Anda di halaman 1dari 4

Cinta yang Tak Sempurna

Aku pikir ketika dia menyatakan cinta dan memintaku menjadi kekasihnya adalah
sebuah akhir dari kisah kami seperti dalam drama-drama Korea yang sering aku tonton,
dimana ketika pemeran utama pria dan pemeran utama wanita jatuh cinta, disitulah letak
akhir yang bahagia. Nyatanya tidak. Memulai sebuah hubungan ternyata jauh lebih mudah
daripada mempertahankannya, pun memulai untuk jatuh cinta jauh lebih mudah daripada
mempertahankan rasa itu agar tetap utuh.
Namaku Yasmin Asyira, orang-orang biasa memanggilku Yasmin. Usiaku hampir
menginjak 23 tahun, usia yang sudah tidak lagi muda menurutku. Diusia ini aku mulai
mempertimbangkan banyak hal, entah itu karir maupun percintaan. Kalau untuk masalah
karir, aku cukup puas dengan hanya bekerja sebagai editor di sebuah perusahaan penerbitan
buku. Namun, untuk masalah percintaan. Jauh dari apa yang aku harapkan. Aku dan
kekasihku, Pandu namanya.
Aku dan Pandu sudah berpacaran selama hampir 3 tahun. Pandu berusia satu tahun
lebih tua dariku. Dia seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di kota kami.
Hubunganku dan dia mungkin awalnya memang berjalan lancar. Namun, akhir-akhir ini
karena sama-sama disibukkan dengan pekerjaan, kami mulai jarang berkomunikasi. Pandu
adalah seseorang yang menurutku sangat gila kerja, sulit sekali rasanya untuk
menghubunginya. Bahkan sekarang, sudah hampir 2 minggu dia tidak membalas pesanku
atau pun menelepon. Dan ini bukan pertama kalinya.
Sore ini aku dan Pandu berencana bertemu di sebuah café dekat rumahku,
sebenarnya aku yang memaksanya bertemu meski dia beralasan sibuk. Dan lihat, aku sudah
menunggu hampir satu jam lamanya di café ini. Namun, Pandu belum juga datang. Salah
satu kebiasaanya yang tidak aku sukai, sering melupakan janji atau terlambat datang ketika
bertemu, karena terlalu sibuk bekerja.
Setelah satu jam benar-benar berlalu, Pandu datang.
“Maaf telat, Yas. Aku tadi benar-benar lagi banyak kerjaan,” katanya sambil
mengacak pelan rambutku. “Belum pesan?,” tanyanya.
“Mau sampai kapan, Pan?” aku bertanya balik padanya.
“Apanya yang sampai kapan, Yas?”
“Hubungan kita, lebih tepatnya kejelasan hubungan kita. Aku capek. Kamu selalu
sibuk sama kerjaan kamu. Aku selalu bertanya-tanya apa aku ini penting buat kamu? Apa
kamu sayang sama aku? Kamu bahkan susah sekali luangin waktu buat aku. Ini udah
hampir 3 tahun, Pan. Kita nggak bisa selamanya kayak gini kan? Aku nggak bisa
selamanya sabar dan mencoba buat ngertiin kamu. Aku udah capek.” Sekuat tenaga aku
menahan air mataku. Sungguh, ini bukan pertama kalinya aku mempermasalahkan tentang
hal ini padanya. Tapi kali ini, aku merasa ini memang harus benar-benar berakhir, sebelum
semua jadi semakin rumit.
“Terus mau kamu gimana?” selalu, jawaban itu yang selalu dia berikan.
“Aku mau kita putus.”
“Apa?” Pandu seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
Dari sorot matanya aku bisa melihat bahwa dia sangat kecewa dan terluka. “Kita
bisa omongin ini baik-baik, Yas. Dari awal aku udah bilang kalau prioritas utama aku saat
ini kerjaan karena banyak target yang mau aku capai, bukannya kamu dukung hal itu?”
Pandu menggengam tanganku, mencoba meyakinkan.
“Aku udah nggak bisa, Pan. Hubungan kita udah berjalan cukup lama. Tapi, nggak
ada perekembangan apa pun. Aku nggak bisa terus berada dalam hubungan yang nggak
jelas kayak gini. Selama ini, aku mencoba mengerti kesibukan dan target-target kamu itu.
Tapi ini udah diluar batas, Pan. Aku merasa kamu udah nggak perduli lagi sama aku.”
Seperti itulah hubunganku dan Pandu berakhir. Hubungan yang kami bangun
selama 3 tahun harus berakhir begitu saja. Sedih? Sangat. Aku sangat sedih dan terluka.
Terkadang aku masih sangat merindukan kehadiran Pandu.
Namun, aku masih beruntung karena memiliki Redi, sahabatku sejak kami masih
kecil. Redi adalah salah satu sahabat terbaikku. Redi seorang pekerja kantoran biasa. Dia
yang selalu ada untukku, bahkan ketika Pandu sibuk dengan pekerjaannya, Redi lah yang
bersedia menemaniku kemana pun. Redi selalu menjadi tempatku mencurahkan segala
cerita-ceritaku. Terkadang aku merasa dia seperti seorang kakak atau lebih dari seorang
kekasih.
“Aku sama Pandu putus, Red,” aku bercerita sambal menangis dihadapannya.
Redi selalu berhasil menenangkanku dengan kata-katanya. “Udah jangan sedih-
sedih, kamu tau? masih banyak cowok yang ngantri diluar sana buat jadi pacar kamu,” Redi
berkata dengan nada riang mencoba menghiburku.
“Masa? Tapi aku jelek, Red. Mungkin cuma Pandu yang mau sama aku. Harusnya
aku nggak usah putus aja kayaknya,” candaku yang kemudian ditimpali tawa oleh Redi.
Begitulah obrolan kami berlangsung, mengalir dengan sendirinya.
Satu bulan, dua bulan, sampai kini enam bulan telah berlalu sejak putusnya
hubunganku dan Pandu. Namun, hari-hariku cukup baik-baik saja karena kehadiran Redi.
Walau sesekali aku masih merindukan Pandu. Aku masih belum membuka hati untuk siapa
pun.
Sesuatu yang aneh terjadi pada Redi. Akhir-akhir ini sikap Redi tiba-tiba berubah,
dia menjadi romantis dan lebih perhatian terhadapku. Dia sering mengirimiku pesan-pesan
teks atau telepon dimalam hari. Mengantar jemput aku bekerja, ia juga sering mengajakku
makan siang bersama. Sungguh, ini aneh. Redi benar-benar tidak seperti biasanya.
“Yas, sebenarnya aku suka sama kamu. Aku udah suka sama kamu dari dulu.
Bahkan sebelum kamu pacaran sama Pandu.” Aku seperti tidak percaya dengan apa yang
baru saja aku dengar. Redi menyukaiku, benarkah?
“Jangan bercanda, Red. Nggak lucu!” sebenarnya aku tahu dia tidak bercanda. Dari
cara dia datang tiba-tiba kerumahku sambil membawa buket bunga, sudah cukup
membuktikan niatnya yang serius.
“Aku serius, Yas. Aku mau kita lebih dari sahabat. Aku mau jadi pacar kamu.”
Aku dan Redi kemudian resmi menjalin hubungan. Jujur saja, sebenarnya aku hanya
sedang mencoba membuka hati untuk hubungan yang baru, dan Redi mungkin orang yang
tepat. Dia yang selalu ada untukku sejak dulu. Tidak ada salahnya mencoba hubungan yang
jauh lebih serius dari pada persahabatan.
Sudah 3 bulan berlalu sejak hari dimana Redi memintaku menjadi kekasihnya. Aku
kira hubunganku dan Redi akan berjalan dengan baik. Nyatanya tidak. Redi terlalu banyak
berubah. Ia menjadi sangat overprotektif terhadapku. Melarang ini dan itu. Aku tidak suka.
Menurutku Redi sangat pemalas. Ia bisa seharian bermain game atau mengirimiku
berpuluh-puluh pesan dan telepon yang menurutku tidak penting. Dulu, saat kami masih
bersahabat, aku tidak terlalu mempermasalahkan kebiasaanya itu. Tapi kini, itu benar-benar
mengganggu.
Aku dan Redi duduk di depan teras rumahku. Suasana jadi terasa sangat canggung.
Hari ini aku berencana memutuskan hubungan kami, dan mengembalikannya menjadi
hubungan persahabatan seperti dulu.
“Red, aku rasa kita memang hanya cocok sebagai sahabat. Aku takut permasalahan
dalam hubungan kita saat ini akan menghancurkan persahabatan yang udah kita bangun
bertahun-tahun.”
“Yas, aku ngelakuin semua itu karena aku berusaha membuktikan kalau aku lebih
baik dari Pandu. Aku bisa jauh lebih perhatian dan peduli sama kamu.”
“Tapi itu berlebihan, Red,” ya, menurutku apa yang sudah Redi berlebihan,
perhatiannya, kepeduliannya, dan itu malah membuat aku risi.
“Ternyata selama ini aku salah, Yas. Aku pikir hubungan kamu dan Pandu berakhir
karena itu sepenuhnya salah Pandu. Tapi lihat, walau aku nggak ngulangin hal yang Pandu
lakuin ke kamu, itu malah tetap salah. Kamu selalu ngerasa Pandu terlalu cuek dan nggak
peduli sama kamu, dan sekarang kamu ngerasa kepedualian aku terlalu berlebihan dan
malah buat kamu risi. Sekarang aku bingung, kamu mau pasangan yang bagaimana Yas?
Kamu selalu nyari-nyari kesalahan pasangan kamu. Dan selalu merasa tidak puas dengan
apa yang mereka lakukan. Ini salah, Yas. Kamu salah. Nggak ada pasangan yang bisa
sempurna. Nggak ada manusia yang sempurna. seharusnya kamu bisa menutupi ketidak
sempurnaan itu dengan memberi cinta yang sempurna. Cinta yang menerima pasangan
mereka apa adanya.”
“Red,” jujur, aku tersentak oleh kata-kata Redi. Kata-kata itu benar-benar terasa pas
menusuk jantungku. Aku seperti mengiyakan apa yang dia katakan, walau sebenarnya ada
bagian dari diriku yang merasa tidak terima.
“Kalau kamu mau kita berakhir, baik. Tapi kita nggak mungkin balik lagi kayak
dulu. Aku nggak bisa memulai kembali hubungan yang sudah dirusak.”
Dan ya, setelah kejadian itu. Redi benar-benar menghilang bak ditelan bumi. Lagi-
lagi kisah percintaanku kembali gagal. Aku harus kehilangan dan melupakan lagi. Kini, aku
baru sadar kalau itu semua karena salahku sendiri. Baik Pandu atau pun Redi, aku gagal
mempertahankan hubunganku dengan mereka karena keegoisanku.
Redi benar, aku selalu mencari-cari kesalahan dari setiap pasanganku. Aku tidak
menerima mereka apa adanya. Aku ingin pasanganku sempurna, tapi tidak sadar bahwa aku
juga tidak sempurna. Ketika bersama Pandu yang cuek dan gila kerja, aku tidak mendapat
perhatian seperti yang Redi berikan. Ketika bersama Redi yang overprotektif, aku tidak
mendapat kebebasan seperti yang Pandu berikan. Karena pada dasarnya, tidak ada manusia
yang sempurna, dan aku tidak bisa menuntut pasanganku menjadi orang yang sempurna.
Cinta yang aku berikan kepada Pandu dan Redi ternyata tidak sempurna. Karena itu
aku tidak bisa menerima mereka apa adanya. Kini, aku bahkan tidak dapat berpikir
bagaimana akhir bahagia dari kisah percintaanku. Tapi, kini aku banyak belajar dari
kesalahanku. Aku hanya dapat berdo’a semoga kelak takdir akan menghadirkan cinta yang
sempurna untukku.

Anda mungkin juga menyukai