Anda di halaman 1dari 4

Nama : Fadlylah Nur Aini

Kelas : A.70. S1
NPM :1907350131
Mata Kuliah : Hukum Islam
Dosen : DR. DRS. H. MISBAHUL HUDA, SH.MHI.

1. Apa yang saudara ketahui tentang


a. Maqasidus-syar’i
sebuah gagasan dalam hukum Islam bahwa syariah diturunkan Allah
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

b. Ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya
bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan daya dan
kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”.

c. Syarat-syarat ijtihad
- Mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.
- Mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang
bertentangan ijmak.
- Mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum
dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar.
- Mengetahui ilmu usul fikih.
- Mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang
dihapuskan).

2. Dala hukum islam diatur pembagia harta waris dengan benar dan adil.
a. Begaimana ketentuan pembagian harta waris menurut komplikasi Hukum
Islam (KHI) dan menurut hukum islam?
 Menurut Komplikasi Hukum Islam (KHI)
- Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas
putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul
Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal
191 KHI).
- Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri
berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan
suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak
milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
- Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat
seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
- Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat
seperempat bagian (Pasal 180 KHI).

 Menurut Hukum Islam


Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:
- Anak laki-laki (al ibn).
- Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
- Bapak (al ab).
- Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
- Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
- Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
- Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
- Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
- Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
- Paman seibu sebapak.
- Paman sebapak (al ammu liab).
- Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
- Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
- Suami (az zauj).
- Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang
memerdekakan.

Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:


- Anak perempuan (al bint).
- Cucu perempuan (bintul ibn).
- Ibu (al um).
- Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
- Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
- Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
- Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
- Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
- Isteri (az zaujah).
- Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).

Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼


bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan
mendapat bagian 1/8 apabila si pewaris mempunyai anak atau cucu,
dan isteri berhak mendapatkan juga bagian warisnya.

b. Lembaga peradilan mana yang memiliki kewenanangan menyelesaikan


sengketa warisan tersebut. Jelaskan disertai dasar hukumnya.
 Pengadilan Agama.
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Agama.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama
Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syari'ah.
Mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama terkait waris terdapat pada ketentuan
Pasal 49
huruf (b) yaitu:
“Yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi
ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan
bagian masing-masing ahli waris.”

3. Jelaskan harta gono gini atau harta bersama dalam perkawinan:


a. Menurut Hukum islam
- Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan
istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash
Shulhu “yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua
belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. Allah SWT
berfirman:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) “ (Qs. an-Nisa’ : 128)

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)


- Jika suami-isteri yang akan bercerai berperkara mengenai harta gono-
gini ke Pengadilan Agama, maka ada ketentuan khusus yang
diberlakukan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 97 ada ketentuan
bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapat
seperdua (bagian 50 %) dari harta bersama, sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Jadi, ketentuan pasal 97 dalam Kompilasi Hukum Islambukanlah
ketentuan yang sifatnya wajib secara syar’i. Sebab tidak ada nash
dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits yang menerangkan bahwa
pembagiannya harus seperti itu, yakni suami dan isteri masing-masing
mendapatkan setengah (50 %).

c. Menurut ketentuan UU No 1/ Tahun 1974 tentang Perkawinan.


- Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
- Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.

Anda mungkin juga menyukai