Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“Ulama – Ulama Penyebar Agama Islam & Karya – Karyanya

Dikawasan Melayu”

DOSEN PENGAMPU: ATHIYAH WARADAH M.Pd

DI SUSUN OLEH :
NAMA : YANTI
NIM : (20200513035)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AHSANTA JAMBI


TAHUN AJARAN 2020 s.d 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
dari dosen Athiyah Waradah M.Pd pada mata kuliah islam dan peradaban melayu.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada ibu dosen Athiyah Waradah M.Pd
selaku dosen mata kuliah islam dan peradaban melayu yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari,
makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 22 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Masuknya Islam Ke Indonesia..................................................................................2
B. Tokoh-tokoh Penyebar dan Pengembang Islam di Indonesia...................................2

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................................7
B. Saran.........................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-
pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan
Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan
wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik
bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara
itu, pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk
kemudian dijual kepada para pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan
Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang asing seperti Lamuri
(Aceh), Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah.
Mereka tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di Indonesia
ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun belum tersebar
secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimakah sejarah masuknya Islam ke Indonesia?


2.      Siapa sajakah tokoh yang menyebarkan dan mengembangkan Islam di Indonesia?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui sejarah masuknya Islam ke Indonesia.


2.      Mengetahui tokoh-tokoh yang menyebarkan dan mengembangkan Islam di Indonesia.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Masuknya Islam Ke Indonesia


Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijrah atau abad ke tujuh/ke delapan
masehi. Ini mungkin didasarkan pada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang
bernama Fatimah binti Maimun di Leran dekat Surabaya yang bertahun 475 H atau 1082 M.
Sedangkan menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi
Samudra Pasai dalam perjalanannya ke Negeri Cina pada 1345M, Agama islam yang
bermadzhab Syafi’I telah mantap disana selama seabad. Oleh karena itu, abad XIII biasanya
dianggap sebagai masa awal masuknya agama Islam ke Indonesia.
Adapun daerah pertama yang dikunjungi adalah pesisir Utara pulau Sumatera. Mereka
membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur yang kemudian meluas
sampai bisa mendirikan kerajaan Islam pertama di Samudera pasai, Aceh Utara.
Sekitar permulaan abad XV, Islam telah memperkuat kedudukannya di Malaka, pusat
rute perdagangan Asia Tenggara yang kemudian melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah
Indonesia lainnya. Pada permulaan abad tersebut, Islam sudah bisa menjejakkan kakinya ke
Maluku, dan yang terpenting ke beberapa kota perdagangan di Pesisir Utara Pulau Jawa yang
selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Majapahit. Dalam waktu
ya ng tidak terlalu lama yakni permulaan abad XVII, dengan masuk islamnya penguasa
kerajaan Mataram yaitu Sulthan Agung, kemenangan agama tersebut hampir meliputi
sebagian besar wilayah Indonesia.
Berbeda dengan masuknya islam ke Negara-negara di bagian dunia lainnya yakni
dengan kekuatan militer, masuknya islam ke Indonesia itu dengan cara damai disertai dengan
jiwa toleransi dan saling menghargai antara penyebar dan pemeluk agama baru dengan
penganut-penganut agama lama (Hindu-Budha). Ia dibawa oleh pedagang-pedagang Arab
dan Ghujarat di India yang tertarik dengan rempah-rempah. Masuknya Islam melalui India ini
menurut sebagian pengamat, mengakibatkan bahwa islam yang masuk ke Indonesia ini bukan
islam yang murni dari pusatnya di Timur Tengah, tetapi islam yang sudah banyak
dipengaruhi paham mistik, sehingga banyak kejanggalan dalam pelaksanannnya .
Berbeda dengan pendapat diatas, S.M.N. Al-Attas berpendapat bahwa pada tahap
pertama islam di Indonesia yang menonjol adalah aspek hukumnya bukan aspek mistiknya
karena ia melihat bahwa kecenderungan penafsiran al-Quran secara mistik itu baru terjadi
antara 1400-1700 M.
Akan tetapi, sejak pertengahan abad XIX, agama islam Indonesia secara bertahap mulai
meninggalkan sifat-sifatnya yang sinkretik setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan
hubungan dengan Mekkah dengan cara melakukan ibadah haji. Apalagi setelah transportasi
laut yang makin membaik, semakin banyaklah orang Indonesia yang melakukan ibadah haji
bahkan sebagian mereka ada yang bermukim bertahun-tahun lamanya untuk mempelajari
ajaran islam dari pusatnya, dan ketika kembali ke Indonesia mereka menjadi penyebar aliran
islam yang ortodoks.
B.     Tokoh-tokoh Penyebar dan Pengembang Islam di Indonesia
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran aktif
yang dilakukan oleh para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik
dikalangan masyarakat Nusantara. Para ulama yang pertama kali menyebarkan Islam di
Nusantara antara lain sebagai berikut:
1.      Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri hidup pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, sekitar tahun
1590. Pengembaraan intelektualnya tidak hanya di Fansur, Aceh. Tetapi juga ke India, Persia,

2
Makkah dan Madinah. Karena itu ia menguasai berbagai bahasa selain bahasa Melayu.
Dalam pengembaraannya itu, ia sempat mempelajari ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, sejarah dan
sastra Arab. Usai menjalani pengembaraan intelektualnya, Hamzah Fansuri kembali ke
kampung halamannya di Fansur, Aceh,untuk mengajarkan keilmuan Islam yang diperolehnya
dari guru-guru yang didatanginya di negeri-negeri yang telah disinggahi. Ia mengajarkan
keilmuan Islam tersebut di Dayah (pesantren) di Obob Simpangkanan, Singkel.
2.      Syamsudin Al-Sumatrani
Syamsudin Al-Sumatrani merupakan salah seorang ulama terkemuka di Aceh dan
Nusantara yang hidup pada abad ke-16. Syamsudin Al-Sumatrani memiliki peran dan posisi
penting di istana kerajaan Aceh Darussalam, karena is berprofesi sebagai Qadli (Hakim
Agung), juga kedekatannya dengan Sultan Iskandar Muda sebagai seorang Syeikh Al Islam.
Syeikh Al Islam merupakan gelar tertinggi untuk ulama, kadi, imam atau syeikh, penasihat
raja, imam kepala, anggota tim perundingan dan juru bicara Kerajaan Aceh Darussalam.
Karya-karya Syamsudin Al-Sumatrani adalah Jaubar Al-Haqaid, Risalah Al-Baiyyin al-
Mulahaza Al-Muwahhidin Wa Al-Mubiddinfi Dzikr Allah, Mir’ah Al-Mukminin, Syarah
Ruba’i Hamzah Fansuri, Syarah Syair Ikan Tongkol.
3.      Nuruddin Ar-Raniri
Nuruddin Ar-Raniri dilahirkan di Ranir (sekarang Render), sebuah pelabuhan tua di
Gujarat. Ayahnya berasal dari keluarga imigran Arab Hadramy, Arab Selatan, yang menetap
di Gujarat India. Meskipun ia keturunan Arab, Ar-Raniri dianggap lebih dikenal sebagai
seorang ulama Melayu dari pada India atau Arab.
Ar-raniri diangkat sebagai Syeikh Al Islam, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani.
Dengan memperoleh dukungan dari sultan, Ar-Raniri mulai melancarkan berbagai
pembaruan pemikiran Islam di tanah Melayu, khususnya di Aceh. Selama lebih kurang tujuh
tahun, ia menentang doktrin wujudiah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin
Al-Sumatrani. Diantara karya Ar-Raniri adalah Shiratal Mustaqiem dalam bidang tasawuf,
dan Durratul Aqaid bisyarbil-Aqaid dalam bidang akidah Islam.
4.      Syeikh Muhammad Yusuf Al-Makassari
Muhammad Yusuf bin Abdullah Abul Mahasin Al-Tajul-Khalwati Al-Makassari,
dilahirkan di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia
berasal dari keluarga yang taat beragama. Ia belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf
kepada Sayid Ba Alwi bin Abdullah Al-‘Allaham Al-Thahir, seorang Arab yang menetap di
Bontoala. Setelah berusia 15 tahun, ia melanjutkan pelajarannya di Cikoang dengan
Jalaluddin Al-Aydid, seorang guru pengembara yang datang dari Aceh ke Kutai, sebelum
sampai di Cikoang.
Diantara karyanya adalah menyalin kitab Ad-Durrah Al-Fakbira (Mutiara yang
Membanggakan), dan Risalah fil-Wujud (Tulisan tentang Wujud)
5.      Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani
Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani lahir di Tanara, Serang, Banten pada
tahun 1230 H/1813 M. Sejak kecil ia dan kedua saudaranya, Tamim dan Abmad, di didik
ayahnya dalam bidang agama, ilmu kalam, ilmu nahwu, fikih dan tafsir. Selain itu ia juga
belajar dari Haji Sabal, ulama terkenal saat itu, dan dari Raden Haji Yusuf di Purwakarta
Jawa Barat.
Syeikh Nawawi A-Bantani termasuk salah seorang ulama Nusantara yang cukup
berpengaruh dan sangat dihormati, bukan hanya di kalangan komunitas melayu Nusantara
tetapi juga oleh masyarakat Haramain secara keseluruhan. Posisi sosial keagamaan dan
intelektual yang dimilikinya memberi kesempatan kepadanya untuk mengajar pada berbagai
halaqah di Masjidil Haram sejak tahun 1860, khususnya di Ma’had Nashr Al-Ma’arif Ad-
Diniyah, hingga akhirnya ia memperoleh gelar sebagai “Syeikh Al-Hijaz”
6.      Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau

3
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada tahun
1276 H/1855 M. Ayahnya adalah seorang jaksa di Padang, sedangkan ibunya adalah anak
dari Tuanku Nan Renceh, seorang ulama terkemuka dari golongan Padri. Ahmad Khatib kecil
memperoleh pendidikan awal pada sekolah pemerintah yang didirikan Belanda, yaitu sekolah
rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Kemudian pada tahun 1876, Ahmad Khatib
melanjutkan pendidikan agamanya di Makkah, tempat kelak ia memperoleh kedudukan tinggi
dalam mengajarkan agama dan imam dari madzhab Syafi’i di Masjidil Haram.
7.      Wali Songo
Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14 M.
Mereka tinggal ditiga wilayah penting pantai utara pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-
Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di
Jawa Barat. Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran
agama Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang berperan.
Namun peran mereka yang sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung
membuat para Walisongo ini banyak disebut dibanding yang lain.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik pada tahun 1404 M. Walisongo adalah pembaruan
masyarakat pada masanya. Pengaruhnya mereka terasakan dalam berragam bentuk
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan. Adapun
sembilan nama yang dikenal Walisongo tersebut adalah Sunan Gresik, Sunan Drajat, Sunan
Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang dan Sunan
Gunung Jati.
a)      Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah nama salah seorang Walisongo, yang
dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa
Gapurosukolilo Kota Gresik Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah
seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali
senior di antara para Walisongo lainnya. Beberapa vers babad menyatakan bahwa
kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa
Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara
kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan
mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi
bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan
hanya memperlihatkan keindahan dan kebaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat
keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan
Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja
dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai
pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana
Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja
Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan
memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang
dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur

4
kebenaran mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di
ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan
menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren
yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini
makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama
Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai
berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12
Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa
dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan
dihidangkan makanan khas bubur harisah.
b)      Sunan Ampel 
Dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya. Ia
disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja
Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Ia
menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
c)      Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465 M, dengan nama Raden Maulana Makdum
Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa
di Kabupaten Rembang. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya
berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban.
Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya
beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat
mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut
tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau.
Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang
mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka
memperebutkannya. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat
merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
d)     Sunan Drajat 
Dia juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam
di daerah Gresik/Sedayu. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri
adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat
kebanyakan Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran
masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara
mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan.
Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok
peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat
diperkirakan wafat wafat pada 1522.
e)      Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,
yang berkedudukan di daerah Gresik Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan
Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih,Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam
dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putrid Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah
membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya
untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu, Lalu Dewi Sekardadu dengan rela
menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini. Kemudian, bayi tersebut

5
ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia
diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena
ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di
Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya,
Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian,
Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran
Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra.
Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan
alasan mengapa dia dulu dibuang.
f)       Sunan Kudus 
Nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan
Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak
berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi
muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang
Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang
arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada
tahun 1550.
g)      Sunan Kalijaga 
Nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah
Demak. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang
suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil
karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti
Maulana Ishaq.
h)      Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut
beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah,
putrid Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung
(Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia
dimakamkan.
i)        Sunan Gunung Jati 
Nama aslinya Syarif Hidayatullah, adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam
putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui
Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati
mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga
berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga
kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

6
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
pertama Hijrah atau abad ke tujuh/ke delapan masehi. Ini mungkin didasarkan pada
penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun di
Leran dekat Surabaya yang bertahun 475 H atau 1082 M.
Proses penyebaran Islam di wilayah Nusantara tidak dapat dilepaskan dari peran aktif
yang dilakukan oleh para ulama. Melalui merekalah Islam dapat diterima dengan baik
dikalangan masyarakat Nusantara. Para ulama yang pertama kali menyebarkan Islam di
Nusantara adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Syeikh
Muhammad Yusuf Al-Makassari, Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani,
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau, dan Wali Songo.
Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14 M.
Mereka tinggal ditiga wilayah penting pantai utara pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-
Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di
Jawa Barat. Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya
Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran
agama Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.

B.     Saran

Sebagai umat muslim seharusnya kita menyadari seberapa sulitnya para wali Allah
SWT, tersebut  di atas dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia. Maka dari itu, kita
sebagai penerusnya harus menjaga kemurnian dari nilai Islam itu sendiri. Jangan sampai
Islam tersisihkan oleh mode di zaman yang semakin menyesatkan umat ini.

7
DAFTAR PUSTAKA

Suminto, Aqid. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: Pustaka LP3ES.


Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Hasjmy, A. 1990. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, cet.1. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Murodi.  1994. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Fuji,  Hasbiah. 2013. Makalah SKI/Perkembangan Islam di Indonesia, [Online]. Tersedia:
http://hasbiahfuji.blogspot.co.id. [12 Februari 2015]
Khadafi, Muamar. 2013. Makalah Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, [Online] Tersedia:
https://ukhuwahislah.blogspot.co.id. [12 Februari 2015]
Efendi, Husein. 2015. Makalah Perkembangan Islam di Indonesia, [Online]. Tersedia:
https://gedhanggoyeng.wordpress.com. [12 Februari 2015]
Anonim. 2014. Tokoh-tokoh Penyebar Agama Islam di Indonesia, [Online] Tersedia:
http://sajadahmuslimku.blogspot.co.id. [12 Februari 2015]

Anda mungkin juga menyukai