Anda di halaman 1dari 12

A.

Latar Belakang
Seiring perjalanan dan pertambahan usia, proses penuaanpun terus berlangsung dan menimbulkan
berbagai macam perubahan. Tubuh akan mengalami perubahan-perubahan padastruktur dan
fisiologis dari berbagai sel, jaringan, ataupun organ dan sistem yang menyebabkan involusi dan
degenerasi. Organ tubuh pun mulai mengalami kemunduran, baik fisik maupun mental. Pada
orang lanjut usia terjadi perubahan-perubahan yang menuntut dirinya menyesuaikan diri secara
terus menerus. Apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil, maka
timbulah berbagai masalah (Sunaryo,dkk, 2015). Menurut Nugroho Wahyudi (2000) dalam
Sunaryo, dkk (2015) perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, yang
meliputi sel dan berbagai sistem dalam tubuh, salah satunya adalah perubahan pada sistem
urinaria.
Pola eliminasi urine merupakan salah satu perubahan fisik yang akan dialami oleh usia lanjut,
salah satunya dalam proses berkemih, seperti merasakan keluarnya urin dalam bentuk beberapa
tetes pada saat sedang batuk, jogging atau berlari. Bahkan ada juga yang mengalami kesulitan
menahan urin sehingga keluar sesaat sebelum berkemih. Semua gejala ini disebut dengan
inkontinensia urin (Suparman dan Rospas, 2008).
Perubahan yang terjadi pada lansia dengan sistem perkemihan yaitu penurunan tonus otot vagina
dan otot pintu saluran kemih (uretra) yang disebabkan oleh penurunan hormone esterogen,
sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine, otot–otot menjadi lemah, kapasitasnya
menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekwensi berkemih meningkat, perubahan letak
uterus akan menarik otot–otot vagina dan bahkan kandung kemih dan rectum seiring dengan
proses penurunan ini, masalah tekanan dan perkemihan (inkontinensia urine) akibat pergeseran
kandung kemih. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk
atau bersin, biasanya juga disebabkan oleh kelainan disekeliling daerah saluran kencing, fungsi
otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih, terjadi hambatan
pengeluaran urine sehingga urine yang keluar sedikit (Brunner&Suddarth,2002).
Inkontinensia memunculkan banyak komplikasi sekunder bagi individu lansia, termasuk dampak
fisiologis, sosial, psikologis, dan ekonomi. Gangguan inkontinensia urine dapat ditangani dengan
latihan memperkuat otot dasar pelvis (senam kegel),
bladder training , dan voiding record (catatan berkemih). Inkontinesia merupakan pengeluaran
urine secara tidak sadar yang sering terjadi pada orang tua dan menyebabkan meningkatnya risiko
infeksi saluran kemih, masalah psikologis dan isolasi sosial. lnkontinensia sering tidak dilaporkan,
karena penderita merasa malu dan juga menganggap tidak ada yang dapat menolongnya. Dari
penelitian pada populasi lanjut usia di masyarakat, didapatkan 75% dari pria dan 12% dari wanita
diatas 70 tahun mengalami inkontinensia urin. Sedangkan mereka yang dirawat di psikogeriatri
15-50% menderita inkontinensia urin (Fatimah, 2010).
Berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia tersebut, perubahan sistem
perkemihan merupakan salah satu masalah besar yang banyak dialami lansia dan perlu mendapat
perhatian khusus seiring dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia. Oleh karena itu,
penulis membuat makalah yang berjudul “Perubahan Sistem Perkemihan Pada Lanjut Usia”.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Mengetahui Perubahan yang Terjadi pada Sistem Perkemihan Lanjut Usia
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinani
b. Untuk Mengetahui Perubahan yang Terjadi pada Sistem Perkemihan Lanjut Usia
c. Untuk Mengetahui Dampak yang Terjadi Akibat Perubahan pada Sistem Perkemihan Lanjut
Usia
d. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan dari Perubahan yang Terjadi pada Sistem Perkemihan
Lanjut Usia
e. Untuk Mengetahui Pengaruh Perubahan Sistem Urinari Terhadap Psikologis
f. Untuk Mengetahui Konsep Senam Kegel
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Anatomi dan Fisiolog dari Sistem Urinani?
2. Bagaimanakah Perubahan yang Terjadi pada Sistem Perkemihan Lanjut Usia?
3. Apa Saja Dampak yang Terjadi Akibat Perubahan pada Sistem Perkemihan Lanjut Usia?
4. Bagaimana Penatalaksanaan dari Perubahan yang Terjadi pada Sistem Perkemihan Lanjut Usia?
5. Apakah Pengaruh Perubahan Sistem Urinari Terhadap Psikologis?
6. Apa yang dimaksud Senam Kegel?
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Anatomi dan Fisiologi Sitem Urinaria
Sistem perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi dan melakukan eliminasi
sisa-sisa hasil metabolisme tubuh (Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014). Sedangkan menurut
Nuari dan Widayati (2017), sistem Perkemihan atau sistem urologi merupakan suatu sistem
dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang
tidak diperlukan oleh tubuh larut dalam air dan dikelurkan berupa urine. Selain mempunyai fungsi
eliminasi, sistem perkemihan juga mempunyai fungsi lainnya, yaitu sebagai berikut.
1. Meregulasi volume darah dan tekanan darah dengan mengeluarkan sejumlah cairan kedalam
urine dan melepaskan eritropoetin, serta melepaskan renin.
2. Meregulasi konsentrasi plasma dari sodium, potasium, klorida, dan mengontrlon kuantitas ion-
ion lainnya kedalam urine, serta menjaga batas ion kalsium dengan menyintesis karsitrol
3. Mengonstribusi stabilisasi pH darah dengan mengontrol jumlah keluarnya ion hidrogen dan ion
bikarbonat kedalam urine
4. Menghemat pengeluaran nutrisi dengan memelihara ekskresi pengeluaran nutrisi tersebut pada
saat eliminasi produk sisa, terutama pada saat pembuangan nitrogen seperti urea dan asam urat
5. Membantu organ hati dalam mendetoksikasi racun selama kelaparan, deaminasi asam amino
yang dapat merusak jaringan (Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014).
Sistem perkemihan terdiri atas ginjal,ureter, kandung kemih, dan uretra. Untuk menjaga fungsi
ekskresi, sistem perkemihan mempunyai dua ginjal. Organ ini memproduksi urine yang berisikan
air, ion-ion, senyawa-senyawa, solut yang kecil. Urine meninggalkan kedua ginjal dan melewati
sepasang ureter menuju dan ditampung sementara pada kandung kemih. Proses ekskresi urine
dinamakan miksi, terjadi ketika adanya kontraksi dari otot-otot kandung kemih menekan urine
untuk keluar melalui uretra dan keluar dari tubuh. (Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014).
1. Ginjal
Gambar 2.1 (Sumber: Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014)
Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding abdomen di kanan dan
kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari
yang kiri karena besarnya lobus hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang
terdalam adalah kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar
adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini 9 berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan
memfiksasi ginjal (Tortora, 2011).
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang dan medula ginjal di
bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal mengandung jutaan alat penyaring
disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari
beberapa massa-massa triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan
bagian apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil
ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora, 2011).
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dan
lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital
ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat
terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan
air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson,
2012).
Ginjal memiliki berbagai fungsi antara lain, ekskresi produk sisa metabolisme dan bahan kimia
asing, pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan osmolaritas cairan tubuh,
pengaturan keseimbangan asam dan basa, sekresi dan eksresi hormon dan glukoneogenesis
(Guyton & Hall, 2008). Sedangkan, menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka
panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian akan mengambil zat-
zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu
akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di
kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan,
maka urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan
sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas
protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali
protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula
bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler
glomerulus tetapi tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian
akan dieksresi (Sherwood, 2011).
2. Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine dari pielum
ginjal kedalam kandung kemih. Pada orang dewasa panjangnya kurang lebih 20 cm. (Muttaqin,
Arif, dan Kumala Sari. 2014).
Ureter terdiri dari 2 saluran pipa, masing-masing bersambung dari ginjal ke kandung kemih.
Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa), lapisan tengah otot
polos dan lapisan sebelah dalam lapisan mukosa.
Gambar 2.2 Lapisan dinding ureter (Sumber : Nauri dan Widayati, 2017)
Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik tiap 5menit sekali yang akan
mendorong air kemih masuk kedalam kandung kemih (vesika urinaria). Gerakan peristaltik
mendorong urine melalui ureter yang diekskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam bentuk
pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung kemih (Nuari dan Widayati, 2017).
3. Kandung Kemih
Kandung kemih adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling
beranyaman (Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014). Kandung kemih dapat mengembang dan
mengempis seperti balon karet, terletak di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul.
Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang kuat. Dinding kandung
kemih terdiri dari beberapa lapisan yaitu, peritonium (lapisan sebelah luar), tunika muskularis,
tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian dalam). Bagian vesika urinaria terdiri dari:
a. Fundus, yaitu bagian yang menghadap ke arah belakang dan bawah, bagian ini terpisah dari
rektum oleh spatium rectosivikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferent, vesika seminalis
dan prostat pada laki-laki.
b. Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus
c. Verteks, bagian yang menuju ke arak muka dan berhubungan dengan ligamentum vesika
umbilikalis (Nuari dan Widayati, 2017).
Kandung kemih berfungsi menampung urine dari ureter dankemudian mengelurkannya melalui
uretra dalam mekanisme miksi. Dalam menampung urine, kandung kemih mempunyai kapasitas
maksimal, dimana pada orang dewasa besarnya adalah kurang lebih 300-450 ml. Pada saat
kosong, kenadung kemih terletak dibelakang simfisis pubis dan pada saat penuh berada diatas
simfisis sehingga dapat dipalpasi atau diperkusi. (Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014).
4. Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari kandung kemih melalui proses
miksi. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. (Muttaqin, Arif, dan
Kumala Sari. 2014). Pada laki-laki uretra berjalan berkelok-kelok melalui tengah-tengah prostat
kemudian menembus lapisan fibrosa yang menembus tulang pubis kebagian penis. Panjangnya
sekitar 20 cm. Uretra pada laki-laki terdiri dari uretra prostatica, uretra membranosa dan uretra
kavernosa. Apisan uretra laki-laki terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan sub mukosa (Nuari dan
Widayati, 2017).
Uretra pada wanita terletak dibelakang simfisis pubis, berjalan miring sedikit kearah atas,
panjangnya sekitar 3- 4 cm. Paisan uretra pada wanita terdiri dari tunika muskularis, lapisan
spongeosa merupakan pleksus dari vena-vena, dan lapisan mukosa. Muara uretra pada wanita
terletak disebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra disini hanya sebagai saluran
eksresi (Nuari dan Widayati, 2017).
Uretra dilengkapi oleh sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan kandung kemih dan
uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior.
Sfingter uretra interna teridi atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada
saat kandung kemih penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris
dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada
saat BAK sfingter ini terbuka dan tertutup pada saat menahan urine. (Muttaqin, Arif, dan Kumala
Sari. 2014).
B. Perubahan Yang Terjadi Pada Sistem Urinaria
1. Ginjal
Merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui urine darah yang masuk ke
ginjal disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut nerfon (tempatnya di
glomerulus). Kemudian mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ginjal menurun sampai
50 % fungsi tubulus berkurang akibat kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis
urin menurun proteinuria (biasanya 1+), BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat sampai 21 mg%,
nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat (Priyoto, 2015).
2. Otot-otot kandung kemih menjadi lemah, kapasitas menurun sampai 200 ml atau menyebabkan
frekuensi buang air seni meningkat, vesika urinaria susah dikosongkan pada lanjut usia sehingga
meningkatnya retensi urin.
Pembesaran prostat +75 % dialami oleh pria berusia diatas 65 tahun
(Priyoto, 2015).
3. Perubahan Aliran Darah Ginjal Pada Lanjut Usia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per menit darah dari
40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit. Normalnya 20% dari plasma
disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan
terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99% yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran
urin terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa setelah usia 20
tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal
pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal
terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari
kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan arteri
interlobaris yang berhubungan dengan usia.
4. Perubahan Fungsi Ginjal Pada Lanjut Usia
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga merupakan
predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap memiliki kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit
yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30 tahun dan 60
tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena berkurangnya jumlah nefron
dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi. Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal
pada lanjut usia antara lain :
a. Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
b. Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia
muda.
c. Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang menurun.
Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang berkurang. Maka
yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan memeriksa Creatinine
Clearance.
d. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak usia 30 tahun.
5. Perubahan Laju Filtrasi Glomerulus Pada Lanjut Usia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus (GFR). Pada
usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena total aliran darah ginjal dan
pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang menggunakan
bermacam-macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia
30-35 tahun, kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade.
Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi
kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin) menurun
sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin.
6. Perubahan Fungsi Tubulus Pada Lanjut Usia
Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan dari usia 40 ke 90-
an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian berkurang tetapi tidak terlalu banyak
pada usia 70, 80 dan 90 tahunan. Transpor maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH
(paraaminohipurat) menurun progresif sejalan dengan peningkatan usia dan penurunan GFR.
Penemuan ini mendukung hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi,
misalnya hipotesis yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan
pada transpor tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi nefron sehingga kapasitas total untuk
transpor menurun.
7. Perubahan Pengaturan Keseimbangan Air Pada Lanjut Usia
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka
pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total
air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada
perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena terjadi
peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau
kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan
volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur perasaan
haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang bila dibandingkan dengan usia muda
yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut
usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang
dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.
C. Dampak Yang Terjadi Akibat Perubahan Sistem Urinaria
1. Inkontinensia Urine
a. Pengertian
Inkontenensia terjadi akibat gangguan neurologis, atau mekanis pada sistem yang mengontrol
fungsi berkemih normal. (Braunwald, dkk. 2002). Merupakan pengeluaran urine secara tidak
sadar. sering pada orang tua dan menyebabkan meningkatnya risiko infeksi saluran kemih,
masalah psikologis dan isolasi sosial (Fatimah, 2010).
b. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih,
antara lain disebabkan melemahnya otot dasar panggul, kebiasaan mengejan yang salah ataupun
karena penurunan estrogen. Kelemahan otot dasar panggul dapat terjadi karena kehamilan, setelah
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause , usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot
dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
Inkontinensia urin. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause
(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya Inkontinensia urin . Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau
kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan Inkontinensia
urin. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami Inkontinensia urin, karena
terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul. Ini mengakibatkan seseorang
tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi ( gerakan ) abnormal dari dinding
kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa
ingin berkemih. Resiko Inkontinensia urin meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa
tubuh yang lebih besar, riwayat histerektomi, infeksi urin, dan trauma perineal. Penyebab
Inkontinensia urin antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-
obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan / keinginan ke toilet ( Martin
dan Frey, 2005 ; Setiati dan pramantara 2007 ).
c. Manifestasi Klinis
1. Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala
ini sangat spesifik untuk inkontinensia stress.
2. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya
terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol selama
tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukan
adanya kandung kemih yang tidak stabil.
4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara lemah, menetes), trauma
(termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus),
penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes)
dapat menunjukan penyakit yang mendasari.
5. Ketidak nyamanan daerah pubis.
6. Distensi vesika urinaria.
7. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
8. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml).
9. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
10. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.
11. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
12. Tidak merasakan urine keluar.
13. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil. (Potter & Perry: 2006)
d. Jenis Inkontinensia
Menurut Fatimah (2010) inkontinensia dibagi menjadi inkontinensia akut dan kronik.
1) Inkontinensia akut atau transient bersifat tiba-tiba, biasanya berhubungan dengan kondisi
pengobatan atau pembedahan. Penyebab inkontinensia akut antara lain mobilitas teratas, fecal
impaction, delirium, infeksi saluran kemih, dm tak terkontrol, hiperkalsemia, pengobatan
antikolinergik/alpha bloker, diurektic, paikotropik, narkotika dan alkohol.
2) Inkontinensia kronik atau persisten terbagi menjadi stress inkontinensia, urge inkontinensia,
overflow inkontinensia dan fungsional inkoninensia. Stress inkontinensia biasa terjadi pada lansia
wanita. Terjadi akibat adanya kelemahan otot-otot di sekitar uretra karena kehamilan, kelahiran
per vaginam, trauma pembedahan, obesitas dan batuk kronis. Pada pria stress inkontinensia tidak
biasa terjadi tetapi dapat terjadi apabila ada pembedahan prostate dan terapi radiasi. Urge
inkontinensia pada lansia biasanya dihubungkan dengan ketidakseimbangan otot destrusor akibat
dari tumor, batu, juga stroke dan penyakit parkinson. Dihubungkan dengan nokturia. Overflow
inkontinensia ditandai dengan keluhan sering miksi dengan volume urine yang sedikit, sulit
memulai miksi dan merasa tidak lampias. Biasanya terjadi pada neurophaty diabetic, injuri tulang
belakang, hipertropi prostate dan multiple sclerosis. Fungsional inkontinensia terjadi akibat
ketidakmampuan ke toilet. Akibat faktor fisik, mental, psikologis dan lingkungan (Fatimah, 2010).
e. Penatalaksanaan Inkontinensia Urine
1) Bladder training.
2) Latihan otot-otot dasar pelvic (Kegel 's exercise).
3) Biofeedback.
4) Toileting terjadwal.
5) Penggunaan pads.
6) lndwelling kateter, jika retensi urine tidak dapat dikoreksi secara medis/pembedahan dan untuk
kenyamanan klien terakhir.
D. Pengaruh Perubahan Sistem Urinaria Terhadap Psikologis
Kelainan Inkontinensia urin sendiri tidak mengancam jiwa penderita,
tetapi berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor
gangguan psikologis dan faktor sosial yang sulit diatasi. Penderita merasa
rendah diri karena selalu basah akibat urin yang keluar, mungkin pada saat
batuk, bersin, mengangkat barang berat, bersanggama, bahkan kadang pada saat beristirahat dan
setiap saat harus memakai kain pembalut.
a. Hubungan antara inkontinensia urine dengan depresi
Depresi merupakan penyakit mental yang sering dijumpai pada usia lanjut. Prevalensi terbesar
terjadi pada usia lanjut diatas 60 tahun. Beberapa faktor seperti : faktor biologis, psikologis, sosial,
penyakit fisis, gangguan
neurologis, taraf kesehatan yang menurun, kehilangan pasangan hidup dan rasa aman serta
lingkungan dapat menjadikan usia lanjut rentan mengalami gangguan depresi. Gangguan
kesehatan yang berkelanjutan dan terusmenerus dapat memperberat depresi itu sendiri. Pada usia
lanjut terjadi gangguan kesehatan dan penurunan fungsi tubuh dan kognitif. Salah satu gangguan
kesehatan yang sering dijumpai pada usia lanjut adalah Inkontinensia urin. Namun demikian
gangguan kesehatan ini seringkali tidak mendapatkan perhatian dan perawatan medis yang
seharusnya. Pandangan salah yang berpendapat bahwa Inkontinensia urin merupakan bagian
normal dari proses menua menyebabkan masalah ini lepas dari perhatian kalangan masyarakat
maupun tenaga medis. Keadaan ini menjadikan masalah Inkontinensia urin berkembang menjadi
lebih buruk dan berakhir pada komplikasi medis yang lainnya. Salah satunya komplikasinya
berupa gangguan psikologis yang berupa depresi. Tingkat berat dan ringannya depresi ini
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kematangan individu, tingkat pendidikan, kepribadian
mental dan progesivitas penyakit yang sedang dialami. Inkontinesia urin
berkepanjangan dapat membawa pada kondisi atau status depresi yang
semakin berat dan pada akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru seperti gangguan aktivitas
dan pekerjaan, interaksi sosial, pola tidur,
masalah seksual yang semua itu akan mengurangi kualitas hidup usia lanjut
( Setiati et al, 2007).
Menurut penelitian yang dilakukan Devrisa Nova Fernandes (2010) tentang “Hubungan
Inkontinensia Urine Dengan Derajat Depresi Wanita Usia Lanjut” didapatkan hasil adanya
hubungan antara Inkontinensia urin dengan derajat depresi pada wanita usia lanjut. Penelitian ini
dilakukan pada tahun 2009 dengan 39 responden didapatkan dari Panti Dharma Bakti dan sisanya
sebesar 34 didapatkan dari Posyandu Lansia binaan Puskesmas Manahan Surakarta.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin membuktikan teori yang menyebutkan bahwa Inkontinensia
urin yang terjadi pada usia lanjut dapat menyebabkan munculnya depresi. Dan peneliti lebih
mengkhususkan untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara bertambahnya tingkat
Inkontinensia urin dengan derajat depresi yang dialami wanita usia lanjut. Beberapa hal di bawah
ini disimpulkan peneliti ikut mempengaruhi hasil penelitian, diantaranya :
1. Tingkat keparahan/progesivitas penyakit ( Inkontinensia urin ). Semakin tingkat keparahan dari
penyakit maka akan semakin memberikan beban psikologis ( depresi, malu, rendah diri dan
menjauh dari pergaulan sosial ).
2. Kondisi Inkontinensia urin yang berat memberikan gangguan mobilitas dan beban psikologis
bagi seseorang.
3. Makin berat tingkatan Inkontinensia urin yang terjadi maka semakin membutuhkan perawatan
medis yang lebih ( dampak ekonomi, sosial dan mental semakin besar )
4. Penyakit lain yang dialami. Penyakit fisik ( tubuh ) yang berat, kronis dan menahun akan
membawa kondisi mental individu yang bersangkutan menjadi stres, putus asa dan tidak memiliki
gairah hidup.
E. Konsep Senam Kegel
1. Pengertian Senam Kegel
Latihan otot dasar panggul (ODP) dikembangkan pertama kali oleh Dr. Arnold Kegel pada tahun
1940 dengan tujuan menguatkan otot dasar panggul dan mengatasi stres inkontinensia urin.
Latihan ini berupa latihan ODP secara progresif pada otot Levator ani yang dapat dikontraksikan
secara sadar yang selanjutnya dikenal dengan Kegel Exercise. Kegel Exercise atau senam Kegel
merupakan terapi non operatif yang paling sering dilakukan untuk mengatasi stress inkontinensia
karena membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot pada uretra dan periuretra (Bobak, 2004
dalam Yanti, 2011).
2. Manfaat Senam Kegel
Senam Kegel memiliki manfaat terkait dengan fungsi otot PC. Senam Kegel tidak hanya memiliki
banyak manfaat untuk wanita, tetapi juga pada pria.
a. Bagi pria
Latihan ini akan meningkatkan kemampuan mengontrol dan mengatas ejaulasi dini, ereksi yang
lebih kuat dan meningkatkan kepuasan seksual saat orgasme. Selain itu multiple orgasme
juga bisa dialami oleh pria sebagai hasil dari latihan senam Kegel yang dilakukan secara teratur.
Pada pria, senam ini juga akan mengangkat testis dan mengencangkan otot kremaster sama seperti
mengencangkan sfingter ani. Hal ini disebabkan karena otot PC dimulai dari arah anus (Herdiana,
2009 dalam Yanthi, 2011).
b. Bagi wanita
Keuntungan melakukan senam Kegel adalah lebih mudah mencapai orgasme dan orgasme yang
dicapai lebih baik karena otot yang dilatih adalah otot yang digunakan selama orgasme. Manfaat
lain adalah vagina akan semakin sensitif dan peka rangsang sehingga memudahkan peningkatan
kepuasan seksual, dan suami akan merasakan perubahan yang sangat besar karena vagina mampu
mencengkram penis lebih kuat. Memudahkan kelahiran bayi tanpa banyak merobek jalan lahir dan
bagi wanita yang baru melahirkan, senam Kegel dapat mempercepat pemulihan kondisi vagina
setelah melahirkan dan tentu saja dapat menguatkan otot rangka pada dasar panggul sehingga
pemperkuat fungsi sfingter eksternal kandung kemih, mencegah prolaps uteri (Salma, 2008;
Maryam, 2008 dalam Yanthi, 2011). Beberapa manfaat senam Kegel yaitu menguatkan otot
panggul, membantu mengendalikan keluarnya urin saat berhubungan intim, dapat meningkatkan
kepuasan saat berhubungan intim karena meningkatkan daya cengkram vagina, meningkatkan
kepekaan terhadap rangsangan seksual, mencegah “ngompol kecil” yang timbul saat batuk atau
tertawa, dan melancarkan proses kelahiran tanpa harus merobek jalan lahir serta mempercepat
penyembuhan pasca persalinan (Mulyani, 2013).
3. Indikasi Senam Kegel
Senam Kegel dianjurkan bagi wanita dan pria yang umumnya memiliki keluhan terkait lemahnya
otot PC. Berikut adalah beberapa indikasi senam Kegel:
1) Pria dan wanita yang memiliki masalah inkontinensia (tidak mampu menahan buang air kecil).
2) Wanita yang sudah mengalami menopause untuk mempertahankan kekuatan otot panggul dari
penurunan kadar estrogen.
3) Wanita yang mengalami prolaps uteri (turunnya rahim) karena melemahnya otot dasar panggul,
juga untuk wanita yang mengalami masalah seksual.
4) Pria yang mengalami masalah ejakulasi dini serta ereksi lebih lama. (Ardani, 2010).
4. Kontra Indikasi Senam Kegel
Penderita penyakit jantung yang dapat mengakibatkan nyeri dada saat melakukan gerakan
minimal, penderita diabetes, penderita hipertensi, dan penderita penyakit kelamin (Hartati, 2009
dalam Ardani, 2010).
5. Prosedur Senam Kegel
Senam Kegel dilakukan berdasarkan langkah-langkah yang dijelaskan sebagai berikut:
1) Posisi berdiri tegak dengan posisi kaki lurus dan agak terbuka.
2) Fokuskan konsentrasi pada kontraksi otot daerah vagina, uretra dan rectum.
3) Kontraksikan ODP seperti saat menahan defekasi atau berkemih.
4) Rasakan kontraksi ODP, pastikan kontraksi sudah benar tanpa adanya kontraksi otot abdominal,
contohnya jangan menahan napas. Control kontraksi otot abdominal dengan meletakkan tangan
pada perut.
5) Pertahankan kontraksi sesuai kemampuan kurang lebih sepuluh detik.
6) Rileks dan rasakan ODP dalam keadaan rileks.
7) Kontraksikan ODP kembali, pastikan kontraksi otot sudah benar.
8) Rileks dan coba rasakan otot-otot berkontraksi dan rileks.
9) Sesekali percepat kontraksi, pastikan tidak ada kontraksi otot lain.
10) Lakukan kontraksi yang cepat beberapa kali. Pada tahap awal, lakukan tiga kali pengulangan
karena otot yang lemah mudah lelah.
11) Target latihan ini adalah sepuluh kali kontraksi lambat dan sepuluh kali kontraksi cepat. Tiap
kontraksi dipertahankan selama sepuluh hitungan. Lakukan enam hingga delapan kali selama
sehari atau setiap saat.
12) Senam Kegel dapat pula dilakukan secara sederhana dengan cara:
a. Saat berkemih coba untuk menahan aliran urin sampai beberapa kali.
b. Pada posisi apapun, coba lakukan kontraksi ODP. Pertahankan selama tiga sampai lima detik
jika sudah terbiasa latihan dapat ditingkatkan menjadi sepuluh detik (Pudjiati, Sri Surini & Utomo;
Di Fiori, 2005 dalam Ardani, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Ardani, N.M.K. (2010). Pengaruh Senam Kegel Terhadap Kontraksi Otot Dasar Panggul Pada
Lansia Wanita Di Banjar Pegok Denpasar Selatan. Skripsi tidak diterbitkan. Denpasar Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana
Bandiyah, Siti. 2009. Lanjut usia dan keperawatan gerontik. Yogyakarta : Nuha Medika
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2 . Jakarta:
EGC
Fatimah. 2010. Merawat Manusia Lanjut Usia Suatu Pendekatan Proses Keperawatan Gerontik.
Jakarta : CV Trans Info Media.
Fernandes, Nova Devrisa. 2010. “Hubungan Antara Inkontinensia Urine Dengan Derajat Depresi
Pada Wanita Usia Lanjut”. http://eprints.uns.ac.id/7435/1/112093003201010471.pdf diakses
Agustus 2017
Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi ke-6 . Jakarta: EGC.
Mulyani, S, 2013. Yogyakarta: Nuha Medika.
Muttaqin, Arif, dan Kumala Sari. 2014.
Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan . Jakarta: Salemba Medika
Nuari, Nian Afrian, Dhina Widayati. 2017.
Gangguan Pada Sistem Perkemihan & Penatalaksanaan Keperawatan . Yogyakarta: Deepublish
Publisher
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta:
EGC
Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi ke-6.
Jakarta : EGC.
Priyoto. 2015. Nursing Intervention Classification (NIC) dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta:
Salemba Medika
Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2007.
Proses Menua dan Implikasi Kliniknya . Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Sherwood, Laura Iee. 2011 . Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC
Sunaryo,dkk. 2015. Asuhan Keperawatan Gerontik . Yogyakarta: CV Andi Offset
Suparman, D. & Rampas, J. 2008.
Inkontinensia Urine pada Perempuan Menopause di Bagian Kebidanan dan Kandungan
Universitas Sam Ratulangi, RSU Prof.Dr.R.D.Kandau, Manado . Manado : Maj Obset Ginekol
Indonesia.
Tortora GJ, Derrickson B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology Maintanance and
Continuity of the Human Body 13th Edition. Amerika Serikat: John Wiley & Sons, Inc.
Yanti, Damai.dkk.2011. Asuhan Kebidanan Masa Nifas . Bandung: Refika Aditama
Beri komentar sebagai:
Publikasik Pratinjau Tidak ada ko

Anda mungkin juga menyukai