Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

DIAGNOSIS & PENANGANAN


PERITONITIS

Disusun oleh :
Eldy Yuslika Rombe
1965050056

Pembimbing :
Dr. E. Surya D. Pohan, Sp.B-KBD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


PERIODE 01 FEBRUARI 2021 -13 MARET 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

BAB I
1
PENDAHULUAN

Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel – sel,
dan pus, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh
infeksi pada peritoneum.1 Peritonitis merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post
operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1.2
Peritoneum merupakan membran serosa rangkap yang terbesar di dalam
tubuh. Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, dan
peritoneum visceral, yang berfungsi menutupi sebagian besar dari organ – organ
abdomen dan pelvis, membentuk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling
bergeseran tanpa ada penggesekan. Organ – organ digabungkan bersama dan menjaga
kedudukan mereka tetap, dan mempertahankan hubungan perbandingan organ –
organ terhadap dinding posterior abdomen. Sejumlah besar kelenjar limfe dan
pembuluh darah yang termuat dalam peritoneum, membantu melindunginya terhadap
infeksi.2 Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus meneras, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.2
Apapun penyebabnya, peritonitis dapat terjadi secara tiba – tiba, awalnya
hanya pada satu daerah saja tetapi kemudian berkembang ke daerah yang lebih luas,
menyebar pada peritoneum viseral dan parietal. Dan jika tidak ditangani dengan baik
dapat berakibat fatal.4

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Anatomi
2.1.1 Anatomi Dinding dan Rongga Perut
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di
bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa
lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak
subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut,
m.oblikus abdominis eksternus, m.oblikus abdominis internus, dan m.tranversus
abdominis; dan akhirnya lapis preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan
terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah
dipisahkan oleh linea alba.3
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani
secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I.3
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis
mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal.
Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum
parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale.

3
Gambar 2.1 Anatomi Dinding dan Rongga Perut

Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi
dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa
pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar
masing-masing organ diberi nama-nama khusus.
Mesenterium ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya
seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang
mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang
membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang
memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon.
Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di
sebelah atas depan usus bernama olentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi
lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat

4
kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil
bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver.2

Gambar 2.2 Organ Intraabdominal dan Omentum

2.1.2 Peritonium
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesotial di atas dasar
fibroelastik. Terbagi menjadi visceral, menutupi usus dan mesenterium, dan bagian
parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fascia muscular.
Pasokan darah datang dari struktur di bawahnya. Persarafan lebih spesifik, hanya
berespons terhadap traksi atau regangan. Peritoneum parietale mempunyai komponen
somatik dan visceral dan memungkinkan lokalisasi stimulus yang berbahaya dan
menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas.3

5
Gambar 2.3 Peritoneum

2.1.3 Struktur Perut


Struktur di perut diklasifikasikan sebagai intraperitoneal, retroperitoneal
atauinfraperitoneal tergantung pada apakah mereka ditutupi dengan peritoneum
visceral danapakah mereka dilengkapi dengan polip (mensentery, mesokolon).
Struktur yang Intraperitoneal umumnya bergerak, sementara mereka yang
retroperitoneal relatif tetap dilokasi mereka. Beberapa struktur, seperti ginjal, adalah
"terutama retroperitoneal",sementara yang lain seperti mayoritas duodenum, adalah
"sekunder retroperitoneal", yang berarti struktur yang dikembangkan intraperitoneal
namun kehilangan mesenterium dan dengan demikian menjadi retroperitoneal.

Organ yang ada pada Intraperitoneum adalah meliputi, Hati, Limpa, ekor
pancreas.Dan pada wanita, Uterus, saluran telur, ovarium Gonad pembuluh darah.
Sedangkan organ yang ada pada Retroperitoneum adalah meliputi, Pankreas (kecuali
ekor),Ginjal, kelenjar adrenal, ureter proksimal, kapal ginjal, Gonad  pembuluh darah,
Inferior vena cava, Aorta

6
Gambar 2.4 Struktur Perut

2.2 Definisi Peritonitis


Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau
seluruh selaput peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen.
Peritonitis merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan
kronis, biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen,
konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya disebabkan oleh infeksi pada
peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang berasal dari organ-
organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ lambung,
colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain
yang menjalar melalui darah.3

2.3 Etiologi Peritonitis


Peritonitis biasanya disebabkan oleh:6
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering
menyebabkan peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu

7
atau usus buntu. Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika
pemaparan tidak berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan
peritoneum cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.
2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan
seksual
3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut
(asites) dan mengalami infeksi
5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan.
Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama
pembedahan dapat memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga
dapat terjadi selama pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di
dalam perut.
7. Iritasi tanpa infeksi
Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk bedak pada
sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa infeksi.

Sedangkan berdasarkan jurnal farmacia maret 2007 penyebab dari peritonitis


yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis
sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intraabdomen, namun biasanya terjadi
pada pasien dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat asites akan terjadi
kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju
dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula
penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan
sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar
protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal
tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.

8
Sembilan puluh persen kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba.
Patogen yang paling sering menyebabkan infeksi ialah bakteri gram negatif, yakni
40% Eschericia coli, 7% Klebsiella pneumoniae,spesies Pseudomonas, Proteus, dan
gram negatif lainnya sebesar 20%. Sementara bakteri gram positif,
yakni Streptococcus pneumoniae 15%, jenis Streptococcus  lain 15%, dan
golonganStaphylococcus sebesar 3%. Pada kurang dari 5% kasus juga ditemukan
mikroorganisme anaerob dan dari semua kasus, 10% mengandung infeksi campur
beberapa mikroorganisme.
Sedangkan peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam
dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius tergantung
penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih banyak
disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Pada
pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat pula terjadi infeksi
gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal, dapat melepaskan
ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan mengandung polimikroba,
mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi organisme gram
negatif.
Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites yang sudah mengalami SBP akan
mengalami peritonitis sekunder. Tanda dan gejala pasien ini tidak cukup sensitif dan
spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis yang lengkap, penilaian
cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik tambahan diperlukan untuk
menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat untuk pasien seperti ini.
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan berasal
dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses atau
flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering ada pasien
dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang imunokompromais.
Meskipun jarang ditemui bentuk infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden terjadi
peritonitis tersier yang membutuhkan IVU akibat infeksi abdomen berat tergolong
tinggi di USA, yakni 50-74%. Lebih dari 95% pasien peritonitis didahului dengan

9
asite, dan lebih dari stengah pasien mengalami gejala klinis yang sangat mirip asites.
Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya tidak diduga akan
mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier, peritonitis TB juga merupakan
bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu komplikasi penyakit TB.
Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk peritonitis lain, yakni
peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi karena iritasi bahan-bahan
kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses
inflamasi transmural dari organ-organ dalam (mis. Penyakit Crohn)  tanpa adanya
inokulasi bakteri di rongga abdomen. Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik
dan pendekatan ke pasien peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif
lainnya.7
Tabel 2.1 Penyebab peritonitis
Area sumber Penyebab
Esofagus Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Sindrom Boerhaave
Lambung Perforasi ulkus peptikum
Keganasan (mis. Adenokarsinoma, limfoma,
tumor stroma gastrointestinal)
Trauma
Iatrogenik
Duodenum Perforasi ulkus peptikum
Trauma (tumpul dan penetrasi)
Iatrogenik
Traktus bilier Kolesistitis
Perforasi batu dari kandung empedu
Keganasan
Kista duktus koledokus
Trauma
Iatrogenik
Pankreas Pankreatitis (mis. Alkohol, obat-obatan, batu

10
empedu)
Trauma
Iatrogenik
Kolon asendens Iskemia kolon
Hernia inkarserata
Obstruksi loop
Penyakit Crohn
Keganasan
Divertikulum Meckel
Trauma
Kolon desendens dan Iskemia kolon
apendiks Divertikulitis
Keganasan
Kolitis ulseratif dan penyakit Crohn
Apendisitis
Volvulus kolon
Trauma
Iatrogenik
Salping uterus dan ovarium Pelvic inflammatory disease
Keganasan
Trauma

2.4 Patofisiologi Peritonitis


Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah(abses) diantara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrinosa, yang kelak dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi usus. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis
generalisata. Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltic berkurang

11
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi meregang. Cairan dan elektrolit
hilang kedalam lumen usus, menyebabkan terjadiya dehidrasi, gangguan sirkulasi,
oliguuria, dan mungkin syok. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung
usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya motilitas usus dan
menyebabkan terjadinya obstruksi usus.2 Jika bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menimbulkan peritonitis
generalisata sehingga aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik,
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan syok.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
menimbulkan terjadinya obstruksi usus.
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam
rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma, atau
perforasi tumor. Terjadi proliferasi bacterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam
waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritoneal menjadi keruh
dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respon
segera dari saluran usus adalah hipomotilitas, diikuti oleh ileus paralitik, disertai
akumulasi udara dan cairan dalam usus

2.5 Manifestasi Klinis Peritonitis


            Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam
rongga abdomen. Gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya
penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk
melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum.11
            Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari
awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi
nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara
bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda
iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi
demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria,
disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.12

12
2.5.1 Gejala
- Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis.
Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan
perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.2Seiring dengan
berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa
seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa
pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan
penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika
intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri
menandakan penyebaran dari peritonitis.13

- Anoreksia, mual, muntah dan demam


Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti
demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.13

- Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga
menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.11
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan
lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen.13
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian
yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang
lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.11

13
- Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari
intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.11
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman
gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.
Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui
bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-
gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia.11

2.5.2 Tanda
- Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi
yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya
volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya
syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang
lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus
untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.13

- Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi
dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini
terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.11

14
Gambar 2.5 Distensi Abdomen

- Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus
dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai
hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya
suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada
suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen
akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi.11

- Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari
intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari
peritonitis.11
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara
akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang.13

- Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang

15
kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat
nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung
pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang
dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting
adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen
secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup
gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan
perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu
proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local,
atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat
hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal.1
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan
spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek
spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.13

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat
penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah
termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih
biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau
seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan
mekanisme pertahanannya.11
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi
oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah
leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.13
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan

16
ginjal dapat dilakukan.12
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup
foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses
intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat
terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.11
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan
usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto
polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak
lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara
bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di
usus besar dan usus halus.11

Gambar 2.6 Pneumoperitoneum pada foto thorax posisi berdiri15

2.6 Tata Laksana Peritonitis

17
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.12

2.6.1 Penanganan Preoperatif


• Resusitasi Cairan
  Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.3
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat
diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh.
Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi
PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus
diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.12
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan
dikeluarkan lewat ginjal.13 Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi
dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.12

• Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri
aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian
antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang
menginfeksi peritoneum.13
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur
dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat
tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan
demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan
dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas.11
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:

18
(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau
nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi
lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.3
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam
dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga
memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari
peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan
regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin,
tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada
chloramphenicol pada stadium awal infeksi.11
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.13
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.12
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang
kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus
diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran
klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas
obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan
demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.12

• Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh
akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat
diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga
ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau
lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO 2 kurang dari 55 mmHg,
(3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.13

19
• Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)
dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum
elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.13

2.6.2 Penanganan Operatif


Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan
exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan
selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum
seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi
untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.13

• Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan
mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi
midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang
terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.
Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam
tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan
mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu),
perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur
cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan
setelah memasuki kavum peritoneum.12
• Peritoneal Lavage

20
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine).
Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada
cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.
Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan
depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja
dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum
peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal
dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.12

• Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak
efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan
penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase
profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan
dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal
residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan
massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.12

2.6.3 Pengananan Postoperatif


Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi
organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan
peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,
penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik.
Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis.

21
Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan
resiko infeksi sekunder.12

2.7 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi
abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen
residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen.
Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu
organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.12

2.8 Prognosis
               Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-
faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit
primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan,
serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada
pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan
sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.12
Tabel 2.2 Penyebab dari peritonitis dan prediksi angka kematian14

BAB III

22
KESIMPULAN

            Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi
gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda peritonitis
yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi
hingga menjadi hipotensi. Nyeri  abdomen yang hebat, dinding perut akan teras
tegang karena iritasi peritoneum.
         Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi
postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain
tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum
pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

Daftar Pustaka

23
1. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine
Medscape.2019 Available at : https://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#showall
2. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg 2010;5:9
Available at : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20302628/
3. Sjamsuhidajat R, Lambung dan Duodenum-bab 31, Buku Ajar Ilmu Bedah,
Edisi 2,EGC, Jakarta: 2004,
4. Carol Matson Porth, Structure and Function of the Gastrointestinal Tract,
Essential of Pathophisiology, Lippincott Williams & Wilkins, Wiskonsin:
2004,
5. Marhsall, JC. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.
Critical Care Medicine. 2003
6. Brunicardi, F. Charles, et al. Scwart’z Principles of Surgery, USA : The Mc
Graw-Hill company, Inc. 2010
7. Price Wilson, Peritonitis, patofisiologi saluran cerna, PATOFISIOLOGI
(Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit), Jilid 1, ed: 8. Alih Bahasa: Peter
Anugrah, EGC, Jakarta: 1995,
8. Iwan Ekayuda (editor), Kelainan Saluran cerna Bagian Distal, Radiologi
Diagnostik, ed: 2. Divisi Radiologi Diagnostik, Departemen Radiologi FK –
UI, Jakarta: 2005
9. Maraolo EM, Ivan G, Biagio P, Salvatore N, Guglielmo B. Current and
emerging pharmacotherapy for the treatment of bacterial. Expert Opinion on
Pharmacotherapy. 2018
10. peritonitis, Expert Opinion on Pharmacotherapy Haskin – Teplick, disease of
the digestive system, Roentgenologic Diagnosis, W.B. Saunders Company,
United States of America
11. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.
Appelton-Century Corp, Hal 784-795
12. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
13. Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill,
Hal 1459-1467
14. Doherty, Gerrad M.D, and Way, Lawrence W., MD. Current Surgical
Diagnosis and Treatment. 2006 p 454
15. Townsend Jr, Courtney M. Sabiston Textbook of Surgery. 2004 p 1186

24

Anda mungkin juga menyukai