PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah diagnosa pada skenario?
2. Bagaimana penanganan pertama pada kasus?
3. Apa etiologi pada SSJ?
4. Bagaimana patofisiologi pada SSJ?
5. Bagaimana menifestasi klinis pada SSJ?
6. Bagaimana histopatologi pada SSJ?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada SSJ?
8. Bagaimana pencegahan pada SSJ?
9. Apa saja klasifikasi pada SSJ?
10. Apa saja komplikasi pada SSJ?
11. Apakah diagnosa banding pada SSJ?
12. Bagaimana prognosis terhadap SSJ?
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada SJS, terlihat gejala trias kelainan yang terdiri dari kelainan kulit,
kelainan mukosa orifisium, dan kelainan mata. Kelainan mukosa yang tersering
adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul kelainan di genital (50%),
sedang di lubang hidung dan anus sangat jarang (8% dan 4%). Pada bibir,
kelainan yang sering tampak adalah hemorragic crush hingga terdapat krusta
berwarna hitam yang tebal. Kelainan kulit pada SJS terdiri atas eritema, vesikel,
dan bula. Vesikel dan bula kemudian pecah menjadi erosi yang luas.
3
Kedua, penggantian cairan intravena harus dimulai dengan menggunakan
makromolekul atau saline solusi.
1. Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena
infeksi, vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, danradiasi. SSJ
yang di duga alergi obat. Tersering ialah analgetik / antipiretik( 45% ),
disusul kerbamazepin ( 20% ), dan jamu di bubuhi obat. Kausa yang
ainamoksisilin, kotrimoksazol, dilantin, tetrasiklin, klorokuin, seftriakson
dan adiktif.
4
d. Protozoa: malaria dantrichomoniasis
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi
tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
5
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan
siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel
yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
Menifestasi Oral
Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi dari pada lesi
kulit, seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung
banyak terjadi pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi
sedangkan pada gusi relative jarang terjadi lesi.
Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan
bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi
pada kulit. Vesikel maupun bulat terutama pada mukosa bibir mudah pecah
Karena gerakan lidah dan friski pada waktu mengunyah dan bicara sehingga
bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan klinis intra oral.
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian
mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik
yang berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudo
membran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu
ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak rata
6
yang berwarna kemerahan. Apa bila terjadi trauma mekanik dan mengalami
perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman.
Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan sering kali lesi
pada mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut. (Pada
palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral diawali
oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi, ekskoriasi danulkus.
Erosi sering kali ditutupi pseudo membrane dan dikelilingi daerah berwarna
kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum durum .Pada
mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi seperti lidah, vesikel atau bula di
mukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya berupa erosi atau ulkus yang ditutupi
dengan pseudomembran.
Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom Stevens Johnson.
Kelainan yang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain konjungtivitis kelopak
mata sering kali menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta hemoragi pada
garis tepi mata. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata
dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia, panophtalmitis,
deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta
sindrom mata kering, komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa
sikatriks kornea, ulser asikornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini
tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan kebutaan.
7
Manifestasi pada genital
1. Rawat inap Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol
setiap hari keadaan penderita.
8
dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan
tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10mg pada
hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan preparat
kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
4. Infuse dan Transfusi Darah Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita
adalah mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita
sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral
dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang diberikan
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila terapi yang telah diberikan dan
penderita belum menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari, maka penderita
dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leucopenia.
9
7. Agen Hemostatik Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai
purpura yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.
8. Diet Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu
lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet
rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein
penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah garam dan
tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada
penderita yang sukar menelan.
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area
genital penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang sering kali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka
kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.
10
Perawatan pada Oral
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%.
Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk
menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Anti jamur dan antibiotic
dapat digunakan untuk mencegah super infeksi. Lesi pada mukosa bibir yang
parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral pada
bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid.
11
terkena sindrom ini jika mengonsumsi obat kejang atau obat untuk gangguan
kejiwaan.
Perhatikan penggunaan obat pada pasien yang mengalami lemahnya system
imun, biasanya akibat HIV/AIDS, transplantasi organ, atau penyakit
autoimun.
Komplikasi primer yang didapatkan pada pasien SJS dan NET yakni
bercak hipopigmentasi dan hiperpigmentasi, komplikasi sekunder yakni kelainan
pada mata (keratitis, lagoftalmus, simblefaron, erosi kornea) dan komplikasi
tersier adalah kelainan pada liver, yakni didapatkan peningkatan serum
transaminase. Penurunan sistem pertahanan tubuh, luasnya epidermolisis akan
menurunkan fungsi kulit sebagai barrier tubuh sehingga dapat sebagai pintu
masuknya kuman ke dalam tubuh, hal ini dapat menyebabkan sepsis.
2.11
Diagnosa Banding Pada SSJ
12
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang
melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Kehilangan kulit dalam
TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan
elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang
rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.
SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini
dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami
TEN dan 5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi
dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini
juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa
masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat
dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya
disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia,
serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2004).
13
BAB 3
PEMBAHASAN
Gejala awal berupa adanya ruam, lepuh dalam mulut, mata, kuping,
hidung atau alat kelamin, bengkak pada kelopak mata, atau mata merah,
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
bola mata), demam terus-menerus atau gejala seperti flu
BAB 4
14
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kelompok menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna. Karena itu kami sebagai kelompok megharapkan kritok
dan saran yang membangun dari dosen pembimbing dan teman- teman sesama
mahasiwa. Bagi yang memiliki faktor resiko untuk SSJ ( Sindrom Steven-Johnson
) sebaiknya melakukan pencegahan untuk dapat menghindari terjadinya SSJ
( Sindrom Steven-Johnson ). Selain itu, tenaga kesehatan yang melakukan asuhan
perawatan diharapkan dapat menganalisa keadaan pasien dengan baik dan tepat
sehingga pasien mendapatkan perawatan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
15
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd
edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142
Hamzah, Mochtar. 2005. IlmuPenyakitKulitdanKelamin.Edisi 4. Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI.
Arwin, Akib AP, dkk. 2007. BukuAjarAlergiImmunologiAnak. Edisi 2.
Jakarta: IkatanDokterAnak Indonesia.
Djuanda,Adi.MochtarHamzahdanSiti Aisah.2013.ILMU PENYAKIT KULIT
DAN KELAMIN.Jakarta:FakultasKedokteranUniversitas Indonesia.
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit
Edisi 2. Jakarta: EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media
Aesculapius
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. JIPMER. 2006;2(1).
India.
V.K Sharma GGS. Adverse cutaneous reaction to drugs; an overview. J
Postgard Med. 1996;42((1)).
A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Media Aesculapius; 2000.
16