Anda di halaman 1dari 12

Dalam literatur sejarah, Dinasti Umayyah selalu dibedakan menjadi dua: pertama, Dinasti

Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang berpusat di
Damaskus (Syiria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem
pemerintahan dari sistem khilafah menjadi sistem monarki. Dan kedua, Dinasti Umayyah di
Andalusia yang pada awalnya merupakan daerah taklukan Umayyah yang dipimipin oleh
seorang gubernur pada zaman Walid bin Abdul Malik. Kemudian diubah menjadi kerajaan
yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas yang berhasil menaklukkan Dinasti
Umayyah di Damaskus.

Khusus untuk Dinasti Umayyah di Syiria, Harun Nasution membaginya menjadi tiga periode:
Pendirian, kejayaan, dan kehancuran. Permulaan Dinasti Umayyah ditandai dengan upaya
Muawiyah menentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, menumpas kekuatan yang tersisa dari
tentara dan pengikut Ali yang setia, dan menumpas kekuatan Khawarij yang melakukan
penentangan, baik kepada Ali maupun kepada Muawiyah. Fase kejayaan dimulai dari
khalifah Abdul Malik hingga Umar bin Abdul Aziz yang ditandai dengan perbaikan pada
bidang administrasi negara, penaklukan, dan pembangunan kota-kota, masjid, dan
perkantoran. Fase terakhir adalah fase kemunduran yang ditandai dengan para khalifah yang
lemah yang lebih mementingkan kepentingan keluarga dan kurang memperhatikan
kepentingan umum.
Seperti telah disinggung diatas, bahwa perintisan pendirian Dinasti Umayyah dilakukan oleh
Muawiyah dengan cara menolak membai’at Ali, berperang melawan Ali, dan melakukan
tahkim dengan pihak Ali yang secara politik sangat menguntungkan Muawiyah.
Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak Khawarij membunuh
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Jabatan khalifah setelah Ali wafat dipegang oleh putranya, yaitu
Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Akan tetapi, karena tidak didukung oleh pasukan yang
kuat, sedangkan pihak Muawiyah semakin kuat, akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian
dengan Hasan bin Ali. Isi perjanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan
diserahkan kepada umat Islam setelah masa Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada
tahun 661 M (41 H) dan tahun tersebut disebut ‘amul jama’at, karena perjanjian ini
mempersatukan umat Islam kembali menjadi satu. Namun, pada kenyataannya Mu’awiyah
mulai menginginkan kemonarkian Absolut. Karena menurutnya monarki absolut adalah gaya
paling efektif untuk memerintah kerajaan dengan basis ekonomi jauh lebih memuaskan dari
pada oligarki militer , yang para komandannya biasanya saling bersaing memperebutkan
kekuasaan dan dia pula menyadari bahwa dia harus keluar dari tradisi Arab untuk
mengamankan suksesi. Jadi dia melanggar perjanjian dengan Hasan bin Ali dengan menunjuk
Yazid bin Mu’awiyah sebagai khalifah penggantinya . Dinasti Umayyah di Syiria
(Damaskus) berlangsung selama 91 tahun dengan jumlah khalifah 14 orang, yaitu Muawiyah
bin Abu Sufyan, Yazid bin Muawiyah, Muawiyah bin Yazid, Marwan al-Hakam, Abdul
Malik Marwan, Al-Walid bin Abd Malik, Sulaiman Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz,
Yazid bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik, Al-Walid bin Yazid, Yazid Al-Walid,
Ibrahim Al-Walid, Marwan bin Muhd. Khalifah yang dipandang memajukan umat Islam ad
balah Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz, yang menurut sebagian riwayat termasuk
khulafa rosyidin.
Umat Islam ketika itu telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh
karena itu, Muawiyah juga bermaksud meniru cara suksesi kepemimpinan yang ada di Persia
dan Bizantium, yaitu monarki (kerajaan). Akan tetapi, gelar pemimpin pusat tidak disebut
raja (malik), mereka tetap menggunakan gelar khalifah dengan makna konotatif yang
diperbaharui. Pada zaman khalifah empat, khalifah (pengganti) yang dimaksudkan adalah
khalifah Rasul SAW. Khalifah sebagai pemimpin masyarakat, sedangkan pada zaman Bani
Umayyah, yang dimaksud dengan khalifah adalah khalifah Allah, pemimpin atau penguasa
yang diangkat oleh Allah. Langkah awal dalam rangka memperlancar pengangkat Yazid
sebagai penggantinya adalah menjadikan Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota.
B. Kebijakan dan Orientasi Politik
Dengan berbagai macam cara dan strategi, bahkan dengan menggunakan kekerasan,
diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak, akhirnya Muawiyah
berhasil menduduki jabatan khalifah pada tahun 661 M. Setelah lebih kurang memerintah
selama 19 tahun, ia wafat pada tahun 680 M. Ia adalah pendiri dinasti bani Umayyah dan
telah banyak melakukan kebijakkan-kebijakkan baru dalam politik, pemerintahan dan lain-
lain.
Selama memerintah, Muawiyah tidak mendapat kritikan oleh pembuka dan tokoh umat Islam,
kecuali setelah mengangkat Yazid menjadi putra mahkota. Bahkan sebelum peristiwa
tersebut, suasana secara umum berjalan stabil dan baik, sehinga ia dapat melakukan beberapa
usaha untuk memajukan pemerintahan dan penyiaran Islam. Dan disinailah awal mula sistem
kemonarkian dimulai dan hal ini kemuadian ditiru oleh Daulah-daulah yang muncul setelah
Daulah Umayah ini. Karena hal ini pula, mulai bermunculan pemberontakan-pemberontakan
khususnya dari kaum Syi’ah yang menuntut kembali isi perjanjian Amul Jama’ah yang dulu
disepakati oleh Mu’awiyah. Namun, karena Mu’awiyah menginginkan harus ada suksesi
dirinya sebagai langakah untuk membuat kerajaan Absolut, maka Mu’awiyah melanggar isi
perjanjian tersebut dan memberlakukan sistim tangan besi kepada siapapun yang melanggar
dan tidak mengakui akan kebijakannya. Maka tak pelak perang saudara pun tak bisa
dihindarkan dari awal mula pembentukannya dinasti ini sampai berakhirnya dinasti ini oleh
gerakan oposisi yang dipelopori oleh kaum Syi’ah.
Selama memerintah 19 tahun dinasti Bani Umayyah banyak melakukan kebijakkan politik,
seperti:
1). Pemisahan Kekuasaan
Pemisahan kekuasaan terjadi antara kekuasaan agama (Spritual Power) dengan kekuasaan
politik (Temporal Power). Pada masa bani Umayyah telah mengalami penafsiran baru, karena
ia sebagai penguasa pertama negeri ini bukan seorang yang ahli dalam soal-soal keagamaan,
sehingga masalah keagamaan tersebut diserahkan kepada para ulama.
2). Pembagian Wilayah
Dalam hal pembagian wilayah, pada masa umayyah terjadi perubahan yang besar hingga
dibagi menjadi 10 provinsi, yaitu (1) Syiria dan Palestina, (2) Kufah dan Irak, (3) Basrah,
yang meliputi Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, oman dan mungkin ditambah nejad dan
yamamah (4) Armenia, (5) Hijaz, (6) Karman dan wilayah di perbatasan India, (7)
Egypt/Mesir, (8) Ifriqah/ Afrika Utara, (9) Yaman dan Arab Selatan, (10) Andalus. Secara
bertahap beberapa Provinsi digabung, sehingga tersisa lima provinsi yang masing-masing
diperintah oleh seorang wakil Khalifah. Mu’awiyah menggabungkan Bashrah dan Kuffah di
bawah satu pemerintahan yaitu Irak, yang meliputi Persia dan Arab bagian Timur, dengan
Kufah sebagai Ibukotanya. Hijaz, Yaman, dan Arab tengah, juga digabung kedalam satu
pemerintahan. Kawasan Jairah (bagian utara Arab antara Tigris dan Eufrat) digabung dengan
Armenia, Azerbaijan dan Asia Kecil bagian Timur digabung menjadi satu provinsi . Mesir
atas dan bawah menjadi wilayah keempat. Afrika kecil, yang meliputi Afrika Utara di sebelah
barat Mesir, Spanyol, Sisilia dan Pulau-pulau lain di perbatasan menjadi Negara bagian
Kelima dengan kairawan sebagi Pusat Pemerintahannya.
Tiap-tiap provinsi tetap dikepalai oleh gubernur yang betanggung jawab lansung kepada
khalifah. Gubernur berhak menunjuk wakilnya di daerah yang lebih kecil dan mereka
dinamakan ‘amil. Sisa dari keuangan daerah dikirim ke ibu kota untuk mengisi bas atau Bait
al-mal negara.
3). Bidang Administrasi Pemerintahan
Pemerintah pada masa Dinasti Umayah memiliki tiga tugas utama yang meliputi pengaturan
administrasi publik, pengumpulan pajak, dan pengaturan urusan-urusan keagamaan. Ketiga
tugas itu secara teoritis dikendalikan oleh tiga orang pejabat berbeda . Wakil Khalifah (amir,
shahib) mengangkat langsung amil (agen, petugas administrasi ) untuk sebuah distrik tertentu
dan menyampaikan nama mereka kepada khalifah.
Pada masa ini, terdapat banyak pembenahan-pembenahan khususnya dalam bidang
administrasi pemerintahan. Pada masa ini mulai dibentuk kantor-kantor pos dengan tujuan
agar lebih memudahkan para gubernur khususnya untuk mengirim surat-surat kepada
khalifah mengenai daerah pemerintahannya. Pada masa daulah umayah ini pula dimulainya
Arabisasi yaitu perubahan bahasa kepemerintahan dan bahasa yang digunakan dalam catatan
administrasi pemerintahan menjadi bahasa Arab dan juga mulai dibuatnya uang Logam khas
bangsa Arab dengan menggunakan tulisan bertuliskan Arab.
Pemerintah bani Umayyah dibentuk beberapa dewan (Departemen) yaitu :
a. Dewan al-Rasail (Sekretaris Jendral)
Dewan ini berfungsi untuk mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur
atau menerima surat-surat dari mereka. Dua macam sekretaris pada masa Umayyah: (1)
Sekretaris Negara (dipusat), (2) Sekretaris Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani
(greek) dan parsi sebagai bahasa pengantarnya.
b. Dewan al-Kharraj
Dewan ini bertugas untuk mengurus masalah pajak dewan ini dibentuk ditiap-tiap provinsi
yang dikepalai oleh Shahib al-Kharraj. Departemen pajak ini bertugas mengelola pajak tanah
di daerah-daerah yang menjadi kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
c. Diwan al-Barid
Dewan ini merupakan intelijen negara yang berfungsi sebagai penyampai berita-berita rahasia
daerah kepada pemerintah pusat.
d. Dewan al-Khatam (Departemen Pencatatan)
Dewan ini dibentuk karena banyaknya usaha untuk memalsukan tanda tangan dari
Mu’awiyah. Dewan ini bertugas untuk membuat dan menyimpan salinan setiap dokumen
resmi sebelum distempel, dan mengirimkan lembaran aslinya.
4) Politik Arabisasi
Arabisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh Bani Umayyah di wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh Islam.
Arabisasi yang terkenal pada masa ini adalah pada masa ‘Abd Al-Malik dan Al-Walid, yang
dinilai oleh sebagian sejarawan adalah masa dimana Dinasti Umayah mencapai puncak
kejayaannya. Hal ini dimulai ketika Abdul Malik mewajibkan bahasa pemerintahan yang
dipakai dalam wilayah kekuasaannya adalah bahasa Arab. Maka otomatis bahasa dalam
Administrasi Publik pun diubah menjadi bahasa Arab. Contohnya, perubahan bahasa
pemerintahan di Damaskus dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab dan perubahan bahasa
pemerintahan di Irak dan provinsi bagian Timur dari bahasa Parsi ke bahasa Arab. Dilain
bidang, Abd. Malik mulai mencetak dinar emas dan dirham perak yang murni hasil karya
orang Arab. Hal ini menandakan bahwa dalam kepemerintahan Daulah Umayah, bangsa Arab
haruslah menjadi bangsa unggulan dari bangsa-bangsa lainnya.
C. Kedudukan Amir al-Mu’minin
Pada masa Dinasti Bani Umayyah, Amirul Mu’minin bertugas hanya sebagai khalifah dalam
bidang temporar (politik), sedangkan urusan keagamaan diserahkan kepada para ulama. Hal
ini berbeda dengan Amirul Mu’minin pada masa Khulafah al- Rasyidun yang mana khalifah
disamping kepala politik juga kepala agama. Selain itu, pada masa ini pula, Khalifah lebih
mengandalkan para gubernur dan tangan kanannya untuk terjun langsung dalam urusan
kemiliteran. Para khalifah hanya mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang dalam kasus
ini kebanyakan ditentang oleh masyarakat karena dinilai terlalu dictator dan otoritatif serta
tidak membuka ruang demokrasi, maka tak pelak banyak bermunculan pemberontakan pada
masa Daulah Umayah ini.
D. Tali Ikatan Persatuan Masyarakat (Politik dan Ekonomi)
Ekspansi Islam yang berlangsung dari pertengahan abad ke-7 sampai permulaan abad ke-8,
salah satu hasilnya ialah terintegrasinya daerah-daerah yang ditaklukkan itu dalam satu
satuan sosial-politik yang disebut dunia Islam. Selanjutnya dunia Islam itu merupakan suatu
kawasan ekonomi yang terpadu dalam suatu jaringan pasaran bersama.
Jaringan tersebut terbentang dari Asia tengah ke samudra India, dari Afrika Hitam (Sudan) ke
wilayah Barbar Barat (Afrika Utara dan Spanyol) dan wilayah Rusia Selatan. Dunia Islam
yang wilayah intinya meliputi daerah-daerah bekas kerajaaan Persia, Imperium Bizantium di
Suria dan Mesir serta daerah-daerah Barbar di Mediterania (Afrika Utara dan Spanyol) itu,
merupakan salah satu jaringan penting dari rute utama perdagangan internasioanal yang
terbentang antara Cina dan Spanyol, dan antara Afrika, diantara Afrika Hitam dengan Asia
Tengah.
E. Sistem Sosial (Arab dan Mawali)
Seluruh manusia bagi Islam sama..
Orang Arab tidak lebih mulia dari yang lain
Orang Persia tidak lebih mulia dari orang Arab
Si Kulit Putih pun tak lebih mulia dari si Kulit Hitam
Tidak pula sebaliknya
Kecuali atas derajat taqwa jua,
Serta kebajikan terhadap sesamanya
Jangan beri daku darah nenek moyangmu
Yang kuinginkan ialah kebajikan”
(Ahmad Imam dalam Musnad)

Orang Arab mengangap bahwa mereka lebih mulia dari kaum muslimin buka orang Arab
sendiri. Kaum muslimin bukan Arab (non-Arab) digelar dengan nama al-Mawadi (asal mula
Miwali), yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan. Kemudian disebutnya
Mawali semua orang Islam yang bukan Arab.
Orang Arab memandang dirinya “Sayid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka
dijadikan tua untuk memerintah. Oleh sebab itu, orang Arab dalam zaman ini hanya bekerja
dalam bidang politik dan pemerintahan saja, sedangkan bidang-bidang usaha lain diserahkan
kepada Mawali, seperti pertukangan dan kerajinan. Orang mawali ini dipandang sebagai
penghuni kasta terendah dalam strata sosial bangsa Arab.
Akibat dari politik kasta yang dijalankan Dinasti Umayyah ini, maka banyak kaum Mawali
yang bersikap membantu gerakkan Bani Hasyim turunan Awaliyah, bahkan juga memiki
kaum Khawarij. Dikalangan kaum Mawali lahirlah satu gerakkan rahasia yang dikenal
dengan nama Asy-Syu’ubiyah yang bertujuan melawan paham yang membedakan derajat
kaum muslim yang sebetulnya mereka adalah bersaudara. Barulah kemudian pada zaman
khaifah Harun Ar-Rasyid mulai terjadi diplomasi dengan kaum mawali. Komunikasi berjalan
lancar antara kedua belah pihak karena pada masa ini kedudukan diantara keduanya
disetarakan. Namun, sebagian dari mereka secara keagamaan lebih unggul dari khalifah
sekalipun. Dan dalam hal kebudayaan, para mawali ini biasanya menjadi kalangan pertama
yang mencurahkan hidup mereka untuk mempelajari seni, karena mereka adalah pewaris
budaya yang lebih tua.
F. Sistem Militer
Salah satu kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah
adalah kemajuan dalam sistem militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh,
pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur kemudian mereka
memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama itu mereka miliki, dengan
perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan pertahanan dan militer Dinasti Bani
Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat baik dengan kemajuan-
kemajuan dalam system ini akhirnya para penguasa dinasti Bani Umayyah mampu
melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke Eropa.
Dalam bidang organisasi militer, tentara Umayah secara umum dirancang mengikuti struktur
organisasi tentara Byzantium . Kesatuannya dibagi menjadi lima kelompok : tengah, dua
sayap, depan dan belakang sedangkan formasi pasukan mengunakan formasi sebelumnya.
Formasi seperti itu, terus dipakai hingga masa kekhalifahan terakhir, Marwan II (744-750),
yang meninggalkan pola lama dan memperkenalkan satu unit pasukan baru yang disebut
kurdus (legion) . Penampilan dan perlengkapan perang pasukan Arab sulit dibedakan dengan
pasukan Yunani. Pada dasarnya, senjata yang digunakan sama. Pasukan kuda menggunakan
pelana kuda yang datar dan bundar. Perlengkapan artileri berat terdiri atas pelempar
(arradah), pelontar (manjaniq) dan pendobrak (dabbabah, kabsyi) .
Orientasi kebijakan politik yang dibangun adalah selain memperkuat pertahanan adalah
melakukan ekspansi wilayah kekuasaan. Pada masa Muawiyah, Uqbah ibn Nafi berhasil
mengasai Tunis, kemudian mendirikan kota Qairawan tahun 760 M yang selanjutnya menjadi
salah satu pusat kebudayaan Islam. Di sebelah timur, Muawiyah memperoleh daerah
Khurasan sampai Lahore Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Byzantium.
Ekspansi ke Timur dan Barat mencapai keberhasilan pada zaman Walid I. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam
hidup dalam kebahagiaan. Selama pemerintahannya, terdapat tiga orang pimpinan pasukan
terkemuka sebagai penakluk yaitu: Qutaibah ibn Muslim, Muhammad ibn al-Qasim dan
Musa ibn Nusair. Pada masa Abdul Malik, Qutaibah diangkat oleh Hajjaj ibn Yusuf,
Gubernur Khurasan menjadi wakilnya pada tahun 86 H. Bersama pasukannya, Qutaibah
menyebrangi sungai Oxus dan menundukkan Balikh, Bukhara. Khawarizm, Farghana dan
Masarkand. Kemudian menerapkan kedudukannya di Transoxiana. Sementara Muhammad
ibn Qasim diberi kepercayaan untuk menundukkan India. Mengepung pelabuhan Deibul di
muara sungai Indus dan diberi nama baru Mihram. Ia melakukan ekspansi ke seluruh penjuru
Sind, sehingga tiba di Maltan, di sebelah Punjab. Semenjak berhasil mengepung
Brahmanabat dan menyeberangi Bayas, Maltan menyerah kepada pasukan ibn al-Qasim.
Ekspansi ke Barat di zaman Walid I dilakukan oleh Musa ibn Nusair yang berhasil
menyerang Aljazair dan Maroko. Setelah menundukkannya, ia mengangkat Tariq bin Ziyad
untuk memimpin pemerintahan di sana. Musa pun mengirim Tariq untuk menyerbu Spanyol
bersama orang-orang Barbar, mereka berhasil menaklukkan Spanyol. Dengan demikian
terbukalah pintu untuk menguasai Spanyol. Toledo, ibu kotanya jatuh ke tangan pasukan
Muslim. Begitu juga kota-kota lain seperti Sevile, Malaga, Elvira dan Cordoba. Cordoba
kemudian menjadi ibu kota Spanyol Islam yang kemudian di sebut dengan Andalus. Maka
wilayah-wilayah kekuasaan Islam pada masa Umayyah ini meliputi Spanyol. Afrika utara,
Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, Sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang
sekarang disebut dengan Pakistan, Uzbekistan, Kilgis di Asia Tengah. Kemenangan-
kemenangan yang dicapai umat Islam secara luas itu menjadikan orang-orang Arab bertempat
tinggal di daerah-daerah yang telah dikuasai itu. Prinsip keuangan Negara yang diberlakukan
mengikuti apa yang pernah ada pada masa khulafa al-Rasyidun, yaitu penetapan pajak tanah
dan pajak perorangan untuk setiap individu penghuni daerah-daerah taklukkan yang itu
menjadi income bagi pemerintah Umayyah.
Namun pada zaman Dinasti Umayyah ini juga masuknya tentara dan terbentuknya angkatan
militer kebanyakan dengan dipaksa atau setengah paksa. Untuk menjalankan kewajiban ini
dikeluarkan semacam undang-undang wajib militer yang dinamakan “Nadhamut Tajnidil
Ijbary”. Politik ketentaraan dari Bani Umayyah, yaitu politik Arab, dimana anggota tentara
haruslah terdiri dari orang-orang Arab atau unsur Arab. Maka dari itu tak heran perlawanan
mulai muncul dari bangsa Mawali (orang bukan arab) yang merasa selalu dikesampingkan
dan di nomor dua kan oleh Bani Umayah ini. Kecuali pada masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz, dimana orang Arab dan orang mawali mulai dipandang sama pada masa
pemerintahannnya. Adapun perluasan wilayah-wilayah Islam yang dilakukan oleh kebijakkan
militer Bani Umayyah ini. Ialah:
1. Perluasan ke Asia kecil
2. Perluasan ke Timur
3. Perluasn ke Afrika Utara
4. Perluasan ke Barat
G. Sistem Fiskal (Keuangan)
Sumber keuangan pada zaman Dinasti Umayyah, pada umumnya seperti zaman permulaan
Islam yaitu dari Pajak. Walaupun demikian, ada beberapa tambahan seperti: Al-Dharaaib;
yaitu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara. Kebijakan ini meliputi dua jenis
pajak, yang pertama Pajak Kharaj (pajak tanah). Pajak kharaj adalah pajak yang harus
dibayar oleh setiap warga Negara yang mempunyai ladang di kawasan pemerintahan bani
Umayah dan yang kedua adalah Pajak Jizyah (pajak Kepala). Pajak jizyah adalah pajak yang
diberlakukan untuk kaum non-muslim yang berada di kawasan kerajaan Bani Umyah sebagai
jaminan atas keselamatan dirinya di kawasan kerajaan Islam dan tentunya para non-Muslim
itu harus mengakui kedaulatan Islam
Kepala penduduk dari negeri-negeri yang baru ditaklukkan, terutama yang baru masuk Islam,
ditetapkan pajak-pajak istimewa. Saluran uang keluar, pada masa Daulah Umayyah
umumnya sama seperti permulaan Islam, yaitu untuk:
a. Gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara.
b. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan pengalian terusan-terusan.
c. Ongkos bagi orang-orang hukuman dan tawanan perang.
d. Perlengkapan perang.
e. Hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama.
Pada masa Umayyah, khalifah menyediakan Fond khusus untuk dinas rahasia, sedangkan gaji
tentara ditingkatkan untuk menjalankan politik tangan besinya . Pada masa Umayyah ini
(khalifah Abdul Malik bin Marwan) dicetak mata uang kaum muslim secara teratur.
Pembayaran diatur dengan menggunakan mata uang ini, walaupun pada masa Umar bin
Khataab sudah dicetak mata uang kaum muslim, namun belum begitu teratur.
Bidang-bidang ekonomi yang terdapat pada zaman Bani Umayyah terbukti berjaya membawa
kemajuan kepada rakyatnya yaitu:
 Dalam bidang pertanian Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sector
pertanian, beliau telah memperkenalkan system pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil
pertanian.

 Dalam bidang industri pembuatan khususnya krajinan tangan telah menjadi nadi
pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
H. Sistem Peradilan
Disamping usaha untuk memajukan ekonomi dan kemiliteran, Daulah Bani Umayyah
memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan
dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan
kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga
kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli)
memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an
dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik,
sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa
mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Pada masa Dinasti Umayah, mulailah dibentuk lembaga-lembaga peradilan. Lembaga
peradilan ini dipegang oleh orang Islam, sedangkan untuk semua kalangan non muslim
mendapatkan otonomi hokum di bawah kebijakan masing-masing pemimpin mereka. Hal ini
menjelaskan mengapa para hakim hanya ada di kota-kota besar saja. Pada Masa Nabi dan
para khalifah terdahulu, urusan peradilan langsung mereka tangani sendiri–sama dengan
posisi para Jenderal dan Gubernur di setiap Provinsi–karena fungsi-fungsi pemerintahan
belum dipilah secara tegas. Gubernur menetapkan dan memilih para pejabat pengadilan .
Pada masa Daulah Abbasiah, Khalifahlah yang secara langsung turun tangan mengangkat
pejabat pengadilan. Meski demikian, sebuah riwayat menyatakan bahwa Umar pertama kali
yang mengangkat seorang hakim (qadhi) untuk seluruh wilayah mesir pada 23 H/643 M .
Di masa ini, kita dapat melihat bahwa di wilayah kerajaan Islam para hakim digantikan
secara berkala. Hakim-hakim yang dipilih biasanya berassal dari kalangan faqih, yaitu ulama
yang memperdalam Al-Quran dan Hadits . disamping memutuskan berbagai perkara, mereka
juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim dan orang yang cacat mental.

I. Pembangunan Peradaban
Masa pemerintahan Dinasti Umayah menunjukkan pentingnya stabilitas politik negara
sebagai modal untuk mengembangkan kekuasaaan. Setelah stabilitas politik tercapai,
pembangunan di berbagai bidang digalakkan.
Bukti peninggalan bersejarah dari masa Dinasti Umayah menunjukkan bahwa pada masa itu
umat Islam sudah mencapai tingkat peradaban yang tinggi. Hal itu menjadi cikal bakal
perkembangan ilmu pengetahuan yang ada pada saat ini. Adapun jasa Dinasti Umayah dalam
pembangunan peradaban diantaranya :
 Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda
dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
 Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang
Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya.
Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
 Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik
membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The
Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
 Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh
penjuru negeri islam.
 Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk
orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
 Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir
Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang
waktu itu berjumlah 1700 buah.
J. Sistem Pergantian Kepala Negara
Berdirinya pemerintahan dinasti Umayyah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun
peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya adalah perubahan beberapa
prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan
perkembangan ummat Islam. Selama masa pemerintahan khulafa’ al-Rasyidun, khalifah
dipilih oleh para pemuka dan tokoh sahabat di Madinah, kemudian pemilihan dilanjutkan
dngan bai’at oleh seluruh pemuka Arab. Hal ini tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan
dinasti bani Umayyah. Semenjak Mu’awiyah, raja-raja Umayyah yang berkuasa menunjuk
penggantinya kelak dan para pemuka Agama diperintahkan menyatakan sumpah kesetiaan di
hadapan sang raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip
dasar dan ajaran permusyawaratan islam.
Pada masa pemerintahan khulafa’ al-Rasyidun, baitul berfungsi sebagai harta kekayaan
rakyat dimana setiap warga negara memiliki hak yang sama terhadapnya, tetapi semenjak
pemerintahan mu’awiyah, baitul mal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga
raja. Seluruh raja dinasti Umayyah kecuali Umar ibn Abdul Azis memperlakukan baitul mal
sebagai harta kekaaan pribadi yang mana sang raja berhak membelanjakannya sekehendak
hati.
Selama masa pemerintahan demokratis khulafa’ al-Rasyidun, khalifah senantiasa didampingi
dewan penasihat yang terdiri dari pemuka-pemuka islam, di mana seluruh kebijaksanaan
yang penting dimusyawarahkan secara terbuka, bahkan rakyat biasa mempunyai hak
menyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Kebebasan berpendapat dan kebebasan
menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah merupakan corak yang dominan dalam
pola pemerintahan khulafa’ al-Rasyidun. Tradisi musyawarah dan menyampaikan pendapat
ini tidak berlaku dalam pemerintahan bani Umayyah. Dewan permusyawaratan dan dewan
penasihat tidak berfungsi secara efektif.
Ajaran perjuangan Nabi Muhammad yang menghapuskan fanatisme ras dan kesukuan dapat
dipertahankan selama pemerintahan khulafa’ al-Rasyidun, raja-raja dinasti Umayyah
memunculkan kembali fanatisme keluarga dan kesukuan. Mereka memperjuangkan
kepentingan kelompok tertentu dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
kelompok tersebut dan menutup kesempatan bagi pihak-pihak lainnya. Kecemburuan dan
permusuhan antara keluarga Mudariyah dan Himyariyyah yang telah padam selama masa-
masa sebelumnya, kini mulai muncul kembali. Persaingan mereka melemahkan persatuan
ummat Islam dan pada gilirannya turut menyokong keruntuhan dinasti Umayyah.
Para khilafah sebelumnya sangat serius dan peduli terhadap tugas dan tanggung jawab
mereka. Mereka sering keluar malam untuk meneliti keadaan masyarakatnya yang
sebenarnya. Mereka menjalani hidup dan menjalankan tugasnya sesuai prinsip-prinsip Islam.
Mereka tidak membangun gedung atau istana yang megah, tidak berpengawal sekalipun
ujung mata pedang musuh senantiasa mengancam keselamatannya. Sementara itu penguasa-
penguasa Umayyah hidup dalam kemegahan istana dan senantiasa dijaga oleh puluhan
pengawal istana. Praktek perjudian, perampokan, mabuk-mabukan, fanatisme kesukuan dan
lain-lain, berkembang kembali di tengah kehidupan masyarakat Arabia. Kekuasaan
pemerintahan bani Umayyah merupakan era baru kemerosotan sejarah Islam.
K. Pemberontakan : Al-Mukhtar ibn Ubaid dan Abdullah ibn Zubair
Pemberontakan ini terjadi ketika Al-Husain mula-mula pergi ke Mekah, akan tetapi kemudian
memenuhi seruan penduduk Kuffah, lalu memutuskan untuk merebut kekuasaan dan
berangkat ke Irak. Namun nasibnya buruk, ketika dia memulai perjalanannya, pada saat yang
sama gubernur Ubaidillah bin Ziyad putera gubernur sebelumnya, menghukum mati seorang
pengikut yang dikirimnya lebih dulu. Dia hanya berhasil mencapai karbala, sekitar delapan
puluh kilometer sebelah barat laut kufah. Di sana dia dengan sekelompok kecil pengikutnya
dihadang oleh balatentara Umayyah. Ketika mereka menolak untuk menyerah, mereka
ditewaskan semuanya. Semua penganut Islam Syi’ah dan banyak penganut Islam Sunni
menganggap al-Husain sebagai Syahid sehingga kejadian di Karbala itu memperoleh nilai
keagamaan penting. Dalam tradisi Syi’ah kisah kesyahidan telah di kembangkan sampai
mencakup sejumlah besar rincian mengerikan yang tidak atau hanya sedikit mengandung
dasar historis, sementara golongan Umayyah ditampilkan sebagai para penjahat yang sejahat-
jahatnya. Maka akibat kejadian Karbala telah sangat melebihi nilai pentingnya yang
sebenarnya minimal dalam percaturan politik saat itu.
Sangat lebih gawat bagi dinasti Umayyah adalah pemberontakan Abdullah bin Zubair. Dia
juga pergi ke Mekah, di sana dia mulai mengorganisir perlawanan terhadap dinasti Umayyah.
Dia bahkan berhasil meluaskan kegiatannya ke utara dan membangun dukungan bagi dirinya
di Madinah. Kejadian-kejadian tahun 681 dan 682 memang membingungkan, banyak terjadi
kasak kusuk di belakang layar, tetapi tahun 683 kebanyakan penduduk madinah melepaskan
ketundukan mereka pada Yazid dan mengepung sekitar seribu anggota klan Umayyah yang
tinggal di Mekah. Walau yang terkepung itu akhirnya di perbolehkan menarik diri, orang-
orang madinah segera segera dihadapi oleh pasukan Umayyah di dataran lava harrah di luar
kota dan dikalahkan (Agustus 683). Karena banyak orang yang celaka adalah keturunan-
keturunan pemeluk Islam yang pertama, maka propaganda anti Umayyah memanfaatkan
kejadian inidan membesar-besarkan kebesingan golongan Umayyah. Cerita mengenai
penjarahan kota selama tiga hari oleh tentara-tentara brandalan mungkin tidak benar.
Mestinya Madinah cukup tentram waktu itu karena pasukan bisa bergerak ke selatan dan
mengepung Mekah. Dalam pengepungan itu mereka dikatakan telah membakar Ka’bah.
Namun bulan nopember 683, mereka menerima berita meninggalnya Yazid, dan dalam
situasi tidak menentu itu pimpinan pasukan mengakhiri kepungan dan menarik diri ke utara.
Yazid meninggalkan seorang putera bernama Mu’awiyah yang diakui sebagai khalifah oleh
tokoh Muslim di Damaskus, tetapi dia masih kanak-kanak dan jelas tidak sanggup
menjalankan kekuasaan. Dalam kekosongan ini semuanya bisa saja terjadi, tetapi setelah
beberapa bulan, Mu’awiyah juga meninggal (684). Dalam situasi kritis ini anggota-anggota
klan umayyah bertemu di suatu tempat bernama Jabiyah di Suriah untuk memutuskan
kebijakan (Juni 684). Menyadari kegawatan situasinya di Damaskus, Homs dan tempat-
tempat lain di Suriah banyak yang beralih ke pihak bin Zubair. Mereka semua membai’at
Marwan sebagai Khalifah. Dia adalah salah satu anggota tua klan, sepupu Usman dan sepupu
kedua dari Mu’awiyah, yang telah memegang berbagai jabatan adsministratif, tetapi tidak
begitu bersimpati dengan bani Sufyan. Beberapa minggu kemudian golongan Umayyah telah
mengumpulkan cukup kekuatan untuk memberikan perlawanan di Marj Rahit, sebelah utara
Damaskus, kepada orang-orang arab Suriah yang mendukung Ibnu Zubair, atau paling tidak
menentang dinasti Umayyah. Hasilnya adalah kemenangan bagi Marwan, dan bulan Agustus
dia menerima bai’at, resmi sebagai khalifah di Damaskus. Kemenangan Marj Rahit juga
berarti lewatnya krisis paling gawat bagi dinasti Umayyah dan mereka sedikit demi sedikit
berhasil membangun kekuatan sekali lagi. Marwan sendiri meninggal April 685, dan program
pemulihan dilanjutkan oleh puteranya yang sangat cakap Abdul Malik.
Walau Ibnu Zubair bisa disebut sebagai penguasa seluruh Arabia dan Suriah bagian utara.
Marwan sebelum meninggalnya telah merebut kembali Mesir. Keadaan tidak berlangsung
mulus baginya. Tahun 685, saudara Mus’ab, yang memerintah Irak atas namanya, harus
menghadapi pemberontakan Syi’ah di Kufah. Pemberontakan ini dipimpin oleh al-Mukhtar,
yang berasal dari tha’if, yang pernah mendukung Ibnu Zubair tapi sekarang menyatakan
bahwa dia brtindak atas nama putera Ali yang lain, Muhammad bin Hanifah (putera seorang
wanita dari bani Hanifah) di Kufah, dan al-Mukhtar bisa menahan Mus’ab dan bahkan pada
pertempuran sungai Khazir bulan Agustus 686, berhasil mengalahkan satu pasukan Umayyah
dari Suriah. Memang para pengikut al-Mukhtar terutama adalah orang-orang Arab, tetapi ada
juga orang-orang Islam non-Arab yang disebut mawali (klien). Ketika orang-orang Arab
menimbulkan kesulitan-kesulitan, al-Mukhtar terpaksa makin bergantung pada golongan
mawali. Ini penting karena menandai munculnya satu faktor baru dalam percaturan politik
periode Umayyah. Akhirnya Mus’ab membawa pasukan yang lebih kuat, mengepung kufah,
dan bulan April 687 mengalahkan dan menewaskan al-Mukhtar. Sementara itu golongan
Zubair juga menghadapi suatu pemberontakan, yaitu kaum Azrakiyah, suatu sekte khawarij
yang selama beberapa tahun sejak 684 mengacau Basrah dan daerah tenggara, tetapi akhirnya
dipukul mundur ke arah timur.
M. Keruntuhan Dinasti Umayah
Terdapat banyak sebab yang mendukung hancurnya Dinasti Umayah, setelah berlangsung
kurang lebih sembilan puluh tahun. Tidaklah terlalu sulit untuk melacak sebab-sebab
tersebut, sebagaimana disampaikan berikut ini:
Pertama, ketidakcakapan penguasa serta kejahatan perilaku mereka merupakan faktor utama
penyebab kehancuran dinasti ini. Hampir seluruh penguasanya lemah kecuali Mu’awiyah,
Abdul Malik, Walid I, Umar ibn Abdul Aziz dan Hisyam. Keempat pengganti Hisyam
merupakan penguasa yang tidak cakap dan sekaligus bermoral jahat. Telah menjadi mode
bagi mereka menyibukkan diri dengan berburu dan meneguk anggur dari pada mengurusi
pemerintahan, mereka lebih asyik dengan tarian, musik dalam kerumunan harem-harem
istana dari pada kesibukan memikirkan perbaikan nasib rakyat. Secara apriori mereka
membebani rakyat dengan pajak yang berat. Menurut Von kremer, “masa pemerintahan
dinasti Umayyah, oleh orang-orang yang sezaman, dipandang tidak berkelanjutan dengan
pemerintahan nabi dan Sahabatnya, juga tidak berdasarkan ajaran islam, melainkan
berdasarkan ambisi kekuasaan dan kekuatan menaklukkan”.
Kedua, egoisme para pejabat pemerintahan dan terjadinya sejumlah pembelotan militer. Pada
umumnya para penguasa mempercayakan urusan pemerintahan kepada para pejabat istana.
Selanjutnya para pejabat tersebut menjalankan amanat ini untuk memuaskan ambisi dan
tujuan-tujuan pribadi, di mana pelaksanaan kebijakan pemerintahan didasarkan pada
pertimbangan dan kecenderungan individual yang subyektif. Mekanisme pemerintahan yang
demikian ini tidak memuaskan semua pihak dan akhirnya menimbulkan gerakan yang
mengguncang stabilitas kerajaan. Karena ketidakpuasan ini, menghilangkan loyalitas
sebagian tentara kerajaan bahkan sebagian mereka bergabung dengan pihak musuh.
Ketiga, persaingan antar suku. Permusuhan kelompok Arab Mudariyah (sebagian besar
berasal dari Hijaz dan Kufah) dengan kelompok Himyariyah ( sebagian besar berasal dari
Yaman), yang telah lama berlangsung, semakin memanas karena sikap para penguasa
Umayyah yang memihak salah satu dari keduanya. Timbulnya sejumlah pemberontakan
antara lain dilatarbelakangi perselisihan permusuhan ini, sehingga besar pengaruhnya dalam
mempercepat kehancuran dinasti Umayyah.
Keempat, tidak adanya mekanisme dan aturan baku mengenai suksesi kepemimpinan.
Berdasarkan pertimbangan stabilitas politik kerajaan Umayyah, mu’awiyah menempuh
kebijaksanaan menunjukkan anaknya yakni Yazid sebagai penggantinya. Cara demikian ini
diikuti oleh seluruh penguasa, namun prinsip senioritas kepemimpinan bangsa Arab yang
telah lama berlaku tidak dapat menerima sistem suksesi secara turun-menurun. Selanjutnya
sistem ini menimbulkan konflik dan intrik di kalangan istana. Permasalahan ini semakin
rumit ketika marwan sekaligus mengangkat dua putra mahkota: Abdul Malik dan Abdul Azis,
masing-masing sebagai putra mahkota pertama dan kedua. Ketika Abdul malik berkuasa, ia
tidak menyerahkan tahta kepada saudaranya yakni Abdul Azis melainkan ia menunjuk
putranya sendiri yakni Walid I sekaligus menunjuk putranya yang lain yakni Sulaiman untuk
menjabat tahta kerajaan secara berurutan. Demikian juga Walid I bertindak seperti ayahnya.
Ia berusaha merampas posisi Sulaiman sebagai penerus tahta kerajaan untuk diserahkan
kepada anaknya, namun usaha tersebut tidak berhasil. Demikianlah intrik istana yang
disebabkan tidak adanya meknisme dan aturan baku mengenai suksesi menimbulkan
kehancuran internal kerajaan Umayyah.
Kelima, perlakuan yang tidak adil terhadap non-arab (mawali). Masyarakat non-Arab
khususnya keturunan Persia, sekalipun mereka memeluk Islam dan turut berjuang membela
Islam dan kerajaan Umayyah, namun mereka menerima perlakuan sosial politik dan ekonomi
yang tidak seimbang dengan kelompok muslim Arab. Mereka adalah basis infantri yang
bertempur dengan kaki telanjang di atas panasnya pasir, tidak di atas unta, maupun kuda.
Mereka hanya menerima gaji tetap, tidak menerima tunjangan keluarga dan tunjangan
pensiun, dan sensntiasa terjerat oleh sejumlah beban pajak. Selain itu, orang arab selalu
memandang kelompok mawali sebagai masyarakat bawahan sehingga terbukalah jurang
sosial yang memisahkannya. Karena tekanan ini, kelompok mawali menggalang gerakan
pemberontakan.
Keenam, propaganda dan gerakan syi’ah. Mereka berasal dari partai Ali, kemudian
berkembang menjadi aliran syiah setelah tragedi karbala. Sejak semula kelompok ini tidak
mengakui pemerintahan dinasti umayyah dan menganggap para penguasanya sebagai
perampas kekuasaan. Mereka tidak pernah memaafkan kejahatan pembunuhan Ali, Hasan,
dan Husain. Misi dan propaganda mereka untuk membela keturunan Nabi secara efektif
berhasil menarik simpati kelompok tertindas. Mayoritas masyarakat Irak adalah pengikut
aliran ini, di mana syi’ah berhasil merebut nasionalitas mereka. Mereka melancarkan aksi
pemberontakan atas motivasi menegakkan hukum islam yang dimotori kelompok syi’ah ini
menimbulkan akibat yang cukup fatal terhadap kerajaan Bani Umayyah.
Terakhir, propaganda dan gerakan Abassiyah. Propaganda kelompok Abassiyah secara
gencar menyerang segi-segi negatif dan kelemahan sepanjang pemerintahan Umayyah.
Setelah propaganda mereka berhasil memobilisasi berbagai kelompok masyarakat, kelompok
ini mulai melancarkan gerakan politik untuk melancarkan gerakan politik untuk merebut
kekuasaan. Tiga gerakan terbesar: Abassiyah, Syi’ah dan Mawalli bergabung dalam gerakan
koalisi untuk menumbangkan kekuasaan dinasti Umayyah, dan untuk mendirikan kerajaan
baru yang ideal dan untuk mengembalikan tradisi Islam salaf. Terakhir gerakan koalisi ini
dipimpin oleh Abul Abbas. Semenjak tahun 747 M, dalam pimpinan Abu Muslim dan
Ibrahim, kelompok ini telah mulai melancarkan gerakan politik dengan menggerakkan
berbagai pemberontakan yang melemahkan kekuatan kerajaan, menandai berakhirnya sebuah
fase sejarah Islam.

BAB III
PENUTUP
Dalam literatur sejarah, Dinasti Umayyah selalu dibedakan menjadi dua: pertama, Dinasti
Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang berpusat di
Damaskus (Syiria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem
pemerintahan dari sistem khilafah menjadi sistem monarki. Dan kedua, Dinasti Umayyah di
Andalusia yang pada awalnya merupakan daerah taklukan Umayyah yang dipimipin oleh
seorang gubernur pada zaman Walid bin Abdul Malik. Kemudian diubah menjadi kerajaan
yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas yang berhasil menaklukkan Dinasti
Umayyah di Damaskus.
Perintisan pendirian Dinasti Umayyah dilakukan oleh Muawiyah dengan cara menolak
membai’at Ali, berperang melawan Ali, dan melakukan tahkim dengan pihak Ali yang secara
politik sangat menguntungkan Muawiyah. Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah
keberhasilan pihak Khawarij membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Jabatan khalifah
setelah Ali wafat dipegang oleh putranya, yaitu Hasan bin Ali selama beberapa bulan. Akan
tetapi, karena tidak didukung oleh pasukan yang kuat, sedangkan pihak Muawiyah semakin
kuat, akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian dengan Hasan bin Ali. Isi perjanjian itu
adalah bahwa penggantian pemimpin akan diserahkan kepada umat Islam setelah masa
Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 661 M (41 H) dan tahun tersebut disebut
‘amul jama’at, karena perjanjian ini mempersatukan umat Islam kembali menjadi satu
kepemimpinan politik, yaitu Muawiyah, dan Muawiyah mengubah sistem khilafah menjadi
kerajaan.
Karena pengkhianatan Mu’awiyah terhadap perjanjian Amul Jama’ah dengan Hasan bin Ali,
dan juga karena hasrat Mu’awiyah untuk mendirikan kerajaan Absolut dengan Yazid bin
Mu’awiyah sebagai suksesinya, maka mulailah bermunculan pemberontakan-pemberontakan
khususnya dari kaum Syiah setelah terlebih Yazid bin Mu’awiyah membanatai Husain bin
Ali beserta seluruh sanak keluarganya di padang karbala. Pemberontakan lainnya dipimpin
oleh Mukhtar ibn Ubaid yang kalah dengan gerakan oposisi lainnya yaitu Abdullah bin
Zubair yang bertekad untuk mengembalikan pemerintahan ke kota Mekah dan Madinah yang
akhirnya bisa dipadamkan oleh Al-Hajjaj (tangan kanan Khalifah Abd. Malik).
Terlepas dari segala Kontroversi didalam pemerintahannya, Dinasti Umayah telah berjasa
kepada peradaban Islam. Diantaranya adalah :
 Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda
dengan peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
 Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang
Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya.
Lambang itu menjadi ciri khas kerajaan Umayyah.
 Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik
membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The
Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
 Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh
penjuru negeri islam.
 Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk
orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
 Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir
Al-Bahri, tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang
waktu itu berjumlah 1700 buah.
Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik
politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Abdullah bin Saba’ al-
Yahudi) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa
awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani
Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
Serta Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup
mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, para Ulama banyak yang
kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. Dan yang
terakhir meupakan penyebab langsung tergulingnya Dinasti Umayah yaitu munculnya
kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan
oleh pemerintahan Bani Umayyah.

Anda mungkin juga menyukai