Anda di halaman 1dari 6

4. A.

Agar putusan arbitrase internasional tersebut dapat diberlakukan di Indonesia, maka


terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Adanya Perjanjian Arbitrase yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa akan
diselesaikan melalui arbitrase;
2. Putusan dikeluarkan oleh arbiter dari suatu negara yang terikat hubungan secara bilateral
maupun multilateral dengan Indonesia (negara anggota Konvensi New York);
3. Ruang lingkup sengketa terbatas pada hukum perdagangan;
4. Putusan tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public order);
5. Mendapat surat perintah eksekusi (exequatur order) dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
6. Jika Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk dalam para pihak yang bersengketa, harus
memperoleh surat perintah eksekusi dari Mahkamah Agung yang selanjutnya akan
dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
B. Tahapan pelaksaan putusan arbitrase internasional terdiri atas 3 tahap , yaitu:
1. Tahap Penyerahan dan Pendaftaran Putusan
Arbiter atau kuasanya menyerahkan dan mendaftarkan Putusan kepada Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dengan melampirkan:
a. Lembar asli atau Salinan otentik Putusan;
b. Terjemahan resmi huruf a dalam Bahasa Indonesia;
c. Lembar asli atau Salinan otentik perjanjian arbitrase;
d. Terjemahan resmi huruf c dalam Bahasa Indonesia;
e. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di Negara tempat Putusan
dijatuhkan yang menyatakan bahwa benar Negara pemohon terikat secara bilateral maupun
multilateral dengan Indonesia.
2. Tahap Pemberian Eksekuatur.
Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur) terhadap
Putusan, diwajibkan terlebih dulu untuk memeriksa secara substantif, apakah Putusan
tersebut:
a. Melebihi kewenangan arbiter;
b. Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan;
c. Telah memenuhi syarat dalam ruang lingkup perdagangan dan sengketa yang tidak boleh
didamaikan;
d. Tentang hak dalam kekuasaan para pihak.
3. Tahap Eksekusi Putusan.
Dalam hal salah satu pihak adalah Negara Republik Indonesia, surat perintah eksekusi
dikeluarkan oleh Mahkamah agung, kemudian pelaksanaannya dilimpahkan kepada ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika Negara Republik Indonesia tidak menjadi pihak di
dalam sengketa, permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional diputus oleh Ketua
Pengadilan Jakarta Pusat yang kemudian mengeluarkan Surat Perintah Eksekusi, dan
pelaksanaannya akan dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif
berwenang melaksanakannya. Berdasarkan UU Arbitrase, tata cara pelaksanaan putusan
arbitrase dilakukan dengan berpedoman kepada Hukum Acara Perdata yang berlaku, sebagai
berikut:
a. Peringatan/teguran aanmaning);
b. Sita eksekusi (executorial beslag);
c. Penjualan/lelang;
d. Pengosongan. MPW/VKA

3. Kini Arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan


yang cukup populer di kalangan bisnis. Aturan main tentang arbitrase di Indonesia
diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).
Dalam banyak literatur dikatakan hal yang menjadi kelebhan dari forum arbitrase
dibandingkan lembaga peradilan adalah:

1. Kerahasiaan sengketa tetap terjamin;

Lembaga arbitrase dan para arbiter terikat janji suci kerahasiaan terhadap
seluruh kasus arbitrase yang ditanganinya. Sehingga, kasus yang masuk di
arbitrase tidak tercium oleh media dan publik. Dalam bisnis hal ini akan
sangat menguntungkan. Apalagi bagi bisnis yang berkaitan dengan
konsumen akhir. Pemberitaan soal sengketa sangat buruk bagi bisnis
mereka.

2. Sidang arbitrase tepat waktu sesuai jadwal;

Dengan adanya ketepatan waktu, maka keterlambatan yang diakibatkan


karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari. Bagi bisnis, hal ini
sangat berarti sekali. Tidak perlu buang waktu dan lebih hemat biaya, apalagi
jika menggunakan jasa lawyer dengan hourly-basis.

3. Arbiter tidak hanya berpengalaman namun memiliki keahlian terkait sengketa


bisnis;

Salah satu syarat menjadi arbiter adalah memiliki pengalaman setidaknya 15


tahun dalam satu bidang yang menjadi keahliannya. Sehingga, dengan jam
terbang dan fokus terhadap keahliannya, seorang arbiter dinilai lebih memiliki
skill yang mumpuni dibandingkan hakim di pengadilan negeri yang
berhadapan dengan berbagai kasus baik perdata maupun pidana. Terlebih
lagi, para pihak dapat memilih sendiri arbiter yang akan menangani
perkaranya sesuai dengan latar belakang dan keahlian arbiter.

4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya;

Dalam arbitrase, diberikan keleluasaan menentukan pilihan hukum acara


sebagai prosedur penyelesaiaan di arbitrase. Namun hukum materiil terkait
kasus tersebut tetap berpegang pada kontrak bisnis yang telah disepakati dan
menjadi panduan para pihak dalam berbisnis.

5. Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase;

Yang menjadi seat atau tempat berarbitrase dapat disepakati sendiri oleh
para pihak. Jadi tidak melulu harus didasarkan pada dimana domisili dari
lawan atau counterpart bisnis. Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan Pasal
180 (1) HIR yang menentukan bahwa gugatan diajukan pada pengadilan
negeri yang memiliki yurisdiksi sesuai domisili tergugat.

6. Putusan arbitrase merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak.

Secara umum, putusan arbitrase diperiksa dan diputus dalam jangka waktu 6
bulan dan putusan nya bersifat final dan mengikat. Sehingga tidak ada lagi
pengajuan banding dan kasasi terhadapnya. Walau masih terbuka upaya
pembatalan putusan arbitrase di pengadilan negeri atau bahkan upaya
penundaan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase. 
Namun disamping kelebihannya, ada beberapa hal yang dinilai sebagai kelemahan
arbitrase, yaitu antara lain:

1. Biaya arbitrase dinilai lebih mahal dari pengadilan negeri;

Sebagai ilustrasi, di bawha ini adalah penetapan biaya arbitrase di Badan


Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

a. Biaya Pendaftaran: Rp 2.000.000,- (dibayarkan pada saat pendaftaran


permohonan arbitrase)
b. Biaya Administrasi, biaya Pemeriksaan dan biaya arbiter masing-masing
untuk Konpensi dan Rekonpensi dan Arbiter sebagai berikut:

BIAYA ADMINISTRASI PENYELESAIAN PERKARA DI BANI


Nilai Tuntutan (dalam Rupiah) Biaya
A Kurang dari 500.000.000 10.0 %
B*
  500.000.000 9.0 %
)
C*
1 1.000.000.000 8.0 %
)
  2 2.500.000.000 7.0 %
  3 5.000.000.000 6.0 %
  4 7.500.000.000 5.0 %
  5 10.000.000.000 4.0 %
  6 12.500.000.000 3.5 %
  7 15.000.000.000 3.2 %
  8 17.500.000.000 3.0 %
  9 20.000.000.000 2.8 %
  10 22.500.000.000 2.6 %
  11 25.000.000.000 2.4 %
  12 27.500.000.000 2.2 %
  13 30.000.000.000 2.0 %
  14 35.000.000.000 1.9 %
  15 40.000.000.000 1.8 %
  16 45.000.000.000 1.7 %
  17 50.000.000.000 1.6 %
  18 60.000.000.000 1.5 %
  19 70.000.000.000 1.4 %
  20 80.000.000.000 1.3 %
  21 90.000.000.000 1.2 %
22 100.000.000.000 1.1 %
23 200.000.000.000 1.0 %
24 300.000.000.000 0.9 %
25 400.000.000.000 0.8 %
26 500.000.000.000 0.6 %
D* 1.
Lebih dari 500.000.000.000
)
 Biaya ini dibayarkan setelah BANI menerbitkan surat penagihan kepada para
pihak.
adapun biaya tersebut belum termasuk:

a. Biaya pemanggilan, transportasi dan honorarium saksi dan/atau tenaga


ahli.

Biaya ini menjadi beban pihak yang mengajukan saksi dan atau tenaga
ahli tersebut atau menjadi beban para pihak bila saksi dan/atau tenaga
ahli tersebut bukan merupakan saksi dan/atau tenaga ahli yang
diajukan para pihak namun diminta untuk dihadirkan dan ditunjuk oleh
Majelis Arbitrase. Biaya untuk saksi dan atau tenaga ahli yang diminta
untuk dihadirkan dan ditunjuk oleh Majelis Arbitrase harus dibayarkan
terlebih dahulu kepada BANI sebelum saksi atau tenaga ahli tersebut
didengar kesaksiannya.

b. Biaya transportasi, akomodasi dan biaya tambahan (bila ada)

Untuk arbiter yang berdomisili diluar tempat kedudukan sidang terkait.


Biaya ini menjadi tanggungan pihak yang menunjuk/memilih arbiter
tersebut dan ditentukan besarannya oleh BANI serta dibayarkan
kepada yang bersangkutan melalui BANI.
c. Biaya persidangan yang dilakukan di tempat selain tempat yang
disediakan oleh BANI.

Biaya ini meliputi biaya tempat persidangan, transportasi dan


akomodasi bila diperlukan serta menjadi beban pihak yang meminta
atau menjadi beban para pihak apabila atas permintaan Majelis
Arbitrase yang bersangkutan.

d. Biaya penyerahan/pendaftaran putusan di Pengadilan Negeri terkait.


b. Memiliki Ketergantungan kepada pengadilan untuk melaksanakan eksekusi

Mengingat sifat kelembagaannya yang merupakan peradilan semu (quasi


judicial), maka untuk eksekusi putusan tetap membutuhkan bantuan lembaga
peradilan umum. Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, sebelum
dilaksanakan harus terlebih dahulu didaftarkan di pengadilan negeri. Hal ini
menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa
terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Oleh karena itu, putusan
arbitrase akan efektif dilaksanakan jika para pihak memiliki iktikad baik dalam
melaksanakan putusan tersebut.

c. Upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase kadang mengalami kendala di


lapangan

Walaupun pengaturan tentang eksekusi putusan arbitrase nasional maupun


internasional sudah cukup jelas di dalam UU Arbitrase, namun masih terdapat
hambatan pelaksanaannya. Dalam praktik, pihak yang dihukum untuk
membayar ganti kerugian melakukan berbagai upaya perlawanan sehingga
dapat menunda pelaksanaan eksekusi terhadap putusan arbitrase
2. Penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga arbitrase dilakukan dengan dua cara yaitu melalui factum de
compromittendo, sebelum terjadi sengketa klausula arbitrase telah dicantumkan dalam perjanjian pokok, atau
melalui akta kompromis setelah terjadi sengketa klausula arbitrase dibuat dalam bentuk tertulis terpisah dari
perjanjian pokok. Sedangkan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase menurut Pasal 27 sampai
dengan 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan memiliki keputusan lembaga arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, para pihak harus terikat dalam putusan arbitrase
tersebut, walaupun pada tahap eksekusinya masih memerlukan keterlibatan Pengadilan Negeri. (2) Eksekusi
putusan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis sebagaimana diatur dalam Pasal 59 sampai
dengan 64 dari UU No. 30 Tahun 1999 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter
kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk dilakukan pengujian syarat formil dan syarat materil oleh Ketua
Pengadilan Negeri yang menjadikan putusan lembaga arbitrase memiliki kekuatan hukum mengikat yang
bersifat final and binding.

1.

Tendean Square Kav. 17 - 18


Jl. Wolter Monginsidi No. 122-124 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12170 Indonesia
 telepon+6221 7278 7678 |  +62 21 7279 5001
 

 fax+62 21 723 4151


 

 emailconnect@ap-lawsolution.net
 
 hotline+628118800427

Anda mungkin juga menyukai