Anda di halaman 1dari 16

TUGAS 3

MANAJEMEN PERPAJAKAN
“Overview Pajak Pertambahan Nilai”
Dosen : Dr. Andi Kusumawati, SE.,M.Si.,Ak.,CA

Oleh:
Hastia Alrianti
(A014202012)

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

“Pajak Pertambahan Nilai”

A. Sifat, Karakteristik dan Keunggulan PPN


Multi Stage Tax
Artinya PPN dikenakan pada setiap mata rantai mulai jalur produksi maupun
distribusi hingga ke konsumen akhir. Barang yang beredar di dalam negeri (daerah
pabean) baik yang berasal dari produksi pabrikan dalam negeri maupun impor, akan
langsung dikenakan PPN sejak barang tersebut mulai diproduksi ataupun mulai
masuk ke dalam daerah pabean pada saat importasi hingga jalur distribusi dan
berakhir di konsumen akhir.

Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri


PPN hanya dikenakan di dalam negeri (daerah pabean) dan menjadi
tanggungan konsumen akhir. Walaupun PPN dikenakan di setiap mata rantai mulai
jalur produksi dan distribusi namun PPN akan menjadi tanggungan konsumen akhir,
hal ini dikarenakan adanya mekanisme pengkreditan atas PPN yang dibayar oleh
pabrikan/distributor utama/distributor/retailer; hanya konsumen akhir yang tidak lagi
melakukan pengkreditan atas PPN yang dibayarnya.
PPN yang telah dibayar oleh importir/pabrikan/distributor
utama/distributor/retailer selanjutnya disebut sebagai pajak masukan dan PPN yang
dipungut oleh importir/pabrikan/distributor utama/distributor/ retailer disebut sebagai
pajak keluaran. Konsumen akhir hanya membayar PPN kepada retailer namun tidak
lagi melakukan pemungutan P P N ; sehingga tidak ada lagi mekanisme
pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran di level konsumen akhir.

Pajak Tidak Langsung


PPN tidak dipungut langsung oleh negara kepada konsumen akhir, melainkan
dipungut oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mata rantai jalur produksi dan
distribusi. Pembayaran PPN kepada para pihak di mata rantai produksi dan distribusi
dianggap sebagai pembayaran langsung ke kas negara.

PPN Merupakan Pajak Objektif


Suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor
objektif, yaitu adanya keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat
dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif,
timbulnya kewajiban untuk membayar PPN ditentukan oleh adanya objek pajak.

Dengan berbagai karakteristik yang telah disebutkan dimuka, PPN memiliki


keunggulan dan kelemahan.

Keunggulan PPN:
1. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.
2. Netral dalam perdagangan lokal dan internasional.
3. Ditinjau dari besar pendapatan Negara, PPN mendapat predikat sebagai money
maker. Karena konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani
oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.

Kelemahan PPN:
1. Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan pajak tidak langsung
lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun di pihak pengusaha kena pajak.
2. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan
konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul.
3. PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak.
4. PPN menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.

B. Objek PPN
Secara keseluruhan objek PPN diatur pada Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D
Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana terakhir telah diubah
dengan Undang-undang nomor 42 tahun 2009 (selanjutnya disebut UU PPN).
Jumlah objek PPN yang diatur pasal 4 UU PPN ada 8 objek sehingga keseluruhan
terdapat 10 objek PPN.

Pasal 4 Ayat (1) UU PPN, secara ringkas dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Penyerahan BKP dan JKP, meliputi:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha
b. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
d. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
e. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha
2. Perolehan BKP dan JKP, meliputi:
a. Impor Barang Kena Pajak
b. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
c. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;

Pasal 16C UU PPN


Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan
yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata
caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 16D UU PPN


Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
berupa aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aset yang Pajak Masukannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengusaha kena pajak adalah
pengusaha yang melakukan kegiatan:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean
2. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
3. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
4. Ekspor Jasa Kena Pajak
5. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean

Berlawanan dengan pengertian pengusaha kena pajak, objek PPN terkait dengan
kelompok Perolehan BKP dan JKP berikut ini dan objek PPN Pasal 16C UU PPN,
tidak mewajibkan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meliputi:
1. impor Barang Kena Pajak;
2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
3. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
4. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan
dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Artinya siapapun (baik berstatus sebagai PKP maupun bukan PKP) yang melakukan
kegiatan diatas yang telah disebutkan dari point 1-4, Wajib membayar PPN yang
terutang atas kegiatan tersebut.
C. Pengusaha Kena Pajak

Bukan PKP Pengusaha


Kecil Memilih
Pengusaha dikukuhkan
PKP
sebagai
PKP bukan PKP
Pengusaha
kecil Memilih tdk
dikukuhkan
sebagai
PKP

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pengusaha dapat


dibedakan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dan bukan PKP sebagaimana
dijelaskan dimuka PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan
JKP baik di dalam negeri maupun dalam rangka ekspor.
PKP lebih lanjut dikelompokkan atas PKP Pengusaha Kecil dan PKP bukan
Pengusaha Kecil. PKP yang masuk kriteria sebagai pengusaha kecil (berdasarkan P
M K 197/PMK.03/2013, yang berlaku sejak 1 Januari 2014) adalah:
Pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam rangka kegiatan usahanya dengan
jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).Pengusaha dengan kriteria
sebagai Pengusaha Kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.

Kewajiban PKP Pasal 3A Ayat (1) dan (2).


Pengusaha yang melakukan :
 Penyerahan BKP di dalam daerah Pebean
 Penyerahan JKP di dalam daerah Pabean
 Ekspor BKP
Termasuk pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP wajib : (1)
melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP, (2) memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN & PPnBm yang terutang, (3) membuat faktur pajak.

D. Pengertian Penyerahan dan yang Tidak Termasuk dalam Pengertian


Penyerahan BKP
Pengertian penyerahan adalah salah satu syarat mutlak untuk memahami
terutang atau tidak terutangnya pengalihan BKP; artinya jika ada pengalihan BKP
namun pengalihan tersebut belum termasuk dalam pengertian penyerahan
sebagaimana diatur Pasal 1A UU PPN maka pengalihan tersebut tidak/belum
terutang PPN.

Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:


1. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
2. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing);
3. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru
lelang;
4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aset yang menurut tujuan
semuia tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan;
6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerabannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak
yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
2. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
3. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;

4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,


pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang
melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena
Pajak; dan
5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semuia tidak untuk
diperjual belikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan
yang Pajak Masukan atas perolebannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
E. BKP dan atau JKP dan Jenis Barang dan/atau Jasa yang tidak Dikenakan
PPN

Bukan BKP Pasal 4A Ayat (2), yaitu:


1. Barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya (minya mentah, batu bara, gas bumi, panas bumi, asbes, biji besi,
dsb).
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras, gabah,
jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, buah-buahan, sayur-sayuran).
3. Makanan dan minum yang disajikan di hotel, rumah makan, warung, dan
sejenisnya
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

Bukan JKP Pasal 4A Ayat (3), yaitu:


1. Pelayanan medik
2. Pelayanan sosial
3. Pengiriman surat dengan perangko
4. Keuangan (Perbankan, asuransi, finance lease)
5. Keagamaan
6. Pendidikan
7. Kesenian & hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan
8. Penyiaran yang bersifat bukan iklan
9. Angkutan umum di darat & di air dan udara yang menjadi bagian tidak
terpisahkan dari jasa angkutan udara LN
10. Tenaga kerja
11. Perhotelan
12. Jasa penyediaan tempat parkir
13. Telpon umum dengan uang logam
14. Pengiriman uang dengan wesel
15. Jasa boga atau catering
16. Jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan
secara umum.

BKP tertentu bersifat strategis yang impor & penyerabannya mendapat pembebasan
PPN sesuai PP No. 12 tahun 2001 yang telah diubah terakhir dengan PP No. 31
Tahun 2007 meliputi:
1. Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas.
2. Makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan
makanan ternak, unggas dan ikan
3. Barang hasil pertanian
4. Bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
penangkaran atau perikanan
5. Air hersih yang dialirkan melalui pipa oleh perusahaan air minum
6. Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam
ratus) watt; dan
7. Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMl).

Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerabannya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai adalah:
1. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan
Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan
Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan
Penyeberangan Nasional
2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional
3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PLRSLRO)
Kereta Api Indonesia
4. Jasa yang diserabkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat yang
semata-mata untuk keperluan ibadah
5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumab sederhana, dan rumab sangat
sederhana; dan
6. Jasa yang diterima oleb Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan
dalam rangka penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik
Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.

F. Saat Terutangnya PPN dan Tata Cara Faktur Pajak


Pemungutan PPN oleh PKP (dengan bukti berupa faktur pajak) sangat terkait
dengan saat terutangnya PPN. Saat terutangnya PPN lebih lanjut diatur pada Pasal
17 ayat (1) s.d. (10) PP No.l Tahun 2012 yang menyatakan sebagai berikut:

Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak;
2. Impor Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
8. Ekspor Jasa Kena Pajak.

Sebagai bukti pemungutan PPN oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP,
PKP akan menerbitkan faktur pajak. Faktur pajak dibuat pada saat terutangnya PPN
sebagaimana dijelaskan di atas. Dikecualikan dari ketentuan tersebut adalah faktur
pajak gabungan dimana Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur
Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang
Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama i (satu) bulan
kalender paling lambat pada akhir bulan penyerahan. Lebih lanjut Peraturan Menteri
Keuangan No. i5i/PMK.0ii/20i3 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara
Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak mengatur sebagai berikut:

Pasal 7
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka
waktu 3 (tiga) bulan.

1. sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, tidak diperlakukan sebagai Faktur
Pajak.
2. Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
3. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

Pasal 15
Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya telah diterbitkan, Pengusaha
Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak harus melakukan pembatalan Faktur
Pajak.

Pasal 16
1. Atas Faktur Pajakberbentuk eiektronik yang salah dalam pengisian, atau salah
dalam penulisan sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jeias, dan
henar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut dapat
menerbitkan Faktur Pajak pengganti.
2. Atas hasil cetak Faktur Pajak berbentuk eiektronik yang rusak atau hilang,
Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak berbentuk eiektronik
tersebut dapat melakukan cetak uiang Faktur Pajak.
3. Atas Faktur Pajak berbentuk eiektronik yang rusak atau hilang, Pengusaha
Kena Pajak dapat mengajukan permintaan data Faktur Pajak berbentuk
eiektronik kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 17
(1)Atas Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) yang rusak, salah dalam
pengisian, atau salah dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang
lengkap, jeias dan henar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur
Pajak tersehut dapat menerbitkan Faktur Pajak pengganti.
(2)Atas Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) yang hilang, baik Pengusaha
Kena Pajak yang menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak
tersebut dapat membuat copy dari Faktur Pajak dan dilegalisasi oleh Kantor
Pelayanan Pajak.

G. Mekanisme Pemungutan PPN oleh Pemungut PPN


Secara umum, mekanisme pemungutan PPN dilakukan oleh PKP yang
melakukan penyerahan BKP dan/ atau JKP, namun demikian UU PPN juga
mengatur mekanisme pemungutan PPN yang berbeda dengan mekanisme umum
pemungutan PPN oleh PKP, yaitu Pemungutan PPN oleh Pemungut PPN.

Angka 27 Pasal 1 UU PPN menyatakan:


Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.

Pasal 16A UU PPN menyatakan:


1. Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan
Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor,
dandilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
2. Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran


1. Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP
dan/atau JKP kepada Pemungut PPN.
2. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan
ketentuan di bidang perpajakan.
3. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP
serta identitas Rekanan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Pemungut
PPN sebagai penyetor atas nama Rekanan.
4. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka
Rekanan harus mencantumkan juga jumlab PPnBM yang terutang pada Faktur
Pajak.
5. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 3
(tiga):
a. Lembar leesatu untulc Pemungut PPN;
b. Lembar leedua untulc Rekanan; dan
c. Lembar ketiga untuk Pemungut PPNyang dilampirkanpada SPT Masa PPN
bagi Pemungut PPN.
6. SSP sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 5 (lima)
dengan peruntukkan sebagai berikut:
a. Lembar kesatu untuk Rekanan;
b. Lembar kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos;
c. Lembar ketiga untuk Rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN;
d. Lembar keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan
e. Lembar kelima untuk Pemungut PPNyang dilampirkanpada SPT Masa
PPNbagi Pemungut PPN.
7. Pemungut PPN yang melakukan pemungutan wajib membubuhkan cap "Disetor
Tanggal ." dan menandatanganinya pada Faktur Pajak sebagaimana dimaksud
dalam angka 5.
8. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau
PPN dan PPnBM. Penyetoran PPN oleh Pemungut PPN paling lambat dilakukan
tanggal 15 bulan berikutnya dan SPT Masa bagi Pemungut PPN dilaporkan
paling lambat akhir bulan berikutnya.Rekanan melaporkan Faktur pajak yang
diterbitkan pada saat rekanan menerima pelunasan tagihan.

H. Pajak Penjualan atas Barang Mewah


Disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh
pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
2. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Karena dikenakan hanya sekali saja, PPnBM tidak mengenai mekanisme
pengkreditan. Pengenaan PPnBM sama seperti PPN akan bermuara menjadi beban
konsumen akhir.

I. PPN dan PPnBM atas Importasi

Baik PPN maupun PPnBM atas BKP Impor dihitung dari Nilai Impor.
Nilai Impor = CIF ditambah Bea Masuk (BM) dan/atau Bea Masuk Tambahan
(berupa, bea masuk anti dumping, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk
imbalan/pembalasan) dan/atau cukai serta pungutan lainnya berdasarkan UU
Kepabeanan (seperti sanksi administrasi kepabeanan). Singkatnya:
Nilai Impor = CIF + BM + BMT

Bea Masuk dan Bea Masuk tambahan berupa persentase dihitung dari CIF.
CIF = Cost (FOB) + Freight + Insurance

Untuk pengangkutan melalui laut maka Freight-nya:


1. 5% dari FOB (Free on Board) untulc barang yang dikirim dari negara ASFAN,
2. 10% dari FOB untuk Asia-Non Asean atau Australia,
3. 15% untuk negara selain dari keduanya.

Sedangkan untuk pengangkutan udara ditentukan berdasarkan Tarif International Air


Transport Association (lATA).

Asuransi ditetapkan 0,5% dari nilai Cost and Freight (CFR).


Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Barang Kena Cukai terdiri dari:
1. Etil alkohol ( EA ) atau etanol
2. Minuman yang mengandung etil alkohol (MMFA)
3. Hasil tembakau

Sanksi administrasi kepabeanan, berdasarkan PP 28 tahun 2008 dapat berupa:


1. Nilai rupiah tertentu;
2. Nilai rupiah minimum sampai dengan maksimum (Rp5 juta s/d Rp75 juta)
3. Persentase tertentu dari bea masuk yang seharusnya dibayar (10% dihitung dari
BM atas keterlambatan menyetor BM);
4. Persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari kekurangan
pembayaran bea masuk atau bea keluar. Paling sedikit 100% dan paling banyak
1000%.
5. Persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari bea masuk yang
seharusnya dibayar. Denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari
bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus
persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

J. Dasar Pengenaan Pajak PPN


DPP PPN Pasal 1 Angka 17, yaitu :
1. Harga Jual, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BPK.
2. Penggantian, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP.
3. Nilai impor = CIF + BM + BMT.
4. Nilai Ekspor, adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh eksportir seperti termaktub dalam PEB
(Pemberitahuan Ekspor Barang).
5. Nilai lain yang ditetapkan dengan Kepmenkeu (PMK No. 75/PMK.03/2010).
a. Pemakaian sendiri = Harga jual – laba kotor ( HPP )
b. Pemberian Cuma – Cuma = Harga jual – laba kotor ( HPP )
c. Media Rekaman = Harga Jual rata – rata
d. Film = perkiraan hasil rata2 per judul film
e. Rokok / tembakau = Harga jual eceran
f. Aset yg semula tidak diperjual belikan = harga pasar wajar
g. Penyerahan Antar Cabang = HPP
h. Penyerahan BKP melalui pedagang perantara = harga yg disepakati
antara pedagang perantara dan pembeli
i. Lelang = harga lelang
j. Jasa Pengiriman paket = 10% x jumlah yg ditagih
k. Jasa biro wisata = 10 % x jml tagihan
l. Kegiatan Membangun sendiri = 20% x Jml Biaya ( tidak termasuk nilai
tanah

K. Pajak Masukan

Pasal 1 angka 24 U U PPN menyatakan:


Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak karena:
1. Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
2. Perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
dan/atau
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau
5. Impor Barang Kena Pajak.

L. Fasilitas Pembebasan PPN dan PPN Tidak Dipungut

Pasal 16 B U U PPN menyatakan:


1. Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak
tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerabannya tidak dipungut Pajak
Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
3. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerabannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.

M. Kawasan Bebas

Berdasarkan PP No. 10 Tahun 2012:


Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan
bebas, yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang
berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah
dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan


pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal
22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau pembebasan cukai.
Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari tempat lain dalam Daerah
Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Penyerahan
Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang
penyerabannya tidak dilakukan di Kawasan Bebas, dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke
Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Akuntan Indonesia. 2015. Modul Chartered Accountant Indonesia. Jakarta:


Ikatan Akuntan Indonesia.

Kusumawati, A. 2020. Overview PPN dan PPnBM. Manajamen Perpajakan.


Powerpoint. Universitas Hasanuddin.

Anda mungkin juga menyukai