Anestesi Regional
Pembimbing :
dr. Riza M. Farid, Sp.An
dr. Asep Hendradiana, Sp.An, KIC, M.Kes
dr. Sonny Tresnadi, Sp.An
dr. Muhammad Naufal, Sp.An
dr. Nini Memen, Sp.An
Disusun oleh :
Ayu Wijayanti (1102008049)
Dewa Ayu Bulan Nabila (1102012059)
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Adapun maksud dan tujuan penulis dalam
menyusun referat ini adalah untuk memperluas ilmu kedokteran bidang Anestesi dan juga
memenuhi salah satu persyaratan dalam program kepaniteraan klinik Anestesi di Rumah
Sakit Bhayangkara Tk. 1 Raden Said Sukanto. Referat ini berjudul “Anestesi Regional”.
Dalam menyelesaikan referat ini kami mendapat berbagai bantuan, untuk itu kami
mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Riza M Farid, Sp.An, dr. Sony Tresnadi, Sp.An, dr Muhamad Noufal, Sp.An , dr Nini
Memen Sp.An, dr. Asep Hendradiana, Sp.An yang telah membimbing dan membantu
kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan menyusun referat ini.
2. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi RS Bhayangkara Tk.I R.
Said Sukanto, terutama kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu kami selama
menjalankan kepaniteraan.
Kami menyadari bahwa dalam menyusun referat ini masih memiliki banyak
kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Penulis
DAFTAR ISI
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui tentang anestesi spinal pada TURP.
Penulisan referat ini dapat bermanfaat untuk menerangkan tentang penggunaan anestesi
spinal pada TUR
Batasan masalah pada penulisan referat ini membahas mengenai anatomi kolumna
vertebralis, spinal anestesi dan TURP.
Metode penulisan referat ini dengan cara merujuk dari berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Anestesi
Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara sementara dan
biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam
2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu
meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan
jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap
sadar.
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara
akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral.
Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri sebagian
tubuh tanpa kehilangan kesadaran. Anestesi regional semakin berkembang dan meluas
pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih
murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress secara lebih sempurna. Anestesi regional memiliki berbagai macam
teknik penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang atau
anestesi spinal. Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid. Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi,
bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.
ANESTESI REGIONAL
A. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada
impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk
sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya.
Tetapi pasien tetap sadar.
B. Pembagian Anestesi/Analgesia Regional
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok lapangan,
dan analgesia regional intravena.
Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena untuk
mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal, perlu persiapan
resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke pembuluh darah → kolaps
kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan,
sehingga operasi bisa dilanjutkan dg anestesi umum.
Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anestesi umum ringan
Kontra indikasi:
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif
a. Kulit
b. Lemak subcutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah mengidentifikasi ruang
intervertebra pada pasien kurus
c. Ligament Supraspinosa
d. Ligament interspinosa yang merupakan ligament yang tipis diantara prosesus
spinosus
e. Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic yang berjalan
secara vertical dari lamina ke lamina.
f. Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah
g. Duramater
h. Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang dikelilingi oleh
CSF. Injeksi dari anestesi local akan bercampur dengan CSF dan secara cepat
memblok akar syaraf yang berkontak.
Tabel . Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur pembedahan
Pembedahan Ketinggian segmen dermatom kulit
Tungkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli, prostat T10
Testis ovarium T8
Intraabdomen bawah T6
Intraabdomen atas T4
Paha dan tungkai bawah L1
Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut: ketinggian blokade
saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat.
a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest dan retensi urin.
Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari anestetik lokal, kegagalan untuk
mengurangi dosis pada pasien-pasien yang rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik
lokal (usia tua, hamil, obesitas dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat yang
berlebih. Gejala awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau kelemahan pada lengan,
mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan sampai sedang. Jika
penyebaran anestetik lokal sampai pada cervical maka akan muncul gejala hipotensi berat,
bradikardia, gagal nafas. Bila timbul gangguan kesadaran dan apnea, maka penanganan
airway dan breathing berupa pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan.
Selanjutnya penangan sirkulasi berupa pemberian cairan intravena, posisi trendelenburg dan
vasopresor.
1. Hipotensi
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah hemodinamik. Ketinggian
dari blokade saraf akan meninggikan blokade simpatis, yang dapat dilihat dari perubahan
kardiovaskular terutama blokade simpatis T1-L2. Hipotensi dan bradikardia adalah efek
samping yang diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain
hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian blokade sensoris, usia diatas 40 tahun,
obesitas, kombinasi anestesia umum dan regional. Konsumpsi alkohol kronis, riwayat
hipertensi, BMI lebih, ketinggian blokade sensoris, kedaruratan pembedahan akan
meningkatkan hipotensi setelah anestesi spinal. Hipotensi terjadi berkisar 33% pada populasi
non obstetri.
Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi. Dilatasi
arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh darah akan tetap
mempertahankan tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena pertahanan tonus otonom
masih ada tersebut, maka resistensi total pembuluh darah perifer menurun hanya 15-18%,
selanjutnya MAP menurun 15-18% bila cardiac output tidak menurun. Pada pasien dengan
penyakit arteri koroner, resistensi pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33%
setelah anestesi spinal. Sebaliknya setelah anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang
maksimal bergantung pada letak vena tersebut. Jika vena terletak dibawah atrium kanan,
gravitasi akan mempengaruhi pengisian darah vena perifer. Sedangkan jika vena terletak
diatas atrium kanan, maka aliran balik darah ke jantung akan meningkat. Aliran balik vena ke
jantung atau preload bergantung pada posisi pasien saat anestesi spinal.
Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang signifikan
setelah anestesi spinal, namun usia muda < 50 tahun dan sehat atau ASA 1 mempunyai risiko
tinggi untuk bradikardia. Penggunaan beta blocker juga meningkatkan risiko bradikardia.
Insidensi bradikardi pada populasi non obstetri berkisar 13%. Serabut saraf simpatis yang
mengatur denyut jantung keluar dari segmen T1-T4 dan blokade pada serabut saraf ini akan
menimbulkan bradikardia. Penurunan aliran balik vena juga akan menyebabkan bradikardia
karena tekanan pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor regangan intracardiac
untuk menurunkan denyut jantung. Maka dari itu, monitoring terhadap pasien dengan
anestesi spinal penting dan bila terjadi efek samping dapat ditangani dengan cepat dan tepat.
2. Retensi urin
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung kemih dan
menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin bermanfaat pada pembedahan yang
cukup lama. Penilaian postoperatif terhadap retensi urin sangat berguna karena bila terdapat
retensi urin yang lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf yang serius9.
b. Lokasi penyuntikkan
1. Nyeri punggung
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu repon
peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat berlanjut lebih dari
seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal dari komplikasi hematoma spinal
dan abses.
2. Postdural puncture headache
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati lubang pada
durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran cairan serebrospinal.
Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada traksi pada dura, tentorium dan pembuluh darah
yang menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri kepala pada posisi duduk atau berdiri dan
berkurang bila berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal, retro orbita, oksipital dan menjalar
ke leher. Onset nyeri ini 12-72 jam setelah prosedur.
3. Hematoma spinal
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang
meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau penyakit yang
berhubungan dengan koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal berulang kali. Perdarahan
pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan menimbulkan iskemia dan kerusakan
sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa
dan kelemahan progresif, disfungsi sfingter.
c. Toksisitas obat
1. Transcient neurological symptoms
Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai bawah. Gejala
umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali menjadi normal. Ini
terjadi antara 1 sampai 24 jam dan bisa terjadi setelah beberapa hari. Mekanisme pasti belum
dapat diketahui namun secara teoritis bahwa lidokain lebih neurotoksik pada serabut saraf tak
bermielin dibandingkan anestetik lokal lainnya. TNS lebih sering pada pasien dengan
anestesi spinal dan posisi litotomi. Posisi ini membuat peregangan pada serabut akar saraf
lumbosacral, perfusi menurun dan membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek toksik dari
anestetik lokal. Pecegahan berupa pemakaian bupivakain sebagai alternatif lainnya.
2. Sindrom cauda equina
Sindrom ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidokain 5%. Sindrom
cauda equina bersifat permanen dan berupa disfungsi sfingter, defisit sensorik-motorik dan
parese. Tingkat neurotoksisitas pada anestetik lokal yakni lidokain = tetrakain > bupivakain >
ropivakain.
Absorpsi
Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada aliran darah,
yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini:
1. Lokasi injeksi; kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya vaskularisasi tempat
suntikan: absorbsi intravena > trakeal > interkostal > kaudal > paraservikal > epidural >
pleksus brakialis > ischiadikus > subkutan.
2. Adanya vasokontriksi dengan penambahan epinefrin menyebabkan vasokonstriksi pada
tempat pemberian anestesi yang akan menyebabkan penurunan absorpsi sampai 50% dan
peningkatan pengambilan neuronal, sehingga meningkatkan kualitas analgesia,
memperpanjang durasi, da meminimalkan efek toksik. Efek vaskonstriksi yang digunakan
biasanya dari obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan
kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap reseptor adrenergik alfa
2.
3. Agen anestesi lokal, anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat terjadi
absorpsi dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya.
Distribusi
Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktor-faktor:
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar, ginjal, dan
jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase α), yang diikuti
redistribusi yang lebih lambat (fase β) sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran
cerna).
2. Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat cenderung mempertahankan
obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang tinggi memfasilitasi ambilan
jaringan.
3. Massa jaringan—otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal karena massa
dari otot yang besar.
Fiksasi
Anestetik lokal berikatan dengan protein plasma dengan berbagai derajat. Hal ini
menunjukkan bahwa obat yang berikatan kuat dengan protein plasma mengurangi toksisitasnya
karena hanya sebagian kecil dari jumlah total plasma yang bebas berdifusi ke dalam jaringan
yang dapat menghasilkan efek toksik. Namun obat yang berikatan dengan protein juga masih
mampu berdifusi kedalam plasma mengikuti gradien konsentrasi, karena bagian yang terikat
protein memiliki keseimbangan yang sama dengan yang terlarut dalam plasma. Dengan
demikian, ikatan dengan protein tidak berhubungan dengan efek toksisitas akut obat.
2. Golongan amida
Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal P-450 di hati. Kecepatan metabolisme
tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal. Metabolisme lebih lambat dari hidrolisa
ester. Metabolit diekskresi lewat urin dan sebagian kecil diekskresikan dalam bentuk utuh.
Medula spinalis mempunyai dua mekanisme untuk absorbsi anestetik lokal yakni (1)
difusi dari dairan serbrospinal ke pia meter lalu masuk ke medulla spinalis, dimana proses difusi
ini terjadi lambat. Hanya area superfisial atau permukaan dari medulla spinalis yang dipengaruhi
oleh anestetik lokal. (2) absorbsi terjadi ruang Virchow-Robin, dimana daerah piameter banyak
dikelilingi oleh pembuluh darah yang berpenetrasi ke sistem saraf pusat. Ruang Virchow-Robin
terhubung dengan celah perineuronal yang mengelilingi badan sel saraf di medulla spinalis dan
menembus sampai ke daerah terdalam medulla spinalis.
Distribusi anestetik lokal pada ruang subarahnoid atau cairan serebrospinal dipengaruhi
oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a. Faktor utama
1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Barisitas merupakan faktor utama yang menentukan penyebaran lokal anestetik di ruang
subarakhnoid dan dipengaruhi juga oleh gravitasi serta posisi pasien. Larutan hipobarik
ialah larutan yang lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan
isobarik ialah larutan yang sama berat dengan cairan serbrospinal bersifat menetap pada
tingkat daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih berat daripada
cairan otak bersifat mengikuti gravitasi setelah pemberian. Larutan hiperbarik biasanya
menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
Contoh pengaruh barisitas dan posisi pasien terhadap penyebaran anestetik lokal:
- Posisi kepala kebawah maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah cephalad,
sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah kaudal.
- Posisi kepala keatas maka larutan hiperbarik akan menyebar ke arah kaudal,
sedangkan larutan hipobarik akan menyebar ke arah cephalad.
- Posisi lateral maka larutan hiperbarik akan menyebar mengikuti posisi lateral dan
sebaliknya untuk larutan hipobarik.
- Posisi apapun dengan larutan isobarik akan berada pada daerah sekitar penyuntikkan.
- Saat pasien dalam posisi supinasi maka setelah penyuntikkan larutan hiperbarik,
anestetik lokal akan menyebar ke area T4-T8 dan puncaknya akan mengikuti
lekukan normal dari vertebra yaitu di T4.
Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin singkat durasi
blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi obat di daerah injeksi.
2. Dosis dan volume anestetik lokal
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka akan semakin
tinggi juga area hambatan
b. Faktor tambahan
1. Umur
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid dan epidural
menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang membuat penyebaran obat
analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan hasil penyebaran obat analgetika lokal ke
cephalad lebih banyak sehingga level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi
badan sama. Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah
melakukan penelitian pengaruh umut pada penyebaran obat analgetika lokal, ternyata ada
korelasi yang bermakna antara umur dan level analgesia.
2. Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita yang tinggi
memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek.
3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga epidural yang akan
mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman klinis mengindikasikan bahwa
kegemukan berpengaruh sedikit terhadap penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan
serebrospinal.
4. Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meninggi menyebabkan tekanan vena dan isi darah vertebral
meningkat yang menyebabkkan berkurangnya isi cairan serebrospinal. Akibatnya hasil
anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi seperti pada ibu hamil, obesitas, dan tumor
abdomen
6. Tempat penyuntikkan
Kurang berperan terhadap tingginya analgesia. Tusukan pada lumbal 2-3 atau lumbal 3-4
memudahkan penyebaran obat ke arah torakal, sedangkan tusukan pada lumbal 4-5
karena bentuk vertebral memudahkan obat berkumpul di daerah sakral
7. Arah penyuntikkan
Bila anestetik lokal disuntikkan kearah kaudal maka pennyebaran oat akan terbatas
dibandingkan dengan penyuntikkan kearah cephalad.
Selain itu, volume dan berat jenis cairan serebrospinal juga mempengaruhi penyebaran
atau tingginya blok saraf. Dimana volume cairan serebrospinal yang menurun akan meninggikan
tingkat blok saraf, sedangkan bila volume cairan serebrospinal yang meningkat akan
menurunkan tingkat blok saraf. Kedua yaitu berat jenis cairan serebrospinal yang tinggi akan
mengurangi penyebaran tingkat blok saraf, sedangkan berat jenis cairan sererbospinal yang
rendah akan menghasilkan penyebaran obat anestetik lokal yang besar.
Ketika pemberian obat anestetik lokal diberikan secara spinal, obat memiliki akses bebas
ke jaringan medula spinalis dan bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta
sebagian kecil dosis dapat memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal
ini tidak berikatan dengan protein, karena konsentrasi protein di cairan serebrospinal rendah.
Eliminasi anestetik lokal dari ruang subarakhnoid terjadi melalui absorbsi oleh pembuluh
darah di ruang subarakhnoid dan ruang epidural. Anestetik lokal juga berdifusi ke dalam ruang
epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke dalam pembuluh darah epidural sama
seperti halnya pada ruang subarakhnoid14,15. Aliran darah menentukan laju eliminasi anestetik
lokal dari medula spinalis. Semakin cepat aliran darah di medula spinalis, maka akan semakin
cepat juga anestetik lokal dieliminasi. Hal inilah yang menjelaskan mengapa konsentrasi
anestetik lokal lebih besar pada bagian posterior medula spinalis dibandingkan dengan anterior
medula spinalis, walaupun bagian anterior lebih banyak terhubung dengan ruang Virchow-
Robin. Setelah anestetik lokal diberikan, aliran darah dapat ditingkatkan atau diturunkan ke
medula spinalis, bergantung pada sifat anestetik lokal tersebut, sebagai contoh tetrakain
meningkatkan aliran darah medula spinalis tapi lidokain dan bupivakain menurunkan aliran
darah, yang akan berpengaruh terhadap eliminasi dari anestetik lokal.
Vaskularisasi medula spinalis terdiri dari pembuluh darah yang ada di medula spinalis
dan di pia meter. Absorbsi anestetik ini terjadi pada pembuluh darah di piameter dan medulla
spinalis. Akibat perfusi ke medula spinalis bervariasi, maka laju eliminasi anestetik lokal juga
bervariasi.
Farmakodinamik
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio vertebra. Lapisan
yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari luar yaitu kulit, subkutis,
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, durameter, dan
arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada diantara arakhnoid dan piameter, sedangkan ruang antara
ligamentum flavum dan durameter merupakan ruang epidural.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan memblok impuls
sensorik, autonom dan motorik. Lokasi target dari anestesi spinal adalah akar saraf spinal dan
medulla spinalis. Dalam anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal
memiliki efek yang minimal pada medula spinalis.
Lama Kerja
Lama kerja obat anestetik lokal dipengaruhi oleh (1) kelarutan dalam lemak, obat dengan
kelarutan dalam lemak yang tinggi akan memiliki kerja lebih panjang sebab lebih lambat
dikeluarkan dari sirkulasi darah. (2) Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama
kerja, obat dengan kelarutan lemak yang tinggi juga mempunyai ikatan protein plasma yang
tinggi terutama terhadap alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit terhadap albumin, sebagai
konsekuensinya eliminasi memanjang. (3) Potensi dan lama kerja anestesi spinal berhubungan
dengan sifat individual obat anestesi dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemik, sehingga
semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi
spinal tersebut. Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan
dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini
akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi regional. Pemilihan obat lokal
anestesi yang akan digunakan pada umumnya berdasar pada perkiraan durasi dari pembedahan
yang akan dilakukan dan kebutuhan pasien untuk segera pulih dan mobilisasi.
Patofisiologi
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan memblok impuls
sensorik, autonom dan motorik pada serabut saraf anterior dan posterior yang melewati cairan
serebrospinal. Serabut akar saraf merupakan tempat aksi kerja utama pada anestesi spinal dan
epidural, selain itu bisa bekerja pada serabut akar saraf spinal dan akar ganglion dorsal. Dalam
anestesi spinal konsentrasi obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang
minimal pada medula spinalis
Ada empat faktor yang mempengaruhi absorbsi anestetik lokal pada ruang subarakhnoid,
yaitu (1) konsentrasi anestetik lokal, konsentrasi terbesar ada pada daerah penyuntikkan. Akar
saraf spinal sedikit mengandung epineurium dan impulsnya mudah dihambat, (2) daerah
permukaan saraf yang terpajan akan memudahkan absorpsi dari anestetik lokal. Oleh karena itu
semakin jauh penyebaran anestetik lokal dari tempat penyuntikkan, maka akan semakin menurun
konsentrasi anestetik lokal dan absorpsi ke sel saraf juga menurun, (3) lapisan lipid pada serabut
saraf, (4) aliran darah ke sel saraf. Absorbsi dan distribusi anestetik lokal setelah penyuntikkan
spinal ditentukan oleh banyak faktor antara lain dosis, volume dan barisitas dari anestetik lokal
serta posisi pasien. Selanjutnya obat memiliki akses bebas ke jaringan medula spinalis dan
bekerja langsung pada target lokal di membran sel saraf serta sebagian kecil dosis dapat
memberikan efek yang cepat. Anestetik lokal di cairan serebrospinal ini tidak berikatan dengan
protein terlebih dahulu.
Daerah utama dari aksi blokade neuraksial adalah akar saraf. Anestesi lokal disuntikkan
ke CSF (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi epidural dan kaudal) dan menggenangi
akar saraf dalam ruang subarachnoid atau ruang epidural. Injeksi langsung anestesi lokal ke CSF
untuk anestesi spinal memungkinkan dosis yang relatif kecil dan volume anestesi lokal untuk
mencapai blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi pada
akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu, tempat suntikan
untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus diblok. Blokade transmisi saraf
(konduksi) dalam pada serabut saraf posterior akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan
blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom.
Efek samping obat anestetik lokal terhadap sistem tubuh
1. Sistem kardiovaskular
- Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.
- Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.
- Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.
- Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat termasuk
hippotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan aritmia yang dapa
mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular dan fibrilasi.
2. Sistem pernafasan
- Relaksasi otot polos bronkus
- Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal atau depresi
langsung pusat pengaturan nafas.
- Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini hanya
berpengaruh kecil pada volume tidak karena adanya kompensasi diafragma, tapi hal
ini akan menimbulkan penurunan kapasitas vital akibat penurunan signifikan dari
expiratory reserve volume. Pasien ini akan mengalami dispnea dan kesulitan untuk
inspirasi maksimal serta batuk. Blokade torakal juga memicu penurunan cardiac
output dan tekanan arteri pulmonal serta peningkatan ventilasi atau
ketidakseimbangan perfusi yang akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen
arteri. Pasien dengan blokade torakal saat bangun harus diberikan oksigen yang tinggi
untuk membantu pernafasan13.
3. Sistem pencernaan
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat blokade simpatis,
maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan sekresi, relaksasi sfingter dan
konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor
risiko terjadinya karena blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan
riwayat mual muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis
menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan demikian,
atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal yang tinggi
5. Imunologi
Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan derivat para-amino-
benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.
6. Sistem muskuloskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi, hiperkontraksi
miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul
setelah 3-4 minggu.
Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan menempatkan obat
di ruang epidural. Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan duramater.
Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman maksimal pada
daerah lumbal.
Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal
yang terletak di lateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi
spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.
Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat menghambat
penyebaran obat)
3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis
4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana vasodilatasi yang
diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah ke jantung)
Anestesi epidural sebaiknya dilakukan pada:
1. Kurangnya persetujuan
2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaan obat antikoagulan (misalnya
warfarin)
3. Risiko hematoma
4. Kompresi tulang belakang
5. Infeksi dekat titik penyisipan
6. Hipovolemia
Sari NK. Perbedaan tekanan darah pasca anestesi spinal dengan pemberian preload dan tanpa pemberian
preload 20cc/kgbb ringer laktat [Karya tulis ilmiah]. Semarang:. Fakultas Kedokteran UNDIP; 2012.
Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal. Dalam: Jurnal Anestesiologi
Indonesia. Bagian anestesiologi dan terapi intensif FK UNDIP/RSUP Dr.Kariadi. 2011; 3(1): 48-59.
Said A, Kartini A, Ruswan M. Petunjuk praktis anestesiologi: anestetik lokal dan anestesia regional. Edisi
ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2002.
Morgan, Edward dkk. Clinical Anesthesiology Fourth Edition. McGraw-Hill Companies. 2006
Snell RS. Clinical Anatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010
Snell RS. Clinical neuroanatomy: 7th edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2010
Katzung BG. Farmakologi dasar & klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011: 423-430.