Anda di halaman 1dari 24

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Sarapan

a. Definisi Sarapan

Sarapan adalah makanan yang dikonsumsi 2-3 jam setelah bangun

tidur, meliputi makanan dan minuman paling tidak dari satu kelompok

makanan berkalori dan dapat dikonsumsi di mana saja. Waktu untuk

melakukan sarapan ditentukan 2-3 jam setelah bangun tidur ditetapkan

untuk membedakan antara sarapan dengan cemilan pagi dan makan

siang. Konsumsi air putih dan minuman tidak berkalori lainnya tidak

dianggap sebagai sarapan (O’Neil et al, 2014).

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes

RI), sarapan sehat adalah sarapan yang mengikuti pola gizi seimbang,

yakni terdiri dari sumber karbohidrat (60-68%), protein (12-15%),

lemak (25%), dan vitamin/mineral (Kemenkes RI, 2011).

b. Kebiasaan sarapan

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Banun dan Ani (2014),

kebiasaan sarapan dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

commit to6 user


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id7

1) Kebiasaan sarapan teratur

Kelompok orang yang mengonsumsi sarapan setiap hari (7

kali per minggu).

2) Kebiasaan sarapan tidak teratur

Kelompok orang yang tidak pernah sarapan atau jarang

mengonsumsi sarapan (kurang dari 7 kali per minggu).

Dalam peneitian lain yang dilakukan oleh Froydis NV et al

(2016), kebiasaan sarapan terbagi menjadi lima kelompok, yaitu a)

Tidak pernah, b) Sekali/pekan, c) Dua-empat kali/pekan, d) Lima-enam

kali/pekan, e) Setiap hari. Kelompok-kelompok tersebut kemudian

diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu:

1) Kebiasaan sarapan teratur

Kelompok orang yang mengonsumsi sarapan 5-6 kali/pekan

atau lebih.

2) Kebiasaan sarapan tidak teratur

Kelompok orang yang mengonsumsi sarapan 2-4 kali/pekan

atau kurang.

c. Faktor yang mempengaruhi kebiasaan sarapan

Menurut Hermina et al (2009), kebiasaan sarapan dipengaruhi

oleh beberapa faktor, antara lain:

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id8

1) Pengetahuan gizi

Anak yang terbiasa sarapan pagi cenderung memiliki

pengetahuan gizi yang lebih baik. Sementara itu, pengetahuan

mengenai tubuh yang ideal tidak memiliki pengaruh signifikan

terhadap kebiasaan sarapan.

2) Ketersediaan sarapan

Anak yang terbiasa sarapan pagi sebagian besar karena

tersedia sarapan di rumah.

3) Pendidikan ibu

Ibu yang berpendidikan tinggi (lebih dari SMA) cenderung

memiliki anak yang terbiasa sarapan dibanding ibu yang

berpendidikan rendah (kurang dari atau sama dengan SMA).

Sementara itu, tidak ada hubungan yang bermakna antara

pendidikan ayah dengan kebiasaan sarapan anak.

d. Pengaruh Sarapan

Sarapan memiliki beberapa pengaruh, di antaranya adalah sebagai

berikut:

1) Mengurangi risiko anemia defisiensi besi

Menurut penelitian Kalsum dan Halim (2016), orang yang

tidak memiliki kebiasaan sarapan mempunyai risiko dua kali lebih

besar untuk terkena anemia defisiensi besi dibandingkan dengan

orang yang melakukan sarapan.

commit to user
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id9

2) Meningkatkan konsentrasi

Orang yang mengonsumsi sarapan cenderung memiliki

konsentrasi lebih baik dibanding orang yang tidak mengonsumsi

sarapan. Hal ini karena sarapan dapat menyediakan karbohidrat

yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah.

Pemeliharaan kadar glukosa darah merupakan faktor yang amat

penting, khususnya untuk menjaga fungsi sistem saraf terutama

berkaitan dengan pekerjaan yang memerlukan konsentrasi otak

(Muchtar et al, 2011).

3) Menurunkan risiko overweight dan obesitas

Menurut Leidy et al (2013), mengonsumsi sarapan secara

teratur akan menurunkan hormon perangsang rasa lapar, yaitu

ghrelin, meningkatkan hormon perangsang rasa kenyang, yaitu

PYY, dan menurunkan keinginan mengonsumsi cemilan di waktu

lainnya.

2. Status Gizi

a. Definisi Status Gizi

Status gizi adalah gambaran keadaan tubuh sebagai akibat dari

konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan

menjadi beberapa kategori, yaitu status gizi buruk, gizi kurang, gizi

baik, dan gizi lebih (Almatsier, 2009).

commit to user
library.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

b. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Status gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik langsung

maupun tidak langsung. Menurut Pahlevi (2012), faktor penyebab

langsung yang mempengaruhi status gizi adalah keseimbangan gizi

dalam makanan yang dikonsumsi dan penyakit infeksi. Penyebab tidak

langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak,

dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan

tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga, serta

tingkat pendapatan keluarga. Selain itu, faktor ibu juga berperan penting

dalam menyediakan makanan bergizi dalam keluarga sehingga

berpengaruh terhadap status gizi anak.

c. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi merupakan proses penilaian keadaan gizi

seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik objektif

maupun subjektif kemudian dibandingkan dengan baku yang tersedia.

Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1) Anamnesis Asupan pangan

Menurut Arisman (2010), anamnesis asupan makanan

dilakukan dengan cara sebagai berikut:

commit to user
library.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

a) Food recall (Ingatan Pangan 24 Jam)

Mengingat kembali serta mencatat jumlah, jenis makanan,

dan minuman yang telah dikonsumsi dalam 24 jam sebelumnya.

b) Food Frequency Questionnaire/ FFQ (Kuisioner Frekuensi

Pangan)

Subjek akan dimintai data frekuensi, yaitu berapa kali

sehari, seminggu, atau sebulan orang tersebut mengonsumsi

makanan tertentu.

c) Food Record (Catatan Pangan)

Subjek diminta mencatat semua makanan dan minuman

setiap selesai dikonsumsi. Catatan harus memuat cara

menyiapkan dan memasak makanan, jumlah bahan mentahnya,

dan resep pembuatannya.

d) Pengamatan

Peneliti mengamati langsung apa yang dikonsumsi oleh

subjek, namun hal tersebut membutuhkan waktu dan biaya yang

lebih besar.

e) Konsumsi Pangan Keluarga

Cara ini dilakukan dengan kunjungan keluarga secara

berkala untuk mencatat jumlah dan jenis makanan yang dibeli

dan mencatat lamanya bahan makanan tersebut habis. Bahan

makanan yang sudah tidak ada dianggap sudah dimakan. Data

commit to user
library.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan nilai kandungan

gizi yang tercantum dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan

(DKBM).

2) Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik dan riwayat

kesehatan. Bagian tubuh yang harus lebih diperhatikan adalah kulit,

gigi, gusi, bibir, lidah, mata, dan (khusus laki-laki) alat kelamin.

Riwayat kesehatan yang perlu ditanyakan adalah kemampuan

mengunyah dan menelan, nafsu makan, makanan yang digemari dan

dihindari, serta masalah saluran pencernaan (Arisman, 2010).

3) Antropometri

Menurut Kemenkes (2010), penilaian antopometris pada anak

memiliki beberapa indeks, di antaranya:

a) Berat badan menurut umur (BB/U)

b) Panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut

umur (TB/U)

c) Berat badan menurut panjang badan (BB/PB) atau berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB)

d) Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U)

Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus tanpa

alas kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong

commit to user
library.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

menempel pada dinding, dan pandangan diarahkan ke depan. Alat

ukur yang digunakan sebaiknya mampu mengukur hingga 0,1 cm.

Berat badan diukur dalam keadaan berpakaian atau pakaian

seminimal mungkin. Alat penimbang yang digunakan harus akurat

hingga 100 gr.

IMT adalah indeks sederhana berat badan terhadap tinggi

badan. Nilai IMT didapatkan dengan rumus sebagai berikut:

IMT = Berat badan (kg)

Tinggi badan (m) x tinggi badan m

d. Klasifikasi Status Gizi Menurut Penilaian Antropometris

Pada anak, klasifikasi status gizi melalui penilaian antropometris

dilakukan berdasarkan beberapa indeks. Menurut Kemenkes (2010),

kategori dan ambang batas status gizi anak adalah sebagai berikut:

commit to user
library.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Anak Menurut Kemenkes


Indeks Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
BB/U Gizi Buruk < -3 SD
(Anak Umur 0-60 Gizi Kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD
Bulan) Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2 SD
PB/U atau TB/U Sangat Pendek < -3 SD
(Anak Umur 0-60 Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Bulan) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
BB/PB atau BB/TB Sangat Kurus < -3 SD
(Anak Umur 0-60 Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Bulan) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
IMT/U Sangat Kurus < -3 SD
(Anak Umur 0-60 Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Bulan) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
IMT/U Sangat Kurus < -3 SD
(Anak Umur 5-18 Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Tahun) Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
(overweight)
Obesitas >2 SD
(Kemenkes, 2010)

e. Obesitas

1) Definisi Obesitas

Obesitas dan overweight adalah suatu keadaan di mana tubuh

memiliki akumulasi lemak berlebih atau abnormal yang dapat

commit to user
library.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

mengganggu kesehatan (WHO, 2015). Meskipun begitu, obesitas

dan overweight perlu dibedakan. Pada anak usia 5-18 tahun, salah

satu hal yang dapat membedakan obesitas dan overweight adalah

Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut umur. Disebut overweight

apabila z-score >1 SD sampai dengan 2 SD dan disebut obesitas

apabila z-score >2 SD (Kemenkes, 2010).

2) Etiologi Obesitas

Menurut Baqai dan Wilding (2015), terdapat beberapa faktor

yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas, di antaranya adalah

sebagai berikut:

a) Faktor herediter

Faktor herediter yang dapat menyebabkan obesitas adalah

defek pada gen, misalnya mutasi pada gen pengkode leptin atau

reseptornya. Selain itu, dapat juga terjadi defek pada gen yang

menjadi sinyal penghambat produksi leptin, terutama gen

proopiomelanocortic (POMC) dan reseptor melanokortin-4.

Orang yang mengalami defek tersebut akan kesulitan

mengontrol rasa lapar, kemudian keadaan tersebut dapat

berkembang menjadi obesitas pada usia yang sangat muda.

b) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang dapat meningkatkan risiko

obesitas antara lain:

commit to user
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

(1) Diet tinggi energi

Peranan diet terhadap terjadinya obesitas sangat besar,

terutama diet tinggi energi yang berasal dari karbohidrat dan

lemak, seperti soft drinks.

(2) Aktivitas fisik

Berkurangnya aktivitas fisik dapat meningkatkan

risiko terjadinya obesitas. Pada tahun 2015, rata-rata

masyarakat Inggris berjalan kaki 40 km lebih sedikit,

menggunakan mobil lebih sering, dan menghabiskan

waktunya lebih banyak untuk aktivitas yang menetap,

dibandingkan pada tahun 1950.

(3) Kelainan endokrin

Orang yang mengalami defisiensi hormon

pertumbuhan cenderung memiliki lemak tubuh lebih

banyak. Keadaan hipotiroidisme juga dapat meningkatkan

berat badan, sebaliknya pemberian hormon tiroksin juga

dapat menurunkan berat badan.

(4) Gangguan psikiatri dan gangguan makan

Beberapa orang yang sedang mengalami stress

psikologis sering memunculkan reaksi makan berlebihan.

commit to user
library.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

(5) Obat-obatan

Berikut ini adalah obat-obatan yang berhubungan

dengan peningkatan berat badan menurut Baqai dan Wilding

(2015):

Tabel 2.2 Obat yang Berhubungan dengan Peningkatan Berat Badan


No Kelompok Contoh
a) Antikonvulsan Sodium valproat, gabapentin
b) Antidepresan Citalopram, mirtazapin,
amitriptilin
c) Antipsikotik Clozepin, chlorpromazin,
risperidon, olanzapine
d) Beta bloker Atenolol
e) Kortikosteroid Prednisolon, dexamethasone
f) Insulin Semua bentuk
g) Seks steroid Medroxiprogesteron acetat,
progesteron, kontrasepsi oral
kombinasi
h) Hipoglikemik oral Glibenklamid, gliklazid,
repaglinid, pioglitazone
i) Protease inhibitor Indinavir, ritonavir
j) Antagonis Pizotifen
serotonin
(Baqai dan Wildings, 2014)

Penjelasan mengenai mekanismenya dalam

menyebabkan obesitas masih belum banyak dibahas. Pasien

yang mengonsumsi obat-obatan tersebut perlu dijelaskan

commit to user
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

mengenai efek samping obat dan diintevensi gaya hidupnya

untuk mencegah adanya peningkatan berat badan

berlebihan. Jika memungkinkan, pasien dapat diberikan

alternatif obat lain yang tidak menimbulkan efek

peningkatan berat badan.

(6) Gangguan hipotalamus

Tumor pada hipotalamus, terutama kraniofaringioma

dan makroadenoma pituitari, dapat merusak bagian

hipotalamus yang mengatur pemasukan dan pengeluaran

energi. Selain akibat tumor hipotalamus, gangguan

hipotalamus dapat disebabkan oleh trauma atau operasi.

Gangguan hipotalamus ditunjukkan dengan adanya gejala

hiperfagi yang dapat mengarah kepada peningkatan berat

badan yang cepat.

3) Patofisiologi Obesitas

Obesitas terjadi akibat pemasukan energi lebih besar daripada

pengeluaran energi selama beberapa waktu (pada umumnya

beberapa tahun) sehingga menyebabkan akumulasi jaringan adiposa

bersamaan dengan peningkatan massa tubuh, yaitu pembesaran otot,

tulang, dan jaringan ikat (Baqai dan Wilding, 2015).

Pemasukan dan pengeluaran energi diregulasi oleh tubuh.

Pemasukan energi terjadi ketika tubuh mengonsumsi makanan.

commit to user
library.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Menurut Baqai dan Wilding (2015), keinginan mengonsumsi

makanan diregulasi oleh dua sistem pengaturan, yaitu:

a) Sistem pengaturan jangka pendek

Pada sistem pengaturan jangka pendek, rasa lapar

menyebabkan penurunan konsentrasi glukosa darah, asam

lemak, dan asam amino. Akibatnya, ghrelin disekresikan oleh

lambung sehingga merangsang sinyal lapar. Setelah

mengonsumsi makanan yang cukup, hormon pengatur rasa

kenyang meningkat. Hormon tersebut antara lain,

cholecystokinin, glucagon-like peptide 1, oxyntomodulin,

pancreatic polypeptide, dan peptide YY (PYY).

b) Sistem pengaturan jangka panjang

Sistem pengaturan jangka panjang berkaitan dengan

cadangan lemak dalam tubuh. Sel-sel adiposit menghasilkan

hormon leptin. Apabila massa lemak berkurang, hormon leptin

pun dapat berkurang bahkan hingga di bawah tingkat kritis. Jika

hal tersebut terjadi, sinyal lapar akan diaktifkan dengan sangat

kuat di hipotalamus. Ketika massa lemak meningkat kembali,

hormon leptin juga akan meningkat kembali.

Pengeluaran energi juga diatur oleh tubuh. Menurut Baqai dan

Wilding (2015), pengeluaran energi tersebut dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain:

commit to user
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

a) Laju Metabolik Basal

Laju metabolik basal adalah energi yang dibutuhkan untuk

menjaga kelangsungan proses metabolisme normal. Orang yang

obesitas memiliki laju metabolik basal yang lebih tinggi

daripada orang yang tidak obesitas, baik saat istirahat maupun

saat aktivitas.

b) Dietary Thermogenesis

Dietary thermogenesis adalah energi yang dibutuhkan

untuk mencerna dan menyimpan makanan. Dietary

thermogenesis yang paling besar adalah untuk mencerna

makanan tinggi protein, dietary thermogenesis sedang

digunakan untuk mencerna karbohidrat, dan dietary

thermogenesis yang paling kecil adalah untuk mencerna lemak.

Hal ini dapat menjelaskan bahwa diet tinggi lemak dapat

berisiko lebih besar meningkatkan berat badan karena

pencernaan dan penyimpanannya membutuhkan energi paling

kecil.

c) Konsumsi energi

Pada jenis aktivitas yang sama, pengeluaran energi pada

orang obesitas lebih besar daripada orang yang tidak obesitas.

commit to user
library.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

4) Komplikasi Obesitas

Menurut Pandita et al (2016), obesitas pada anak dapat

menyebabkan komplikasi, baik jangka pendek maupun jangka

panjang. Komplikasi tersebut antara lain:

Tabel 2.3 Komplikasi Obesitas pada Anak


Jenis Nama Penyakit
Akut Diabetes tipe 2, hipertensi,
hiperlipidemia, pubertas
prekoks, hiperandrogenisme
ovarium, ginekomastia,
kolesistitis, pankreatitis,
pseudotumor cerebri,
perlemakan hati, penyakit ginjal
Gangguan ortopedi Tibia vara
Gangguan liver dan empedu Peningkatan transaminase,
kolesistitis
Gangguan fisik dan psikologis Depresi, gangguan makan,
isolasi sosial, gangguan tidur
Gangguan kardiovaskuler dan Hiperinsulinisme, resistensi
endokrin insulin, hiperkolesterolemia,
hipertrigliseridemia, hipertensi,
sindrom polikistik ovarium,
penyakit arteri koroner,
hipertrofi ventrikel kiri
Kanker Karsinoma kolorektal
Jangka panjang Stroke, penyakit jantung iskemik
(Pandita et al, 2016)

commit to user
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

5) Penatalaksanaan Obesitas pada Anak

Penatalaksanaan obesitas pada orang dewasa umumnya sulit

dan sering tidak berhasil, terutama apabila tidak diketahui

etiopatogenesis organiknya, seperti defisiensi leptin dan

abnormalitas hormonal lainnya. Oleh karena itu, penatalaksanaan

obesitas pada anak-anak perlu diutamakan karena memiliki

kesempatan lebih besar untuk menurunkan risiko komplikasi jangka

panjang (Pandita et al, 2016).

Menurut Pandita et al (2016), terdapat tiga tingkat pencegahan

obesitas pada anak-anak:

a) Pencegahan primordial

Pencegahan ini berfungsi menjaga status gizi tetap berada

pada rentang IMT normal, mulai dari usia anak-anak hingga usia

remaja.

b) Pencegahan primer

Pencegahan ini berfungsi mencegah anak-anak yang sudah

overweight untuk berlanjut menjadi obesitas.

c) Pencegahan sekunder

Pencegahan ini berfungsi mencegah anak-anak yang sudah

mengalami obesitas untuk mendapatkan penyakit komorbid.

Selain itu, pencegahan ini juga berfungsi mengembalikan anak-

commit to user
library.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

anak yang obesitas tersebut menjadi normal kembali apabila

memungkinkan.

Menurut Davis et al (2007), obesitas pada anak-anak dapat

dicegah dengan cara mengatur kebiasaan makan, aktivitas fisik, dan

aktivitas menetap (sedentary activity). Pencegahan obesitas pada

anak-anak dapat dilakukan dengan cara:

a) Membatasi aktivitas menatap layar, seperti menonton televisi

dan bermain computer. The American Academy of Pediatrics

(AAP) merekomendasikan agar anak-anak tidak dikenalkan

dengan aktivitas menonton televisi sebelum usia 2 tahun.

Setelah usia 2 tahun, waktu menonton televisi dibatasi maksimal

2 jam sehari. Selain itu, direkomendasikan juga untuk tidak

meletakkan televisi di ruang tidur. Hal-hal tersebut secara tidak

langsung dapat meningkatkan penggunaan energi sehingga

mengurangi risiko obesitas.

b) Mengonsumsi sarapan setiap hari.

c) Mengurangi kegiatan makan di restoran, terutama restoran cepat

saji.

d) Membiasakan makan bersama satu keluarga. Selain memiliki

keuntungan psikologis, penelitian sebelumnya mengatakan

bahwa makan bersama satu keluarga juga menurunkan

prevalensi obesitas.

commit to user
library.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

e) Mengurangi porsi makan.

f) Mengonsumsi makanan tinggi kalsium.

g) Mengonsumsi makanan tinggi serat.

h) Mengonsumsi diet makronutrien yang seimbang.

i) Melakukan ASI eksklusi hingga usia 6 bulan dan tetap menyusui

selama pemberian MP-ASI hingga usia 12 bulan.

j) Melakukan aktivitas fisik sedang, minimal 60 menit per hari.

k) Mengurangi konsumsi makanan tinggi energi.

3. Anak

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

pasal 1 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Sedangkan menurut WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di dalam

kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak

bagian 1 pasal 1 yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-

bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia pada

tahun 1990, anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun,

kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan

bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Kemenkes RI, 2014).

Menurut WHO (2007), anak-anak terbagi menjadi beberapa kategori,

yaitu:

a. Premature Newborn : Anak usia gestasi kurang dari 38 minggu.

commit to user
library.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

b. Term Newborn : Anak usia gestasi lebih dari 38 minggu.

c. Neonatus : Anak berusia 0-30 hari.

d. Infant : Anak berusia 1 bulan-2 tahun.

e. Young Child : Anak berusia 2-6 tahun.

f. Child : Anak usia 6-12 tahun.

g. Adolescent : Anak berusia 12-18 tahun.

Klasifikasi tersebut dibuat berdasarkan komposisi tubuh, jaringan

lemak, otot, dan subkutan, perubahan berat dan tinggi, eleminiasi obat di

ginjal dan hati, absorbsi obat, stigma sosial, dan lain-lain.

4. Hubungan Kebiasaan Sarapan dengan Status Gizi Anak

Menurut hasil penelitian sebelumnya, kebiasaan sarapan tidak teratur

berkaitan dengan status gizi, yaitu peningkatan prevalensi overweight dan

obesitas (Dubois et al, 2008; Croezen et al, 2009). Menurut Watanabe et al

(2014), pola makan yang tidak teratur, seperti tidak mengonsumsi sarapan

dan makan malam terlalu larut akan menyebabkan metabolisme tubuh

menjadi abnormal. Namun, mengonsumsi sarapan secara teratur memiliki

peran yang lebih utama mencegah obesitas daripada makan malam lebih

awal.

Prevalensi obesitas menurun seiring dengan peningkatan konsumsi

sarapan. Menurut Huang et al (2010), melewatkan sarapan memperpanjang

periode tubuh berada dalam keadaan puasa sehingga memicu peningkatan

jumlah ghrelin. Peningkatan ghrelin memicu inisiasi memulai makan.

commit to user
library.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Orang yang tidak mengonsumsi sarapan akan mengonsumsi lebih banyak

energi melalui cemilan, terutama pada siang dan malam hari (Dubois et al,

2008).

Menurut Leidy et al (2013), mengonsumsi sarapan secara teratur akan

menurunkan hormon perangsang rasa lapar, yaitu ghrelin, meningkatkan

hormon perangsang rasa kenyang, yaitu PYY, dan menurunkan keinginan

mengonsumsi cemilan di waktu lainnya.

Ghrelin merupakan peptide dengan 28 asam amino yang diproduksi

oleh sel-sel neuroendokrin pada mukosa fundus lambung dan traktus

gastrointestinal (Solomou dan Korbonits, 2014). Ghrelin dikenal sebagai

hormon pencetus rasa lapar. Rasa lapar menyebabkan penurunan

konsentrasi glukosa darah, asam lemak, dan asam amino. Akibatnya,

ghrelin disekresikan oleh lambung sehingga merangsang sinyal lapar

(Baqai dan Wildings, 2015).

PYY merupakan peptide dengan 36 asam amino yang diproduksi oleh

sel enteroendokrin bernama L-sel yang banyak ditemukan di bagian distal

saluran gastrointestinal. Jumlah PYY rendah dalam keadaan puasa,

meningkat secara cepat sebagai respon dari pemasukan makanan, serta

berada dalam jumlah tertinggi pada 1-2 jam setelah makan dan tetap tinggi

dalam beberapa jam (Efthimia et al, 2009).

Sementara itu, penelitian dari Adesola OA et al (2014) di Nigeria

menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

commit to user
library.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

kebiasaan sarapan dengan status gizi. Namun, penelitian tersebut sepakat

dengan hasil penelitian lainnya bahwa orang yang tidak mengonsumsi

sarapan akan mengonsumsi makanan tinggi energi di waktu lainnya.

Penelitian Anuar K dan Masuri MG (2011) yang dilakukan di Malaysia,

juga menyebutkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

kebiasaan sarapan dengan status gizi.

Begitu juga dengan hasil penelitian Niswah I et al (2014) di Indonesia

yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada

status gizi anak yang mengonsumsi sarapan secara teratur dan tidar teratur.

Namun penelitian tersebut menyebutkan bahwa semakin sering subjek

melakukan sarapan, berat badan semakin rendah dan status gizi cenderung

normal.

Penelitian-penelitian di Indonesia mengenai kebiasaan sarapan lebih

banyak dikaitkan dengan konsentrasi dan prestasi, sementara hubungannya

dengan status gizi belum banyak dibahas. Selain itu, masih ada beberapa

hasil penelitian dari seluruh dunia yang kontradiktif dengan sebagian besar

penelitian lainnya. Hal-hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan kebiasaan sarapan dengan status gizi anak.

commit to user
library.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Pemikiran

Kebiasaan sarapan

Glukosa darah Asam lemak Asam amino

Ghrelin PYY

Nafsu makan

Konsumsi cemilan dan makanan


tinggi energi selain sarapan

Variabel luar tidak diteliti


Pemasukan energi 1. Aktivitas fisik
2. Herediter
3. Gangguan hormon
4. Kondisi kesehatan
Status gizi 5. Konsumsi obat-
obatan

Variabel luar diteliti:


1. Kondisi ekonomi
keluarga
2. Pendidikan ibu

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

= Area yang diteliti

= Area yang tidak diteliti

= Memengaruhi

commit to user
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

C. Hipotesis

1. Kebiasaan sarapan secara teratur dapat menurunkan risiko status gizi

overweight dan obesitas.

2. Terdapat hubungan antara kebiasaan sarapan dengan konsumsi makanan

selain sarapan.

3. Terdapat hubungan antara kondisi ekonomi keluarga dengan status gizi.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai