Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis


(PPOK)
a. Definisi

The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease


(GOLD) tahun 2017 mendefinisikanPenyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK) sebagaipenyakit respirasi kronik yang dapat dicegah dan diobati,
ditandai dengan adanya hambatan udara persisten yang bersifat progresif
dan ireversibel serta berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi
kronis saluran napas karena gas atau partikel iritan tertentu.

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2011


penyebab utama obstruksi saluran napas pada PPOK karena adanya
perubahan struktural pada saluran napas kecil yang meliputi inflamasi,
fibrosis, metaplasia sel goblet, dan hipertropi otot polos yang bersifat
ireversibel.

Kelompok penyakit yang termasuk dalam PPOK adalah bronkhitis


kronik (masalah pada saluran pernapasan), emfisema (masalah pada
parenkim). Beberapa ahli berpendapat bahwa asma bronkial kronik,
fibrosis kistik, dan bronkiektasis termasuk dalam PPOK. Secara rasional
pada asma bronkial terjadi adanya sumbatan jalan napas, namun suatu

kasus obstruksi jalan napas dapat digolongkan ke dalam PPOK bila


obstruksinya cenderung bersifat progresif. (Djojodibroto, 2009).

Menurut American Thoracic Society (ATS) tahun 1995 dalam


Francis (2011)dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun
2003 PPOK terdiri dari bronkhitis kronis, dan emfisema.

1) Bronkhitis Kronis
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2011
kelainan yang ditandai dengan adanya batuk produktif kronik yang
terjadi minimal 3 bulan dalam setahun, atau sekurang-kurangnya dua
tahun berturut-turut, tanpa disebabkan penyakit lain.

Bronkhitis kronik disebabkan oleh paparan agen infeksi atau non


infeksi kemudian mengakibatkan timbulnya respon inflamasi yang
akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa, dan
bronkospasme. Pada pasien dengan bronkhitis kronis akan terjadi
peningkatan jumlah mukus, mukus lebih kental, dan kerusakan fungsi
siliari yang dapat menurunan mekanisme pembersih mukus (Somantri,
2011).

2) Emfisema

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) emfisema


adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Terdapat empat perubahan patologis yang timbul, yaitu
hilangnya elatisitas paru-paru, hiperinflasi paru-paru, terbentuknya
bullae, kolapsnya jalan napas kecil dan terperangkapnya udara.

b. Patofisiologi

Terjadinya PPOK dikarenakan adanya inhalasi bahan iritan yang


menyebabkan terjadinya respon inflamasi sebagai mekanisme pertahanan
dan perbaikan yang menyebabkan berubahnya struktur saluran napas
kecil yang bersifat irreversible (PDPI, 2011).

Penyebab utama dari obstruksi saluran pernapasan adalah


inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
(Djojodibroto, 2009).

Inhalasi partikel berbahaya dan asap rokok tersebut mengakibatkan


terjadinya inflamasi pada saluran napas dan paru sebagai upaya
perbaikan dan pertahanan. Respon inflamasi ini akan mengakibatkan
kerusakan parenkim yang berakibat emfisema dan fibrosis saluran napas
kecil (bronkiolus) (PDPI, 2011). Pada penderita yang merokok inflamasi
tersebut akan menetap meskipun penderita berhenti merokok,
mekanismenya tidak diketahui tetapi diduga karena pengaruh
autoantigen dan mikroorganisme yang menetap berperan pada inflamasi
tersebut (GOLD, 2015; PDPI, 2011).

c. Klasifikasi PPOK

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK

Tahap Keterangan

Tahap I : Mild FEV1/FVC < 0,70


FEV1 ≥ 80% predicted
Tahap II : Moderate FEV1/FVC < 0,70
50% ≤ FEV1 < 80% predicted
Tahap III : Severe FEV1/FVC < 0,70
30% ≤ FEV1 < 50% predicted
Tahap IV : Very
Severe FEV1/FVC 0,70
FEV < 30% predictedor FEV1 < 50%
predicted plus
chronic respiratory failure

Sumber : The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary


Disease (GOLD) (2017)

d. Faktor Risiko

The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease


(GOLD) tahun 2017 mengatakan bahwa faktor risiko utama dan paling
penting dari PPOK adalah riwayat merokok. Prevalensi PPOK
berkorelasi positif terhadap prevalensi merokok. Jika dibandingkan
dengan faktor penyebab lainnya, kebiasaan merokok adalah faktor
peyebab yang paling penting. sehingga menyebabkan emfisema serta
memicu stimulasi hipersekresi mukus (PDPI, 2011). Rokok dapat
mengakibatkan kelainan paru berupa gangguan napas, gangguan alveoli
dan kapiler, serta gangguan sistem imunitas (GOLD, 2015; PDPI, 2011).

e. Manifestasi Klinis

Gejala yang sering dihubungkan dengan PPOK dan sebagai


pembeda dengan penyakit respirasi lainnya adalah, batuk, sesak napas,
dada terasa sesak, mengi, produksi sputum (Roche N, dkk, 2010 dalam
ATS 2015). Pada awalnya gejala ini tidak terlihat, terjadi dalam waktu
berbulan-bulan, cukup stabil dan persisten, progresif lambat, dan
irreversible serta memburuk saat aktivitas (Francis, 2011).

Pada pemeriksaan spirometri, FEV1 (Forced Expiratory Volume in


one second)dibawah predicted, FEV1/FVC (nilai rasio Forced
Expiratory Volume in one second dengan Forced Volume Capacity)
dibawah predicted, perbaikan pada test provokasi setelah pemberian
bronkodilator < 12% (Djojodibroto, 2009).

f. Penatalaksanaan PPOK

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan irreversible,


sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas penatalaksanaan pada
keadaan stabil dan penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi edukasi, berhenti
merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik,
nutrisi (PDPI, 2011).

1. Penatalaksanan Pada Kondisi Stabil


a) Kriteria PPOK stabil adalah :
1) Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas
kronik
2) Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil
analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2
> 60 mmHg
3) Dahak tidak berwarna
4) Tidak sesak napas saat aktivitas terbatas sesuai derajat berat
PPOK (hasil spirometri)
5) Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
6) Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan (PDPI, 2003).
b) Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil :
a. Mempertahankan fungsi paru
b. Meningkatkan kualitas hidup
c. Mencegah eksaserbasi
d. Penatalaksanaan PPOK stabil dilakukan di poliklinik sebagai
evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan
kestabilan dan mencegah terjadinya eksaserbasi (PDPI,
2011).
Asap rokok mengandung berbagai zat berbahaya seperti karbon
dioksida, karbon monoksida, formaldehid dan lainnya akan mengaktivasi
makrofag pada saluran napas sehingga melepaskan berbagai faktor
kemotaksis untuk menarik neutrofil dan monosit. Sel tersebut akan
melepaskan enzim protease yang memecah jaringan ikat parenkim paru.

c) Penatalaksanaan
1) Tata Laksana Farmakologi
Penggunan bronkodilator sering ditemui dalam praktik tata
laksana PPOK, walaupun sebagian besar retriksi aliran udara
sifatnya ireversibel. Hal ini diduga karena walaupun
pengaruh bronkodilator dalam perubahan retriksi aliran udara
tersebut terlalu kecil untuk dideteksi oleh spirometri sebagai
perubahan FEV1, namun cukup bermakna dalam penurunan
hiperinflasi dan peningkatan FEV1 yang berhubungan
dengan PPOK (Francis, 2011; Soeroto, 2014).

(a) Bronkodilator kerja singkat


Bronkodilator kerja singkat (antagonis β-2), seperti salbutamol
dan terbutalin, bekerja efektif dalam waktu kurang dari empat
jam, bekerja pada otot polos jalan napas bronkial dan biasanya
merupakan terapi lini pertama pada PPOK (Francis, 2011).

(b) Bronkodilator kerja lama

Bronkodilator kerja lama (antagonis β-2), seperti


salmeterol atau formoterol, efeknya akan bertahan sampai
12 jam. Bronkodilator ini harus digunakan pada tata
laksana pasien yang tetap bergejala dengan pemberian
antagonis β-2 kerja singkat. Saat ini belum tersedia dalam
formulasi yang dapat dinebulisasi (Francis, 2011).
terapi oksigen 15 jam terutama pada waktu tidur.. Dosis
oksigen tidak lebih dari 2 liter (PDPI, 2003).

3) Penggunaan alat bantu napas


Beberapa penderita PPOK dapat menggunakan alat bantu
napas dirumah (PDPI, 2011).

4) Rehabilitasi
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk merinngankan gejala
seperti mengurangi dyspnea, meningkatkan kapasitas
aktivitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Spouit M A, dkk
2013 dalam ATS 2015).

a) Penyesuaian aktivitas
b) Latihan ekspektorasi atau batuk efektif (huff cough)
c) Pursed-lips breathing
d) Latihan ekstremitas atas dan otot bantu napas
(PDPI, 2003)

2. Oksigenasi
a. Definisi
Oksigenasi adalah kebutuhan yang paling mendasar yang
digunakan untuk kelangsungan proses metabolisme sel sehingga sel
dapat melakukan aktivitasnya secara adekuat dan mampu
mempertahankan kelangsungan hidupnya di dalam tubuh (Somantri,
2009; Andarmoyo, 2012).

b. Fisiologi Pernapasan

Pernapasan adalah mekanisme menghirup oksigen ke dalam tubuh


untuk kelangsungan metabolisme sel dan mengeluarkan karbondioksida
sebagai sisa hasil metabolisme Proses ini dimulai dari saluran napas
bagian atas yaitu hidung, faring, laring, kemudian dilanjutkan menuju
saluran napas bagian bawah yaitu trakhea, bronkus, bronkheolus, dan
alveolus (Somantri, 2009; Andarmoyo, 2012)

Fungsi pernapasan dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan


pengaturan keseimbangan asam basa (Andarmoyo, 2012).

1. Pertukaran gas
Pertukaran gas melalui tiga tahapan, yaitu ventilasi, difusi,
dan transportasi (Andarmoyo, 2012).

a) Ventilasi

Ventilasi adalah masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam


alveoli (inspirasi), dan keluarnya CO2 dari alveoli ke atmosfer
(ekspirasi) (Andarmoyo, 2012).

Ventilasi dipengaruhi beberapa hal sebagai berikut:

1) Perbedaan tekanan udara


Udara bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah
bertekanan rendah (Somantri, 2009).

2) Resistensi jalan udara


Peningkatan tekanan dan adanya obstruksi jalan
napasmengakibatka udara terhambat masuk (Somantri,
2009).

3) Volume udara (kuantitas) dan jenis gas yang mengalami


pertukaran.
Secara kuantitas jumlah udara yang dihirup sama dengan
jumlah udara yang dikeluarkan, namun secara kualitas
berbeda komposisi. (Andarmoyo, 2012).

4) Pengaturan napa
Pusat pengaturan napas terletak pada medulla oblongata
dan pons. Pusat pernapasan teragsang oleh peningkatan
karbondioksida dalam darah yang merupakan hasil
metabolisme. Bila terjadi trauma yang menyebabkan terjadi
kerusakan pada pusat pengendali tersebut, maka
pengendalian napas akan terganggu (Andarmoyo, 2012).

5) Compliance dan recoil paru


Yaitu daya kembang dan kempis paru. Kemampuan ini
dibentuk oleh gerakan naik turun diafragma, elevasi dan
depresi iga, elastisitas jaringan paru, dan surfactan

b) Difusi

Difusi merupakan tahap kedua dari proses fisiologi


respirasi. Pada proses ini terjadi pertukaran gas antara alveoli
dengan kapiler paru atau dapat diartikan sebagai pergerakan
molekul dari konsentrasi tinggi menuju konsentrasi lebih rendah
(Andarmoyo, 2012).

Proses difusi ini dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai


berikut:

1) Ketebalan membran repirasi


Semakin tipis membran, maka proses difusi semakin cepat,
begitupun sebaliknya (Anarmoyo, 2012).

2) Luas permukaan membran


Semakin luas membran paru makasemakin besar kuantitas
gas yang berdifusi melewati membran dalam waktu tertentu
(Somantri, 2009)

3) Koefisien difusi
Koefisien difusi tiap gas dipengaruhi oleh daya larut dalam
membran tersebut. Koefisien difusi berbanding proporsional
terhadap kemampuan terlarut gas dalam membran dan

b) Difus

Difusi merupakan tahap kedua dari proses fisiologi


respirasi. Pada proses ini terjadi pertukaran gas antara alveoli
dengan kapiler paru atau dapat diartikan sebagai pergerakan
molekul dari konsentrasi tinggi menuju konsentrasi lebih rendah
(Andarmoyo, 2012).
Proses difusi ini dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai
berikut:

4) Ketebalan membran repirasi


Semakin tipis membran, maka proses difusi semakin cepat,
begitupun sebaliknya (Anarmoyo, 2012).

5) Luas permukaan membran


Semakin luas membran paru makasemakin besar kuantitas
gas yang berdifusi melewati membran dalam waktu tertentu
(Somantri, 2009)

6) Perbedaan tekanan
Tekanan pada membran berkorelasi positif terhadap
kecepatan proses difusi (Andarmoyo, 2012).Jika tekanan
parsial tinggi maka oksigen akan bergabung dengan
hemoglobin sedangkan jika tekanan parsial oksigen rendah
maka oksigen akan terdisosiasi dari hemoglobin sesuai
hukum difusi (Bauman et al, 1987 dalam Francis, 2011).

c) Transportasi gas
Transportasi gas adalah penyaluran oksigen dari alveoli keseluruh
tubuh. Transport terdiri dari dua macam, yaitu transport oksigen
dan transport karbondioksida (Somantri, 2009; Andarmoyo, 2012).
Transport oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang
masuk ke paru, aliran darah ke paru dan jaringan, kecepatan
difusi, dan kapasitas membawa oksigen. Transport oksigen
dilakukan melewati dua cara yaitu secara fisik larut dalam
plasma (3%) dan secara kimia berikatan dengan hemoglobin
mebentuk oksihemoglobin (97%) (Andarmoyo, 2012).

Transport karbondioksida dilakukan dengan dua cara yaitu


secara fisik larut dalam plasma (5%) dan secara kimia.
e. Praktik Keperawatan Untuk Mengatasi Gangguan Oksigenasi
1. Teknik Napas Dalam
Adalah suatu bentuk asuhan keperawatan dengan mengajarkan cara
melakukan napas dalam dengan cara napas lambat (menahan inspirasi
secara maksimal), dan menghembuskan napas secara perlahan, selain
dapat menurunkan intensitas nyeri, relaksasi napas dalam juga dapat
meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara
pertukaran gas, mencegah atelektasis paru, meningkatkan efisiensi
batuk, mengurangi stress fisik maupun emosional (Andarmoyo, 2012).

2. Teknik Latihan Batuk Efektif


Cara untuk melatih pasien agar dapat mengeluarkan sekret ataupun
benda asing pada jalan napas (Andarmoyo, 2012).

3. Teknik Pursed Lip Breathing

Adalah teknik pernapasan bibir yang bertujuan untuk


meningkatkan ventilasi secara optimal dan membuka jalan udara.
Teknik ini digunakan pada individu dengan penyakit paru obstruksi
kronis untuk meningkatkan status pernapasannya. Respon yang
diharapkan adalah mampu mengembangkan paru-parunya dan
meningkatkan kemampuan ventilasi (Andarmoyo, 2012).

Pursed Lip Breathing (PLB) adalah latihan pernapasan yang


dianjurkan untuk membantu seseorang mengendalikan pernapasan.
Latihan pursed lip breathing dengan tujuan memperpanjang ekspirasi
mempermudah pasien untuk mengeluarkan jumlah karbon dioksida
yang terjebak di dalam paru dan dengan mengatur inspirasi secara
beraturan akan membantu pasien mengurangi penggunaan otot-otot
pernafasan. Maka dalam kondisi ini, akan terjadi penurunan frekuensi
pernafasan. Hal ini dikarenakan pursed lip breathing exercise
meningkatkan tekanan parsial oksigen dalam arteri yang
menyebabkan penurunan tekanan terhadap kebutuhan oksigen dalam
proses metabolisme tubuh, sehingga menyebabkan penurunan sesak
nafas dan frekuensi pernafasan (Kowalski & Rosdahl, 2014 dalam
Pamungkas, 2016).
4. Teknik Pernapasan Diafragma
Secara prinsip teknik ini memiliki tujuan yang hampir sama dengan
pursed lip breathing yaitu meningkatkan ventilasi dan pembukaan
jalan udara. Teknik ini juga digunakan pada individu dengan penyakit
paru obstruksi kronis (Andarmoyo, 2012).

5. Fisioterapi Dada
Fisioterapi dada merupakan suatu tindakan keperawatan yang terdiri
postural drainage, clapping/perkusi, dan vibrating pada pasien
dengan gangguan sistem pernapasan. Tujuan dari tindakan ini adalah
meningkatkan efisiensi pola pernapasan dan membersihkan jalan
napas. Waktu optimal untuk melakukan teknik ini adalah sebelum
makan dan menjelang tidur malam (Andarmoyo, 2012).

6. Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu kanula,
nasal dan masker. Metode pemberian oksigen dibagi menjadi dua
teknik yaitu sistem aliran rendah dan sistem aliran tinggi. Sistem
aliran rendah digunakan untuk menambah konsentrasi udara ruangan,
menghasilkan FiO2 yang tergantung pada tipe pernapasan dengan
patokan volume tidal. Digunakan pada pasien yang membutuhkan
oksigen namun masih mampu bernapas dengan pola pernapasan
normal. Sedangkan sistem aliran tinggi digunakan saat FiO2 stabil,
dan tidak bergantung pada tipe pernapasan. Sehingga konsentrasi
oksigen dapat ditingkatkan, tepat, dan teratur. Prinsip dari sistem ini
adalah udara dapat masuk melalui sungkup yang kemudian akan
dihimpit, sehingga tercipta tekanan negatif sehingga udara luar
dapatterhirup dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak
(Somantri, 2009; Andarmoyo, 2012).

7. Teknik Penghisapan Lendir


Penghisapan lendir merupakan tindakan keperawatan yang ditujukan
pada individu yang tidak mampu mengeluarkan lendir sendiri.
Tujuannya untuk membersihkan jalan napas dan memenuhi kebutuhan
oksigenasi (Andarmoyo, 2012).
8. Teknik Pengambilan Sputum
Sputum adalah bahan yang keluar dari bronkhi atau trakhea.
Tujuannya yaitu untuk mengetahui keberadaan basil tahan asam dan
mikroorganisme dalam tubuh sehingga diagnosa dapat ditegakkan.
Tindakan ini diindikasikan pada individu yang mengalami peradangan
pada saluran pernapasan (Andarmoyo, 2012).

9. Teknik Pemberian Nebulizer


Adalah tindakan memberikan campuran zat aerosol dalam partikel
udara dengan tekanan udara, bertujuan untuk memberikan obat
melalui napas spontan (Andarmoyo, 2012).

f. Pemeriksaan dan Penilaian Oksigenasi

1. Metode Morfologis (Somantri, 2009)


a) Radiologi
yaitu pemeriksaan menggunakan sinar x-ray, parenkim paru
memberikan resistensi yang sangat kecil terhadap sinar x-ray,
sehingga hanya akan memberikan bayangan memancar, namun pada
benda padat akan memberikan kesan warna lebih putih dibanding
udara. Pada pasien PPOK akan terlihat bertambahnya corakan paru
pada bronkhitis kronis dan bertambahnya defisiensi arterial corakan
paru pada emfisema (Muwarni, 2012 dalam Lestari 2016).

b) Bronkoskopi

Merupakan teknik visualisasi langsung dari trakhea dan cabang-


cabang utamanya.

c) Pemeriksaan Biopsi

Merupakan teknik pengambilan jaringan menggunakan teknik


endoskopi maupun laringoskopi, atau bronkoskopi.

d) Pemeriksaan Sputum
Teknik untuk menganalisa adakah bakteri basil atau
mikroorganisme lain didalam saluran napas, untuk menjelaskan
berbagai peradangan pada saluran napas.
b) Saturasi Oksigen

Saturasi oksigen adalah prosentase hemoglobin yang


berhasil disaturasi oleh oksigen (Andarmoyo, 2012). Terdiri dari
saturasi oksigen perifer (SpO2) dan saturasi oksigen arteri (SaO2).
Saturasi oksigen perifer diukur menggunakan oksimetri nadi (pulse
oksimetri sedangkan saturasi oksigen arteri diukur menggunakan
analisa gas darah arteri. Nilai normal saturasi oksigen adalah ≥ 95
% (Somantri, 2009; Francis, 2011).

Faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen meliputi:


proses fisiologis pernapasan, hemoglobin, sirkulasi, aktivitas, suhu
tubuh, kondisi fisiologis (Brooker, 2005 dalam Ristanto 2017).

c) Analisa Gas Darah

Analisa gas darah arteri memberikan informasi yang akurat


mengenai fungsi respirasi, dengan asumsi bahwa sampel diambil
dan dianalisis dengan tepat (Francis, 2011). Lokasi pengambilan
sampel darah arteri yang mudah dicapai adalah arteri radialis dan
arteri femoralis (Somantri, 2009).

Nilai normal gas darah arteri adalah sebagai berikut:

Tabel 2.4 Nilai normal gas darah arteri

Rentang Intepreta
Tes Normal si

menandaka
PaO2 80-100 mmHg Elevasi, n pemberian
oksigen berlebihan.
Menurun mengindikasikan
, penyakit
CAL, bronkhitis kanker
kronis, paru
dan bronkus, kistik fibrosis, RDS,

anemia, atelektasis, atau penyebab


lain

yang menyebabkan hipoksia.

3. Pursed Lip Breathing Exercise


Adalah latihan bernapas dengan menghirup udara perlahan-lahan
lewat hidung kemudian mengerucutkan bibir dan melakukan ekspirasi yang
memanjang (Babu, 2016). Penapasan yang dalam dan panjang pada pursed
lip breathing mampu mengatasi dyspnea dengan baik, meningkatkan
volume tidal dan menurunkan frekuensi pernapasan. (Santos, Moraes,
Maraes, Sakabe, Takahashi, Oliveira, et al, 2003 dalam EMC Ramos, dkk
2009; C. Laura, dkk, 2015 dalam Rudi, 2017). Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal
napas kronik (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Pursed Lip breathing exercise merupakan latihan pernapasan yang terdiri


dari dua mekanisme yaitu mekanisme inspirasi yang kuat dan dalam, serta
mekanisme ekspirasi aktif dan panjang (Smeltzer, 2008 dalam
Purwaningsih, 2017). Latihan ini bertujuan untuk mengatur frekuensi dan
pola pernafasan serta mepertahankan tekanan positif saluran pernapasan
sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki ventilasi alveoli untuk
memperbaiki pertukaran gas tanpa meningkatkan kerja pernafasan,
mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas
lebih efektif dan mengurangi sesak nafas (Smeltzer, 2008 dan IS Rini, 2011
dalam Budiono, 2017).

Indikasi dilakukannya pursed lip breathing exercise adalah


dyspnea, PPOK, asma, bronkhitis, bronkhiektasis, emfisema, abses paru,
atelektasis, fibrosis kistik, ARDS, hiperventilasi, penyakit paru kronik dan
akut, latihan pre operasi bedah torak, obstruksi jalan napas (Babu, 2016).

Kontraindikasi dilakukanya pursed lip breathing exercise yaitu


pada pasien dengan peningkatan tekanan intra kranial, trauma kepala dan
cidera tulang belakang, miokard infark, perdarahan dengan ketidakstabilan
haemodinamik, flail chest, fraktur tulang rusuk (Babu, 2016).
a) Prosedur teknik Pursed Lip Breathing Exercise menurut (Smeltzer, 2008
dalam Bakti, 2015; Gotter, 2017 dalam Budiono 2017). diantaranya
meliputi :
Mengatur posisi pasien dengan duduk ditempat tidur atau kursi, dan
merilekskan bahu.
b) Meletakkan satu tangan pasien di abdomen (tepat dibawah prosesus
sipoideus) dan tangan lainnya ditengah dada untuk merasakan gerakan
dada dan abdomen saat bernafas.
c) Menarik napas dalam melalui hidung selama 2 detik sampai dada dan
abdomen terasa terangkat maksimal lalu jaga mulut tetap tertutup selama
inspirasi dan tahan nafas selama 2 detik.
d) Hembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka
sambil mengkontraksikan otot – otot abdomen selama 4 detik.
e) Kemudian ulangi lagi, tingkatkan waktu pehitungan inspirasi dan
ekspirasi dari 2 detik hingga 4 detik.
4. Pengaruh Pursed Lip BreathingExercise Terhadap Frekuensi Pernapasan
dan Saturasi Oksigen.
Pada pasien PPOK masalah utama yang dikeluhkan adalah sesak
napas, karenanya aktivitas fisik menjadi terganggu. Keadaan tersebut
berdampak terhadappenurunan saturasi oksigen (SaO2) (Ambrosino &
Serradori, 2006 dalam Khasanah, 2013). Frekuensi pernapasan sebagian
besar meningkat pada sebagian besar pasien yang mengalami sesak napas
(Davey, 2006).

Anda mungkin juga menyukai