Anda di halaman 1dari 30

SKENARIO KASUS II

DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


ILMU KESEHATAN ANAK

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

Ketua : Jerry Alfredo (15-062)

Sekretaris : Arista Virgiani (15-070)

Penyaji : Agung Diego Dimas J (15-065)

Moderator : Nessia Rahma Belinda (15-071)

Anggota :

Dwi Kurniawan (15-058)

Ilham Fadli (15-059)

Junia Ovinia (15-060)

Putri Rahmi Amelia (15-061)

Cantika Aldira (15-063)

Caca Monikha (15-064)

Diana Erlinda (15-066)

Sri Mulya Sari (15-067)

Nurul Syifa Putri Wesha (15-068)

Iffa Rahma Sari (15-069)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Skenario

Kasus II” sebagai salah satu syarat guna memenuhi proses pembelajaran di Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Baiturrahmah.

Dalam kesempatan ini dengan tulus dan segala kerendahan hati penulis

menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada dosen

pembimbing dalam memberikan bimbingan, waktu, perhatian, saran-saran serta

dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya

kepada kita semua dan semoga makalah ini dapat bermanfaat serta dapat

memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang

memerlukan.

Padang, 21 November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Epidemiologi Gizi Buruk Di Indonesia

2.2 Definisi Marasmus

2.3 Gejala Klinis Marasmus

2.4 Definisi Kwasiorkhor

2.5 Gejala Klinis Kwasiorkhor

2.6 Perbedaan Marasmus dan Kwasiorkor

2.7 5 Imunisasi Dasar PPI

BAB 3 Pembahasan

3.1 Skenario Kasus

3.2 Pemeriksaan Pada Kasus

3.3 Etiologi Pada Kasus

3.4 Diagnosa Kasus

3.5 Penatalaksanaan Kasus

3.6 Prognosis Pada Kasus

3.7 Dampak Gizi Buruk dan Stunting pada Anak

3.8 Kategori Status Gizi pada Kasus

3.9 Tata Cara Penggunaan KMS

3.10 Penyakit-penyakit yang bias dicegah dengan Imunisasi


BAB 4 Penutup

4.1 Kesimpulan

Daftar Pustaka
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :

1.3 Tujuan
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Gizi Buruk Di Indonesia AGUNG

2.2 Definisi Marasmus AGUNG

2.3 Gejala Klinis Marasmus DWI

2.4 Definisi Kwasiorkhor DWI

Kwashiorkor merupakan KEP tingkat berat yang disebabkan oleh asupan


protein yang inadekuat dengan asupan energi yang cukup.

2.5 Gejala Klinis Kwasiorkhor ILHAM

2.6 Perbedaan Marasmus dan Kwasiorkor ILHAM

2.7 5 Imunisasi Dasar PPI CACA


BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Skenario Kasus

Triger 2. Apakah penyakit anakku bisa dicegah ?

Boy, seorang anak berusia 2 tahun di bawa ibu ke poliklinik karena ada
ruam ruam kemerahan di tubuhnya yang mulai muncul sejak tadi pagi di wajah.
Sebelumnya Ray mengalami demam tinggi sejak 4 hari yang lalu. Ibu juga
mengatakan bahwa kakak Boy juga mengalami hal seperti ini 2 minggu yang lalu.
Dokter menanyakan apakah Boy mendapat imunisasi campak saat berusia 9 bulan
dan imunisasi MR pada bulan September kemarin. Menurut dokter penyakit ini
bisa dicegah dengan imunisasi karena ada beberapa penyakit yang dapat di cegah
penyabarannya melalui imunisasi.

Saat di lakukan pemeriksaan fisik, didapatkan BB 7 kg dan TB 75 cm.


Pada pemeriksaan fisik, anak tampak rewel, rambut tampak pirang dan mudah
rontok, wajah terlihat lebih tua dari anak seusianya, lemak tipis dan edema pada
kedua tungkai. Dokter mengatakan bahwa Boy mengalami gangguan status gizi
dan stunting sehingga memperberat penyakit infeksi yang dideritanya. Ibu
menanyakan apa yang menyebabkan anaknya mengalami gangguan gizi. Ibu
sangat cemas dan berharap dokter bisa memberikan solusi untuk mmulihkan
kembali kondisi Boy.

3.2 Pemeriksaan Pada Kasus

1. Anamnesis

Nama : Boy

Umur : 2 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Keluhan utama : ada ruam-ruam kemerahan di tubuh Boy

Keluhan tambahan :

a. Ruam muncul sejak tadi pagi di wajah

b. Demam tinggi 4 hari yang lalu


c. Kakak Boy juga mengalami kondisi seperti ini 2 minggu yang lalu

d. Boy tidak mendapatkan imunisasi campak dan MMR

2. Pemeriksaan fisik

a. BB : 7 kg

b. TB : 75 cm

c. Anak tampak rewel

d. Rambut pirang, mudah rontok

e. Wajah tampak tua dari anak seusia

f. Lemak tipis

g. Edem pada kedua tungkai

3.3 Etiologi Pada Kasus

Etiologi Stunting

Stunting pada anak balita merupakan konsekuensi dari beberapa faktor

yang sering dikaitkan dengan kemiskinan termasuk gizi, kesehatan, sanitasi dan

lingkungan. Lima faktor utama penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial dan

budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan dan

akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (Aridiyah dkk, 2015).

Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat menghambat

perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam

kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit

tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan


risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO,

2010).

ASI memiliki banyak manfaat, misalnya meningkatkan imunitas anak

terhadap penyakit, infeksi telinga, menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis

dan lain sebagainya (Henningham dan McGregor, 2009). Kurangnya pemberian

ASI dan pemberian MP-ASI yang terlalu dini dapatmeningkatkan risiko

terjadinya stunting terutama pada awal kehidupan (Adair dan Guilkey, 1997).

Besarnya pengaruh ASI eksklusif terhadap status gizi anak membuat WHO

merekomendasikan agar menerapkan intervensi peningkatan pemberian ASI

selama 6 bulan pertama sebagai salah satu langkah untuk mencapai WHO Global

Nutrition Targets 2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah

lima tahun (WHO, 2014).

Status gizi ibu hamil sangat memengaruhi keadaan kesehatan dan

perkembangan janin. Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat

menyebabkan berat lahir rendah (WHO, 2014). Penelitian di Nepal menunjukkan

bahwa bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk

menjadi stunting (Paudel dkk, 2012). Panjang lahir bayi juga berhubungan dengan

kejadian stunting. Penelitian di Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan panjang

lahir yang pendek berisiko tinggi terhadap kejadian stunting pada balita

(Meilyasari dan Isnawati, 2014). Faktor lain yang berhubungan dengan stunting

adalah asupan ASI Eksklusif pada balita. Penelitian di Ethiopia Selatan

membuktikan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan

berisiko tinggi mengalami stunting (Fikadu dkk, 2014).


Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan

orang tua, pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak

langsung dapat berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013)

menunjukkan bahwa kejadian stunting balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan

dan pendidikan orang tua yang rendah. Keluarga dengan pendapatan yang tinggi

akan lebih mudah memperoleh akses pendidikan dan kesehatan sehingga status

gizi anak dapat lebih baik (Bishwakarma, 2011). Penelitian di Semarang

menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga merupakan faktor risiko terjadinya

stunting pada balita usia 24-36 bulan (Nasikhah dan Margawati, 2012).

Etiologi Campak
Campak merupakan penyakit infeksi yang sangat menular (infeksius) yang

pada umumnya menyerang anak-anak serta merupakan penyakit endemis di

banyak belahan dunia. Penyebab penyakit campak ini adalah paramyxoviridae

(RNA), jenis Morbilivirus yang mudah mati karena panas dan cahaya (Nelfrides,

2016). Penularan penyakit campak adalah dari orang ke orang melalui droplet

respiration atau dapat pula secara air borne sebagai nucleus droplet aerosol.

(Giarsawan dkk, 2014).

Etiologi Kekurangan Gizi

Keadaan gizi yang baik merupakan syarat utama kesehatan dan berdampak

terhadap kualitas sumber daya manusia. Gizi buruk menurut World Health

Organization (WHO) ditentukan berdasarkan indikator antropometri berat badan

menurut tinggi atau panjang badan (BB/TB) dengan z-skor BB/TB ,-3 SD dan ada

atau tidaknya oedema (WHO, 2010).


Faktor penyebab gizi buruk dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu

penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung gizi buruk meliputi

kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi dab menderita penyakit

infeksi, sedangkan penyebab tidak tidak langsung gizi buruk yaitu ketersediaan

pangan rumah tangga, kemiskinan, pola asuh yang kurang memadai dan

pendidikan yang rendah (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).

Faktor konsumsi makanan merupakan penyebab langsung dari kejadian

gizi buruk pada balita. Hal ini disebabkan karena konsumsi jumlah dan komposisi

zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu beragam, sesuai kebutuhan,

bersih dan aman sehingga akan berakibat secara langsung terhadap pertumbuhan

dan perkembangan balita. Faktor penyakit infeksi berkaitan dengan tingginya

kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit pernapasan akut

(ISPA). Faktor kemiskinan sering disebut sebagai akar dari kekurangan gizi, yang

mana faktor ini erat kaitannya terhadap daya beli pangan di rumah tangga

sehingga berdampak terhadap pemenuhan zat gizi (Oktavia dkk, 2017).

Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) juga merupakan faktor yang

dapat berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk. Hal ini dikarenakan bayi yang

mengalami BBLR akan mengalami komplikasi penyakit karena kurang

matangnya organ, menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan gizi

saat balita. Faktor pendidikan Ibu erat kaitannya dengan pengetahuan Ibu

mengenai gizi sehingga akan berakibat terhadap buruknya pola asuh balita

(Oktavia dkk, 2017).


3.4 Diagnosa Kasus

Berdasarkan hasil pemeriksaan kasus diatas kelompok dua mendiagonsa Morbili

disertai Marasmik Kwashiorkor. Morbili/campak adalah infeksi virus yang ditandai

dengan munculnya ruam di seluruh tubuh. Penyakit yang sangat menular ini dapat

menyebar melalui kontak lendir yang terinfeksi atau lewat air liur. Nama lain dari

penyakit ini adalah morbili measles rubeola.

Virus campak menginfeksi dengan invasi pada epitel traktus

respiratorius mulai dari hidung sampai traktus respiratorius bagian bawah.

Multiplikasi lokal pada mukosa respiratorius segera disusul dengan viremia

pertama dimana virus menyebar dalam leukosit pada sistem retikuloendotelial.

Setelah terjadi nekrosis pada sel retikuloendotelialsejumlah virus terlepas kembali

dan terjadilah viremia kedua.

Sel yang paling banyak terinfeksi adalah monosit. Jaringan yang terinfeksi

termasuk timus. kelenjar limfe, hepar, kulit, konjungtiva dan paru. Setelah

terjadi viremia kedua seluruh mukosa respiratorius terlibat dalam perjalanan

penyakit sehingga menyebabkan timbulnya gejala batuk dan korisa. Campak

dapat secara langsung menyebabkan croup, bronchiolitis dan pneumonia, selain

itu adanya kerusakan respiratorius seperti edema dan

hilangnya silia menyebabkan timbulnya komplikasi otitis media dan pneumonia.

Setelah beberapa hari sesudah seluruh mukosa respiratorius terlibat, maka

timbullah bercakkoplik dan kemudian timbul ruam pada kulit. Timbulnya ruam

pada campak bersamaan dengan timbulnya antibodi serum dan penyakit menjadi

tidak infeksius. Oleh sebab itu dikatakan bahwa timbulnya ruam akibat

reaksi hipersensitivitas host pada virus campak (Tommy, 2000).


Marasmik Kwashiorkor merupakan bagian dari gizi buruk. Maramus

sendiri merupakan gejala penyakit yang disebabkan oleh tubuh yang mengalami

kekurangan kalori. Kwashiorkor merupakan gejal dari kekurangan gizi. Gizi yang

dimaksud ialah suatu gizi yang sebagian besar membentuk tubuh salah satunya

ialah protein. Pada kasus ditandai gejala yang terdapat pada marasmik serta

khwasiorkor sehingga kelompok kami mendiagnosa Marasmik Kwasiorkor.

Pada keadaan marasmus yang menyolok ialah pertumbuhan yang kurang atau

terhenti disertai atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada mulanya

kelainan demikian merupakan suatu proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup

jaringan, tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan.

Kebutuhan ini tidak terpenuhi pada intake yang kurang, karena itu untuk pemenuhannya

digunakan cadangan protein tubuh sebagai sumber energi.

Penghancuran jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu memenuhi

kebutuhan energi, akan tetapi juga memungkinkan sintesis glukosa dan metabolit esensial

lainnya seperti berbagai asam amino untuk komponen homeostatik. Oleh karena itu pada

marasmus berat, kadang-kadang masih ditemukan kadar asam amino yang normal,

sehingga hati masih dapat membentuk albumin.

Pada kwashiorkor yang klasik, gangguan metabolisme dan perubahan sel

menyebabkan edema dan perlemakan hati. Pada penderita defisiensi protein tidak terjadi

katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi

oleh jumlah kalori yang cukup dalam dietnya. Namun kekurangan protein dalam diet

akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino esensial yang dibutuhkan untuk

sintesis. Oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan

meningkat dan sebagian asam amino dari dalam serum yang jumlahnya sudah kurang
tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan

penyebab kurangnya pembentukan albumin oleh hati, sehingga kemudian timbul edema.

Perlemakan hati terjadi karena gangguan pembentukan lipoprotein beta sehingga

transport lemak dari hati ke depot lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi akumulasi

lemak dalam hati.

3.5 Penatalaksanaan Kasus NESSIA

3.6 Prognosis Pada Kasus OVIN

3.7 Dampak Gizi Buruk dan Stunting pada Anak

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting

Jangka pendek : terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan


pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh

Jangka panjang : menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,


menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,
kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua

3.8 Kategori Status Gizi pada Kasus PUTRI RAHMI

3.9 Tata Cara Penggunaan KMS CACA

3.10 Penyakit – Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi


A. POLIO
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).
Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio adalah anak
mendadak lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5
hari. Terdapat 2 jenis vaksin yang beredar, dan di Indonesia yang umum diberikan
adalah vaksin Sabin (kuman yang dilemahkan). Cara pemberiannya melalui
mulut. Di beberapa negara dikenal pula Tetravaccine, yaitu kombinasi DPT dan
polio. Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur beberapa hari
dan selanjutnya diberikan setiap 4-6 minggu. Pemberian vaksin polio dapat
dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan DPT. Imunisasi
ulangan diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT Pemberian imunisasi
polio akan menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit Poliomielitis.
Imunisasi polio diberikan sebanyak empat kali dengan selang waktu tidak kurang
dari satu bulan imunisasi ulangan dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5
– 6 tahun) dan saat meninggalkan sekolah dasar (12 tahun).

B. HEPATITIS B
Penyakit hepatitis disebabkan oleh virus hepatitis tipe B yang menyerang
kelompok resiko secara vertikal yaitu bayi dan ibu pengidap, sedangkan secara
horizontal tenaga medis dan para medis, pecandu narkoba, pasien yang menjalani
hemodialisa, petugas laboratorium, pemakai jasa atau petugas akupunktur.
Penyakit infeksi virus hepatotropiky yang bersifat sistemik dan akut.
1. Etiologi
Paling sedikit ada 6 jenis virus penyebab hepatitis yaitu, virus hepatitis  A,
B, C, D, E, G tapi pada anak umumnya menimbulakn masalah terutama
A,B dan C.
2. Manifestasi klinis
Umumnya asimptomatik pada bayi. Pada anak dan remaja dapat terjadi
gejala prodormal infeksi viral sistemik seperti anoreksia, neusea, vomiting,
fatigue, malaise, batuk dll. Dapat timbul mendahului ikterus selama 1-
2minggu. Jika hepar sudah membesar, pasien dapat mengeluh begh pada
perut kakan atas.. demam 38-39°C sering pada hepatitis A.kadang
mencapai 40°C. urin berwarna gelap sepert the, feses berwarna tanah.
Denagn timbul gejala kuning/ikterus maka biasanya gejala prodormal
menghilang. Hepatomegali dapat disertai nyeri tekan. Splenomegali dapat
ditemukan pada 10-20% pasien.
3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit ini dilakukan berdasarkan tipe virusnya.
4. Pencegahan umum
a. Perbaikan higienitas makanan
b. Perbaikan higienitas sanitasi lingkungan dan pribadi
c. Isolasi anak
Vaksin berisi HBsAg murni.  Diberikan sedini mungkin setelah lahir.
Suntikan secara Intra Muskular di daerah deltoid, dosis 0,5 ml.
Penyimpanan vaksin pada suhu 2-8°C. Bayi lahir dari ibu HBsAg (+)
diberikan imunoglobulin hepatitis B 12 jam setelah lahir + imunisasi
Hepatitis B. Dosis kedua 1 bulan berikutnya. Dosis ketiga 5 bulan
berikutnya (usia 6 bulan). Imunisasi ulangan 5 tahun kemudian. Kadar
pencegahan anti HBsAg > 10mg/ml. Produksi vaksin Hepatitis B di
Indonesia, mulai program imunisasi pada tahun 1997.

C. TBC (TUBERCULOSIS)
TBC adalah penyakit infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis sistemis
sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh. Dengan lokasi terbanyak
diparu yang bisa merupakan lokasi infeksi primer.
Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena
terhirupnya percikan udara yang mengandung kuman TBC. Kuman ini dapat
menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi),
kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak (yang terberat).
Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai
usia 12 bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur 2
bulan. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Bila pemberian imunisasi ini
“berhasil,” maka setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan timbul
benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka pada bayi
perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas. Biasanya setelah
suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam.
1. Tanda gejala
a. BB turun tanpa sebab yang jelas
b. Anoreksia dan gagal tumbuh, BB tidak naik secara adekuat
c. Demam lama dan berulang tanpa sebab yang jelas.
d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan multipel.
e. Batuk >30 hari
f. Diare persiiten yang tidak sembuh
Vaksin BCG tidak dapat mencegah seseorang terhindar dari infeksi M.
tuberculosa 100%, tapi dapat mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut, Berasal
dari bakteri hidup yang dilemahkan ( Pasteur Paris 1173 P2), Ditemukan oleh
Calmette dan Guerin. Imunisasi diberikan sebelum usia 2 bulan Disuntikkan intra
kutan di daerah insertio m. deltoid dengan dosis 0,05 ml, sebelah kanan

D. CAMPAK
Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat disebabkan oleh
sebuah virus yang bernama Virus Campak. Penularan melalui udara ataupun
kontak langsung dengan penderita.Gejala-gejalanya adalah : Demam, batuk, pilek
dan bercak-bercak merah pada permukaan kulit 3 – 5 hari setelah anak menderita
demam. Bercak mula-mula timbul dipipi bawah telinga yang kemudian menjalar
ke muka, tubuh dan anggota tubuh lainnya. Komplikasi dari penyakit Campak ini
adalah radang Paru-paru, infeksi pada telinga, radang pada saraf, radang pada
sendi dan radang pada otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang
permanen ( menetap ). Pencegahan adalah dengan cara menjaga kesehatan kita
dengan makanan yang sehat, berolah raga yang teratur dan istirahat yang cukup,
dan paling efektif cara pencegahannya adalah dengan melakukan imunisasi.
Pemberian Imunisasi akan menimbulkan kekebalan aktif dan bertujuan untuk
melindungi terhadap penyakit campak hanya dengan sekali suntikan, dan
diberikan pada usia anak sembilan bulan atau lebih.
1. Etiologi
virus morbili terdapat dalam sekret nasofaring dan darah selama stadium
kataral sampai 24jam setelah timbul bercak dikulit.
2. Manifestasi klinis
Masa tunas 10-20 hari dan kemudian timbul gejala yang dibagi menjadi 3
stadium:
a. S. kataral(prodormal)
Berlangsung 4-5 hari.gejala mneyerupai influenza, yaitu demam,
malaise, batuk,fotofobia, konjungtivitis, dan koriza. Gejala khas:
timbulnya bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar jarum,
dikelilingi oleh eritema,berlokasi di mukosa bukalis berhadapan
denagn molar bawah.
b. S. Erupsi
Gejala pada stadium kataral bertambah dan timbul enantem dipalatum
dulum dan palatum mole. Kemudian terajdi ruem eritematosa yang
berbentuk makula-papula disertai meningkatnya suhu badan. Ruam
mula-mula timbu dibelakang telinga, dibagian atas lateral
tengkuk,sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Dapat terjadi
perdarahan ringan rasa gatal dan muka bengakak. Ruam mencapai
anggota bawah pada hari ke3. Variasi lain adalah black mesles, yaitu
morbili yang disertai perdarahan pada kulit, lutut, hidung dan traktus
digestuvus.
c. S. Konvalesensi
Gejala pada stadium kataral mulai menghilang, erupsi kulit berkurang,
dan meninggalkan bekas dikulit berupa hiperpigmentasi dan kulit
bersisik yang bersifat patognomonik.

E. DIFTERI
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium Diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran
napas bagian atas dengan gejala Demam tinggi, pembengkakan pada amandel
(tonsil ) dan terlihat selaput puith kotor yang makin lama makin membesar dan
dapat menutup jalan napas. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang dapat
berakibat gagal jantung. Penularan umumnya melalui udara (betuk/bersin) selain
itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontamiasi.
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan
tetanus dan pertusis sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan
selang penyuntikan satu–dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan
kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu
bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan
bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun
panas. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
Diphteriae. Difteri adalah radang tenggorokan yang dapat menyebabkan
kerusakan jantung dan tenggorokan tersumbat.
Menular melalui percikan-pecikan ludah penderika waktu batuk dan
bersin. Dapat juga melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang telah
dicemari oleh kuman-kuman penyakit tersebut.
1. Etiologi
Corynebacteriumdiphtheriae ,bkteri gram positif yang polimorf, tidak
bergerak, dan tidak membentuk spora.
2. Tanda gejala
a. Demam tinggi
b. pembengkakan pada amandel ( tonsil )
c. terlihat selaput putih kotor yang makin lama makin membesar dan
dapat menutup jalan napas.
d. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang dapat berakibat gagal
jantung.
3. Prognosis: tergantung ada tidaknya komplikasi terutama paru dan saraf
pada bayi dan anak-anak.
F. PERTUSIS
Penyakit Pertusis atau batuk rejan atau dikenal dengan “ Batuk Seratus
Hari “ adalah penyakit infeksi saluran yang disebabkan oleh bakteri Bordetella
Pertusis. Gejalanya khas yaitu batuk yang terus menerus sukar berhenti, muka
menjadi merah atau kebiruan dan muntah kadang-kadang bercampur darah. Batuk
diakhiri dengan tarikan napas panjang dan dalam berbunyi melengking.Penularan
umumnya terjadi melalui udara (batuk/bersin). Pencegahan paling efektif adalah
dengan melakukan imunisasi bersamaan dengan Tetanus dan Difteri sebanyak tiga
kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang pentuntikan.
Pertusis (atau batuk rejan) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi tenggorok dengan bakteri Bordetella pertussis. penyakit radang pernafasan
(paru) yang disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari. Diebuat batuk 100 hari
karena lama sakitnya dapat mencapai 3 bulan lebih (100 hari). gejala penyakit ini
sangat khas, batuk yang bertahap, panjang dan lama disertai bunyi “whoop” dan
diakhiri dengan muntah.
Pertusis menular melalui percikan-pecikan ludah penderika waktu batuk
dan bersin. Dapat juga melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang
telah dicemari oleh kuman-kuman penyakit tersebut.
1. Tanda Gejala
a. serangan batuk, diikuti dengan tarikan napas besar (atau “whoop”).
Penderita
b. adakalanya muntah setelah batuk.
c. hidung beringus
d. rasa lelah
e. kadang  demam parah.
2. Etiologi
Bordetella pertusis adalah bakteri gram negatif, tidak bergerak, dan
ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasoparing dan
ditanamkan pada media agar Boerdet-gengou.
3. Manifes klinis
Masa tunas selama 7-14 hari. Penyakit ini berlangsung selama 6
minggu  atau lebih dan terbagi menjadi 3 stadium:
a. Stadium kataralis
selama 1-2minggu. Menyerupai influenza. Ditandai dengan batuk
ringan, terutama pada malam hari, pilek, serak, anoreksia, dan demam
ringan.
b. Stadium spasmodik
selama 2-4 minggu. Batuk semakin berat sehingga pasien gelisah
dengan muka mearh dan sianotik. Batuk terajdi paroksimal berupa
baruk-batuk khas. Serangan batuk panjang dan tidak ada inspirasi
diantaranya dan diakhiri dengan whoop (tarikan napas panjang dan
berbunyi melengking). Sering diakhiri muntah disertai sputum kental.
Anak dapat terberak-berak dan terkencing-kencing. Akibat tekanan
saat batuk dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.
Tampak berkeringat, pembuluh darah leher dan muka lebar.
c. Stadium konvalensi
selama 2minggu. Jumlah dan beratnya serangan batuk berkurang,
muntah berkurang, dan nafsu makan timbul kembali.
4. Pencegahan dengan pemberian vaksin DPT.

G. TETANUS
Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yan berbahaya karena
mempengaruhi sistim urat syaraf dan otot. Gejala tetanus umumnya diawali
dengan kejang otot rahang (dikenal juga dengan trismus atau kejang mulut)
bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher,
bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan
atas dan paha. Neonatal tetanus umumnya terjadi pada bayi yang baru lahir.
Neonatal tetanus menyerang bayi yang baru lahir karena dilahirkan di tempat yang
tidak bersih dan steril, terutama jika tali pusar terinfeksi. Neonatal tetanus dapat
menyebabkan kematian pada bayi dan banyak terjadi di negara berkembang.
Sedangkan di negara-negara maju, dimana kebersihan dan teknik melahirkan yang
sudah maju tingkat kematian akibat infeksi tetanus dapat ditekan. Selain itu
antibodi dari ibu kepada jabang bayinya yang berada di dalam kandungan juga
dapat mencegah infeksi tersebut.
Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Clostridium
tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin.
Tetanospasmin menempel pada urat syaraf di sekitar area luka dan dibawa ke
sistem syaraf otak serta saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada
aktivitas normal urat syaraf. Terutama pada syaraf yang mengirim pesan ke otot.
Infeksi tetanus terjadi karena luka. Baik karena terpotong, terbakar, aborsi ,
narkoba (misalnya memakai silet untuk memasukkan obat ke dalam kulit) maupun
frosbite. Walaupun luka kecil bukan berarti bakteri tetanus tidak dapat hidup di
sana. Sering kali orang lalai, padahal luka sekecil apapun dapat menjadi tempat
berkembang biaknya bakteria tetanus. Periode inkubasi tetanus terjadi dalam
waktu 3-14 hari dengan gejala yang mulai timbul di hari ketujuh. Dalam neonatal
tetanus gejala mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi. Walaupun
tetanus merupakan penyakit berbahaya, jika cepat didiagnosa dan mendapat
perawatan yang benar maka penderita dapat disembuhkan. Penyembuhan
umumnya terjadi selama 4-6 minggu. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi sebagai bagian dari imunisasi DPT. Setelah lewat masa kanak-kanak
imunisasi dapat terus dilanjutkan walaupun telah dewasa. Dianjurkan setiap
interval 5 tahun : 25, 30, 35 dst. Untuk wanita hamil sebaiknya diimunisasi juga
dan melahirkan di tempat yang terjaga kebersihannya.
Penyakit infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistim urat syaraf
dan otot. Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri yang disebut dengan Clostridium
tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin.
Tetanospasmin menempel pada urat syaraf di sekitar area luka dan dibawa ke
sistem syaraf otak serta saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada
aktivitas normal urat syaraf. Terutama pada syaraf yang mengirim pesan ke otot..
tetanus penularannya melalui tali pusat karena pertolongan persalinan yang tidak
bersih/steril, atau melalui luka.
1. Etiologi
Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora, tersebar ditanah,
mengeluarkan eksotoksin.
2. Manifesklinis
a. Lokal: nyeri, kaku dan spasme dari daerah yang terluka
b. Umum: trismus, kekakuan otot maseter, kekakuan otot wajah, kaku
kuduk, opistotonus, perut papan, kejang tonik umu, kejang rangsang
(terhadap visual, suara, taktil), kejang spontan, retensio urin.
c. Gejala
tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang (dikenal juga dengan
trismus atau kejang mulut) bersamaan dengan timbulnya pembengkakan,
rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang
secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha.
Reaksi pasca imunisasi DPT adalah Demam, nyeri pada tempat suntikan 1-
2 hari, diberikan anafilatik + antipiretik. Bila ada reaksi berlebihan pasca
imunisasi demam > 40°C, kejang, syok imunisasi selanjutnya diganti
dengan DT atau DpaT.

H. INFLUENZA
Influenza adalah penyakit infeksi yang mudah menular dan disebabkan
oleh virus influenza, yang menyerang saluran pernapasan. Penularan virus terjadi
melalui udara pada saat berbicara, batuk dan bersin, Influenza sangat menular
selama 1 – 2 hari sebelum gejalanya muncul, itulah sebabnya penyebaran virus ini
sulit dihentikan.Berlawanan dengan pendapat umum, influenza bukan batuk –
pilek biasa yang tidak berbahaya.
Gejala Utama infleunza adalah: Demam, sakit kepala, sakit otot diseluruh
badan, pilek, sakit tenggorok, batuk dan badan lemah. Pada Umumnya penderita
infleunza tidak dapat bekerja/bersekolah selama beberapa hari.Dinegara-negara
tropis seperti Indonesia, influenza terjadi sepanjang tahun. Setiap tahun influenza
menyebabkan ribuan orang meninggal diseluruh dunia. Biaya pengobatan, biaya
penanganan komplikasi, dan kerugian akibat hilangnya hari kerja (absen dari
sekolah dan tempat kerja) sangat tinggi.Berbeda dengan batuk pilek biasa
influenza dapat mengakibatkan komplikasi yang berat. Virus influenza
menyebabkan kerusakan sel-sel selaput lendir saluran pernapasan sehingga
penderita sangat mudah terserang kuman lain, seperti pneumokokus, yang
menyebabkan radang paru (Pneumonia) yang berbahaya. Selain itu, apabila
penderita sudah mempunyai penyakit kronis lain sebelumnya (Penyakit Jantung,
Paru-paru, ginjal, diabetes dll), penyakit-penyakit itu dapat menjadi lebih berat
akibat influenza.

I. DEMAM TIFOID
Penyakit Demam Tifoid adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
Salmonella Typhi yang masuk melalui saluran pencernaan dan menyebar
keseluruh tubuh (sistemik), Bakteri ini akan berkembang biak di kelenjar getah
bening usus dan kemudian masuk kedalam darah sehingga meyebabkan
penyebaran kuman dalam darah dan selanjutnya terjadilah peyebaran kuman
kedalam limpa, kantung empedu, hati, paru-paru, selaput otak dan sebagainya.
Gejala-gejalanya adalah: Demam, dapat berlangsung terus menerus.
Minggu Pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore/malam hari. Minggu Kedua,
Penderita terus dalam keadaan demam. Minggu ketiga, suhu tubuh berangsung-
angsur turun dan normal kembali diakhir minggu. gangguan pada saluran
pencernaan, nafas tak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah ditutupi selaput
lendir kotor, ujung dan tepinya kemerahan. Bisa juga perut kembung, hati dan
limpa membesar serta timbul rasa nyeri bila diraba. Biasanya sulit buang air besar,
tetapi mungkin pula normal dan bahkan dapat terjadi diare. gangguan kesadaran,
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak seberapa dalam, yaitu
menjadi apatis sampai somnolen. Bakteri ini disebarkan melalui tinja. Muntahan,
dan urin orang yang terinfeksi demam tofoid, yang kemudian secara pasif terbawa
oleh lalat melalui perantara kaki-kakinya dari kakus kedapur, dan
mengkontaminasi makanan dan minuman, sayuran ataupun buah-buahan segar.
Mengkonsumsi makanan / minuman yang tercemar demikian dapat menyebabkan
manusia terkena infeksi demam tifoid. Salah satu cara pencegahannya adalah
dengan memberikan vaksinasi yang dapat melindungi seseorang selama 3 tahun
dari penyakit Demam Tifoid yang disebabkan oleh Salmonella Typhi. Pemberian
vaksinasi ini hampir tidak menimbulkan efek samping dan kadang-kadang
mengakibatkan sedikit rasa sakit pada bekas suntikan yang akan segera hilang
kemudian.
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Gizi buruk merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan karena

kekurangan asupan energi dan protein juga mikronutrien dalam jangka waktu

lama. Anak disebut gizi buruk apabila berat badan dibanding umur tidak sesuai

(selama 3 bulan berturut-turut tidak naik). Gizi buruk atau malnutrisi dapat

diartikan sebagai asupan gizi yang buruk. Hal ini bisa diakibatkan oleh kurangnya

asupan makanan, pemilihan jenis makanan yang tidak tepat ataupun karena sebab

lain seperti adanya penyakit infeksi yang menyebabkan kurang terserapnya nutrisi

dari makanan.

Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashirkor dengan

gabungan gejala yang menyertai :

1.  Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60% dari berat normal.

Gejala khas kedua penyakit tersebut nampak jelas, seperti edema, kelainan

rambut, kelainan kulit dan sebagainya.

2.  Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak dan

otot.

3.  Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan gangguan

metabolic seperti gangguan pada ginjal dan pankreas.

4.  Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti meningkatnya

kadar natrium dan fosfor inorganik serta menurunnya kadar magnesium.


Gejala klinis Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari

gejala-gejala masing-masing penyakit tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Muchlastriningsih, Enny. 2005. Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah


dengan Imunisasi di Indonesia. Jakarta: CDK.

Parish HJ. A. 1965. History of Immunization. Edinburg, London: E&S


Livingstone Ltd. Satgas Imunisasi PP IDAI. 2011. Panduan Imunisasi Anak.
Jakarta: Balai Penerbitan Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Grover Z, Ee LC. Protein Energy Malnutrition. Nutr Defic. 2009 Oct; 56 (5):
1055–68.

Ubesie AC, Ibeziako NS, Ndiokwelu CI, Uzoka CM, Nwafor CA. Under-five
Protein Energy Malnutrition Admitted at the University of In Nigeria
Teaching Hospital, Enugu: a 10 year retrospective review. Nutr J.
2012; 11 (1): 43.

Yandi, RA. Seorang Anak Perempuan Usia Lima Tahun dengan Kwashiorkor. J
Medula Unila. 2016 Jan; 3: 127–32.

Adair, L. S., & Guilkey, D. K. (1997). Age specifi c determinant of


stunting in Filipino children. The Journal of Nutrition, 127, 314-320. Diakses dari
The Journal of Nutrition database.
Aridiyah, FO., Rohmawati, N., dan Ririanty, M. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan
Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in Rural and Urban
Areas). e-Jurnal Pustaka Kesehatan, 3(1). p: 164
Bishwakarma, R. (2011). Spatial Inequality in Children Nutrition in Nepal:
Implications of Regional Context and Individual/Household Composition.
(Disertasi, University of Maryland, College Park, United States). Diakses dari
http:// hdl.handle.net/1903/11683
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKMUI. Gizi Dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; 2007.
Fikadu, T., Assegid, S. & Dube, L. (2014). Factor associated with stunting
among children age 24 to 59 months in Meskan District, Gurage Zone, South
Ethiopia: A case-control study. BMC Public Health, 14(800). Diakses dari http://
www.biomedcentral.com/1471-2458/14/800.
Giarsawan, N., Asmara, IWS., dan Tulianti, AE. 2014. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kejadian Campak di Wilayah Puskesmas Tejakula I Kecamatan
Tejakula Kabupaten Buleleng Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 4(2). p:
140
Henningham, H. B. & McGregor, S. G. (2009). Gizi dan perkembangan
anak. In Gibney, M. J. dkk (Eds.), Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG
Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting pada
balita usia 12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal.
Journal ofNutrition College, 3(2), 16-25. Diakses dari
http://www,ejournals1.undip.ac.id
Nasikhah, R dan Margawati, A. (2012). Faktor risiko kejadian stunting
pada balita usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition
College,1(1). Diakses dari http:// www.ejournal-s1.undip.ac.id
Nelfrides, 2016. Faktor Resiko Kejadian Campak Pada Balita Di Kota
Padang Tahun 2015. Skripsi. Universitas Andalas: FKM
Oktavia, S., Widajanti, L., dan Aruben, R. 2017. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Status Gizi Buruk Pada Balita Di Kota Semarang Tahun
2017 (Studi Di Rumah Pemulihan Gizi Banyumanik Kota Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 5 (3) pp: 186-187.
Paudel, R., Pradhan, B., Wagle, R. R., Pahari, D.P., & Onta S. R. (2012).
Risk factors for stunting among children: A community based case control study
in Nepal. Kathmandu University Medical Journal, 10 (3), 18-24.
UNICEF. (2012). Ringkasan kajian gizi Oktober 2012. Jakarta: UNICEF
Indonesia.
WHO. (2014). WHA global nutrition targets 2025: Stunting policy brief.
Geneva: World Health Organization.
World Health Organization. WHO Child Growth Standards and The
Identification of
Severe Acute Malnutrition in Infants and Children. 2010
WHO. (2010). Nutrition landscape information system (NLIS) country
profile indicators: Interpretation guide. Geneva: World Health Organization.

Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Kurang Energi-Protein pada Anak di


Rumah Sakit Kabupaten/Kodya. Jakarta. 2000; 1-22.

Masnjoer A, dkk. Penyakit Gizi Anak. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid II.
FKUI. Jakarta. 2000; 512-19.

Anda mungkin juga menyukai