Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
DOSEN PENGAMPU
RUSTAM, SEI.,M.S.I
DISUSUN OLEH :
Kelompok 6
Tahun 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah
memberikan Rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga proses pembuatan makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik guna memenuhi tugas mata kuliah Metodologi
Studi Islam yang dibimbing oleh Bapak Rustam, SEi.,M.S.I
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 16
B. Saran .................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses masuknya Islam di Indonesia ?
2. Bagaimana proses masuknya Islam pada masyarakat Jawa ?
3. Bagaimana proses masuknya Islam pada masyarakat Melayu ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui proses masuknya Islam di Indonesia.
2. Untuk mengetahui masuknya Islam pada masyarakat Jawa.
3. Untuk mengetahui masuknya Islam pada masyarakat Melayu.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
(pantai barat Sumatra Utara). Prasasti itu memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan
tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik
dari namanya, diduga ia adalah seorang wanita bumiputera yang memeluk agama
Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya
tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin
pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau
kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barus sudah
dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.
2. Institusi Politik
Pada tahapan berikutnya, terbentuklah kerajaan yang bercorak Islam. Di
Indonesia kerajaan Islam yang tertua adalah Samudra-Pasai yang terletak di pantai
timur Aceh sekarang. Di situs tersebut ditemukan pemakaman kuno, yang nisan-
nisannya memuat prasasti dengan bahasa dan huruf Arab. Pada salah satu nisan
tersebut tercantum prasasti yang memuat nama al-sultan al Malik al Saleh yang
wafat pada tahun 696 H (bertepatan dengan tahun 1297 M). Pencantuman sebutan
al-sultan itulah yang menjadi dasar interpretasi keberadaan suatu institusi politik
Islam di kawasan tersebut.
Tentunya sebelum terbentuk institusi politik Islam, terlebih dahulu sudah
terjadi penyebaran agama Islam secara luas di kalangan masyarakat. Hal itu tersirat
di dalam sumber-sumber tertulis yang terkait dengan kawasan tersebut. Marcopolo
yang pada tahun 1292 berkunjung ke beberapa pelabuhan di kawasan itu, seperti
Ferlec (= Perlak), mengatakan bahwa penduduk kota beragama Islam, sedang
penduduk pedalaman masih kafir. Di sisi yang lain sumber tertulis lokal seperti
Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu hanya mengkisahkan bahwa Meurah
Silu, pemimpin di Samudra-Pasai, di-Islam-kan oleh Fakir Muhammad yang datang
dari atas angin. Setelah itu namanya diganti menjadi Malik al-Saleh.
Di Jawa institusi politik Islam yaitu kesultanan Demak baru lahir pada abad
XV, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Majapahit. Pergantian pemegang
kekuasaan politik dari Majapahit ke Demak pada tahun 1519 hakekatnya adalah
usaha perebutan tahta di antara anggota keluarga raja. Dalam hal ini penguasa
Demak yang juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa berhak pula atas
4
kendali kekuasaan kerajaan Majapahit. Sekalipun demikian tidak dapat pula
diabaikan bahwa perbedaan pandangan keagamaan juga memberikan kemungkinan
kepada Demak untuk menaklukkan Majapahit. Harus dicatat pula bahwa sudah
sejak masa kejayaan Majapahit sudah ada orang-orang Islam yang tinggal di kota
kerajaan, sebagaimana tampak dari kubur-kubur Islam kuno di Tralaya. Nisan-nisan
kuno tersebut memuat angka tahun tertua: 1290 C = 1368 M, dan angka tahun
termuda 1533 C = 1611 M, tetapi tidak memuat nama sama sekali. Data itu
menggambarkan bahwa pada tahun 1368 M , yang masih dalam masa keemasan
Majapahit, sudah ada orang Muslim yang tinggal di kota kerajaan, sebab situs
Tralaya diduga berada di selatan kraton Majapahit. Beberapa nisan di situs tersebut
memuat relief surya majapahit yang diyakini merupakan lambang kerajaan
Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang dikuburkan di tempat tersebut
adalah keluarga dekat raja, dan beragama Islam.
3. Penyebaran Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah
dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun cara-
cara penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita
setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu,
beberapa di antaranya tergolong dalam Wali Songo, penyebaran Islam juga
ditujukan ke pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi.
Penyebaran tersebut dipelopori oleh para ulama, termasuk Wali Songo, dan
kemudian mendapat dukungan politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak
dalam penyebaran Islam misalnya di Kalimantan Selatan. Pada tahap awalnya Islam
disebarkan di Nusantara melalui jalur perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan
diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara oleh para pedagang asing. Hal itu
sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII – XVI M, yakni dari Asia
Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara, serta sebaliknya. Di
samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada pihak lain
merupakan kewajiban bagi semua orang.
Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara
adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi mengandung
5
persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang berkembang
di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam diterima
oleh masyarakat Nusantara. Kecuali melalui perdagangan, perhikahan, dan tasawuf,
penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan.
Cara penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra,
seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni
pertunjukan, misalnya wayang yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam
dapat disampaikan dengan cara disisipkan dalam lakon-lakon yang masih
didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno. Seni bangunan juga dipakai sebagai
sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara.
Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal
sudah dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran
para wali di Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi
Selatan, serta Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-
sumber tertulis setempat dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam
kepada para pemuka masyarakat, dan mendirikan pesantren yang banyak menarik
murid dari berbagai daerah.
4. Perubahan dan Kesinambungan Budaya
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-
perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak
dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di
dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak
lagi dibuat. Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa,
yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Caka dan Hijriyah.
Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi
pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub
makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak, yang
bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada
beberapa relief candi.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu,
karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni.
6
Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan
makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpor dalam
bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis
ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di
Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam
hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dan sebagainya. Bahkan
di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada
patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di
tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanya
perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun,
kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya
terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur
berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.
7
kemenyan atau bau-bau lainnya yang digemari nenek moyang dan disempurnakan
dengan bunyi-bunyian dan tarian.
Sedangkan dinamisme masyarakat jawa beranggapan bahwa semua yang
bergerak itu hidup dan mempunyai kekuatan gaib/ memiliki watak baik atau buruk,
dan agar terhindar dari itu mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan
upacara disertai dengan sesaji, disamping itu merka percaya bahwa apa telah
mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam
disadari merupakan penetuan dari kehidupan seluruhnya.
3. Masa Hindu dan Budha
Bukti-bukti tertua mengenai adanya negara-negara Hindu Jawa berupa
prasasti-prasasti dari batu yang ditemukan dipantai utara jawa barat. Dari tulisannya
dapat diketahui bahwa prasasti itu merupakan suatu deskripsi mengenai beberapa
upacara yang dilakukan oleh raja untuk meresmikan bangunan irigasi dan
bangunan keagamaan abad ke-4, bukti yang lainnya bahwa banyak nama tempat
dipulau Jawa yang berasal dari bahasa sansekerta, yang membuktikan adanya
kehendak untuk menciptakan kembali geografi india yang dianggap keramat itu.
Bukan hanya gunung-gunungnya, tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya
dipinjam dari Mahabarata.
Seperti halnya pada masa animisme dan dinamisme masyarakat Jawa maka
pada masa hinduppun ada upacara-upacara, yakni wiwit yang diwujudkan pada
pemujaan dewi sri, upacara kurban kerbau, pagelaran wayang kulit dan juga
penjamasan dan perawatan pusaka serta grebeg, dan sebagainya.
4. Masa Islam
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah
yang beragam. Bukti faktual barangkali adalah ditemukannya batu nisan kubur
Fatimah binti Maemun di Leran Gresik, bukti yang lain adalah adanya masjid yang
menunjukkan adanya komunitas muslim yang pernah ada, dan juga adanya kaligrafi
serta letak tata kota.
Sulit untuk mengetahui tokoh yang pertama kali memperkenalkan islam di
Jawa dari fakta tradisional, akan tetapi hal itu dapat ditelusuri melalui alur
hubungan negeri Cempa-Majapahit. Ditemukannya beberapa makam disitus istana
8
Majapahit, yang pada kesimpulan bahwa makam tersebut adalah makam orang-
orang muslim dan menunjukkan tahun kejayaan majapahit.
Diantara yang menyebarkan Islam di Jawa dikenal dengan Istilah
walisongo, yakni :
1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi
menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di
daerah Ampel Surabaya.
3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana
Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin,
menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit
Giri (Gresik).
6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam
di daerah Kudus.
7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan
ajaran Islam di daerah Demak.
8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid
menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam
di Jawa Barat (Cirebon),
Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula adalah sufi yang salah satu
cirinya adalah sifatnya yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan
kepercayaan setempat, namun hal ini disatu sisi memang dianggap membawa
dampak negatif, yaitu sinkretisme dan pencampur adukan antara islam dan budaya
asli, namun aspek positifnya, ajaran yang disinkretasikan tersebut telah menjadi
jembatan yang memudahkan Jawa dalam menerima Islam.
9
Konsep masuknya unsur-unsur simbolisme dan ikonografi Hindu dan
Budha kedalam Islam Jawa sama seperti Islam di timur tengah menyerap unsur-
unsur tradisi Hellenistik dan Persia.
Sebagai contoh upacara surtanah, nelung dino, mitung dino, matang puluh,
nyatus, mendah, dan nyewu, tidak dihilangkan tetapi dibiarkan berlanjut diwarnai
dan diisi dengan unsur dari agama islam. Midodareni yang merupakan upacara yang
dilangsungkan pada malam hari pernikahan, yang mana dsimaksudkan agar
keluarga pengantin lebih dekat dengan bidadari dan saat itu pengantin tidak boleh
tidur sampai tengah malam maka saat islam datang diganti dengan pembacaan Al
Barzanji, Kalimah Thoyyibah dan Tahlil. Dan sebagainya.
Dalam menghadapi tradisi dan kepercayaan lama, para penyiar islam
menyeleksi kepercayaan mana yang dapat diakomodasikan, serta mana yang harus
ditolak dan dihilangkan, maka ketika melihat wayang purwa (kulit), yang
merupakan gubahan dari epik Ramayana dan Mahabarata, Yang mana antara
Wayang dan budaya Jawa ibarat sekeping uang logam yang tak terpisahkan, dan
bagi masyarakat Jawa wayang tidak hanya sekedar hiburan, tetapi sebagai media
dakwah dan pendidikan serta mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena
mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayangani urip), maka para Wali
mengadakan perubahan secara halus sehingga tanpa terasa nilai-nilai islam dapat
masuk dalam karya adi luhung yang dikagumi banyak orang ini.
Upacara-upacara dalam agama Hindu tampak memiliki kekuatan magis,
yang diwujudkan dalam bentuk sesaji, sesaji merupakan warisan budaya Hindu
sedangkan doa merupakan inti ibadah dalam Islam, keduanya menjadi tradisi
dikalangan banyak islam Jawa.
Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu
dengan sebutan kenduren atau selametan, didalam upacara ini yang pokok adalah
pembacaan doa.
Dari uraian diatas tentang hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam
aspek kepercayaan ritual diatas menunjukkan secara jelas, baik tersirat maupun
tersurat, secara langsung maupun tidak langsung bahkan memang telah terjadi
10
dalam kehidupan keberagaman orang Jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan
antara nilai-nilai Islam dengan Budaya Jawa pra-Islam.
11
dengan produktifnya dengan bahasa Melayu dan Jawa Madya. Pengaruh
tasawuf sangat dominan dalam pemikiran keagamaan dan penulisan karya
sastra. Pokok-pokok yang dibahas dalam kitab-kitab melayu meliputi bidang
fiqih, syari’ah, ushuluddin, kalam, falsafah, akhlak, tafsir qur’an, hadits dan
lainnya.
Abad ke-18, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syari’ah.
Beberapa tarikat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi
keagamaan pada aktivisme keduniaan.
2. Nilai budaya masyarakat Melayu
Usaha dalam menghidupkan kebudayaan Melayu akhir-akhir ini
berlangsung cukup marak. Berbagai kegiatan dalam usaha menghidupkan
kebudayaan Melayu kerap kali dilakukan, mulai dari penerbitan buku, festival,
seminar, sampai pemberian penghargaan dalam memajukan kebudayaan Melayu.
Semua itu jelas menunjukkan adnya kesadaran genersi Melayu akan kebesaran
kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu
itu sendiri kini dan esok, bahkan juga memajukannya sampai pada tingkat yang
membanggakan, seperti yang telah dicapai kebudayaan Melayu pada masa lampau.
Etos kerja Melayu meliputi:
a. Hubungan manusia dengan Tuhan
Pada hakekatnya manusia hidup didunia ini mencari kebahagiaan dunia dan
akhirat. Artinya manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari itu harus berpegang
pada dua sisi kebutuhan yaitu: kebutuhan jasmani (kebutuhan raga manusia) dan
kebutuhan rohani (kebutuhan manusia dalam mencapai ketenangan jiwa) melalui jalur
agama. Kedua kebutuhan tersebut harus saling melengkapi dan berjalan secara
seimbang,. Sesuai dengan konsep atau sikap hidup masyarakat Melayu, berpegang
teguh pada petuah lama yang mengatakan ”Bekerjalah kamu seakan-akan hidup
selamanya dan beribadahlah kamu seakan-akan mati esok”.
Dalam kebudayaan Melayu diberikan tuntunan hidup yang baik, yakni dengan
diterapkannya berbagai kegiatan pada perilaku masyarakat Melayu sehari-hari,
misalnya cara berpakaian, cara bergaul, cara memperoleh dan mempergunakan harta
12
benda dan lain sebagainya. Perilaku diatas tidak terlepas dari ajaran-ajaran agama
sendiri.
b. Hubungan manusia dengan lingkungan Masyarakat
Nilai budaya tradisional Melayu secara umum menggambarkan hubungan
manusia dengan sesamanya lebih bersifat koleteral dan demokratis. Yakni sikap
yang selalu dibina dan dipelihara adalah sikap yang mengutamakan persaudaraan
dan rasa kekeluargaan. Salah satu sarana yang dapat memperluas dan mempererat
jaringan kekeluargaan pada masyarakat Melayu adalah perkawinan.
c. Hubungan manusia pada lingkungan alam
Pada umumnya dalam kehidupan masyarakat Melayu, mereka membedakan
wujud alam menjadi 2 yaitu :
- Alam gaib, pemikiran tentang adanya alam gaib membuahkan kepercayaan
adanya kekuasaan diluar kekuasaan manusia, seperti adanya gunung, laut,
hutan dan sebagainya. Untuk menjembatani hubungan manusia dengan
alam, masyarakat meminta bantuan kepada pawang, bomo atau dukun, yang
mana dipercayai memiliki mantera-mantera tertentu.
- Alam Nyata yakni alam semesta ciptaan Tuhan, yang keberadaannya bisa
dilihat dan dirasakan oleh manusia.
13
BAB III
FAKTOR-FAKTOR
14
pedagang ini yang penuh dengan adab telah menarik minat masyarakat
Melayu untuk menerima ajaran mereka.
3. Masyarakat mengikut jejak langkah pemimpin mereka yang terlebih
dahulu menganuti agama Islam.
15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
http://lufinurmawan.blogspot.com/2015/05/makalah-metodologi-studi-islam-
tentang_37.html