Penyakit tidak menular (PTM) seperti kanker, jantung, diabetes melitus, dan paru obstruktif kronik menjadi
penyebab utama kematian secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia
pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh PTM. Pada negara yang memiliki
tingkat ekonomi rendah-menengah terjadi prevalensi kematian sebesar 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan pada
negara yang memiliki tingkat ekonomi tinggi memiliki prevalensi 13% kematian. 1 Diabetes mellitus dapat meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilaporkan oleh Departemen
Kesehatan pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 5,7%.2
Diabetes melitus dikenal sebagai silent killer karena sering tidak disadari oleh penderitanya atau saat diketahui
sudah terjadi komplikasi.3 International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa prevalensi diabetes melitus di
dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan diabetes melitus sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia, pada
tahun 2013 angka kejadian diabetes di dunia adalah sebanyak 382 juta jiwa dimana 175 diantaranya belum terdiagnosis
sehingga penyakit ini akan berkembang secara progresif menyebabkan komplikasi karena tidak terdiagnosis dan tidak
ada pencegahan.4 Diabetes mellitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia. Prevalensi kasus diabetes melitus tipe 2
sebanyak 85-90%.5 Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu penyakit tidak menular dengan prioritas harus
ditindaklanjuti. Penyakit ini sering dikenal masyarakat dengan istilah kencing manis. Diabetes melitus merupakan
penyakit dengan gangguan metabolik yang terjadi karena hormon insulin yang tidak bekerja sebagaimana mestinya.3
Diabetes melitus adalah penyakit dengan gangguan metabolik yang sering ditemukan adanya konsentrasi glukosa yang
tinggi di dalam darah (hiperglikemia). Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir.6
Berdasarkan etiologinya, diabetes melitus adi diabetes melitus tipe 1, tipe 2, gestational, dan tipe lainnya.
Telaah Pustaka
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa:8
Variabe Bukan Belum DM
l DM pasti
DM
Kadar Glukosa Plasm <100 100- >200
darah sewaktu a vena <90 199 >200
(mg/dL Plasm 90-
) a 199
kapiler
Kadar Glukosa Plasm <100 100- >126
darah puasa a vena <90 125 >100
(mg/dL Plasm 90-99
) a
kapiler
Hasil pemeriksaan kadar gula darah normal bila:9
1. Gula darah sewaktu : <110 mg/dL
1
2. Gula darah puasa : 70-110 mg/dL
3. Waktu tidur : 110-150 mg/dL
4. 1 jam setelah makan : <160 mg/dL
5. 2 jam setelah makan : <140 mg/dL
6. Pada wanita hamil : <140 mg/dL
Klasifikasi dan Etiologi
1. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 sering disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) dan terjadi
akibat kerusakan sel . Diabetes tipe 1 dapat terjadi remaja atau anak-anak.7 Kebanyakan penderita diabetes tipe 1
berumur dibawah 30 tahun.10 Pasien yang menderita diabetes tipe 1 rentan terhadap ketoasidosis, kemungkinan terjadi
diabetes tipe 1 lebih sedikit dibandingkan dengan terjadinya diabetes tipe 2.4
Sistem imunitas diabetes mellitus tipe1 menyerang dan menghancurkan sel yang menghasilkan insulin beta
pancreas.11 Autoimun yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dapat menyebabkan infiltrasi limfositik dan
menghancurkan islet pancreas (pulau pancreas).12 Kehancuran pulau-pulau pancreas terjadi dengan cepat dan
kehancuran pulau pancreas dapat terjadi dalam beberapa hari sampai minggu kemudian jumlah insulin yang terdapat di
tubuh kurang karena terjadi kekurangan sel beta pancreas yang memliki fungsi sebagai penghasil insulin. Jika insulin
berjumlah sedikit, maka glukosa tidak dapat masuk kedalam sel dan glukosa akan terus beredar di darah sehingga
mengakibatkan hiperglikemi.13
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 sering disebut juga dengan Diabetes Non Insulin Dependent (DNID) dan biasanya
terjadi pada orang dengan usia lebih dari 40 tahun.7 Pada penderita diabetes tipe 2 biasanya terjadi resistensi insulin
tetapi DM tipe 2 tidak terdapat kerusakan pada pancreas dan insulin tetap dihasilkan oleh pancreas, bahkan kadang
insulin berada dalam kadar yang tinggi. Akan tetapi, tubuh memberikan respon resisten terhadap efek insulin, sehingga
jumlah insulin yang dihasilkan oleh tubuh tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. 10 DM tipe 2 sering terjadi
keterlambatan dalam diagnosis, penderita banyak yang baru didiagnosis beberapa tahun setelah onset, yaitu setelah
terjadinnya komplikasi muncul sehingga 90% dar penderita DM tipe 2 adalah akibat dari memburuknya faktor resiko
seperti kelebihan berat badan dan kurangnya aktivitas fisik.7
3. Diabetes Gestational
Diabetes gestational merupakan diabetes yang didiagnosis selama kehamilan yang ditandai dengan
hiperglikemi.11 Ibu hamil yang menderita diabetes gestational mempunyai peningkatan risiko komplikasi selama
kehamilan dan pada saat melahirkan, dan memiliki resiko diabetes tipe 2 yang lebih tinggi.4
3
Kelainan kulit pada penderita diabetes berhubungan dengan keadaan hiperglikemia dan hiperlipidemia.
Manifestasi kulit DM antara lain:15
1. Nekrobiosis Lipoidika Diabetikorum
4
Gambar 3. Akantosis Nigrikans.15
Manifestasi klinik DM yang biasanya berhubungan dengan obesitas, resistensi insulin dan terkadang
berhubungan dengan peningkatan produksi andogen. Kelainan ini dapat juga dijadikan indikator prognosis DM tipe
2.
Secara klinis akantosis nigrikans tampak sebagai penebalan kulit dengan papil papil berwarna kecoklatan
sampai kehitaman pada daerah lipatan seperti belakang leher, ketiak, selangkangan, lipatan payudara dan lipatan
perut. Distribusinya biasanya simetris. Kulit yang terkena tampak kotor dan permukaannya tampak seperti beludru.
Bagian belakang leher adalah bagian yang paling sering terkena. Kadang-kadang dapat disertai pula dengan
akrokordon/skin tag pada area yang terkena. Histopatologi dari lesi kulit menunjukkan adanya papilomatosis dan
hiperkeratosis dengan sedikit akantosis. Tampak sedikit hiperpigmentasi pada lapisan basal, tetapi warna kecoklatan
dari lesi kulit lebih disebabkan karena hyperkeratosis.
5. Skelerendema diabetikorum
6
Gambar 5. Skema terjadinya peningkatan proliferasi bakteri pathogen karena gangguan fungsi leukosit PMN .
c. Gangguan metabolisme kolagen
Hiperglikemik kronis mengganggu fungsi dan struktur kolagen yang secara langsung dapat berpengaruh pada
integritas jaringan periodontal. Gangguan tersebut meliputi penurunan fungsi pemeliharaan kolagen dan matriks
ekstraseluler, penurunan sintesis kolagen, serta penurunan maturasi kolagen. Kondisi-kondisi tersebut dampak
berupa terhambatnya migrasi sel, yang mempengaruhi integritas jaringan, sehingga jaringan pun rentan terhadap
invasi dari pathogen.
Dalam keadaan hiperglikemik, banyak protein dan molekul matriks mengalami glikosilasi enzimatik, yang dapat
menghasilkan pembentukan akumulasi hasil akhir glikasi/accumulated glycation end-products (AGEs) yang
berlebih. Kondisi ini mempengaruhi beberapa molekul seperti protein, lipid, dan karbohidrat.
Kolagen dihubungkan secara silang (cross-linked) oleh pembentukan AGE. Hal ini mebuat kolagen kurang larut
dan memiliki kemungkinan kecil untuk diperbaiki atau diganti. Dampak akhirnya adalah kolagen yang dihasilkan
pada individu DM yang tidak terkontrol, akan memiliki kerentanan terhadap invasi bakteri pathogen.
Kondisi hiperglikemik ini, adanya pembentukan AGE yang berlebih selain menyebabkan gangguan berbagai
molekul organik juga dapat menginduksi pengaktifan sel-sel mediator inflamasi seperti Interleukin 6 (IL-6),
fibrinogen, dan C-reaktif protein (CRP). Hal ini mengakibatkan rilisnya makrofag yang kemudian terjadi
peningkatan pelepasan enzim perusak jaringan dan sitokin pro-inflamatory.22
Gambar 6. Skema terjadinya kerentanan invasi pathogen karena gangguan metabolisme kolagen
7
Gambar 7. Hubungan patofisiologi antara penyakit DM dengan dental disease.23
Tabel 2. Patofisiologi, perawatan, dan pencegahan penyakit oral yang terkait dengan penyakit DM:23
Manifestasi Oral
Diabetes Mellitus tipe I dan II mempunyai manifestasi rongga mulut yang relatif sama, penyakit ini tetap dapat
menimbulkan berbagai komplikasi seperti penyakit nefropati yang melibatkan glomerulus ginjal sehingga mengakibatkan
gagal ginjal disertai dengan neuropati yang terjadi karena banyak faktor yaitu vaskular, metabolik dan mekanik.
Sedangkan yang menjadi faktor utamanya adalah gangguan metabolik jaringan saraf. Pada diabetes mellitus, glukosa
yang berlebihan diubah oleh aldose reduktase menjadi sorbitol. Sehingga terdapat banyak akumulasi sorbitol terutama
pada neuron, lensa mata, pembuluh darah dan eritrosit. Sorbitol ini bersifat higroskopik sehingga menarik air dan
meningkatkan tekanan osmotik dalam sel saraf. Tekanan osmotik ini mampu menyebabkan rusaknya saraf. Gangguan
ini menyebabkan fungsi ATP-ase juga terganggu, padahal ATP-ase berperan penting dalam konduksi sel saraf. Kedua
8
faktor ini menyebabkan gangguan pada sel Schwann dan akson sehingga menyebabkan demielinisasi dan degenerasi
akson. Adanya komplikasi neuropati ini pada penderita diabetes mellitus, menyebabkan gangguan saraf termasuk
inervasi ke kelenjar saliva. Padahal kelenjar saliva terutama dikontrol oleh sinyal saraf otonom yaitu simpatis dan
parasimpatis. Keadaan tersebut menimbulkan risiko penyakit periodontal yang diperkirakan meningkat dua sampai tiga
kali lipat.
Pada pasien Diabetes Mellitus, terjadi beberapa perubahan pada kondisi oral pasien. Beberapa perubahan
yang dapat ditemui meliputi adanya cheilosis, dry mouth and cracking (mukosa oral kering dan pecah-pecah), rasa
terbakar pada mulut dan lidah, penurunan laju saliva, dan gangguan pada flora normal cavitas oral, dengan
meningkatnya risiko invasi Candida albicans, Streptococcus hemolyticus, serta bakteri Staphylococcus.20
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, manifestasi oral yang dapat terjadi pada pasien DM meliputi gigi
berlubang, gingivitis, gangguan pengecapan rasa dan neurosensorik lainnya, rhinocerebral zygomycosis
(mucormycosis), aspergillosis, oral lichen planus, geographic tongue dan fissured tongue, perlambatan pada waktu
penyembuhan luka sehingga risiko infeksi meningkat, ketidaksesuaian erupsi gigi, serta dapat menimbulkan benign
parotid hypertrophy.24
Selain itu, terjadi peningkatan risiko terjadinya karies pada pasien DM yang kondisinya tidak terkontrol. Hal ini
pun berdampak pula pada kondisi jaringan periodontal, hal ini dikarenakan terjadi kecenderungan pelebaran pada
gingiva, sessile atau pedunculated gingival polyps, proliferasi polypoid gingival, pembentukan abses, periodontitis, dan
gigi yang kendur/goyang.20
Gambar 8. Kondisi jaringan periodontal pada pasien DM. A. pasien DM dewasa (kadar gula darah > 400 mg/dl). Terlihat adanya
inflamasi gingiva, perdarahan spontan, dan edema. B. hasil terapi insulin pada pasien A (kadar gula darah <100 mg/ dl). C. pasien
dewasa dengan DM yang tidak terkontrol. Terlihat adanya pelebaran, erythematous gingival margins dan papilla pada area anterior.
D. Kondisi lingual pada mandibular dextra pasien C. Terdapat inflamasi dan pembengkakan jaringan pada area anterior dan
premolar. E. pasien dengan DM tak terkontrol menunukkan adanya abes bernanah pada sisi buccal premolar maxilla.20
Tabel 3. Hasil penelitian ada tidaknya korelasi sitemik DM pada pasien terhadap kondisi oral. EL: Evidence level. GR:
Grade recommendation. PD: Periodontal disease. M: Men. W: Women. * Teeth endodontic patients with DM, ** Teeth
endodontic patients without DM, (-) Unknown or not describe:19
9
10
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan berbagai penelitian yang membuktikan adanya keterkaitan kondisi DM
dengan beberapa penyakit pada rongga mulut pasien. Hal inilah yang perlu dijadikan perhatian khusus bagi para
pasien DM untuk lebih menjaga oral hygiene nya dengan lebih baik.
Diabetes dan Periapical Pathology
Sebuah penelitian ilmiah menunjukkan peningkatan prevalensi lesi periapikal pada pasien dengan DM yang
tak terkontrol, sehingga meningkat pula angka perawatan endodontik. Mengenai tingkat keberhasilan perawatan
endodontik, pasien dengan DM memiliki tingkat kesuksesan yang lebih rendah dalam perawatan saluran akar primer
(primary root canal treatment) jika dibandingkan dengan pasien non-DM. Namun, untuk secondary root canal
treatment, baik pasien DM maupun non-DM memiliki tingkat keberhasilan yang sama. Pada penelitian ilmiah lain
menemukan bahwa pasien DM memiliki peningkatan risiko perlunya pencabutan gigi setelah perawatan endodontik.
Hal ini dapat meningkatkan risiko pada pasien DM yang juga memiliki riwayat hipertensi dan/atau penyakit arteri
koroner (coronary artery disease).25
Menurut Bender dkk. (2003), Kondisi pulpa pada pasien DM memiliki sirkulasi kolateral gigi terbatas,
gangguan respon imun, dan peningkatan risiko infeksi atau nekrosis pulpa. Mengenai patologi molekuler, kondisi
hiperglikemia merupakan stimulus untuk resorpsi tulang, penghambatan diferensiasi osteoblas, dan terjadi
pengurangan kapasitas pemulihan tulang.25 Telah diamati bahwa penghilangan inflamasi periodontal dapat
mengurangi dosis insulin yang dibutuhkan untuk kontrol glikemik pasien. Untuk alasan ini, penting untuk
menghilangkan semua infeksi pulpa gigi.19
11
ditemukan adanya perbedaan signifikan dalam karies antara kedua kelompok. Prevalensi lesi karies adalah 7,39%
pada pasien diabetes dan 6,91% pada non-diabetes.19 Studi lain dengan sampel 600 pasien (300 dengan diabetes
dan 300 sehat) menunjukkan bahwa prevalensi karies gigi lebih tinggi pada non-penderita diabetes (32,3%)
dibandingkan pada penderita diabetes (13,6%).27
Tabel 4. Hasil persentase penyakit orofasial baik pada pasien DM maupun non-DM:27
Menurut Moore dkk. (2001), seperti yang ditunjukkan pada Tabel diatas, pasien dengan DM memiliki
kebutuhan yang lebih besar untuk perawatan daripada subyek sehat, tetapi menunjukkan tingkat karies gigi yang
lebih rendah. Sementara itu, penelitian lain menemukan insiden karies gigi yang lebih tinggi pada pasien DM yang
dapat dijelaskan dengan penurunan sekresi saliva yang diderita oleh penderita diabetes.19
Diabetes dan Xerostomia
Pada penelitian Chávez dkk. (2001), terjadi kecenderungan aliran saliva yang menurun diamati ketika nilai
HbA1c meningkat. Sebuah studi baru-baru ini membandingkan karakteristik saliva pada 30 pasien dengan diabetes
dibandingkan dengan 30 subjek sehat. Delapan puluh persen pasien DM menunjukkan xerostomia, tetapi hanya
10% dari subyek sehat. Selain itu, kadar urea dan glukosa dalam saliva secara signifikan lebih tinggi pada penderita
diabetes dibandingkan subyek sehat. Ini menunjukkan bahwa DM dapat menyebabkan xerostomia dan bahwa
mungkin ada korelasi yang signifikan antara tingkat xerostomia dan kadar glukosa dalam saliva.19
Selain itu, peningkatan glukosa saliva meningkatkan proliferasi dan kolonisasi bakteri dalam rongga mulut,
dan glukosa adalah dasar untuk perkembangan.
Diabetes dan Gangguan Pengecapan
Deteksi rasa mengikuti pola herediter, tetapi dapat dipengaruhi oleh adanya kondisi neuropati. Ketika
kondisi neuropati, terjadi disfungsi sensorik. Hal tersebut dapat menghambat kemampuan untuk mempertahankan
diet makanan yang tepat dan dapat menyebabkan kontrol glikemik yang buruk.
Dalam konteks ini, sebuah studi klinis menyelidiki 73 pasien dengan DM2, 11 pasien dengan DM1, 12
pasien obesitas (IMT> 30) tanpa DM, dan 29 subjek kontrol. Semua subjek menjalani pemeriksaan
electrogustometric. Hasilnya ditemukan hypogeusia pada 40% pasien DM2, pada 33% pasien DM1, 25% pasien
obesitas, sementara tidak ada kasus hypogeusia ditemukan pada kelompok kontrol. Ageusia diamati pada 5%
pasien DM2, 3% pasien DM1, dan 14% pasien obesitas. Hasil ini menunjukkan bahwa gangguan selera dapat
membangkitkan hyperphagia, dan kemudian, obesitas.28
12
Diabetes and Burning Mouth Syndrome
Burning mouth syndrome (BMS) ditandai dengan sensasi terbakar pada mukosa mulut dan tidak adanya
tanda-tanda klinis. Etiologinya meliputi faktor sistemik, lokal, dan psikologis (stres, kecemasan, dan depresi). Pasien
dengan diabetes sering mengalami sindrom mulut terbakar, tetapi hubungan yang jelas antara DM dan BMS belum
diidentifikasi.29 Kemungkinan, salah satu faktor penyebab dari sindrom ini adalah kondisi xerostomia yang
menyebabkan mukosa oral mudah mengalami gesekkan.
Gambar 10. Skema hubungan diabetes melitus dan burning mouth syndrome.
Treatment
Tujuan dari pengobatan diabetes dibagi menjadi dua yaitu dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek, diharapkan dapat mencapai kadar glukosa darah pada kadar normal maupun mendekati
normal. Sedangkan dalam jangka panjang, diharapkan dapat mencegah atau mengurangi berbagai komplikasi.
Penatalaksanaan DM dapat dicapai melalui dua cara yaitu tanpa obat seperti diet dan merubah gaya hidup dan
menggunakan obat (farmakoterapi). Kedua cara ini dilakukan secara bersama dan dikontrol. Namun, penggunaan
obat yang tidak tepat dapat memicu timbulnya komplikasi pada DM.30
1. Terapi Non-obat
13
a. Diet
Pengaturan makan pada penderita DM lebih diperhatikan dalam hal jadwal makan, jenis, dan
jumlahnya. Terlebih apabila pasien tersebut mengkonsumsi obat insulin.31
b. Gaya Hidup
Pasien penderita DM terutama DM tipe II biasanya memiliki kebiasaan dan perilaku kurang sehat.
Tim kesehatan dapat melakukan edukasi kepada pasien dan mmembimbing agar perubahan perilaku
pasien menjadi sehat. Pasien dapat diberitahu mengenai pemantauan kadar glukosa darah mandiri.
Pasien penderita DM tipe II dianjurkan untuk melakukan olahraga secara teratur selama kurang
lebih 30 menit tiap 3-4 kali seminggu diluar kegiatan sehari-hari seperti berjalan-jalan, naik dan turun
tangga, juga berkebun. Dengan melakukan olahraga rutin diharapkan pasien dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin. Olahraga yang bersifat aerobik seperti jogging dan berenang
lebih dianjurkan.31
2. Terapi Obat (farmakoterapi)
a. Oral
Berdasarkan cara kerjanya, terbagi menjadi 5 golongan:31
1.) Memicu sekresi insulin
a.) Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja dengan cara meningkatkan sekresi insuin oleh sel beta pancreas.
Obat jenis ini merupakan pilihan pertama pada pasien penderita DM dengan berat badan normal
dan kurang. Namun, obat ini tidak dianjurkan untuk pasien lansia, gangguan ginjal dan hati, dan
gangguan kardiovaskular.
b.) Glinid
Obat Glinid diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
melalui hati. Glinid dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2.) Peningkatan sensitivitas insulin
Contoh obatnya adalah tiazolidindion. Obat ini berikatan dengan PPAR-g ( Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma) yaitu reseptor pada sel otot dan lemak. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan pengambilan insulin di
perifer. Golongan ini tidak dianjurkan untuk pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat
menyebabkan edema/retensi cairan dan gangguan hati.
3.) Penghambat gluconeogenesis
14
Contohnya adalah metformin. Obat ini cocok untuk pasien dengan diabetes gemuk. Obat ini tidak
boleh dikonsumsi oleh pasien dengan gagal ginjal dan hati. Obat ini diberikan pada saat atau sesudah
makan untuk mengurangi efek samping berupa mual.
4.) Penghambat absorpsi glukosa
Akarbose bekerja dengan cara mengurangi absorbs glukosa pada usus halus. Obat ini mempunyai
efek samping berupa kembung.
5.) DPP-IV inhibitor
GLP-1 merupakan perangsang pelepasan insulin dan menghambat sekresi glucagon. Sedangkan
DPP-IV merupakan enzim yang mengubah GLP-1 menjadi GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Oleh
karena itu, DPP-IV inhibitor bekerja dengan menghambat kerja dari DPP-IV sehingga GLP-1 tetap
tinggi. Obat ini cocok untuk pengobatan DM tipe II yang sekresi GLP-1nya menurun.
b. Injeksi
1.) Insulin
Contoh treatment yang dapat dilakukan adalah terapi insulin. Terapi ini harus wajib diberikan
kepada pasien penderita DM I dan DM II. Untuk menentukan jumlah insulin yang dibutuhkan tiap
harinya dapat melakukan tes gula darah secara rutin. Terapi insulin baiknya dilakukan pada pagi hari
sebelum sarapan, dua jam setelah makan, dan malam hari sebelum tidur. Diperlukan juga pengukuran
pada saat hipoglikemi seperti saat sebelum melakukan olahraga ataupun saat masa kehamilan.32
Insulin sendiri terbagi menjadi 5 jenis berdasarkan lama kerjanya, yaitu:31
a.) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
b.) Insulin kerja pendek (short acting insulin)
c.) Insulin kerja menengah (Intermediate acting insulin)
d.) Insulin kerja panjang (long acing insulin)
e.) Insulin campuran (premixed insulin)
2.) Agonis GLP-1
Agonis GLP-1 bekerja dengan cara merangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan
hipoglikemia atau peningkatan berat badan dan memungkinkan adanya penurunan berat badan serta
sebagai penghambat sekresi glukagon. Pada penelitian terhadap binatang, agonis GLP-1 dapat
memperbaiki cadangan beta pancreas.31
Dental Treatment
Diabetes mellitus bukan merupakan kontraindikasi untuk setiap tindakan perawatan gigi. Terdapat dua
faktor yang harus diperhatikan yaitu faktor sebelum dan sesudah tindakan operatif. Untuk faktor sebelum adalah
setiap pasien gigi yang tidak terdiagnosis, namun memiliki gejala seperti poliuria, polydipsia, lemah, dan penurunan
15
berat badan, harus dirujuk ke dokter umum agar di dapatkan diagnois yang akurat, sedangkan pasien yang telah
terdiagnosis diabetes melitus, tetap harus dilakukan identifikasi mengenai riwayat penyakit tersebut dan jenis
pengobatan apa yang sedang mereka terima. Faktor setelah tindakan adalah pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya infeksi, keadaan umum, juga gula darah dan kadar urin. Perawatan yang dapat dilakukan pada pasien
diabetes melitus:33
1. Pasien yang tidak bergantung pada insulin
Jika diabetes terkontrol dengan baik, maka semua prosedur perawatan gigi dapat dilakukan tanpa tindakan
pencegahan khusus.
2. Pasien yang bergantung pada insulin
Jika diabetes terkontrol dengan baik, maka perawatan dapat dilakukan tanpa tindakan pecegahan khusus.
Pasien disarankan untuk tetap mengkonsumsi obat atau diet seperti biasanya pada hari melakukan perawatan
gigi. Pasien dijadwalkan untuk melakukan pemeriksaan pada pagi hari. Selalu mengingatkan pasien untuk
memberitahukan kepada dokter gigi atau perawat gigi apabila muncul gejala selama perawatan tersebut.
3. Apabila diperlukan operasi pada pasien diabetes
Konsultasikan dengan dokter umum dari pasien mengenai kebutuhan diet selama periode pasca operasi.
Profilaksis antibiotik dapat dipertimbangkan bagi pasien yang memiliki dosis tinggi insulin yang juga memiliki
keadaan infeksi mulut kronis. Ketika terjadi keadaan yang tidak terkontrol atau tidak diinginkan dapat dilakukan
tindakan darurat atau meminta rujukan untuk evaluasi medis, manajemen, dan modifikasi faktor risiko.
Pasien yang datang kepada dokter gigi ada yang tidak menyadari jika dirinya memiliki diabetes melitus
namun menunjukan gejala seperti polyuria, polydipsia, lemah, dan penurunan berat badan, dan ada juga pasien
yang telah menyadari jika dirinya terdiagnosis diabetes melitus. Kedua tipe pasien ini baik yang sudah
mengetahui atau belum tetap harus dilakukan evaluasi kepada pasien mengenai riwayat medis, identifikasi obat
dan pengobatan yang sedang diterima, pemeriksaan klinis, peninjauan hasil tes laboratorium dan konsultasi.
Evaluasi pasien dilakukan untuk menentukan apakah pasien dapat dengan aman menjalani perawatan
kesehatan yang direncanakan.
Suatu sistem digunakan untuk mengungkapkan risiko medis adalah sistem klasifikasi fisik American Society
of Anesthesiologist (ASA) Sistem ini awalnya dikembangkan untuk mengklasifikasikan pasien berdasarkan risiko
perioperatif (praoperatif, intraoperatif, pascaoperatif) dengan anestesi umum. Namun, telah diadaptasi untuk
penggunaan medis dan gigi rawat jalan dan untuk semua jenis prosedur bedah, non-bedah tanpa memperhatikan
jenis anestesi yang digunakan.34
Tabel 5. Sistem klasifikasi ASA pada pasien DM:34
ASA I Pasien sehat, normal
ASA II Pasien memiliki penyakit sistemik ringan (asma ringan, hipertensi
16
terkontrol, DM terkontrol), tidak berefek pada aktivitas sehari-hari,
anestesi dan operasi tidak memiliki efek.
ASA III Pasien memiliki penyakit sistemik signifikan atau parah (hemodialisis,
penyakit jantung level 2), berefek pada aktivitas sehari-hari, anestesi
dan operasi mungkin memiliki efek.
ASA IV Pasien memiliki penyakit sistemik parah yang dapat mengancam hidup
atau memerlukan terapi intensif (akut miokard infark, gagal nafas).
Terbatasnya kegiatan sehari-hari, anestesi dan operasi memiliki efek
yang besar.
ASA V Kategori pasien yang memiliki harapan hidup kecil dan diperkirakan
tidak dapat bertahan hidup.
Jadi, pada pasien diabetes terkontrol jika perlu dapat diberikan anestesi umum, namun seringnya dokter
gigi memberikan anestesi lokal dengan 1:100.000 efinefrin. Pemberian efinefrin pada pasien diabetes disertai
hipertensi atau riwayat seperti miokard infark dan aritmia jantung, harus menjadi perhatian khusus bila perlu
dilakukan elektrokardiografi untuk mengetahui aman atau tidaknya anestesi tersebut. 34 Beberapa tindakan perawatan
gigi yang dapat dilakukan pada pasien diabetes melitus yaitu:23,35
1. Periodontal diseases
Penyakit periodontal yang biasa ditemui pada penderita diabetes melitus adalah gingivitis. Ketika gingivitis
berlanjut terus dan tidak segera dirawat, lama kelamaan akan berkembang menjadi periodontitis. Keparahan
gingivitis bergantung pada tingkat pengontrolan glikemik (glukosa darah), akan sulit ditangani ketika kadar
glukosa arah tetap meningkat karena respon peradangan pada jaringan periodontal berubah. Perawatannya
mencakup pembersihan plak, kalkulus, dan sementum dengan instrumen periodontal. Untuk bedah periodontal
dianjurkan pada pasien yang memiliki kadar glukosa darah dibawah 200 mg/dL dan pasien dianggap stabil.
2. Dry mouth (xerostomia)
Mulut kering pada penyandang diabetes kemungkinan disebabkan oleh komplikasi kronis diabetes melitus
seperti neuropati, abnormalitas vaskular, dan disfungsi endotel yang memicu erusakan mikrosirkulasi yang
berperan pada penurunan aliran dan komposisi saliva. Cukup dengan mengatur kontrol diabetes dan menjaga
kebersihan mulut.
3. Root caries
Pada penyandang diabetes memiliki indeks karies tinggi, terutama pada penyandang diabetes melitus 5-
10 tahun dengan kontrol gula darah yang buruk. Dapat dilakukan dengan treatment penggunaan pasta gigi
berfluoride, perawatan restorasi, dan mengontrol gula darah sebagai pencegahan.
17
4. Candidiasis
Infeksi jamur pada penderita diabetes dihubungkan dengan penurunan saliva dan keadaan hiperglikemia.
Dapat diberikan obat antifungal yaitu nystatin atau miconazole. Apabila pasien hendak dilakukan tindakan
scalling, pencabutan gigi, atau bedah periodontal perlu dicek gula darahnya terlebih dahulu karena tindakan
tersebut tidak boleh dilakukan jika kadar gula darah >200mg/dL.34
18