5
Menurut Abu Zahrah, qawaid fiqhiyyah adalah kumpulan-
kumpulan hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi
yang mengumpulkannya.
Menurut Musthafa az-Zarqa qawaid fiqhiyyah adalah dasar-
dasar fikih yang kulli dan menggunakan redaksi-redaksi yang
singkat bersifat undamg-undang serta mencakup hukum syara’
umum tentang peristiwa-peristiwa yang masuk dalam ruang
lingkupnya.
7
maka kaidah tersebut dapat diterapkan dalam beberapa bab fiqih
seperti bersuci, sholat, puasa, zakat dan lain-lain. Contoh dzabith
َّ اَل ُ
adalah (الص ِة؛ ُي ْع َت َب ُر ِفي ُس ُج ْو ِد ك ُّل َم ا ُي ْع َت َب ُر ِفي ُس ُج ْو ِد
ّ اَل
)الت َو ِة ِ maka, hal tersebut hanya husus dalam bahasan sholat,
bukan pada bab fiqhih yang lainnya.
8
d. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang
diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah
mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah, meskipun
dengan cara yang tidak langsung
Menurut Imam Ali an-Nadwi (1994)
a. Mempermudah dalam menguasai materi hukum
b. Membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan fiqh yang
banyak diperdebatkan
c. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi
(ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan
baru.
d. Mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti
(memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari
tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik
e. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan
bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling
berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
f. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena
kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-
macam
F. Urgensi Qawaid Fiqhiyyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh
Islam untuk memahami dan menguasai maqashid as-syariah,
karena dengan mendalami beberapa nash, ulama dapat
menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa
persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah
fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan
persoalan yang terjadi dan belum ada ketentuan atau kepastian
hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya berkata bahwa nash-
nash tasyri’ telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam
undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-
undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang
menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyri’ yang kulli
yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
9
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya
kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai
klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan
berpegang pada kaidah-kaidah fiqh, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdis Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqh adalah sebagai suatu jalan
untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta
bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qarafy dalam
al-Furuqnya menulis bahwa seorang faqih tidak akan besar pengaruhnya
tanpa berpegang pada kaidah fiqh, karena jika tidak berpegang pada
kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak pertentangan dan berbeda
antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqh tentunya
mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
G. Kedudukan Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Hujjah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan
sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-
Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil
pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya
ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil
pelengkap.
2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan
sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua
dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang
kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-
Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh
dijadikan dalil mandiri.
Namun al-Hawani menolak pendapat Imam al-Haramain al-
Juwaini. Menurutnya, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak
dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada
umumnya, aghlabiyah atau aktsariyah. Oleh karena itu, setiap kaidah
mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian
yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian
tersebut, maka mengambil sikap bahwa kaidah fiqh tidak dapat
10
dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang
lebih bijak.
Kedudukan kaidah fiqh dalam konteks studi fiqh adalah simpul
sederhana dari masalah-masalah fiqh yang begitu banyak. As-Syaikh
Ahmad bin as-Syaikh Muhammad az-Zarqa berpendapat sebagai
berikut: “Kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang
bersifat furu’iyyah akan tetap bercerai berai.”
Dalam konteks studi fiqh, al-Qarafi menjelaskan bahwa syariah
mencakup dua hal: pertama, ushul; dan kedua, furu’. Ushul terdiri atas
dua bagian, yaitu ushul fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan
yang bersifat kebahasaan, dan kaidah fiqh yang di dalamnya terdapat
pembahasan mengenai rahasia-rahasia syariah dan kaidah-kaidah dari
furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
H. Perbedaan Qawaid Ushuliyah dengan Qawaid Fiqhiyyah
1. Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah
fiqih adalah perbuatan mukallaf.
2. Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi seluruh juziyyah,
sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar
(aghlab) juziyyah.
3. Qawaid ushuliyyah, sebagai saran istinbath hukum,
sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan
mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan
pemahaman fiqih.
4. Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid
fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’
5. Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan qaidah fiqih bersifat
ukuran.
6. Qawaid ushuliyyah muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan
kaidah fiqh muncul setelah furu’.
Adapun persamaan antara kaidah ushul fiqh dengan kaidah fiqh
adalah keduanya sama-sama sebagai metodologi hukum Islam
13
h. Asbah wa nadhair karya as-Suyuthi (911 H) Nama lengkapnya
adalah Abd al-Rahman bin Abi Bakar bin Muhammad, yang
diberi gelar Jalaluddin dan terkenal dengan nama al-Sayuthiy
al-Syafi’i. Dimulai dengan menjelaskan lima kaidah pokok, 40
kaidah aghlabiyah, kemudian dijelaskan kaidah-kaidah fikih
yang masih diikhtilafkan ulama yang terdiri dari 20 kaidah.
i. Al Istighna karya Sulaiman Al Bakary (1411 H). Dalam kitab
tersebut dijelaskan tentang kaidah dan dhabith-nya serta
kekecualiannya, yaitu masalah fikih yang tidak termasuk di
dalam kaidah atau dhabith tersebut.
4. Sumber-sumber kaidah fiqh mazhab Hambali
a. Al Qawaid An-Nuraniyah A- fiqhiyyah karya Ibn Taimiyah
(728 H)
b. Al Qawaid Al-Fiqhiyyah karya Ahmad Ibn Hasan (771 H)
c. Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid karya Ibn Rajab (795
H), memuat 160 kaidah fiqh.
d. Al-Qawaid al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyyah karya
Yusuf Ibn Hasan (909 H)
e. Qawaid Majallat al-Ahkam as-Syariyah ala Mazhab Imam
Ahmad ibn Hanbal karya Ahmad Ibn Abdullah Al-Hanafi
(1359 H)
5. Pada masa sekarang banyak kitab-kitab kaidah fiqh yang ditulis:
a. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah oleh Ali Ahmad an-Nadwi.
b. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh
Muhammad Zarqa.
c. Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh.
Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
d. Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah oleh Syekh Abdullah bin Said
Muhammad Ibadi.
e. Kaidah-Kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman
f. Kaidah Fikih oleh Jaih Mubarok
g. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah oleh Mushlih Usman
h. Kaidah-kaidah Fikih oleh H.A. Djazuli
i. Sistematika Teori Hukum Islam oleh Muhammad Ma’sum Zein
j. Pengantar memahami nadham Faraidul Bahiyyah oleh
Muhammad Ma’sum Zein
k. 99 Kaidah Kulliyah Muamalah oleh Abbas Arfan.
l. Formulasi Nalar Fiqh oleh Tim Kaki Lima MHM Lirboyo.
14
m. Kaidah-Kaidah Fikih oleh M Kurdi Fadhal.
n. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah oleh Ahmad Musadad dll
15
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh
pada dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu:
َ َ َﺩ ْﺭ ُﺀ ﺍﻤْﻟ َ َﻔﺎﺳﺪ ُﻣ َﻘ َّﺪ ٌﻡ َﻋ َﻠﻰ َﺟ ْﻠﺐ ﺍﻤْﻟ
ﺼ ِﺎﻟ ِﺢ ِ ِ ِ
Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat.
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan
kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan
dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
b. Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh
seluruh aliran hukum Islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
ّ ال ب ْ َ َّ أْل
1) ات ِ ِ ُ " ِإن َم ا ا ع َمAmal
ِ الن َّي perbuatan itu tergantung
niatnya”
َّ “ َا ْل َيق ْي ُن اَل َي ُز ْو ُل بSesuatu yang yakin tidak bisa
2) الش ِّك ِ ِ
hilang dengan keraguan”
َّ َّق ُة َت ْجل ُب َ َ َمْل
3) ْي َر الت ْي ِس ِ “ ا شKesulitan membawa
kemudahan”
اَل َ “ اَلTidak boleh membuat sesuatu yang
4) ض َر َر َو ِض َر َار
membahayakan”
ٌ َّ ُ َْ
5) “ ال َع َادة ُم َحك َم ةSebuah adat kebiasaan itu bisa
dijadikan sandaran hukum”
c. Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
adalah ” Majallah al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di
abad XIX M, oleh Lajnah Fuqaha Utsmaniah.
16
َ َ َﺩ ْﺭ ُﺀ ﺍﻤْﻟ َ َﻔﺎﺳﺪ ُﻣ َﻘ َّﺪ ٌﻡ َﻋ َﻠﻰ َﺟ ْﻠﺐ ﺍﻤْﻟ
ﺼ ِﺎﻟ ِﺢ ِ ِ ِ
Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Kaidah dikemukakan oleh Izzuddin bin Abdul as-Salam di
dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam.
Beliau mengatakan bahwa seluruh syariah itu adalah
maslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan
meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa
kepada kemaslahatan, adapula yang menyebabkan mafsadat.
Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syariah dan seluruh
yang mafsadat dilarang oleh syariah.
b. Kaidah asasiyah khamsah, jumlah kaidah asasiah ini ada 5
macam, yaitu:
ّ ال ب َ ْ َ " إ َّن َم ا اأْلAmal perbuatan itu tergantung
1) ِ الن َّي
ات ِ ِ ُ م ع ِ
niatnya”
َّ “ َا ْل َيق ْي ُن اَل َي ُز ْو ُل بSesuatu yang yakin tidak bisa
2) الش ِّك ِ ِ
hilang dengan keraguan”
َّ “ اَمْل َ َش َّق ُة َت ْجل ُبKesulitan
الت ْي ِس ْي َر
3) ِ membawa
kemudahan”
اَل َ اَل
4) ض َر َر َو ِض َر َار “Tidak boleh membuat sesuatu yang
membahayakan”
ٌ َّ ُ َْ
5) “ ال َع َادة ُم َحك َم ةSebuah adat kebiasaan itu bisa
dijadikan sandaran hukum”
17
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih
sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini
hanya berlaku dalam cabang fiqh tertentu, yaitu :
a. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
b. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang ahwal syakhshiyah
c. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
d. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
e. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
f. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum
acara)
Kaidah
Fiqh Qanun
Fiqh
6 7 8
Pengujian Kaidah
18
2. Kemudian muncul ushul fiqh sebagai metodologi istinbath al-
ahkam. Dengan metodologi usul fiqh yang menggunakan pola pikir
deduktif1 akhirnya menghasilkan fiqh;
3. Fiqh ini banyak materinya. Dari materi fiqh yang banyak itu
kemudian ulama'-ulama' yang dalam ilmunya dibidang fiqh, meneliti
persamaannya dengan menggunakan pola pikir induktif2, kemudian
dikelompokkan. Tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari
masalah-masalah serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah-
kaidah fiqh;
4. Selanjutnya kaidah-kaidah itu dikritisi kembali dengan
menggunakan banyak nash, terutama untuk dinilai kesesuaiannya
dengan substansi nash. Pada posisi bagan keempat ini kaidah fikih
masih bersifat ikhtilaf sebab belum dikroscek dan belum diuji
kesesuaiannya dengan substansi nash.
5. Apabila sudah dianggap sesuai dengan nash, baru kaidah fiqh
tersebut menjadi kaidah yang mapan;
6. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan/ akurat, maka ulama'-
ulama' fiqh menggunakan kaidah tadi untuk menjawab tantangan
perkembangan masyarakat, baik di bidang sosial, politik, ekonomi,
budaya, akhirnya memunculkan fiqh-fiqh baru;
7. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ulama' memberi
fatwa dalam hal-hal yang baru, yang praktis selalu menggunakan
kaidah-kaidah fiqh yang telah mapan tersebut. 3
8. Akhirnya kaidah-kaidah fiqh yang telah mapan tersebut menjadi
Qanun.4
1
Analisis data–data (yang diambil dari nash yang sahih) yang bersifat khusus kemudian
digeneralkan, diumumkan.
2
Analisis data-data (yang diambil dari nash yang sahih atau kaidah ushul fiqh dan permasalahn
fiqh) yang bersifat umum kemudian dikhususkan.
3
Sesuai dengan nash
4
Menjadi undang-undang, peraturan, norma, kaidah yang dita'ati.
19
a) Zaman Rasululah SAW
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai
kaidah fiqh, yaitu :
ُ َ َ َْ
َّ اج ب
الض َم ِان
- ِ الخر
Hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian.
(HR. Imam Syafi’I, Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu
Majah dan Ibnu Hibban dari ‘Aisyah)
َْ
- ال َع ْج َم ُاء َج ْر ُح َها ُج َّب ٌار
Kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri
tidak dikenakan ganti rugi
-
َ َ اَل
ض َر َر َوال ِض َر َار
Tidak boleh menyulitkan diri sendiri dan tidak boleh
menyulitkan orang lain
َ َْ ْ
عى َوال َي ِم ْي ُن َع َلى َم ْن انك َر َّ ُ َا ْل َب ّي َن ُة َع َلى امْل
د
- ِ ِ
Bukti bagi penggugat dan sumpah bagi yang mengingkari.
dll.
b) Zaman Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta
membentuk kaidah fiqh.
- Pernyataan Umar bn Khattab:
ُّ َم َقاط ُع ْال ُح ُق ْوق ع ْن َد
الش ُر ْو ِط ِ ِ ِ
Putusnya hak itu tergantung pada syarat yang telah
diperbuat).
Atsar Umar bin Khatab RA di atas menjadi kaidah dalam
masalah syarat..
- Pernyataan Ali bin Abi Thalib RA (w. 40 H) yang
diriwayatkan oleh Abd ar-Razaq (w. 211 H):
َ َ َ ان
علي ِه
َ الر ْب َح َفاَل
َ ض َم َ َم ْن َق
ّ اس َم
ِ
Orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung
kerugian).
20
Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam
bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan
syirkah.
c) Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Di antara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada
generasi tabi’in:
- Pernyataan Qadhi Syuriah bin Haris al-Kindi (w. 76 H),
seperti;
ْ َ َ َ
ﺍ َّﻟﻨﺎ ِﺗ ُﺞ ﺍ ْﻭﻟﻰ ِﻣ َﻦ ﺍﻟ َﻌ ِﺎﺭ ِﻑ
Orang yang membantu kelahiran binatang (natij) lebih
utama dari pada orang yang mengaku pemiliknya)
- Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182 H). Dalam
karyanya yang terkenal yaitu kitab Al-Kharaj, terdapat
pernyataan:
َ مْل َُ َ َ َ َ َ ُ مْل َ ُك ُّل َم ْن َم
ات ِم َن ا ْس ِل ِم َن فال َو ِارث ل ُه فمال ُه ِل َب ْيتِ ا ا ِل
“Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli
waris diserahkan ke Bait al- mal”.
Pernyataan tersebut menjadi kaidah fiqh yang berkenaan
dengan pembagian harta pusaka. Baitul Mal sebagai salah
satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta
peninggalan (tirkah atau mauruts), apabila yang meninggal
dunia tidak memiliki ahli waris.
Ada juga pernyataan beliau
َ ْ ْ َ َ َ إْل َ
ا َّلت ْع ِز ْي ُر ِإلى ا ِ َم ِام َعلى ق ْد ِر َعظ ِم ال َج ْر ِم َو ِصغ ِر ِه
“Hukuman ta’zir itu diserahkan kepada hakim,tergantung
dari besar dan kecilnya tindakan kriminal.”
- Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (w.189 H),
Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai wudlu,
kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah
hadats (batal) atau belum, dan keraguan ini lebih besar
dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi wudlunya.
Pernyataan as-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah:
ّ َّ اَل َْ
ك
ِ ِبالش ال َي ِق ْي ُن َي ُز ْو ُل
“Keyakinan tidak dapat hilang oleh keraguan.”
- Imam Asy-Syafi’i (150-204 H)
21
Salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu “Sesuatu yang
dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak
diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, di
antaranya
َ ْ َ َُ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ ْ َ َأْل
صغ ُر ِم ْن ُه اس سقط ما هو أ
ِ
َّ ط َعن
الن ِ ا عظم ِاذا سق
Apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur
Atau pernyataan beliau:
اض ُع َها َ َ َ َّ َ َ َ َ َ ُ اَل
ِ ا ُّلرخص يتعدي ِبها مو
“Sebuah keringanan syar’i itu tidak bisa melampaui
tempat berlakunya.” (Al umm 1/80)
- Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
Di antara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin
Hambal yang Abu Daud dalam kitabnya al-Masail, yaitu :
ُ َ َّ َ ُ َ ْ ْ ُ ْ ُ َ ُ ْ َ ْ ْ َ َ َ ُّ ُ
الص َدقة ك ل م ا ج از ِفي ِه البي ع تج وز ِفي ِه ال ِهب ة و
الر ْه ُن
َّ َو
“Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan
untuk dihibahkan dan digadaikan.” (Masail Imam Ahmad
oleh Imam abu dawud hal: 203)
22
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin
berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan fiqh, para
ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang
dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut. Hal
inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam
risalahnya (Ushul al-Karkhi) dan Abu Zaid ad-Dabbusi (w.430 H)
dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul.
Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka
disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah
fiqh , disebut dhabit.
Menurut Dr. Ali An-Nadwi bahwa golongan Hanafiah
merupakan yang pertama kali mempelajari kaidah fiqh. Beberapa
informasi yang menyatakan hal tersebut termaktub dalam beberapa
literatur di antaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu
Najm (970 H) dalam Al Qawaid menyatakan bahwa Imam Ad-Dibas
pada abad 4 Hijriyah telah mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah
Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad Dibas membaca
kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di masjid yang
kemudian Abu Said al Harawi As-Syafii menukil dari Ad Dibas
beberapa kaidah-kaidah tersebut.
Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi
37 kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al-
Khusyni (361 H) dengan karyanya Ushul Al Fataya. Dan setelah itu
muncul Abi Laits As-Samarqandi (373 H) dengan karyanya ta’sis
al nadhri yang identik dengan karya Abi Zaid Ad-Dibasi (430 H)
dengan sedikit perbedaan.
Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyyah mengalami perkembangan
yang sangat rancak. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid
pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Jurjani
al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab dengan judul “al-Qawaid fi
Furu’I as- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin Abdus Salam (w.
660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang
sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki
Muhammad bin Abdullah bin Rasyid al-Bakri al-Qafshi (685 H)
menulis “al-Majmu’ al-Mudzhab fi Qawaid al-Madzhab” dan masih
banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyyah
mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid
23
fiqhiyyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit
mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyyah mengalami masa
keemasan, dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid
fiqhiyyah. Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan
hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-
Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni. Dalam hal ini, ulama
Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Di antara karya-karya
besar yang muncul dalam abad ini adalah:
a. Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’i
(w.716 H)
b. Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
c. Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-
Syafi’i (w.761 H)
Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyyah yang
disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad
sebelumnya. Di antara karya-karya tersebut adalah:
a. Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
b. Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin
Muhammad al-Zubairi (w. 808 H)
c. Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
Pada abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah semakin
berkembang. Imam al-Sayuti (w. 911 H) telah berusaha
mengumpulkan qaidah fiqhiyyah yang paling penting dari karya
al-‘Alai, as-Subki dan az-Zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah
tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nadhair. Kitab-kitab
karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawaid
ushuliyah dan qawaid fiqhiyyah, kecuali kitab karya az-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus
berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawaid
fiqhiyyah adalah fasa perkembangan dan pembukuan. Fase ini
ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan ad-Dabbusi. Para ulama
yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat
menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyyah.
3. Fasa Kematangan dan Penyempurnaan
24
Abad XIII H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah
fiqh. Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-
perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah
yang disempurnakan di abad XIII H adalah
“Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali
ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-
kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut
adalah:
“Seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa
izin.
Pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah mencapai puncaknya
ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh Fuqaha pada
masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M)
pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi
rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.
25
ﺍﻥ ﺍﻤﻟﺮﺀ ﻳﻌﺎﻣﻞ ﻓﻰ ﺣﻖ ﻧﻔﺴﻪ ﻛﻤﺎ ﺍﻗﺮﺑﻪ ﻭﻻ ﻳﺼﺪﻕ ﻋﻠﻰ
ﺍﺑﻄﺎﻝ ﺣﻖ ﺍﻟﻐﻴﺮ ﻭﻻ ﺑﺎﻟﺰﺍﻡ ﺍﻟﻐﻴﺮ ﺣﻘﺎ
Orang menggunkan hak pribadi sesuai dengan pengakuannya. Ia
tidak dapat membatalkan hak orang lain atau menetapkan hak
kepadanya.
c. Beberapa kaidah perlu diformat ulang redaksinya dengan yang
lebih sempurna. Ini karena boleh jadi kaidah tersebut masih kurang
mencakup atau masih bersifat umum, sehingga perlu
disempurnakan atau dibatasi. Misalnya, kaidah
ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﺗﻐﻴﺮ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺑﺘﻐﻴﺮ االزﻣﺎﻥ
Tidak ditolak perubahan hokum karena perubahan zaman.
Para Fuqaha dan ahli ushul sepakat bahwa hukum yang dapat
berubah karena perubahan zaman dan adapt adalah hukum ijtihadi
yang dibiarkan seperti itu, akan menjadi kesalah pahaman. Dengan
demikian, redaksi tersebut lebih baik ditambah atau diganti dengan
yang labih jelas, seperti:
ﻻ ﻳﻨﻜﺮ ﺗﻐﻴﺮ ﺍﻻحكام اﻤﻟﺒﻴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻤﻟﺼﻠﺤﺔ ﻭﺍﻟﻌﺮف ﺑﺘﻐﻴﺮ
االزﻣﺎﻥ
Tidak ditolak perubahan hukum yang dibangun oleh kemaslahatan
dan ‘urf kerena perubahan zaman.
d. Qawa’id fiqhiyyah terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu
tersendiri secara berangsur-angsur. Di samping itu dalam
pembuatannya pun para fuqaha membentuknya secara bertahap.
Pada awalnya, hanya berupa pemikiran tentang suatu persoalan,
keudian setelah pemikiran tersebut mantap, baru mereka bentuk
menjadi sebuah kaidah.
26