Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

1.1 DEFINISI DAN UNSUR PAJAK

Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Pengertian pajak yang berlaku saat ini didefinisikan dalam Undang-undang nomor 28
tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi sebagai
berikut : Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur:


1. Iuran dari rakyat kepada negara.
Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan
barang).
2. Berdasarkan Undang-Undang.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individu oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran
bagi masyarakat luas.

1.2 DASAR HUKUM PAJAK

Hukum pajak adalah “merupakan keseluruhan peraturan yang meliputi perundang-


undangan, yang mengatur mengenai wewenang pemerintah untuk memungut sebagian
2

kekayaan seseorang atau badan, kemudian mengeluarkan kembali untuk kepentingan


masyarakat melalui kas negara.”

1.3 SYARAT PEMBUATAN UNDANG-UNDANG PAJAK

Dalam menetapkan fungsi dan citra hukum pajak, maka terdapat beberapa syarat dalam
pembuatan undang-undang pajak yaitu :
a) Syarat Yuridis, yaitu sesuai dengan UUD 1945 pasal 23 ayat 2 bahwa: “segala
pajak untuk keperluan negara diatur berdasarkan Undang-undang”.
b) Syarat Ekonomi, yaitu pembuatan undang-undang perpajakan harus dapat
mencerminkan keseimbangan yang mendukung perkembangan kehidupan
perekonomian masyarakat, hal ini sesuai dengan fungsi pajak yang mengatur.
c) Syarat Sosiologis, yaitu dalam menerapkan undang-undang perpajakan selayaknya
berorientasi kepada aspek-aspek yang berhubungan dengan adanya kepentingan
masyarakat dan penggunaan hasil penerimaan pajak adalah untuk kepentingan
masyarakat secara luas.

d) Syarat Finansial, yaitu hasil pemungutan pajak harus dapat mencukupi dan
mendukung pengeluaran-pengeluaran negara, baik untuk pengeluaran rutin maupun
untuk pengeluaran pembangunan.

Selain itu prosedur administrasi penagihan pajak harus bersifat efisien dan efektif.

Adam Smith dalam bukunya “Wealth of Nation” mengatakan bahwa supaya peraturan
pajak yang dibuat itu adil, harus memenuhi 4 syarat seperti berikut :

a) Equality dan Equity, yaitu:


Equality berarti adanya suatu kesamaan dalam beban pajak. Dimana subjek pajak yang
mempunyai kondisi social ekonomi yang sama, maka pajak dikenakan beban pajak
yang sama.
Equality mengandung sifat yang non-discrimination, yaitu tidak memandang status
subjek pajak karena orang asing maupun orang Indonesia akan dikenakan pajak sesuai
dengan ketentuan Undang-undang perpajakan yang berlaku.
Sedangkan Equity dapat diartikan sebagai keadilan yang bersifat umum, walaupun
pengertian keadilan sangat relatif serta dipengaruhi oleh aspek tempat, waktu dan
ideologi yang melandasinya. Karena negara Indonesia mempunyai ideologi Pancasila,
maka pengertian keadilan ini sesuai dengan falsafah Pancasila.
3

b) Certainty, yaitu suatu kepastian hukum, dimana setiap Undang-undang perpajakan dan
ketentuan perpajakan harus mengandung kepastian hukum, baik untuk para wajib
pajak, untuk negara dan aparat pajak yang melaksanakan tugas pemungutan pajak.

c) Convenience of Payment, yaitu saat pemungutan pajak harus tepat sesuai dengan
kondisi ekonomi para wajib pajak yang memungkinkn dapat membayar hutang
pajaknya.

d) Economic of Collection, yaitu dalam menetapkan biaya pemungutan pajak harus


diperhitungkan secara sempurna, agar tidak terjadi pengeluaran biaya pemungutan
lebih besar daripada jumlah pajak yang diterimanya.

1.4 FUNGSI PAJAK

Fungsi pajak dalam masyarakat suatu negara terbagi dalam 2 jenis fungsi yaitu :

1. Fungsi Budgeter yaitu fungsi pajak yang bertujuan untuk memasukkan penerimaan
uang untuk kas negara sebanyak-banyaknya dalam mengisi RAPBN, sesuai dengan
target penerimaan pajak yang telah ditetapkan. Fungsi Budgeter ini berlaku baik
penerimaan pajak pusat dalam APBN maupun untuk penerimaan pajak daerah dalam
APBD.
Tujuannya secara budgeter yaitu agar supaya terdapat posisi anggaran pendapatan dan
pengeluaran yang berimbang (balanced-budget)

2. Fungsi Regulered (mengatur) yaitu fungsi tidak langsung untuk memasukkan uang
sebanyak mungkin, tetapi pajak dipakai sebagai alat untuk menggerakkan sarana
perekonomian yang produktif karena adanya fasilitas-fasilitas pajak, maka kondisi
demikian dapat menumbuhkan objek pajak dan subjek pajak baru yang lebih banyak
lagi sehingga tumbuhnya basis pajak lebih meningkat. Dengan demikian peranan
fungsi regulerend, dipakai sebagai alat :
a. Memberikan proteksi terhadap barang-barang hasil produksi dalam negeri,
misalnya dengan mengenakan PPN dan Pajak Penjualan yang tinggi untuk barang-
barang yang tertentu.
b. Pajak dapat dipakai untuk menghambat lajunya inflasi yaitu hasil penerimaan pajak
dengan penggunaan yang tepat, merupakan suatu alat yang ampuh dan aman untuk
mengatur posisi ekonomi dan moneter nasional.
4

c. Pajak dipakai sebagai alat untuk mendorong volume ekspor, seperti pada PPN
Ekspor menurut UU PPN dikenakan tarif 0%. Dengan demikian kegiatan ekspor
dapat lebih meningkat, sehingga menambah volume untuk penerimaan negara.
d. Untuk menarik investasi modal yang dapat menunjang pengembangan sarana
perekonomian yang produktif.
Hal ini pernah diterapkan di Indonesia dalam Undang-undang PMA (Penanaman
Modal Asing) nomor 1 tahun 1967, dengan tujuan menarik investasi modal asing
dari luar negeri (foreign private investment) dan UU nomor 6 tahun 1968 tentang
penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

1.5 GOLONGAN PAJAK

a. Pajak Langsung (PL) dan Tidak Langsung (PTL)


Pajak Langsung yaitu pajak-pajak yang pembebanannya langsung dipikul oleh wajib
pajak yang bersangkutan atas objek pajak yang merupakan penghasilannya, dan tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan, pajak langsung secara administratif mempunyai kohir.

Pajak Tidak Langsung yaitu pajak-pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan


atau digeserkan (tax-incidence) kepada pihak lain. Pada umumnya para produser
dapat melimpahkan beban pajaknya kepada konsumen yang merupakan penggeseran
kedepan (forward shifting).

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

b. Pajak Pusat dan Pajak Daerah


Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya
dibawah wewenang Pemerintah Pusat Dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Sedangkan Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, baik
tingkat provinsi, kota atau kabupaten. Jenis Pajak daerah antara lain :
1. Pajak Pembangunan
2. Pajak Kendaraaan Bermotor
3. Bea Balik Nama
5

1.6 TIMBUL DAN BERAKHIRNYA HUTANG PAJAK

a) Timbulnya Hutang Pajak


Karena pemungutan pajak berdasarkan Undang-undang dan dapat dipaksakan, maka
timbulnya Pajak terjadi karena adanya peristiwa, kejadian, atau perbuatan hukum
yang dapat menimbulkan objek pajak dan dapat dikenakan pajak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Menurut faham materiil, timbulnya hutang pajak bukan
karena ketetapan fiskus, tetapi karena adanya undang-undang yang berlaku. Jadi
tanpa adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP), asal ada objek pajak, maka sudah
memenuhi syarat timbunya Hutang Pajak.
Sedangkan menurut faham Formil timbulnya hutang baru dapat diketahui bila sudah
diketahui jumlah yang merupakan objek pajak. Sesudah itu baru dapat dilakukan
penagihan pajak. Faham ini sifatnya pasif dan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
ekonomi dan kebijaksanaan keuangan pemerintah.
Untuk menetapkan besarnya Pajak Terhutang harus diperhatikan unsur-unsur
penghasilan atau objek pajak yang merupakan Penghasilan yang Tidak Kena Pajak
(PTKP) sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

b) Berakhirnya Hutang Pajak


Hutang Pajak yang timbul, maka pada saat tertentu hutang pajak tersebut akan
berakhir karena :
1. Telah dilaksanakan pembayaran hutang pajak tersebut pada waktunya ke Kas
Negara, melalui Giro Pos atau bank yang ditunjuk.
2. Dilakukan kompensasi pembayaran antara kelebihan pembayaran pajak dalam
suatu tahun pajak dengan pajak yang terhutang dan harus dibayar dalam tahun
yang bersangkutan.
3. Penghapusan hutang pajak yang terjadi bilamana wajib pajak mengalami keadaan
pailit yang dinyatakan pengadilan, maka hutang pajak yang masih harus dibayar
baik sebagian maupun sepenuhnya sesuai dengan ketetapan fiskus yang
dihapuskan.
4. Lewat Waktu (Daluarsa), yang menurut ketentuan dalam Undang-undang
Perpajakan Indonesia ditetapkan bilamana hutang pajak tersebut tidak ditagih
oleh fiskus setelah lewat 10 tahun sesudah saat pajak atau tahun pajak. Undang-
6

undang nomor 28 tahun 2007 menetapkan lewat waktu (daluwarsa) pajak adalah
untuk masa 5 tahun.
5. Adanya pembebasan-pembebasan dalam hutang pajak pada umumnya hanya
mengenai jumlah kenaikan hutang pajak yang disebabkan karena adankya denda
keterlambatan pembayaran pajak dan denda administrasi.
Hal ini secara teknis diatur dalam ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.

1.7 TEORI-TEORI YANG MENDUKUNG PEMUNGUTAN PAJAK

Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak ? Terdapat beberapa
teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada Negara untuk
memungut pajak. Teori-teori antara lain adalah :

1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena
itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai premi asuransi karena
memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya
perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap
Negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.

3. Teori Daya Pikul


Beban untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai
dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan
dua pendekatan yaitu :
• Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki
oleh seseorang.
• Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi.

Contoh :
Tuan A Tuan B
Penghasilan / bulan Rp 4 juta Rp 4 juta
Status menikah dengan 3 anak bujangan
7

Secara objektif, pajak untuk tuan A sama besarnya dengan tuan B, karena mempunyai
penghasilan yang sama besarnya.
Secara subjektif PPh untuk tuan A lebih kecil daripada tuan B, karena kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi tuan A lebih besar.

4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya.
Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran
pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

5. Teori Asas Daya Beli


Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak
berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara.
Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan.

1.8 KEDUDUKAN HUKUM PAJAK

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. Hukum Pajak mempunyai kedudukan di antara
hukum-hukum sebagai berikut :

1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut ;
• Hukum Tata Negara
• Hukum Tata Usaha (Hukum Administrasi)
• Hukum Pajak
• Hukum Pidana

Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik. Dalam
mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex Specialis derogate Lex
Generalis, yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan dari pda peraturan umum atau
jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur dalam peraturan khusus, maka akan berlaku
ketentuan yang diatur dalam peraturan umum. Dalam hal ini peraturan khusus adalah
hukum pajak, sedangkan peraturan umum adalah hukum publik.
8

Hukum pajak menganut paham Imperatif, yakni pelaksanaannya tidak dapat ditunda.
Misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari Direktoral Jenderal
Pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang mengajukan keberatan
terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan yang telah ditetapkan. Berbeda dengan
hukum pidana yang menganut paham oportunistis, yakni pelaksanaanya dapat ditunda
setelah ada keputusan lain.

1.9 TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK

1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel :
a. Stelsel riil (riel stelsel) :
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutan itu baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah
penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan
atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan
lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajaknya baru dapat dikenakan
pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).

b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) :


Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-
undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun
sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan berdasarkan
pajak terutang untuk tahun berjalan.

c. Stelsel campuran :
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada
awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada
akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. Bila
besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan,
maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya
dapat diminta kembali.

2. Asas Pemungutan Pajak


a. Azas domisili (azas tempat tinggal)
9

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam
maupun di luar negeri, asa ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.

b. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber diwilayahnya
tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.

c. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara. Misalnya pajak
bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku
untuk Wajib Pajak luar negeri.

3. Sistem Pemungutan Pajak


a. Official Assessment System
Adalah suatu system pemungutan yang memberik wewenang kepada wajib
(Fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya : - Wewenang untuk menentukan besarnya pajak ada pada fiskus.
- Wajib Pajak bersifat pasif.
- Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak.

b. Self Assessment System


Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib
Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya : - Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak Sendiri.
- Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
- Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

c. With Holding System


Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak
ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-cirinya : - Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
10

1.10 HAMBATAN PEMUNGUTAN PAJAK


Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi :

1. Perlawanan pasif : masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat


disebabkan antara lain, - Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
- Sistem perpajakan yang sulit dipahami.
- Sistem kontrol tidak dapat dilakukan dengan baik.

2. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya :
a. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggarkan
Undang-undang.
b. Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar Undang-
undang (menggelapkan pajak).

1.11 TARIF PAJAK

Ada 4 macam tarif pajak :

1. Tarif sebanding/proporsional :
Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlahnya yang dikenai
pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai
yang dikenal pajak.
Contoh : Untuk menyerahkan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%

2. Tarif tetap :
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap beberapa jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contohnya : Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nominal
berapapun adalah Rp. 6.000,-

3. Tarif progresif :
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.
11

Contoh : Pasal 17 Undang-undang RI Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak


Penghasilan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

4. Tarif degresif :
Persentase tariff yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar.

Anda mungkin juga menyukai