Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

Anestesi Regional

Pembimbing :
dr. Riza M. Farid, Sp.An
dr. Asep Hendradiana, Sp.An, KIC, M.Kes
dr. Sonny Tresnadi, Sp.An
dr. Muhammad Naufal, Sp.An
dr. Nini Memen, Sp.An

Disusun oleh :
Ayu Wijayanti (1102008049)
Dewa Ayu Bulan Nabila (1102012059)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I Raden Said Sukanto
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Periode 18 Juli – 20 Agustus 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Adapun maksud dan tujuan penulis dalam
menyusun referat ini adalah untuk memperluas ilmu kedokteran bidang Anestesi dan juga
memenuhi salah satu persyaratan dalam program kepaniteraan klinik Anestesi di Rumah
Sakit Bhayangkara Tk. 1 Raden Said Sukanto. Referat ini berjudul “Anestesi Regional”.
Dalam menyelesaikan referat ini kami mendapat berbagai bantuan, untuk itu kami
mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Riza M Farid, Sp.An, dr. Sony Tresnadi, Sp.An, dr Muhamad Noufal, Sp.An , dr Nini
Memen Sp.An, dr. Asep Hendradiana, Sp.An yang telah membimbing dan membantu
kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan menyusun referat ini.
2. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi RS Bhayangkara Tk.I R.
Said Sukanto, terutama kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu kami selama
menjalankan kepaniteraan.

Kami menyadari bahwa dalam menyusun referat ini masih memiliki banyak
kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.

Jakarta, Juli 2016

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... 1


Daftar Isi ............................................................................................................. 2
BAB I Pendahuluan ..............................................................................................
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 3

1.2 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 4

1.3 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 4

1.4 Batasan Masalah ....................................................................................... 4

1.5 Metode Penulisan ...................................................................................... 4

BAB II Tinjauan Pustaka .....................................................................................

2.1 Anatomi Kolumna Vertebra ....................................................................... 5

2.2 Anestesi Spinal ......................................................................................... 7

2.3 TURP (Transurethral Resection Prostate) .................................................. 26

Daftar Pustaka .................................................................................................. 38


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- “tidak, tanpa” dan aesthetos,
“persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya
persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Obat anestesi umum mendepresi SSP
secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi
umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang
diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya
adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang
digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan
molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008).
Trans ureteral Resection Of Prostate (TURP) merupakan operasi yang paling sering
dilakukan kedua setelah katarak pada pria diatas 65 tahun. Prosedur endoskopi pada system
urinary memerlukan fungsi cairan irigasi yang secara baik mendilusikan ruang mukosa,
darah, jaringan ikat tertentu dan debris dari lapang pandang operasi dan memberikan
pandangan yang lebih baik. Kegagalan pada system saraf pusat, system kardiovaskular
selama dilakukanya TURP dikatakan sebagai sindroam TURP. 2.5-20% pasien yang
melakukan prosedur TURP mengalami sindorma TURP dan sebagian kecil meninggal dalam
keadaan intraoperasi (Moorthy, 2001).
Pada Operasi TURP dari segi anesthesiology dapat dikerjakan secara anestesi umum
dan anestesi local tertentu. Masing-masing pendekatan memiliki keuntungan dan kekurangan
tertentu. Pada berbagai Negara maju telah menjadi sebuah kesepakatan bahwa dalam
tindakan operative TURP yang digunakan adalah anestesi local yaitu anestesi spinal. Inggris
melakukan tindakan anestesi spinal pada 75% kasus TURP, Karen secra teoritis hal ini meliki
keuntungan seperti pendeteksian dini pada sindroma TURP. Keputusan akan pemberian
anestesi sangatlah bergantung dair keadaan pasien dan pendekatan anesthesiologist dan
urologist.
1.2. Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui tentang anestesi spinal pada TURP.

1.3. Manfaat Penulisan

Penulisan referat ini dapat bermanfaat untuk menerangkan tentang penggunaan anestesi
spinal pada TUR

1.4. Batasan Masalah

Batasan masalah pada penulisan referat ini membahas mengenai anatomi kolumna
vertebralis, spinal anestesi dan TURP.

1.5. Metode Penulisan

Metode penulisan referat ini dengan cara merujuk dari berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Anestesi
Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara sementara dan
biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam
2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu
meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan
jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap
sadar.
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara
akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral.
Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri sebagian
tubuh tanpa kehilangan kesadaran. Anestesi regional semakin berkembang dan meluas
pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih
murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna. Anestesi regional memiliki berbagai macam
teknik penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang atau
anestesi spinal. Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid. Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi,
bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.

ANESTESI REGIONAL
A. Definisi

Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada
impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk
sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya.
Tetapi pasien tetap sadar.
B. Pembagian Anestesi/Analgesia Regional

1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.

2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan,
dan analgesia regional intravena.

C. Keuntungan Anestesia Regional


1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh)
karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.

D. Kerugian Anestesia Regional


1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

E. Persiapan Anestesi Regional

Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena untuk
mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal, perlu persiapan
resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke pembuluh darah → kolaps
kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan,
sehingga operasi bisa dilanjutkan dg anestesi umum.

2.2 Anestesi Spinal


Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid.
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam
ruang subarakhnoid di region antara lumbal 2 dan 3, lumbal 3 dan 4, lumbal 4 dan 5
dengan tujuan untuk mendapatkan blokade sensorik, relaksasi otot rangka dan blokade
saraf simpatis.

Anestesi spinal mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan anestesia


umum, khususnya untuk tindakan operasi abdomen bagian bawah, perineum dan
ekstremitas bawah. Anestesia spinal dapat menumpulkan respons stress terhadap
pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan kejadian tromboemboli
postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien bedah dengan risiko tingg

Indikasi:
1.  Bedah ekstremitas bawah
2.  Bedah panggul
3.  Tindakan sekitar rektum perineum
4.  Bedah obstetrik-ginekologi
5.  Bedah urologi
6.  Bedah abdomen bawah
7.  Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anestesi umum ringan

Kontra indikasi:
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif

Pasien menolak Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)

Infeksi pada tempat suntikan Infeksi sekitar tempat suntikan

Hipovolemia berat atau syok Hipovolemia ringan

Koagulopati atau mendapat terapi Kelainan neurologis dan kelainan


antikoagulan psikis

Tekanan intrakranial meninggi Bedah lama


Fasilitas resusitasi minim Penyakit jantung

Kurang pengalaman Nyeri punggung kronis

struktur yang akan ditembus

a. Kulit
b. Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah mengidentifikasi ruang
intervertebra pada pasien kurus
c. Ligament Supraspinosa
d. Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara prosesus
spinosus
e. Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic yang berjalan
secara vertical dari lamina ke lamina.
f. Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah
g. Duramater
h. Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang dikelilingi oleh
CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF dan secara cepat
memblok akar syaraf yang berkontak.

Gambar Anestesi Spinal

Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan


serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada
dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,
anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3
atau L3-L4 atau L4-L5

Gambar. Sagital section through lumbar vertebra

Gambar. Dermatom tubuh


Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris yang berasal dari
satu saraf spinal. Gambar diatas memperlihatkan segmen dermatom tubuh yang penting untuk
anestesi dalam pembedahan, efek anestesi spinal harus mencapai segmen dermatom tertentu agar
dapat memblok persarafan di daerah pembedahan tersebut.

Tabel . Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur pembedahan
Pembedahan Ketinggian segmen dermatom kulit
Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli, prostat T10
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen atas T4
Paha dan tungkai bawah L1

Persiapan analgesia spinal


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,
misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga
tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah
ini:
1.      Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal
2.      Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3.      Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial
Thromboplastine Time)

Peralatan analgesia spinal


1.      Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2.      Peralatan resusitasi
3.      Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Gambar . Jarum Spinal

Anastetik lokal untuk analgesia spinal


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada 37º C adalah 1.003-1.008. 
Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik lokal
dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan
dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan
mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-
100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-
20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.

Gambar . Posisi Duduk dan Lateral Decubitus


2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko trauma
terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap
baik. Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.

Gambar . Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal


6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±
6cm.

 Penyebaran anastetik lokal tergantung:


1. Faktor utama:
a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)
b. Posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik lokal
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal

 Lama kerja anestetik lokal tergantung:


1.  Jenis anestetia lokal
2.  Besarnya dosis
3.  Ada tidaknya vasokonstriktor
4.  Besarnya penyebaran anestetik local

Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut: ketinggian blokade
saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat.
a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest dan retensi urin.
Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari anestetik lokal, kegagalan untuk
mengurangi dosis pada pasien-pasien yang rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik
lokal (usia tua, hamil, obesitas dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat yang
berlebih. Gejala awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau kelemahan pada lengan,
mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan sampai sedang. Jika
penyebaran anestetik lokal sampai pada cervical maka akan muncul gejala hipotensi berat,
bradikardia, gagal nafas. Bila timbul gangguan kesadaran dan apnea, maka penanganan
airway dan breathing berupa pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan.
Selanjutnya penangan sirkulasi berupa pemberian cairan intravena, posisi trendelenburg dan
vasopresor.
1. Hipotensi
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik. Ketinggian
dari blokade saraf akan meninggikan blokade simpatis, yang dapat dilihat dari perubahan
kardiovaskular terutama blokade simpatis T1-L2. Hipotensi dan bradikardia adalah efek
samping yang diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain
hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian blokade sensoris, usia diatas 40 tahun,
obesitas, kombinasi anestesia umum dan regional. Konsumpsi alkohol kronis, riwayat
hipertensi, BMI lebih, ketinggian blokade sensoris, kedaruratan pembedahan akan
meningkatkan hipotensi setelah anestesi spinal. Hipotensi terjadi berkisar 33% pada populasi
non obstetri.
Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi. Dilatasi
arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh darah akan tetap
mempertahankan tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena pertahanan tonus otonom
masih ada tersebut, maka resistensi total pembuluh darah perifer menurun hanya 15-18%,
selanjutnya MAP menurun 15-18% bila cardiac output tidak menurun. Pada pasien dengan
penyakit arteri koroner, resistensi pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33%
setelah anestesi spinal. Sebaliknya setelah anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang
maksimal bergantung pada letak vena tersebut. Jika vena terletak dibawah atrium kanan,
gravitasi akan mempengaruhi pengisian darah vena perifer. Sedangkan jika vena terletak
diatas atrium kanan, maka aliran balik darah ke jantung akan meningkat. Aliran balik vena ke
jantung atau preload bergantung pada posisi pasien saat anestesi spinal.
Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang signifikan
setelah anestesi spinal, namun usia muda < 50 tahun dan sehat atau ASA 1 mempunyai risiko
tinggi untuk bradikardia. Penggunaan beta blocker juga meningkatkan risiko bradikardia.
Insidensi bradikardi pada populasi non obstetri berkisar 13%. Serabut saraf simpatis yang
mengatur denyut jantung keluar dari segmen T1-T4 dan blokade pada serabut saraf ini akan
menimbulkan bradikardia. Penurunan aliran balik vena juga akan menyebabkan bradikardia
karena tekanan pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor regangan intracardiac
untuk menurunkan denyut jantung. Maka dari itu, monitoring terhadap pasien dengan
anestesi spinal penting dan bila terjadi efek samping dapat ditangani dengan cepat dan tepat.

2. Retensi urin
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung kemih dan
menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin bermanfaat pada pembedahan yang
cukup lama. Penilaian postoperatif terhadap retensi urin sangat berguna karena bila terdapat
retensi urin yang lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf yang serius9.
b. Lokasi penyuntikkan
1. Nyeri punggung
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu repon
peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat berlanjut lebih dari
seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal dari komplikasi hematoma spinal
dan abses.
2. Postdural puncture headache
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati lubang pada
durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran cairan serebrospinal.
Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada traksi pada dura, tentorium dan pembuluh darah
yang menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada posisi duduk atau berdiri dan
berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal, retro orbita, oksipital dan menjalar
ke leher. Onset nyeri ini 12-72 jam setelah prosedur.
3. Hematoma spinal
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang
meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau penyakit yang
berhubungan dengan koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal berulang kali. Perdarahan
pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan menimbulkan iskemia dan kerusakan
sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa
dan kelemahan progresif, disfungsi sfingter.

c. Toksisitas obat
1. Transcient neurological symptoms
Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai bawah. Gejala
umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali menjadi normal. Ini
terjadi antara 1 sampai 24 jam dan bisa terjadi setelah beberapa hari. Mekanisme pasti belum
dapat diketahui namun secara teoritis bahwa lidokain lebih neurotoksik pada serabut saraf tak
bermielin dibandingkan anestetik lokal lainnya. TNS lebih sering pada pasien dengan
anestesi spinal dan posisi litotomi. Posisi ini membuat peregangan pada serabut akar saraf
lumbosacral, perfusi menurun dan membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek toksik dari
anestetik lokal. Pecegahan berupa pemakaian bupivakain sebagai alternatif lainnya.
2. Sindrom cauda equina
Sindrom ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidokain 5%. Sindrom
cauda equina bersifat permanen dan berupa disfungsi sfingter, defisit sensorik-motorik dan
parese. Tingkat neurotoksisitas pada anestetik lokal yakni lidokain = tetrakain > bupivakain >
ropivakain.

 Komplikasi tindakan anestesi spinal :


1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total

 Komplikasi pasca tindakan


1.  Nyeri tempat suntikan
2.  Nyeri punggung
3.  Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4.  Retensio urine
5.  Meningitis

Farmakologi Obat Anestetik Lokal


Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade saluran
natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsangan transmisi sepanjang saraf, jika
digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh
pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti kerusakan struktur saraf. Obat-
obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi syarat-syarat yaitu
blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat, tidak neurotoksik, dan
pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga mobilisasi lebih cepat dapat
dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah.
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik atau gabungan alkaloid larut
lemak dan garam larut air. Rumus bangun terdiri dari bagian kepala cincin aromatik tak jenuh
bersifat lipofilik, bagian badan cincin hidrokarbon sebagai penghubung, bagian ekor amino
tersier bersifat hidrofilik. Bagian aromatik mempengaruhi kelarutan dalam air dan rantai
penghubung menentukan jalur metabolisme obat anestetik lokal. Struktur umum dari obat
anestetik lokal tersebut mencerminkan orientasi dari tempat bekerja yaitu membran sel saraf.
Jika dilihat susunan dari membran sel saraf yang terdiri dari dua lapisan lemak dan satu lapisan
protein di luar dan dalam, maka struktur obat anestetik lokal gugus hidrofilik berguna untuk
transport ke sel saraf sedangkan gugus lipofilik berguna untuk migrasi ke dalam sel saraf.
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni golongan ester
seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain, tetrakain dan golongan amida
seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain,
levobupivakain. Perbedaannya terletak pada kestabilan struktur kimia. Golongan ester mudah
dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil. Golongan ester
dihidrolisa dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase dan golongan amida dimetabolisme di
hati. Di Indonesia golongan ester yang paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan
golongan amida tersering ialah lidokain dan bupivakain.
Tabel 2. Jenis anestesi lokal
Prokain Lidokain Bupivakain
Golongan Ester Amida Amida
Mula kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis maksimal 12 6 2
(mg/kgBB)
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10

Tabel . Anestetik lokal yang paling sering digunakan


Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis
Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 mg (-3 ml)
dekstrosa 8.25%

Farmakokinetik dalam plasma


Berat jenis cairan serebrospinal pada suhu 37ºC ialah 1,003-1,008. Anestetik lokal
dengan berat jenis sama dengan cairan serebrospinal disebut isobarik. Anestetik lokal dengan
berat jenis lebih besar dari cairan serebrospinal disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat
jenis lebih kecil dari cairan serebrospinal disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik yaitu campuran antara anestetik lokal dengan dekstrosa.

Absorpsi
Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada aliran darah,
yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini:
1. Lokasi injeksi; kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi tempat
suntikan: absorbsi intravena > trakeal > interkostal > kaudal > paraservikal > epidural >
pleksus brakialis > ischiadikus > subkutan.
2. Adanya vasokontriksi dengan penambahan epinefrin menyebabkan vasokonstriksi pada
tempat pemberian anestesi yang akan menyebabkan penurunan absorpsi sampai 50% dan
peningkatan pengambilan neuronal, sehingga meningkatkan kualitas analgesia,
memperpanjang durasi, da meminimalkan efek toksik. Efek vaskonstriksi yang digunakan
biasanya dari obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan
kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap reseptor adrenergik alfa
2.
3. Agen anestesi lokal, anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat terjadi
absorpsi dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya.

Distribusi
Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktor-faktor:
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar, ginjal, dan
jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase α), yang diikuti
redistribusi yang lebih lambat (fase β) sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran
cerna).
2. Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat cenderung mempertahankan
obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang tinggi memfasilitasi ambilan
jaringan.
3. Massa jaringan—otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal karena massa
dari otot yang besar.

Fiksasi

Anestetik lokal berikatan dengan protein plasma dengan berbagai derajat. Hal ini
menunjukkan bahwa obat yang berikatan kuat dengan protein plasma mengurangi toksisitasnya
karena hanya sebagian kecil dari jumlah total plasma yang bebas berdifusi ke dalam jaringan
yang dapat menghasilkan efek toksik. Namun obat yang berikatan dengan protein juga masih
mampu berdifusi kedalam plasma mengikuti gradien konsentrasi, karena bagian yang terikat
protein memiliki keseimbangan yang sama dengan yang terlarut dalam plasma. Dengan
demikian, ikatan dengan protein tidak berhubungan dengan efek toksisitas akut obat.

Metabolisme dan ekskresi


Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan strukturnya:
1. Golongan ester
Metabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase (kolinesterase plasma). Hidrolisa ester sangat
cepat dan kemudian metabolitnya yang larut air diekskresikan melalui urin.

2. Golongan amida
Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal P-450 di hati. Kecepatan metabolisme
tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal. Metabolisme lebih lambat dari hidrolisa
ester. Metabolit diekskresi lewat urin dan sebagian kecil diekskresikan dalam bentuk utuh.

Farmakokinetik dalam cairan serebrospinal


Setelah penyuntikkan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid maka akan
terjadi proses difusi obat ke dalam cairan serebrospinal sebelum menuju target lokal sel saraf.
Selanjutnya obat akan diabsorbsi ke dalam sel saraf (akar saraf spinal dan medulla spinalis). Ada
empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal di ruang subarakhnoid, yaitu (1)
konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada daerah penyuntikkan. Akar saraf spinal
sedikit mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) luas permukaan saraf yang
terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik lokal, semakin luas daerah sel saraf yang
terpajan dengan anestetik lokal maka akan semakin besar juga absorbsi anestetik lokal oleh sel
saraf. Oleh karena itu semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka
akan semakin menurun konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3)
lapisan lemak pada serabut saraf, (4) aliran darah ke sel saraf. Absorbsi dan distribusi anestetik
lokal setelah penyuntikkan spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume dan
barisitas dari anestetik lokal serta posisi pasien.

Medula spinalis mempunyai dua mekanisme untuk absorbsi anestetik lokal yakni (1)
difusi dari dairan serbrospinal ke pia meter lalu masuk ke medulla spinalis, dimana proses difusi
ini terjadi lambat. Hanya area superfisial atau permukaan dari medulla spinalis yang dipengaruhi
oleh anestetik lokal. (2) absorbsi terjadi ruang Virchow-Robin, dimana daerah piameter banyak
dikelilingi oleh pembuluh darah yang berpenetrasi ke sistem saraf pusat. Ruang Virchow-Robin
terhubung dengan celah perineuronal yang mengelilingi badan sel saraf di medulla spinalis dan
menembus sampai ke daerah terdalam medulla spinalis.

Gambar . Ruang periarterial Virchow-Robin yang mengelilingi medulla spinalis.


Kadar lemak juga menentukan absorbsi anestetik lokal. Semakin bermielin memerlukan
konsentrasi anestetik lokal yang lebih tinggi untuk dapat memblok impuls, karena ada kadar
lemak yang tinggi di selubung mielin tersebut.

Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan serebrospinal dipengaruhi
oleh beberapa faktor sebagai berikut:

a. Faktor utama
1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran lokal anestetik di ruang
subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta posisi pasien. Larutan hipobarik
ialah larutan yang lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan
isobarik ialah larutan yang sama berat dengan cairan serbrospinal bersifat menetap pada
tingkat daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih berat daripada
cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian. Larutan hiperbarik biasanya
menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.

Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik lokal:

- Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah cephalad,
sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah kaudal.
- Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah kaudal,
sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.
- Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi lateral dan
sebaliknya untuk larutan hipobarik.
- Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar penyuntikkan.
- Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan hiperbarik,
anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan puncaknya akan mengikuti
lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.
Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin singkat durasi
blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi obat di daerah injeksi.
2. Dosis dan volume anestetik lokal
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka akan semakin
tinggi juga area hambatan
b. Faktor tambahan
1. Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid dan epidural
menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang membuat penyebaran obat
analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan hasil penyebaran obat analgetika lokal ke
cephalad lebih banyak sehingga level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi
badan sama. Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah
melakukan penelitian pengaruh umut pada penyebaran obat analgetika lokal, ternyata ada
korelasi yang bermakna antara umur dan level analgesia.

2. Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita yang tinggi
memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek.

3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural yang akan
mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman klinis mengindikasikan bahwa
kegemukan berpengaruh sedikit terhadap penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan
serebrospinal.

4. Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi darah vertebral
meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan serebrospinal. Akibatnya hasil
anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor
abdomen

5. Anatomi kolumna vertebralis


Lekukan kolumna vertebralis akan mempengaruhi penyebaran obat anastetik lokal dalam
cairan serebrospinal. Ini akan tampak pada cairan yang bersifat hiperbarik atau hipobarik
pada posisi terlentang horizontal. Penyuntikkan di atas L3 dengan posisi pasien supinasi
setelah penyuntikkan akan membuat penyebaran anestetik lokal kerah cephalad dan
mencapai kurvatura T4

6. Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3 atau lumbal 3-4
memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan tusukan pada lumbal 4-5
karena bentuk vertebral memudahkan obat berkumpul di daerah sakral

7. Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran oat akan terbatas
dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad.

8. Barbotase atau kecepatan penyuntikkan


Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan tingkat analgesia
yang dicapai rendah

Selain itu, volume dan berat jenis cairan serebrospinal juga mempengaruhi penyebaran
atau tingginya blok saraf. Dimana volume cairan serebrospinal yang menurun akan meninggikan
tingkat blok saraf, sedangkan bila volume cairan serebrospinal yang meningkat akan
menurunkan tingkat blok saraf. Kedua yaitu berat jenis cairan serebrospinal yang tinggi akan
mengurangi penyebaran tingkat blok saraf, sedangkan berat jenis cairan sererbospinal yang
rendah akan menghasilkan penyebaran obat anestetik lokal yang besar.

Ketika pemberian obat anestetik lokal diberikan secara spinal, obat memiliki akses bebas
ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta
sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal
ini tidak berikatan dengan protein, karena konsentrasi protein di cairan serebrospinal rendah.

Eliminasi anestetik lokal dari ruang subarakhnoid terjadi melalui absorbsi oleh pembuluh
darah di ruang subarakhnoid dan ruang epidural. Anestetik lokal juga berdifusi ke dalam ruang
epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke dalam pembuluh darah epidural sama
seperti halnya pada ruang subarakhnoid14,15. Aliran darah menentukan laju eliminasi anestetik
lokal dari medula spinalis. Semakin cepat aliran darah di medula spinalis, maka akan semakin
cepat juga anestetik lokal dieliminasi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa konsentrasi
anestetik lokal lebih besar pada bagian posterior medula spinalis dibandingkan dengan anterior
medula spinalis, walaupun bagian anterior lebih banyak terhubung dengan ruang Virchow-
Robin. Setelah anestetik lokal diberikan, aliran darah dapat ditingkatkan atau diturunkan ke
medula spinalis, bergantung pada sifat anestetik lokal tersebut, sebagai contoh tetrakain
meningkatkan aliran darah medula spinalis tapi lidokain dan bupivakain menurunkan aliran
darah, yang akan berpengaruh terhadap eliminasi dari anestetik lokal.

Vaskularisasi medula spinalis terdiri dari pembuluh darah yang ada di medula spinalis
dan di pia meter. Absorbsi anestetik ini terjadi pada pembuluh darah di piameter dan medulla
spinalis. Akibat perfusi ke medula spinalis bervariasi, maka laju eliminasi anestetik lokal juga
bervariasi.

Farmakodinamik
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio vertebra. Lapisan
yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, durameter, dan
arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada diantara arakhnoid dan piameter, sedangkan ruang antara
ligamentum flavum dan durameter merupakan ruang epidural.

Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan memblok impuls
sensorik, autonom dan motorik. Lokasi target dari anestesi spinal adalah akar saraf spinal dan
medulla spinalis. Dalam anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal
memiliki efek yang minimal pada medula spinalis.

Mekanisme obat anestetik spinal


Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls saraf atau blokade
konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membran saraf2. Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah
peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga hasilnya tak
terjadi konduksi saraf4. Obat anestesi lokal setelah masuk cairan serebrospinal, berdifusi
menyebrang selubung saraf dan membran, tetapi hanya yang dalam bentuk basa yang bisa
menembus membran lipid ini. Ketika mencapai akson terjadi ionisasi dan dalam bentuk kation
yang bermuatan bisa mencapai reseptor pada saluran natrium. Akibatnya terjadi blokade saluran
natrium, hambatan konduksi natrium, penurunan kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi
potensial, dan terjadi blokade saraf.
secara umum serabut saraf autonom terblok pertama kali dan serabut saraf motorik yang
terakhir.
Secara umum tingginya blokade simpatis kira-kira 2-3 segmen lebih tinggi daripada
tingginya blokade sensorik dan tingginya blokade sensorik 2-3 segmen lebih tinggi daripada
blokade motorik. Hal ini dimungkinkan karena konsentrasi obat anestesi lokal di dalam cairan
serebrospinal semakin kearah cephalad menjauh tempat injeksi akan berkurang, disamping
serabut saraf bermielin memerlukan paling tidak tiga nodus ranvier yang berurutan harus diblok
secara komplit untuk menghambat konduksi12. Maka dari itu, urutan hilangnya fungsi sel saraf
pada anestesi lokal sebagai berikut: (1) simpatis (vasomotor) berupa dilatasi pembuluh darah
arteri dan vena, (2) sensoris suhu dan nyeri, (3) sensoris raba dan tekanan, (4) proprioseptif
berupa kesadaran akan posisi tubuh, (5) fungsi motorik. Bila anestetik lokal ini telah habis
bekerja, maka fungsi-fungsi ini akan kembali dalam urutan terbalik yakni fungsi motorik akan
kembali dulu, kemudian sensasi raba dan nyeri, serta terakhir respon simpatis akan normal
kembali seperti tekanan darah16.
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama kerja
menjadi 3 grup. Grup I meliputi prokain, kloroprokain yang memiliki potensi dan lama kerja
yang singkat. Grup II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan
lama kerja sedang. Grup III meliputi tetrakain, bupivakain, etidokain yang memiliki potensi kuat
dan lama kerja yang panjang. Anestesi lokal juga dibedakan berdasarkan pada mula atau awal
kerjanya seperti kloroprokain, lidokain, mepivakain, prilokain, etidokain memiliki mula kerja
yang relatif cepat, bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain
bermula kerja lambat.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten, karena itu
merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran yang hidrofobik2,4. Secara
umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan meningkatnya jumlah total atom karbon
pada molekul.

Lama Kerja
Lama kerja obat anestetik lokal dipengaruhi oleh (1) kelarutan dalam lemak, obat dengan
kelarutan dalam lemak yang tinggi akan memiliki kerja lebih panjang sebab lebih lambat
dikeluarkan dari sirkulasi darah. (2) Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama
kerja, obat dengan kelarutan lemak yang tinggi juga mempunyai ikatan protein plasma yang
tinggi terutama terhadap alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit terhadap albumin, sebagai
konsekuensinya eliminasi memanjang. (3) Potensi dan lama kerja anestesi spinal berhubungan
dengan sifat individual obat anestesi dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemik, sehingga
semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi
spinal tersebut. Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan
dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini
akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi regional. Pemilihan obat lokal
anestesi yang akan digunakan pada umumnya berdasar pada perkiraan durasi dari pembedahan
yang akan dilakukan dan kebutuhan pasien untuk segera pulih dan mobilisasi.

Tabel 5. Perbandingan golongan ester dan golongan amida


Klasifikasi Potensi Mula kerja Lama kerja Toksisitas
Ester
Prokain 1 (rendah) Cepat 45-60 Rendah
Kloroprokain 3-4 (tinggi) Sangat cepat 30-45 Sangat
rendah
Tetrakain 8-16 (tinggi) Lambat 60-180 Sedang
Amida
Lidokain 1-2 (sedang) Cepat 60-120 Sedang
Etidokain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Sedang
Prilokain 1-8 (rendah) Lambat 60-120 Sedang
Mepivakain 1-5 (sedang) Sedang 90-180 Tinggi
Bupivakain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah
Ropivakain 4 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah
Levobupivakai 4 (tinggi) Lambat 240-480
n

Tabel . Sifat beberapa anestetik lokal amida


Agen Waktu-Paruh Eliminasi t1/2 Vdss (L) B (L/menit)
Distribusi (jam)
(menit)
Bupivakain 28 3,5 72 0,47
Lidokain 10 1,6 91 0,95
Mepivakain 7 1,9 84 0,78
Prilokain 5 1,5 261 2,84
Ropivakain 23 4,2 47 0,44
B= bersihan, Vdss= volume distribusi pada keadaan stabil

anestetik lokal yang sering digunakan


1. Kokain
Hanya dijumpai dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan nafas atas dengan
lama kerja 20-30 menit.
2. Prokain
Digunakan untuk infiltrasi dengan konsentrasi 0,25-0,5%, penggunaan untuk blok saraf
degan konsentrasi 1-2%. Dosis 15 mg/kgBB dan lama kerja 30-60 menit.
4. Lidokain
Konsentrasi efektif minimal 0,25%, penggunaan infiltrasi mula kerja 10 menit dan
relaksasi otot cukup baik. Lama kerja sekkitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi larutan.
Larutan standar 1 atau 1,5% untuk blok perifer. 0,25%-0,5% ditambah adrenalin 200.000
untuk infiltrasi, 0,5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik, 1,0% untuk blok motorik
dan sensorik, 2,0% untuk blok motorik pasien berotot, 4,0% atau 10% untuk topikal
semprot faring-laring (pump spray), 5,0% unutk jeli yang dioleskan pada pipa trakea,
5,0% lidokain dicampur 5,0% prilokain untuk topikal kulit, 5,0% hiperbarik untuk
analgesia intratekal (subarakhnoid).
5. Bupivakain
Konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat dibanding lidokain tetapi
lama kerja sampai 8 jam. Setelah suntikan kaudal epidural, atau infiltrasi, kadar plasma
puncak dicapai dalam 45 menit, kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Untuk
anestesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik
epidural 0,375% dan pembedahan 0,75%.

Patofisiologi
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan memblok impuls
sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan posterior yang melewati cairan
serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan
epidural, selain itu bisa bekerja pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal. Dalam
anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang
minimal pada medula spinalis

Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang subarakhnoid,
yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada daerah penyuntikkan. Akar
saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) daerah
permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu
semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin menurun
konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut
saraf, (4) aliran darah ke sel saraf. Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan
spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal
serta posisi pasien. Selanjutnya obat memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan
bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat
memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini tidak berikatan dengan
protein terlebih dahulu.

Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi lokal disuntikkan
ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan kaudal) dan menggenangi
akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF
untuk anestesi spinal memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk
mencapai blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi pada
akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan
untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade transmisi saraf
(konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan
blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom.
Efek samping obat anestetik lokal terhadap sistem tubuh

1. Sistem kardiovaskular
- Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.
- Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.
- Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.
- Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat termasuk
hippotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan aritmia yang dapa
mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular dan fibrilasi.
2. Sistem pernafasan
- Relaksasi otot polos bronkus
- Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal atau depresi
langsung pusat pengaturan nafas.
- Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini hanya
berpengaruh kecil pada volume tidak karena adanya kompensasi diafragma, tapi hal
ini akan menimbulkan penurunan kapasitas vital akibat penurunan signifikan dari
expiratory reserve volume. Pasien ini akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk
inspirasi maksimal serta batuk. Blokade torakal juga memicu penurunan cardiac
output dan tekanan arteri pulmonal serta peningkatan ventilasi atau
ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen
arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun harus diberikan oksigen yang tinggi
untuk membantu pernafasan13.
3. Sistem pencernaan
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat blokade simpatis,
maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan sekresi, relaksasi sfingter dan
konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor
risiko terjadinya karena blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan
riwayat mual muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis
menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan demikian,
atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal yang tinggi

4. Sistem saraf pusat


Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan tanda-tanda awal
rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik berupa tinitus dan pandangan kabur.
Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi
sistem saraf pusat misal bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi
pernafasan, tidak sadar, koma.

5. Imunologi
Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan derivat para-amino-
benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.

6. Sistem muskuloskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi, hiperkontraksi
miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul
setelah 3-4 minggu.

7. Ginjal dan hepar


Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi vasokonstriksi di
ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun sampai tekanan arteri rata-rata
menurun dibawah 50 mmHg. Dengan begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka alirah
darah ginjal serta urin output masih dalam batas normal selama anestesi spinal.
Sedangkan aliran darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi9.

8. Endokrin dan metabolisme


Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon stres metabolik yang
berhubungan dengan pembedahan. Respon ini berupa peningkatan ACTH, kortisol,
epinefrin, norepinefrin dan vasopresin serta renin angiotensin aldosteron.

2.3 Anestesia Epidural

Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan obat
di ruang epidural. Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan duramater.
Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman maksimal pada
daerah lumbal.
Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal
yang terletak di lateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi
spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.

Gambar . Anestesi Epidural

Keuntungan epidural dibandingkan spinal :


 Bisa segmental
 Tidak terjadi headache post op
 Hipotensi lambat terjadi

Kerugian epidural dibandingkan spinal :


 Teknik lebih sulit
 Jumlah obat anestesi lokal lebih besar
 Reaksi sistemis 

Komplikasi anestesi / analgesi epidural :


1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskular (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual – muntah

Indikasi analgesia epidural:


1. Untuk analgesia saja, di mana operasi tidak dipertimbangkan. Sebuah anestesi
epidural untuk menghilangkan nyeri (misalnya pada persalinan) kemungkinan tidak
akan menyebabkan hilangnya kekuatan otot, tetapi biasanya tidak cukup untuk
operasi.
2. Sebagai tambahan untuk anestesi umum. Hal ini dapat mengurangi kebutuhan pasien
akan analgesik opioid. Ini cocok untuk berbagai macam operasi, misalnya
histerektomi, bedah ortopedi, bedah umum (misalnya laparotomi) dan bedah vaskuler
(misalnya perbaikan aneurisma aorta terbuka).
3. Sebagai teknik tunggal untuk anestesi bedah. Beberapa operasi, yang paling sering
operasi caesar, dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi epidural sebagai teknik
tunggal. Biasanya pasien akan tetap terjaga selama operasi. Dosis yang dibutuhkan
untuk anestesi jauh lebih tinggi daripada yang diperlukan untuk analgesia.
4. Untuk analgesia pasca-operasi, di salah satu situasi di atas. Analgesik diberikan ke
dalam ruang epidural selama beberapa hari setelah operasi, asalkan kateter telah
dimasukkan.
5. Untuk perawatan sakit punggung. Injeksi dari analgesik dan steroid ke dalam ruang
epidural dapat meningkatkan beberapa bentuk sakit punggung.
6. Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam perawatan terminal,
biasanya dalam jangka pendek atau menengah.

Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat menghambat
penyebaran obat)
3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis
4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana vasodilatasi yang
diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah ke jantung)
Anestesi epidural sebaiknya dilakukan pada:
1. Kurangnya persetujuan
2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaan obat antikoagulan (misalnya
warfarin)
3. Risiko hematoma
4. Kompresi tulang belakang
5. Infeksi dekat titik penyisipan
6. Hipovolemia

Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :


1. Volume obat yg disuntikan
2. Usia pasien
3. Kecepatan suntikan
4. Besarnya dosis
5. Ketinggian tempat suntikan
6. Posisi pasien
7. Panjang kolumna vetebralis

Teknik anestesia epidural :


Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
a) jarum ujung tajam (Crawford)
b) jarum ujung khusus (Tuohy)
Gambar . Jarum Anestesi Epidural
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling populer
adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes tergantung.
a) Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah resistensi yang
diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3ml. Setelah diberikan anestetik lokal pada
tempat suntikan, jarum epidural ditusuk sedalam 1-2 cm. Kemudian udara atau
NaCl disuntikkan perlahan dan terputus-putus. Sembari mendorong jarum
epidural sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang
disusul hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang
epidural, lakukan uji dosis (test dose)
b) Teknik tetes tergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik ini
menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes Nacl yang
menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan secara lembut sampai
terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul oleh tersedotnya tetes
NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin, lakukan uji dosis (test dose)
5. Uji dosis (test dose)
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah ujung jarum
diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang (kontinyu) melalui
kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur adrenalin 1:200.000.
 Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum sudah benar
 Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang subarakhnoid
karena terlalu dalam.
 Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat masuk vena
epidural.
6. Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik
lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai tercapai dosis total. Suntikan terlalu
cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak tinggi, sehingga
menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala dan gangguan sirkulasi
pembuluh darah epidural.
7. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya bergantung pada
konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai 50% dan pada
wanita hamil dikurangi sampai 30% akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang
epidural akibat ramainya vaskularisasi darah dalam ruang epidural.
8. Uji keberhasilan epidural
Keberhasilan analgesia epidural :
a. Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
b. Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum.
c. Tentang blok motorik dari skala bromage

Melipat Lutut Melipat Jari


Blok tak ada ++ ++
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +
Blok lengkap - -
Tabel . Skala bromage untuk Blok Motorik

Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural


1. Lidokain (Xylokain, Lidonest)
Umumnya digunakan 1-2%, dengan mula kerja 10 menit dan relaksasi otot baik.
0.8% blokade sensorik baik tanpa blokade motorik.
1.5% lazim digunakan untuk pembedahan.
2% untuk relaksasi pasien berotot.
2. Bupivakain (Markain)
Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam. Volum yang
digunakan <20ml.
Komplikasi:
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
4. Mual-muntah

Tabel . Obat Anestesi Epidural


Daftar Pustaka

Sari NK. Perbedaan tekanan darah pasca anestesi spinal dengan pemberian preload dan tanpa pemberian
preload 20cc/kgbb ringer laktat [Karya tulis ilmiah]. Semarang:. Fakultas Kedokteran UNDIP; 2012.

Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal. Dalam: Jurnal Anestesiologi
Indonesia. Bagian anestesiologi dan terapi intensif FK UNDIP/RSUP Dr.Kariadi. 2011; 3(1): 48-59.

Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal dan anestesia regional. Edisi
ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.

Morgan, Edward dkk. Clinical Anesthesiology Fourth Edition. McGraw-Hill Companies. 2006

Snell RS. Clinical Anatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010

Guyton AC. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 2008

Snell RS. Clinical neuroanatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010

Katzung BG. Farmakologi dasar & klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011: 423-430.

Anda mungkin juga menyukai