Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN FARMAKOLOGI

GASTRITIS

DISUSUN OLEH :
Firman Faizal 114170024

PEMBIMBING :
dr. H Iskandar
dr. Meksimilyana

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI
CIREBON
2020
LAPORAN FARMAKOLOGI
A. IDENTITAS
1. Identitas Pasien
 Nama : Ny. A
 Usia : 35 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Alamat : Gebang Kulon

B. RESUME
Nyeri ulu hati sejak 3 hari yang lalu, nyeri terasa perih, nyeri dirasakan setelah
memakan makanan pedas dan bila pasien tidak atau telat makan, nyeri membaik
setelah pasien makan, nyeri dirasakan tidak menjalar, terkadang pasien juga
merasakan mual tapi tidak disertai muntah.

C. DIAGNOSIS
Gastritis

D. TERAPI
a. Preventif :
 Menghindari makanan pedas, asam, tinggi kafein.
 Menghindari kebiasaan seperti telat makan.
b. Promotif
 Memberikan pengertian pada pasien untuk rutin kontrol
 Memberikan edukasi pada pasien tentang pentingnya menghindari faktor-
faktor penyebab karena dapat menyebabkan masalah yang lebih serius.
 Memberikan edukasi kepada keluarga pasien untuk mengurangi makanan-
makanan pedas, asam.

c. Kuratif
 Ranitidin 150mg tab 2x1 tab
 Vitamin B6 tab 3 x 1 tab
E. FARMAKOLOGI
1. Ranitidin

Ranitidin adalah antagonis reseptor histamin H2 yang memediasi sekresi gastrik


sehingga mengurangi jumlah produksi asam lambung. Ranitidin digunakan sebagai terapi lini
pertama untuk tukak lambung dan duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis,
dan ulkus akibat infeksi Helicobacter pylori.

INDIKASI DAN DOSIS


Indikasi ranitidin di antaranya untuk dispepsia kronis dengan dosis 150 mg 2 kali
sehari, selama 6 minggu, dan gastroesophageal reflux disease/GERD dengan dosis inisial
dewasa 150 mg 2 kali sehari dan dosis inisial anak 5-10 mg/kg/hari, selama 8 minggu atau
kurang.

Dewasa

Indikasi ranitidin untuk dewasa adalah untuk eradikasi infeksi H. pylori, tukak lambung
dan duodenal, dispepsia, GERD, esofagitis erosif, kondisi hipersekresi, stress ulcer, serta
profilaksis aspirasi asam lambung sebelum anestesi umum.
Infeksi H. pylori
Berikan kombinasi ranitidin tablet per oral 300 mg satu kali sehari sebelum tidur
atau 150 mg dua kali sehari, dengan Amoksisilin 750 mg dan Metronidazole 500 mg tiga
kali sehari, selama 2 minggu. Terapi ranitidin dilanjutkan hingga minggu keempat.
Ulkus Peptikum dan Duodenum
Untuk indikasi ini, ranitidin diberikan per oral 300 mg sebelum tidur atau 150 mg 2
kali sehari, selama 4-8 minggu. Jika gejala tidak membaik, naikkan dosis menjadi 300 mg
dua kali sehari, selama 4 minggu.
Pada ulkus yang diakibatkan oleh obat-obatan, misalnya aspirin atau obat
antiinflamatori nonsteroid seperti ibuprofen dan diklofenak, ranitidin dapat diberikan baik
sebagai profilaksis maupun sebagai penanganan dengan dosis 300 mg sebelum tidur atau
150 mg, 2 kali sehari. Untuk penanganan, ranitidin diberikan selama 8-12 minggu.
Dispepsia Kronis
Ranitidin diberikan untuk dispepsia kronis dengan dosis 150 mg, 2 kali sehari,
selama 6 minggu. Jika terjadi eksaserbasi akut, berikan ranitidin 75 mg, dapat diulang
hingga 4 kali sehari dengan durasi maksimal 2 minggu secara kontinu.
GERD
GERD dapat ditangani dengan ranitidin 300 mg sebelum tidur atau 150 mg 2 kali
sehari, selama 8 minggu atau kurang. Pada kasus berat, durasi dapat ditingkatkan hingga
12 minggu.
Esofagitis Erosif
Penanganan esofagitis erosif dapat dilakukan menggunakan ranitidin 150 mg, 2
kali sehari.
Kondisi Hipersekresi
Ranitidin untuk kondisi hipersekresi dapat diberikan secara oral maupun intravena.
Dosis inisial ranitidin oral adalah 150 mg, 2-3 kali sehari, dan dapat ditingkatkan sesuai
kebutuhan hingga dosis maksimal 6 gram per hari. Ranitidin intravena diberikan dengan
dosis inisial 1 mg/kg/jam, dan dapat ditingkatkan 0,5/mg/kgBB setiap 4 jam pemberian
tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.
Stress Ulcer
Ranitidin untuk stress ulcer diberikan secara intravena dengan dosis 50 mg bolus
lambat, dilanjutkan dengan infus intravena 0,125-0,5 mg/kgBB/jam sampai pasien bisa
makan secara oral. Ganti pemberian menjadi ranitidin tablet 150 mg, 2 kali sehari.

Anak

Pada anak usia mulai dari 1 bulan, ranitidin diindikasikan untuk ulkus peptikum dan
duodenum, GERD, esofagitis erosif, dan stress ulcer. Pada neonatus yang menerima ECMO
(extracorporeal membrane oxygenation), ranitidin memiliki potensi untuk mencegah risiko
perdarahan gastrointestinal.
Ulkus Peptikum dan Duodenum
Untuk ulkus peptikum dan duodenum pada anak, berikan ranitidin dosis 4-8
mg/kgBB/hari, dalam 2 dosis terbagi, selama 4-8 minggu, dengan dosis maksimal 300
mg/hari. Lanjutkan dengan dosis rumatan 2-4 mg/kgBB, satu kali sehari, dosis maksimal
150 mg/hari.
GERD
GERD pada anak dapat ditangani dengan pemberian ranitidin dosis 5-10
mg/kg/hari, dalam 2 dosis terbagi, maksimal 300 mg/hari.
Esofagitis Erosif
Anak dengan esofagitis erosif dapat ditangani dengan pemberian ranitidin dengan
dosis 5-10 mg/kgBB/hari, dalam 2 dosis terbagi, maksimal 600 mg/hari.
Stress Ulcer
Ranitidin dapat digunakan untuk penanganan stress ulcer pada anak dengan dosis
1 mg/kg melalui injeksi IV lambat 2 menit, 3-4 kali/hari, maksimal 50 mg/pemberian.
Ranitidin juga dapat diberikan menggunakan infus kontinu 0,25-1,125 mg/kgBB/jam.

Penyesuaian Dosis pada Gangguan Ginjal

Penyesuaian dosis harus diperhatikan pada pasien dengan gagal ginjal: Creatinine


clearance (CrCl) <50 diberikan dosis 150 mg sebelum tidur. Penyesuaian dosis tambahan
dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Pemberian dosis parenteral dikurangi menjadi 25 mg.

Kontraindikasi
Kontraindikasi ranitidin jika terjadi porfiria akut atau hipersensitivitas terhadap
ranitidin atau komponen obat tersebut. Peringatan penggunaan ranitidin untuk menyesuaikan
dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan liver, memberikan bolus intravena
secara perlahan, serta menghentikan dan mengganti ranitidin dengan penghambat pompa
proton pada gastroesophageal reflux disease  (GERD) yang tidak menunjukkan respon pada
pemberian selama 6-8 minggu.

Farmakologi

Farmakologi ranitidin sebagai antagonis reseptor histamin yang mensupresi sekresi


asam lambung.
Farmakodinamik

Ranitidin merupakan antagonis kompetitif reversibel reseptor histamin pada sel


parietal mukosa lambung yang berfungsi untuk mensekresi asam lambung. Ranitidin
mensupresi sekresi asam lambung dengan 2 mekanisme:
 Histamin yang diproduksi oleh sel ECL gaster diinhibisi karena ranitidin menduduki
reseptor H2 yang berfungsi menstimulasi sekresi asam lambung
 Substansi lain (gastrin dan asetilkolin) yang menyebabkan sekresi asam lambung,
berkurang efektifitasnya pada sel parietal jika reseptor H2 diinhibisi.
Sekali pemberian ranitidin oral dengan dosis 50,100, 150, dan 200 mg mengurangi produksi
asam lambung dari stimulasi pentagastrin berturut-turut sebanyak 42%, 75%, 85%, dan 95%
pada subjek sehat. Pemberian ranitidin 150 mg dosis tunggal produksi asam lambung basal
terinhibisi sebanyak 70% pada 5 jam setelah pemberian dan 38% setelah 10 jam. Pada pasien
ulkus duodenal, pemberian ranitidin 150 mg b.i.d mengurangi 70% tingkat keasaman
lambung selama 24 jam, serta mengurangi produksi asam lambung nokturnal sebanyak 90%.

Farmakokinetik

Farmakokinetik ranitidin terdiri dari aspek absorbs, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya.
Absorbsi
Ranitidin dapat diadministrasi lewat injeksi oral, intramuskular, dan intravena.
Penyerapan ranitidin lewat rute oral (bioavailabilitas) 50% diabsorbsi dan mencapai peak
plasma concentration  dicapai dalam waktu 1-2 jam. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh
makanan atau antasida. Setelah pemberian oral, dosis 150 mg mean plasma
concentration sekitar 400 ng/ml.
Penyerapan ranitidin lewat rute injeksi intramuskular dosis 50 mg sangat cepat
dengan mean plasma concentration 576 ng/ml dalam 15 menit atau kurang. Bioavailabilitas
mencapai 90-100%. Penyerapan ranitidin lewat rute injeksi intravena mencapai mean plasma
concentration 440-545 ng/mL dalam 2-3 jam.
Distribusi
Didistribusikan secara luas, termasuk ASI, menyeberangi sawar darah otak dan
plasenta. Konsentrasi ranitidin di cairan serebrospinal 1/20 sampai 1/30 konsentrasi di plasma
pada waktu yang sama. Volume distribusi 1,4 L/kg (1,2-1,8 L/kg). Ikatan plasma protein
15%.
Metabolisme
Metabolisme ranitidin terjadi di hepatik, dengan total pembersihan sebanyak 30%
dari total body clearance setelah pemberian IV, dan 73% setelah pemberian oral. Hasil
metabolisme ranitidin adalah N-oksida sebagai metabolit utama sebanyak <4% dari total
dosis yang diadministrasi, S-oksida (1%) dan desmetil ranitidin (1%) yang ditemukan di urin.
Sisa dari dosis yang diberikan ditemukan pada feses. Pada pasien dengan disfungsi hepar
(sirosis) terdapat gangguan metabolisme ranitidin (waktu paruh, distribusi, pembersihan, dan
bioavailabilitas) namun bersifat minor dan insignifikan.

Ekskresi
Ekskresi ranitidin dilakukan via renal dengan rata-rata 530 mL/menit hingga 760
mL/menit yang menandakan ekskresi tubular aktif. Waktu paruh eliminasi berkisar 2 hingga
3 jam. Ekskresi ranitidin (unchanged form) di urin pada pemberian oral 30% dan 70% pada
pemberian IV dalam 24 jam, sisanya dieksresikan lewat feses.
Pasien dengan gangguan fungsi renal (pembersihan kreatinin 25-35 ml/menit)
pemberian ranitidin IV dosis 50 mg memiliki waktu paruh 4,8 jam, eksresi ranitidin 29
ml/menit.

Perubahan Farmakologi pada Populasi Khusus

Terdapat perubahan farmakologi pada populasi anak dan geriatri.


Anak
Terdapat perubahan bioavailabilitas obat per oral yang tidak signifikan (48%
dibandingkan 50% pada dewasa). Tidak diperlukan perubahan dosis, hanya penyetaraan
berdasarkan berat badan saja.
Geriatri
Waktu paruh ranitidin memanjang dan waktu pembersihan ranitidin berkurang karena
adanya penurunan fungsi ginjal pada populasi geriatri. Waktu paruh eliminasi berkisar antara
3-4 jam. Waktu konsentrasi puncak dicapai dalam waktu 3 jam dengan konsentrasi pada
plasma 526 ng/ml. Dibutuhkan penyesuaian dosis ranitidin pada pasien dengan gangguan
fungsi renal

Efek Samping

Efek samping ranitidin di antaranya adalah efek samping gastrointestinal seperti


konstipasi, diare, dan nyeri perut, serta efek samping muskuloskeletal berupa atralgia atau
mialgia. Interaksi obat ranitidin berupa peningkatan atau penurunan konsentrasi obat lain,
serta pemanjangan prothrombin time pada penggunaan bersama warfarin.

Interaksi Ranitidin dengan Obat


Ranitidin dapat menimbulkan beberapa interaksi saat digunakan bersamaan dengan obat-
obatan lainnya. Interaksi tersebut antara lain:

 Meningkatkan konsentrasi serum dan memperlambat absorpsi ranitidin oleh saluran


pencernaan, jika digunakan bersama propantheline bromide.
 Menghambat metabolisme teofilin, diazepam, dan propanolol di dalam organ hati.
 Mengganggu penyerapan obat-obatan yang tingkat penyerapannya dipengaruhi oleh
pH, seperti ketoconazol dan midazolam.
 Menurukan bioavailabilitas ranitidin, jika digunakan bersama dengan obat antasida.

2. Vitamin B6
Vitamin B6 atau pyridoxine adalah nutrisi yang sangat penting bagi fungsi
darah, kulit, dan sistem saraf pusat. Vitamin ini berperan sebagai salah satu senyawa
koenzim A yang digunakan tubuh untuk menghasilkan energi melalui jalur sintesis
asam lemak, seperti spingolipid dan fosfolipid. Selain itu, vitamin ini juga berperan
dalam metabolisme nutrisi dan memproduksi antibodi sebagai mekanisme pertahanan
tubuh terhadap antigen atau senyawa asing yang berbahaya bagi tubuh.
Vitamin B6 dapat diperoleh melalui jenis-jenis makanan, seperti ubi jalar, ati
ayam, daging ayam atau sapi, telur, ikan salmon dan tuna, kacang-kacangan, alpukat,
pisang, wortel, bayam, susu, dan keju. Secara umum, golongan vitamin B berperan
penting dalam metabolisme di dalam tubuh, terutama dalam hal pelepasan energi saat
beraktivitas. Hal ini terkait dengan peranannya di dalam tubuh, yaitu sebagai senyawa
koenzim yang dapat meningkatkan laju reaksi metabolisme tubuh terhadap berbagai
jenis sumber energi.
Suplemen vitamin B6 diberikan pada penderita kekurangan vitamin B6
(misalnya karena malnutrisi), morning sickness, mengatasi jenis anemia tertentu
(anemia sideroblastik), dan kejang terkait vitamin B6 (pyridoxine dependent seizure).
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2005, Informasi Spesialite Obat Indonesia, vol. 40, Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia, Jakarta

Deglin, Judith Hopfer dan April Hazard Valleran. 2014. Pedoman Obat untuk Perawat: EGC:
Jakarta

Suyoyo, W Aru. 2014. Gastritis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Internal Publishing:
Jakarta

Johnson RJ, Feehally J, Floege J. 2015. Comprehensive Clinical Nephrology. 5th edition.
Elseiver Saunders; Philadelpia

Katzung, Bertram G. 2014. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 12. EGC, Jakarta.

Rahardja, Kirana dan Tan Hoan Tjay. 2007.Obat-obat Penting: Elex Media Komputindo

Anda mungkin juga menyukai