Anda di halaman 1dari 24

Nama : Dwi Ermawan Septiamini

NIM : 04011281823132

Kelas : Gamma 2018

Learning Issues

PERDARAHAN PASCA SALIN (POSTPARTUM HEMORRHAGE)

A. Definisi

Perdarahan post partum adalah keluarnya darah dari jalan lahir setelah bayi lahir normal
dimana kehilangan 500 cc atau lebih (Depkes RI, 2010).

Perdarahan pascasalin adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati
batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah
secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan
demkian secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat
dikategorikan sebagai perdarahan pascasalin dan perdarahan yang secara kasat mata
mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius. (Siswosudarmo R., 2012)

Definisi baru mengatakan bahwa setiap perdarahan yang yang dapat mengganggu
homeostasis tubuh atau mengakibatkan tanda hipovolemia termasuk dalam kategori
perdarahan postpartum. Perdarahan pascasalin dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama
pelepasan plasenta atau setelah plasenta lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum dan selama
plasenta lahir lebih dikenal sebagai perdarahan kala III dan perdarahan setelah plasenta lahir
sebagai perdarahan kala IV, dan sering disebut sebagai Immediate Postpartum Bleeding.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah plasenta lahir dikenal dengan
perdarahan pascasalin dini (Early Postpartum Bleeding). (Siswosudarmo R., 2012)

Kemampuan seorang wanita untuk menangulangi akibat buruk pedarahan tergantung


pada status kesehatan sebelumnya, ada tidaknya anemia, ada tidaknya hemokonsentrasi
seperti pada preeklamsia dan ada tidaknya dehidrasi. Perdarahan sebanyak lebih dari 1/3
volume darah atau 1000 ml harus segera mendapatkan penanganan. Volume darah (dalam
ml) dihitung dengan rumus berat badan (BB) dalam kg dikalikan dengan angka 80. (Risanto
Siswosudarmo & Intan H Titisari, 2014)
B. Etiologi dan Faktor Risiko

Perdarahan pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu kelemahan tonus uterus
untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), robekan jalan lahir dari
perineum, vagina, sampai uterus (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi
kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan faktor pembekuan darah (thrombin).
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016)

Penyebab dari PPS adalah 4T yang merupakan singkatan dari Tone, Trauma, Tissue dan
Thrombin. Tone merupakan masalah pada 70% kasus PPS, yaitu diakibatkan oleh atonia dari
uterus. Sedangkan, 20% kasus PPS disebabkan oleh trauma. Trauma dapat disebabkan oleh
laserasi serviks, vagina dan perineum, perluasan laserasi pada SC, ruptur atau inversi uteri
dan trauma non traktus genitalia, seperti ruptur subkapsular hepar. Sementara itu, 10% kasus
lainnya dapat disebabkan oleh faktor tissue yaitu seperti retensi produk konsepsi, plasenta
(kotiledon) selaput atau bekuan, dan plasenta abnormal. Faktor penyebab dari thrombin
diantaranya abnormalitas koagulasi yang sangat jarang terjadi yaitu sekitar <1% kasus.
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016)
Sumber: Ramanathan, G., & Arulkumaran, S., 2006
Sumber: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016

C. Epidemiologi

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 216 kematian ibu setiap
100.000 kelahiran hidup akibat komplikasi kehamilan dan persalinan tahun 2015. Jumlah
total kematian ibu diperkirakan mencapai 303.000 kematian di seluruh dunia. MMR di
negara berkembang mencapai 239/100.000 kelahiran hidup, 20 kali lebih tinggi dibandingkan
negara maju. Negara berkembang menyumbang sekitar 90 % atau 302.000 dari seluruh total
kematian ibu yang diperkirakan terjadi pada tahun 2015. Indonesia termasuk salah satu
negara berkembang sebagai penyumbang tertinggi angka kematian ibu di dunia (Kemenkes
RI, 2014)

Sebagian besar kematian ibu pada periode pasca persalinan terjadi pada enam jam
pertama setelah persalinan. Kematian ibu disebabkan oleh infeksi, perdarahan dan
eklampsia. Oleh karena itu pemantauan selama dua jam pertama post partum sangat penting
(Nurasiah, dkk. 2014)
D. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk penyebab perdarahan postpartum dini meliputi: (Kelly C, et al,
2020)

 Atonia uterus

 Laserasi

 Inversi uterus

 Plasenta tertinggal

 Uterus pecah

E. Klasifikasi

Perdarahan pasca-salin dapat bersifat minor (500-1000 ml) atau pun mayor (>1000 ml).
Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi sedang (1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml).
(Gynecologists RCoOa, 2011)

Perdarahan pasca-salin diklasifikan menjadi PPS primer (primary post partum


haemorrhage) dan PPS sekunder (secondary post partum haemorrhage). Perdarahan pasca-
salin primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca-salin, sedangkan
PPS sekunder merupakan perdarahan yang terjadi setelah periode 24 jam tersebut.
(Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016)

 Hemoragic Postpartum (HAP) Minor : Estimasi Blood Loss (EBL) 500-1000 ml (dan
tidak adanya tanda-tanda klinis syok).
 Hemoragic Postpartum (HAP) Mayor : EBL of ≥ 1000 ml (Terus berdarah atau tanda-
tanda klinis syok terkait dengan EBL yang lebih kecil). Mayor sedang (1000-2000 ml)
atau parah (> 2000 ml)
 Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage atau perdarahan
post partum primer atau perdarahan pasca persalinan segera). Perdarahan pasca
persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca
persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir
dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
 Perdarahan masa nifas (Late Postpartum Haemorrhage atau perdarahan post partum
sekunder atau perdarahan pasca persalinan lambat).
Perdarahan pasca persalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca
persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik,
atau sisa plasenta yang tertinggal.

F. Manifestasi Klinis
Tanda paling utama adalah keluarnya darah yang berlebihan setelah bayi lahir atau
setelah plasenta lahir. Adanya darah yang mengalir deras, kontraksi uterus lembek dan tidak
membaik dengan masase, pasien segara jatuh dalam keadaan shock hemoragik adalah tanda
dan gejala utama perdarahan pascasalin karena atoni uteri. Menghitung jumlah darah yang
keluar tidak mudah sehingga jumlah darah yang keluar biasanya hanya berdasarkan perkiraan
yakni dengan melihat seberapa basah kain yang dipakai sebagai alas, bagaimana darah
mengalir dan berapa lama darah tetap mengalir. Keterlambatan dalam menentukan
banyaknya darah yang keluar bisa menimbulkan masalah yang serius. (Siswosudarmo R.,
2012)

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja


Syok,
Uterus tidak berkontraksi dan Bekuan darah pada
lembek serviks atau posisi
Atonia Uteri
Perdarahan segera setelah anak telentang akan
lahir menghambat aliran darah
keluar
Darah segar mengalir segera
Pucat,
setelah bayi lahir
Lemah, Robekan Jalan Lahir
Uterus berkontraksi dan keras
Menggigil
Plasenta lengkap
Tali pusat putus akibat
Plasenta belum lahir setelah 30
traksi berlebihan
menit
Inversio uteri akibat Retensio Plasenta
Perdarahan segera
tarikan
Uterus berkontraksi dan keras
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi
tidak lengkap tetapi tinggi fundus tidak Retensi Sisa Plasenta
Perdarahan Segera berkurang
Uterus tidak teraba
Lumen vagina terisi massa Neurogenik syok
Inversio Uteri
Tampak tali pusat (bila plasenta Pucat dan limbung
belum lahir)
Sub involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan pada
fragmen plasenta
uterus Demam
(terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder

Shock hemoragik terjadi bila ada hipoperfusi pada organ vital. Hipoperfusi bisa
disebabkan oleh kegagalan kerja jantung (shock kardiogenik), infeksi yang hebat sehingga
terjadi redistribusi cairan yang beredar (intravaskular) ke dalam cairan ekstravaskular (syok
septik), hipovolemia karena dehidrasi (shock hipovolemik) atau karena perdarahan banyak
(shock hemoragik). Berikut adalah derajat syok hemoragik dan estimasi jumlah perdarahan
berdasar tanda klinis yang bisa diamati. (Siswosudarmo R., 2014)

G. Patofisiologi
Overdistensi uterus merupakan peregangan uterus yang berlebihan yang mengakibatkan
uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir. Overdistensi uterus dapat
disebabkan oleh kehamilan ganda/ gamelli, janin makrosomia, polihidramnion atau
abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk
melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun
sesudah plasenta lahir. Akibat kondisi makrosomia, hydramnion, maupun gamelli beresiko
membuat uterus meregang secara berlebihan (overdistensi uterus), dan hal ini akan
mengakibatkan terjadinya atonia uteri.

Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah


melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan post partum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi
pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.

Kematian pada perdarahan pasca persalinan terjadi karena kegagalan multiorgan.


Perdarahan hebat menyebabkan penurunan volume sirkulasi sehingga terjadi respons
simpatis. Terjadi takikardia, kontraktilitas otot jantung meningkat dan vasokonstriksi perifer.
Sementara volume darah beredar menurun, kemampuan sel darah merah untuk mengangkut
oksigen juga menurun sehingga memacu terjadinya kegagalan miokardium. Vasokonstriksi
perifer ditambah dengan menurunnya kemampuan darah membawa oksigen menyebabkan
terjadinya hipoperfusi dan hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan memacu metabolisme
anaerob dan terjadilah asidosis. Asidosis inilah yang memacu terlepasnya berbagai mediator
kimiawi dan memacu respons inflamasi sistemik. Keadaan ini menyebabkan terlepasnya
radikal oksigen yang berakibat kematian sel. Kematian sel menyebabkan lemahnya sistem
barier mukosa sehingga mikroorganisme dan endotoksin mudah tersebar ke seluruh jaringan
dan organ. Keadaan inilah yang mengakibatkan terjadinya systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) dan kegagalan multiorgan yang berakhir dengan kematian. (Anggraini &
Siswosudarmo R, 2015)

H. Tatalaksana
Bila perdarahan pasca salin terjadi harus ditentukan dulu kausa perdarahan itu dan
penatalaksanaannya dilakukan secara simultan meliputi perbaikan tonus uterus, evakuasi
jaringan sisa, dan penjahitan luka terbuka disertai dengan persiapan koreksi faktor
pembekuan. Tahapan penatalaksanaan perdarahan Pascasalin berikut ini dapat disingkat
dengan istilah HAEMOSTASIS. (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2016)

Sumber: Ramanathan, G., & Arulkumaran, S., 2006

1. Ask for HELP


Segera meminta pertolongan atau dirujuk ke rumah sakit bila persalinan di bidan/PKM.
Kehadiran ahli obstetri, bidan, ahli anestesi, dan hematologis menjadi sangat penting.
Pendekatan multidisipliner dapat mengoptimalkan monitoring dan pemberian cairan.
Monitoring elektrolit dan parameter koagulasi adalah data yang penting untuk penentuan
tahap tindakan berikutnya.
2. Assess (vital parameter, blood loss) and Resuscitate
Penting sekali segera menilai jumlah darah yang keluar seakurat mungkin dan
menentukan derajat perubahan hemodinamik. Lebih baik overestimate jumlah darah yang
hilang dan bersikap proaktif daripada underestimate dan bersikap menunggu/pasif. Nilai
tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan, saturasi oksigen
harus dimonitor. Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera
diambil spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan darah,
elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch (RIMOT = Resusitasi, Infus 2
jalur, Monitoring keadaan umum, nadi dan tekanan darah, Oksigen, dan Team approach).
Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara cepat sambil menunggu hasil crossmatch.
3. Establish Aetiology, Ensure Availability of Blood, Ecbolics (Oxytocin, Ergometrin
or Syntometrine bolus IV/ IM
Sementara resusitasi sedang berlangsung, dilakukan upaya menentukan etiologi PPS.
Nilai kontraksi uterus, cari adanya cairan bebas di abdomen, bila ada risiko trauma (bekas
seksio sesarea, partus buatan yang sulit) atau bila kondisi pasien lebih buruk daripada
jumlah darah yang keluar. Harus dicek ulang kelengkapan plasenta dan selaput plasenta
yang telah berhasil dikeluarkan. Bila perdarahan terjadi akibat morbidly adherent
placentae saat seksio sesarea dapat diupayakan haemostatic sutures, ligasi arteri
hipogastrika dan embolisasi arteri uterina. Morbidly adherent placentae sering terjadi
pada kasus plasenta previa pada bekas seksio sesarea. Bila hal ini sudah diketahui
sebelumnya, dr. Sarah P. Brown dan Queen Charlotte Hospital (Labour ward course)
menyarankan untuk tidak berupaya melahirkan plasenta, tetapi ditinggalkan intrauterin
dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian metotreksat seperti pada kasus kehamilan
abdominal. Bila retensio plasenta/sisa plasenta terjadi setelah persalinan pervaginam,
dapat digunakan tamponade uterus sementara menunggu kesiapan operasi/laparotomi.
4. Massage the uterus
Perdarahan banyak yang terjadi setelah plasenta lahir harus segera ditangani dengan
masase uterus dan pemberian obat-obatan uterotonika. Bila uterus tetap lembek harus
dilakukan kompresi bimanual interna dengan menggunakan kepalan tangan di dalam
untuk menekan forniks anterior sehingga terdorong ke atas dan telapak tangan di luar
melakukan penekanan pada fundus belakang sehingga uterus terkompresi.
5. Oxytocin infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/ intramyometrial
Dapat dilakukan pemberian oksitosin 40 unit dalam 500 cc normal salin dengan
kecepatan 125 cc/jam (peringkat bukti IA, rekomendasi A). Hindari kelebihan cairan
karena dapat menyebabkan edema pulmoner hingga edema otak yang pada akhimya
dapat menyebabkan kejang karena hiponatremia. Hal ini timbul karena efek antidiuretic
hormone (ADH) - like effect dan oksitosin; sehingga monitoring ketat masukan dan
keluaran cairan sangat esensial dalam pemberian oksitosin dalam jumlah besar.
Pemberian ergometrin sebagai lini kedua dari oksitosin dapat diberikan secara
intramuskuler atau intravena. Dosis awal 0,2 mg (secara perlahan), dosis lanjutan 0,2 mg
setelah 15 menit bila masih diperlukan. Pemberian dapat diulang setiap 2-4 jam bila
masih diperlukan. Dosis maksimal adalah 1 mg atau 5 dosis per hari. Kontraindikasi pada
pemberian ergometrin yaitu preeklampsia, vitiumcordis, dan hipertensi (peringkat bukti
IA, rekomendasi A). Bila PPS masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol
per rektal 800-1000ug. Pada perdarahan masif perlu diberikan transfusi darah, bahkan
juga diperlukan pemberian fresh frozen plasma (FFP) untuk menggantikan faktor
pembekuan yang turut hilang. Direkomendasikan pemberian 1 liter FFP (15 mL/kg)
setiap 6 unit darah. Pertahankan trombosit di atas 50.000, bila perlu diberikan transfusi
trombosit. Kriopresipitat direkomendasikan bila terjadi DIC yang ditandai dengan kadar
fibrinogen <1 gr/dl (10 gr/L)
6. Shift to theatre – exclude retained products and trauma/ bimanual compression
(konservatif; non-pembedahan)
Bila perdarahan masif masih tetap terjadi, segera evakuasi pasien ke ruang operasi.
Pastikan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya sisa plasenta atau selaput ketuban.
Bila diduga ada sisa jaringan, segera lakukan tindakan kuretase. Kompresi bimanual
dapat dilakukan selama ibu dibawa ke ruang operasi
7. Tamponade balloon/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan) (peringkat
bukti II, rekomendasi B)
Bila perdarahan masih berlangsung, pikirkan kemungkinan adanya koagulopati yang
menyertai atonia yang refrakter. Tamponade uterus dapat membantu mengurangi
perdarahan. Tindakan ini juga dapat memberi kesempatan koreksi faktor pembekuan.
Dapat dilakukan tamponade test dengan menggunakan Tube Sengstaken yang
mempunyai nilai prediksi positif 87% untuk menilai keberhasilan penanganan PPS. Bila
pemasangan tube tersebut mampu menghentikan perdarahan berarti pasien tidak
memerlukan tindakan bedah lebih lanjut. Akan tetapi, bila setelah pemasangan tube,
perdarahan masih tetap masif, maka pasien harus menjalani tindakan bedah. Pemasangan
tamponade uterus dengan menggunakan baloon relatif mudah dilaksanakan dan hanya
memerlukan waktu beberapa menit. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan dan
mencegah koagulopati karena perdarahan masif serta kebutuhan tindakan bedah. Hal ini
perlu dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan terapi medis. Pemasangan
tamponade uterus dapat menggunakan Bakri SOS baloon dan tampon balon kondom
kateter. Biasanya dimasukkan 300-400 cc cairan untuk mencapai tekanan yang cukup
adekuat sehingga perdarahan berhenti. Balon tamponade Bakri dilengkapi alat untuk
membaca tekanan intrauterin sehingga dapat diupayakan mencapai tekanan mendekati
tekanan sistolik untuk menghentikan perdarahan. Segera libatkan tambahan tenaga dokter
spesialis kebidanan dan hematologis sambil menyiapkan ruang ICU.
8. Apply compression sutures – B-Lynch/ modified (pembedahan konservatif)15
Dalam menentukan keputusan, harus selalu dipertimbangkan antara mempertahankan
hidup dan keinginan mempertahankan fertilitas. Sebelum mencoba setiap prosedur bedah
konservatif, harus dinilai ulang keadaan pasien berdasarkan perkiraan jumlah darah yang
keluar, perdarahan yang masih berlangsung, keadaan hemodinamik, dan paritasnya.
Keputusan untuk melakukan laparotomi harus cepat setelah melakukan informed consent
terhadap segala kemungkinan tindakan yang akan dilakukan di ruang operasi. Penting
sekali kerja sama yang baik dengan ahli anestesi untuk menilai kemampuan pasien
bertahan lebih lanjut pada keadaan perdarahan setelah upaya konservatif gagal. Apabila
tindakan B-Lynch tidak berhasil, dipertimbangkan untuk dilakukan histerektomi. Ikatan
kompresi yang dinamakan Ikatan B-Lynch (B-Lynch suture) pertama kali diperkenalkan
oleh Christopher B-Lynch. Benang yang dapat dipakai adalah kromik catgut no.2, Vicryl
0 (Ethicon), chromic catgut 1 dan PDS 0 tanpa adanya komplikasi. Akan tetapi, perlu
diingat bahwa tindakan B-Lynch ini harus didahului tes tamponade yaitu upaya menilai
efektifitas tindakan B- Lynch dengan cara kompresi bimanual uterus secara langsung di
meja operasi. Teknik penjahitan uterus metode B-lynch& B-lynch Modifikasi (Metode
Surabaya)
9. Systematic pelvic devascularization – uterine/ ovarian/ quadruple/ internal iliac
(pembedahan konservatif) (peringkat bukti II, rekomendasi B)
10. Interventional radiologis, if appropriate, uterine artery embolization (pembedahan
konservatif) (peringkat bukti II, rekomendasi B)
11. Subtotal/ total abdominal hysterectomy (non-konservatif) (peringkat bukti II,
rekomendasi B)
Sumber: American Academy of Family Physicians, 2017
Sumber: American Academy of Family Physicians, 2017
Sumber: Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Pasca Salin (Perkumpulan Obstetri
dan Ginekologi Indonesia, 2016)

Rekomendasi Transfusi Darah


Transfusi produk darah diperlukan bila jumlah darah yang hilang cukup masif dan masih
terus berlanjut, terutama jika tanda vital tidak stabil. Keputusan klinis bersifat penting
karena perkiraan darah yang hilang sering tidak akurat, penentuan menggunakan
konsentrasi hemoglobin atau hematokrit mungkin tidak akurat dalam merefleksikan
status hematologis pasien, sedangkan tanda dan gejala mungkin belum muncul sampai
kehilangan darah melebihi batas toleransi fisiologis tubuh. Tujuan dari transfusi produk
darah adalah untuk mengganti faktor koagulasi dan sel darah merah yang berkapasitas
membawa oksigen, bukan sebagai pengganti volume. (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2016)

TATALAKSANA AWAL DI TINGKAT LAYANAN PRIMER


Perdarahan pascasalin sering bersifat akut, dramatik, underestimate dan merupakan sebab
utama kematian maternal. Secara ringkas, petunjuk praktis mengatasi perdarahan
pascasalin di tingkat layanan primer adalah sebagai berikut:

a. Minta tolong (ask for help).

b. Pasang infus 2 jalur dengan venocatheter no 18 atau 16.

c. Pasang oksigen 5-10 liter / menit.

d. Pasang kateter tinggal, monitor urine output paling tidak sampai mencapai 0,5 sd 1
mL/menit
e. Guyur 1000-1500 ml larutan RL dalam 15 menit.

f. Berikan cairan 3x dari jumlah darah yang hilang, sampai tekanan darah kembali
normal (1 – 2 jam). Dosis pemeliharaan 40 tetes per menit sampai kondisi stabil.
g. Berikan uterotonika: oksitosin 1 ampul per botol (maksimal 6 ampul), metergin 1
ampul / botol (maksimal 5 ampul).
h. Jika kondisi perdarahan belum teratasi, berikan misoprostol 3 tablet secara rektal,
maksimal 6 tablet (kontraindikasi asma bronkial).
i. Bila atoni uterus masih berlangsung, lakukan kompresi bimanual.

j. Selama melakukan kompresi bimanual siapkan pemasangan tampon kondom.

k. Pasang tampon kondom sebagai tindakan sementara, dan segera pasien dirujuk ke
fasilitas kesehatan yang lebih tinggi sambil berusaha mendapatkan darah.
(Siswosudarmo R., 2012)
I. Pencegahan dan Edukasi

Tujuan utama penanganan perdarahan pascasalin ada 3 yakni pencegahan, penghentian


perdarahan dan mengatasi shock hipovolemik. Pendekatan risiko, meskipun menimbulkan
kontroversi tetap masih mendapatkan tempat untuk diperhatikan. Setiap ibu hamil dengan
faktor risiko tinggi terjadinya perdarahan pascasalin sebaiknya dirujuk ke tempat fasilitas
kesehatan yang mempunyai unit tranfusi dan perawatan intensif.

Pencegahan yang terbaik adalah dengan melakukan penanganan aktif kala III persalinan
(PAKT). PAKT adalah sebuah tindakan (intervensi) yang bertujuan mempercepat lahirnya
plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus sehingga menurunkan kejadian perdarahan
postpartum karena atoni uteri. Tindakan ini meliputi 3 komponen utama yakni (1) pemberian
uterotonika, (2) tarikan tali pusat terkendali dan (3) masase uterus setelah plasenta lahir.
(Risanto Siswosudarmo & Intan H Titisari, 2014)

Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan penyelenggara
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan
melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jenjang rumah sakit
rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai risiko untuk
terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi
terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut :
 Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut ada dalam keadaan optimal.
 Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidramnion, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi
lainnya yang risikonya akan muncul saat persalinan.
 Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
 Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
 Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari
persalinan dukun.
 Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP dan mengadakan
rujukan sebagaimana mestinya.
 Melakukan konseling ke ibu tentang risiko perdarahan berulang untuk kehamilan
selanjutnya sehingga diberi konseling program KB / kontrasepsi.

J. Komplikasi (Kelly C, et al, 2020)

Karena kehilangan darah terjadi pada perdarahan postpartum, pasien berisiko mengalami
syok hipovolemik. Ketika pasien kehilangan 20% darah, gejala yang terjadi yaitu takikardia,
takipnea, tekanan nadi menyempit, dan pengisian kapiler tertunda. Hal ini dapat
menyebabkan cedera iskemik pada hati, otak, jantung, dan ginjal.
Sindrom Sheehan atau hipopituitarisme pascapartum merupakan salah satu komplikasi
dari kehilangan darah yang berlebihan yang terlihat pada perdarahan pascapartum. Gejalanya
adalah asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia,
penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi
Komplikasi yang terkait dengan penatalaksanaan meliputi:

 Cedera paru akut terkait transfusi

 Infeksi

 Reaksi transfusi hemolitik

K. Prognosis

Perdarahan pascapartum adalah penyebab utama morbiditas ibu dan janin. Selain itu,
wanita yang pernah mengalami perdarahan post partum dalam satu persalinan berisiko
mengalaminya kembali pada persalinan berikutnya. Maka dari itu pencegahan dan
penanganan yang tepat dan tepat waktu dapat sangat meningkatkan hasil akhir pasien. (Kelly
C, et al, 2020)

L. SKDI

Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

3B. Gawat darurat Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah
keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

ANALISIS MASALAH

1. Ny. S, 38 tahun, P5A0 dirujuk ke RSMH karena perdarahan pascasalin satu jam yang
lalu. Pasien melahirkan spontan, bayi perempuan, 3800 gram, langsung menangis dan
diikuti plasenta lahir spontan dan lengkap. Saat ini pasien tampak gelisah, pucat, lemas,
dan berkeringat dingin.
a. Bagaimana hubungan usia dengan keluhan pada kasus?
Usia ibu yang lebih dari 35 tahun merupakan salah satu factor risiko terjadinya perdarahan
pasca salin
b. Bagaimana mekanisme gelisah, pucat, lemas, dan berkeringat dingin pada kasus?
Hal ini disebabkan karena darah yang keluar terus menerus, aliran darah ke perifer akan
berkurang karena darah digunakan untuk mencukupi organ-organ vital terlebih dahulu,
lalu akan timbul gejala-gejala syok hipovolemik seperti pada kasus yaitu tampak gelisah,
pucat, lemas, dan berkeringat dingin
c. Apa saja keadaan yang dapat menyebabkan perdarahan pasca salin?
Perdarahan pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu kelemahan tonus uterus untuk
menghentikan perdarahan dari bekas insersi plasenta (tone), robekan jalan lahir dari
perineum, vagina, sampai uterus (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang
menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan faktor pembekuan
darah (thrombin).
Tone merupakan masalah pada 70% kasus PPS, yaitu diakibatkan oleh atonia dari uterus.
Sedangkan, 20% kasus PPS disebabkan oleh trauma. Trauma dapat disebabkan oleh
laserasi serviks, vagina dan perineum, perluasan laserasi pada SC, ruptur atau inversi uteri
dan trauma non traktus genitalia, seperti ruptur subkapsular hepar. Sementara itu, 10%
kasus lainnya dapat disebabkan oleh faktor tissue yaitu seperti retensi produk konsepsi,
plasenta (kotiledon) selaput atau bekuan, dan plasenta abnormal. Faktor penyebab dari
thrombin diantaranya abnormalitas koagulasi yang sangat jarang terjadi yaitu sekitar <1%
kasus.

2. Pasien telah diberikan drip oksitosin dan dilakukan penjahitan laserasi perineum tetapi
perdarahan terus berlanjut. Perdarahan merah segar dan sebanyak 3 kali ganti kain
basah. Pasien dikatakan dengan Preeklampsia Berat menjelang persalinan dan diberikan
MgSO4 dan nifedipin sesuai protokol.
a. Mengapa perdarahan pasca salin terus berlanjut pada kasus?
Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau
laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah
plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan
sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan
obstretik kontraksi uterus akan letnbek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi
uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan
lahir.
b. Bagaimana perdarahan yang fisiologis pada persalinan?

c. Apa makna klinis perdarahan merah segar dan sebanyak 3 kali ganti kain basah pada
kasus?
- Perdarahan warna merah segar menandakan adanya on going bleeding atau
menandakan pendarahan yang sedang berlangsung.
- Sebanyak tiga kali ganti kain basah menandakan sedang terjadinya perdarahan
yang massif

3. Selama hamil, pasien ANC di bidan setempat, tidak pernah USG, dan tidak memiliki
riwayat penyakit tertentu.
Riwayat Obstetri:
Perempuan/ 8 tahun/3000 g, spontan ditolong dukun/sehat
Perempuan/ 4 tahun/3000 g, spontan ditolong dukun/sehat
Laki-laki/ 2 tahun/3100 g, spontan ditolong bidan/sehat
Laki-laki/1 tahun/2800 g, spontan ditolong bidan/sehat
Perempuan/1 jam/3800 g, spontan ditolong bidan/sehat
a. Bagaimana hubungan riwayat obstetri dengan keluhan pada kasus?
Multiple pregnancy merupakan salah satu factor risiko terjadinya perdarahan post partum
b. Bagaimana makna klinis selama hamil pasien melakukan anc di bidan, tidak pernah usg,
dan tidak memiliki riwayat penyakit tertentu pada kasus?
USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko
tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti
plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

7. Pertanyaan tambahan 1, 2
a. Apa diagnosis banding pada kasus?
b. Bagaimana alur penegakan diagnosis pada kasus?
c. Apa diagnosis kerja pada kasus?
d. Bagaimana etiologi penyakit pada kasus?
e. Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus?
f. Bagaimana faktor risiko penyakit pada kasus?
g. Bagaimana patofisiologi penyakit pada kasus?
h. Bagaimana klasifikasi penyakit pada kasus?
i. Bagaimana manifestasi klinis penyakit pada kasus?
j. Bagaimana tata laksana penyakit pada kasus (farmako dan non farmako termasuk
rehabilitasinya)?
k. Bagaimana komplikasi penyakit pada kasus?
l. Bagaimana prognosis dan SKDI penyakit pada kasus?
m. Bagaimana pencegahan penyakit pada kasus?

DAFTAR PUSTAKA

Siswosudarmo R. Menentukan Panjang Inserter IUD CuT 380A untuk Model IUD Pascasalin,
Berdasar Kedalaman Rongga Uterus Segera Setelah Plasenta Lepas. Upaya Meningkatkan
Cakupan KB Pascasalin, PIT V HOGSI. Yoggyakarta; 2012 2.
Siswosudarmo R. Strategi Penyiapan Tenaga Medis dan Fasilitas Kesehatan sebagai Upaya
Meningkatkan Pemakaian IUD Pascasalin. Upaya Meningkatkan Cakupan KB Pascasalin.
Yoggyakarta; 2012.

Siswosudarmo HR. Effect of Delay in Postpartum Hemorrhage Management on the Rate of


Near-miss and Maternal Death Cases. Indones J Obstet Gynecol 2014;4:177-181.

Gynecologists RCoOa. RCOG Green-top Guideline. Prevention and Management of Postpartum


Haemorrhage; 2011.

Anggraini K, Siswosudarmo R. Does misoprostol for induction of labor increase the risk of
uterine rupture? J Kesehatan Reproduksi, 2015 Vol 2

Ramanathan, G., & Arulkumaran, S. (2006). Postpartum Hemorrhage. Journal of Obstetrics and


Gynaecology Canada, 28(11), 967–973. doi:10.1016/s1701-2163(16)32308-8 

American Academy of Family Physicians. 2017. Postpartum Hemorrhage: Prevention and


Treatment. Volume 95, Number 7

Risanto Siswosudarmo, Intan H Titisari. Developing A New Formula For Estimating Birth
Weight At Term Pregnancy. Jurnal Kesehatan Reproduksi 2014; 1- 2: 145-149.

Nurasiah, Ani R, dan Dewi LD. 2014. Asuhan Persalinan Normal Bagi Bidan. Bandung : PT
Refika Aditama.Riyanto, A. 2010. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika.

Anda mungkin juga menyukai