pada gilirannya akan menambah keuntungan.

b. Keseimbangan antara Tingkat Kesulitan dan Keuntungan

Islam menghendaki adanya keseimbangan antara standar keuntungan dan

tingkat kesulitan perputaran serta perjalanan modal. Semakin tinggi

tingkat kesulitan dan risiko, maka semakin besar pula keuntungan yang

diinginkan pedagang. Karenanya, semakin jauh perjalanan, semakin tinggi

risikonya, maka semakin tinggi pula tuntutan pedagang terhadap standar

keuntungannya.

10
c. Masa Perputaran Modal

Peranan modal berpengaruh pada standardisasi keuntungan yang

diinginkan oleh pedagang, yaitu dengan semakin panjangnya perputaran

dan pertambahannya tingkat risiko, maka semakin tinggi pula standar

keuntungan yang diinginkan oleh pedagang. Sebaliknya, semakin

berkurang tingkat bahaya, standardisasi keuntungan juga akan semakin

rendah.

d. Cara Menutupi harga Penjualan

Jual beli boleh dengan harga tunai ataupun kredit, tunai sebagian dan

sisanya dibayar dengan kredit (cicilan), dengan syarat adanya keridhaan

keduanya (pedagang dan pembeli). Jika harga dinaikkan dan penjual

memberi tempo waktu pembayaran, itu juga boleh karena penundaan

waktu pembayaran adalah termasuk harga yang merupakan bagian si

penjual.

e. Unsur-unsur Pendukung

Disamping unsur-unsur yang dapat memberikan pengaruh pada

standardisasi keuntungan, seperti unsur-unsur yang berbeda dari waktu ke

waktu, atau keadaan ekonomi, baik yang marketable maupun yang non-

marketable, bagaimanapun juga unsur-unsur itu tidak boleh bertentangan

dengan kaidah-kaidah hukum Islam.

E. Dasar Pengukuran Keuntungan

Berdasarkan kriteria-kriteria diatas, maka dasar pengukuran keuntungan

dalam Islam yaitu:

11
1. Taqlib dan Mukhatarah (Interaksi dan Risiko)

Keuntungan adalah hasil dari perputaran modal melalui transaksi

bisnis seperti menjual dan membeli, atau jenis-jenis apapun yang

dibolehkan syar’i. Untuk itu, pasti ada kemungkinan bahaya atau risiko

yang akan menimbulkan pengurangan modal pada suatu putaran dan

pertambahan pada putaran lain.

2. Al-Muqabalah

Yaitu perbandingan antara jumlah hak milik pada akhir periode

pembukuan dan hak-hak milik pada awal periode yang sama, atau

dengan membandingkan nilai barang yang ada pada akhir dengan nilai

barang yang ada pada awal periode yang sama. Juga bisa dengan

membandingkan pendapatan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan

untuk mendapatkan pendapatan.

3. Keutuhan Modal Pokok

Yaitu laba tidak akan tercapai kecuali setelah utuhnya modal pokok

dari segi kemampuan secara ekonomi sebagai alat penukar barang

yang dimiliki sejak awal aktivitas ekonomi.

4. Keuntungan dari Produksi

Hakikat jual beli dan pendistribusian yaitu pertambahan yang terjadi

pada harta selama setahun dari semua aktivitas penjualan dan

pembelin, atau memproduksi dan menjual yaitu dengan pergantian

barang menjadi uang dan pergantian uang menjadi barang dan

seterusnya, maka barang yang belum terjual pada akhir tahun juga

12
mencakup pertambahan yang menunjukkan perbedaan anatar harga

yang pertama dan nilai harga yang sedang berlaku. Berdasarkan nilai

ini, ada dua jenis laba yang terdapat pada akhir tahun, yaitu laba yang

berasal dari proses jual beli dalam setahun dan laba suplemen, baik

yang nyata maupun yang abstrak karena barang-barangnya belum

terjual.

5. Penghitungan Nilai Barang di Akhir Tahun

Tujuan penilaian sisa barang yang belum sempat terjual di akhir tahun

yaitu untuk penghitungan zakat atau untuk menyiapkan neraca-neraca

keuangan yang didasarkan pada nilai penjualan yang berlaku di akhir

tahun itu, serta dilengkapi dengan daftar biaya-biaya pembelian dan

pendistribusian. Dengan cara ini, tampaklah perbedaan antara harga

yang pertama dan nilai yang berlaku yang dapat dianggap sebagai laba

abstrak. Proses penilaian yang didasarkan pada nilai pasaran

(penjualan) itu berlaku untuk barang dagangan, sedangkan penilaian

pada modal tetap berlaku untuk menghitung kerusakan (yang

merupakan salah satu unsur biaya produksi), maka penilaiannya harus

berdasarkan harga penukaran.

Dalam Islam, metode penghitungan laba didasarkan pada atas

perbandingan. Perbandingan itu adakalanya antara nilai harta di akhir

tahun dan diawal tahun, atau perbandingan antara harga pasar yang

berlaku untuk jenis barang tertentu di akhir tahun dan diawal tahun,

atau juga bisa antara pendapatan-pendapatan dan biaya-biaya yang

13
dikeluarkan untuk mendapatkan income tersebut. Namun demikian,

Islam mengharamkan keuntungan yang mengandung unsur dan praktik

bisnis haram, diantaranya:

1. Keuntungan dari bisnis barang dan jasa haram seperti bisnis

minuman keras, narkoba, jasa kemaksiatan, perjuadian, rentenir,

dan praktik riba, makanan dan minuman merusak, benda-benda

yang membahayakan rohani dan jasmani.

2. Keuntungan dari jalan curang dan manipulasi

3. Manipulasi dengan cara merahasiakan harga actual

4. Keuntungan dengan cara menimbun dan spekulatif

14
DAFTAR PUSTAKA

Arwani, Agus. 2016. Akuntansi Perbankan Syariah dari Teori ke Praktik (Adopsi IFRS).

Yogyakarta : DEEPUBLISH.

Fachri Fachrudin. Kajian Teori Laba Pada Transaksi Jual Beli Dalam Fiqh Mu’amalah,

jurnal.staialhidayahbogor.ac.id, diakses 02 Desember 2018.

Fitri Kurniawati. Laba dalam Akuntansi Syariah. download.portalgaruda.org, diakses 12

Oktober 2018.

Isnaini, Yenni. dkk. 2015. Hadis-hadis Ekonomi. Jakarta : PRENADAMEDIA

GROUP.

Subagyo, Ahmad. 2009. Kamus Istilah Ekonomi Islam. Jakarta : PT. Elex Media

Komputindo.

15

Anda mungkin juga menyukai