Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN GANGUAN KEBUTUHAN NUTRISI

AKIBAT PATOLOGIS SISTEM PENCERNAAN : ( FISTEL


ENTEROKUTANEUS atau ENTEROCUTANEOUS
FISTULA (ECF) ) DI RUANG LONTARA 2, LT. 2,
RSUP Dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO
TANGGAL 10 S/D 15 FEBRUARI 2020

NAMA : SITI HAJAR ARIF


NIM : 218035
KELAS/TK : AKPER II A

YAYASAN WAHANA BHAKTI KARYA HUSADA

AKADEMI KEPERAWATAN PELAMONIA

MAKASSAR 2020
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Tinjauan Medis
1. Pengertian
Fistel adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran
dengan saluran lain (fistel interna), atau suatu saluran dengan dunia
luar melalui kulit (fistel eksterna). Fistel enterokutaneus atau
enterocutaneous fistula (ECF) diklasifikasikan sebagai fistel
ekskterna, adanya hubungan antara usus halus dengan kulit maupun
usus besar dengan kulit (Sheikh AR, 2010).
Enterocutaneous fistula (ECFs) dapat terjadi sebagai komplikasi
dari semua jenis operasi pada saluran pencernaan yang biasanya
muncul 7-10 hari pasca operasi. Lebih dari 75% dari semua ECF
timbul sebagai komplikasi pasca operasi, sementara sekitar 15-25%
hasil dari trauma abdomen atau terjadi secara spontan dalam
kaitannya dengan kanker, radiasi, penyakit inflamasi pada usus, atau
kondisi iskemik maupun infeksi (Sheikh AR, 2010).
Meskipun kemajuan dalam perawatan gizi, pengendalian infeksi,
dan teknik bedah, fistula enterocutaneous (ECF) tetap menjadi
sumber morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Tingkat
kematian pada fistula ini adalah mulai dari 5-20%, akibat terjadinya
sepsis, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit serta malnutrisi
(Sheikh AR, 2010)
Dalam review dari 157 pasien yang dirawat di RS. Umum
Massachusetts antara tahun 1946-1959, kejadian malnutrisi berkisar
dari 20 % pada pasien dengan fistula kolon, 74% dengan fistula
jejunum atau ileum, kejadian gizi buruk pada pasien dengan fistula
duodenum sebesar 53 %. Para penulis menyoroti hubungan antara
kejadian malnutrisi dan kematian, dengan tingkat kematian secara
keseluruhan fistula usus kecil sebesar 16% dan untuk dari 54%
untuk fistula kolon. Poin ini ditinjau lagi dalam studi yang lebih kecil
lagi pada empat tahun berikutnya, dimana 56 pasien dengan fistula
enterocutaneous. Tingkat penutupan fistula adalah 89% dan angka
kematian keseluruhan 12% dalam kelompok ini, dibandingkan
dengan tingkat penutupan 37% dan angka kematian secara
keseluruhan sebesar 55% pada pasien yang dinilai telah menerima
gizi suboptimal. Dalam tindak lanjut review dari RS. Umum
Massachusetts, Soeterser et al, mortalitas dibandingkan pada pasien
dengan fistula enterocutaneous diobati sebelum dan setelah
pemberian nutrisi parenteral. Angka kematian keseluruhan antara
tahun 1970 dan 1975, ketika nutrisi parenteral dipekerjakan secara
rutin dalam pengobatan pasien dengan enterocutaneous fistula
adalah 21,1%, dibandingkan dengan dengan gabungan angka
kematian. Angka kematian keseluruhan 44% antara tahun 1946 dan
1959. Namun, kematian antara tahun 1960 dan 1970 juga rendah,
dengan angka kematian gabungan dari 15,1% (Sheikh AR, 2010).
ECF adalah kondisi umum dan tantangan nyata bagi ahli bedah
sejauh manajemen yang bersangkutan. Selama beberapa dekade
terakhir, upaya perbaikan dalam penanganan ECF terus
dikembangkan. Pendekatan agresif dengan kontrol yang efektif dari
sepsis, asupan nutrisi yang memadai serta cairan dan keseimbangan
elektrolit adalah kunci untuk keberhasilan pengelolaan fistula ini. Hal
ini mempengaruhi kualitas hidup pasien, memperpanjang tinggal di
rumah sakit, dan meningkatkan biaya keseluruhan untuk pengobatan.
Dengan memahami patofisiologi dan faktor risikonya serta
penanganan yang tepat dapat membantu untuk mengurangi
terjadinya fistula enterokutaneus (Pratin C, 2011)
Gambar 1. Pasien dengan fistula enterocutaneous
Sumber : Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1372132-overview.
2. Etiologi
Menurut (Sheikh AR, 2010) Fistula enterokutaneous dapat
diklasifikasikan berdasarkan kriteria anatomi, fisiologi dan etiologi,
yaitu sebagai berikut :
a. Berdasarkan kriteria anatomi, fistula enterokutaneus dibagi
menjadi 2 yaitu fistula internal dan eksternal. Fistula internal yaitu
fistula yang menghubungkan antara dua viscera, sedangkan
fistula eksternal adalah fistula yang menghubungkan antara
viscera dengan kulit.
b. Berdasarkan kriteria fisiologi, fistula enterokutaneus dibagi
menjadi 3 yaitu high-output, moderate-output dan low output.
Fistula enterokutaneus dapat menyebabkan pengeluaran cairan
intestinal kedunia luar, dimana cairan tersebut banyak
mengandung elektrolit, mineral dan protein sehingga dapat
menyebabkan komplikasi fisiologis yaitu terjadi ketidak-
seimbangan elektrolit dan dapat menyebabkan malnutrisi pada
pasien. Fistula dengan high-output apabila pengeluaran cairan
intestinal sebanyak >500ml perhari, moderate-output sebanyak
200-500 ml per hari dan low-output sebanyak <200 ml per hari.
c. Berdasarkan kriteria etiologi, fistula enterokutaneus dibagi
menjadi 2 yaitu fistula yang terjadi secara spontan dan akibat
komplikasi postoperasi. Fistula yang terjadi secara spontan,
terjadi sekitar 15-25% dari seluruh fistula enterokutaneus. Fistula
ini dapat disebabkan oleh berbagai hal terutama pada kanker
dan penyakit radang pada usus. Selain itu dapat juga disebabkan
oleh radiasi, penyakit divertikular, appendicitis, dan ulkus
perforasi atau iskhemi pada usus. Penyebab utama fistula
enterokutaneus adalah akibat komplikasi postoperasi (sekitar 75-
85%). Faktor penyebab timbulnya fistula enterokutaneous akibat
post operasi dapat disebabkan oleh faktor pasien dan faktor
tehnik. Faktor pasien yaitu malnutrisi, infeksi atau sepsis, anemia,
dan hypothermia. Sedangkan faktor tehnik yaitu pada tindakan-
tindakan pre-operasi. Sebelum dilakukan operasi, harus
dievaluasi terlebih dahulu keadaan nutrisi pasien karena
kehilangan 10-15% berat badan, kadar albumin kurang dari 3,0
gr/dL, rendahnya kadar transferin dan total limfosit dapat
meningkatkan resiko terjadinya fistula enterokutaneus. Selain itu,
fistula enterokutaneous dapat disebabkan oleh kurangnya
vaskularisasi pada daerah operasi, hipotensi sistemik,
tekanan berlebih pada anastomosis, dan membuat anastomosis
dari usus yang tidak sehat. Untuk mengurangi resiko timbulnya
fistula, keadaan pasien harus normovolemia / tidak anemis agar
aliran oksigen menjadi lebih optimal. Selain itu pada saat operasi
harus diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah timbulnya
infeksi dan abses yang dapat menimbulkan fistula.
Gambar 3. Fistula enterocutaneous. Bentuk Fistula sebagai akibat dari
sebagian atau lengkap gangguan anastomosis usus dan terkait resultan
abses
Sumber : (Intestinal Fistula Surgery. 2013.Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/197486.overview)

3. Patofisiologi
Semua bentuk fistula berhubungan dengan eksposur jaringan
nonintestinal. Flora bakteri usus menyebabkan kontaminasi dan
perkembangan akhir sepsis. Pembentukan fistula,fisura dan abses
terjadi terjadi sesuai luasnya inflamasi ke dalam peritoneum. Jika
proses inflamasi terus berlanjut maka saluran abnormal yang
terbentuk bisa mencapai kutan (kulit) abdomen sehingga
terbentuklah fistel enterokutaneus. Lesi (ulkus) kontak terus-menerus
satu sama lain dan dipisahkan oleh jaringan normal (Sheikh AR,
2010).
Pada kasus lanjut, mukosa usus mengalami penebalan dan
menjadi fibrotic dan akhirnya lumen usus menyempit. Efek lokal
cairan usus dapat merusak atau korosif terhadap jaringan
nonintestinal, menyebabkan kerusakan, erosi, dan hilangnya organ
normal atau fungsi sistem organ. Fistula dapat diklasifikasikan sesuai
dengan struktur anatomi yang terlibat, etiologi proses penyakit yang
mengarah ke pembentukannya, dan output fisiologinya ( terutama
untuk fistula enterocutaneous ). Klasifikasi anatomi menentukan situs
fistula asal, titik drainase, dan apakah fistula itu internal atau
eksternal (Sheikh AR, 2010).
Klasifikasi fisiologis bergantung pada output fistula dalam jangka
waktu 24 jam. Klasifikasi etiologi (misalnya, keganasan, penyakit
usus inflamasi, radiasi) mendefinisikan penyakit terkait yang
mengarah ke pengembangan fistula (Sheikh AR, 2010).
4. Manifestasi Klinis
Menurut (Pratin C, 2011) Gejala awal dari fistula enterokutaneous
adalah rasa tidak nyaman (nyeri) pada abdomen akibat dari
penyempitan lumen usus yang mempengaruhi kemampuan usus
untuk mentranspor produk dari pencernaan usus melalui lumen.
Karena peristaltic usus dirangsang oleh makanan, maka nyeri
biasanya timbul setelah makan.
Untuk menghindari nyeri ini, maka sebagian pasien cenderung
untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis
makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi.
Akibatnya penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder.
Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan
ditempat terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi
konstan yang dialirkan ke kolon dari usus halus, bengkak, yang
menyebabkan diare kronis.
Pada beberapa pasien, usus yang terinflamasi dapat mengalami
demam, leukositosis, dan infeksi pada luka. Luka atau daerah
dimana fistula pada akhirnya akan keluar mungkin cellulitic.
Diagnosis menjadi lebih jelas bila didapatkan drainase material usus
pada luka di abdomen, drainase enteric dimulai dalam waktu 24-48
jam setelah penampakan kulit cellulitic. Evaluasi bau, warna,
konsistensi dan volume cairan dapat membantu mengidentifikasi
sumber kebocoran.
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Pratin C, 2011) Pemeriksaan penunjang pada kasus Fistula
yaitu sebagai berikut :
a. Test methylen blue
Test ini digunakan untuk mengkonfirmasi keberadaan fistula
enterokutaneous dan mengkonfimasi bahwa sumber fistula
memang dari saluran pencernaan. Penilaian definitif dari sumber
fistula, rute, dan adanya penghalang atau abses sangat penting
dalam menentukan intervensi dan metode pemberian nutrisi yang
tepat. Tehnik ini kurang mampu untuk mengetahui fungsi anatomi
dan jarang digunakan pada praktek.
b. USG
USG dapat digunakan untuk mengetahui ada-tidaknya abses
dan penimbunan cairan pada saluran fistula
c. Fistulogram
Fistulogram dianggap standar emas untuk mengidentifikasi
lokasi saluran fistula. Tehnik ini menggunakan water soluble
kontras. Kontras disuntikkan melalui pembukaan eksternal,
kemudian melakukan foto x-ray. Dengan menggunakan
tehnik pemeriksaan ini, dapat diketahui berbagai hal yaitu :
Sumber fistula, jalur fistula, ada-tidaknya kontinuitas usus, ada-
tidaknya obstruksi di bagian distal, keadaan usus
yang berdekatan dengan fistula (striktur, inflamasi) dan ada-
tidaknya abses yang berhubungan dengan fistula.
Gambar 4. Hasil Fistulogram
Sumber : (Available from:
http://www.downstatesurgery.org/files/cases/EnterocutaneousFistula.pdf.)

d. Barium enema
Pemeriksaan ini menggunakan kontras, untuk mengevaluasi
lambung, usus halus, dan kolon. Tujuannya untuk mengetahui
penyebab timbulnya fistula seperti penyakit Crohn's, dan
neoplasma.

Gambar 5. Saluran yang timbul dari ileum distal berdekatan dengan


anastomosis ileorectal
Sumber : (Available from:
http://www.downstatesurgery.org/files/cases/EnterocutaneousFistula.pdf.)
e. CT scan
CT scan abdomen menunjukkan anatomi saluran dan asal-
usulnya serta adanya abses intraabdominal atau patologi terkait.

Gambar 6. Hasil CT Scan abdomen pada fistel enterokutaneus


Sumber : (Available from :
http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16HarrisEnterocutaneous
Fistulas.pdf)

6. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Sheikh AR, 2010) Penatalaksanaan fistula
enterokutaneous dapat dibagi menjadi 5 tahapan yang terdiri dari :
a. Stabilization (24-48 jam)
Tahap ini dibagi menjadi 5 yaitu: identification, resuscitation,
control of sepsis, nutritional support, control of fistula drainage
1) Identification
Pada tahap ini, yang dilakukan adalah mengidentifikasi
pasien dengan fistula enterokutaneous. Pada minggu
pertama postoperasi, pasien menunjukkan tanda-tanda
demam dan prolonged ileus serta terbentuk erythema pada
luka. Luka akan terbuka dan terdapat drainase cairan purulen
yang terdiri dari cairan usus. Pasien dapat mengalami
malnutrisi yang disebabkan karena sedikit atau tidak
diberikan nutrisi dalam waktu lama. Pasien dapat menjadi
dehidrasi, anemis, dan kadar albumin yang rendah.
2) Resuscitation
Tujuan utama pada tahap ini yaitu pemulihan volume
sirkulasi. Pada tahap ini, pemberian kristaloid dibutuhkan
untuk memperbaiki volume sirkulasi. Transfusi sel darah
merah dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen
dan pemberian infuse albumin dapat mengembalikan tekanan
onkotik plasma.
3) Control of sepsis
Pada tahap ini, melakukan pencegahan terhadap
timbulnya sepsis dengan pemberian obat antibiotic (broad-
spectrum). Sepsis yang tidak terkontrol merupakan penyebab
utama mortalitas.
4) Nutritional support
Pemberian nutrisi pada pasien dengan fistula
enterokutaneous merupakan komponen kunci
penatalaksanaan pada fase stabilization. Fistula
enterokutaneous dapat menimbulkan malnutrisi pada pasien
karena intake nutrisi kurang, hiperkatabolis akibat sepsis dan
banyaknya komponen usus kaya protein yang keluar melalui
fistula. Pasien dengan fistula enterokutaneous membutuhkan
kalori total sebanyak 25-32kcal/kg perhari dengan rasio
kalori-nitrogen 150:1 sampai 200:1, protein minimal 1,5g/kg
perhari. Jalur pemberian nutrisi ini dilakukan melalui
parenteral.
Manfaat relative dari pemberian nutrisi secara enteral dan
parenteral masih diperdebatkan. Pemberian nutrisi secara
enteral jika memungkinkan dapat mempertahankan barrier
usus sebagai imunologi dan hormonal fungsi usus. Hal ini
sering kali tidak efektif karena terjadi intoleransi makanan,
ketidakmampuan untuk mengakses saluran pencernaan
atapun fistula high-output. Lloyd mengemukakan bahwa diet
enteral tidak hanya aman tapi dapat meningkatkan
penyembuhan post-anastomosis, meskipun ini tidak secara
statistic yang signifikan.
Konsep bahwa diet enteral tidak hanya aman tapi dapat
meningkatkan penyembuhan didukung oleh data yang
terbatas dari model eksperimental menunjukkan bahwa diet
enteral lebih baik dibandingkan dengan parenteral diet,
kemungkinan melalui efek trofik pada mukosa usus. Ini
merupakan hasil uji coba yang dilakukan pada tikus.
Penambahan minyak ikan atau asam lemak omega-3
dalam enteral diet mempunyai efek yang bermanfaat pada
fungsi kekebalan tubuh, mungkin karena peningkatan aliran
darah ke jaringan limfoid di ileum. Penelitian terkontrol acak
telah menunjukkan tingkat infeksi yang lebih rendah pada
pasien yang dirawat di ICU setelah operasi abdominal dan
setelah cedera parah.
Baru-baru ini penelitian meta-analisis menunjukkan
bahwa diet enteral dengan minyak ikan dan asam lemak
omega-3 meningkatkan kelangsungan hidup. Penelitian
lainnya menyatakan bahwa tidak ada manfaat yang jelas
untuk suplementasi minyak ikan (omega-3). Tidak ada uji
coba terkontrol secara acak yang menyelidiki penggunaan
suplemen minyak ikan dan asam lemak omega-3 tersebut
dalam pengobatan ECF.
Total Parenteral Nutrition (TPN) telah terbukti dapat
meningkatkan tingkat penutupan fistula enteric. Dukungan
nutrisi harus dimulai dengan bijakasan, kesabaran, dan hati-
hati pada pasien yang malnutrisi karena adanya resiko yang
bisa merangsang sindrom refeeding. Resiko ini dapat
dikurangi dengan memperbaiki cairan, elektrolit dan vitamin
(pemberian vitamin C, vitamin B12, zinc, asam folat).
5) Control of fistula drainage
Hal yang perlu diperhatikan dan dikelola pada
menajemen drainase fistula yaitu perlindungan kulit, dressing,
dan regulasi suction dinding. Terdapat berbagai tehnik yang
digunakan untuk manajemen drainase fistula yaitu simple
gauze dressing, skin barriers, pauches, dan suction catheter.
Skin barrier sering digunakan untuk melindungi kulit di sekitar
fistula; bubuk atau cairan digunakan untuk merawat kulit yang
gundul dan mempertahankan permukaan kering pada
kantong.
Pasta skin barrier petroleum dan zinc oksida berfungsi
sebagai penyerap dan peliindung pada lapisan kulit. Skin
barrier ini merupakan skin barrier yang solid yang dapat
menunda keluarnya output fistula dan penghalang fisik antara
kotoran dan kulit. Limbah dari fistula dapat dikelola dengan
dressing saat drainase kurang dari 100 ml dalam 24 jam.
Gambar 7. Solid skin barrier diterapkan pada luka antara dua
situs fistula. Volume output berkurang menjadi 100ml/24 jam.
Sumber : Available from:
http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16
HarrisEnterocutaneousFistulas.pdf.
Wound dressing dapat bervariasi dari simple gauze untuk
pilihan lebih menyerap seperti busa atau hydrofiber. Setiap
perawat dapat menggunakan berbagai jenis dan jumlah
dressing yang tak terbatas untuk menyerap drainase
sehingga menghambat pengukuran yang akurat dari output
dan kemudian menyulitkan pemantauan input-output yang
akurat.
Penggunaan dressing tidak praktis karena perlu diganti
setiap 4 jam. Pilihan lain untuk mengendalikan limbah dari
fistula yaitu penggunaan continuous low wall suction. Jika
sistem pouching tidak dapat digunakan karena lokasi fistula
atau drainase yang berlebihan sistem continuous low wall
suction dapat diimplementasikan.
Suction cateter ditempatkan di bagian distal luka dari
fistula untuk menguras limbah. Suction cateter digunakan
bersamaan dengan normal saline dressing. Hal yang perlu
diingat dari kateter ini yaitu kateter tidak ditempatkan pada
saluran fistula karena akan dikenali sebagai benda asing dan
lambat tertutup. Continuous suction membantu mengurangi
penggantian balutan dengan mengalihkan ke sistem drainase
suction.
Sistem suction bukan solusi pengelolaan jangka panjang
dan memerlukan perawat atau tim medis yang tidak hanya
mampu memahami dan memelihara peralatan tetapi juga
berd edikasi untuk waktu yang dibutuhkan untuk mengelola
sistem ini.

Gambar 8. Fistula diisolasi dan kateter ditempatkan di atas


fistula dan melekat pada wall suction
Sumber : Available from:
http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16
HarrisEnterocutaneousFistulas.pdf.
Pouching pada fistula sangat menantang, karena
kesulitan dalam mencapai dan mempertahankan pouch itu
sendiri. Pouching memerlukan pergantian pouch yang lebih
sering, sehingga rasa ketidaknyamanan dan pengeluaran
biaya yang lebih besar bagi pasien. Perkiraan dari 4 sampai 5
hari waktu pakai untuk kantong (pouch) pada fistula wajar
bagi banyak pasien, namun beberapa fistula karena lokasi
dan output tidak pernah memperoleh kantong tersebut lebih
dari 24 jam.
Pengurangan limbah dapat memberikan waktu yang
cukup bagi efektifitas aplikasi kantong dan mengurangi
kemungkinan terjadinya masalah pada segel akibat
berlebihannya limbah enzimatik. Penggunaan obat-obatan
untuk mengurangi produksi juga dapat diindikasikan. Kualitas
hidup pasien dengan fistula bertumpu pada reliabilitas sistem
pouching. Selain itu, untuk mencegah terjadinya maserasi
pada kulit akibat cairan fistula, dapat diberikankan
stomahesive atau glyserin dan beberapa penulis melaporkan
keberhasilan menggunakan Vacuum Assisted Closure (VAC)
system untuk penatalaksanaan fistula enterokutaneous, salah
satunya yaitu penelitian Draus et al yang didapati 1 kasus
high-output fistula dapat pulih dengan penggunaan VAC,
VAC diterapkan selama dua bulan dan terjadi perubahan dua
kali seminggu.
VAC memberikan penutupan tekanan langsung bagi
fistula. VAC mengeluarkan limbah jauh dari lokasi fistula ke
tabung. Tekanan negative diperkirakan membantu dalam
penutupan saluran fistula akut. Namun, terapi VAC tidak
diindikasikan murni sebagai perangkat penahan untuk fistula,
melainkan harus diterapkan hanya dimana penutupan fistula
adalah suatu kemungkinan.
VAC system terdiri dari tabung evakuasi tertanam dalam
poliuretan busa ganti. Teknik VAC melibatkan penempatan
spons busa-sel terbuka ke dalam rongga luka. Sebuah
kateter luka dengan perforasi lateral yang (tabung evakuasi)
kemudian diletakkan di atas busa. Luka ditutup oleh dressing
oklusif, dan tabung terpasang keruang hampa. Unit yang
berlaku tekanan subatmosfir terkontrol (biasanya 125 mmHg)
ke luka.
Perangkat ini diaplikasikan pasien dengan mendalam,
luka terbuka dengan omentum, fasia, atau jaringan granulasi
di dasar tanpa usus terlihat dan dengan tunneling fistula
saluran melalui jaringan granulasi. Pada beberapa pasien,
VAC diindikasikan pada kontraktur dan penyembuhan luka.
Tidak ada komplikasi septik yang ditimbulkan dari VAC.
Obat-obatan (Somatostatin, Octreotide dan H2
Antagonis) dapat juga diberikan untuk menghambat sekresi
asam lambung, sekresi kelenjar pankreas, usus, dan traktus
biliaris. Somatostatin adalah hormone peptide alami yang
memiliki efek mengahambat sekresi pada gastrointestinal
terutama hormon gastrin dan cholecystokinin.
Draus et al, menemukan bahwa sepertiga dari jumlah
pasien yang ada analog Somatostatin mengurangi output
sebesar 50%. Octreotide analog sintetis, dengan waktu paruh
dari 2 jam, mengurangi sekresi pada GI, memperpanjang
waktu transit dan memfasilitasi penyerapan air dan elektrolit.
Tidak ada bukti yang menyatakam bahwa manipulasi
farmakalogis dapat meningkatkan tingkat penutupan fistula
secara spontan. Octreotide memiliki potensi untuk
mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh sebagai akibat dari
penghambatan hormon pertumbuhan.
Anti diare adalah agen terapeutik penting yang sering
diresepkan untuk mengurangi high-output fistula. Dua obat
yang paling umum digunakan adalah loperamide (Imodium)
dan diphenoxylate (lomotil). Loperamide memperlambat
transit usus dan mengurangi output. Diphenoxylate adalah
agonis opiate sintetis. Ini mempengaruhi otot-otot halus
saluran pencernaan untuk mengurangi motilitas usus. Karena
diphenoxylate secara kimiawi terkait dengan beberapa
narkotika, atropin (antikolinergik) telah ditambahkan untuk
membantu mencegah kemungkinan penyalahgunaan dalam
dosis yang besar dan pada orang tua diberikan Imodium. Jika
loperamide atau diphenoxylate tidak efektif, codein atau
opium tincture mungkin diberikan.
Opium tincture dapat meningkatkan tonus otot polos usus
dan penurunan sekresi pankreas dan saluran empedu. Efek
keseluruhannya adalah untuk mengurangi motilitas GI dan
dalam prakteknya, kombinasi dari zat-zat ini sering digunakan
untuk mengurangi volume limbah.
b. Investigation (7-10 hari)
Pada tahap ini, dilakukan investigasi terhadap sumber dan
jalur fistula. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu:
1) Test methylen blue
2) USG
3) Fistulogram
4) Barium enema
5) CT scan
c. Decision (10 hari-6 minggu)
Fistula enterokutaneous dapat menutup secara spontan
dalam 4-6 minggu pada pasien dengan pemberian nutrisi
terutama dengan cara parenteral yang adekuat dan terbebas dari
sepsis. Penutupan spontan dapat terjadi pada sekitar 30% kasus.
Fistula yang terdapat pada lambung, ileum, dan ligamentum of
Treiz memiliki kemampuan yang rendah untuk menutup secara
spontan. Hal ini berlaku juga pada fistula dengan keadaan
terdapat abses besar, traktus fistula yang pendek, striktur usus,
diskontinuitas usus, dan obstruksi distal. Pada kasus-kasus
tersebut, apabila fistula tidak menutup (output tidak berkurang)
setelah 4 minggu, maka dapat direncanakan untuk melakukan
operasi reseksi.
Pada rencana melakukan tindakan operasi, ahli bedah harus
mempertimbangkan untuk menjaga keseimbangan nutrisi dengan
memberikan nutrisi secara adekuat, kemungkinan terjadinya
penutupan spontan dan tehnik-tehnik operasi yang akan
digunakan.
d. Definitive therapy (6-12 minggu)
Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien dengan
fistula enterokutaneous yang tidak dapat menutup secara
spontan adalah tindakan yang tepat. Sebelumnya, pasien harus
dalam kondisi nutrisi yang optimal dan terbebas dari sepsis. Pada
saat operasi, abdomen dibuka menggunakan insisi baru. Insisi
secara transversal pada abdomen di daerah yang terbebas dari
perlekatan.
Tujuan tindakan operasi selanjutnya adalah membebaskan
usus sampai rectum dari ligamentum Treiz. Kemudian melakukan
eksplorasi pada usus untuk menemukan seluruh abses
dansumber obstruksi untuk mencegah kegagalan dalam
melakukan anastomosis. Pada saat isolasi segmen usus yang
mengandung fistula, reseksi pada segmen tersebut merupakan
tindakan yang tepat. Pada kasus-kasus yang berat, dapat
digunakan tehnik exteriorization, bypass, Roux-en-Y drainase,
dan serosal patches. Namun tindakan-tindakan tersebut tidak
menjamin hasil yang optimal. Berbagai kreasi seperti two-layer,
interrupted, end-to-end anastomosis menggunakan segmen usus
yang sehat dapat meningkatkan kemungkinan anastomosis yang
aman.
e. Healing
Penutupan fistula secara spontan ataupun operasi,
pemberian nutrisi harus terus dilakukan untuk menjamin
pemeliharaan kontinuitas usus dan penutupan dinding abdomen.
Tahap penyembuhan (terutama pada kasus postoperasi) ini
membutuhkan keseimbangan nitrogen, pemberian kalori dan
protein yang adekuat serta pemberian vitamin A,C, dan zinc
untuk meningkatkan proses penyembuhan dan penutupan luka.
7. Penyimpangan KDM

Operasi Pembedahan

Operasi Laparatomi
(FISTULA ENTEROKUTAN

Kuman masuk
kedalam peritonium

Peradangan pada kebocoran


peritoneum

Keluar feses, Keluar cairan dari


Keluar eksudat Nyeri kronis Mual muntah nanah usus melalui kulit
fibrusa (abses)
MK : Gangguan Penurunan nafsu
Mobilitas Fisik MK: Resiko Infeksi pada kulit
makan
Terbentuk abses Infeksi

MK: Defisit Nutrisi MK: Kerusakan


Rasa nyeri pada
integritas Kulit
lokasi abses

MK: Nyeri Kronis


BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Tinjauan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian terdiri dari pengumpulan informasi subjektif dan
objektif (misal : tanda-tanda vital, wawancara pasien atau keluarga
pasien, pemeriksaan fisik) dan peninjauan informasi riwayat pasien
pada rekam medik (Herdman, 2010)
Pengkajian (juga disebut pengumpulan data) adalah langkah
awal dalam berfikiran kritis dan pengambilan keputusan yang
menghasilkan diagnosis keperawatan (Bararah, 2013)
Menurut (Bararah, 2013) Fase dari pengkajian meliputi
pengumpulan data dan analisa data.Dalam memberikan asuhan
keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting
yang dilakukan oleh perawat.
Metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan yaitu :
wawancara, pemeriksaan fisik, laboratorium, rontgen, observasi, dan
konsultasi.
a. Data subjektif
Data subjektif adalah data yang dikumpulkan berdasarkan
keluhan pasien atau keluarga pada pasien ECF.
b. Data objektif
Data objektif adalah data yang diperoleh berdasarkan
pengamatan perawat kondisi pasien.
Hasil pengkajian yang dilakukan oleh perawat yang terkumpul
dalam bentuk data.
1) Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, status material, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, ruang rawat, momor rekam medic,
diagnose medis, dan alamat.
2) Riwayat Keperawatan merupakan keluhan utama berupa
keluhan yang dirasakan klien pada saat dilakukan
pengkajian.
3) Keluhan utama : dengan menanyakan keluhan utama yang
menggangu atau keluhan yang dirasakan klien saat dilakukan
pengkajian pada klien yang mengalami ECF.
4) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat kesehatan
menunjukan adanya sakit kepala, nyeri otot, pegel seluruh
tubuh, sakit pada menelan, lemas, panas, mual, nafsu makan
menurun.
5) Riwayat masa lalu : Tidak ada penyakit yang diderita secara
spesifik.
6) Riwayat kesehatan keluarga : Riwayat adanya penyakit ECF
pada anggota keluarga yang lain sangat menentukan.
7) Riwayat spiritual : keyakinan klien sangat mempengaruhi
presepsi klien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat social : sangat dipengaruhi oleh keadaan dalam
keluarga peran keluarga, cara dalam pencapaian peran
tersebut, keberadaan dalam lingkungan sekitar bagaimana
peran dalam masyarakat, hubungan interpersonal dan
hubungan dengan lingkungan sekitar.
9) Riwayat Psikologi : meliputi keadaan emosi klien pola konsep
diri dan pola interaksi klien.
10) Pola kebiasaan sehari-hari yaitu kebiasaan sehari-hari yang
suka klien lakukan baik dirumah pada saat sebelum sakit
maupun pada saat dirumah sakit.
11) Pemeriksaan Fisik yaitu melakukan pemeriksaan fisik klien
untuk menentukan masalah kesehatan pada klien,
pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya : inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi.
12) Pemeriksaan Penunjang yaitu sebuah proses dari seorang
ahli medis memeriksa tubuh klien untuk menemukan tanda
klinis penyakit.
13) Therapi yang diberikan yaitu obat yang diberikan kepada
klien dalam proses keperawatan untuk pemulihan.
2. Diagnosis Keperawatan (PPNI, 2018)
a. Gangguan Integritas Jaringan / kulit
1) Definisi
Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau
jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, otot, tulang,
tendon, kartilago, kapsul sendi dan/atau ligamen)
2) Penyebab
a) Perubahan sirkulasi
b) Perubahan status nutrisi (kelebihan atau kekurangan)
c) Kekurangan/kelebihan volume cairan
d) Penurunan mobilitas
e) Bahan kimia iritatif
f) Suhu lingkungan yang ekstrem
g) Faktor mekanis (mis. penekanan pada tonjolan tulang,
gesekan) atau faktor elektris (elektrodiatermi, energi
listrik bertekanan tinggi)
h) Efek samping terapi radiasi
i) Kelembabab
j) Proses penuaan
k) Neuropati perifer
l) Perubahan pigmentasi
m) Perubahan hormonal
n) Kurang terpapar informasi tentang upaya
mempertahankan/melindungi integritas jaringan
3) Gejala dan Tanda Mayor
a) Subjektif
(tidak tersedia)
b) Objektif
Kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit
4) Gejala dan Tanda Minor
a) Subjektif
(tidak tersedia)
b) Objektif
(1) Nyeri
(2) Perdarahan
(3) Kemerahan
(4) Hematoma
b. Defisit Nutrisi
1) Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme
2) Penyebab
a) Kurangnya asupan makanan
b) Ketidakmampuan menelan makanan
c) Ketidakmampuan mencerna makanan
d) Ketidakmampuan mengabsorpsi nutrient
e) Peningkatan kebutuhan metabolisme
f) Faktor ekonomi (mis. Finansial tidak mencukupi)
g) Faktor psikologis (mis. stres, keengganan untuk makan)
3) Gejala dan Tanda Mayor
Subjekif
(tidak tersedia)
Objekif
a) Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal
4) Gejala dan Tanda Minor
Subjekif
a) Cepat kenyang setelah makan
b) Kram/nyeri abdomen
c) Nafsu makan menurun
Obektif
a) Bising usus hiperaktif
b) Otot pengunyah lemah
c) Otot menelan lemah
d) Membran mukosa pucat
e) Sariawan
f) Serum albumin turun
g) Rambut rontok berlebihan
h) Diare
5) Kondisi Klinis Terkait
a) Stroke
b) Parkinson
c) Cerebral palsy
d) Cleft lip
e) Cleft palate
f) Amyotropic lateral sclerosis
g) Kerusakan neuromuskular
h) Luka bakar
i) Kanker
j) Infeksi
k) AIDS
c. Risiko Infeksi
1) Definisi
Berisiko mengalami peningkatan terserang oragnisme
patogenik.
2) Faktor Risiko
a) Penyakit kronis (mis. diabetes melitus)
b) Efek prosedur invasif
c) Malnutrisi
d) Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan
e) Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer :
f) Gangguan peristaltik
g) Kerusakan integritas kulit
h) Perubahan sekresi pH
i) Penurunan kerja siliaris
j) Ketuban pecah lama
k) Ketuban pecah sebelum waktunya
l) Merokok
m) Statis cairan tubuh
n) Ketidakadekuatan pertahan tubuh sekunder :
o) Penurunan hemoglobin
p) Imunosupresi
q) Leukopenia
r) Supresi respon inflamasi
s) Vaksinasi tidak adekuat
d. Nyeri Kronis
1) Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan
onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
berat yang berlangsung lebih dari 6 bulan.
2) Penyebab
a) Agen pencedera fisiologis ( mis. Imflamasi, iskemia,
neoplasma)
b) Agen pencedera kimiawi ( mis. Terbakar, bahan kimia
iritan )
c) Agen pencedera fisik ( mis. Abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma,
latihan fisik berlebihan ).
3) Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif :
a) Mengeluh nyeri
Objektif :
a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif ( mis. Waspada, posisi menghindari
nyeri )
c) Gelisah
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Suloit tidur
4) Gejala dan Tanda Minor
Subjektif :
( Tidak tersedia )
Objektif :
a) Tekanan darah meningkat
b) Pola napas berubah
c) Nefsu makan berubah
d) Proses berpikir terganggu
e) Menarik diri
f) Berfokus pada diri sendiri
g) Diaphoresis
5) Kondisi Klinis Terkait
a) Kondisi pembedahan
b) Cedera traumatis
c) Infeksi
d) Sindrom koroner akut
e) Glaukoma
e. Gangguan mobilitas fisik
1) Definisi
Keterbatasan dari gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstermitas secara mandiri
2) Penyebab
a) Kerusakan integritas struktur tulang
b) Perubahan metabolisme
c) Ketidakbugaran fisik
d) Penurunan kendali otot
e) Penurunan massa otot
f) Penurunan kekuatan otot
g) Keterlambatan perkembangan
h) Kekakuan sendi
i) Kontraktur
j) Mainutrisi
k) Gangguan musculoskeletal
l) Gangguan neuromuscular
m) Indeks massa tubuh diatas presentil ke-75 sesuai usia
n) Efek agen farmakologis
o) Program pembatasan gerak
p) Nyeri
q) Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
r) Kecemasan
s) Gangguan kognitif
t) Keengganan melakukan pergerakan
u) Gangguan sensoripersepsi
3) Gejala dan tanda mayor
Subjektif :
a) Mengeluh sulit menggerakkan ekstermitas
Objektif :
a) Kekuatan otot menurun
b) Rentang gerak (ROM) menurun
4) Gejala dan tanda minor
Subjektif
a) Nyeri saat bergerak
b) Enggan melakukan pergerakan
c) Merasa cemas saat bergerak
Objektif :
a) Sendi kaku
b) Gera kan tidak terkoordinasi
c) Gerakan terbatas
d) Fisik lemah
5) Kondisi klinis terkait
a) Stroke
b) Cedera medulla spinalis
c) Trauma
d) Faraktur
e) Osteoarthritis
f) Psteomalasia
g) Keganasan
3. Intervensi Keperawatan (PPNI, 2018)
a. Gangguan Integritas Jaringan / kulit
Tujuan
1) Elastisitas meningkat
2) Kerusakan jaringan menurun
3) Kerusakan lapisan kulit menurun
4) Pigmentasi abnormal menurun
5) Suhu kulit membaik
6) Sensasi membaik
7) Tekstur membaik
Tindakan
a) Observasi
1) Identiifkasi penyebab gangguan integritas kulit
(mis.perubahan sirkulasi, perubahan status nutrisi,
penurunan kelembaban, suhu lingkungan ekstrem,
penurunan mobilitas)
b) Terapeutik
1) Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
2) Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika
perlu
3) Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama
periode diare
4) Gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik
pada kulit sensitif
5) Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
c) Edukasi
1) Anjurkan menggunakan pelembab (mis.lotion, serum)
2) Anjurkan minum air yang cukup
3) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
4) Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
5) Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
6) Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya.
b. Defisit Nutrisi
Tujuan :
1) Porsi makan yang dihabiskan meningkat (5)
2) Kekuatan otot pengunyah meningkat (5)
3) Kekuatan otot menelan meningkat (5)
4) Nyeri abdomen menurun (5)
5) Bising usus membaik (5)
Tindakan :
1) Observasi
a) Identifikasi status nutrisi
b) Identifikasi makanan yang disukai
c) Monitor berat badan
2) Terapeutik
a) Sajikan makanan yang menarik dan suhu yang sesuai
b) Berikan makanan yang tinggi serat untuk mencegah
konstipasi

3) Edukasi
a) Anjurkan posisi duduk, jika perlu
b) Anjurkan diet yang terprogram
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan, jika perlu
c. Risiko Infeksi
Tujuan
a) Demam menurun
b) Kemerahan menurun
c) Nyeri menurun
d) Bengkak menurun
e) Kadar sel darah putih membaik
f) Kultur area luka membaik
g) Nafsu makan membaik
Tindakan
a) Observasi
1) Monitor tanda dan gejala infeksi dan sistemik
b) Terapeutik
1) Batasi jumlah pengunjung
2) Berikan perawatan kulit pada area edema
3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
4) Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi
c) Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
3) Ajarkan etika batuk
4) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
5) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6) Anjurkan meningkatkan asupan cairan
d) Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
d. Nyeri Kronis
Tujuan :
1) Keluhan nyeri menurun (5)
2) Meringis menurun (5)
3) Gelisah menurun (5)
4) Sikap protektif menurun (5)
5) Kesulitan tidur menurun (5)
Tindakan :
1) Observasi
a) Identifikasi skala nyeri
b) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
c) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
d) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
e) Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah di
berikan
f) Monitor efek samping penggunaan anal getik
2) Terapeutik
a) Fasilitasi istirahat dan tidur
b) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemeliharaan strategi meredakan nyeri
3) Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b) Ajarkan teknik nonfarmokolis untuk mengurangi rasa
nyeri
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
e. Gangguan Mobilitas Fisik
Tujuan : Gangguan Mobilitas Fisik teratasi dengan kriteria hasil :
1) Pergerakan ekstermitas meningkat (5)
2) Kekuatan otot meningkat (5)
3) Rentang gerak (ROM) meningkat (5)
4) Nyeri menurun (5)
5) Kelemahan fisik menurun (5)
Tindakan :
1) Observasi:
a) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b) Identifikasi toleransi fisik melalui pergerakan
c) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
melalui mobilisasi
d) Monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
2) Terapeutik:
a) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis.
Pagar tempat tidur)
b) Fasilitasi melakukan pergerakan jika perlu
c) Libatkan keluaraga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
3) Edukasi:
a) Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
b) Anjurkan untuk melakukan mobilisasi dini
c) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan
(mis. Berjalan dari tempat tidur ke kursi roda, berjalan
dari temapt tidur ke kamar mandi, berjalan sesuai
toleransi)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah ketika perawat mengimplementasikan
intervensi keperawatan. Implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan tindakan yang merupakan tindakan
keperawatan khusus yang melaksanakan intervensi (Kozier, 2010).
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan
dalam rencana perawatan. Tindakan keperawatan mencakup
tindakan mandiri ( independen ) dan tindakan kolaborasi (Wartonah,
2015)
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah aktfitas yang direncanakan,
kelanjutan, dan terarah ketika klien dan professional kesehatan
menetukan kemajuan klien menuju pencapaian atau hasil yang
keefektifan rencana asuhan keperawatan. (Kozier, 2010)
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan
untuk dapat menetukan keberhasilan dalam asuan keperawatan.
(Wartonah, 2015)
Evaluasi merupaka evakuasi intervensi keperawatan dan terapi
dengan membandingka kemajuan klien dengan tujuan dan hasil yang
diinginkan. (Perry, 2010)
S ( Subjektif ) : Data subjektif berisi data pasien melalui
anamnesis atau wawancara yang merupakan ungkapan langsung.
O ( Objektif ) : Data Objektif berisi data yang dari obesrvasi
melalui pengkajian fisik.
A ( Asesment ) : analisis data interprestasi berdasarkan data
yang terkumpul kemudian dibuat kesimpulan yang meliputi diagnosis,
antisipasi diagnosis atau masalah potensial, serta perlu tidaknya
dilakukan tindakan.
P ( Planing ) : perencanaan merupakan rencana dan tindakan
yang akan diberikan termasuk asuhan mandiri, kolaborasi, diagnosis,
laboratorium, serta konseling untuk tindak lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T. &. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional. Jakarta.

Enterocutaneous Fistula (2013). Diakses pada tanggal 7 Februari, 2020


Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/1372132-
overview.

Intestinal Fistula Surgery (2013). Diakses pada tanggal 7 Februari, 2020


Available from :
http://www.emedicine.medscape.com/article/197486.overview.

Herdman, T. &. (2010). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi Edisi 10.
Jakarta: EGC.

Kozier, dkk ( 2010 ). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses


dan Praktek Volume : 1 edisi 7, Jakarta : EGC

Management of Enterocutaneous Fistulas (2011). Diakses pada tanggal 7


Februari, 2020 Available from:
http://www.ucsfcme.com/2011/slides/MSU11001/Updated/16HarrisEnt
erocutaneousFistulas.pdf.

PPNI ( 2018 ). Standar Diagnostik Keperawtan Indonesia : Definisi dan


Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta :DPP PPNI.

PPNI, (2018 ). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan


Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta :DPP PPNI.
Pratin C, Siriluck S (2011). The Management of Patient with Enterocutaneous
Fistula: A complex case study. Wound Practice and Research : 19:
122-125.

Potter dan perry ( 2010 ). Fundamental Of Nursing. Buku 3, Edisi 7. Jakarta :


EGC.

Sheikh AR, Malik AM, Sheikh GA (2010). Feasibility of early surgical


intervention in postoperative entero-cutaneous fistulae. J Ayub Med
Coll Abbotabad : 22:37-40.

Tarwoto dan Wartonah ( 2015 ). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawtan, Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai