Anda di halaman 1dari 34

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Tinjauan Umum


Bab landasan teori ini berisi tentang teori-teori yang mendukung penulisan tugas
akhir dalam perancangan Jembatan Sirnoboyo yang meliputi beberapa teori tentang
perencanaan struktur jembatan dengan menggunakan prestressed concrete.

3.2 Pengertian Jembatan


Pengertian jembatan yaitu suatu fasilitas bangunan jalan yang berfungsi
mandukung lalu lintas jalan raya atau beban-beban yang bergerak di atas suatu
rintangan atau tempat rendah seperti danau, sungai, terusan, jalan raya, dan
kombinasinya (Bindra, 1992). Konstruksi ini sengaja dibangun agar laju transportasi
menjadi lebih mudah sehingga kebutuhan setiap orang dapat terpenuhi.
Jembatan pada umumnya dibagi menjadi dua bagian struktur, yaitu struktur atas
(upper structures) dan struktur bawah (sub structures). Struktur atas merupakan bagian
atas jembatan yang meneriba beban lalu lintas secara langsng dan meneruskan beban
tersebut ke struktur bawah sedangkan struktur bawah jembatan mendukung beban dari
struktur atas yang kemudian diteruskan ke tanah dasar jembatan.
Struktur atas jembatan merupakan bagian yang menerima beban langsung yang
meliputi berat sendiri, beban mati, beban mati tambahan, beban lalu-lintas kendaraan,
gaya rem, beban pejalan kaki, dll. Struktur atas jembatan umumnya meliputi :
1. Trotoar
2. Sandaran dan tiang sandaran
3. Peninggian trotoar (Kerb)
4. Slab lantai trotoar
5. Slab lantai kendaraan
6. Gelagar (Girder)
7. Balok diafragma

8
9

8. Ikatan pengaku (ikatan angin, ikatan melintang)


9. Tumpuan (Bearing)

3.3 Jembatan Girder


3.3.1 Umum
Girder atau gelagar jembatan merupakan balok yang akan mendukung semua
beban yang bekerja pada jembatan kemudian meneruskannya ke struktur bawah
jembatan. Girder diletakkan memanjang diantara dua penyangga (abutment dan pilar).
Bahan girder umumnya merupakan profil baja bentuk H, kanal atau I namun itu semua
tergantung perencanaannya. Menurut sistem perancangannya, girder dapat terbuat dari
beton dengan bentuk I girder, box, maupun T girder serta pelaksanaan pembuatan
girdernya dapat dilakukan secara on-site atau precast.
T-Girder merupakan struktur atas jembatan yang berbentuk T yang biasanya
terdiri dari elemen beton prategang, baja komposit atau beton bertulang. Keuntungan
dari pada t-Girder ini yaitu waktu pelaksanaan proyek menjadi lebih cepat karena slab
jalan sudah menyatu dengan gelagarnya. Bentuk penampang dari t-Girder dapat
direncanakan sesuai keinginan dengan variasi tinggi dan jumlah t-Girder sendiri baik
tunggal ataupun ganda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.1 di bawah
ini.

T-Girder Tunggal T-Girder Ganda

Gambar 3.1 Bentuk Penampang T-Girder


Box girder adalah struktur atas jembatan terdiri dari balok-balok penopang
utama yang berbentuk kotak berongga. Box girder biasanya terdiri dari elemen beton
prategang, baja, komposit dan beton bertulang. Salah satu keuntungan dari jembatan
10

box girder yaitu ketahanan torsi yang lebih baik, yang sangat bermanfaat untuk aplikasi
jembatan yang melengkung. Bentuk penampang dari box girder umumnya adalah
persegi atau trapesium dan dapat direncanakan dengan single sel maupun multi sel.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.2 di bawah ini

Gambar 3.2 Bentuk Penampang Box Girder

3.3.2 Preliminary Design


Perencanaan dan perancangan jembatan dapat dikatakan merupakan bagian dari
unsur-unsur seni dalam bidang rekayasa, karena masing-masing jembatan dengan
mengabaikan fungsi manfaat dan analisa detail merupakan manifestasi dari
kemampuan kreatifitas seorang perencana yang di mana terdapat unsur seni dan
keindahan. Dalam bidang rekayasa jembatan tindakan dasar dari kemampuan
kreatifitas adalah imajinasi (Troitsky, 1994)
Preliminary design ini dibutuhkan untuk menentukan dimensi awal T girder dan
box girder penampang trapesium yang akan digunakan. Pedoman dimensi yang dipakai
untuk PC-T Girder mengacu dari produk PT.WIJAYA KARYA BETON dengan detail
dimensi dapat dilihat seperti gambar 3.3 di bawah ini
11

Gambar 3.3 Detail Dimensi Penampang T-Girder

Adapun pedoman preliminary design tampang melintang box girder menurut


(Podolny, W., dan Muller, J.M., 1982) adalah sebagai berikut.
1. Tafsiran tinggi box girder (H)
Untuk menentukan tinggi balok (H), digunakan rumus.

L L
H  (3.1)
15 30

2. Ketebalan minimum web box girder.


a. Jika tidak terdapat saluran atau duct tebal web minimum adalah 200 mm,
b. Jika terdapat saluran atau duct tebal minimum adalah 250 mm,
c. Jika terdapat angker tendon tebal minimum adalah 350 mm,
d. Jika gelagar menggunakan strand 12,5 mm tebal minimum adalah 300 mm.
3. Ketebalan minimum top flange box girder.
a. Untuk lebar antar badan box < 3m, maka tf = 175 mm,
b. Untuk lebar antar badan box antara 3 m – 4,5 m maka tf = 200 mm,
c. Untuk lebar antar badan box antara 4,5 m – 7,5 m maka tf = 250 m,
d. Untuk lebar antar badan box > 7,5 m, maka digunakan sistem rib atau hollow
slab.
4. Ketebalan minimum bottom flange box girder.
a. Jika pada flange tidak diletakkan saluran atau dutch, maka bf = 175 mm,
12

b. Jika pada flange diletakkan saluran atau dutch, maka bf = 200 mm.
3.4 Konsep Dasar Beton Prategang
Beton prategang adalah jenis beton di mana tulangan bajanya ditarik/ditegangkan
terhadap betonnya. Penarikan ini menghasilkan sistem kesetimbangan pada tegangan
dalam (tarik pada baja dan tekan pada beton) yang akan meningkatkan kemampuan
beton menahan beban luar. Karena beton cukup kuat dan daktail terhadap tekanan dan
sebaliknya lemah serta rapuh terhadap tarikan, maka kemampuan menahan beban luar
dapat ditingkatkan dengan pemberian pratekanan (Collins & Mitchell, 1991).
Sedangkan menurut komisi ACI, beton prategang adalah beton yang mengalami
tegangan dalam dengan besar dan distribusi sedemikian rupa sehingga dapat
mengimbangi sampai batas tertentu tegangan yang terjadi akibat beban luar.
3.4.1 Konsep Beton Prategang
Menurut Lin dan Burns (1982), ada tiga konsep berbeda yang dapat dipakai untuk
menjelaskan dan menganalisis sifat-sifatdasar dari beton prategang.
1. Sistem prategang yang mengubah beton menjadi bahan yang elastis
Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis. Konsep ini
merupakan sebuah pemikiran dari Eugene Freyssinet pada tahun 1943 yang
memvisualisasikan beton prategang yang pada dasarnya adalah beton dari bahan
getas menjadi bahan yang elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih
dahulu (pratekan) pada bahan tersebut. Beban yang tidak mampu menahan tarikan
dan kuat memikul tekanan (umumnya dengan baja mutu tinggi yang ditarik)
sedemikian sehingga beton yang getas dapat memikul tegangan tarik. Dari konsep
inilah muncul kriteria tidak ada tegangan tarik pada beton. Umumnya telah
diketahui bahwa jika tidak ada tegangan tarik pada beton, berarti tidak akan terjadi
retak, dan beton tidak merupakan bahan yang getas lagi melainkan bahan yang
elastis. Dalam bentuk yang sederhana, beton divisualisasikan sebagai benda yang
mengalami dua sistem pembebanan yaitu gaya internal (gaya prategang) dan beban
eksternal. Untuk lebih jelasnya distribusi tegangan akibat gaya-gaya di atas dapat
dilihat pada gambar 3.4 di bawah ini.
13

Gambar 3.4 Balok Akibat Gaya Prategang dan Gaya Eksternal


(Sumber: Aboe, 2006)

2. Sistem prategang untuk kombinasi baja mutu tinggi dengan beton


Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari baja dan
beton seperti pada beton bertulang dengan baja menahan tarikan (T) dan beton
menahan desakan (C). Kedua bahan membentuk tahanan untuk menahan momen
eksternal. Beton prategang yang diberi beban sebesar P tidak terjadi adanya retakan
sedangkan beton bertulang terdapat retakan sebagaimana ditunjukkan pada gambar
3.5 di bawah ini.

Beton prategang Beton bertulang


Gambar 3.5 Momen Tahanan Internal Pada Balok Beton Prategang dan Beton
Bertulang
(Sumber: Supriyadi dan Agus, 2007)

3. Sistem prategang untuk mencapai perimbangan beban


Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai usaha untuk membuat
seimbang gaya-gaya pada sebuah elemen struktur. Pada keseluruhan desain struktur
beton prategang, pengaruh dari prategang dipandang sebagai keseimbangan berat
14

sendiri sehingga elemen struktur yang mengalami lenturan seperti pelat (slab), balok
dan gelagar (girder) tidak akan mengalami tegangan lentur pada kondisi
pembebanan yang terjadi. Ini memungkinkan trasformasi dari batang lentur menjadi
batang yang mengalami tegangan langsung dan menyederhanakan persoalan baik
dalam desain maupun analisis dan struktur yang rumit penerapan dari konsep ini
menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan
gaya-gaya yang bekerja pada beton sepanjang elemen struktur. Sebagai contoh
tendon dengan profil parabola ditarik, maka untuk dapat tetap mempertahankan
posisinya diperlukan gaya vertical ke bawah. Karena tendon terbungkus beton,
maka akan timbul gaya keatas menekan beton, yang berlawanan arah dengan gaya
untuk mmpertahankan posisi tendon. (Aboe, 2006)
3.4.2 Sistem Penarikan Baja Prategang
Penarikan baja prategang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Pratarik (pretensioning) dan pengangkuran ujung
Pada sistem pratarik, stage 1 baja prategang ditarik/diregangkan terlebih dahulu
sebesar Po dan dijangkarkan pada tembok/dinding penahan (bulkhead), baru
kemudian Stage 2 beton dicor. Stage 3 beton mencapai umur/kekuatan tertentu, baja
prategang menekan komponen/balok sebesar Pi. Transfer gaya prategang umumnya
melalui ikatan/lekatan antara baja prategang dengan beton yang mengelilinginya
(Aboe, 2006), untuk lebih jelasnya lihat Gambar 3.6 di bawah ini.

Gambar 3.6 Sistem Pratarik


(Sumber: Aboe, 2006)
15

2. Paskatarik (posttensioning) dengan metode penarikan kabel


Pada sistem paskatarik, Stage 1 beton dicor/dicetak terlebih dahulu kemudian baja
prategang dimasukkan ke dalam selongsong (duct). Stage 2 Setelah beton mencapai
umur atau kekuatan tertentu, baja prategang ditarik sebesar Po. Stage 3 baja
prategang kemudian dijangkarkan/diangkurkan pada ujung komponen sehingga
muncul tekanan sebesar Pi yang berlawanan arah dengan arah tarikan awal Po.
Transfer gaya prategang pada sistem ini melalui angkur. Untuk lebih jelasnya lihat
pada Gambar 3.7 di bawah ini.

Gambar 3.7 Sistem Paskatarik


(Sumber: Aboe, 2006)

3.4.3 Tahapan Pembebanan


Dalam perancangan beton prategang, pembebanan tidak hanya ditinjau
berdasarkan beban eksternal yang bekerja, seperti beban mati dan beban hidup, tetapi
juga terhadap kombinasi dari beban-beban tersebut dengan gaya prategang yang
bekerja pada penampang beton. Di antara tahap pembebanan tersebut yang paling kritis
biasanya pada tahap sesaat setelah baja ditegangkan (initial stage) dan pada masa
pelayanan/akhir (service/final stage). (Supriyadi dan Agus, 2007).
1. Initial stage
Initial stage adalah tahap berupa gaya prategang yang dipindahkan pada beton
dengan tidak ada beban luar yang bekerja selain berat sendiri. Pada tahap ini gaya
prategang maksimum yang terjadi, sebab belum ada kehilangan prategangan dan
kekuatan beton minimum karena umur beton masih muda, konsekuensinya tegangan
16

pada beton menjadi kritis. Untuk mempercepat proses penarikan pada sistem
penarikan awal (pre tensioning), tendon dilepaskan pada saat beton mencapai 60-
80% kekuatan yang disyaratkan yaitu pada umur 28 hari. Kemudian pada sistem
penarikan akhir (post tensioning), tendon tidak ditarik sekaligus tetapi ditarik dalam
dua atau tiga tahap penarikan, hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan
kepada beton dalam mencapai kekuatan yang diisyaratkan saat gaya prategang
diterapkan sepenuhnya.
2. Final stage
Tahap ini merupakan kondisi paling berat untuk kondisi masa pelayanan, dengan
asumsi bahwa semua kehilangan prategang telah terjadi sehingga gaya prategang
telah mencapai nilai terkecil dan kombinasi beban luar mencapai nilai terbesar yaitu
meliputi berat sendiri, beban mati, beban hidup, beban kejut dan sejenisnya.

3.5 Jenis Perencanaan


Untuk memperoleh hasil perencanaan yang menjamin keamanan, beberapa
pendekatan perencanaan dapat diterapkan. Pendekatan ini umumnya berdasarkan teori
yang didukung oleh bukti-bukti atau hasil penelitian. Beberapa pendekatan ini antara
lain perencanaan tegangan kerja (working stress design), perencanaan kekuatan batas
(ultimate strength design), perencanaan plastis (limit or plastic design), perencanaan
keadaan batas (limit state design) dan perencanaan probabilitas (probabilistic design).
Meskipun perencanaan dengan satu cara sudah cukup, perencanaan prategang pada
saat ini biasanya merupakan kombinasi perencanaan tegangan kerja dan kekuatan
batas (Naaman, 1982).
1. Perencanaan tegangan kerja (working stress design/WSD)
Pada pendekatan ini, tegangan di bawah beban kerja dibatasi dengan tegangan ijin
dan struktur diasumsikan elastis linier. Keamanan dipenuhi dengan memilih
tegangan kerja sebagai bagian kecil dari karakteristik kekuatan komponen
material. Tegangan ijin diterapkan dalam bermacam-macam peraturan dan
kemungkinan berbeda satu sama lain. Perlu diperhatikan bahwa pada perencanaan
tegangan kerja semua jenis beban diperlakukan sama.
17

Pada perencanaan tegangan kerja, tegangan-tegangan pada serat terluar umumnya


ditinjau dalam dua keadaan yaitu pada saat setelah baja ditegangkan (initial stage)
dan pada saat pelayanan (final stage).
2. Perencanaan kuat batas (ultimite strength design/USD)
Pada pendekatan ini, beban kerja rencana dikalikan dengan faktor beban dan
struktur direncanakan untuk menahan beban terfaktor tersebut pada kapasitas
batasnya. Beban terfaktor yang berhubungan dengan jenis beban ditujukan untuk
mengurangi pengaruh derajat kemajemukan dan ketidaktentuan dari beban-beban
tersebut. Pendekatan ini lebih realistis daripada perencanaan tegangan kerja di
mana semua beban diperlakukan sama.
Pada kondisi batas, kuat batas lentur harus dihitung berdasarkan konsep
kompabilitas regangan dengan memperhitungkan regangan- regangan yang terjadi
pada saat transfer prategang.

3.6 Pembebanan
Peraturan pembebanan jembatan di Indonesia mengacu pada Peraturan Standar
Pembebanan Untuk Jembatan (SNI 1725 2016), Peraturan Perencanaan Jembatan Bina
Marga (Bridge Management System 1992), Perencanaan Struktur Beton Untuk
Jembatan (RSNI T-12-2004), dan Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan
Raya SKBI– 1.3.28.1987.
Pada desain struktur balok Jembatan Sirnoboyo ini, beban rencana
diperhitungkan berdasarkan Peraturan Standar Pembebanan Untuk Jembatan (SNI
1725 2016) yang terdiri dari :
1. Beban permanen,
2. Beban lalu lintas,
3. Beban dari lingkungan.
3.6.1 Beban Permanen
1. Berat Sendiri (MS)
Berat sendiri jembatan merupakan berat elemen struktural ditambah dengan elemen
non struktural yang dipikul dan bersifat tetap
a. Perencanaan lantai kendaraan
18

Berat plat dipakai = 22 + 0,022 f’c kN/m3


Berat perkerasan gelagar aspal = 22 kN/m3
b. Perencanaan gelagar jembatan
Berat sendiri gelagar = 22 + 0,022 f’c kN/m3
(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 7.1 Tabel 2)
2. Beban Mati Tambahan (MA)
Beban mati tambahan merupakan beban seluruh material yang terdiri dari elemen
non struktural yang merekat secara permanen dan dianggap satu kesatuan yang utuh
dalam jembatan
a. Pelapisan ulang permukaan aspal dianggap sebesar 50 mm
γaspal = 22 kN/m3
b. Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton,
c. Sarana umum seperti pipa air dan lampu jalan,
d. Genangan air hujan = 9,8 kN/m3.
(Sumber : SNI 1725:2016, Pasal 7.3)
3.6.2 Beban Lalu Lintas
1. Beban Lajur “D” (TD)
Beban lajur terdiri dari beban terbagi rata atau (BTR) dan beban garis (BGT). Beban
lajur “D” bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan menimbulkan pengaruh
pada jembatan yang akuivalen dengan suatu iring-iringan kendaraan yang
sederhana. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja tergantung pada lebar jalur
kendaraan itu sendiri.
a. Beban terbagi rata (BTR) mempunyai q (kPa) yang besarnya tergantung pada
panjang bentang total jembatan L yang dibebani yang dinyatakan dengan rumus
sebagai berikut :

L ≤ 30 m  q = 9,0 kPa (3.2)

15
L ≥ 30 m  q = 9,0 . (0,5  ) kPa (3.3)
L
19

(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 8.3)


Beban lajur “D” ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas seperti gambar
3.8 di bawah ini

Gambar 3.8 Beban Lajur “D”


(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 8.3)

b. Beban Garis (BGT) ditempatkan dalam kedudukan sembarang sepanjang


jembatan dan tegak lurus pada arah lalu lintas. Beban garis (BGT) ditempatkan
dalam kedudukan sembarang sepanjang jembatan dan tegak lurus pada arah lalu
lintas yang dapat dilihat seperti pada gambar3.8 diatas. Dalam perencanaan ini
BGT ditempatkan ditengah bentang untuk mendapatkan momen terbesar.
BGT mempunyai intensitas, p = 49,0 kN/m
(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 8.3)
Ketentuan penyebaran beban “D” pada arah melintang jembatan digunakan
intensitas 100% agar diperoleh momen dan geser longitudinal pada gelagar
jembatan.
2. Beban Truk “T”
Pembebanan truk “T” terdiri dari kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai
susunan dan berat as seperti terlihat dalam gambar 3.9 di bawah ini. Berat dari
masing-masing as disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang merupakan
bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara 2 as tersebut dapat
diubah antara 4,0 m sampai 9,0 m untuk mendapkan pengaruh terbesar pada arah
memanjang jembatan sedangkan unuk arah melintang digunakan jarak 1,75 m.
20

Gambar 3.9 Beban Truk “T”


(Sumber: SNI 1725:2016, Pasal 8.4)

3. Faktor Beban Dinamis


Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan yang
bergerak dengan jembatan. Faktor beban dinamis berlaku pembebanan “D” dan
pembebanan truk “T” untuk simulasi kejut dari kendaraan bergerak pada struktur
jembatan. Nilai FBD dapat dilihat pada Gambar grafik 3.10 di bawah ini

Gambar 3.10 Faktor Beban Dinamis (FBD)


(Sumber: SNI 1725:2016)
4. Gaya Rem (TB)
Gaya rem dianggap bekerja horizontal searah sumbu pada jarak 1,8 m dari
permukaan lantai kendaraan. Pengaruh ini harus senilai dengan gaya rem sebesar
21

a. 5% dari berat truk rencana ditambah beban lajur terbagi rata BTR atau,
b. 25% dari berat gandar truk desain.
5. Pembebanan Untuk Pejalan Kaki (TP)
Semua elemen dari trotoar yang lebih lebar dari 600 mm atau jembatan
penyebrangan yang langsung memikul pejalan kaki, harus direncanakan untuk
beban nominal 5 kPa dan dianggap bekerja secara bersamaan dengan kendaraan
pada masing-masing lajur kendaraan
3.6.3 Beban Lingkungan
1. Beban Angin
a. Beban Angin Pada Kendaraan (AW I)
Tekanan angin rencana harus dikerjakan baik pada struktur jembatan maupun
pada kendaraan yang melintas jembatan. Jembatan harus direncanakan memikul
gaya akibat tekanan angin yang diasumsikan sebagai tekanan menerus sebesar
1,46 N/mm.
2. Pengaruh Beban Gempa (EQ)
Besarnya Beban Gempa (EQ) diambil sebagai gaya horizontal yang ditentukan
berdasarkan perkalian antara koefisien respons elastis (C sm) dengan berat struktur
ekivalen yang kemudian dimodifikasi dengan factor modifikasi respon (R d) dengan
formulasi sebagai berikut:

C
EQ  sm  Wt
Rd
(3.7)

Keterangan :

EQ = gaya gempa horizontal statis (kN)

Csm = koefisien respons gempa elastis

Rd = faktor modifikasi respons

Wt = berat total struktur dari beban mati dan beban hidup yang sesuai (kN)
22

Koefisien Respon Elastic (Csm) diperoleh dari peta percepatan bantuan dasar

dan spectra percepatan sesuai dengan daerah gempa dan periode ulang gempa

rencana. Perhitungan pengaruh gempa terhadap jembatan termasuk beban gempa,

cara analisis, peta gempa, dan detail struktur mengacu pada SNI 2833:2008 Standar

Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Jembatan.


4. Rangkak dan Susut (Creep and shrinkage)
Pengaruh rangkak dan susut dihitung dengan menggunakan beban mati tambahan
dari jembatan.

3.7 Kombinasi Pembebanan


Untuk mendesain struktur jembatan, digunakan nilai pembebanan terbesar dari
kombinasi pembebanan pada keadaan ultimit. Kombinasi pembebanan yang digunakan
dalam desain Jembatan Sirnoboyo ini dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ini
Tabel 3.1 Kombinasi Pembebanan
Keadaan Ultimit
Beban Kuat Kuat Kuat Kuat Kuat Ekstrem
I II III IV V I
MS (Mati) 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2
MA (Mati Tambahan) 2 2 2 2 2 2
PR (Prategang) 1 1 1 1 1 1
SH (Susut/Rangkak) 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
TD (Lajur) 1.8 1.4 - - - 0.5
TT (Lajur) 1.8 1.4 - - - 0.5
TB (Rem) 1.8 1.4 - - - 0.5
TP (Pejalan Kaki) 1.8 1.4 - - - 0.5
Arus Air (EU) 1 1 1 1 1 1
EWs (Angin Struktur) - - 1.4 - 0.4 -
EWL (Angin
- - - - 1 -
Kendaraan)
EQ (Gempa) - - - - - 1
(Sumber: SNI 1725:2016)

3.8 Perencanaan Struktur Balok Prategang


Perancangan struktur atas jembatan merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhatikan, karena sebagian besar beban-beban eksternal pertama kali bekerja pada
23

jembatan berasal dari struktur atas yang kemudian akan diteruskan ke struktur bawah
jembatan. Perencanaan struktur atas jembatan Sirnoboyo meliputi perencanaan tiang
sandaran, slab lantai kendaraan dan perencanaan balok prategang dengan bentang 50
m.
3.8.1 Perancangan Penampang Balok Prestressed
Balok/gelagar pada jembatan berfungsi mendukung semua beban yang bekerja
pada struktur atas jembatan, kemudian diteruskan ke struktur bawah jembatan. Desain
struktur atas Jembatan Sirnoboyo ini menggunakan prestressed concrete T girder dan
Box girder.
Perencanaan balok beton prategang didasarkan atas beban kerja, tegangan ijin
dan asumsi yang didasarkan pada RSNIT-12-2004. Persamaan terdiri atas beberapa
tahapan, yaitu :
1. pemilihan bentuk dan ukuran penampang,
2. peninjauan besar gaya prategang dan eksentrisitas tendon,
3. penentuan tata letak/layout tendon disepanjang balok,
4. pemeriksaan terhadap tegangan-tegangan yang terjadi, kuat/kapasitas penampang
pada kondisi batas, lendutan, geser dan sebagainya.
Menurut SK-SNI-03-1726-2002 3.11.4, tegangan ijin beton untuk komponen
struktur lentur dan tegangan ijin tendon prategang seperti berikut ini.
1. Tegangan ijin beton saat transfer untuk struktur lentur tidak boleh melebihi nilai
berikut.
a. Serat terluar mengalami tegangan tekan (fci) ≤ 0,60 . fc’i

b. Serat terluar mengalami tegangan tarik (fti) ≤ 0,25 . fc' i


2. Tegangan ijin beton saat akhir untuk struktur lentur tidak boleh melampaui nilai
berikut.
a. Serat terluar mengalami tegangan tekan (fcs) ≤ 0,45 . fc’

b. Serat terluar mengalami tegangan tarik (fts) ≤ 0,50 . fc' i


3. Tegangan ijin tarik tendon prategang (fps) tidak boleh melampaui nilai berikut.
24

a. Akibat gaya pengangkuran tendon ≤ 0,94 . fpy, tetapi tidak lebih besar dari 0,85 .
fpu.
b. Sesaat setelah pemindahan gaya pratekan ≤ 0,82 . fpy, tetapi tidak lebih
besar dari 0,74 . fpu.
c. Tendon paskatarik pada daerah angkur dan sambungan sesaat setelah
penyaluran gaya ≤ 0,70 fpu.
dengan:
fps : tegangan pada tulangan prategang disaat penampang mencapai kuat tarik
nominalnya,
fpy : kuat leleh tendon prategang yang disyaratkan,
fpu : kuat tarik tendon prategang yang disyaratkan.
3.8.2 Pemeriksaan Tegangan
Pada dasarnya baik pada sistem pratarik maupun sistem paskatarik, pola
tegangan umumnya ditinjau/diperiksa pada dua keadaan yang berbeda, yaitu pada saat
awal (saat transfer) dan saat akhir. Pada desain struktur atas Jembatan Sirnoboyo ini
menggunakan sistem paskatarik.
1. Pemeriksaan tegangan pada saat keadaan awal (saat transfer)
Pemeriksaan tegangan saat transfer adalah pemeriksaan tegangan pada saat awal
penarikan tendon. Beban-beban yang diperhitungkan yaitu gaya prategang awal dan
berat sendiri balok dan dimungkinkan sebagian beban mati dan hidup telah bekerja.
Penampang netto/bersih digunakan untuk perhitungan mencari propertis
penampang. Berikut ini rumus yang digunakan untuk mendesain tegangan-tegangan
beton yang terjadi pada serat atas dan serat bawah pada saat transfer. Beban-beban
yang diperhitungkan adalah seperti di bawah ini.
a. Gaya prategang awal Pt (gaya prategang sebelum terjadi kehilangan
tegangan/gaya prategang).
b. Beban berat sendiri dan pada sistem paskatarik dimungkinkan sebagai beban mati
dan beban hidup yang telah bekerja MMS.
Tegangan – tegangan awal di tengah bentang
Pada serat atas,
25

Pt Pt.e s M MS
ft     (3.8)
A Wa Wa

Pada serat bawah,

Pt Pt.es M MS
fb     (3.9)
A Wb Wb

Keterangan :
Pt = Gaya prategang awal,
A = Luas penampang balok prategang,
es = Eksentrisitas,
MMS = Beban berat sendiri,
Wb = Tahanan momen sisi bawah,
Wa = Tahanan momen sisi atas.
2. Pemeriksaan tegangan pada saat akhir (saat layan/service)
Pemeriksaan tegangan pada saat keadaan akhir (saat layan) adalah pemeriksaan
pada saat seluruh beban transversal sudah bekerja. Penampang yang digunakan
untuk perhitungan propertis yaitu penampang transformasi untuk tendon terekat
(bounded) dan penampang netto untuk tendon tak terekat (unbounded). Beban-
beban yang bekerja/diperhitungkan adalah:
a. Gaya prategang efektif Pe (gaya prategang setelah terjadi seluruh kehilangan
tegangan).

Pe = R . P t (3.10)

R = 1 – LOF (3.11)

keterangan :
R = Rasio kehilangan gaya prategang,
Pt = Gaya prategang awal,
26

LOF = Kehilangan gaya prategang total, di mana persentase kehilangan gaya


prategang untuk :
Sistem pra-tarik = ± 30 %
Sistem paska-tarik = ± 20 %
b. Seluruh beban eksternal telah bekerja
Momen total,

MT = MMS + MMA + ML (3.12)

keterangan :
MMS = Beban berat sendiri,
MMA = Beban mati,
ML = Beban hidup.
Pada serat atas,

Pe Pe.es MT
ft     (3.13)
A Wa Wa

serat bawah,

Pe Pe .es MT
fb     (3.14)
A Wb Wb

Keterangan :
Pe = Gaya prategang akhir,
A = Luas penampang balok prategang,
es = Eksentrisitas,
MS = Beban berat sendiri,
Wb = Tahanan momen sisi bawah,
Wa = Tahanan momen sisi atas.
27

3.8.3 Perancangan Tata Letak Tendon (Lay Out Tendon)


Penampang balok prategang yang diletakkan di atas dua tumpuan akan terjadi
momen maksimum. Pada daerah tersebut, tendon (ekivalen cgs) diletakkan sedekat
mungkin dengan sisi bawah balok agar diperoleh lengan momen, akibat gaya dalam
maksimum. Saat transfer tidak direncanakan terjadinya tegangan tarik > fti pada ujung
balok perencanaan, maka besar beban sendiri balok (M0) harus diperhatikan.
Perencanaan dilakukan dengan melihat luas yang diperlukan untuk perlawanan geser,
letak pelat bantalan, jarak angkur dan jarak bersih dongkrak.
Ujung balok direncanakan M = 0, maka tendon sebaiknya diletakkan di dalam
kern agar tidak terjadi tegangan tarik sehingga cgs berimpit dengan cgc yang
memberikan tegangan merata.

Ix
Radius girasi, r 2  (3.15)
A

r2
Batas kern atas, k t  (3.16)
ya

r2
Batas kern bawah, k b  (3.17)
yb

Letak tendon (cgs) dipengaruhi oleh besar momen pada setiap titik, maka
eksentrisitas tendon e berubah sesuai dengan besar momen. Perencanaan tata letak
tendon dilakukan dengan peninjauan sebagai berikut.
1. Batas bawah didasarkan saat transfer, agar tegangan pada serat atas ≤ tegangan ijin.
Lengan minimum dari kopel tendon,

M0
a min  (3.18)
Pt

Batas eksentrisitas bawah,


28

esb  amin kb (3.19)

Pertambahan lebar daerah tendon jika diperbolehkan terjadi tegangan tarik,

f . A.kb
esb'  ti (3.20)
Pt

esb1  esb  esb '  amin  kb  esb ' (3.21)

2. Batas atas didasarkan saat layan. Jika tendon diletakkan di luar batas ini maka beban
yang dapat dipikul berkurang atau tegangan serat bawah yang terjadi > tegangan
ijin.

MT
a max  (3.22)
Pe

Batas eksentrisitas atas,

est  amax  kt (3.23)

Pertambahan lebar daerah tendon jika diperbolehkan terjadi tegangan tarik,

f .A.k
est ' ts t (3.24)
Pe

estl  est  est '  amax kt  est ' (3.25)

Untuk lebih jelasnya keterangan rumus di atas dapat dilihat pada Gambar 3.11 di bawah
ini.
29

Gambar 3.11 Tata Letak Daerah Aman Tendon

3.8.4 Kehilangan Gaya Prategang (Lost Of Prestressed)


Tegangan pada tendon beton prategang berkurang secara berkelanjutan
(continue) seiring dengan waktu. Total pengurangan tegangan ini disebut kehilangan
gaya prategang total. Kehilangan gaya prategang total ini adalah faktor utama yang
mengganggu perkembangan awal beton prategang. Kehilangan gaya prategang dapat
digolongkan menjadi 2 yaitu kehilangan langsung (immediate) dan kehilangan yang
bergantung dengan waktu (time depending lost) (Naaman, 1982).
1. Kehilangan gaya prategang langsung
Kehilangan gaya prategang langsung dapat diakibatkan oleh beberapa hal antara
lain.

a. Pergesekan Angkur (A)


Kehilangan gaya prategang karena slip angkur pada komponen paskatarik
diakibatkan adanya blok-blok pada angkur pada saat pendongkrakan disalurkan
ke angkur. Cara mudah untuk mengatasi kehilangan ini adalah dengan
memberikan kelebihan tegangan (Lin dan Burns, 2000).

A
f  .E
pA L s
(3.26)
30

Keterangan :
∆fpA = Kehilangan gaya prategang karena slip angkur
∆A = Deformasi pengangkuran/slip
Es = Modulus elastic kabel
L = Panjang tendon
b. Friction/gesekan ( F )
Kehilangan gaya prategang terjadi pada komponen struktur paskatarik akibat
adanya gesekan antara tendon dan beton di sekelilingnya. Besarnya kehilangan
ini merupakan fungsi dari formasi tendon atau yang disebut curvature effect dan
simpangan lokal yang disebut wobble effect.
Dengan menggabungkan curvature effect, loss of prestress akibat gesekan kabel
dapat dirumuskan seperti di bawah ini:

Px = P0.e-(k.Lx+φ.α) (3.27)

( Po  Px)
f pF  (3.28)
Ap

Keterangan :
f pF = Kehilangan tegangan akibat gesekan kabel
Px = Gaya prategang setelah kehilangan friksi
Po = Gaya prategang awal
L = Panjang kabel yang diukur dari ujung kabel ke lokasi x, tapi karena tinggi
puncak lengkung relative kecil dibandingkan bentang maka bisa didekati
dengan panjang proyeksi (panjang bentang balok)
K = Wobble effect
Φ = Koefisien gesek kabel dan material
α = Sudut kabel (radian)
Koefisien friksi tendon paska tarik dapat dilihat pada Tabel 3.2 Di bawah ini
31

Tabel 3.2 Koefisien Friksi Tendon Paska Tarik


Koefisien
Koefisien
wobble K
friksi μ
(1/m)
0,0033 – 0,15 –
Tendon kawat 0,0049 0,25
Batang kekuatan 0,0033 – 0,08 –
tinggi 0,0020 0,30
Strand 7 kawat 0,0016 – 0,15 –
0,0066 0,25
0,0033 – 0,05 –
Mastic
coated

Tendon kawat 0,0066 0,15


Tendon tanpa

Strand 7 kawat 0,0033 – 0,05 –


lekatan

0,0066 0,15
0,0010 – 0,05 –
greased

Tendon kawat 0,0066 0,15


Pre-

Strand 7 kawat 0,0010 – 0,05 –


0,0066 0,15
Sumber : Lin & Burns (1993)

c. Perpendekan Elastic Beton (ES)


Kehilangan gaya prategang akibat perpendekan elastis beton, hasrus
memperhitungkan nilai modulus elastisitas beton pada saat transfer tegangan.
Modulus elastisitas baja prategang dan tegangan beton pada titik berat baja
prategang yang diakibatkan oleh gaya prategang dan beban mati segera
setelah transfer (Chen 2000). Kehilangan prategang akibat perpendekan

elastis ( f pES ) dapat dihitung dengan persamaan berikut :

1) Untuk sistem pratarik

Es
f pES = x f cgp (3.29)
Ec
32

2) Untuk sistem pascatarik

Es N 1
f pES = x f cgp x (3.30)
Ec 2 xN

keterangan :
Ec = Modulus elastis beton prategang (MPa)
Ec = Modulus elastisitas tendon (MPa)
fcgp = Total tegangan beton pada titik berat tendon karena gaya prategang
saat transfer (untuk pretension members) dan berat sendiri pada
penampang momen maksimum. (MPa)
N = Jumlah tendon yang sama

Total tegangan beton pada level baja ( f cgp ) dapat dihitung dengan

persamaan berikut :

Pi Pi .e2 M G .e
f cgp     (3.31)
A Ix Ix

Keterangan :
Pi = Gaya prategang awal
MG = Momen akibat berat gelagar beton
Ix = Inersia penampang balok
e = Eksentrisitas tendon pada momen maksimum
2. Kehilangan gaya prategang yang bergantung dengan waktu atau relaksasi tendon
Kehilangan gaya prategang yang bergantung dengan waktu antara lain.
a. Susut pada beton (SH)
Untuk komponen struktur paskatarik, kehilangan beton prategang akibat susut
agak kecil karena sebagaian susut telah terjadi sebelum pemberian paskatarik.
Metode bergantung waktu untuk kehilangan gaya prategang disebabkan susut
adalah.
33

Metode perawatan basah,

t
  .
SH , t t  35 SHu
(3.32)

Keterangan :
 SHu= regangan susut ultimit (820.10-6mm/mm)
t = umur jembatan
Sehingga kehilangan tegangan akibat susut,

f  .E
pSH SH , t ps
(3.32)

b. Rangkak pada beton ( CR )


Deformasi atau aliran lateral akibat tegangan longitudinal disebut rangkak dan
kehilangan hanya terjadi akibat beban yang terus menerus selama riwayat
pembebanan suatu elemen struktural.
Kehilangan gaya prategang akibat rangkak didapati persamaan untuk tendon
terekat (bounded),

E
f pCR  K cr . s  f cgp  f csd 
Ec  
(3.33)

Kehilangan gaya prategang akibat rangkak didapati persamaan untuk tendon tal
terekat (unbounded),

 f pCR  n.K cr . f cpa


(3.34)

Keterangan :
Kcr = Komponen struktur pratarik (2,0) dan komponen struktur paska-tarik
(1,6)
34

fcsd = Tegangan beton level pusat berat tendon akibat seluruh beban mati

tambahan yang bekerja pada komponen struktur setelah diberi gaya


prategang
fcpa = Tegangan tekan rata-rata pada beton sepanjang komponen struktur pada

titik berat tendon (tendon tak terekat)


n = Modulus ratio antara prestress dengan beton balok saat peralihan
c. Relaksasi tendon prategang (R)
Relaksasi pada tendon mengalami tegangan tarik dalam waktu yang cukup lama.
Besar pengurangan prategang bergantung tidak hanya pada durasi gaya
prategang yang ditahan (t), melainkan jug apada rasio antara prategang awal dan
kuat leleh baja prategang (fpi/fpy).

 log t 2  log t1   f pi 

 f pR  f pi  .
 f  0 , 55
45 
   py  (3.35)

Keterangan :
fpi = Tegangan awal tendon

fpy = Kuat leleh tendon prategang

t1 = Waktu awal interval


t2 = Waktu akhir interval dari penarikan (jacking)
3.8.5 Kekuatan Batas Lentur (Ultimate Strenght)
Kuat momen rencana dari komponen struktur lentur prategang harus dihitung
dengan menggunakan metode kekuatan batas (strength design methods). Baja
prategang tidak memperlihatkan titik leleh secara jelas. Oleh karena itu, dipergunakan
suatu nilai tegangan ( fps ) sebagai pengganti tegangan leleh ( fy ).
RSNI T-2004 memberikan batasan rasio tulangan prategang agar penampang
daktail:
35

 p . f ps
wp   0,361 (3.36)
f 'c

Keterangan :
fps = Tegangan dalam tulangan prategang pada saat M n dicapai
1 = Konstanta yang tergantung pada mutu beton
f’c ≤ 30 MPa ,  1 = 0,85 (3.37)

f’c > 30 MPa ,  1 = 0,85 – ( f’c – 30) ≥ 0,65 (3.38)

A ps
p = = Rasio tulangan prategang (3.39)
Ag

Keseimbangan penampang prategang dalam keadaan lentur batas adalah


sebagai berikut:

C = Tps (3.40)

Keterangan :
C = Gaya tekan beton prategang (MPa)
Tps = Gaya internal tendon prategang (MPa)
Gaya internal tendon baja prategang,

Tps = Aps.fps (3.41)

Keterangan :
Aps = Luas penampang baja prategang
Dengan menggunakan pendekatan Whitney tegangan desak beton adalah:

C = 0,85.f’c.b.a (3.42)

Keterangan :
a = Tinggi balok beton tekan
b = Lebar beton dengan lebar ekivalen (Beq) untuk penampang box girder
Untuk penampang tanpa tulangan non-prategang
36

0,85.f’c.b.a = Aps . fps (3.43)

Maka tinggi balok tekan,

Aps . f ps
a (3.44)
0,85. f ' c.b

Bila lengan momen adalah d, maka batas kekuatan nominal adalah:


Untuk penampang tanpa tulangan non-prategang,

 a
M n  A ps . f ps . d   (3.45)
 2

Kapasitas momen ultimate girder,

M uk   ..M n (3.46)

Faktor reduksi kekuatan lentur, φ = 0,8


3.8.6 Lendutan (Deflection) dan Lawan Lendutan (Chember)
Lendutan yang terjadi pada jembatan prategang tergantung pada kombinasi gaya
prategang, beban luar dan lama pembebanan. Lendutan yang terjadi diakibatkan gaya
prategang yaitu lendutan ke atas (chamber) sedangkan lendutan kebawah terjadi karena
adanya beban luar. Pada saat kondisi transfer di mana bekerjanya beban berat sendiri
terjadilah lendutan keatas akibat adanya tekanan tendong pada waktu penarikan kabel
prategang. Kontrol lendutan dilakukan dilakukan pada saat transfer dan servis.
Chamber pada balok diharapkan mampu mengimbangi beban servis sehingga
diharapkan akan terjadi lendutan kebawah sesuai dengan desain atau tidak melebihi
lendutan maksimum yang diijinkan. menurut SK SNI lendutan maksimum yang
diijinkan adalah L/240, di mana L adalahh panjang bentang balok
Lendutan keatas (chamber) akibat gaya prategang pada simple beam dihitung
dengan rumus
37

4
5 Pe .e s .L
c  .

48 E c .I x  (3.47)

Sedangkan untuk lendutan dengan beban merata pada simple beam dihitung dengan

rumus:

5 W .L4
D  .
384 E c .I x  (3.48)

Di mana :
𝛿 = Lendutan pada gelagar
𝑤 = Baban merata yang bekerja pada gelagar
𝐿 = Panjang bentang gelagar
𝐸 = Modulus elastisitas gelagar prategang
𝐼 = Momen inersia dalam arah sumbu x
𝑄 = Beban merata akibat gaya prategang
𝑃 = Gaya prategang yang diterima gelagar
𝑒 = Eksentrisitas tendon

Perhitungan lendutan akibat beban transversal dan lawan lendutannya berlaku

prinsip superposisi.
3.8.7 Perhitugan Pembesian T-Girder
Ketentuan perhitungan tulangan non-prategang minimum pada balok prategang
yaitu luas tulangan non-prategang minimum harus dihitung dari 0,4% A menurut
RSNI-T-12-2004 pasal 6.8.9.8. Maka digunakan rumus-rumus sebagai berikut..

As = ρ . t . b (3.49)

As
n = (3.50)
A1D
38

dengan :
As = Luas tulangan susut (mm2),
A1D = Luas satu diameter tulangan (mm2),
ρ = Rasio tulangan susut,
t = Tebal pelat dinding (mm),
b = Lebar pelat dinding (mm).
3.8.8 Tinjauan Slab Lantai Jembatan
Lantai jembatan merupakan pelat yang berfungsi sebagai lantai lalu lintas
sehingga mampu mendukung beban lalu lintas yang ada. Pada umumnya pelat lantai
dipasang pada arah melintang jembatan di atas gelagar. Pada perencanaan struktur atas
jembatan Sirnoboyo ini direncanakan dengan pelat satu arah, yaitu pelat yang ditumpu
pada keempat sisi tetapi Ly/Lx>2. Perhitungan tulagan pada lantai jembatan ditinjau
selebar 1 m2. Tahapan perencanaan lantai jembatan sebagai berikut:
1. Pembebanan pelat lantai
Perhitungan pembebanan pada pelat lantai ini dilanjutkan dengan mencari momen
ultimate rencana slab kendaraan dengan menggunakan rumus-rumus dan tahapan
sebagai berikut:

Mu = K.MS + K.MA + K.IT+ K.EWl (3.51)

Keterangan :
MS = Momen yang ditimbulkan akibat berat sendiri
MA = Momen yang ditimbulkan akibat beban mati tambahan
TT = Momen yang ditimbulkan akibat beban truk
EWl = Momen yang ditimbulkan akibat angina pada kendaraan
K = Faktor beban ultimate
2. Perencanaan tulangan pelat lantai
Perhitungan tulangan pelat lantai dengan menggunakan rumus-rumus dan tahapan
sebagai berikut:
Nilai Momen ultimit sudah di dapatkan dengan langkah pertama, maka momen
nominal dihitung dengan rumus seperti berikut.
39

M
Mn = (3.52)

Momen nominal (mn) maka dicari faktor tahanan momen dengan rumus seperti
berikut.

M
Rn = , Rn < Rmax (3.53)
(b.d 2 )

Dengan faktor tahanan momen maksimum,

0,5.0,75. b . fy
Rmax = 0,75 . b . fy ( 1 - ) (3.54)
0,85. f ' c

Dan rasio tulangan yang memberikan kondisi regangan seimbang,

0,85. f ' c 600


b = . .( ) (3.55)
fy 600  fy

Rasio tulangan yang diperlukan,

f 'c 2.Rn
 = 0,85. .(1  1  ) (3.56)
fy (0,85. f ' c )

Rasio tulangan yang digunakan harus lebih besar atau sama dengan ρ min dan
harus lebih kecil atau sama dengan ρmax. Adapun rumus untuk ρmin dan ρmax seperti
berikut.

1,4
Rasio tulangan minimum,  min = (3.57)
fy

Rasio tulangan maximum,  max = 0,75 . b (3.58)

Rasio tulangan pakai,  min <  perlu <  max (3.59)


40

Setelah diperoleh rasio tulangan yang memenuhi syarat, maka dapat dihitung
luas tulangan pakai dengan rumus seperti berikut.

Luas tulangan pakai, As = ρ . b . d (3.59)

Berikutnya dapat dicari jumlah tulangan yang dibutuhkan (n) dengan cara
membagi luas tulangan pakai (As) dengan luas tulangan yang ditentukan dan nilai
n dibulatkan ke atas.
As
Jumlah tulangan yang diperlukan, n = (3.60)
1
. ..D 2
4

Keterangan:
f’c : Kuat tekan beton
fy : Tegangan leleh baja
b : Lebar dinding pagar tepi
d : Tebal efektif dinding pagar tepi
D : Diameter tulangan yang digunakan
3.8.9 Desain Geser Balok
Berikut gambar diagram gaya geser yang di tahan oleh tulangan sengkang yang
dapat di lihat pada gambar 3.12 di bawah ini.

Gambar 3.12 Gambar Desain Geser Balok


(Sumber : Yulianto, 2016)
41

Kemampuan beton menahan geser,

0,3Nu fc'
Vc = (1 + ) bw d (5.61)
Ag 6

Kekuatan maksimum geser,

2
Vs maksimum = fc' bw d (5.62)
3

Tulangan geser minimum,

bw.s
Av (min) = (5.63)
3. fy

Keterangan :
Vc = Kempampuan beton menahan geser (Mpa)
Nu = Gaya prategang efektif (kN)
Ag = Luas penampang balok (mm2)
f’c = Mutu bahan beton (Mpa)
bw = Lebar balok yang menahan geser (mm)
d = Tinggi efektif balok prategang (mm)
s = Jarak sengkang (mm)
fy = Mutu baja (Mpa)

Anda mungkin juga menyukai