Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

FISIOLOGI DAN PENATALAKSANAAN


FISTULA ENTEROKUTANEUS

Disusun oleh : Irvan Christian Wenben

Pembimbing : dr.Monica Yolanda,Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN BEDAH


PERIODE 1 Februari – 13 Maret 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

1
BAB I
PENDAHULUAN

Fistula enterokutaneus atau enterokutaneus fistula (ECF) adalah adanya hubungan


abnormal yang terjadi antara dua pemukaan berepitel yaitu antara saluran cerna dengan kulit,
baik antara usus halus dengan kulit maupun usus besar dengan kulit. Hubungan antara kedua
permukaan tersebut sebagian besar berupa jaringan granulasi. Fistula enterokutaneus
merupakan komplikasi yang biasanya terlihat setelah operasi di usus kecil atau besar.1

Tingkat kematian pada fistula ini adalah mulai dari 5-20%, karena sepsis, malnutrisi,
dan ketidakseimbangan elektrolit. Fistula enterokutaneus adalah kondisi umum di sebagian
bangsal bedah umum. Selama beberapa dekade terakhir, perbaikan dalam penatalaksanaan
fistula enterokutaneus telah mengakibatkan penurunan bertahap dalam angka kematian.
Morbiditas pasien dengan fistula enterokutaneus terkait dengan prosedur pembedahan atau
penyakit primernya menjadi meningkat sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien,
memperpanjang tinggal di rumah sakit, dan meningkatkan biaya keseluruhan untuk
pengobatan.1

Pasien dengan fistula enterokutaneus hampir selalu dapat disembuhkan hingga saat ini
dan jika intervensi penatalaksanaan yang tepat maka angka mortalitas rumah sakit menurun.
Pendekatan multidisiplin ilmu sangat penting dan menyelidiki fistula tidak bermakna pada
tahap awal penatalaksanaan. Penatalaksanaan sangat dipengaruhi oleh etiologi yang
mendasari dan klasifikasi anatomi fistula yang bersama-sama menentukan kemungkinan
resolusi tanpa intervensi bedah.2
Dengan memahami patofisiologi serta faktor risikonya dapat membantu untuk
mengurangi kejadian fistula enterokutaneus. Selain itu, pedoman penatalaksanaan bersama
dengan beberapa pilihan pengobatan baru akan membantu dokter untuk mencapai hasil yang
lebih baik pada pasien dengan fistula enterokutaneus. 1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fistula Enterokutaneus


Fistula enterokutaneus adalah komunikasi abnormal antara saluran usus dan
kulit yaitu komunikasi abnormal antara dua permukaan epitel yang salah satunya
adalah organ dalam. Bagian isi gastrointestinal melalui fistula dapat menyebabkan
tiga masalah utama yaitu :3
1. Bagian usus yang ada di bawah fistula dilewati dan fungsi absorpsi normal
terganggu sehingga mengakibatkan gangguan nutrisi.
2. Kehilangan sekresi gastrointestinal menyebabkan ketidakseimbangan air,
elektrolit dan asam basa.
3. Saluran fistula mungkin tidak terlindungi secara efektif dari struktur sekitarnya
yang menyebabkan keluarnya isi enterik ke area normal rongga peritoneum yang
steril dan menyebabkan komplikasi sepsis yang serius.
Ketiga faktor ini menentukan morbiditas dan mortalitas pada fistula
enterokutaneus. Jika kulit tidak terlindungi dengan baik, ekskoriasi parah akan terjadi
dan penanganan stoma selanjutnya akan lebih sulit.3

2.2 Klasifikasi
Fistula enterokutaneous dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria anatomi,
fisiologi, dan etiologi yaitu sebagai berikut :
1. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 2 yaitu
fistula internal dan eksternal. Fistula internal yaitu fistula yang menghubungkan
antara dua viscera, sedangkan fistula eksternal adalah fistula yang
menghubungkan antara viscera dengan kulit. Secara anatomis, fistula enterokutan
telah diklasifikasikan berdasarkan organ asalnya dan ini berguna dalam
pertimbangan pilihan penatalaksanaan: tipe l (fistula esofagus dan gastroduodenal
perut), tipe ll (fistula usus halus), tipe lll (fistula usus besar) dan tipe IV
(enteroatmospheric). Anatomi juga tergantung pada ada atau tidaknya rongga
abses terkait dan panjang serta karakteristik saluran fistula yaitu fistula sederhana
memiliki saluran tunggal dan langsung sedangkan fistula kompleks memiliki
banyak saluran atau rongga abses terkait.1,4

3
Gambar 1. Simple fistula enterocutaneuous.2

Gambar 2. Complexe fistula enterocutaneuous.2

4
2. Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi 3 yaitu
high-output, moderate-output, dan low output. Fistula enterokutaneous dapat
menyebabkan pengeluaran cairan intestinal ke dunia luar, di mana cairan tersebut
banyak mengandung elektrolit, mineral dan protein sehingga dapat menyebabkan
komplikasi yaitu terjadi ketidakseimbangan elektrolit, dapat menyebabkan
malnutrisi pada pasien, dan syok. Fistula dengan high-output apabila pengeluaran
cairan intestinal sebanyak >500ml perhari, moderate-output sebanyak 200-500 ml
per hari dan low-output sebanyak <200 ml per hari.5
3. Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneous dibagi menjadi dua yaitu
fistula yang terjadi secara spontan dan akibat komplikasi post operasi. Secara
etiologi, mayoritas fistula enterokutan adalah iatrogenik (75-85%) sedangkan
antara 15 dan 25% terjadi secara spontan. Penyebab fistula spontan meliputi
penyakit radang usus (tersering), keganasan, apendisitis, divertikulitis, radiasi,
tuberkulosis, aktinomikosis, dan iskemia.1
Fistula umumnya diklasifikasikan secara anatomis, fisiologis, dan
berdasarkan etiologi. Fistula juga dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah
output harian. Keluaran fistula harus dihitung secara akurat karena jumlahnya
dapat menentukan penatalaksanaan.5

Gambar 3. Klasifikasi fistula enterocutaneuous.5

2.3 Formasi Fistula dan Karakteristik


Fistula enterokutan dapat timbul secara spontan dari area yang mendasari usus
sakit seperti penyakit Crohn, tuberkulosis, tifus, penyakit divertikular, radioterapi
sebelumnya, dll. Namun umumnya mengikuti komplikasi pembedahan perut
(iatrogenik) seperti kebocoran anastomosis. Diperkirakan bahwa 75-85% fistula
enterokutan terbentuk setelah operasi karena cedera usus, enterotomi yang tidak

5
disengaja dan / atau kebocoran anastomosis. Kejadian pembentukan fistula dapat
dipengaruhi oleh keterampilan dan pengalaman ahli bedah serta variabel pasien.
Pembentukan fistula lebih sering dikaitkan dengan pembedahan dengan adanya
keganasan atau penyakit radang usus, dan dengan usaha pemecahan adhesi padat.2

2.4 Etiologi
Penyebab utama fistula enterokutaneous adalah akibat komplikasi postoperasi
(sekitar 75-85%). Faktor penyebab timbulnya fistula enterokutaneous akibat
postoperasi dapat disebabkan oleh faktor pasien dan faktor tehnik. Faktor pasien yaitu
malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia, dan hipotermia. Sedangkan faktor tehnik lain
yaitu pada tindakan-tindakan preoperasi. Sebelum dilakukan operasi, harus dievaluasi
terlebih dahulu keadaan nutrisi pasien karena kehilangan 10-15% berat badan, kadar
albumin kurang dari 3,0 gr/dL, rendahnya kadar transferin dan total limfosit dapat
meningkatkan resiko terjadinya fistula enterokutaneous. Selain itu, fistula
enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya vaskularisasi pada daerah operasi,
hipotensi sistemik, tekanan berlebih pada anastomosis, dan membuat anastomosis dari
usus yang tidak sehat. Untuk mengurangi resiko timbulnya fistula, keadaan pasien
harus normovolemia atau tidak anemis agar aliran oksigen menjadi lebih optimal.
Selain itu pada saat operasi harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah
timbulnya infeksi dan abses yang dapat menimbulkan fistula.4,6

2.5 Patofisiologi
Manifestasi fistula bergantung pada struktur mana yang terlibat. Fistula
enteroenterika resistansi rendah yang memungkinkan isi luminal melewati sebagian
besar usus halus dapat menyebabkan malabsorpsi yang signifikan secara klinis.
Fistula enterovesikuler sering menyebabkan infeksi saluran kemih berulang. Drainase
yang berasal dari fistel enterocutaneous dapat menyebabkan iritasi pada kulit berupa
ekskoriasi. Hilangnya isi luminal enterik terutama dari fistula keluaran tinggi yang
berasal dari usus halus bagian proksimal dapat mengakibatkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit, dan malnutrisi. Fistula berpotensi menutup secara
spontan akan tetapi terdapat faktor yang menghambat penutupan spontan yaitu
malnutrisi, sepsis, penyakit radang usus, kanker, radiasi, obstruksi usus distal ke asal
fistula, benda asing, keluaran tinggi, saluran fistula pendek (<2 cm), dan epitelisasi
saluran fistula. Namun, sebanyak 50% kasus fistula dapat menutup secara spontan.

6
Faktor-faktor yang dapat menghambat penutupan spontan fistula yaitu FRIEND
(Foreign body di dalam traktus fistula, Radiasi enteritis, Infeksi/inflamasi pada
sumber fistula, Epitelisasi pada traktus fistula, Neoplasma pada sumber fistula, Distal
obstrukti pada usus).6

Gambar 4. Faktor-faktor yang menghambat penutupan spontan fistula enterocutaneuous.7

2.6 Gejala Klinis


Fistula enterokutaneus iatrogenik biasanya terdapat gejala klinis antara hari ke
lima dan ke sepuluh pasca operasi. Demam, leukositosis, ileus berkepanjangan, nyeri
perut, dan infeksi luka merupakan tanda-tanda awal. Diagnosis menjadi jelas ketika
drainase bahan enterik yang keluar dari luka perut atau melalui saluran pembuangan.
Fistula ini sering dikaitkan dengan abses intraabdomen.6
Pengenalan fistula enterokutan biasanya tidak sulit. Gambaran klinis yang
khas adalah pasien demam pasca operasi dengan luka eritematosa. Ketika beberapa
jahitan kulit dilepas, keluar cairan bernanah atau berdarah, kebocoran isi enterik
kemudian terjadi, biasanya dalam 1 atau 2 hari. Diagnosis jarang luput dari perhatian
ahli bedah untuk waktu yang lama. Fistula usus halus juga dapat dimanifestasikan
dengan peritonitis umum meskipun ini lebih jarang. Biasanya dengan segmen usus
terbuka yang terpapar melalui defek fasia besar tanpa batas epidermal di sekitarnya.7
Fistula enterokutaneus diklasifikasikan menurut lokasi dan volume output
hariannya. Faktor-faktor ini dapat juga menentukan tingkat pengobatan, morbiditas,
dan mortalitas. Fistula proksimal dikaitkan dengan output yang lebih tinggi,

7
kehilangan cairan dan elektrolit yang lebih besar, dan hilangnya kapasitas pencernaan
yang lebih besar. Fistula distal cenderung memiliki keluaran yang lebih rendah,
membuatnya lebih mudah untuk ditatalaksana dan kemungkinan besar untuk menutup
secara spontan. Fistula keluaran tinggi adalah fistula yang mengeluarkan 500 ml atau
lebih per 24 jam. Faktor-faktor yang mencegah penutupan fistula secara spontan
diperhatikan. Setelah fistula diidentifikasi, manajemen harus fokus pada resusitasi
yang cepat pada pasien dan pertimbangan faktor-faktor potensial yang dapat
mencegah penutupan spontan. Penatalaksanaan pasien yang berhasil dengan fistula
usus memerlukan pendekatan bertahap terkoordinasi.7

Gambar 5. Foto klinis fistula enterocutaneous dengan defek dinding abdomen.4

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pengawasan post operasi yang ditandai dengan komplikasi ileus dan muncul
infeksi luka pasca operasi adalah pertanda adanya fistel enterocutaneous. Setelah
fistula dicurigai atau telah diidentifikasi pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan
radiologis diperlukan dan 97% dari semua pasien menjalani beberapa bentuk evaluasi
radiologis. Pemeriksaan penunjang pada fistel enterokutaneus yaitu sebagai berikut :
1,5,6,8

1. Test methylen blue


Tes ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan fistula
enterokutaneous dan kebocoran segmen usus. Tehnik ini kurang mampu untuk
mengetahui fungsi anatomi dan jarang digunakan.

8
2. Ultrasonografi abdomen
USG dapat digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya abses dan
penimbunan cairan pada saluran fistula. Ultrasonografi abdomen tidak dapat
menunjukkan adanya pengumpulan cairan intraperitoneal.
3. Fistulogram
Fistulogram dapat dilakukan dengan menggunakan media beryodium
larut dalam air yang bisa menggambarkan saluran. Tehnik ini menggunakan
water soluble kontras. Kontras disuntikkan melalui subkutan kemudian
melakukan foto x-ray. Dengan menggunakan tehnik pemeriksaan ini dapat
diketahui berbagai hal yaitu : sumber fistula, jalur fistula, ada-tidaknya
kontinuitas usus, ada tidaknya obstruksi di bagian distal, keadaan usus yang
berdekatan dengan fistula (striktur, inflamasi) dan ada tidaknya abses yang
berhubungan dengan fistula. Fistulogram merupakan pemeriksaan di mana
kontras disuntikkan di bawah tekanan melalui kateter yang ditempatkan secara
perkutan ke dalam saluran fistula sehingga memiliki sensitivitas yang lebih
besar dalam melokalisasi asal fistula.

Gambar 6. Fistulogram yang dilakukan dengan pelarut dalam air yang


menunjukkan ekstravasasi melalui kontras fistula.4
4. Barium enema
Barium enema dapat secara akurat menentukan lokasi fistula. Kontras
barium enema yang larut dalam air berguna dalam menyingkirkan suatu
obstruksi kolon atau usus halus.

9
5. CT scan abdomen
Pemindaian CT setelah pemberian kontras enteral adalah tes awal yang
paling berguna. Kebocoran bahan kontras dari lumen usus dapat diamati.
Abses intraabdomen harus dicari dan dikeringkan secara perkutan. Kadang-
kadang, kontras yang diberikan ke dalam usus tidak menunjukkan saluran
CT scan
fistula maka dilakukan pemeriksaan CT scan abdomen. dengan kontras
sangat penting untuk mengevaluasi adanya abses ataupun output yang tidak
keluar terdrainase. CT scan abdomen dapat mendeteksi saluran fistula yang
tepat serta menentukan patologi terkait. Fistulografi MRI (Magnetic
Resonance Imaging) juga dapat digunakan tetapi MRI umumnya digunakan
untuk mengevaluasi fistula di daerah perianal. Ke depannya penggunaan MRI
dapat diperluas dengan urutan pencitraan yang lebih cepat dan penggunaan
agen kontras oral.

Gambar 7. Pencitraan CT scan abdomen dan pelvis yang menunjukkan ekstravasasi


kontras yang diberikan secara oral melalui defek pada dinding perut.4

10
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fistula enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan yaitu
stabilization, investigation, decision, definitive management, dan rehabilitation.6
1. Stabilization
Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu : identification, resuscitation, control
of sepsis, nutritional support, dan control of fistula drainage.
a. Identification
Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi pasien dengan
fistula enterokutaneus. Pada minggu pertama postoperasi, pasien menunjukkan
tanda-tanda demam dan prolonged ileus serta terbentuk erythema pada luka.
Luka akan terbuka dan terdapat drainase cairan purulen yang terdiri dari cairan
usus. Pasien dapat mengalami malnutrisi yang disebabkan karena sedikit atau
tidak diberikan nutrisi dalam waktu lama. Pasien dapat menjadi dehidrasi,
anemis, dan kadar albumin yang rendah.6
b. Resuscitation
Resusitasi pasien dengan fistula enterokutaneus yang baru didiagnosis
mengikuti banyak prinsip yang sama seperti resusitasi pasien. Perawatan awal
harus fokus pada resusitasi cairan agresif, koreksi ketidakseimbangan
elektrolit, dan normalisasi asidosis laktat. Pasien dengan fistula enterokutaneus
biasanya akan mengalami hiponatremia, hipokalemia, dan asidosis karena
kehilangan isi gastrointestinal yang sedang berlangsung. Pasien dengan fistula
keluaran tinggi harus mendapat penggantian cairan, elektrolit, dan bikarbonat
secara intravena untuk menghindari dehidrasi dan ketidakstabilan metabolik
yang mendalam selama periode stabilisasi awal. Pemantauan yang cermat dari
keluaran urin dan penggantian limbah fistula yang ditargetkan setiap 4 sampai
8 jam akan mencegah dehidrasi yang sedang berlangsung.5
Tujuan dari fase perawatan ini adalah pemulihan volume intravaskular
dan optimalisasi daya dukung oksigen. Tujuan utamanya adalah untuk
mengganti volume yang hilang secara eksternal melalui fistula atau abdomen
terbuka. Perhatian harus dilakukan untuk menghindari resusitasi berlebihan
yang dapat menyebabkan sindrom kompartemen perut serta komplikasi
anastomosis. Penempatan kateter urin untuk memantau output urin dengan
cermat sebagai panduan untuk penggantian cairan yang adekuat sangat
penting. Transfer pasien ke ICU (Intensive Care Unit) dan pemasangan kateter

11
vena sentral mungkin diperlukan untuk pemantauan hemodinamik terutama
bila dicurigai adanya sepsis. Penggantian elektrolit yang kuat dan transfusi
darah yang sering kali diperlukan.9
c. Control of sepsis
Sepsis merupakan faktor komplikasi utama morbiditas dan
bertanggung jawab atas sekitar 77% kematian pada pasien dengan fistula
enterokutaneus. Pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT scan) pada perut
dan panggul bersama dengan drainase perkutan dengan panduan radiologis
sangat penting untuk dievaluasi dan mengobati sumber infeksi. Saat media
kontras digunakan, CT scan memiliki akurasi lebih dari 97%. Pemindaian
ultrasonografi dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga dapat digunakan
sebagai tambahan. Drainase perkutan juga dapat mendekompresi fistula
kompleks dan mengubahnya menjadi fistula sederhana. Dalam kasus
peritonitis dan ketidakmampuan untuk mengontrol sumber dengan tindakan
konservatif, resusitasi cairan yang cepat, pemberian antibiotik dan
pengendalian infeksi operasi sangat penting.1
Antibiotik spektrum luas harus dimulai pada awal sepsis dan kultur
diambil dari semua sumber infeksi yang mungkin. Antibiotik kemudian harus
disesuaikan dengan hasil dari kultur sesuai dengan hasil sensitivitas bakteri
dan pada sepsis yang sedang berlangsung kadang perlu pertimbangan khusus
diberikan anti jamur untuk infeksi jamur. Penggunaan antibiotik yang
sembarangan harus dihindari karena hal ini dapat menyebabkan patogen yang
sangat resisten yang dapat menyebabkan infeksi luar biasa yang tidak dapat
diobati. Cakupan antibiotik empiris tidak boleh melebihi 4 sampai 7 hari.
Tidak ada peran cakupan antibiotik pada pasien yang sepsisnya terkontrol
sepenuhnya dengan drainase perkutan. Tatalaksan sepsis sanhgat penting
untuk mencapai penutupan spontan fistula enterokutaneus.1
d. Nutritional support
Sumber malnutrisi pada pasien fistula enterokutaneus ada tiga dan
dapat tumpang tindih untuk pasien individu: kalori yang tidak memadai
asupan, katabolisme yang berhubungan dengan sepsis yang sedang
berlangsung, dan pembuangan produk dari saluran gastrointestinal. Hingga 75
gram protein bisa hilang dari sekresi enterik setiap hari. Namun, pasien
dengan ECF akan membutuhkan 1 sampai 2,5 kali energi basal orang dewasa

12
yang sehat. Pasien yang mengonsumsi minimal 1.500 kkal / hari memiliki
mortalitas 3,6 kali lipat lebih rendah dibandingkan mereka yang asupan
kalorinya tidak mencapai 1.500 kkal / hari. Pemantauan asupan nutrisi yang
memadai juga bisa menjadi rumit. Salah satu ukuran untuk melacak
keberhasilan setiap minggu adalah memeriksa kadar albumin, prealbumin,
berat badan, dan transferin pada pasien stabil dengan fistula enterokutaneus
setidaknya setiap minggu selama rawat inap. Albumin, prealbumin, dan
transferin semuanya merupakan reaktan akut dan kadarnya tidak akurat dalam
keadaan gawat fisiologis akut dan sepsis. Kadar prealbumin dan albumin
memberikan penilaian tidak langsung dari simpanan protein viseral,
sedangkan transferin adalah protein transpor besi plasma yang utama. Selain
itu, penilaian antropometri berdasarkan ketebalan lipatan kulit trisep
(mendekati cadangan lemak tubuh) dan lingkar otot lengan tengah (mendekati
massa otot) dapat digunakan. Tingkat albumin dan transferin telah terbukti
memprediksi tingkat penutupan spontan dan mortalitas.1,10

Gambar 8. Kebutuhan nutrisi pasien dengan fistula enterokutaneus.10


Setelah resusitasi cairan dan elektrolit awal dan drainase perkutan atau
operasi infeksi, nutrisi parenteral segera dimulai pada pasien fistula output
tinggi dan diet enterik dimulai pada pasien fistula output rendah. Target output
enterik dalam 24 jam adalah <1,5 L. Minuman tambahan berkalori tinggi
sangat dianjurkan bagi mereka yang dapat mentolerir nutrisi enteral. Pada
pasien yang membutuhkan suplementasi makanan yang dicerna secara oral,
tabung nasogastrik, atau nasojejunal dapat digunakan untuk membantu
memberikan nutrisi. Dalam beberapa kasus, nutrisi enteral dapat
dikontraindikasikan termasuk ketika panjang usus tidak mencukupi (<75 cm).
Pada kasus diskontinuitas usus, jika keluaran fistula meningkat secara
signifikan dengan dimulainya nutrisi enteral dan menyebabkan gangguan
elektrolit dan jika ada intoleransi gejala nutrisi enteral maka nutrisi enteral

13
tidak dapat dipertahankan lagi. Direkomendasikan untuk mencoba nutrisi
enteral jika keluaran fistula <1,5 L.10
Fistuloclysis dapat mengantarkan nutrisi enteral ke bagian distal usu
dalam kasus di mana saluran enterik distal tidak mengalami obstruksi.
Meskipun fistuloclysis adalah terapi yang hemat biaya dan biasanya berhasil
terapi ini bisa memakan waktu. Kebanyakan pasien akan mengalami
ketidaknyamanan perut atau diare di awal setelah inisiasi. Fistuloclysis efektif
dalam memberi makan 11 dari 12 pasien yang diteliti. Persiapan fistuloclysis
membutuhkan alat ostomy, gastrostomy atau tabung enterostomy lainnya, dan
adaptor yang memungkinkan tabung enterostomy dipasang ke alat ostomy,
saat melewati dinding kantong stoma, dan kantong dan tabung umpan tabung.
Ketika kombinasi cairan yang keluar dari fistel dan feses yang keluar lebih
besar dari 1,5 L / hari, maka upaya yang dilakukan untuk meminimalkan
kehilangan cairan adalah dengan rehidrasi cairan intravena tambahan. Asupan
cairan rendah natrium dibatasi hingga 0,5 L / hari bila perlu; namun intake
elektrolit yang mengandung konsentrasi tinggi natrium dan glukosa massih
bisa ditoleransi. Asupan cairan dalam volume yang signifikan dengan
makanan juga tidak dianjurkan untuk meminimalkan pengeluaran cairan
ekstraseluler fistula dan stoma. Agen antimotilitas loperamide (64 mg setiap
hari) dan kodein fosfat (240 mg setiap hari) dapat digunakan untuk
menurunkan keluaran fistula ketika tindakan di atas tidak berhasil seperti
proton pump inhibitor yang mekanismenya membantu meminimalkan sekresi
lambung.11
e. Control of fistula drainage
Perawatan kulit dan kontrol keluaran fistula harus dimulai segera
setelah diagnosis dibuat untuk mengurangi ekskoriasi kulit lokal dan
peradangan, nyeri dan infeksi. Fistula keluaran rendah dapat dikontrol dengan
balutan basah ke kering atau kain kasa kering, sedangkan fistula keluaran
sedang dibantu alat ostomi dengan perlindungan kulit yang sesuai di sekitar
fistula dalam bentuk pasta cincin perekat, bedak, atau pembalut hidrofilik.
Pada fistula keluaran tinggi terdapat beberapa jenis alat pengumpul seperti
peralatan ostomy, pengatur luka, sistem pouching yang dapat dikumpulkan ke
sambungan dinding. Balutan tekanan negatif merupakan perkembangan yang
relatif baru dalam penanganan luka kompleks. Sementara beberapa penulis

14
telah mempublikasikan pengalaman mereka dengan perangkat Vacuum
Assisted Closure (VAC) untuk melindungi kulit, meningkatkan kontraksi luka
atau menutup fistula, beberapa penulis lain mengungkapkan kekhawatiran
bahwa perangkat ini dapat menyebabkan fistula enterokutan berulang dengan
peningkatan mortalitas.1
Sistem Vacuum Assisted Closure (VAC) digunakan sebelum dan
sesudah operasi pada pasien dengan luka perut yang tidak dapat segera ditutup
dan berisiko tinggi mengalami komplikasi penyembuhan. Perangkat VAC
dipertahankan pada mode kontinu dengan tekanan negatif dari 75 hingga 125
mmHg. Perban diganti setiap 2 hari.12

Gambar 9. Perawatan kulit dengan sistem Vacuum Assisted Closure (VAC) pada kasus
fistula enterokutan yang berhubungan dengan luka besar pada perut.12
Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) telah digunakan selama
bertahun-tahun untuk mengobati luka kronis. Hasil yang diharapkan adalah
penurunan edema jaringan, perbaikan sirkulasi, pembentukan jaringan
granulasi yang sehat, dan penghambatan pertumbuhan bakteri. Pasien dapat
memperoleh manfaat dari kemungkinan sembuh yang lebih tinggi,
mengurangi lama rawat inap, dan mengurangi komplikasi fistular. Salah satu
studi pertama mengenai penggunaan NPWT di fistel enterocutaneous bahwa

15
penutupan 99% dengan data terbaru melaporkan tingkat penutupan berkisar
antara 26,6 hingga 81,9%, tergantung pada jenis NPWT yang digunakan dan
keadaan pasien. Jaringan stroma yang berkembang selama periode granulasi
mengisi celah pada luka kronis, dan perlahan-lahan mengecilkan area celah
hingga tertutup sepenuhnya. Fistel enterocutaneous tidak membentuk jalur
langsung melainkan melalui pembuangan intra-abdominal yang terlokalisasi
melalui adhesi usus dan menemukan jalan keluarnya melalui situs lain dan
berangsur-angsur menghilang sampai adhesi menutup usus yang perforasi.
Salah satu faktor penting yang menunda penyembuhan luka adalah infeksi
yang menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Peradangan
adalah bagian normal dari proses penyembuhan luka dan penting untuk
menghilangkan mikroorganisme yang terkontaminasi. Namun, dengan tidak
adanya dekontaminasi yang efektif, peradangan dapat berlangsung lama
karena pembersihan mikroba yang tidak sempurna. Baik bakteri maupun
endotoksin dapat menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi yang
berkepanjangan, yang meliputi interleukin-1 (IL-1) dan TNF-α yang dapat
memperpanjang fase peradangan dan mencegah luka benar-benar memasuki
fase renovasi. Hal ini menyebabkan luka kronis yang gagal sembuh. Bersama
dengan peningkatan kandungan protease, tingkat protease inhibitor yang
terjadi secara alami menurun. Pergeseran keseimbangan protease ini dapat
menyebabkan degradasi faktor pertumbuhan pada luka kronis.13
Obat-obatan (Somatostatin, Octreotide dan H2 Antagonis) dapat juga
diberikan untuk menghambat sekresi asam lambung, sekresi kelenjar pankreas,
usus, dan traktus biliaris. Sekresi lambung dapat dikurangi dengan
menggunakan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton sebanyak
500 ml / 24 jam dan transit usus dapat diperlambat dengan agen antimotilitas
dosis tinggi seperti kodein fosfat atau loperamide. Namun penghambat sekresi
asam lambung tidak akan cukup untuk mengurangi keluaran tinggi sehingga
keparahan kegagalan usus pada fistula keluaran tinggi cukup tinggi dan
dengan demikian mencegah kebutuhan cairan parenteral dan penggantian
elektrolit sangat penting. Pada orang dewasa, oktreotida analog somatostatin
antisekresi mengurangi keluaran fistula dengan pengurangan volume
suplemen parenteral. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan tidak ada
manfaat karena tidak meningkatkan persentase fistula sedekat itu. Komplikasi

16
dari usus pendek adalah terganggunya mekanisme rem ileokolonik yang
dimediasi oleh hormon seperti glukagon seperti peptida 1 dan 2 dan peptida
YY, yang menyebabkan sekresi hiper lambung, transit lambung dan usus yang
cepat, dan adaptasi usus yang buruk. Selain itu, pengurangan volume limbah
yang mengiritasi dapat menurunkan iritasi kulit.2,8,14

Gambar 10. Metode untuk mengurangi output fistula.2


2. Investigation
Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan jalur fistula.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu beberapa pemeriksaan yagn
sudah dijelaskan di atas :
a. Test methylen blue
b. Ultrasonografi abdome
c. Fistulogram
d. Barium enema
e. CT scan abdomen
3. Decision
Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan dalam 4-6
minggu pada pasien dengan pemberian nutrisi adekuat dan terbebas dari
sepsis. Penutupan spontan dapat terjadi pada sekitar 30% kasus. Fistula yang
terdapat pada lambung, ileum, dan ligamentum of Treiz memiliki kemampuan
yang rendah untuk menutup secara spontan. Hal ini berlaku juga pada fistula
dengan keadaan terdapat abses besar, traktus fistula yang pendek, striktur

17
usus, diskontinuitas usus, dan obstruksi distal. Pada kasus-kasus tersebut,
apabila fistula tidak menutup (output tidak berkurang) setelah 4 minggu, maka
dapat direncanakan untuk melakukan operasi reseksi. Jika fistula gagal
sembuh selama periode ini, pembedahan mungkin diperlukan selama saluran
fistula bersama dengan segmen usus tempat asalnya harus direseksi. Pada
rencana melakukan tindakan operasi, ahli bedah harus mempertimbangkan
untuk menjaga keseimbangan nutrisi dengan memberikan nutrisi secara
adekuat, kemungkinan terjadinya penutupan spontan dan tehnik-tehnik operasi
yang akan digunakan. Pasien dengan fistula usus biasanya memiliki perlekatan
intraabdomen yang luas dan padat.6
4. Definitive management
Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan fistula
enterokutaneous yang tidak dapat menutup secara spontan adalah tindakan
yang tepat. Sebelumnya, pasien harus dalam kondisi nutrisi yang optimal dan
terbebas dari sepsis. Pada saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi
baru. Insisi secara transversal pada abdomen di daerah yang terbebas dari
perlekatan. Tujuan tindakan operasi selanjutnya adalah membebaskan usus
sampai rectum dari ligamentum Treiz. Kemudian melakukan eksplorasi pada
usus untuk menemukan seluruh abses dan sumber obstruksi untuk mencegah
kegagalan dalam melakukan anastomosis. Pada saat isolasi segmen usus yang
mengandung fistula, reseksi pada segmen tersebut merupakan tindakan yang
tepat. Pada kasus-kasus yang berat, dapat digunakan tehnik exteriorization,
bypass, Roux-en-Y drainase, dan serosal patches. Namun tindakan-tindakan
tersebut tidak menjamin hasil yang optimal. Berbagai kreasi seperti two-layer,
interrupted, end-to-end anastomosis menggunakan segmen usus yang sehat
dapat meningkatkan kemungkinan anastomosis yang aman. Tujuan
pembedahan adalah menyambungkan kembali kontinuitas gastrointestinal dan
jaringan lunak dari isi intraabdominal dengan dinding abdomen.6,15
Tingkat kekambuhan menurun seiring dengan usus yang terlibat
sepenuhnya dimobilisasi dan direseksi. Reseksi berlebihan malah membuat
tingkat kekambuhan yang lebih tinggi.1
Operasi yang lebih disukai adalah eksisi saluran fistula dan reseksi
segmental dari segmen usus yang terlibat dan reanastomosis. Penutupan fistula
yang sederhana setelah pengangkatan saluran fistula hampir selalu

18
menyebabkan kambuhnya fistula. Jika ditemukan abses yang tidak terduga
atau jika dinding usus kaku dan membengkak dalam jarak yang jauh dapat
membuat anastomosis primer tidak aman, eksteriorisasi ke dua ujung usus
harus dilakukan. Berbagai prosedur bypass juga telah dijelaskan sebagai
bagian dari pendekatan bertahap di mana eksklusi segmen yang mengandung
fistula dilakukan pada operasi ulang pertama dan kemudian operasi
selanjutnya diperlukan untuk reseksi segmen yang terlibat dan saluran fistula.
Meskipun hal ini mungkin diperlukan dalam keadaan yang ekstrim, ini jelas
bukan manajemen bedah yang disukai oleh beberapa hari.6
5. Rehabilitation
Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi, pemberian nutrisi
harus terus dilakukan untuk menjamin pemeliharaan kontinuitas usus dan
penutupan dinding abdomen. Tahap penyembuhan (terutama pada kasus post
operasi) ini membutuhkan keseimbangan nitrogen, pemberian kalori, dan
protein yang adekuat untuk meningkatkan proses penyembuhan dan penutupan
luka.6

2.9 Komplikasi
Trias klasik untuk komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh fistula
enterokutaneous yaitu sepsis, malnutrisi, serta berkurangnya elektrolit dan cairan
tubuh. Fistula dapat menimbulkan abses lokal, infeksi jaringan, peritonitis hingga
sepsis. Selain itu, fistula enterokutaneous dapat meningkatkan pengeluaran isi usus
yang kaya akan protein dan cairan tubuh serta elektrolit sehingga dapat menimbulkan
malnutrisi dan berkurangnya kadar elektrolit dan cairan tubuh. Pemberian nutrisi
parenteral (TPN/Total Parenteral Nutrition) sangat diperlukan karena TPN dapat
meningkatkan penutupan fistula secara spontan. Pada pasien yang membutuhkan
penutupan fistula dengan operasi, TPN dapat meningkatkan status nutrisi sehingga
dapat mempertahankan kontinuitas usus dengan cara meningkatkan proses
penyembuhan luka dan meningkatkan sistem imun.16

2.10 Prognosis
Fistula enterokutaneous dapat menyebabkan mortalitas sebesar 10-15%, lebih
banyak disebabkan karena sepsis. Faktor prognostik untuk fistel enterocutaneous pada
pasien dengan fistula proksimal, output tinggi disertai dengan albumin rendah (<3,0g /

19
dl) memiliki lebih banyak komplikasi dan cenderung menutup fistula secara spontan.
Sebaliknya pasien tanpa komorbiditas yang memiliki fistula post pembedahan dan
output rendah memiliki tingkat penutupan spontan yang lebih tinggi. Lebih dari 50%
fistula usus menutup secara spontan. Sebuah mnemonik yang berguna menunjukkan
faktor-faktor yang menghambat penutupan spontan fistula usus: “FRIEND” (Foreign
body within the fistula tract, Radiation enteritis, Infection / Inflammation at the fistula
origin, Epithelialization of the fistula tract, Neoplasm at the fistula origin, Distal
obstruction of the intestine).6
Dalam tinjauan retrospektif 23 tahun, didapatkan bahwa pada 153 kasus fistel
enterocutaneous yang dijalan dengan pembedahan pada sebagian besar fistula yang
ditemukan berasal dari usus kecil dan bersifat iatrogenik. Morbiditas lebih dari 80%.
Upaya pertama pada perbaikan pasca operasi berhasil dalam 70% kasus dengan
tingkat penutupan keseluruhan 84% dan beberapa pasien memerlukan hingga operasi.
Para ahli mengidentifikasi penutupan fascia perut sebagai faktor penting dalam
mengurangi tingkat refistulasi dan kematian pasca operasi. Dalam studi serupa
lainnya, tingkat kekambuhan fistula sebesar 30% kembali didokumentasikan dan
secara independen terkait dengan fistula keluaran tinggi dan jenis perawatan bedah:
operasi yang tidak melibatkan reseksi fistula memiliki tingkat kekambuhan yang jauh
lebih tinggi.6

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fistula enterokutaneus adalah komunikasi abnormal antara saluran usus dan
kulit yaitu komunikasi abnormal antara dua permukaan epitel yang salah satunya
adalah organ dalam. Fistula enterokutaneus diklasifikasikan berdasarkan tiga macam
yaitu kriteria anatomi, fisiologi, dan etiologi. Masing-masing fistula adalah unik dan
sebagian besar penatalaksanaannya ditentukan oleh keluarannya serta lokasi dan
penyakit penyerta pasien. Pada akhirnya, perawatan jangka panjang pasien Fistula
enterokutaneus membutuhkan multidisiplin ilmu yang dikoordinasikan oleh ahli
bedah. Setelah diagnosis fistula enterokutaneus sudah tegak melalui pengamatan
gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka stabilisasi pasien
yang memadai dan manajemen non-operatif harus dimulai. Jika sudah ada indikasi
pembedahan diperlukan maka perlu perencanaan tindakan intervensi pembedahan
yang cermat, pemulihan kontinuitas usus, dan rekonstruksi dinding perut sangat
penting.
Penatalaksanaan segera pasien dengan fistula enterokutaneus meliputi
resusitasi cairan yang memerlukan penggantian cairan dan elektrolit yang hilang dan
kontrol sepsis dengan drainase abses yang memadai. Penatalaksanaan sangat
dipengaruhi oleh etiologi yang mendasari (spontan atau iatrogenik), klasifikasi
anatomis (fistula sederhana atau fistula kompleks), dan klasifikasi fisiologi (low
output atau moderate output atau high output). Faktor-fokter tersebut akan
menentukan kemungkinan resolusi dengan atau tanpa intervensi bedah. Tujuannya
adalah untuk penutupan fistula dengan morbiditas atau mortalitas yang minimum.
Pasien dengan fistula enterokutan sekarang hampir selalu dapat disembuhkan jika
intervensi penatalaksanaan yang diambil tepat.

21
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Manuel AD, Wichendu PN. Current concept in the management of enterocutaneous


fistula. International Surgery Journal. 2018; 5(6): 1981-5.
2. Weledji EP. Perspectives on enterocutaneous fistula : A review article. iMedPub
Journals. 2017; 3(2): 1-7.
3. Mohanty SR, Mohanty R. Evaluation and management of post-operative
enterocutaneous fistula. Annals of International Medicine and Dental Research. 2017;
3(4): 1-4.
4. Lamture YR, Domkuti R, Rinait A, Padmawar M. Enterocutaneous fistula in an
operated case of total abdominal hysterectomy : a rare case report. Journal of Critical
Reviews. 2020; 7(8): 1085-8.
5. Dumas RP, Moore SA, Sims CA. Enterocutaneous fistula : evidence-based
management. Clinics in Surgery - Emergency Surgery. 2017; 2: 1-5.
6. Harris JW, Evers BM. Small Intestine in: Sabiston Textbook of Surgery. 20th ed.
Elsevier. Philadelphia: 2017; p.1286-9.
7. Tavakkoli A, Ashley SW, Zinner MJ. Small Intestine in: Schwartz’s Principles of
Surgery. 10th edition. Los Angeles: McGraw-Hill Education; 2015. p.1157-9.
8. Shah M, Wani MA. Spontaneous tubercular enterocutaneous fistula. Saudi Journal of
Medicine and Medical Sciences. 2017; 5: 275-7.
9. Haack CI, Galloway JR. Enterocutaneous fistula : A look at causes and management.
Springer Current Surgery Reports. 2014; 2(71): 1-10.
10. Rupp IR, Melton GB. Enterocutaneous fistula : Proven strategies and updates. Clnical
Colon Rectal Surgery. 2016; 29: 130-7.
11. Murphy J, Hotouras A, Koers L, Bhan C, Glynn M, Chan CL. Establishing a regional
enterocutaneous fistula service: The Royal London Hospital experience. Elsevier
International Journal of Surgery. 2013; 11: 952-6.
12. Dionigi G, Dionigi R, Rovera F, Boni L, Padalino P, Minoja G, Cuffari S, Carrafiello
G. Treatment of high output enterocutaneous fistula associated with large abdominal
wall defects: Single center experience. Elsevier International Journal of Surgery.
2007; 6: 51-6.

22
13. Limengka Y, Jeo WS. Spontaneous closure of multiple enterocutaneous fistula due to
abdominal tuberculosis using negative pressure wound therapy: A case report. Journal
of Surgical Case Reports. 2018; 1: 1-4.
14. Kumar P, Maroju NK, Kate V. Enterocutaneous fistula : Etiology, treatment, and
outcome – A study from South India. The Saudi Journal of Gastroenterology. 2011;
17(6): 391-5.
15. Whirelaw DE, Sujendran V. Small Bowel and Operations for Obesity in: Kirk’s
General Surgical Operations. 6th ed. Churchill Livingstone Elsevier. London: 2013;
p.197-8.
16. Williams NS, Bulstrode JK, O’Connel PR. Bailey’s and Love’s Short Practice of
Surgery. 26th ed. CRC Press. London: 2013; p.1179-80.

23

Anda mungkin juga menyukai