Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis


erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain :
sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan
oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan
IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions,
tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru
ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada
dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk
memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem
multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering
rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister
yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh
obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep
ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat
yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang
diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah diagnosa pada skenario?
2. Bagaimana penanganan pertama pada kasus?
3. Apa etiologi pada SSJ?
4. Bagaimana patofisiologi pada SSJ?
5. Bagaimana menifestasi klinis pada SSJ?
6. Bagaimana histopatologi pada SSJ?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada SSJ?
8. Bagaimana pencegahan pada SSJ?
9. Apa saja klasifikasi pada SSJ?
10. Apa saja komplikasi pada SSJ?
11. Apakah diagnosa banding pada SSJ?
12. Bagaimana prognosis terhadap SSJ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui diagnosa pada scenario


2. Untuk mengetahui penanganan pertama pada SSJ
3. Untuk mengetahui etiologi pada SSJ
4. Untuk mengetahui patofisiologi pada SSJ
5. Untuk mengetahui menifestasi klinis pada SSJ
6. Untuk mengetahui histoptologi pada SSJ
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada SSJ
8. Untuk mengetahui pencegahan terhadap SSJ
9. Untuk mengetahui klasifikasi pada SSJ
10. Untuk mengetahui komplikasi pada SSJ
11. Untuk mengetahui diagnosa banding pada SSJ
12. Untuk mengetahui prognosis terhadap SSJ

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diagnosa Pada Skenario

Definisi penyakit Stevens Johnson Syndrome

Stevens Johnson Syndrome merupakan suatu sindroma atau kumpulan


gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang
bervariasi dari ringan sampai berat. Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau
belum diketahui. Namun penyebab paling sering terjadi ialah alergi sistemik
terhadap obat. Keluhan utama pada pasien adalah kulit melepuh disertai rasa nyeri
sejak 10 hari SMRS yang disertai dengan keluhan bercak kemerahan dan
gelembung-gelembung kecil pada dada dan lengan.

Pada SJS, terlihat gejala trias kelainan yang terdiri dari kelainan kulit,
kelainan mukosa orifisium, dan kelainan mata. Kelainan mukosa yang tersering
adalah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul kelainan di genital (50%),
sedang di lubang hidung dan anus sangat jarang (8% dan 4%). Pada bibir,
kelainan yang sering tampak adalah hemorragic crush hingga terdapat krusta
berwarna hitam yang tebal. Kelainan kulit pada SJS terdiri atas eritema, vesikel,
dan bula. Vesikel dan bula kemudian pecah menjadi erosi yang luas.

2.2 Penanganan Pertama Pada SSJ

Manajemen awal, manajemen pasien harus cepat; diagnosis dini dengan


pengenalan dini dan penarikan semua obat penyebab potensial sangat penting
untuk hasil yang menguntungkan. Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat
biusnya ditarik terlambat. Kami mengamati itu tingkat kematian lebih rendah
ketika obat-obatan kausatif dengan eliminasi waktu paruh yang pendek ditarik
tidak lebih dari hari ketika lepuh atau erosi pertama terjadi. Tidak ada perbedaan
terlihat untuk obat dengan waktu paruh yang panjang.

3
Kedua, penggantian cairan intravena harus dimulai dengan menggunakan
makromolekul atau saline solusi.

Ketiga, pasien harus dipindahkan ke unit perawatan intensif atau pusat


luka bakar. Cepat rujukan mengurangi risiko infeksi, angka kematian dan lama
rawat inap.

2.3 Etiologi Pada SSJ


Penyebab dari syndrome ini belum diketahui dengan pasti, namun ada
beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, yaitu:

1. Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena
infeksi, vaksinasi, penyakit graft versus host, neoplasma, danradiasi. SSJ
yang di duga alergi obat. Tersering ialah analgetik / antipiretik( 45% ),
disusul kerbamazepin ( 20% ), dan jamu di bubuhi obat. Kausa yang
ainamoksisilin, kotrimoksazol, dilantin, tetrasiklin, klorokuin, seftriakson
dan adiktif.

2. Akibat penyakit infeksi


Penyabab infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini
meliputi:
a. Viral: herpes simplex virus ( HSV ) 1 dan 2, HIV, morbili, coxsackie,
cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps, lympho granuloma
venereum ( LGV ), mononucleosis infeksiosa, vaccine rickettsia, dan
variola. Epstein-Barr virus dan entero virus diidentifikasi sebagai
penyebab timbulnya sindrom ini pada anak.
b. Bakteri: termasuk kelompok A beta haemolyticstreptococcuss, chlera,
fracisellatularensis, Yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, Vincent
agina, legionnaire, vibrio parahemolitikus brucellosis, mycobacteria,
mycoplasma pneumonia tularemia dan salmonella typhoid.
c. Jamur: termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis dan
histoplasmosis.

4
d. Protozoa: malaria dantrichomoniasis

3. Alergi makanan : coklat

2.4 Patofisiologi Pada SSJ

Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang


diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat
yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi,
tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.

Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin


dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa
menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan
dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang
diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di
Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.

Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif


tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan
lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).
Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .

Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam
darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi
tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan

5
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi
tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil
tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan
siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).

Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil
Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel
yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed)
memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.

2.5 Menifestasi Klinis Pada SSJ

Menifestasi Oral

Lesi oral mempunyai karakteristik yang lebih bervariasi dari pada lesi
kulit, seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung
banyak terjadi pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi
sedangkan pada gusi relative jarang terjadi lesi.

Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera diikuti oleh vesikel dan
bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah dibandingkan lesi
pada kulit. Vesikel maupun bulat terutama pada mukosa bibir mudah pecah
Karena gerakan lidah dan friski pada waktu mengunyah dan bicara sehingga
bentuk yang utuh jarang ditemukan pada waktu pemeriksaan klinis intra oral.
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian
mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik
yang berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudo
membran. Jaringan nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu
ulkus yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak rata

6
yang berwarna kemerahan. Apa bila terjadi trauma mekanik dan mengalami
perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman.
Krusta kehitaman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan sering kali lesi
pada mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut. (Pada
palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi lesi oral. Lesi oral diawali
oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi, ekskoriasi danulkus.
Erosi sering kali ditutupi pseudo membrane dan dikelilingi daerah berwarna
kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum durum .Pada
mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi seperti lidah, vesikel atau bula di
mukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya berupa erosi atau ulkus yang ditutupi
dengan pseudomembran.

Manifestasi oral sindrom Stevens-Johnson biasanya diikuti oleh


pembesaran nodus limfatik user vikalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali dan
terjadi peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi
karena kekurangan cairan yang masuk kedalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke
faring, saluran pernafasan bagian atas dan esophagus sehingga penderita
mengalami kesulitan bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea,
apabila keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli,
sehingga dapat menimbulkan bronco pneumonia serta trakeo bronkitis.

Manifestasi pada mata

Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom Stevens Johnson.
Kelainan yang sering terjadi adalah konjungtivitis. Selain konjungtivitis kelopak
mata sering kali menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta hemoragi pada
garis tepi mata. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata
dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia, panophtalmitis,
deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis serta
sindrom mata kering, komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa
sikatriks kornea, ulser asikornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini
tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan kebutaan.

7
Manifestasi pada genital

Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan


vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis. Uretritis merupakan
peradangan pada uretra dengan gejalak lasik berupa secret uretra, peradangan
meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah
peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala
berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa
tidak nyaman, dan gangguan buang air kecil. Sindrom Stevens-Johnson dapat
pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflammed anal.

2.6 Histopatologi Pada SSJ

Gambaran histopatologinya sesuai dengan eritema multiforme,bervariasi


dari perubahan dermal menyeluruh. Kelainan berupa:

1.Infiltratsel mononuclear disekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.

2.Edema dan ekstravasasi sel darah merah didermis papilar.

3.Degenerasi hidropobik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.

4.Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.

5.Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

2.7 Penatalaksanaan Pada SSJ

Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat


keparahan penyakit yang secara umum meliputi:

1. Rawat inap Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol
setiap hari keadaan penderita.

2. Preparat Kortikosteroid Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan


tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason
secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg sehari. Masa kritis biasanya

8
dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan
tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari
kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 10mg pada
hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama pengobatan preparat
kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.

3. Antibiotik Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi


menyebabkan imunitas penderita menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan hendaknya yang jarang
menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak
nefrotoksik. Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain siprofloksasin
dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600mg intravena
dan gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.

4. Infuse dan Transfusi Darah Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita
adalah mengatur keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita
sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral
dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang diberikan
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Apabila terapi yang telah diberikan dan
penderita belum menampakkan perbaikan dalam waktu 2-3 hari, maka penderita
dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut,
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas dan leucopenia.

5. KCl Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami


penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500
mg sehari peroral.

6. Adenocorticotropichormon (ACTH) Penderita perlu diberikan ACTH untuk


menghindari terjadinya supresi korteks adrenal akibat pemberian kortikosteroid.
ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg.

9
7. Agen Hemostatik Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai
purpura yang luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.

8. Diet Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu
lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet
rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein
penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani diet rendah garam dan
tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada
penderita yang sukar menelan.

9. Vitamin Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C.


Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C
diberikan dengan dosis 500 mg atau 1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada
penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat
membantu mengurangi permeabilitas kapiler.

Perawatan pada Mata

Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres


dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata arti ficial dan ointment.
Pada kasus yang kronis,suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah
terjadinya corneal epithelial breakdown. Antibiotik topical dapat digunakan untuk
menghindari terjadinya infeksi sekunder.

Perawatan pada genital

Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area
genital penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson yang sering kali mengalami
gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka
kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.

10
Perawatan pada Oral

Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anastetik topical dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%.
Campuran 50% air dan hydrogen peroksida dapat digunakan untuk
menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Anti jamur dan antibiotic
dapat digunakan untuk mencegah super infeksi. Lesi pada mukosa bibir yang
parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral pada
bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid.

Triamsinolon asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical.


Kortikosteroid yang biasa digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta.
Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum
dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian
dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh
saliva. Apabila pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum
sehingga tidak akan diperoleh efek terapi yang diharapkan.

2.8 Pencegahaan Terhadap SSJ

Ada beberapa langkah yang bias dilakukan untuk mencegah sindrom


Stevens-Johnson yaitu:
 Terutama orang-orang keturunan Tiongkok, Asia Tenggara, atau India,
lakukan lah uji genetika sebelum mengonsumsi obat-obatan tertentu seperti
carbamazepine.
 Perhatikan riwayat keturunan keluarga jika ada riwayat keturunan yang
menderita Sindrom Stevens-Johnson.
 Jika pernah menderita Sindrom Stevens-Johnson sebelumnya, hindari
konsumsi obat-obatan yang bias memicunya.
 Konsultasikan dengan dokter bila ada keluarga dengan riwayat penyakit ini.
 Lebih berhati-hati pada pasien yang menderita infeksi virus, seperti herpes,
pneumonia virus, HIV, hepatitis.
 Perhatikan penggunaan obat pada pasien yang memiliki gen tertentu, seperti
Gen HLA-B 1502 atau HLA-B 1508 yang membuat seseorang akan berisiko

11
terkena sindrom ini jika mengonsumsi obat kejang atau obat untuk gangguan
kejiwaan.
 Perhatikan penggunaan obat pada pasien yang mengalami lemahnya system
imun, biasanya akibat HIV/AIDS, transplantasi organ, atau penyakit
autoimun.

2.9 Kelasifikasi Terhadap SSJ


Dalam konsep ini, SSJ kemungkinan merupakan proses yang diinduksi
obat yang berbeda dalam derajat keparahannya.
Derajat klasifikasi yang di ajukan:
1. Derajat 1: Erosi mukosa SSJ dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2: lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3: Lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

2.10 Komplikasi Pada SSJ

Komplikasi primer yang didapatkan pada pasien SJS dan NET yakni
bercak hipopigmentasi dan hiperpigmentasi, komplikasi sekunder yakni kelainan
pada mata (keratitis, lagoftalmus, simblefaron, erosi kornea) dan komplikasi
tersier adalah kelainan pada liver, yakni didapatkan peningkatan serum
transaminase. Penurunan sistem pertahanan tubuh, luasnya epidermolisis akan
menurunkan fungsi kulit sebagai barrier tubuh sehingga dapat sebagai pintu
masuknya kuman ke dalam tubuh, hal ini dapat menyebabkan sepsis.

2.11
Diagnosa Banding Pada SSJ

Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana


manifestasi klinis hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk
daripada SSJ. Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan
sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.
Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan
panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok.

12
Pada SSJ dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang
melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Kehilangan kulit dalam
TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan
elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang
rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab
kematian utama akibat TEN.

2.12 Prognosis pada SSJ

SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini
dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami
TEN dan 5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi
dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini
juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa
masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat
dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya
disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia,
serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat)


memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan
menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic
yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.

13
BAB 3

PEMBAHASAN

Berdasarkan informasi di atas kita dapat mengetahui bahwa kondisi SSJ


(sindrom steven johnson) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain :
sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema
poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.

Gejala awal berupa adanya ruam, lepuh dalam mulut, mata, kuping,
hidung atau alat kelamin,  bengkak pada kelopak mata, atau mata merah,
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
bola mata), demam terus-menerus atau gejala seperti flu

BAB 4

14
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput


lendir diorifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai
berat, kelainan pada kulit berupa eritema,vesikel atau bula dapat disertai purpura.
Penyebabnya utamanya alergi obat secara sistemik, infeksi mikroorganisme,
neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan makanan. Patofisiologinya
disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan tipe
IV .Manifestasi oral lesinya lebih cenderung dibibir, lidah, palatum mole, palatum
durum, mukosa pipi. Pada mata menyebabkan kelainan konjungtivitis purulen,
photophobia, deformitas kelopak mata, ulserasi kornea. Jika pada genital
menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis.

4.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kelompok menyadari  bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna. Karena itu kami sebagai kelompok megharapkan kritok
dan saran yang membangun dari dosen pembimbing dan teman- teman sesama
mahasiwa. Bagi yang memiliki faktor resiko untuk SSJ ( Sindrom Steven-Johnson
) sebaiknya melakukan pencegahan untuk dapat menghindari terjadinya SSJ
( Sindrom Steven-Johnson ). Selain itu,  tenaga kesehatan yang melakukan asuhan
perawatan diharapkan dapat menganalisa keadaan pasien dengan baik dan tepat
sehingga pasien mendapatkan perawatan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

15
 Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd
edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142
 Hamzah, Mochtar. 2005. IlmuPenyakitKulitdanKelamin.Edisi 4. Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI.
 Arwin, Akib AP, dkk. 2007. BukuAjarAlergiImmunologiAnak. Edisi 2.
Jakarta: IkatanDokterAnak Indonesia.
 Djuanda,Adi.MochtarHamzahdanSiti Aisah.2013.ILMU PENYAKIT KULIT
DAN KELAMIN.Jakarta:FakultasKedokteranUniversitas Indonesia.
 Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
 Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
 Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
 Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit
Edisi 2. Jakarta: EGC.
 Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
 Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media
Aesculapius
 Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. JIPMER. 2006;2(1).
India.
 V.K Sharma GGS. Adverse cutaneous reaction to drugs; an overview. J
Postgard Med. 1996;42((1)).
 A Mansjoer S, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. Kapita
Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Media Aesculapius; 2000.

16

Anda mungkin juga menyukai