PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam Dengue adalah demam akut yang diikuti oleh dua atau lebih dari gejala
berikut : nyeri retro-orbital, nyeri kepala, rash, mialgia, atralgia, leukopenia atau manifestasi
perdarahan (tes toniquet positif, petekie, purpura atau ekimosis, epistaksis, gusi berdarah,
darah dalam muntah, urine atau feses, serta perdarahan vagina yang tidak termasuk dalam
kriteria DBD. Anoreksia, mual, muntah yang terus-menerus, nyeri perut bisa ditemukan
tetapi bukan merupakan kriteria DD.1
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas vaskuler dan
bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD) dapat mengalami
perdarahan berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 1
Demam berdarah adalah demam akut yang didefinisikan oleh adanya demam disertai
dua atau lebih manifestasi berikut :
1. Demam yang berlangsung 2-7 hari
2. Bukti pendarahan atau tes touniquet positif
3. Trombositopenia (≤100,000 sel per mm3)
4. Bukti kebocoran plasma yang ditunjukkan oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit ≥20% di atas rata-rata atau penurunan hematokrit ≥
20% dari awal setelah pemberian terapi penggantian cairan) efusi pleura,
asites atau hipoproteinemia.1
2.2 Epidemiologi
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik
bahkan cenderung terus mening-kat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di
antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi
KLB di be-berapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah
penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun beri-
kutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan
tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian
1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855
2
Setiap 10 tahun, jumlah rata-rata tahunan kasus kasus DD / DBD dilaporkan ke
WHO terus tumbuh dengan pesat. Dari tahun 2000 hingga 2008, jumlah rata-rata tahunan
kasus adalah 1 656 870, atau hampir tiga setengah kali angka untuk 1990-1999, yang 479
848 kasus. Pada tahun 2008, 69 negara dari kawasan WHO Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Amerika melaporkan aktivitas demam berdarah. Ekstensi geografis daerah dengan transmisi
dengue atau aktivitas demam berdarah telah didokumentasikan di Bhutan, Nepal, Timor-
Leste, Hawaii (USA), Kepulauan Galapagos (Ekuador), Pulau Paskah (Chile), dan Hong
Kong Daerah Administratif Khusus dan Makao Daerah Administratif Khusus China antara
2001 dan 2004.1
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah
penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan
kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah
penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatanpenduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan
di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit
3
2.3 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue
yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Virus ini mengandung RNA untai tunggal sebagai genom.
Flavivirus merupakan virus dengan ukuran 50 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal
dengan berat molekul 4x106. Virus dengue genom adalah 11 644 nukleotida panjang, dan terdiri
dari tiga gen protein struktural pengkodean nucleocaprid atau intiprotein (C), protein membran-
terkait (M), sebuah protein amplop (E), dan tujuh protein non-struktural (NS) gen. Di antara
protein non-struktural, amplop glikoprotein, NS1 adalah diagnostik dan patologis penting. Ini
adalah 45 kDa dalam ukuran dan berhubungan dengan haemagglutination virus dan aktivitas
netralisasi.
Virus dengue membentuk kompleks yang berbeda dalam genus Flavivirus
berdasarkan karakteristik antigenik dan biologi. Virus dengue mempunyai 4 jenis serotipe,
yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi dengan satu serotipe menganugerahkan
kekebalan seumur hidup dengan virus serotipe. Meskipun keempat serotipe antigen sama,
mereka cukup berbeda untuk memperoleh proteksi-silang untuk beberapa bulan setelah
infeksi oleh salah satu dari mereka. Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa
infeksi dengan serotipe yang berbeda menyebabkan bentuk parah dari dengue (DBD / DSS).
Terdapat variasi genetik yang cukup besar dalam setiap serotipe dalam bentuk filogenetis
yang berbeda "sub-tipe" atau "genotipe". Saat ini, tiga sub-tipe dapat diidentifikasi untuk-
DENV 1, enam untuk DENV-2 (salah satu yang ditemukan pada primata non-manusia),
empat untuk DENV-3 dan empat untuk DENV-4, dengan yang lain DENV-4 yang eksklusif
4
Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus Stegomya.
Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai penular penyakit. Vektor DD dan
DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus
sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman, stadium
pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan air/wadah yang
berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak
ditemukan berkembang biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi,
ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam
rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan; sedangkan Ae. albopictus
lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang
pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan,
namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Spesies
nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah
manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah
sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap darah beberapa kali.
Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan DB/DBD di wilayah perumahan yang
penduduknya lebih padat, satu individu nyamuk yang infektif dalam satu periode waktu
menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.2
2.4 Patofisiologi
DBD terjadi pada sebagian kecil pasien demam dengue. Meskipun DBD dapat
terjadi pada pasien yang mengalami infeksi virus dengue untuk pertama kalinya, sebagian
besar kasus DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Hubungan antara terjadinya
DHF / DSS dan infeksi dengue sekunder berimplikasi pada sistem kekebalan tubuh dalam
patogenesis DBD. Baik imunitas bawaan seperti sistem komplemen dan sel NK serta
imunitas adaptif termasuk imunitas humoral dan sel yang termediasi terlibat dalam proses
ini. Peningkatan aktivasi kekebalan, terutama selama infeksi sekunder, menyebabkan respon
sitokin yang berlebihan, ini mengakibatkan perubahan permeabilitas pembuluh darah. Selain
itu, produk virus seperti NS1 mungkin memainkan peran dalam mengatur aktivasi
komplemen dan permeabilitas pembuluh darah. Ciri-ciri DBD adalah permeabilitas
pembuluh darah yang meningkat sehingga terjadi kebocoran plasma, terganggunya volume
intravaskular, dan syok pada kasus yang berat. Kebocoran ini unik karena ada kebocoran
selektif plasma dalam rongga pleura dan peritoneal serta periode kebocoran yang pendek
(24-48 jam). 2
5
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya
perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue
dan demam berdarah dengue. 9,10
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. 3 Beberapa teori dan
hipotesis yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
Sejak tahun 1950an, dari pengamatan epidemiologis, klinis dan laboratoris muncul teori
infeksi sekunder oleh virus lain berturutan, teori antigen antibodi dan aktivasi komplemen, dari
sini berkembang menjadi teori infection enhancing antibody kemudian muncul peran
endotoksemia dan limfosit T. 9
Bagan 1. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali dipublikasikan oleh
Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi DD/DBD
6
Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody
10
dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.
Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda
dapat memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya
berlaku pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak
dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G
anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T
10
memori berperan penting dalam patofisiologi DBD.
7
Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
kompleks imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang
mendasari bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat.
Penelitian in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue
ditambahkan dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi
sedangkan virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah
monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.10
Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek sinergistik
dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di seluruh tubuh. 1
Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk
kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit (makrofag).
Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC memicu limfosit T
(CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain
termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC.
Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen,
aktivasi platelet, produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade
inflamasi.
8
Gambar 4. Respon imun pada infeksi virus dengue terhadap pencegahan infeksid an
patogenesis DBD/DSS
Tabel 1. Peran sitokin dan mediator kimiawi dalam patogenesis DBD
2.5 Klasifikasi
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet.
Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain.
Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.
Derajat IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
9
Penentuan derajat demam berdarah :
10
Gambar 5. Siklus transmisi demam dengue/ demam berdarah dengue
Manifestasi klinis tergantung pada strain virus dan tuan faktor seperti usia,
status kekebalan, dll.
Sindrom Virus
Bayi, anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi virus dengue,
terutama untuk pertama kalinya (yaitu infeksi dengue primer), dapat mengalami
demam sederhana dan terkadang tidak dapat dibedakan dari infeksi virus
lainnya. Ruam makulopapular dapat menyertai demam atau mungkin muncul
selama penurunan suhu badan sampai yg normal. Gejala pernapasan dan
Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi ; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi
11
11
perdarahan dan leukopenia. Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya
4,12
trias yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam.
o Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam bersifat
bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari. 8
o Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraj yang menyebar dapat terlihat
pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan
kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang
8
muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu
naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari. 12
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi
fotofoi, berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang
patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai. 4,12
12
- Hepatomegali
- Kegagalan peredaran darah (circulatory failure).4,7,8,12
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota
gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan
perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih
jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan tidak dapat diatasi. 12
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm
dibawah tepi rusuk kanan. Pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan
penyakit tetapi hepatomegali sering ditemukan dalam kasus-kasus syok. Nyeri tekan
hati terasa tetapi biasanya tidak ikterik. 8
13
Gambar 7. Kurva suhu pada demam berdarah dengue,
saat suhu reda keadaan klinis pasien memburuk (syok)
Gambar 8. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma pada
DBD
2.7 Diagnosis
Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi
dengue yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah
kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Bila kriteria WHO tidak terpenuhi
14
maka yang dihadapi memang bukan DBD, mungkin DD atau infeksi virus lainnya. Kriteria
WHO sangat membantu dalam membuat diagnosis pulang (bukan diagnosis masuk rumah
sakit), sehingga catatan medis dapat dibuat lebih tepat.2
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris
yaitu trombositopeni dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada) dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi. 2
15
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada
DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8
sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.
Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai
hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai
hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun
atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh
pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau
leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum
suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya
fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor
VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah
kasus DBD.4
2. Pencitraan pencitraan
2.1 Pemeriksaan rontgen dada
Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura dan pengalaman
menunjukkan bahwa posisi lateral dekubitus kanan lebih baik dalam mendeteksi cairan
dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring. 13
16
penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai sebagai alat diagnostik bantu
untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang lebih berat misalnya dengan melihat penebalan
dinding kandung empedu dan penebalan pankreas dimana tebalnya dinding kedua organ
tersebut berbeda bermakna pada DBD I-II dibanding DBD III-IV. 13
3. Pemeriksaan Serologi.
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu :
- Uji hambatan hemaglitinasi
- Uji Netralisasi
- Uji fiksasi komplemen
- Uji Hemadsorpsi Immunosorben
- Uji Elisa Anti Dengue Ig M
- Tes Dengue Blot. 7
17
Respon imun terhadap infeksi dengue :
Antibodi Ig M :
- Mungkin tidak terbentuk hingga 20 hari setelah onset infeksi
- Mungkin terbentuk pada kadar yang rendah atau tidak terdeteksi pasca infeksi primer
singkat
Antibodi Ig G :
- Terbentuk dengan cepat pasca 1-2 hari onset gejala
- Meningkat pada infeksi primer
- Menetap hingga 30-40 hari dan kemudian menurun
Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig M anti dengue
pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus didiagnosis peningkatan Ig G anti
dengue. 14
18
Diagnosis banding dari Demam berdarah dengue dan dengue shock
syndrome
19
2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi
dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).13
20
hingga 48 jam kemudian. Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6
jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan.
Pengalaman dirumah sakit mendapatkan sekitar 60% kasus DBD berhasil diatasi hanya
dengan larutan kristaloid, 20% memerlukan cairan koloid dan 15% memerlukan transfusi
darah. Cairan kristaloid yang direkomendasikan WHO untuk resusitasi awal syok ialah Ringer
laktat, Ringer asetat atau NaCL 0,9%. Ringer memiliki kelebihan karena mengandung natrium
dan sebagai base corrector untuk mengatasi hiponatremia dan asidosis yang selalu dijumpai
pada DBD. Untuk DBD stadium IV perlu ditambahkan base corrector disamping pemberian
cairan Ringer akibat adanya asidosis berat. 2
Saat pasien berada dalam fase demam, pemberian cairan hanyalah untuk rumatan bukan
cairan pengganti karena kebocoran plasma belum terjadi. Jenis dan jumlah cairan harus
disesuaikan. Pada DD tidak diperlukan cairan pengganti karena tidak ada perembesan plasma. 2
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid
maka cairan koloid harus diberikan (ada 3 jenis ;dekstan, gelatin dan hydroxy ethyl
starch)sebanyak 10-30ml/kgBB. Berat molekul cairan koloid lebih besar sehingga dapat
bertahan dalam rongga vaskular lebih lama (3-8 jam) daripada cairan kristaloid dan memiliki
kapasitas mempertahankan tekanan onkotik vaskular lebih baik. 2
Pada syok berat (lebih dari 60 menit) pasca resusitasi kristaloid (20ml/kgBB/30menit)
dan diikuti pemberian cairan koloid tetapi belum ada perbaikan maka diperlukan pemberian
transfusi darah minimal 100 ml dapat segera diberikan. Obat inotropik diberikan apabila telah
dilakukan pemberian cairan yang memadai tetapi syok belum dapat diatasi.2
21
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis
untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah
terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan
manfaatnya juga tidak banyak.2
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi
perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka
pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung
faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar
hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC). 2
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam
intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya
oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar
hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin
akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia
akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. 2
22
Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:
23
Bagan 2. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.
24
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%
25
Bagan 4. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue
26
Kriteria memulangkan pasien :
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml
7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis). 7
2.10 Komplikasi
a) Ensefalopati dengue
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung
terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti dengan cairan yang
tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer
dekstrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk
mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran
cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60
mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan
jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi
amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi
infeksi bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis
(kombinasi ampisilin 100mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan
tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah)
untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
b) Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah
benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam,
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga
27
belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu
dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
c) Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat
penurunan hemoglobin dan hematocrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang
dengan gambaran edema paru pada foto rontgen dada. Gambaran edema paru harus
2.11 Prognosis
Dengan tidak adanya demam hemoragik dengue atau sindroma syok dengue, maka
mortalitas adalah nol.12
2.12 Pencegahan
- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
- Foging Focus dan Foging Masal
d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1
minggu
e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka
waktu 1 bulan
f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan
Swing Fog
28
BAB III
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 2
April 2019 pukul 07.30 WIB, di ruang Melati
29
Ibu pasien sempat membawa pasien berobat ke klinik, diberikan
obat penurun panas. Namun obat tersebut hanya dapat mengurangi gejala
pasien sesaat.
Riwayat Kelahiran :
Umur kehamilan : 9 bulan
Lahir di tolong : Bidan
Tempat lahir : Praktik bidan
Cara Persalinan : Normal, spontan
BB lahir : 3000 gr
PB lahir :-
APGAR score :-
Riwayat Imunisasi :
4 bulan dan
Polio 0 bulan 2 bulan - -
6 bulan
Campak 9 bulan - - - - -
30
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -
MMR - - - - - -
Kesan : Imunisasi dasar pada pasien sudah lengkap, imunisasi ulangan dan tambahan
tidak lengkap.
Riwayat Perkembangan :
Membalik badan : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Mengoceh : 6 bulan
Berbicara : 8 bulan
Status Generalisata :
Kepala
Bentuk dan ukuran : Normocephali
Rambut dan kulit kepala : Warna rambut hitam, distribusi
merata, tidak mudah patah
31
Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya
(+/+)
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Hidung : sekret -/-, deviasi septum (-), nafas cuping
hidung (-). Epistaksis -/-
Bibir : Warna merah muda, mukosa kering (+)
Mulut : Mukosa bukal merah muda, gusi berdarah (-), stomatitis
aphtosa (-), lidah kotor (-), oral hygiene baik
Faring : hiperemis (+) sekret (-) arkus faring simeteris, uvula
ditengah
Thorax
Paru
Inspeksi : bentuk dan gerakan dada simetris
Palpasi : fremitus suara kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kanan kesan tidak membesar
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : bentuk datar, simetris, bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+)normal 3x/menit
Palpasi : lemas, tidak teraba massa, hepar tidak teraba,
lien tidak teraba, turgor kulit normal, nyeri tekan
epigastrium (+)
Perkusi : timpani diseluruh regio abdomen
32
Ekstremitas
Atas : akral hangat, edema (-), CRT <2 detik
Bawah : akral hangat, edema (-),CRT <2 detik
Kulit
Warna kulit sawo matang, tidak kering, ptekie pada tungkai kaki kanan dan kiri
33
Tanggal 4 April 2019
Seri DHF jam 06.00
34
Tanggal 6 April 2019 jam 18.00
Seri DHF
3.5 Diagnosis
Demam Berdarah Dengue
ISPA
3.6 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
35
3.7 Penatalaksanaan
Medikamentosa :
IVFD RL 20 tpm makro
Paracetamol 4 x 2 cth
Ambroxol 2 x 1 ½ cth
Sanprima 2 x 10 ml
Non Medikamentosa :
Periksa darah rutin /hari
Observasi TTV/8 jam
Tirah baring
Edukasi untuk banyak minum
Pesan untuk orang tua/penunggu pasien jika pasien tampak gelisah,
lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, dan BAB hitam (tanda syok)
segera lapor ke dokter atau perawat
36
Lab : Lab :
Hemoglobin 12.3 Hemoglobin 12.5
Hematokrit 35.7 Hematokrit 35.9
Leukosit 3.000 Leukosit 4.300
Trombosit 124.000 Trombosit 91.000
Assesment - Demam Berdarah Dengue - Demam Berdarah Dengue
Planning • IVFD RL 20 tpm makro • IVFD RL 20 tpm makro
• Paracetamol 4 x 2 cth • Paracetamol 4 x 2 cth
• Ambroxol 2 x 1 ½ cth • Ambroxol 2 x 1 ½ cth
• Cek H2TL ulang besok pagi • Sanprima 2 x 10 ml
• Cek H2TL ulang besok pagi
37
• Ambroxol 2 x 1 ½ cth • Ambroxol 2 x 1 ½ cth
• Sanprima 2 x 10 ml • Sanprima 2 x 10 ml
• Cek H2TL ulang besok pagi • Cek H2TL ulang besok pagi
38
BAB IV
PEMBAHASAN
DAFTAR MASALAH
1. Demam Berdarah Dengue
PENGKAJIAN MASALAH
Dari anamnesis didapatkan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam
disertai adanya batuk. Batuk berdahak berwarna putih. Mual dan muntah disangkal. BAK dan
BAB tidak ada keluhan. Tidak ada mimisan dan gusi berdarah. Nafsu makan menurun.
Sesuai dengan teori bahwa pada demam berdarah dengue ditemukan adanya demam
tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus mencapai 39 C sampai 40 C, nyeri pada
anggota badan dan ruam. Gejala klinis lainnya meliputi fotofobi, berkeringat, batuk,
epistaksis dan disuria. Serta dapat ditemukan hepatomegaly dan kegagalan peredaran darah
(circulatory failure).
Suhu : 40 C, pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan (+). Sesuai dengan teori
bahwa pada demam berdarah dengue dapat ditemukan demam tinggi mendadak tanpa sebab
jelas terus menerus selama 2-7 hari dan syok yang ditandai nadi cepat dan lemah serta
penurunan tekanan nadi. Dapat juga ditemukan manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet
positif, petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena serta
pembesaran hati.
hemokonsentrasi. Sesuai dengan teori bahwa pada demam berdarah dengue dapat ditemukan
39
hematokrit lebih dari 20%. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada
hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai
peningkatan nilai hematokrit. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis,
limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau
Dari tatalaksana diberikan IVFD RL 20 tpm makro, paracetamol 4x2 cth, ambroxol 2x1
½ cth, dan sanprima syr 2x10 ml. Cairan dinaikkan menjadi 100 ml/ jam ketika hematokrit
meningkat dari 35.9 menjadi 44.3, kemudian diturunkan kembali menjadi 500 cc/24 jam
ketika hematokrit turun. Sesuai dengan teori bahwa ketika terdapat peningkatan hematokrit
sebanyak >20%, cairan dapat dinaikkan sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam kemudian setelah ada
perbaikan dan hematokrit turun dalam dua kali pemeriksaan, cairan dapat dikurangi kembali.
40
BAB V
PENUTUP
Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun datang ke Instalasi Gawat Darurat RS Karya
Medika pada tanggal 2 April 2019. Dari anamnesa didapatkan pasien mengeluhkan demam sejak
4 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi muncul tiba-tiba dan, naik turun, mulai naik
dari sore hingga malam, namun tidak pernah turun hingga suhu normal. Mual (+) muntah (-)
lemas (+) dan nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium
(+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan penurunan leukosit, penurunan trombosit, dan
peningkatan hematocrit sebangak 24%.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan
maka pasien tersebut didiagnosis demam berdarah dengue.
Setelah dirawat selama 6 hari dari tanggal 3 April 2019 hingga 8 April 2019, pasien
diperbolehkan pulang.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic Fever.
Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book 13 th National
Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329-
2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current Management
of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI.
Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-
3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB
Saunders.2004.h.1092-4
4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988
5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent enhancement, a
brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002; 54(3):h.171-79
6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada Penderita Dewasa.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13 September 1998.h.
7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya :
Airlangga University Press 2004.h.1-9
8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi : WHO.1999
9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro SRS, Satari
HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis
Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.2004.h.32-43
10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap, Tumbelaka
AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta
30-31 Juli 2001. h. 41-55
11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Dengue/Demam
Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.
80-135
12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS,
penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
42
13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin Dunia
Kedokteran 2000; 126 : 5-13
14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/ modules.php? name=
ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 27 Juni 2006.
15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1 Volume 2.
Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.
43