Anda di halaman 1dari 9

3.1.

Fistula Intestinal
3.1.1. Definisi
Fistula merupakan sambungan abnormal antara 2 permukaan yang memiliki epitel
yang biasanya melibatkan saluran cerna dengan organ berongga lain, sperti blader, uretra,
vagina dan daerah lain pada saluran cerna. Fistula juga dapat terjadi antara perut dan
kulit atau antra perut dan kavitas abses. Dan dalam kasus yang jarang fistula dapat
muncul antara pembuluh darah dengan usus, yang kemudian akan menyebabkan
perdarahan saluran cerna, yang kemudian memerlukan pembedahan emergensi.1
Kebanyakan fistula saluran cerna (75-85%) terjadi sebagai akibat komplikasi dari
pembedahan abdomen. Selain itu, 15-25% fistula terjadi secara spontan akaibat adanya
inflamasi atau infeksi intrabdomen. Apapun penyebabnya, fistula memiliki pengaruh
yang sangat besar pada pasien dan lingkungannya. Peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas, besarnya bianya kesehatan untuk penegakan diagnosis dan perawatan,
bertambahnya lama rawat, dan keterlambatan pasien untuk bisa kembali bekerja
merupakan beberapa dampak dari kondisi ini.1
Fistula berhubungan dengan angka kematian. Dalam beberapa decade ada tahun
1960an, seiring dengan adanya unit perawatan intensif (ICU) dan pemberian nutrisi
parenteral menurunkan angka kematian hingga 20%; bagaimanapun juga, semakin
lamanya pasien dirawat dan tingginya biaya perawatan serta pembedahan masih belum
berubah. Selon itu, jumlah pembentukan fistula belum menurun, akibat dari komplikasi
serta tahapan lanjut dari penyakit, teknik pembedahan yang sulit, dan peningkatan
populasi lansia.1

3.1.2. Klasifikasi

Ada beberapa sistem klasifikasi fistula, naun tidak ada ketetapan dalam
penggunaannya. 3 sistem klasifikasi yang sering digunkan adalah tergantung pada
anatomi, fisiologi, etiologi. Penggunaan kombinasi ketiga klasifikasi ini, dapat membantu
memahhami dan memaksimalkan rencana penanganan fistula.3
Secara anatomi fistula diberikan nama tergantung pada tmpat anatomi yang
terlibat, dan diberadkan menjadi fistula interna atau eksterna. Fistula interna
menghubungkan saluran cerna dengan organ dalam lain, rongga peritoneal, rongga
retroperitoneal, thoraks, ataupun pembuluh darah. fistula eksternal, yang biasanya terjadi
pasca operasi, merupakan sambungan abnormal antara saluran cerna dengan kulit. 3

3.1.3. Etiologi
Faktor risiko dari fistula intestinal diantaranya:4
a. Prosedur bedah dalam penanganan seperti kanker, inflammatory bowel disease (IBD,
lysis of adhesions, atau penyakit ulkus peptikum
b. IBD (eg. Chron disease dan colitis ulseratif)
c. Penyakit divertikular
d. Radiasi
e. Keganasan (khususnya ginekologi dan pankreas)
f. Apendisitis
g. Perforasi ulkus duodenal
h. Trauma abdominal (eg. Luka tembak, tusukan (trauma tajam), atau kecelakaan
kendaraan bermotor (trauma tumpul)
i. Aneurisma aorta, infeksi aortic graft, riwayat pembedahan aorta abdominal.

Berlawanan dengan kepercayaan umum, fistula tidak selalu terjadi akibat dari stenosis
usus pada bagian bawah.
Gambar 2.1. fistula eneterokutaneus setelah luka usus akibat insisi hernia repair, 6
minggu pasca pembedahan.4

a. Gastric Fistulas, kebanyakan disebabkan akibat iatrogenic (85%). Pada kasusu lain
disebabkan akibat, iradiasi, malignansi, inflamasi, iskemik. Kebocoran anstomosis
pasca reseksi gaster pada kasus kanker, penyakit ulkus peptikum, atau pembedahan
bariatric dapat menyebabkan keluarnya asam lambung, yang akan memicu kaskade:
infeksi lokalis, pembentukan abses, dan kemungkinan tebentuknya abses dan fistula.4
b. Small bowel fistulas, hampir 80% merupakan akibat komplikasi pembedahan
abdominal. Fistula ini terjadi akibat rusaknya anastomosis garis jahitan, iatrogenic
dengan enterotomi yang kurang hati-haati, atau akibat jejas pada usus halus pada saat
penutupan. Aliran darah yang inadekuat dari devaskularisasi atau tekanan pada
jahitan, anastomosis dari usus yang terkena, atau abses perianastomosis dapat
membahayakan integritas sambungan pembedahan.4
c. Fistula pada penyakit Chron. Penyakit Chron (PC), malignansi, penyakit ulkus
peptikum, dan pankretitis secara spontan dapat menyebabkan fistula usus sebanyak
10-15% kasus. Pada pasien dengan PC, fistula timbul dari ulserasi aphthous yang
berkembang menjadi fisura transmural dalam dan inflamasi, kemudian menyebabkan
perlekatan usus ke struktur yang berdekatan yang akhirnya menembus struktur lain.5
Mikroperforasi dengan pembentukan abses menyebabkan makroperforasi berikutnya
ke organ atau kulit yang berdekatan, menghasilkan pembentukan fistula. Fistula
Crohn lebih sering internal dan lebih jarang eksternal (ke kulit). Fistula ileosigmoid,
biasanya merupakan komplikasi dari penyakit ileum terminal yang menyerang kolon
sigmoid, adalah jenis fistula yang paling umum di antara dua lengkung usus.
Enteroenteric, gastrocolic, duodenocolic, enterovesical, rectovaginal, dan fistula
perianal adalah komplikasi potensial lain dari penyakit Crohn.6 Fistula perianal adalah
fistula eksternal yang paling umum pada pasien dengan penyakit Crohn.

Gambar 2.2. Abses psoas dari penyakit Crohn yang kemudian menjadi fistul pada
kulit
d. Fistula Kolon. Penyebab utamanya adalah akibat inflamasi intrabdomen namun
dapat juga terjadi setelah tindakan bedah pada keadaan inflamasi.7 IBD, diverticulitis,
malignansi, dan apendisitis (khususnya degan adanya abses apendiks yang
membutuhkan drainase pekutaneus) merupakan kondisi peradangan itama yang
menyebabkan fisyula kolon.
e. Fistula Aortoenterika. Fistula aortoenteric paling sering terjadi sekunder, biasanya
setelah penempatan bedah cangkok. Fistula aortoenteric dapat berkembang dengan
cara berikut:
 Garis jahitan, paling sering yang proksimal, dapat berkomunikasi dengan
saluran usus
 Pseudoaneurisma garis jahitan dapat mengikis ke usus yang berdekatan.
 Erosi dapat terjadi pada cangkok yang dekat dengan garis jahitan,
mengakibatkan bagian tengah cangkok terkikis ke usus yang berdekatan;
sebaliknya, fistula aortoenteric primer hampir selalu terjadi akibat erosi dari
aneurisma atau aorta yang terinfeksi ke daerah sekitarnya, paling sering usus.
3.1.4. Epidemiologi
a. Kejadian di AS
Di negara maju, penyakit Crohn adalah penyebab paling umum dari pembentukan
fistula spontan. Dalam hidup mereka, sebanyak 40% pasien dengan penyakit Crohn
mengembangkan fistula, paling sering eksternal atau perianal. Insiden pembentukan
fistula pada pasien dengan divertikulitis jauh lebih rendah. Pembentukan fistula
mempersulit divertikulitis pada 1% -12% pasien. Fistula kolovesika pada pria dan
fistula kolovaginal pada wanita adalah jenis fistula yang paling umum pada populasi
ini. Fistula dapat mempersulit terapi radiasi berminggu-minggu hingga bertahun-
tahun setelah perawatan. Terapi radiasi untuk keganasan dikaitkan dengan
pembentukan fistula pada sekitar 5% -10% pasien.8 Khususnya, pembedahan dan
anastomosis pada jaringan yang diiradiasi sebelumnya meningkatkan risiko
kebocoran anastomosis dan, selanjutnya, pembentukan fistula
b. Kejadian di Internasional
Secara internasional, frekuensi berbagai jenis fistula dapat bervariasi dalam
korelasinya dengan prevalensinya pada populasi yang berbeda. Misalnya, prevalensi
fistula sekunder akibat penyakit Crohn mungkin kurang lazim di Afrika terutama
karena penyakit ini kurang lazim pada populasi tersebut. Namun, prevalensi fistula
obstetrik mungkin lebih tinggi di negara berkembang karena persalinan macet
(termasuk malpresentasi dan disproporsi sefalopelvik) dan kurangnya akses cepat ke
perawatan obstetrik darurat. Tingkat prevalensi yang akurat dari fistula obstetrik tidak
tersedia, kemungkinan karena pelaporan kondisi medis yang tidak akurat dan stigma
dari gejala yang terkait.
c. Demografi terkait ras, jenis kelamin, dan usia
Perbedaan ras pada pasien dengan fistula umumnya sejajar dengan penyakit atau
kondisi yang mendasari yang mempengaruhi orang dalam populasi ras tertentu untuk
mengembangkan fistula. Misalnya, karena penyakit Crohn lebih sering terjadi pada
orang kulit putih, pasien dengan penyakit Crohn yang mengembangkan fistula lebih
cenderung berkulit putih. Berkenaan dengan prevalensi terkait jenis kelamin, fistula
colovesical lebih sering terjadi pada pria dan wanita yang telah menjalani
histerektomi. Fistula kolovaginal, tentu saja, hanya terjadi pada wanita. Sebaliknya,
fistula sama-sama lazim pada pria dan wanita. Seperti halnya ras, usia sejajar dengan
etiologi atau kondisi yang mendasari yang menjadi predisposisi pasien untuk
mengembangkan fistula.
3.1.5. Diagnosis
a. Anamnesis

Gejala disebabkan karena fistula melibatkan dua segmen dari usus yang bervariasi
tergantung dari lokasi fistula dan jumlah usus yang dilewatinya. Maka dari itu, fistula
enterocolon yang mengenai segmen usus yang endek dapat tidak memberikan gejala
apapun dan didiagnosa secara kebetulan berdasarkan temuan pencitraan atau pada
saat pemebedahan. Sebaliknya, fistula ileosigmoid dapat menimbulkan gejala seperti
diare, penurunan berat badan, ataupun nyeri abdomen.

Pasien dengan fistula gastrocolic dapat menunjukkan gejala nyeri abdomen,


penurunan berat badan, serta feculent belching.

Fistula enterovesical dan coclovesikal lebih mudah didiagnosis pada pasien


dengan gejala pneumaruria, fecaluria, dan infeksi saluran kemih yang berulang.

Pasien dnegan fistula rektovaginal serta anovaginal dapat besifat asimpotaik dan
ditemui gejala hanya pada saat pergerakan usus lebih cair. Kemunginan gejala
termasuk, tidak adanya feses atau gas, dispareunia, dan nyeri perianal. Pada pasien
dnegan abses perianal dan/atau fistula ani, American Society of Colon and Rectal
Surgeons mendapatkan diagnosis penyakit dengan menekankan gejala, faktor risiko,
lokasi, dan adanya selulitis sekunder, dan fistula ani.

Pasien dnegan fistula eksterna biasanya datang dengan gejala adanya cairan
keluar dari kulit. Pasien dengan fistula aortoenterika dapat mengeluhkan perdarahan.

b. Pemeriksaan Fisik
Keluaran cairan atau feses melalui kulit, diare, nyeri tekan perut, penurunan berat
badan, tanda-tanda malnutrisi, dan ketidakseimbangan elektrolit adalah semua
kemungkinan temuan pada pasien dengan fistula.
Perdarahan rektal mungkin ditemukan pada pasien dengan riwayat terapi radiasi.
Hipotensi dan perdarahan rektal dapat terjadi pada pasien dengan fistula aortoenterik.
3.1.6. Tata laksana

Periode manajemen nonoperatif fistula enterik, sementara memungkinkan


penutupan spontan fistula, juga memberikan waktu untuk mengoptimalkan status nutrisi
dan untuk menyembuhkan lokasi luka dari operasi awal pasien (jika fistula enterik terjadi
pasca operasi). Dengan demikian, pembedahan definitif untuk perbaikan fistula
umumnya ditunda selama beberapa bulan sampai defisit fisiologis telah dipulihkan dan
kondisi intra-abdomen tidak terlalu berbahaya. Namun, jika peritonitis difus dengan
sepsis yang sedang berlangsung, eksplorasi operasi segera mungkin diperlukan untuk
menstabilkan pasien.

Prosedur yang lebih disukai melibatkan eksisi saluran fistula, dengan reseksi
segmental usus yang terlibat dan anastomosis usus yang tersisa. [33] Jika abses tak
terduga ditemui atau kualitas dinding usus suboptimal, beberapa ahli bedah mungkin
menganggap anastomosis primer tidak aman, daripada memilih untuk melakukan
prosedur bertahap, dengan eksteriorisasi ujung usus selama prosedur pertama. Perbaikan
bertahap juga mungkin lebih tepat dalam kasus di mana keganasan lanjut atau perubahan
radiasi yang parah diharapkan. Jika prosedur dilakukan untuk keganasan, sebaiknya,
segmen usus yang terlibat diangkat ke margin negatif.

Dinding perut mungkin tidak dapat ditutup karena kurangnya fasia. Dalam kasus
ini, jerat biologis, yang dibuat dari dermis babi atau sapi, dermis kadaver manusia, atau
submukosa usus kecil babi, dapat digunakan untuk membantu menutup rongga perut.
Jerat-jerat ini tidak berisiko terinfeksi.

Abses perianal harus dikeringkan dan striktur anal melebar. Pasien dengan fistula
anal rendah dapat diobati dengan fistulotomi. Beberapa ahli bedah mendukung seton
noncutting, terutama dengan adanya peradangan aktif pada kolon rektosigmoid. Seton
noncutting dapat ditempatkan di saluran fistula pada pasien dengan peradangan rektum,
dan prosedur flap lanjutan endorektal untuk fistula perianal tinggi dan fistula rektovaginal
dapat dilakukan pada pasien tanpa peradangan rektum. Pilihan lain yang
mempertahankan fungsi sfingter adalah menggunakan sumbat fistula, yang menyediakan
matriks untuk penyembuhan jaringan lunak.

Jika fistula rektovaginal tetap ada setelah pasien menerima terapi medis dan
striktur anorektal atau penyakit rektal aktif tidak terbukti, maka perbaikan bedah dapat
dilakukan dengan (1) flap kemajuan transanal atau transvaginal atau (2) laparotomi
dengan penutupan primer atau kemajuan lengan. tutup. [36]

Pasien dengan fistula kolovesika hampir selalu dapat diobati dengan reseksi
segmen kolon yang terlibat dan reanastomosis primer, dengan atau tanpa penutupan defek
kandung kemih. Penyembuhan kandung kemih biasanya dikelola dengan mudah dengan
drainase kateter uretra sementara.

Insiden keseluruhan fistula aortoenterika telah berubah dengan munculnya


perbaikan endovaskular dari aneurisma aorta perut, tetapi standar kriteria tetap perbaikan
eksisi terbuka dan bypass ekstra-anatomi untuk revaskularisasi dalam kasus fistula
aortoenterik sekunder (yang terjadi setelah perbaikan terbuka dari aorta perut.
aneurisma). Perbaikan endovaskular fistula aortoenteric primer pada pasien berisiko
tinggi (yaitu, mereka yang berisiko untuk infeksi kronis endograft) telah dilaporkan.

3.1.7. Prognosis
Prognosis didasarkan pada etiologi fistula, serta komorbiditas pasien. Nyeri,
manajemen luka, pembentukan abses, infeksi lokal, defisiensi nutrisi, dan keadaan septik
berulang hanyalah beberapa konsekuensi fisik dari fistula usus. Baru-baru ini, tampak
bahwa fistula usus juga dapat dikaitkan dengan gangguan status koagulasi pada pasien
dengan Crohn Disease.8
Pasien dengan fistula kemungkinan besar hadir dengan lebih dari
ketidaknyamanan fisik dan rasa sakit. Stigma drainase fistula berbau busuk, malnutrisi,
dan tekanan emosional juga menyebabkan konsekuensi psikologis yang signifikan. Selain
itu, pasien dengan fistula pasca operasi memiliki tekanan tambahan dari rawat inap yang
lama di rumah sakit, morbiditas terkait, keterlambatan kembali bekerja, dan aktivitas
sosial yang terbatas. Kematian yang cukup besar dikaitkan dengan fistula, terutama dari
sepsis. 9
Dalam sebuah penelitian terhadap pasien yang mengalami fistula setelah
pankreatikoduodenektomi, faktor spesifik dikaitkan dengan peningkatan mortalitas.
Faktor-faktor ini termasuk situs fistula, penyakit yang mendasari, volume rumah sakit,
pengalaman ahli bedah, kehilangan darah intraoperatif yang tinggi, dan komplikasi. 9
Dalam sebuah penelitian retrospektif (2006-2014) yang mengevaluasi perjalanan
penyakit dan kebutuhan intervensi bedah pada 113 pasien Crohn dengan komplikasi
penetrasi ileum, serta faktor-faktor yang dinilai terkait dengan hasil pasca operasi yang
lebih buruk, keberadaan abses secara signifikan dikaitkan dengan kebutuhan untuk
operasi, dan ada peningkatan lima kali lipat dalam hasil pasca operasi yang tidak pasien
dengan albumin rendah. 10

Anda mungkin juga menyukai