Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lambung sebagai salah satu organ yang penting pada tubuh manusia.

Lambung berfungsi untuk mencerna makanan dengan bantuan asam lambung

(HCl) dan pepsin (Guyton dan Hall, 2007).Suatu lambung yang sehat terdapat

keseimbangan antara faktor pelindung mukosa (Cytoprotective Factor) dan faktor

yang dapat merusak integritas mukosa lambung (Cytodestructive Factor) (Rizqah,

Dkk, 2015).

Tukak peptik merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas mukosa

yang meluas di bawah epitel atau kerusakan pada jaringan mukosa, submukosa

hingga lapisan otot dari suatu daerah saluran cerna yang langsung berhubungan

dengan cairan lambung asam/pepsin (Sanusi, 2011). Setiap tahun 4 juta orang

menderita ulkus peptikum di seluruh dunia, sekitar 10%-20% terjadi komplikasi

dan sebanyak 2%-14% didapatkan ulkus peptikum perforasi. Perforasi ulkus

peptikum relatif kecil tetapi dapat mengancam kehidupan dengan angka kematian

yang bervariasi dari 10% - 40%. Lebih dari setengah kasus adalah perempuan dan

biasanya mengenai usia lanjut yang mempunyai lebih banyak risiko komorbiditas

daripada laki-laki. Penyebab utama adalah penggunaan Non-Steroidal Anti-

Inflammatory Drugs (NSAIDs), steroids, merokok, Helicobacter pylori dan diet

tinggi garam (Saverio et al, 2014).

1
Sekitar 500.000 orang di Amerika Serikat setiap tahunnya terkena penyakit

tukak peptik, dan 70% terjadi pada usia 25 sampai 64 tahun. Biaya yang

dikeluarkan untuk pasien tukak peptik setiap tahunnya diAmerika Serikat sekitar

10 miliar USD (Ramakrishnan and Salinas, 2007). Tukak peptik di Indonesia

menempati peringkat 10 penyakit terbanyak pada rawat jalan di rumah sakit di

Indonesia tahun 2009. Jumlah kasus rawat inap tukak peptik di Indonesia

sebanyak30.154 dengan angka kematian sebanyak 235 pasien (Kemenkes R.I.,

2012).

Penggunaan obat-obat terapi tukak peptic sangat sering digunakan dengan

kombinasi karena mengingat banyaknya faktor penyebab tukak peptik

tersebut.Kombinasi obat digunakan karena hasil yang diperoleh dari terapi tunggal

kurang memuaskan untuk tujuan pengobatan yang diinginkan.Perkembangan

terapi kombinasi ini sangat mendukung kepatuhan pasien, karena selain efektifitas

yang tinggi kemungkinan efek samping menjadi lebih kecil walaupun relatif lebih

mahal (Rinza B.P, 2015).

Pilihan pengobatan yang paling tepat untuk penyakit tukak peptik

tergantung pada penyebabnya. Penggunaan obat yang tidak rasional masih sering

dijumpai di pusat kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan puskesmas.

Ketidaktepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis dapat menyebabkan kegagalan

terapi. (Novi. Y.S, 2019)

Obat-obat antiinflamasi non steroid (OAINS)merupakan jenis obat yang

banyak dipakai di seluruhdunia sebagai analgesik, antipiretik, dan

antiinflamasi.Penggunaan OAINS memiliki tujuan klinik utamauntuk pengobatan

2
gangguan musculoskeletal, sepertirematik artritis dan osteoarthritis (Joseph I.S,

dkk, 2012). Padapenyakit tersebut, OAINS mampu meng-hilangkanrasa sakit dan

pembengkakan pada sendi-sendi yangsakit atau radang. Asetosal merupakan obat

pertamayang digunakan untuk indikasi ini. Pemberian dosisOAINS untuk tujuan

klinik musculoskeletal ini lebihbesar dari penggunaan dosis OAINS pada

umumnya.Pemberian dosis tinggi meningkatkan resikoterkenanya perdarahan

saluran cerna bagian atas danperforasi atau tukak lambung/peptik (Brunton 2005).

1.2 Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang kami angkat untuk di bahas pada makalah

kami ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah Tukak Peptik (Peptic Ucler) Itu?

b. Apa saja epidemiologi peptic ulcer?

c. Apa saja etiologi peptic ulcer?

d. Bagaimana patofisiologi peptic ulcer?

e. Bagaimana diagnosis peptic ulcer?

f. Apa saja sasaran terapi peptic ulcer?

g. Bagaimana monitoring pada peptic ulcer?

h. Apa saja KIE pada peptic ulcer?

3
1.3 Tujuan Penulisan

a. Memahami Tentang Tukak Peptik (Peptic Ucler)

b. Memahami Resiko apa saja yang dapat terjadi jika mengalamin Tukak

Peptik

c. Memahami Obat apa saja yang di anjurkan untuk Pasien Tukak Peptik

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tukak Peptik

Tukak peptik adalah suatu penyakit terkait asam lambung yang dapat

menyebabkan luka hingga bagian muskularis mukosa lambung atau duodenum.

Tukak lambung merupakan salah satu penyakit yang mengganggu sistem

gastrointestinal. Tukak lambung disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan

antara mekanisme pertahanan dan perbaikan mukosa lambung dengan asam

lambung dan pepsin (Syamsudi,2013).

2.2 Epidemiologi

Sekitar 10 % orang Amerika mengalami tukak peptik kronis seumur hidup

mereka . Hal ini terjadi dengan variasi antar individu dengan jenis ulkus , ras ,

pekerjaan , kecenderungan genetik , dan sosial usia, jenis kelamin, dan lokasi

geografis yang berbeda. Faktor – faktor ini lebih kecil prevalensinya jika

dibandingan adanya infeksi Helicobacter Pylori dan penggunaan NSAID. Sejak

tahun 1960 , kunjungan dokter terkait ulkus, pada unit rawat inap, operasi, dan

kematian telah menurun di Amerika(Syamsudi, 2013).

Serikat oleh lebih dari 50 % , terutama karena tingkat penurunan pasien tukak

peptik. Penurunan rawat inap di rumah sakit dapat dilihat dari penurunan

penerimaan pasien tukak duodenum. Namun, untuk rawat inap orang dewasa

untuk penyakit komplikasi terkait tukak (perdarahan dan perforasi ) mengalami

5
peningkatan. Meskipun angka kematian secara keseluruhan dari tukak peptik

menurun, angka kematian pada pasien yang lebih tua dari 75 tahun mengalami

peningkatan, yang kemungkinan besar diakibatkan dari peningkatan konsumsi

NSAID. Tukak peptik tetap menjadi salah satu penyakit yang paling umum

gastrointestinal, yang mengakibatkan gangguan kualitas hidup, kehilangan

pekerjaan, dan tingginya biaya perawatan medis. Sampai saat ini, antagonis

reseptor H2 (H2RAs), proton pump inhibitor (PPI), dan obat penyakit mukosa

tidak merubah tingkat komplikasi tukak peptik (Dipiro,2005).

2.3 Etiologi

Ada beberapa penyebab terjadinya tukak peptik, yaitu:

a. Infeksi Helicobacter pylori(HP)

b. Penggunaan NSAID

c. Hipersekresi asam lambung

d. Kondisi Stress-Related Erosive Syndrome (SRES) (Graham, 2009).

2.4 Patofisiologi

Tukak petik terjadi akibat ketidak seimbangan faktor penyerang (asam

lambung dan pepsin) dan mekanisme yang menjaga integritas mukosa (pertahanan

dan perbaikan mukosa).Asam lambung (HCl) dihasilkan oleh sel-sel parietal. Sel

ini memiliki reseptor histamin, gastrin, dan asetilkolin (ACh). Sekresi asam

diukur dalam beberapa parameter: basal acid output (BAO), maximal acid output

(MAO), dan sekresi sebagai respon dari adanya makanan. Rasio BAO : MAO

6
merepresentasikan kelebihan sekresi asam lambung. Pepsinogen, yang disekresi

oleh chief cell,  diaktifkan menjadi pepsin oleh produksi asam (pH 1,8 – 3,5).

Pepsin memiliki aktivitas proteolitik yang dapat mengakibatkan tukak

(Joseph,2007).

Pertahanan mukosa meliputi  sekresi mukus dan  bikarbonat, pertahanan sel

epitel intrinsik, dan mucosal blood flow. Mukosa mengalami perbaikan setelah

terjadi luka dengan cara regenerasi. Kedua proses tersebut dibantu oleh

prostaglandin (PG).Helicobacter Pylori adalah bakteri aerofilik yang menempati

ruang antara lapisan mukus dan permukaan sel epitel. Helicobacter Pylori

memproduksi urease dalam jumlah besar, yang menghidrolisis urea menjadi

amonia dan CO2 dalam lambung. Infeksi Hpylori menigkatkan sekresi asam

lambung melalui mekanisme yang melibatkan sitokin (seperti TNF-α)

(Dr.syamsudin, 2013).

NSAID menyebabkan kerusakan mukosa saluran cerna melalui dua

mekanisme: iritasitopikal, dan inhibisi sistemik sintesis prostaglandin.

Siklooksigenase (COX) berperan dalam pembentukan Prostaglandin. COX

terdapat dalam dua bentuk: COX-1 dan COX-2. COX-1 menghasilkan

prostaglandin yang dapat melindungi mukosa saluran cerna, sedangkan COX-2

merupakan enzim yang merespon stimulus inflamasi dan menghasilkan

prostaglandin yang berhubungan dengan inflamasi.  Penghambatan COX-1 dapat

menyebabkan penurunan agregasi platelet dan terjadinya pendarahan mukosa

saluran cerna.Komplikasi yang dapat terjadi dari tukak peptik adalah pendarahan

akibat erosi bagian ulkus hingga ke arteri, perforasi, penetrasi hingga kestruktur

7
sekitar saluran cerna (pankreas, empedu, hati), dan obstruksi akibat luka atau

udem (Rinza, 2015).

2.4.1 Manifestasi Klinik

Gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari, minggu, atau

beberapa bulan dan bahkan dapat hilang hanya sampai terlihat kembali, sering

tanpa penyebab yang dapat di identifikasi. Banyak individu

mengalamigejalaulkus, dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang

tanpa adanya manifestasi yang mendahului (Novi,Y.S,2019).

Nyeri biasanya pasien dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, seperti

tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengahatau di punggung. Hal ini di

yakini bahwa nyeri terjadi bila kandungan asam lambung dan duo denum

meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori

lain menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang mekanisme refleks

lokal yang memulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan

makan, karena makan menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali,

namun bila lambung telah kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali

timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan

tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah.

Beberapa gejala menurun dengan memberikan tekanan local pada epigastrium

(Ramakrishnan, 2007).

Pirosis (nyeri ulu hati) : beberapa pasien mengalami sensasi luka bakar

pada esophagus dan lambung, yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai

eruktasi asam. Eruktasi atau sendawa umum terjadi bila lambung pasien kosong.

8
Muntah meskipun jarang pada ulkus duo denal tidak terkomplikasi, muntah dapat

menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan

jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran mukosa yang mengalami

inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa di

dahului oleh mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi

kandungan asam lambung (Sanusi, 2011).

Konstipasi dan perdarahan : konstipasi dapat terjadi pada pasien ulkus,

kemungkinan sebagai akibat dari diet dan obat-obatan. Pasien dapat juga datang

dengan perdarahan gastroin testinal sebagian kecil pasien yang mengalami akibat

ulkus akut sebelumnya tidak mengalami keluhan, tetapi mereka menunjukkan

gejala setelahnya (Sanusi, 2011).

2.4.2 Faktor Resiko

a. Pasien dengan sejarah penyakit tukak peptik, pendarahan GI bagian atas,

komplikasi akibat NSAID, atau penggunaan ulcerogenic medications

(seperti kortikosteroid) atau antikoagulan yang meningkatkan risiko

pendarahan (seperti warfarin dan clopidogrel) berisiko besar menyebabkan

tukak peptik.

b. Usia, kebiasaan merokok, alkohol, dan penyakit kardiovaskular dapat

meningkatkan risiko komplikasi GI dengan NSAID.

c. Beberapa makanan seperti kopi, teh, soda, minuman beralkohol, susu, dan

makanan rempah dapat menaikkan sekresi asam lambung dan

menyebabkan dispepsia.

9
d. Faktor genetik dapat berisiko menyebabkan tukak peptik, namun belum

diketahui secara jelas.

e. Penderita Zollinger-Ellison’s syndrome (ZES) (Ramakrishnan, 2007).

2.4.3 Tanda Klinik

Tanda-tanda dan gejala tukak peptik bervariasi, tergantung tingkat

keparahan dan komplikasi yang terjadi. Secara umum gejalanya berupa rasa sakit

epigastrik, dan dapat juga terjadi komplikasi akut pada saluran cerna bagian atas.

Pada tukak duodenal, rasa sakit dapat terjadi 1 hingga 3 jam setelah makan.

Sedangkan pada tukak gastrik, rasa sakit langsung terasa ketika makanan masuk.

Dapat juga terjadi nyeri abdominal dan dyspepsia (Rizqah, 2015).

Untuk tukak peptik kronis, tanda dan gejalanya yaitu:

a. Penurunan berat badan disertai mual, muntah, dan anoreksia.

b. Komplikasi meliputi pendarahan, perforasi, penetrasi, atau obstruksi.

c. Sakit abdominal (umumnya epigastrik) disertai perasaan terbakar, perut

terasa penuh, kram.

d. Sakit nokturnal yang dapat membangunkan penderita sekitar pukul 24.00 –

03.00

e. Periode ketidaknyamanan biasanya terjadi selama  seminggu  hingga

beberapa minggu, diikuti dengan periode bebas sakit (dapat bertahan

berminggu-minggu hingga bertahun-tahun). Tingkat keparahan rasa sakit

tukak bervariasi pada setiap individu, dan dapat terjadi musiman.

Perubahan karakteristik sakit yang dapat timbul akibat

komplikasi.Heartburn, sendawa, dan bloating saat sakit (Rizqah, 2015).

10
2.4.4 Algoritma Terapi

2.5 Diagnosis

Diagnosis tukak peptik terdiri atas ujien doskopik dan non-endoskopik.

Diagnosis infeksi HP dapat dilakukan dengan beberapa pengujian, sedangkan

untuk tukak peptik selain akibat infeksi HP lebih sederhana. Pengujian untuk HP,

dapat dilakukan secara endoskopik maupun nonendoskopik. Pada pengujian

endoskopik, sampel jaringan diambil dari tiga lokasi dari lambung untuk uji

11
histologi, kultur, dan menganalisis aktivitas urease. Uji histologi dilakukan untuk

mengetahui klasifikasi keparahan gastritis, sedangkan kultur dilakukan untuk

menentukan terapi yang sesuai dan atau adanya resistensi antibiotik, dan uji

aktivitas urease dilakukan untuk mendeteksiadanya HP (Misnadiarly, 2009).

Pengujian non endoskopik meliputi uji deteksi antibodi serologi, urea

breath test (UBT), dan stool antigen test. Uji serologi mendeteksi antibodi yang

dihasilkan akibat infeksi HP. UBT didasarkan pada aktivitas urease dari HP,

dimana pasien akan menghirup urea – yang kemudian diuraikan menjadi amonia

dan bikarbonat. Bikarbonat yang dihasilkan akan terabsorpsi ke dalam darah dan

di ekskresikan melalui nafas. Jumlah bikarbonat yang dihasilkan kemudian

dihitung. Stool antigen test dilakukan untuk mendeteksi antigen HP pada feses

(Misnadiarly, 2009).

2.5.1 Radiologi dan Endoskopi

Diagnosis tukak peptik dengan cara visualisasi luka tukak dapat dilakukan

dengan radiografi atau endoskopi. Radiografi digunakan sebagai prosedur

diagnosti kawal pada pasien yang suspek tukak peptik karena metode ini lebih

murah dan lebih aman.Tetapi, jika terjadi komplikasi atau jika di inginkan

diagnosis yang akurat, dapat dilakukan endoskopi bagian atas (Graham, 2009).

Uji laboratorium dapat mendukung diagnosis tukak peptik. Pengujian ini

antara lain studi sekresi asam lambung, konsentrasi gastrin serum puasa, nilai

hematokrit dan hemoglobin (umumnya rendah).

12
Sebelum dilakukan terapi penyembuhan tukak lambung maka perlu ditentuka

penatalaksanaan terapi yang meliputi sasaran terapi, tujuan terapi, dan strategi

terapi (Saverio, 2014).

2.6 Sasaran Terapi

Pada pasien dengan H. pylori positif

a. Membasmi bakteri H. pylori

b. Menyembuhkan ulkus

c. Mengobati penyakit

Pada pasien akibat penggunaan NSAID dengan menyembuhkan ulkus

sesegera mungkin (Sanusi, 2011).

2.6.1 Tujuan Terapi

a. Meredakan nyeri akibat ulkus pada lambung

b. Menyembuhkan ulkus

c. Mencegah kekambuhan ulkus

d. Mengurangi komplikasi terkait dengan ulkus (Sanusi, 2011).

2.6.2 Strategi Terapi

2.6.2.1 Terapi Non Farmakologi

a. Mengurangi penggunaan NSAID ,jika tidak dapat dihindari pakai dosis

efektif minimum atau dapat di ganti dengan parasetamol jika hanya untuk

analgetik pada nyeri kepala dan antipiretik, atau ganti NSAID yang

selektif menghambat COX 2 seperti nabumeton, dan etodolak atau yang

lebih selektif lagi seperti celecosib dan refecosib.

13
b. Uji klinis dengan selektif COX-2 inhibitor telah melaporkan penurunan

risiko ulkus gejala dan komplikasi GI atas sebesar 50% sampai 60% bila

dibandingkan dengan NSAID nonselektif.

c. Mengurangi merokok.

d. Pasien harus hindari makanan dan minuman (misalnya, makanan pedas,

kafein, dan alkohol) yang menyebabkan dispepsia atau yang memperburuk

gejala maag.

e. Mengkonsumsi makanan yang mengandung Probiotik, Probiotik

(misalnya, strain Lactobacillus dan Bifidobacterium) dan bahan makanan

(misalnya, jus cranberry dan beberapa protein susu) dengan komponen

bioaktif telah digunakan untuk secara proaktif mengendalikan H. pylori

kolonisasi pada individu yang berisiko dan mungkin memiliki peran dalam

mengurangi peradangan mukosa dan menyembuhkan tukak lambung

(Dr.syamsudin, 2013).

2.6.3 Proton Pump Inhibitor

2.6.3.1 Omeprazole

a. Indikasi

Terapi Jangka pendek lukak doedenal dan yang tidak memberi respon

terhadap antagonis reseptor H2. Terapi janga pendek tukak lambung. Refluk

esofagitiserosif atau ulseratif. Terapi jangka panjang sindromZollinger-Ellison

14
b. Mekanisme

Menekan sekresi asam lambung dengan menghambat sistem enzim hidrogen/

kalium Adenosin Triphosphatase (H+/K+ ATPase), yang bekerja dalam ‘proton

pump’ dari sel parietal lambung.

c. Interaksi Obat

Kalsium, Mereduksi absorpsi Ca2+ dalam CaCO3 hingga 9,1% ; Diazepam,

phenytoin, dan warfarindapat memperpanjang eliminasi obat-obat tersebut :

Dasatinib, ketoconazole , dan itraconazoleMengurangi penyerapan obat-obat

tersebut ; Digoxin, Peningkatan absorpsi digoxin; Cyanocobalamin dan vitamin

CMengurangi absorpsi cyanocobalamin dan vitamin C.

d. Efek Samping

Sakit kepala , diare , dan ruam kulit, pruritus , pusing, kelelahan , sembelit ,

mual dan muntah , perut kembung , sakit perut , arthralgia , dan myalgia , urtikaria

, dan mulut kering . hipersensitivitas , mengantuk , dan vertigo , depresi.

e. Pemberian obat

Berikan sebelum makan (Ramakrishnan, 2007).

Gambar 1. Struktur Omeprazole

15
2.6.3.2 Lansoprazole

a. Indikasi

Tukak Lambung, tukak duodenum, refluk esophagus

b. Mekanisme

Menekan sekresi asam lambung dengan menghambat sistem enzim hidrogen/

kalium Adenosin Triphosphatase (H+/K+ ATPase), yang bekerja dalam ‘proton

pump’ dari sel parietal lambung dan selanjutnya menghambat sekresi HCl

c. Interaksi Obat

Antasida dan sukralfat, Mengurangi bioavailabilitas lansoprazole

d. Efek Samping

Trombositopenia, glositis, diare, eosinophilia

e. Perhatian

Hamil dan laktasi

f. Pemberian obat

Berikan sebelum makan (Ramakrishnan, 2007).

Gambar 2. Struktur Lansoprazole

2.6.3.3 Rabeprazole

a. Indikasi :

16
Tukak duodenum aktif, tukak lambung jinak

b. Mekanisme

Menekan sekresi asam lambung dengan menghambat sistem enzim hidrogen/

kalium Adenosin Triphosphatase (H+/K+ ATPase), yang bekerja dalam ‘proton

pump’ dari sel parietal lambung dan selanjutnya menghambat sekresi HCl.

c. Interaksi Obat

Sama seperti Omeprazole namun interaksi klinis yang signifikan dengan

diazepam, fenitoin, teofilin, atau warfarinbelum ditemukan pada subyek sehat.

d. Efek Samping

Sakit kepala, diare, mual, Nefritis, neuropsikiatri

e. Perhatian

Terapi jangka panjang harus dilakukan dibawah pengawasan berkala.

f. Pemberian obat

Telan utuh, jangan dikunyah atau dihancurkan ( Novi yana santika, 2019).

Gambar 3. Struktur Rabeprazole

2.6.3.3 Pantoprazole

a. Indikasi

Terapi jangka pendek gaster dan terapi intestinal

17
b. Mekanisme

Menekan sekresi asam lambung dengan menghambat sistem enzim hidrogen/

kalium Adenosin Triphosphatase (H+/K+ ATPase), yang bekerja dalam ‘proton

pump’ dari sel parietal lambung dan selanjutnya menghambat sekresi HCl.

c. Interkasi Obat

Warfarin meningkatan waktu protrombin pada pasien yang memakai

pantoprazole dan menunjukkan kurangnya efek pada warfarin. Dengan

Methotrexate menyebabkan mialgia dan nyeri tulang yang parah.

d. KI

Kerusakan fungsi hati dan kehamilan

e. Efek Samping

Gangguan fungsi hati, trombositopenia, nefritis, reaksi sensitifitas kulit.

f. Pemberian obat

Berikan sebelum atau saat makan pagi (Saverio, 2014).

Gambar 4. Struktur Pantoprazole

2.6.3.4 Esomeprazole

a. Indikasi

18
Terapi refluk esophagitis erosif, terapi simtomayik GERd, kombinasi terapi

dengan antibakteri yang cocok untuk penyembuhsn H.pylori.

b. Mekanisme

Menekan sekresi asam lambung dengan menghambat sistem enzim hidrogen/

kalium Adenosin Triphosphatase (H+/K+ ATPase), yang bekerja dalam ‘proton

pump’ dari sel parietal lambung dan selanjutnya menghambat sekresi HCl.

c. Interaksi

Kalsium, Mereduksi absorpsi Ca2+ dalam CaCO3 hingga 9,1% ; Diazepam,

phenytoin, dan warfarin dapat memperpanjang eliminasi obat-obat tersebut :

Dasatinib, ketoconazole , dan itraconazole Mengurangi penyerapan obat-obat

tersebut ; Digoxin, Peningkatan absorpsi digoxin; Cyanocobalamin dan vitamin C

Mengurangi absorpsi cyanocobalamin dan vitamin C.

d. KI

Hipersensitifitas. Pemberian bersama atazanavir dan nelvinavir, laktasi, anak

< 12 tahun. Untuk tab saja, intoleransi fruktosa, malabsorbsi glukosa dan

galaktosa atau insufisiensi sukrase – isomeltase.

e. Efek samping

Nefritis, eksaserbasi vitiligo pada kulit (Saverio, 2014).

19
Gambar 5. Struktur Esomeprazole

2.6.4 H2 Antagonis

2.6.4.1 Imetidine

a. Indikasi

tukak lambung maag

b. Interaksi

Asetamizole, cisapride, dofetilide, lomatapide, pimozide, terfernadine.

c. Efek samping

Pusing, sakit kepala, mual, muntah, diare, mengantuk.

d. Kontraindikasi

Hipersnsitif dengan simetidin atau penggunaan H2 antagonis

e. Mekanisme

H2 reseptor antagonis memblok H2 reseptor dari sel pariental gastrik/

lambung sehingga menghambat ekskresi lambung.

f. Metabolisme

Dimeatabolisme di liver, diekskresikan di urin dan feces

g. Sediaan injeksi 150 mg/ml

Oral solution (cairan) sirup : 300 mg/5ml

Oral tablet : 200, 300, 400, 800 mg/oral ; 400 mg per oral/ 12 hari ; gastrik 800

mg per oral; 300 mg per oral 6 hari (Brunton, 2005).

Gambar 6. Struktur simetidine

20
2.6.4.2 Famotidine

a. Indikasi

ulkus duodenum, terapi pemeliharaan ulkus duodenum pada pasien yang baru

sembuh dari ulkus aktif, sindroma zolliger allison.

b. Mekanisme

Memblokir reseptor H2 sel parietal lambung, menyebabkan penghambatan

sekresi lambung.

c. Interaksi

Serius,gunakan alternatif: atazanavir, dapsone, dasatinib, delvirdine, digoxin,

indinavir, itraconazole, ketokonazole, mefloquin, nimodipin, nisoldipin,

nitrendipin, ponatinib.

d. Signinifikan, monitor ketat

Ampicilin, karbonil iron, sefdinir, sefditoren, sefpodoxim, sefurosime,

crizotinib.

e. Minor

blessed thistle, cyanocobalamin, devil’s claw.

f. Efek samping

Sakit kepala, pusing, konstipasi, diare, artralgia, trombositopenia, ruam kulit

g. Sediaan

Injeksi solution : 10 mg/ml ; 0,4 mg/ml

h. Oral suspensi

45 mg/5 ml

i. Oral tablet

21
10 g ;20 mg; 40 mg (Saverio, 2014).

Gambar 7. Struktur Famotidin

2.6.4.3 Ranitidine

a. Dosis

Pengobatan: 300mg/hari per oral Pemeliharaan: 150mg/hari per oral

b. Indikasi

Gastroesophageal, peptik ulser, Kondisihipersekresi asam lambung,

Esofagitis

c. Mekanisme Kerja

Ranitidin bekerja sebagai histamin H2-antagonis, yaitu menghambat sekresi

histamin yang dimediasi oleh reseptor H2 seperti sekresi asam lambung dan

pepsin.

d. Kontraindikasi

Hipersensitifitas terhadap ranitidine atau H2-reseptor agonis yang lain

e. Efek Samping Obat

sakit kepala, diare, pusing, reaksi hipersensitivitas, mual, muntah,anemia,

pankreatitis, trombositopenia

22
f. Interaksi Obat:

Dasatinib : menurunkan efek dasatinib dengan meningkatkan pH lambung.

Digoxin : meningkatkan tingkat atau efek digoxin dengan meningkatkan pH

lambung.

Itrakonazol: menurunkan tingkat atau efek itrakonazol dengan meningkatkan

pH lambung.

Cimetidin: meningkatkan tingkat atau efek ranitidine dalam kompetisi obat

untuk pembersihan tubular ginjal.

g. Tolbutamide

Meningkatkan tingkat atau efektol butamide dengan meningkatkan pH

lambung.

h. Sifat Fisikakimia

Warna: putih-putih kekuningan.

Bentuk: serbuk kristal, polimorfisme

Kelarutan: sangat larut dalam air, dan sangat sedikit larut dalam diklorometana

(Brunton, 2005).

b. Gambar 8. Struktur Ranitidin

23
2.6.4.4 Nizatidine

a. Dosis

Pengobatan: 300mg/hari per oral, Pemeliharaan: 150mg/hari per oral

b. Indikasi

Duodenu mulser, Pemeliharaan duo denu mulkus

c. Mekanisme Kerja

Nizatidine bekerja sebagai histamin H2-antagonis, yaitu menghambat sekresi

histamin yang dimediasi oleh reseptor H2 seperti sekresi asam lambung dan

pepsin.

d. Interaksi Obat

Dasatinib: menurunkan tingkat atau efek dasatinib dengan meningkatkan pH

lambung.

Itraconazole: menurunkan tingkat atau efek itraconazole dengan meningkatkan

pH lambung.

Digoxin: meningkatkan tingkat atau efek digoxin dengan meningkatkan pH

lambung

Ampisilin: menurunkan tingkat atau efek ampisilin dengan meningkatkan pH

lambung.

Tolbutamide: meningkatkan tingkat atau efektol butamide dengan meningkatkan

pH lambung.

e. Kontraindikasi

Hipersensitifitas terhadap nizatidine atau H2-reseptor agonis yang lain

f. Efek Samping Obat

24
Sakit kepala, Nyeri perut, Ansietas, Constipation, Insomnia, Anemia,

Mual/muntah

g. Sifat Fisikakimia

Warna : Hampirputih atau agakkecoklatan

Bentuk : bubuk kristal

h. Kelarutan

Sedikit larutdalam air, larutdalammetil alkohol(Novi yana santika, 2019).

b. Gambar 9. Struktur Nizatidine

Pengobatan Infeksi Helicobacter Pylori merupakan bakteri gram negatif yang

telah dikaitkan dengan gastritis. Selanjutnya dari grastritis akan mengalami

perkembangan ulkus lambung dan ulkus duodenum, adenokarsinoma lambung

sertagastric B-cell lymphoma(Suerbaum dan Michetti,2002). Karena H. pylori

berperan penting dalam patogenesis tukak lambung maka untuk membasmi

infeksi ini dilakukan perawatan standar pada pasien dengan ulkus lambung atau

duodenum. Pada pasien yang tidak menerima NSAID, standar perawatan ini

hampir sepenuhnya menghilangkan resiko kekambuhan ulkus. Pemberantasan

H.pylori juga diindikasikan dalam pengobatan limfoma jaringan limfoid mukosa

pada perut yang bisa terjadi secara signifikan setelah dilakukan pengobatan (Novi

yana santika, 2019).

25
Table 1. Therapy of Helicobacter pylori Infection
Triple therapy × 14 days: [Proton pump inhibitor + clarithromycin 500 mg +

(metronidazole 500 mg or amoxicillin 1 g)] twice a day. (Tetracycline 500 mg

can be substituted for amoxicillin or metronidazole.)


Quadruple therapy × 14 days: Proton pump inhibitor twice a day +

metronidazole 500 mg three times daily + (bismuth subsalicylate 525 mg +

tetracycline 500 mg four times daily)


Or
H2-receptor antagonist twice a day + (bismuth subsalicylate 525 mg +

metronidazole 250 mg + tetracycline 500 mg) four times daily

Dosages:
Proton pump inhibitors: H2-receptor antagonists:
Omeprazole: 20 mg Cimetidine: 400 mg
Lansoprazole: 30 mg Famotidine: 20 mg
Rabeprazole: 20 mg Nizatidine: 150 mg
Pantoprazole: 40 mg Ranitidine: 150 mg
Esomeprazole: 40 mg
See Howden and Hunt, 1998.

Berdasarkan tinjauan literatur, banyak rejimen yang telah diusulkan dan

menujukan rejimen yang ideal. Lima pertimbangan penting sangat mempengaruhi

pemilihan rejimen untuk mengatasi peptic ulcer dapat dilihat dalam tabel 1

(Graham, 2000).

Ketika memilih lini pertama pemberantasan rejimen, kombinasi antibiotik

harus digunakan yang memungkinkan pengobatan lini kedua (jika perlu) dengan

antibiotik yang berbeda. Antibiotik yang paling ekstensif dipelajari dan ditemukan

efektif dalam berbagai kombinasi termasuk klaritromisin, amoxicillin,

metronidazol dan tetrasiklin. Meskipun antibiotik lain mungkin efektif, mereka

tidak boleh digunakan sebagai bagian dari awal rejimen H.pylori. Karena data

26
yang kurang, ampicillin tidak boleh menggantikan amoxicillin, dosisiklin serta

tidak boleh menggantikan tetrasiklin, azitromisin ataupun eritromisin tidak harus

diganti untuk klaritromisin. Rejimen terapi kedua adalah pompa pump inhibitor

(PPI) atau antagonis reseptor H2 yang secara signifikan meningkatkan efektivitas

ketiga dilakukan 10 sampai 14 hari (Sanusi, 2011).

2.7 Monitoring

2.7.1 Monitoring objektif :

a. Cek rutin kultur H.pylori

b. Monitoring kecenderungan kolonisasi dan penyakit gastrointerstinal

bagian atas pada berbagai populasi dapat memberikan gambaran

kecenderungan terjadinya infeksi H.pylori.

c. Monitoring penggunaan NSAID jika pasien mengkonsumsi NSAID

(Graham, 2009).

2.7.2 Monitoring subjektif :

a. Monitoring kondisi pasien dan rasa nyeri

b. Monitoring gaya hidup dan pola makan pasien

c. Monitoring keparahan penyakit (Graham, 2009).

2.8 KIE

a. Hindari atau kurangi stress, merokok, dan penggunaan NSAID (termasuk

piroksikam). Jika piroksikam masih digunakan, diberi jeda 1-2 jam setelah

makan.

27
b. Hindari makanan dan minuman (seperti : makanan pedas, kopi, alkohol)

karena dapat menyebabkan dispepsia atau memunculkan gejala tukak.

c. Penggunaan obat yang rutin dapat mengurangi/menyembuhkan penyakit.

(Misdiarly,2009).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ulkus peptikum merupakan diskontinuitas mukosa lambung yang meluas

sampai bawah epitel (jaringan mukosa, sub mukosa dan lapisan otot saluran

28
pencernaanbagian atas, dapat terjadi di esofagus, gaster, duodenum dan jejenum

yang disebabkan oleh asam lambung dan pepsin.( Price, 2006). Etilogi dari ulkus

peptikum adalah resistensi mukosa terhadap asam getah lambung, kerusakan pada

susunan saraf pusat seperti neoplasma dan hipertensi maligna menyebabkan

chusing, erosi akut dan ulkus lambung, esophagus, dan duodenum, kondisi

psikologi seseorang berpengaruh pada munculnya ulkus lambung, pada beberapa

orang yang ambisius dan beban stress yang tinggi serta hidup tidak teratur

berisiko menderita peptic ulcer, infark pada dinding lambung karena asam

lambung, stress akut pada keadaan terancam atau operasi darurat dan stress

koronik dapat memperburuk kondisi penderita ulkus peptikum, faktor hormonal

berpengaruh menimbulkan ulkus lambung seperti pada penyakit Addison’s,

pasien mengonsumsi kortison untuk dosis maintens menambah timbulnya ulkus

lambung yang disertai dengan komplikasi, obat-obatan yang menyebabkan ulkus

lambung. Penatalaksanaaannya ada Non-Farmako yaitu penurunan stres dan

istirahat,  penghentian merokok, modifikasi diet, intervensi bedah dan ada

farmako yaitu obat-obatan.

3.2 Saran

Untuk mahasiswa agar memahami dengan benar mengenai konsep dasar

ulkus peptikum dan memahami asuhan keperawatan ulkus peptikum yaitu dapat

membuat pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan (intervensi),

implementasi dan evaluasi. Sehingga untuk mencapai asuhan keperawatan dalam

merawat klien, pendekatan dalam proses keperawatan harus dilakukan secara

29
sistematis. Perawat hendaknya selalu menjalin hubungan kerjasama yang baik

atau kolaburasi baik kepada teman sejawat, dokter atau para medis lainnya dalam

pelaksanaan asuhan keperawatan maupun dalam hal pengobatan kepada klien agar

tujuan yang diharapkan dapat tercapai

30
DAFTAR PUSTAKA

Askandar, Tjokroprawiro. 2015. Buku ajar Ilmu penyakit dalam. Jakarta :

EGC penerbit buku kedokteran

Brunton LL. 2005. Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of

Therapeutics eleventh edition, McGraw-Hill Medical, United States

of America

Depkes R.I., 2012. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan

Pasien ( Pasien Safety). Kementrian Kesehatan R.I. Jakarta.

Doni Anshar Nuari, Cindra Tri Yuniar, Syifa Salsabila. 2019. Anti Peptic

Ulcer Activity Of leaves Extract of abelmuschus manihot (L)

medical in Rats. Jurnal Ilmiah Farrmako Bahari. Vol 10 No.1. Hal

17-22. https://journal.uniga.ac.id › index.php › JFB. Akses tanggal

12 November 2019

Dr.Syamsudin, M.Bioed.,Apt. 2013. Farmakoterapi Gangguan Saluran

Pencernaan 2013. Jakarta: EGC penerbit buku kedokteran

Eka K. Untari, Siti N. Nurbaeti, Esy Nansy. 2013. Kajian perilaku

swamedikasi penderita tukak peptik yang mengunjungi apotek di

Kota Pontianak. Jurnal Farmasi klinik indonesia. Vol 2 No 3 Hal

112-120. http://jurnal.unpad.ac.id/ijcp/article/download/12762/pdf.

Akses tanggal 12 November 2019

Graham, D.Y. 2009 Therapy of Helicobacter pylori: current status and

issues. Gastroenterology

31
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2007. Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Irawati

dan Luqman Yanuar (Editor). Jakarta: EGC.

Joseph I.S. 2007. Efektivitas Preventif Omeprazol Terhadap Efek Samping

Tukak Lambung Antiinflamasi Non Steroid (Asetosal) pada Tikus

Galur Wistar Betina, ITB, Acta Pharmaceutica Indonesia. Jakarta :

Balai penerbit FKUI

Joseph Iskendiarso sigit, Ribkah, Andreanus andaja soemardji. 2012.

Efektivitas preventif omeprazol terhadap efek samping tukak

lambung anti inflamasi non steroid pada tikus galur wistar betina.

Vol 37 No. 2 Hal 48-53

http://journals.itb.ac.id/index.php/acta/article/viewFile/4041/2160.

Akses tanggal 10 November 2019

Misnadiarly. 2009. Mengenal penyakit organ cerna. Jakarta : Yayasan

pustaka obor Indonesia

Novi Yana santika, Rise Desnita, Muhammad Akib Yuswar. 2019. Evaluasi

penggunaan Obat Tukak Peptik pada Pasien tukak peptik di Instalasi

rawat inap RSUD Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Jurnal

Farmasi Pontianak. Vol.15 No. 1 Hal : 1-15. https://jurnal.ugm.ac.id

› majalahfarmaseutik. Akses tanggal 07 November 2019

Novi. Y.S. 2019. Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptik pada Pasien

Tukak Peptik di Instalasi Rawat Inap RSUD Sultan Syarif Mohamad

Alkadrie Pontianak, Majalah Farmaseutik Fakultas Kedokteran

Universitas Tanjungpura Pontianak

32
Ramakrishnan. 2007. Peptic ulcer disease.Am. Fam. Physician. Jakarta :

EGC penerbit buku kedokteran

Rinza. B.P, 2015 Potensi Interaksi Obat Pada Pasien Gangguan Lambung

(Dispepsia, Gastritis, Tukak Peptik) Rawat Inap Di Rumah Sakit “X”

Tahun 2015, Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 2015.

Rizqah. 2015. Penggunaan Obat Tukak Peptik Pada Pasien Tukak Peptik

(Peptic Ulcer Disease). Jakarta : EGC penerbit buku kedokteran

Sanusi. 2011. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta: Interna Publishing.

Saverio. 2014. Diagnosis and treatment of perforated or bleeding peptic

ulcer: 2013 WSES position paper: World Journal of Emergency

Surgery. Akses tanggal 12 November 2019

33

Anda mungkin juga menyukai