Anda di halaman 1dari 8

SKILL 1

Ketrampilan Komunikasi
Menyampaikan Berita Buruk dan Komunikasi Kasus Sensitif
dr. Alfi Yasmina, M.Kes, M.Pd.Ked

Informasi kesehatan adalah sumber penting yang diperoleh dari komunikasi medis yang
baik. Komunikasi yang efektif dan tepat waktu memungkinkan pasien dan keluarganya untuk
memperoleh informasi kesehatan yang relevan tentang ancaman terhadap kesehatannya, dan
membantu mereka mengidentifikasi strategi untuk menghindari dan berespons terhadap
ancaman tersebut. Yang menjadi kekhawatiran dokter adalah bagaimana mengkomunikasikan
informasi kesehatan secara efektif dan tepat, namun informasi tersebut merupakan berita buruk
(bad news) bagi pasien. Cara mengkomunikasikan berita buruk ini bisa memberi dampak
terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan dan terhadap kepatuhan pasien
terhadap terapi yang diberikan.
Hippocrates menyatakan bahwa menjadi tanggung jawab dokter untuk menentukan
sampai tingkat mana informasi yang diterima pasien tentang kondisi atau diagnosisnya.
Namun pasien semakin ingin mengetahui tentang kondisi kesehatannya, yang menunjukkan
bahwa kemampuan menyampaikan informasi kesehatan dengan cara yang tepat menjadi
kebutuhan. Pasien semakin ingin tahu kenyataan tentang diagnosisnya.
Walaupun komunikasi berita buruk sering dianggap sebagai komunikasi tentang
penyakit yang mengancam jiwa, mendekati ajal, penyampaian kematian pasien kepada anggota
keluarga, namun berita buruk (bad news) didefinisikan dalam literatur medis sebagai situasi
dimana terdapat perasaan tidak ada harapan, ancaman terhadap kesehatan mental atau fisik,
adanya risiko gangguan terhadap gaya hidupnya yang sudah mantap, atau bila pesan/informasi
disampaikan kepada pasien yang mengakibatkan pasien tersebut mempunyai pilihan yang lebih
sedikit dalam hidupnya. Berdasarkan definisi ini, penyampaian berita buruk adalah sesuatu
yang terjadi sehari-hari pada seorang dokter praktek. Dalam konteks pelayanan kesehatan,
berita buruk adalah setiap informasi yang menciptakan pandangan negatif tentang kesehatan
seseorang. Walaupun sebagian besar literatur medis tentang menyampaikan berita buruk
berfokus pada penyampaian diagnosis kondisi yang serius seperti kanker, namun berita buruk
bisa berkisar mulai kasus sekedar mata merah, psoriasis, sampai infertilitas.
Terdapat banyak alasan mengapa dokter sulit menyampaikan berita buruk. Yang sering
menjadi kekhawatiran adalah bagaimana berita buruk akan mempengaruhi pasien, dan ini
sering menjadi alasan untuk menjustifikasi penundaan penyampaian berita buruk. Selain itu,
faktor lain yang membuat dokter kurang mempunyai kepercayaan diri dan ketrampilan dalam
menyampaikan berita buruk ini adalah: rasa bertanggung jawab terhadap kemalangan yang
menimpa pasien, persepsi tentang kegagalan menangani pasien, perasaan tertentu tentang
kematian, kekhawatiran akan respons pasien terhadap berita yang disampaikan, dan
kekhawatiran dokter sendiri tentang respons emosionalnya terhadap situasi tersebut.
Hippocrates menganjurkan dokter menyembunyikan informasi dari pasien, karena berita buruk
menyebabkan kondisi pasien memburuk. Demikian juga kode etik medis pertama American
Medical Association juga menganjurkan agar dokter tidak menyampaikan berita buruk pada
pasien yang sakit berat. Namun akhir-akhir ini, model perawatan pasien yang paternalistik telah
menekankan pada otonomi dan pemberdayaan pasien.
Saat pemberi pelayanan kesehatan menyampaikan berita buruk, beberapa karakteristik
demografis mempengaruhi bagaimana berita itu disampaikan. Jenis kelamin, usia, suku, dan
tingkat pendidikan pasien dan dokter bisa memodifikasi strategi penyampaian pesan yang
digunakan. Jenis kelamin dokter/pasien bisa mempengaruhi hasil penyampaian berita buruk,
dimana pasien-dokter berjenis kelamin sama akan mengalami hambatan komunikasi yang lebih
sedikit. Dokter yang lebih tua usianya bisa memainkan peran kebapakan/keibuan (parenting)
dan cenderung lebih memberikan rasa nyaman kepada pasien. Suku dan kebangsaan juga
berpengaruh, karena ada suku/kebangsaan yang gaya berbicaranya lebih direk/to-the-point;
selain itu, dokter bisa memberikan informasi secara lebih direk kepada pasien asing
berkebangsaan Eropa, misalnya, dibanding memberikan informasi kepada pasien
berkebangsaan Asia. Pasien yang lebih rendah pendidikannya sering mempunyai status sosial-
ekonomi lebih rendah, sehingga kualitas hidupnya cenderung memperpanjang penyakit dan
memberikan tingkat kesehatan yang buruk. Persepsi pasien tentang berita buruk mungkin juga
dipengaruhi oleh pikiran dan pengalaman individual, sehingga persepsi pasien bisa sangat
berbeda untuk kondisi yang sama. Tanggung jawab terhadap keluarga dan budaya juga
mempengaruhi persepsi pasien terhadap berita buruk.
Terdapat berbagai model yang telah dikembangkan dan diimplementasikan di berbagai
situasi pendidikan dokter. Salah satu yang paling sering digunakan adalah SPIKESmodel, yang
dikembangkan oleh Buckman, untuk menyampaikan berita buruk/sulit.
Proses menyampaikan berita buruk bisa dipandang sebagai upaya mencapai 4 sasaran
penting, yaitu mengumpulkan informasi dari pasien (memungkinkan dokter menentukan
sampai dimana tingkat pengetahuan dan harapan pasien, serta kesiapannya untuk mendengar
berita buruk), memberikan informasi yang bisa dipahami sesuai kebutuhan dan keinginan
pasien, mendukung pasien dengan menggunakan ketrampilan menurunkan dampak emosional
dan perasaan terisolasi yang dialami oleh si penerima berita buruk, serta mengembangkan
strategi dalam bentuk rencana terapi dengan memperhatikan masukan dan kerjasama pasien.
Pemenuhan sasaran-sasaran ini dicapai dengan menyelesaikan 6 tugas/langkah dalam SPIKES.
Tidak setiap episode penyampaian berita buruk akan memerlukan semua langkah SPIKES,
tetapi bila diperlukan, harus dijalankan dalam urutan yang benar.

Berikut ini adalah 6 langkah dalam SPIKES:


1. S – Settingup the interview (Creating the right atmosphere)
Pada langkah ini, kita melakukan 2 hal, yaitu merencanakan apa yang akan disampaikan
pada pasien, dan menciptakan lingkungan kondusif dan bisa mendukung pasien secara
emosional). Dalam perencanaan, kita bisa mengecek kembali data rekam medis pasien,
pastikan bahwa semua informasi yan diperlukan sudah tersedia.
Situasi/lokasi penyampaian berita buruk sebaiknya mendukung adanya privacy serta
kondusif, sehingga bisa mendukung diskusi yang terfokus dan tidak terganggu. Hal yang bisa
dilakukan adalah:
 Memastikan adanya privacy. Sebenarnya akan ideal apabila tersedia satu ruangan untuk
mengkomunikasikan berita buruk, namun bila tidak tersedia, bisa ditarik tirai mengelilingi
tempat tidur pasien. Siapkan tissue kalau-kalau diperlukan oleh pasien.
 Melibatkan orang terdekat pasien. Sebagian besar pasien ingin ada orag terdekatnya pada
saat penyampaian berita buruk, tapi ini sepenuhnya adalah pilihan pasien. Bila terdapat
banyak anggota keluarga, minta pasien memilih 1 atau 2 wakil keluarga.
 Posisi duduk akan membuat pasien rileks dan juga merupakan tanda bahwa kita tidak
terburu-buru. Bila posisinya duduk, usahakan tidak ada barrier/halangan antara diri kira
dan pasien.
 Upayakan koneksi/hubungan dengan pasien. Mempertahankan kontak mata mungkin
kurang nyaman, tetapi merupakan cara yang penting untuk mengupayakan koneksi dokter-
pasien. Menyentuh pasien atau memegang tangan pasien (bila dokter/pasien merasa
nyaman dengan tindakan ini) adalah cara lain yang bisa digunakan.
 Beritahu pasien apabila ada keterbatasan waktu atau bila akan ada interupsi.
Matikan/pasang mode silent pada alat komunikasi dan minta rekan kita untuk menangani
pasien lain bila diperlukan.

2. P – Assessing the patient’s Perception (Finding out what the patient knows)
Langkah 2 dan 3 pada SPIKES merupakan titik-titik di dalam wawancara dimana kita
mengimplementasikan prinsip “sebelum memberikan informasi, bertanyalah dulu”. Artinya,
sebelum mendiskusikan hasil temuan medis, dokter menggunakan pertanyaan terbuka untuk
memperoleh gambaran akurat tenang bagaimana pasien melihat situasi medis tersebut, apa
situasi medisnya, dan apakah situasi tersebut serius atau tidak.
Misalnya:
“Apa yang anda ketahui tentang penyakit anda?”
“Sejauh ini apa yang sudah diberitahukan kepada anda tentang penyakit ini?”
“Apakah anda mengerti alasanmengapa kita melakukan pemeriksaan CT-Scan?”
Berdasarkan informasi ini, kita bisa mengoreksi informasi yang salah dan menyesuaikan berita
buruk yang disampaikan dengan apa yang sudah dipahami pasien. Ini juga akan bisa
memudahkan kita menentukan apakah pasien berada dalam kondisi denial/penolakan akan
penyakitnya: terlalu berkhayal, tidak mengetahui tentang detail medis yang tidak
menyenangkan tetapi penting, atau harapan yang tidak realistik tentang terapinya.
Apabila berdasarkan penilaian anda ternyata pasien belum siap untuk menerima
informasi, atau pasiennya sendiri meminta untuk melakukan diskusi ini di lain waktu, atau
apabila anggota keluarga/orang terdekat pasien sedang tidak hadir, lakukan penjadwalan ulang.

3. I – Obtaining the patient’s Invitation (Finding out what the patient wants to know)
Sementara sebagian besar pasien mengekspresikan keinginan untuk memperoleh
informasi tentang diagnosis, prognosis, dan detail penyakitnya, sebagian pasien malah tidak
ingin tahu. Bila pasien ingin mengekspresikan secara eksplisit keinginan untuk memperoleh
informasi medis, ini bisa mengurangi kekhawatiran dokter dalam menyampaikan berita buruk.
Namun, bila pasien menolak ingin tahu, ini merupakan mekanisme coping, dan lebih mungkin
untuk bermanifestasi sebagai bertambah beratnya penyakit. Mendiskusikan tentang pemberian
informasi pada saat memintakan pemeriksaan penunjang tertentu bisa menjadi petunjuk bagi
dokter untuk merencanakan diskusi berikutnya dengan pasien.
Contoh pertanyaan yang akan ditanyakan adalah:
“Seberapa banyak yang ingin anda ketahui?”
“Apabila kondisi penyakit anda menjadi serius, apakah anda ingin mengetahuinya?”
“Apakah anda ingin saya memberikan detil rinci tentang kondisi anda? Bila tidak, apakah ada
orang lain yang bisa mendiskusikan hal ini dengan saya?”
“Bagaimana anda ingin saya memberi informasi tentang hasil pemeriksaan penunjang ini
nanti? Apakah anda ingin semua informasi atau rangkumannya saja, supaya kita bisa lebih
banyak berdiskusi tentang rencana terapinya?”
Bila pasien tidak ingin tahu secara rinci, tawarkan untuk menjawab setiap pertanyaan mereka
nanti atau bicaralah dengan keluarga atau teman pasien.

4. K – Giving Knowledge and information to the patient


Langkah ini adalah langkah dimana anda menyampaikan berita buruknya. Dalam
penyampaian berita buruk:
 Lakukan dialog, bukan monolog
 Hindari menggunakan istilah-istilah medis yang tidak sesuai dengan tingkat pengetahuan
pasien
 Berikan jeda cukup sering
 Nilai pemahaman pasien
 Gunakan bahasa tubuh
 Jangan meminimalkan keparahan situasi, hindari pernyataan samar-samar atau
membingungkan
Memberi rambu-rambu pada pasien bahwa akan ada berita buruk bisa mengurangi syok
yang bisa mengikuti penyampaian berita buruk dan bisa membantu pasien memproses
informasi. Contohnya, “Sayang sekali saya mempunyai berita buruk untuk anda,” atau “Maaf,
saya harus memberitahu anda bahwa…”.
Dalam menyampaikan fakta medis, beberapa hal yang perlu diingat:
Pertama, mulailah menjelaskan sesuai tingkat pemahaman pasien dan gunakan perbendaharaan
kata yangsesuai dengan pemahaman pasien.
Kedua, gunakan kata-kata nonteknis seperti “menyebar” sebagai pengganti “bermetastasis”,
dan “sampel jaringan tubuh” sebagai pengganti “biopsi”.
Ketiga, hindari penyampaian secara kasar (misalnya “Anda menderita kanker dengan stadium
yang berat, dan jika anda tidak diobati, anda akan segera meninggal.”), karena ini akan
membuat pasien merasa terisolasi dan marah, dengan kecenderungan untuk menyalahkan si
pembawa berita.
Keempat, berikan informasi dalam potongan-potongan kecil, dan secara periodik lakukan
penilaian bagaimana pemahaman pasien tentang informasi yang diberikan.
Kelima, bila prognosisnya buruk, hindari kata-kata seperti “Tidak ada lagi yang bisa kita
lakukan untuk mengatasi penyakit anda”. Sikap ini tidak konsisten dengan kenyataan bahwa
pasien sering mempunyai sasaran terapi lain yang juga penting, misalnya pengendalian nyeri
dan pengurangan gejala.

5. E – Addressing the patients’ Emotions with empathic responses (Responding to the


patient’s feelings)
Memberikan respons terhadap emosi pasien adalah salah satu tantangan paling sulit
dalam menyampaikan berita buruk. Reaksi emosional pasien bisa bervariasi mulai dari respons
afektif (menangis, marah, cemas), respons kognitif (penolakan/denial, menyalahkan, tidak
percaya, takut, malu), dan respons psikofisiologis dasar (fight-flight response atau
panic/denial). Dalam situasi ini, dokter bisa memberi dukungan kepada pasien dengan
memberikan respons empatik. Respons empatik terdiri dari 4 langkah:
 Pertama, awasi adanya emosi pada pasien. Mungkin emosinya bisa berupa menangis,
diam, atau syok.
 Kedua, identifikasi emosi yang dialami pasien dengan menyebutkannya pada pasien itu
sendiri. Bila pasien nampak sedih tapi diam, gunakan pertanyaan terbuka untuk
menanyakan pasien apa yang mereka rasakan atau pikirkan.
 Ketiga, identifikasi alasan untuk respons emosional tersebut. Ini biasanya berhubungan
dengan berita buruk tadi. Namun, bila tidak yakin, pasien bisa ditanya kembali.
 Keempat, sesudah memberi waktu singkat bagi pasien untuk mengekspresikan
perasaannya, biarkan pasien tahu bahwa kita telah mengghubungkan emosi yang
dirasakannya dengan alasan munculnya emosi tersebut, dengan membuat pernyataan,
misalnya:
Dokter: Saya ikut menyesal foto rontgen-nya menunjukkan bahwa kemoterapi yang telah
kita lakukan ternyata tidak berhasil dengan baik [diam]. Tumornya kelihatannya tumbuh
membesar.
Pasien: Ini yang saya takutkan! [menangis]
Dokter: [menggeser kursi lebih dekat, menawarkan tissue, dan diam sejenak]. Saya
mengerti ini bukan berita yang ingin anda dengar. Saya juga berharap beritanya jauh lebih
baik dari ini.
Dalam dialog ini dokter mengawasi adanya emosi (menangis) dan menyadari bahwa
pasien menangis karena berita buruk yang disampaikan. Pada point ini, dokter mungkin
bisa memegang lengan atau tangan pasien bila situasi ini memungkinkan bagi dokter dan
pasiennya, dan diam sebentar untuk memungkinkan pasien menjadi lebih tenang. Dokter
bisa juga menawarkan minum. Dokter harus membiarkan pasien tahu bahwa dokter
tersebut mengerti mengapa pasien merasa sedih dengan membuat pernyataan yang
merefleksikan pemahaman dokter ini. Contoh lain respons empatik adalah:

Pernyataan empatik Pertanyaan eksploratorik Respons validatif


“Saya bisa memahami bahwa “Maksud anda bagaimana?” “Saya bisa memahami mengapa
berita ini membuat anda kesal.” anda merasa seperti itu.”
“Saya mengerti anda sama “Ceritakan tentang perasaan “Saya rasa setiap orang juga
sekali tidak mengharapkan ini anda lebih banyak.” akan bereaksi seperti anda.”
terjadi.”
“Saya mengerti ini bukan berita “Bisakah anda menjelaskan “Benar sekali pendapat anda
baik untuk anda.” kepada saya apa yang anda itu.”
maksud?”
“Saya menyesal sekali harus “Anda katakan hal ini membuat “Ya, pemahaman anda tentang
memberitahukan berita ini pada anda kuatir?” alasan dilakukannya
anda.” pemeriksaan ini sudah bagus
sekali.”
“Ini juga sangat sulit bagi “Bisakah anda memberitahu “Nampaknya anda sudah
saya.” saya hal apa yang membuat memikirkan semuanya dengan
anda cemas?” baik.”
“Saya juga mengharapkan hasil “Anda mengatakan bahwa anda “Banyak pasien lain juga
yang jauh lebih baik.” menguatirkan anak-anak anda. mengalami hal yang sama
Bisa anda ceritakan lebih seperti anda.”
banyak?”

Sampai emosi ini dikeluarkan sampai habis, sulit untuk melanjutkan untuk mendiskusikan
isu selanjutnya. Bila emosi tidak menghilang dalam waktu pendek, akansangat membantu
bila kita terus memberikan respons empatik sampai pasien menjadi lebih tenang. Dokter
juga bisa menggunakan respons empatik untuk mengakui kesedihan/emosinya sendiri
(“Saya juga berharap beritanya jauh lebih baik daripadaini”). Ini bisa menjadi sarana untuk
menunjukkan dukungan sesudah memberikan respons empatik, sehingga pasien tahu
bahwa perasaannya itu wajar.
Bila emosi tidak diekspresikan dengan baik, misalnya bila pasien menjadi diam, dokter
harus mengajukan pertanyaan eksploratorik sebelum membuat respons empatik. Bila
emosinya tidak kentara atau tersembunyi, misalnya dalam kekecewaan atau kemarahan
(“Jadi ini berarti saya harus menanggung sakitnya kemoterapi lagi!”), anda masih bisa
menggunakan respons empatik (“Saya bisa memahami bahwa ini membuat anda merasa
kesal”). Pasien memandang dokternya sebagai salah satu sumber penting untuk dukungan
psikologis. Dengan mengkombinasikan pernyataan epatik, eksploratorik dan validatif
adalahsalah satu cara untuk memberikan dukungan. Ini akan mengurangi rasa terisolasi
pada pasien, mengespresikan solidaritas si dokter, dan memvalidasi perasaan pasien
sebagai perasaan yang normal dan wajar.

6. S – Strategy and Summary (Creating a plan for next step and follow-up)
Pada langkah ini dilakukan perencanaan untuk langkah selanjutnya, misalnya
informasi/tes tambahan, terapi gejala (terutama nyeri), perujukan sesuai kebutuhan. Pada
langkah ini juga didiskusikan sumber dukungan potensial bagi pasien, misalnya kelompok
pendukung (support group), keluarga besar, therapist, dan lain-lain. Yakinkan pasien dan
keluarga bahwa mereka akan tetap ditangani dan tim akan secara aktif mendukung pasien, dan
buat janji pertemuan selanjutnya.
Pasien yang mempunyai rencana jelas untuk masa depannya akan lebih sedikit merasa
cemas dan tidak pasti. Sebelum mendiskusikan rencana terapi, penting untuk menanyakan pada
pasien apakah dia siap untuk mendiskusikan hal ini. Memberikan pilihan terapi kepada pasien
akan memberikan persepsi bahwa dokter menganggap bahwa pendapat mereka juga penting.
Berbagi tanggung jawab untuk mengambil keputusan bersama pasien juga bisa mengurangi
rasa gagal di pihak dokter bila terapinya gagal. Menilai pemahaman pasien tentang hasil diskusi
bisa mencegah kecenderungan pasien untuk melebih-lebihkan efikasi atau menyalahartikan
tujuan terapi.
Dokter sering merasa tidak nyaman bila mereka harus mendiskusikan prognosis dan
pilihan terapi bersama pasien, bila informasinya tidak menyenangkan. Diskusi yang sulit ini
bisa dibantu oleh beberapa strategi.
Pertama, banyak pasien sudah mempunyai bayanganseberapa serius penyakitnya dan sampai
mana keterbatasan terapinya, tetapi mereka takut menanyakan hasil terapinya. Mengeksplorasi
pengetahuan dan harapan pasien (langkah 2 SPIKES) akan memungkinkan dokter mengerti
sampai dimana tingkat pemahaman dan harapan pasien, dan dokter bisa memulai diskusi dari
titik itu. Bila pasien mempunyai harapan yang tidak realistik (misalnya: “Kata dokter, terapi
ini pasti akan menyembuhkan saya.”), maka meminta pasien mendeskripsikan riwayat
penyakitnya biasanya akan bisa menunjukkan ketakutan, kecemasan, dan emosi yang
mendasari di belakang harapan pasien yang tidak realistik tersebut. Pasien mungkin melihat
kesembuhan sebagai solusi global untuk berbagai masalahnya, misalnya kehilangan pekerjaan,
ketidakmampuan mengurus keluarga, nyeri, atau gangguan mobilitas. Mengekspresikan
ketakutan dan kecemasan sering akan membuat pasien bisa mengakui keseriusan kondisi ini.
Bila pasien menjadi emosional saat mendiskusikan kecemasannya, bisa melakukan strategi di
step 5.
Kedua, memahami sasaran terapi spesifik yang juga penting bagi pasien, seperti
pengendalian/pengurangan gejala, dan memastikan bahwa mereka mendapat terapi terbaik dan
keberlanjutan perawatan, akan memungkinkan dokter bisa memberikan harapan yang bisa
dicapai. Hal ini akan menenteramkan pasien.
Sebelum mengakhiri komunikasi dengan pasien ini, nilai keamanan pasien (apakah
pasien bisa mengemudikan kendaraan pulang ke rumah, apakah pasien menungjukkan rasa
putus asa dan keinginan bunuh diri, dan lain-lain), pemahaman keluarga, dan dukungan di
rumah.
Sumber:
1. Baile WF, Buckman R, Lenzi R, et al. SPIKES – a six-step protocol for delivering bad
news: application to the patient with cancer. The Oncologist 2000;5:302-11.
2. Sparks L, Villagran MM, Parker-Raley J, et al. A patient-centered approach to breaking
bad news: communication guidelines for health care providers. Journal of Applied
Communication Research 2007;35(2):177-96.
CHECKLIST
Nilai
No Aspek yang dinilai
0 1 2
Step 1 – Setting up the interview
1 Merencanakan penyampaian berita buruk kepada pasien
dengan menyiapkan data pasien dan hal-hal yang akan
disampaikan kepada pasien, serta menyiapkan
ruangan/tempat yang kondusif untuk penyampaian berita
buruk
2 Mengucapkan salam dan menyilakan pasien (dan
keluarga/orang terdekat) untuk duduk
3 Memastikan identitas pasien (nama, umur, alamat,
pekerjaan) dan keluarganya
Step 2 – Assessing the patient’s perception
4 Menggunakan pertanyaan terbuka untuk mencari informasi
tentang apa yang sudah pasien ketahui dan persepsinya
terhadap kondisi penyakitnya
Step 3 – Obtaining the patient’s Invitation
5 Menggunakan pertanyaan terbuka untuk mencari informasi
tentang apa yang ingin pasien ketahui tentang kondisinya
Step 4 – Giving Knowledge and information to the patient
6 Menyampaikan berita buruk:
a. Sesuai dengan tingkat pemahaman pasien
b. Menggunakan bahasa yang nonteknis
c. Menyampaikan berita buruk dengan bahasa yang sopan
dan empatik
d. Menilai pemahaman pasien
Step 5 – Addressing the patients’ Emotions with empathic responses
7 Memberikan respons empatik/eksploratorik/validatif sesuai
dengan respons emosi pasien
Step 6 – Strategy and Summary
8 Merencanakan langkah selanjutnya bersama
pasien/keluarga serta mendiskusikan sumber dukungan
potensial bagi pasien
9 Menilai keamanan pasien
10 Membuat janji pertemuan berikutnya
Keterangan:
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tetapi kurang benar; 2 = dilakukan dengan benar

Anda mungkin juga menyukai