Anda di halaman 1dari 205

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG


PERIKANAN

PUSAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG


BADAN KEAHLIAN DPR RI
TAHUN
2018

1
SUSUNAN TIM KERJA PENYUSUNAN

NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN UNDANG-


UNDANG

TENTANG PERIKANAN

Pengarah : K. Johnson Rajagukguk, S.H., M.Hum.


Penanggung Jawab : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.
Ketua : Laksmi Harundani S.H., M.Kn.
Wakil Ketua : Zaqiu Rahman, S.H., M.H.
Sekretaris : M. Nurfaik, S.H.I.
Anggota 1. Khopiatuziadah, S.Ag., LL. M.
2. Mohammad Teja, S.Sos., M.Si.
3. Achmad Wirabrata, S.T., M.M.
4. Febri Liany, S.H., M.H.
5. Muhammad Yusuf, S.H., M.H.
6. Meirina Fajarwati, S.H.
7. Dwi Muhammad Dewadji, SSt.Pi., M.Si.
8. Andi Rahman, S.Kel, M.Si.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat


karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan.
Badan Keahlian DPR RI sebagai badan baru yang mempunyai tugas
dan fungsi dukungan keahlian kepada DPR RI sebagaimana diamanatkan
dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014, Peraturan
Presiden Nomor 27 Tahun 2015 Tentang Sekretariat Jenderal dan Badan
Keahlian DPR, Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata
Tertib sebagaimana telah diubah dengan Peraturan DPR RI Nomor 3
Tahun 2015, dan Peraturan Pimpinan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Pelaksanaan Tugas Dukungan Keahlian Badan Keahlian DPR.
Dalam hal legislasi, Badan Keahlian DPR RI memberikan dukungan
keahlian kepada Alat Kelengkapan dan Anggota DPR RI di antaranya
adalah membantu penyiapan Program Legislasi Nasional Prioritas
Tahunan, penyiapan dan penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU
sesuai dengan standar penyusunan RUU sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan serta dukungan keahlian dalam proses
pembahasan RUU.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang ini
merupakan usul inisiatif Komisi IV DPR RI dalam daftar Program Legislasi
Nasional 2014-2019, yang selanjutnya diamanatkan kepada Badan
Keahlian DPR RI untuk disusun naskah akademik dan draf RUU-nya.
Penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan dalam rangka untuk
memberikan penyesuaian dan penyempurnaan atas dinamika
penyelenggaraan perikanan serta kebutuhan hukum yang berkembang di
masyarakat. Selain dari permasalahan tersebut terdapat juga
disharmonisasi antara UU tentang Perikanan dengan undang-undang
sehingga perlu dilakukan perubahan.
Dalam proses penyusunan Naskah Akademik ini, Tim Penyusun
telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku kepentingan
yang terkait dengan penyelenggaraan perikanan, di antaranya
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman, Pengadilan Perikanan, akademisi, dan organisasi
kemasyarakatan pemerhati perikanan. Selain itu, Tim Penyusun juga

ii
melakukan pengumpulan data dan uji konsep ke beberapa provinsi untuk
mendapatkan masukan langsung dari pemangku kepentingan serta
masyarakat, yaitu di Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Kalimantan
Selatan, Provinsi Jawa Timur (Banyuwangi), dan Provinsi Bangka
Belitung.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
Naskah Akademik ini. Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak agar pada penyusunan
Naskah Akademik berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata, kami
harapkan isi dari Naskah Akademik dan Draf RUU tentang Perikanan
dapat menjadi dasar hukum bagi penyelenggaran perikanan di Indonesia.

Jakarta, April 2018

Kepala Badan Keahlian DPR RI,

K. JOHNSON RAJAGUKGUK, S.H., M.HUM.


NIP: 195811081983031006

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat


karunia dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan Naskah Akademik
dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan.
Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang ini disusun
berdasarkan standar operasional yang telah diberlakukan oleh Badan
Keahlian DPR RI, yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari Perancang
Undang-Undang, Peneliti, Tenaga Ahli, dan Kepala Pusat Perancangan
Undang-Undang sebagai penanggung jawab. Penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang ini merupakan usul inisiatif
Komisi IV DPR RI dalam daftar Program Legislasi Nasional 2014-2019,
yang selanjutnya diamanatkan kepada Badan Keahlian DPR RI untuk
disusun naskah akademik dan draf RUUnya.
Penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU ini dilakukan dalam
rangka untuk memberikan penyesuaian dan penyempurnaan atas
dinamika penyelenggaraan perikanan serta kebutuhan hukum yang
berkembang di masyarakat. Selain dari permasalahan tersebut terdapat
juga disharmonisasi antara UU tentang Perikanan dengan undang-
undang lainnya sehingga perlu dilakukan perubahan.
Dalam proses penyusunan Naskah Akademik ini, Tim Penyusun
telah mendapatkan pandangan dan masukan dari pemangku kepentingan
yang terkait dengan penyelenggaraan perikanan, di antaranya
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman, Pengadilan Perikanan, akademisi, dan organisasi
kemasyarakatan pemerhati perikanan. Selain itu, Tim Penyusun juga
melakukan pengumpulan data dan uji konsep ke beberapa provinsi untuk
mendapatkan masukan langsung dari pemangku kepentingan serta
masyarakat, yaitu di Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Kalimantan
Selatan, Provinsi Jawa Timur (Banyuwangi), dan Provinsi Bangka
Belitung.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
Naskah Akademik dan draf Rancangan Undang-Undang ini. Oleh
karenanya, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak agar pada penyusunan Naskah Akademik
berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata, kami harapkan isi dari Naskah
Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan dapat
menjadi dasar hukum bagi penyelenggaran perikanan di Indonesia.

Jakarta, April 2018

Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang

DR. INOSENTIUS SAMSUL, S.H., M.HUM.


NIP 196507101990031007
DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM …………………........……….…………………………………. i


KATA PENGANTAR …………………........……….……………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………........…………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN …………………….......……………………………… 1
A. Latar Belakang …………………………….....…………………………..... 1
B. Identifikasi Masalah ……………………………………………..………… 7
C. Tujuan dan Kegunaan …..…………………………………………………. 8
D. Metode Penyusunan ..................................….………………….……. 8

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS …………………….. 10


A. Kajian Teoretis ………………………………...….……………………….. 10
1. Penguasaan Negara ............................................................... 10
2. Ruang Lingkup Perikanan ………………...………………………… 12
3. Wilayah Pengelolaan Perikanan …………...…………………….… 17
4. Pengakuan Pengelolaan Perikanan Masyarakat Hukum Adat dan
Nelayan Kecil Berbasis Masyarakat ……………………………….. 21
5. Usaha Perikanan ………………………………...………………….... 27
6. Peran Serta Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat/
Tradisional/Kearifan Lokal ..……………………...………………... 31
7. Penegakan Hukum …………………………………...……………….. 39
B. Kajian terhadap Asas/Prinsip dalam RUU Perikanan ……………… 41
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang ada, serta
Permasalahan yang dihadapi Masyarakat ……………..……………. 43
1. Ruang Lingkup ...................…………………………..…………..…. 43
2. Wilayah Pengelolaan Perikanan ……………………...……..……… 44
3. Usaha Perikanan …………………………………….……....……….. 45
a. Akses Kapal Asing ……………………………………...……..…... 45
b. Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Perikanan ……...……….. 46
4. Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan ………………….. 47
5. Pungutan Perikanan …………………………………….....………….. 49
6. Penelitian dan Pengembangan Perikanan serta Pendidikan,
Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan …………………………...........53
7. Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan ..................….........54
8. Pengawasan Perikanan …………………………………………..….........58
9. Peran Serta Masyarakat ...............................................…..............61
10. Pengadilan Perikanan, Penegakan Hukum, dan Sanksi ……...........64
a. Pengadilan Perikanan ...............................................…........ 64

vi
b. Penegakan Hukum ………………………………………………….. 69
c. Sanksi …………………………………………………………………... 70
D. Kajian terhadap Impilkasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara..........................72
1. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat…………………………………………………………………… 72
2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-
Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara ..
75

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


TERKAIT ..………………….................…………………....……………………….. 76
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945)..............................................................................76
B. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU
Perikanan) …………………………………………...………….............................77

C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan


Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam
(UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan).....................................79
D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan
(UU Kelautan).............................................................................................81
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda)....................................................................................86
F. UU Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 (UU
tentang Pengesahan UNCLOS 1982 ………………………………………….. 90
G. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU
Pelayaran)....................................................................................................94
H. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau Kecil
(UU PWP3K).........................................................................................................95
I. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K)..................................96
J. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional
Indonesia (UU TNI)....................................................................................97
K. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia..................................................................................98

viii
L. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

viii
(UU Perairan)...............................................................................................100
M. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan, dan Tumbuhan (UU KHIT) ....................................................... 103
N. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE) .............................. 104
O. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Ekslusif (UU ZEE) ............................................................................. 105
P. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan
(UU Bagi Hasil Perikanan) .................................................................. 107

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ……………. 110


A. Landasan Filosofis …………………………………………………………… 110
B. Landasan Sosiologis …………………………………………………………. 111
C. Landasan Yuridis …………………………………………………………….. 115

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP


MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG ………………………………....…….… 117
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rancangan Undang-
Undang tentang Perikanan …………………………………………………. 117
B. Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Perikanan ………………………. 118
1. Ketentuan Umum ………………………………….....………..….…..… 118
2. Materi yang akan diatur …………………………………………......… 121
a. Penguasaan .................…………………………………..…..…… 121
b. Pengelolaan Perikanan …………………………………..…..…… 121
c. Usaha Perikanan …………………………………………………… 126
d. Konservasi Perikanan ……………………………………………… 133
e. Kapal, Pelabuhan, dan Syahbandar Perikanan …………….. 133
f. Sistem Data dan Informasi Perikanan…………………………. 137
g. Pungutan Perikanan …………………………………………….. 139
h. Penelitian dan Pengembangan perikanan ……………………. 139
i. Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan ……..… 141
j. Kerja Sama Internasional ……………..……………………….... 141
k. Pengawasan Perikanan …………………………………..………. 142
l. Larangan ………………………………………………………....…. 144
m. Pengadilan Perikanan ……………………………….………….. 146
n. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang
Pengadilan Perikanan ……………………………………..……… 146

ix
o. Ketentuan Pidana…………………………………………………… 151
p. Ketentuan Peralihan…………………………………………………. 155
q. Ketentuan Penutup ……………………………………………….... 155

BAB VI PENUTUP …………………………………………………...........………… 157


A. Kesimpulan ……………………………………………………………............. 157
B. Saran ………………………………………………………...……….........…... 158

DAFTAR PUSTAKA
NA RUU Perikanan, Senin 2 April 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
dengan 17.504 pulau, luas daratan 1.922.570 km2, dan luas perairan
laut 5,8 juta km² terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta km2, luas
perairan kepulauan 2,95 juta km², dan luas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) 2,55 juta km2. Secara geo politik, Indonesia
memiliki peran yang sangat strategis karena berada di antara benua
Asia dan Australia, serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia, yang menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia
dalam konteks perdagangan global (the global supply chain system)
yang menghubungkan kawasan Asia Pasifik dengan Australia. 1
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia Indonesia memiliki luas
wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2 yang memiliki
keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat
besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau perairan laut Indonesia
sebesar 7,2 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan sebesar 7,0 juta ton/tahun.2
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, memiliki
kekayaan alam sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya
alam (SDA) terbarukan (perikanan, terumbu karang, padang lamun,
hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi),
SDA tak terbarukan3, energi kelautan (seperti pasang-surut,
gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion),
maupun jasa- jasa lingkungan kelautan dan pulau-pulau kecil untuk
pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati
serta plasma nutfah. Kekayaan alam tersebut menjadi salah satu
modal dasar yang

1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor


25/Permen-KP/2015 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan Dan
Perikanan Tahun 2015-2019
2 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 47/Kepmen-KP/2016 Tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan
Yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indones

1
NA RUU Perikanan, Senin 2 April 2018
3 Yang dimaksud dengan sumber daya alam tak terbarukan seperti minyak
dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya).

2
harus dikelola dengan optimal untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia.4
Selama berabad-abad ekstraksi sumber daya ikan menjadi
sumber ketahanan pangan, penghidupan, dan budaya masyarakat
kelautan dan pesisir dan kini ikan menjadi komoditas penting dunia.5
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan
kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan
ikan terus menerus meningkat setiap tahunnya. 6 Dengan semakin
meningkatnya kebutuhan pangan dari sektor perikanan maka dapat
dikatakan bahwa permintaan produk perikanan meningkat 20 kali
lipat selama 30 tahun terakhir dan diproyeksikan akan terus
meningkat dengan rata-rata 1.5% per tahun sampai dengan tahun
2020.7
Menurut data Food and Agriculture Organization of The
United Nations (FAO) diketahui bahwa total produksi perikanan
pada tahun 2014 sebesar 93.4 juta ton, dimana 81.5 juta ton
berasal dari laut Cina dan kemudian diikuti oleh Indonesia, Amerika
Serikat, dan Rusia. Dari data FAO tahun (2016) diketahui bahwa
total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2014 sebesar
93.4 juta ton, sedangkan untuk perikanan budidaya sebesar 73.8 juta
ton.8 Untuk konsumsi perikanan tangkap dunia dari Tahun 2013
sampai dengan tahun 2015 sebesar 50%, sedangkan untuk konsumsi
perikanan budidaya dunia sebesar 50%.9 Dari data diatas maka
diketahui bahwa perikanan tangkap menjadi sumber produksi ikan
yang utama di dunia.
Dari Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kelautan dan
Perikanan Tahun 2015-2019 diketahui bahwa Potensi lestari
sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 7,3 juta ton per
tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan
ZEEI.

4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor

25/Permen-KP/2015, Loc. Cit.


5 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi, Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2013, Hal 75


6 Johanes Widodo dan Suadi, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008, Hal 1


7 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi, Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2013, Hal 75


8 Food and Agriculture Organization of The United Nations, In Brief The State
Of World Fisheries and Aquaculture, 2016, Hal 8
9 Ibid., hal.20.
Dari seluruh potensi sumberdaya ikan tersebut, jumlah tangkapan
yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,8 juta ton per tahun atau sekitar
80 persen dari potensi lestari, dan baru dimanfaatkan sebesar 5,4
juta ton pada tahun 2013 atau baru 93% dari JTB, sementara total
produksi perikanan tangkap (di laut dan danau) adalah 5,863 juta
ton.10
Dapat diketahui pula bahwa laut Indonesia memiliki sekitar
8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota
terumbu karang. Sumber daya ikan di laut meliputi 37% dari species
ikan di dunia, dimana beberapa jenis di antaranya mempunyai nilai
ekonomis tinggi, seperti tuna, udang, lobster, ikan karang, berbagai
jenis ikan hias, kekerangan, dan rumput laut.11
Selain untuk perikanan tangkap, pengelolaan perikanan
Indonesia juga dipergunakan untuk perikanan budidaya. Dari data
yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan maka
diketahui bahwa budidaya ikan di Indonesia terdiri dari beberapa
jenis yaitu budidaya air tawar, budidaya air payau, budidaya laut,
dan budidaya rumput laut. Untuk potensi luas areal budidaya air
tawar saat ini tercatat 2.830.540 Ha, termasuk potensi di perairan
umum daratan (sungai dan danau), dengan tingkat pemanfaatan
302.130 Ha (10,7%).12 Sedangkan luasan potensial budidaya air
tawar di waduk dan danau sebesar 51.824 Ha. Untuk potensi luas
areal budidaya air payau saat ini tercatat 2.964.331 Ha, dengan
tingkat pemanfaatan 650.509 Ha (21,9%).13 Disamping itu juga
diketahui bahwa potensi luas areal budidaya laut di Indonesia saat ini
tercatat
12.123.383 Ha, dengan tingkat pemanfaatan 325.825 Ha (2,7%).
Sedangkan potensi luas areal budidaya rumput laut saat ini tercatat
1,1 juta Ha atau 9% dari seluruh luas kawasan potensial budidaya

10 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia


Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc.Cit.
11 Tingkat pemanfaatan rumput laut diperkirakan baru mencapai 25%.
Adapun jenis rumput laut yang dimiliki Indonesia tercatat 555 jenis rumput laut.
Beberapa kendala dalam pengembangan budidaya rumput laut adalah terkait
kualitas bibit rumput laut, penyakit, akses pasar serta tata niaga produk.
12 Kecilnya pemanfaatan potensi budidaya air tawar disebabkan karena

belum terkelolanya secara optimal potensi tersebut akibat tumpang tindihnya


pemanfaatan potensi lahan budidaya air tawar, serta belum terbukanya secara
mudah akses menuju kawasan potensil budidaya air tawar tersebut.
13 Kecilnya pemanfaatan potensi budidaya air payau disebabkan karena

pengelolaan kawasan potensial budidaya air payau masih berada/ bersinggungan


dengan kawasan mangrove, sehingga pemanfaatan potensi lahan budidaya air
tersebut harus sejalan dengan kebijakan pengelolaan hutan mangrove.
laut yang sebesar 12.123.383 Ha. Adapun tingkat pemanfaatannya
diperkirakan baru mencapai 25%.14
Berdasarkan data yang dirilis Food and Agriculture
Organization (FAO) maka diketahui bahwa Asia merupakan
produsen ikan terbesar dunia. Produksi perikanan tangkap terbesar
dunia pada tahun 2014 yaitu Cina, Indonesia, Amerika Serikat,
Russia, Jepang, Peru, India, Vietnam, Myanmar, dan Norwegia.
Sedangkan untuk 10 negara dengan produksi perikanan budidaya
terbesar pada tahun 2014 yaitu Cina, Indonesia, India, Vietnam,
Filipina, Bangladesh, Korea Selatan, Norwegia, Chile, dan Mesir. 15
Dari data di atas diketahui bahwa Indonesia menempati urutan
kedua setelah Cina terkait dengan produksi perikanan tangkap
terbanyak di dunia dengan jumlah produksi sebesar 6.016.525 ton
pada tahun 2014, dan perikanan budidaya sebesar 14.330.9 ribu ton
pada tahun 2014.16
Untuk produksi perikanan Indonesia pada tahun 2014
mencapai 20,72 juta ton, yang terdiri dari produksi perikanan
tangkap sebesar 6,72 juta ton dan produksi perikanan budidaya
sebesar 14,52 juta ton (termasuk rumput laut). 17 Ekspor hasil
perikanan tahun 2014 mencapai USD 4,64 miliar. Capaian nilai
ekspor tersebut didominasi oleh nilai ekspor komoditas udang yang
mencapai USD 2,09 miliar dan diikuti oleh komoditas Tuna Tongkol
Cakalang (TTC) sebesar USD 0,69 miliar pada tahun 2014.
Konsumsi ikan pada tahun 2014 mencapai 37,89 kg/kapita. 18 Produk
Domestik bruto (PDB) yang didapatkan dari sektor Perikanan pada
tahun 2014 tumbuh sebesar 6,97%. Angka tersebut lebih tinggi dari
pertumbuhan PDB nasional yang besarnya 5,1%. Jika dilihat dari
besaran nilai ekonominya, PDB Perikanan tahun 2014 mencapai Rp.
340,3 triliun. Angka ini belum termasuk PDB dari industri
pengolahan dan kegiatan perikanan lainnya disektor hilir. 19
Sedangkan pertumbuhan

14 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor


25/Permen-KP/2015, Loc Cit.
15 Food and Agriculture Organization of The United Nations, Op. Cit., 10-11.
16 Ibid., hal.9-11.
17 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc. Cit.
18 Ibid.
19 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Nomor 25/Permen-KP/2015, Loc. Cit.


PDB sektor perikanan pada akhir tahun 2015 mengalami kenaikan
menjadi 8,9 %.20
Potensi perikanan yang sangat besar di Indonesia menjadi
modal yang sangat besar untuk mencapai tujuan negara yaitu
memajukan kesejahtaraan bagi masyarakat. Saat ini regulasi yang
mengatur koridor penyelenggaraan perikanan dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 (yang selanjutnya disebut UU Perikanan). Pada dasarnya UU
Perikanan ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya ikan secara
lestari melalui penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengolahan
dan pemasaran hasil perikanan, dan meningkatkan ekspor, serta
meningkatkan taraf hidup nelayan.
Namun dalam praktiknya timbul permasalahan terkait dengan
keberlakuan UU Perikanan yaitu dengan banyaknya praktik-praktik
Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing yang terjadi di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
(WPPNRI), baik yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan Indonesia
(KII) maupun oleh kapal-kapal perikanan asing menyebabkan
kerugian baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun
ekonomi. Namun saat ini UU Perikanan belum mengakomodir
ketentuan mengenai IUU Fishing sehingga banyak sekali kasus IUU
Fishing yang terjadi di Indonesia.21
Dalam penyelenggaraan perikanan masih banyak terdapat
konflik yang dialami nelayan misalnya seperti konflik yang terjadi di
wilayah perbatasan antara nelayan Indonesia dengan nelayan asing,
konflik yang disebabkan oleh pembagaian wilayah tangkapan
dimana banyak sekali kapal penangkapan ikan dari pihak asing yang
melakukan pemanfaatan perikanan di wilayah perairan Indonesia,
hal ini disebabkan karena belum optimalnya rencana tata ruang dan
rencana zonasi dalam sektor perikanan untuk perikanan tangkap.

20 Antara, PDB Sektor Perikanan Makin Tumbuh pada Triwulan I 2016


, https://m.tempo.co/read/news/2016/04/04/090759733/pdb-sektor-perikanan-
makin-tumbuh-pada-triwulan-i-2016, diakses tanggal 30 September 2016.
21 Dalam Renstra Kerugian negara akibat dari IUU fishing di perairan Arafura

diperkirakan mencapai Rp 11–17 triliun. Estimasi kerugian negara-negara di dunia


akibat IUU fishing mencapai US$ 10–23,5 miliar.
Keterbatasan armada penangkapan ikan yang masih
didominasi oleh kapal berukuran kecil menjadi suatu permasalahan
yang dialami oleh nelayan, karena hal ini menyebabkan jangkauan
wilayah penangkapan ikan menjadi terbatas sehingga jumlah
tangkapan yang didapat menjadi sedikit. Permasalahan lain yang
sering dihadapi nelayan yaitu dalam proses perizinan baik perizinan
usaha penangkapan ikan maupun perizinan kapal perikanan. Dalam
praktiknya terdapat banyak permasalahan yang dialami oleh
pembudidaya perikanan seperti tumpang tindihnya pemanfaatan
lahan; terbatasnya prasarana saluran irigasi; terbatasnya
ketersediaan serta distribusi induk dan benih unggul; tingginya harga
pakan menyebabkan hasil dari budidaya ikan masih belum
maksimal; serangan hama dan penyakit ikan/udang; adanya
pencemaran yang mempengaruhi kualitas lingkungan perikanan
budidaya.
Jika melihat lingkup pengaturan dalam UU Perikanan saat ini
lebih menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan
pengaturan perikanan budidaya dirasa belum komprehensif.
Sehingga dalam praktiknya perikanan budidaya membutuhkan
pengaturan yang lebih komperhensif mengingat potensi dan
pengembangannya perikanan budidaya ke depan akan semakin
signifikan. Di samping itu penggunaan sumberdaya kelautan dan
perikanan yang belum memperhatikan kearifan lokal menjadi salah
satu dampak yang diakibatkan karena hal tersebut yaitu kerusakan
lingkungan laut dan pencemaran laut, pencurian ikan (illegal fishing)
dan gejala penangkapan ikan yang berlebihan. Lemahnya
kemampuan nelayan dalam melakukan pemasaran produk juga
menjadi salah satu kendala dalam pengembangan usaha nelayan
untuk menjadi usaha yang maju.
Sampai saat ini penyidikan dalam kasus perikanan sebagian
besar terfokus untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan
terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak
pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang
terjadi di perairan territorial. Penjatuhan sanksi pidana yang terdapat
dalam UU Perikanan belum memberikan efek jera terhadap tindak
pidana di bidang perikanan. Sedangkan ketentuan pengaturan
mengenai keterlibatan masyarakat dalam sektor perikanan dalam UU
Perikanan masih sangat terbatas yakni hanya pada pengawasan
perikanan.22
Hal lain yang menyebabkan perlunya dilakukan perubahan
terhadap UU Perikanan yaitu dengan diterbitkannya beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan maka
perlu dilakukan sinkronisasi kewenangan pemerintah dan
pemerintah daerah dibidang perikanan terkait dengan keberlakuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah, sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Petambak Garam, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan, dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Dengan uraian permasalahan di atas, perlu dilakukan
penyempurnaan dalam UU Perikanan. Oleh karena itu, DPR RI
bersama dengan Pemerintah Pusat telah menetapkan RUU tentang
Perubahan Kedua Atas UU Perikanan masuk dalam agenda Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019 dengan nomor urut
68.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat
permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan
penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan teori tentang penyelenggaraan
perikanan Indonesia serta bagaimana praktik empiris
penyelenggaraan perikanan Indonesia?
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan perikanan saat ini?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dari pembentukan RUU tentang
Perikanan?

22 Keterlibatan masyarakat dalam Pengawasan Perikanan hanya sebatas


melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila terdapat dugaan telah terjadi
tindak pidana di bidang perikanan.
4. Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah pengaturan, dan
materi muatan yang perlu diatur dalam RUU tentang Perikanan?

C. Tujuan dan Kegunaan


Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai berikut:
1. mengetahui perkembangan teori tentang penyelenggaraan
perikanan dan praktik empiris serta urgensi pembentukan
undang undang tentang perikanan dalam menjawab kebutuhan
hukum guna mewujudkan tata kelola perikanan yang lebih baik;
2. mengetahui kondisi peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penyelenggaraan perikanan saat ini;
3. merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan RUU tentang Perikanan;
4. merumuskan sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan,
arah pengaturan, dan materi muatan dalam RUU tentang
Perikanan.
Naskah Akademik RUU tentang Perikanan diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan bagi penyusunan draf RUU tentang
Perikanan yang akan menggantikan (seluruh atau sebagian materi
muatan) UU Perikanan.

D. Metode Penyusunan
Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perikanan
dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan menelaah
berbagai data sekunder seperti hasil-hasil penelitian atau kajian,
literatur, serta peraturan perundang-undangan terkait baik di tingkat
undang-undang maupun peraturan pelaksanaan dan berbagai
dokumen hukum terkait.
Guna melengkapi studi kepustakaan dan literatur dilakukan
pula diskusi (focus group discussion) dan wawancara dengan
mengundang beberapa pakar serta kegiatan uji konsep dihadapan
berbagai stakeholder, pakar, akademisi, maupun LSM, serta dengan
melakukan pencarian dan pengumpulan data lapangan ke 4 (empat)
daerah yaitu Provinsi Maluku, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi
Kepulauan Riau, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Adapun
stakeholder yang memberikan masukan dalam penyusunan NA dan
RUU ini adalah:
a. Kementerian Kelautan dan Perikanan,
b. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi;
c. Pelabuhan Perikanan;
d. Pengadilan Perikanan;
e. Polisi Perairan;
f. Universitas (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Fakultas
Hukum); dan
g. LSM (HNSI/KIARA/TELAPAK).
Data yang diperoleh dari masukan pakar, maupun data yang
berasal dari pencarian dan pengumpulan data lapangan selanjutnya
diolah dan dirumuskan dalam format Naskah Akademik dan draf
RUU sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
khususnya Lampiran I mengenai teknik penyusunan Naskah
Akademik dan Lampiran II tentang perancangan peraturan
perundang-undangan.
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoretis
1. Penguasaan Negara
Sumber daya perikanan Indonesia merupakan sumber daya
alam Indonesia yang harus dikuasai negara sesuai dengan amanat
Pasal 33 UUD 1945. Dalam memahami konsep ‘Penguasaan Negara’
atau ‘Dikuasai oleh Negara’, terdapat beberapa pendapat. Hal ini
tercatat seperti yang disampaikan oleh Menteri Negara BUMN dalam
keterangan tertulis di sidang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa bentuk ‘Penguasaan Negara’ tersebut dinyatakan dengan
bentuk Negara bertindak sebagai regulator, fasilitator dan operator
yang secara dinamis akan menuju Negara hanya sebagai regulator
dan fasilitator. Namun menurut Prof. Harun Al rasyid, konsep
Penguasaan Negara diartikan sama dengan Negara memiliki.
Perbedaan mengenai peran negara dalam mengelola aset tersebut
jelas terlihat. Mahkamah konstitusi menyatakan bahwa definisi
Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 lebih besar dari
konsep kepemilikan dalam hukum perdata dan sikap pemerintah
yang bertindak hanya sebagai regulator, fasilitator, dan operator.
Dalam konsep hukum publik, Penguasaan Negara berarti kedaulatan
rakyat menjadi dasar dari timbulnya penguasaan Negara. Negara
merefleksikan kedaulatan rakyat sehingga mengandung kepemilikan
publik, rakyat secara kolektif adalah penguasa dari apa yang
diamanatkan dalam konstitusi. Jika Penguasaan Negara diartikan
sebagai kepemilikan hukum secara perdata maka akan mendegradasi
konsep kepemilikan publik tersebut. Definisi Penguasaan Negara
hanya sebatas sebagai pengatur, fasilitator dan pengawas saja tidak
sesuai dan mendegradasi konsep yang sebenarnya23.
Sebagai kesimpulan, kata “dikuasai oleh Negara” haruslah
dimaknai sebagai usaha penguasaan Negara terhadap segala sumber
kekayaan-kekayaan yang berasal dari konsep kedaulatan rakyat.
Kekayaan tersebut mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yan

23Penerjemahan konsep sesuai Putusan MK Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 dimuat dalam


berita negara Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2004, 21 Desember 2004. Konsep dari
Penguasaan Negara yang menjadi referensi mengacu pada putusan tersebut. Pemaknaanya
akan menentukan peran negara di mata rantai bisnis Migas bumi.
terkandung di Indonesia. Oleh karena itu, secara kolektif, UUD 1945
memberikan mandat kepada Negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Konsep “Penguasaan Negara” yang digunakan
mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 001-021-022/PUU-
I/2003 yang dimuat dalam berita negara Republik Indonesia Nomor
102 Tahun 2004, 21 Desember 2004, yang menyatakan bahwa
implementasi konsep “Penguasaan Negara” harus ditunjukan dengan
Negara melakukan kelima fungsi berikut secara bersamaan yaitu:
a. Penyusunan kebijakan (Beleid);
b. Pengurusan (Bestuursdaad);
c. Pengaturan (Regelendaad);
d. Pengelolaan (Beheersdaad);
e. Pengawasan (Toezichthoudensdaad).

Untuk dinyatakan terimplementasikannya konsep ‘Penguasaan


Negara’, kelima fungsi tersebut tidak boleh terpisahkan atau hilang
salah satunya. Seluruhnya harus dilaksanakan oleh Negara.
Penjelasan singkat mengenai kelima fungsi tersebut yaitu:
a. Fungsi kebijakan (Beleid) oleh Negara yaitu berarti Negara yang
menetapkan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya perikanan;
b. Fungsi pengurusan (Bestuursdaad) oleh Negara berarti dilakukan
melalui pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan
dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie) dan
konsesi (Concessie).
c. Fungsi pengaturan oleh Negara (Regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah.
d. Fungsi pengelolaan (beheersdaad), Pemerintah mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk
digunakan sebagai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
e. Fungsi pengawasan oleh Negara (Toezichthoudensdaad) dilakukan
oleh Negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan
mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas
cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat
hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.

Dari penjelasan tersebut jelas dinyatakan beberapa hal untuk


menjadi perhatian dalam penyusunan usulan penyesuaian UU
Perikanan yaitu:
a. Pemerintah menentukan kebijakan terhadap bentuk pengelolaan
perikanan Indonesia (aspek Penyusun Kebijakan)
b. Pemerintah mengeluarkan Izin terkait dengan pengelolaan
perikanan Indonesia (aspek Pengurusan);
c. Pemerintah mengeluarkan aturan operasional pengelolaan
perikanan (aspek Pengaturan);
d. Peran dominan dan keterlibatan dari Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam kegiatan pengelolaan perikanan
Indonesia (aspek Pengelolaan);
e. Seluruh kegiatan yang dilakukan, diawasi oleh Pemerintah
sehingga dipastikan untuk menciptakan sebesar-besar
kemakmuran rakyat (aspek Pengawasan);

Implementasi seluruh peran tersebut harus terefleksi dalam


pengelolaan perikanan dan mekanisme pengelolaan perikanan yang
dibentuk dalam UU Perikanan.

2. Ruang Lingkup Perikanan


Ruang lingkup perikanan dapat diklasifikasikan menjadi: 1).
Produksi (perikanan tangkap dan perikanan budidaya), dan 2). Pasca
produksi (pengolahan dan pemasaran). Namun yang ditekankan
dalam materi ini adalah aspek produksi perikanan tangkap dan
produksi perikanan budidaya. Kita ketahui bahwa penangkapan ikan
adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya.24
Untuk produksi perikanan tangkap Indonesia baik di laut
ataupun di perairan umum daratan menunjukkan kecenderungan

24 Menurut UU No. 31 Tahun 2004.


yang stagnasi, dengan total produksi usaha perikanan tangkap masih
memberikan sumbangan produksi yang terbesar, sedangkan sisanya
berasal dari usaha perikanan budidaya. Terlihat produksi perikanan
tangkap di tahun 2015 sebanyak 6,52 juta ton atau 103,51% dari
target sebesar 6,30 juta ton. Dengan komposisi produksi dari
perairan laut sebesar 6.07 juta ton atau 93,02%, dan dari perairan
umum sebesar 0,46 juta ton atau 6,98% dengan jenis ikan hasil
tangkapan di perairan laut sebagian besar adalah jenis ikan cakalang
(skipjack tuna), layang (scad), kembung (short-bodied mackerel),
madidihang (yellowfin tuna) dan tongkol krai (frigate tuna),
sedangkan di perairan umum didominasi oleh ikan jenis gabus
(snakehead murrel), baung (asian redtail catfish), nila (nile tilapia),
lele (walking catfish) dan patin jambal (cat fishes).25
Stagnasi produksi perikanan tangkap diantaranya disebabkan
oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang melebihi daya dukungnya,
penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan
lingkungan khususnya di kawasan pemijahan dan asuhan ikan, serta
kerusakan lingkungan perairan yang diakibatkan oleh pencemaran.
Sementara Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)
memperkirakan penangkapan ikan sudah berlebih (overfishing)
hingga 75% dari perikanan laut dunia, dengan stok yang tersisa
hanya 25% dari sumber daya yang masih berada pada kondisi
tangkap kurang (FAO, 2002). Apabila sumber daya perikanan
mengalami penurunan, maka stok ikan membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan
kebijakan penghentian operasi kapal bekas asing sebagaimana dalam
peraturan menteri.
Jika kebijakan pengelolaan perikanan tangkap baik maka
akan memberikan efek domino pada kelestarian sumber daya ikan
(SDI). Namun jika penggunaan teknologi penangkapan modern
dengan teknik pendeteksian tidak dikontrol maka dapat
membahayakan SDI itu sendiri, dengan kata lain generasi yang akan
datang kurang menikmati dan memperoleh manfaat dari SDI
tersebut. Faktor pendorong peningkatan kuantitas dan kualitas
sarana dan prasarana penangkapan ikan menggunakan armada

25 Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015.


13
kapal dan alat tangkapnya mempunyai andil besar. Untuk itu,
Indonesia perlu memegang kode etik perikanan yang bertanggung
jawab (The Code of Conduct for Responsible Fisheries) agar potensi
perikanan tidak rusak dan punah. Hal ini juga sesuai dengan
kesepakatan asas dan standar internasional dalam menjamin
terlaksananya aspek konservasi dan keanekaragaman hayati. Berikut
hal-hal yang melatar belakangi kesepakatan Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) internasional, yaitu:
• keprihatinan para pakar perikanan dunia terhadap SDI yang
tidak terkendali;
• issue lingkungan;
• Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing;
• ikan sebagai sumber pangan dunia;
• pengelolaan SDI tidak berbasis masyarakat dan lingkungan, serta
tidak mencakup konservasi; dan
• dukung konferensi Internasional perikanan.
Untuk itu, pemanfaatan sumber daya ikan harus dilakukan
secara rasional yaitu dengan memperhatikan daya dukungnya
sehingga stok, populasi, dan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE)
dapat terjaga. Mengingat sumber daya perikanan tangkap bersifat
unik dan berbeda dengan sumber daya lainnya karena selalu
bergerak (mobile) dan bersifat buruan. Pendekatan potensi lestari
menggunakan metode Maximum Sustainable Yield (MSY), saat ini
dirasa kurang tepat digunakan karena bersifat tidak stabil. Berbeda
dengan penggunaan Maximum Economic Yield (MEY), yang dirasa
lebih tepat karena lebih ramah lingkungan (conservative mainded)
dan dapat dilihat dengan kasat mata, dimana MEY dihitung
berdasarkan jumlah upaya penangkapan (effort) armada
penangkapan. Selain model MEY, model bioekonomi juga
merupakan model yang dapat digunakan dalam penyelesaian
pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia. Berdasarkan model ini
akan dapat dikeluarkan kebijakan yang tepat, karena bersifat
gabungan atau multispesies. Oleh karena itu, pendekatan
multispesies sangat penting, mengingat potensi keanekaragaman
Indonesia sangat tinggi dan penangkapan perikanan juga semakin
tinggi.
Sementara untuk potensi budidaya laut Indonesia juga tidak
kalah besarnya, diperkirakan dalam 5 km dari garis pantai ke arah
laut, potensi lahan diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi
kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung wilayah barat
Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia, dengan
komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan antara lain ikan
kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan
abalone serta rumput laut.26
Jika melihat dari definisi pembudidayaan ikan, yaitu sebagai
kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan
ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya,27 untuk pemanenan ikan dilakukan
setelah kegiatan penyiapan wadah (pemupukan, pengapuran, dan
pemberantasan hama) penebaran benih, pemberian pakan,
pengelolaan air, penanggulangan/ pemberantasan hama dan
penyakit, serta pemantauan pertumbuhan dan populasi.
Capaian produksi perikanan budidaya di Indonesia di tahun
2015 mencapai 17.467.037 ton atau tercapai 97,58% dari target
17.900.000 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 121.625 miliar.
Selama kurun waktu 2011-2015, produksi perikanan budidaya
memperlihatkan tren yang positif dengan kenaikan rata-rata sebesar
22,17. Sedangkan jika melihat prosentase kenaikan produksi tahun
2014-2015 sebesar 21,64%. Bahkan pada tahun 2013 capaian
produksi Indonesia sebesar 13.300.906 ton. Capaian tersebut
menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan budidaya terbesar
kedua setelah China (FAO, 2015).28
Perikanan masa depan tampaknya akan banyak menggunakan
pola integrasi, baik antara akuakultur dengan pengolahan maupun
antara akuakultur dengan perikanan tangkap, ataupun integrasi
ketiganya. Integrasi yang sudah dilakukan di masyarakat walaupun
tidak disengaja adalah perikanan tangkap berbasis budidaya,
contohnya benih yang dimasukkan ke dalam perairan adalah benih
yang tidak laku dijual maupun benih yang produksinya berlebih. Hal

26 R. Dahuri, Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui Sektor


Perikanan dan Kelautan, LISPI: Jakarta, 2002.
27 Menurut UU No. 31 tahun 2004.
28 Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2015.
ini dilakukan oleh banyak perusahaan pembenihan udang, kerapu,
dan bandeng yang secara sukarela melakukan stocking di perairan
sekitarnya. Contoh lain untuk integrasi antara kegiatan akuakultur
dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking dengan cara
menebar benih ikan di perairan (danau, waduk, sungai, teluk, rawa)
yang bertujuan meningkatkan stok (stock enhancement). Penerapan
di Jepang, negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Cina
kegiatan restoking sudah menjadi kegiatan komersial, bukan sekedar
kegiatan konservasi dan sosial. Untuk integrasi budidaya dengan
pengolahan, komoditas patin dan ikan nila yang mencapai ukuran 1
kg/ekor dapat dipisahkan daging dari tulangnya (deboning) untuk
dijadikan bahan baku industri makanan (fillet).29
Beberapa faktor yang mendukung integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya, antara lain:
a. Lokasi geografis Indonesia yang strategis, yang memungkinkan
akses jasa, produk perikanan dan kelautan ke berbagai bagian
dunia;
b. Kawasan perairan laut yang sangat luas, serta iklim tropik yang
memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut berbagai ikan
dan jenis kehidupan air lainnya;
c. Jumlah penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang
relatif banyak merupakan faktor pendukung pengembangan
perikakan tangkap berbasis budidaya;
d. Adanya sistem ekonomi terbuka yang telah memungkinkan
keikutsertaan negara dalam zona perdagangan bebas regional,
sehingga menyediakan peluang yang lebih besar untuk
memasukkan produk perikanan Indonesia ke pasar global dan
regional;
e. Adanya sertifikasi sistem pengendalian mutu yang telah diakui
masyarakat dunia, sehingga dapat menjamin mutu produk
perikanan Indonesia di pasar ekspor;
f. Adanya peningkatan permintaan ikan yang merupakan hasil
perubahan kecenderungan dalam pola konsumsi makanan dunia.

29 Effendi, Pengantar Akuakultur, Penebar Swadaya: 2004.


Saat ini perikanan budidaya tidak hanya berperan menopang
pemenuhan kebutuhan bahan pangan berupa protein hewani, akan
tetapi juga dalam menyediakan bahan baku bio-industri, dan upaya
pelestarian spesies ikan yang terancam punah (endangered species).
Dalam pelestarian fungsi lingkungan perairan, para pembudidaya
ikan dapat menjadi ”pengamanan swakarsa” dari ancaman perusak
lingkungan seperti: pengebom dan penggunaan racun dalam kegiatan
penangkapan ikan; pembuangan limbah industri ke perairan;
penambangan karang. Untuk lahan pantai berpasir yang tidak dapat
dimanfaatkan untuk pertanian dapat digunakan untuk tambak
udang dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down
concrete.
Model integrasi perikanan telah diadopsi banyak negara
penghasil produk perikanan utama dunia seperti: China, Thailand,
Vietnem, Philipina, Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri
Lanka. Kegiatan tersebut juga sudah diterapkan di Lebak-Lebung di
Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat, Sasi di Maluku
dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat dengan pendekatan kearifan
lokal (local wisdom). Namun sebagian kearifan lokal tersebut telah
memudar atau kurang efektif karena pengaruh modernisasi dan
globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna
meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan
tangkap berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk
dikembangkan melalui wadah kelembagaan (organisasi) yang
merumuskan penetapan wilayah, penentuan jenis ikan yang akan
ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian penangkapan,
monitoring dan pengawasan.

3. Wilayah Pengelolaan Perikanan


Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia atau sering disingkat dengan WPP NKRI merupakan
wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, konservasi,
penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial, zona tambahan, dan
ZEEI. Awalnya penentuan WPP NKRI didasarkan pada daerah
tempat ikan hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan
perikanan menjadi 9 WPP NKRI, sebagai berikut:
1. Selat Malaka meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Riau.
2. Laut Cina Selatan meliputi Provinsi Kepulauan Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat.
3. Laut Jawa meliputi Provinsi Lampung, Banten, Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan.
4. Laut Flores dan Selat Makassar meliputi Provinsi Bali, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara.
5. Laut Banda meliputi Provinsi Maluku.
6. Laut Arafura meliputi Laut Aru, dan Laut Timur Timor meliputi
Provinsi Papua.
7. Laut Seram dan Teluk Tomini meliputi Teluk Tomini dan Laut
Seram meliputi Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan
Papua Barat.
8. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik meliputi Provinsi Gorontalo,
Sulawesi Utara, Papua dan Kalimantan Timur.
9. Samudera Hindia meliputi Provinsi Aceh,Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara
Barat.

Namun penentuan WPP NKRI berdasarkan metode tersebut


sudah tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan terkait
pemantauan potensi SDI. Hal itu dikarenakan dasar dalam
penentuan 9 (sembilan) WPP NKRI berdasarkan tempat pendaratan
ikan. Oleh karena itu, dalam rangka pengelolaan sumberdaya
perikanan yang berkelanjutan, Komisi Nasional Pengkajian
Sumberdaya Ikan (KOMNASJISKAN) melakukan revisi WPP-NRI
dari 9 WPP-NRI menjadi 11 WPP-NRI. Penentuan 11 WPP-NRI
mengacu kepada FAO (Food and Agriculture Organization of The
United Nations) dimana penomoran dan pembagian wilayah
pengelolaan sudah sesuai standar internasional FAO.
Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia telah menetapkan pembagian WPP menjadi 11
WPP yaitu:

18
1. WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman.
2. WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat
Sumatera dan Selat Sunda.
3. WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan
Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut
Timor bagian Barat.
4. WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan
Laut China Selatan.
5. WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa.
6. WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut
Flores, dan Laut Bali.
7. WPP-RI 714 Meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda.
8. WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut
Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau.
9. WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara
Pulau Halmahera.
10. WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera
Pasifik.
11. WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut
Timor bagian Timur.

Gambar Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia


Adapun dasar dari penomoran WPP NKRI di Indonesia adalah
mengacu kepada pengaturan “Fisheries Area” dari FAO. Di Indonesia
sendiri, masuk kedalam Fishing Area 57 (Indian Ocean, Eastern) dan
71 (Pacific, Western Central) dari 19 Fishing Areas yang ada di dunia.
Berikut 19 Fishing Areas berdasarkan FAO:
1. Area 18 (Arctic Sea)
19
2. Area 21 (Atlantic, Northwest)
3. Area 27 (Atlantic, Northeast)
4. Area 31 ( Atlantic, Western Central)
5. Area 34 (Atlantic, Eastern Central)
6. Area 37 (Mediterranean and Black Sea)
7. Area 41 (Atlantic, Southwest)
8. Area 47 (Atlantic, Southeast)
9. Area 48 (Atlantic, Antarctic)
10. Area 51 ( Indian Ocean, Western)
11. Area 57 (Indian Ocean, Eastern)
12. Area 58 (Indian Ocean, Antarctic and Southern)
13. Area 61 (Pacific, Northwest)
14. Area 67 (Pacific, Northeast)
15. Area 71 (Pacific, Western Central)
16. Area 77 (Pacific, Eastern Central)
17. Area 81 (Pacific, Southwest)
18. Area 87 (Pacific, Southeast)
19. Area 88 (Pacific, Antarctic)
Indonesia sendiri tercakup dalam dua fishing areas, yaitu Area
57 dan Area 71. Untuk Major Fishing Area 57, yang terdiri dari
1. Bay of Bengal (Subarea 57.1)
2. Northern (Subarea 57.2)
3. Central (Subarea 57.3)
4. Oceanic (Subarea 57.4)
5. Western Australia (Subarea 57.5)
6. Southern Australia (Subarea 57.6)
Dimana perairan Indonesia termasuk ke dalam Subarea 57.1
dan 57.2.
Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No
45/2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia, maka estimasi potensi
SDI Indonesia adalah 6,520 juta ton dengan distribusi tingkat
eksploitasi yang berbeda-beda menurut WPP, dengan tingkat
eksploitasi terbagi menjadi 4 kategori yaitu over exploited, fully
exploited, moderate, dan moderate-to-fully exploited.30 Berdasarkan
Kepmen tersebut maka dapat dianalisis kategori over exploited SDI di
Indonesia sebagaimana gambar berikut.

Gambar eksploitasi sumberdaya ikan di Indonesia


Dalam konteks ini maka diperlukan strategi yang tepat untuk
memulihkan sumberdaya ikan dan sekaligus menjamin keberlanjutan
perikanan. Hal ini mengingat ekosistem perairan Indonesia baik
perairan laut maupun perairan umum daratan adalah perairan tropis
yang dicirikan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun
volume stoknya relatif tidak banyak. Selain itu, SDI masih menjadi
mata pencaharian masyarakat dalam memenuhi sumber protein
(ketahanan pangan). Untuk itu, dalam pengelolaan perikanan yang
tingkat kompleksitas sistem sosial-ekologis (social-ecological system)
tinggi maka perlu adanya pendekatan yang ramah lingkungan dan
mampu mensejahterakan masyarakat, salah satu contohnya
menggunakan pendekatan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF)
atau Ecosystem Appproach to Fisheries Management (EAFM) dalam
menyelesaikan persoalan tersebut.

4. Pengakuan Pengelolaan Perikanan Masyarakat Hukum Adat


Dan Nelayan Kecil Berbasis Masyarakat
Konstitusi dan undang-undang perikanan mengharuskan
pemerintah mengelola SDI untuk memastikan keberlanjutan

30 PKSPL IPB 2015, dalam Tata Kelola Kawasan Konservasi Perairan Untuk
Perikanan Berkelanjutan di Indonesia Oleh Luky Adrianto
produktifitas perikanan untuk jangka panjang sehingga dapat
menyediakan manfaat sosial, ekonomi dan budaya untuk generasi
saat ini dan yang akan datang. Namun, perikanan Indonesia saat ini
telah mengalami tangkap lebih akibat akses terhadap perikanan yang
relatif terbuka (open access fisheries), kegiatan perikanan illegal (IUU
fishing), dan pengelolaan yang belum memadai. Untuk itu diperlukan
pilihan-pilihan instrumen pengelolaan yang mampu mengatasi
masalah open access, IUU fishing dan permasalahan lainnya yang
selaras dengan budaya yang berkembang di dalam masyarakat
Indonesia. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah tegas dalam
membangun fondasi pengelolaan perikanan. Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) telah memperkuat pengawasan untuk
mengurangi terjadinya IUU fishing di perairan Indonesia.
Kelembagaan baru yang mengatur kesebelas Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) sedang dikembangkan dan Rencana Pengelolaan
Perikanan (RPP) telah disusun untuk setiap WPP dan jenis atau
kelompok jenis ikan prioritas.31
Dalam berbagai kondisi yang memungkinkan peningkatan
upaya pengelolaan telah tersedia, masih terdapat ketidakpastian
tentang bagaimana Indonesia dapat mengatasai permasalahan
perikanan akses terbuka yang telah umum diketahui di dunia
menyebabkan terjadinya tangkap lebih dan kehilangan keuntungan
ekonomis bagi pelaku perikanan. Dalam hal ini pengelola perikanan
meresponnya dengan membatasi jumlah tangkapan melalui sistem
perizinan, pembatasan alat tangkap dan musim penangkapan ikan.
Pendekatan seperti ini biasanya tidak berhasil karena dalam kondisi
perikanan akses terbuka, nelayan akan berlomba menangkap ikan
sebanyak-banyaknya.32
Tangkap lebih perikanan bisa terjadi akibat IUU fishing yang
dilakukan baik oleh kapal-kapal ikan luar maupun dalam negeri.
Tangkap lebih bisa terjadi secara legal dalam kerangka pengaturan
perikanan nasional baik skala besar maupun kecil apabila instrumen

31Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan


Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai
Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 2.
3 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan
Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai
Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 2.
22
pengelolaan yang diterapkan tidak efektif. Pemerintah telah
mengambil langkah-langkah penting seperti mengatasi IUU fishing
khususnya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan
menetapkan penataan ruang di wilayah pesisir dan perairan laut.
Langkah ini merupakan permulaan yang baik dalam upaya mengatasi
permasalahan akses terbuka, tetapi belum menyentuh akar masalah
berupa dorongan/motivasi untuk menangkap ikan sebanyak-
banyaknya dan belum menyelaraskan antara dorongan finansial dan
pemenuhan kebutuhan hidup dengan upaya perlindungan dan
pelestarian sumberdaya ikan. Untuk itu, pendekatan pengelolaan
sumberdaya ikan yang mampu menghilangkan akses terbuka
perikanan sangat diperlukan dan mendesak. Telah diketahui dengan
baik bahwa Hak Pengelolaan Perikanan (HPP) bisa membantu
mencapai tujuan tersebut diatas. HPP terbukti33:
• menyumbang terhadap pemulihan populasi ikan dan
keuntungan finansial dari perikanan;
• mengurangi pembiayaan berlebihan (overcapitalization) dan
meningkatkan manfaat ekonomis penangkapan ikan;
• meningkatkan kepatuhan terhadap batasan jumlah tangkapan
dan mengurangi mortalitas penangkapan insidental; dan
• meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam
kegiatan pengelolaan.
Pada dasarnya HPP berfungsi karena pendekatan ini
menyelaraskan dorongan kebutuhan ekonomi nelayan dengan
perlindungan dan pelestarian sumberdaya ikan. Kondisi ini
dimungkinkan apabila nelayan atau kelompok masyarakat memiliki
jaminan untuk mengamankan kesempatannya menangkap ikan dan
mencegah orang lain menangkap dan mengeksploitasi manfaat dari
sumber daya ikan tersebut. Saat ini, nelayan dan kelompok
masyarakat tidak memiliki eksklusifitas ini, sehingga mereka tidak
memiliki jaminan untuk dapat terus menerus menangkap ikan dan
memperoleh penghasilan darinya. Dengan adanya HPP, nelayan dan
kelompok masyarakat dapat merasakan langsung kerugian dari
penurunan SDI dan sebaliknya keuntungan ekonomis dari

3 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan


Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai
Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, hal. 3.
23
pelestarian dan perlindungan sumber daya ikan. Keuntungan dari
instrument HPP juga merambat hingga pada rantai pasok produk
makanan dari laut, konsumer dan masyarakat yang memiliki
ketergantungan terhadap populasi ikan yang sehat.34
Pada instrumen pengelolaan berbasis HPP, pemerintah tetap
memiliki otoritas tertinggi terhadap sumber daya ikan dan tanggung
jawab konstitutional untuk mengendalikan dan mengelolanya untuk
sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia. Ini termasuk
otoritas untuk memberikan hak-hak dan tanggung jawab pengelolaan
kepada nelayan, masyarakat, koperasi dan asosiasi perikanan atau
entitas lainnya dengan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.
Dalam pelaksanaannya, pemberian tersebut berbentuk izin yang
dapat dibatalkan oleh pemerinah untuk memanfaatkan dan
mengelola sumber daya secara eksklusif, terjamin dari penguasaan
oleh orang lain dan dalam beberapa contoh dapat dipindah
tangankan.35
Bentuk-bentuk HPP di berbagai negara di dunia berbeda-
beda. Bentuk yang paling umum adalah berbasis wilayah (area-
based) dan berbasis kuota tangkapan (quota-based). HPP berbasis
wilayah atau yang umum dikenal sebagai hak penangkapan ikan
pada wilayah tertentu (territorial use rights in fishing/TURFs)
memiliki batas-batas wilayah yang jelas dan biasanya
diimplementasikan untuk mengelola sumber daya ikan dengan
pergerakan terbatas seperti teripang, abalone, kerapu dan kakap.
HPP berdasarkan kuota didasarkan pada besaran alokasi
tangkapan (kuota tangkapan) dan banyak diterapakan untuk
SDI yang berada di laut dalam lepas pantai (deep sea demersal
species, pelagic dan migratory fish) seperti ikan kakap laut dalam
dan tembang (mackerel).36
Praktek HPH lokal berkembang di dalam tatanan adat dan
tradisi yang beraneka ragam dengan tujuan dan otoritas kewenangan
yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya. Masyarakat
memiliki hak, tanggung jawab dan mekanisme pengambilan
keputusan dalam mengelola sumber dayanya untuk kepentingan

34 Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan


Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk Mencapai
Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan, Ibid.,
24
35 Ibid.,
36 Ibid., hlm. 4

25
bersama. Terkait keberadaan HPP ini terdapat keberatan yang
dikemukanan menyangkut alokasi kuota (kepada siapa diberikan dan
berapa besar/banyak wilayah/alokasi yang diberikan) dan apakah
distribusi manfaat sumber daya cukup adil dimata sebagian besar
masyarakat. Tidak ada satu pendekatan yang sesuai untuk semua
jenis dan karakteristik perikanan. Pendekatan yang paling berhasil
adalah yang dikembangkan secara transparan melalui proses yang
inklusif dan sesuai dengan budaya dan karakteristik lingkungan dan
sumberdaya dari perikanan yang hendak dikelola. 37

Pada dasarnya HPP merupakan instrumen pengelolaan


yang tidak berdiri sendiri. HPP harus diterapkan sebagai bagian
dari rencana pengelolaan perikanan yang utuh yang disusun
melalui proses yang transparan dan inklusif, didukung
oleh ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia dan kearifan
setempat, termasuk langkah-langkah penegakan aturan dan
penyeimbangan pemanfaatan sumberdaya laut dengan sektor
lainnya di wilayah yang sama. Tidak ada istilah yang baku yang
menggambarkan HPP, karena kata ‘hak’ mempunyai definisi dan
implikasi hukum yang berbeda-beda diberbagai negara. Negara-
negara seperti Amerika Serikat, Meksiko, Belize dan Chili
menggunakan istilah ‘managed access’ dan ‘catch shares’ untuk
menghindari kata hak dan selanjutnya didefinisikan dan diadopsi
kedalam berbagai aturan perundangan yang sesuai.38

Penerapan HPP merupakan salah satu dari sekian banyak


langkah yang saling terkait yang harus dilaksanakan di dalam sebuah
siklus pengelolaan perikanan yang adaptif. Seperti tertera pada
gambar dibawah ini, terdapat tujuh langkah pengelolaan perikanan
adaptif yaitu: pelaporan, monitoring, pendugaan, keputusan
pengelolaan, pelaksanaan, penangkapan ikan dan dinamika sumber
daya (Fulton et al., 2011). HPP merupakan salah satu pilihan bentuk
intervensi pengaturan penangkapan ikan. Pilihan ini didasarkan pada
informasi status sumber daya ikan dan sistem perikanan yang
37 Ibid.,
38 Ibid., hlm. 5.
menjadi target pengelolaan dan pertimbangan berbagai pilihan
pengelolaan yang tersedia. 39

Gambar diagram siklus pengelolaan perikanan adaptif dan letak Hak


Pengelolaan Perikanan (dimodifikasi dari Fulton et al., 2011).

Terkait dengan status HPP dalam kerangka pengelolaan


perikanan Indonesia, maka dapat diketahui jika HPP harus
ditempatkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka
besar Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) dari sebuah WPP.
Kementerian Kelautan dan Perikanan dan pemerintah provinsi
memiliki otoritas, sesuai dengan wilayah kewenangannya, untuk
mengeluarkan HPP sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RPP
di dalam sebuah WPP. HPP diberikan kepada kelompok yang
memenuhi syarat yaitu (a) berbadan hukum di Indonesia seperti:
koperasi, lembaga adat, asosiasi perikanan, dan yayasan dan/atau
(b) organisasi masyarakat lokal yang memiliki struktur
kepengurusan

39Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian


Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan
Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hlm. 8
dan pengurus yang jelas dan direkomendasikan oleh Kepala Desa
(Lurah) dan Camat (Lembar Informasi #1 yang diperbaharui
berdasarkan hasil diskusi Extended Core Group RBFM Indonesia,
11 Oktober 2016). Kelompok yang mengajukan permohonan HPP
harus menyertakan RPP jenis atau kelompok sumber daya ikan yang
hendak dikelola yang selaras dengan RPP WPP di dalam wilayah
yang dimaksud. Pemerintah atau pemerintah provinsi secara berkala
dapat melakukan evaluasi terhadap HPP yang diberikan sesuai
dengan tujuan dan target capaian pengelolaan yang dimuat didalam
RPP jenis atau kelompok sumber daya ikan tersebut.40
HPP memberikan insentif terhadap pemanfaatan dan
konservasi SDI. Dengan demikian sebuah kawasan HPP, tidak selalu
hanya diperuntukkan untuk wilayah penangkapan saja, tetapi juga
perlu dibentuk kawasan tertutup untuk perbaikan stok ikan. Ovando
mengatakan bahwa fishing cooperative yang memiliki HPP berbasis
wilayah (TURFs), dengan sukarela membentuk kawasan tertutup
disekitar TURFs, karena memberi manfaat perbaikan stok ikan.
Analisis global yang dilakukan oleh Afflerbach, menunjukkan
bahwa wilayah hak penangkapan ikan tidak selalu dibentuk secara
bersamaan dengan wilayah tertutup, yang lebih sering dibentuk
belakangan.41

5. Usaha Perikanan
Berdasarkan Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan, yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan
yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam
suatu sistem bisnis perikanan. Dari pengertian tersebut, ternyata
ruang lingkup bidang perikanan sangat luas, yang tidak hanya

40 Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian


Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan
Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hal. 9.
41 Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita, Adrian

Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan
Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hal. 10.
memanfaatkan sumberdaya ikan dan lingkungannya, tetapi juga
mengelolanya. Kata “pemanfaatan” bermakna sekedar
mengeksploitasi, mengeksplorasi dan memanfaatkan sumberdaya
ikan dan lingkungannya tanpa ada upaya perencanaan,
pengendalian, evaluasi, serta konservasi. Oleh karena itu, kajian
yang terkandung dalam kata “perikanan” diperluas dengan adanya
kata “pengelolaan”. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 mendefinisikan pengelolaan sebagai semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulkan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber
daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati.
SDI adalah potensi semua jenis ikan. Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di
dalam lingkungan perairan. Lingkungan sumber daya ikan adalah
perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan
faktor alamiah sekitarnya. Sumber daya perikanan termasuk kepada
kelompok sumber daya alam yang dapat diperbaruhi (renewable
source). Meskipun demikian dalam pemanfaatan sumber daya ini
harus rasional sebagai usaha untuk menjaga keseimbangan produksi
dan kelestarian sumber daya. Hal ini perlu adanya penegasan karena
sumber daya perikanan merupakan sumber daya milik bersama
(common property resources) dalam artian hak properti atas sumber
daya tersebut dipegang secara bersama-sama sehingga tidak ada
larangan bagi siapapun untuk memanfaatannya.
Pengelolaan SDI dan lingkungan (Resources) menjadi
tanggung jawab bersama antara masyarakat sebagai pengguna
sumberdaya (Users) dan pemerintah sebagai fasilitator dan manager
pengelolaan (Management). Dua komponen yang pertama adalah
Resources dan Users memerlukan komponen ketiga yaitu manager
pengelolaan (Management) agar penggunaan resources oleh users
lebih berdayaguna, bernilai tambah (added value), dan tetap
memperhatikan kelestariannya. Dengan kata lain, agar pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungan (resources) oleh users (nelayan,
pembudidaya ikan, pedagang, dan komponen masyarakat lainnya)
tidak sekedar berorientasi kepentingan ekonomi semata, maka peran
pemerintah sangat penting untuk membuat berbagai kebijakan untuk
mengatur pemanfaatan dan pengelolaan.
Usaha yang dilakukan oleh users dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan dan lingkungannya disebut sebagai usaha
perikanan. Praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat
melalui penangkapan ikan (perikanan tangkap) dan budidaya ikan.
Sehingga usaha perikanan merupakan semua kegiatan yang
dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap
atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan pasca panen mulai
dari menyimpan (storage), mengolah (processing), mendinginkan
atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil dan mendapatkan
laba dari kegiatan yang dilakukan. Menurut UU Perikanan, yang
dimaksud usaha perikanan adalah usaha yang dilaksanakan dalam
sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan,
dan pemasaran. Dengan demikian, usaha perikanan bukan hanya
usaha di bidang produksi (budidaya ikan dan penangkapan ikan),
namun demikian juga usaha pendukung produksi (usaha pra
produksi) dan usaha pasca produksi (pengolahan dan pemasaran)
untuk meningkatkan nilai tambah (added value) hasil-hasil
perikanan. Sedangkan berdasarkan BPS dalam Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I, yang termasuk
dalam sektor perikanan adalah kegiatan usaha yang mencakup
penangkapan dan budidaya ikan, jenis crustacea (seperti udang,
kepiting), moluska, dan biota air lainnya di laut, air payau dan air
tawar.42 Dari berbagai pemahaman di atas, maka usaha perikanan
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Usaha pra produksi perikanan merupakan usaha pendukung dan
penyedia sarana, input,saprodi, dan berbagai perbekalan nelayan
maupun pembudidaya ikan, misalnya usaha pembuatan kapal
ikan, usaha penyedia alat tangkap ikan (jaring, pancing,
pelampung, dan lain-lain), usaha produksi mesin penangkapan
ikan (diesel, sparepart, dan lain-lain), usaha penyediaan pupuk,

42Subdirektorat Pengembangan Standardisasi dan Klasifikasi Statistik. 2012.

Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I .Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
pakan ikan, es, keranjang, box, cold box, obat-obatan perikanan,
usaha penyediaan teknologi reproduksi buatan, usaha pertokoan
sembako, makanan dan minuman untuk perbekalan melaut dan
budidaya, sampai usaha jasa penyediaan tenaga kerja produksi
perikanan, dan lain-lain.
b. Usaha pembudidayaan ikan (aquaculture effort) adalah kegiatan
untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan
serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya. Orang yang mata pencahariannya
melakukan pembudidayaan ikan disebut pembudidaya ikan.
c. Penangkapan ikan (fishing effort) adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya. Orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan disebut nelayan (fisherman). Sumber daya
perikanan laut dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok
besar yaitu:43 (1) sumber daya ikan demersal, yaitu jenis ikan
yang hidup di atau dekat dasar perairan; (2) sumber daya ikan
pelagis, yaitu jenis sumber daya ikan yang hidup di sekitar
permukaan perairan; (3) sumber daya ikan pelagis besar, yaitu
jenis ikan oceanik seperti tuna, cakalang, tenggiri dan lain-lain;
(4) sumber daya udang dan biota laut non ikan lainnya seperti
kuda laut.
d. Usaha pengolahan ikan (fish processing effort) merupakan usaha
yang bertujuan menciptakan dan atau menambah kegunaan
(utility) ikan, baik kegunaan waktu (time utility) maupun kegunaan
bentuk (form utility). Orang yang melakukan usaha pengolahan
ikan disebut pengolah ikan (fish processor).
e. Usaha pemasaran ikan (fish marketing effort) merupakan semua
upaya untuk menyampaikan ikan dari produsen ke konsumen.

43 Ningsih, 2005. Strategi Mengelola dan Memanfaatkan Sumber Daya Laut

dan Perikanan. Majalah Info Kajian Bappenas, Volume 2, 2005.


Orang yang melakukan kegiatan pemasaran ikan disebut
pedagang atau pemasar ikan (fish middlemen). Menurut
Crawford (1997), kegiatan pemasaran menurut fungsinya ada 3
kelompok, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi
fasilitasi. Dari ketiga fungsi tersebut terbagi menjadi 9 kegiatan,
yaitu buying, selling, storage, transportation, processing,
standardization, financing, risk bearing, market intelligence.44
Berdasarkan apa yang ditulis oleh Crawford, ternyata pengolahan
(processing) merupakan bagian kegiatan pemasaran, sedangkan
pemerintah RI melalui UU Perikanan mengklasifikasikan usaha
pengolahan sebagai salah satu usaha mandiri dalam sistem bisnis
perikanan yang meliputi usaha praproduksi,
produksi,pengolahan, dan pemasaran.
f. Sebagai tambahan, ada usaha jasa dan kelembagaan pendukung
keseluruhan usaha perikanan (rantai agribisnis perikanan),
misalnya lembaga keuangan penyedia kredit/permodalan untuk
usaha agribisnis perikanan seperti bank, koperasi, bakul
(pedagang) ikan yang sekaligus meminjami modal ke nelayan,
dan sejenisnya.
Selanjutnya, UU Perikanan juga mengatur setiap orang yang
melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di
wilayah NKRI wajib memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan).
SIUP adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan
untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana
produksi yang tercantum dalam izin tersebut. SIUP menjadi salah
satu tool pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan dan
lingkungannya.

6. Peran Serta Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat/


Tradisional/ Kearifan Lokal
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi
sumber daya laut yang besar dan kaya akan jenis ragam kehidupan
lautnya. Bagi masyarakat pesisir, sektor perikanan masih menjadi
andalan masyarakat. Pentingnya menjaga aset kemaritiman oleh

44 Crawford, I.M. (1997). Agricultural and Food Marketing Management (2),

FAO, Rome, pp. 6-10.


31
masyarakat

44 Crawford, I.M. (1997). Agricultural and Food Marketing Management (2),

FAO, Rome, pp. 6-10.


32
pesisir sebagai wujud warisan budaya leluhur yang menunjukan
identitas budaya merupakan warisan budaya yang harus tetap ada
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Ketergantungan masyarakat kepulauan terhadap sumber daya
laut sangat erat hubungannya dengan keberlanjutan dan terjaganya
keberadaan lingkungan di sepanjang garis pantai. Perikanan
Nasional, masih didominasi oleh nelayan tradisional (meskipun di
beberapa daerah sudah tidak lagi ditemukan perahu tanpa motor)
tetapi tipologi masyarakat pesisir yang masih bisa dinyatakan dengan
tingkat perkembangan ekonomi, sistem sosial, dan kondisi
ekosistemnya, berbeda dengan kondisi masyarakat pertanian yang
kegiatannya berada di darat (society), tetapi masyarakat pesisir
terekonstruksi dari basis sumberdaya.45
Pelestarian sumberdaya pesisir dalam pemanfaatannya sering
kali melupakan dampak kelestarian dan keseimbangannya,
eksploitasi secara berlebihan atau perlakuan salah terhadap
lingkungan dan cara penangkapan ikan baik dilakukan oleh
masyarakat ataupun korporasi masih menjadi persoalan di Indonesia.
Kegiatan dan perlakuan salah ini tentunya akan cepat merusak
potensi kekayaan laut kita.
Terumbu karang tempat ikan berkembang biak yang harus
terjaga dengan baik merupakan modal dasar bagi masyarakat untuk
mendapatkan ikan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pantai.
Masyarakat tradisional/ nelayan tradisional dengan kemampuan daya
jelajah kapal dan alat-alat penangkapan ikan yang masih serba
tradisional tentunya sangat bergantung oleh lingkungan biota laut
yang baik. Aktivitas mereka di laut masih ada yang mengandalkan
pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penangkapan hasil
laut, seperti pengetahuan tentang musim, jenis ikan, arus serta
gelombang, gejala alam yang diwariskan dari leluhur mereka.46
Pengetahuan tradisional atau sering disebut sebagai kearifan
lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman

Arif Satria, 2015, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Yayasan Pustaka


45

Obor Indonesia, Jakarta


46 lihat Julian J. Pattipeilohy, Sistem Penangkapan Ikan Tradisional
Masyarakat Nelayan di Pulau Saparua, Jurnal Penelitian Vol. 7 No.5, Edisi
November 2015, hal 3, 4
32
atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.47
Persoalan yang sering terjadi dalam masyarakat, khususnya
masyarakat pesisir justru kualitas sumberdaya yang kian hari makin
menurun, banyaknya eksploitasi yang terlalu berlebihan berdampak
kepada kerusakan lingkungan laut dan terumbu karang dan pada
akhirnya mengakibatkan kemiskinan dan marjinalisasi komunitas
lokal dalam kehidupan kesehariannya.
Sumberdaya yang dimiliki bersama (common property
resources) termasuk di dalamnya adalah masyarakat pengelola laut
sebagai sumber mata pencahariannya secara komunal (communally
owned resources) dan masuk dalam kategori akses bebas (open
access) yang berujung pada eksplorasi yang berlebihan terhadap
hasil-hasil perikanan dan sumberdaya yang ada di dalamnya.
Kerusakan lingkungan laut berseta isinya membutuhkan waktu yang
tidak sebentar untuk memulihkannya, sementara kebutuhan
masyarakat terus meningkat.
Kerusakan yang terjadai terhadap sumberdaya milik bersama
disebut oleh Hardin sebagai tragedi milik bersama (tragedy of the
common).48 Hardin juga menjelaskan bahwa untuk pengelolaan
sumberdaya milik bersama beberapa pakar memberikan alternatif
solusi yang berbeda-beda, menurut Hardin peranan pemerintah, juga
para ahli ekonomi menawarkan alternatif pelembagaan kepemilikan
pribadi atas sumberdaya milik bersama. Tetapi solusi di atas belum
juga dapat memberikan penyelesaian dan penghentian tindakan
eksploitasi yang berlebihan. Pentingnya penguatan aturan-aturan
yang dimotori oleh komunitas lokal tentunya menjadi solusi yang
membuka peluang pulihnya segala potensi kelautan yang ada.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas
lokal membuat pranata-pranata dan menaruhnya menjadi landasan
pengelolaan eksploitasi sumberdaya mereka dan ditaati bersama
melalui pengembangan institusi dan aturan-aturan yang dapat

47 Keraf, S. A, 2002, Etika Lingkungan,. Pn. Buku Kompas, Jakarta, dalam


Stefanus Stanis, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan
Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tesis tidak
diterbitkan, 2005, Universitas Diponegoro Semarang.
48 Ummanah, Sasi Laut Nelayan di Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, hal 3
memberikan batasan terhadap eksploitasi sumberdaya alam.49
Selanjutnya local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia
dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu.50 Potensi kearifan lokal yang ada di Indonesia yang syarat
kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan, khususnya pada
wilayah pesisir tentunya tidak dapat kita kesampingkan begitu saja,
jika terjadi akan habis tergerus waktu dan kebutuhan hidup manusia
yang jumlahnya semakin meningkat setiap harinya.
Tetapi persoalan lain muncul beberapa kasus yang terjadi di
beberapa daerah di Indonesia, seringnya terjadi gesekan antara
kebijakan pemerintah dan kesatuan hukum adat. Seringnya
penguasaan wilayah masyarakat hukum adat oleh
perusahaan/korporasi yang mengantongi ijin dari pemerintah yang
menggunakan teknologi yang sudah maju menyebabkan
terganggunya sumber penghidupan masyarakat yang berada di
wilayah tersebut. Seperti yang terjadi di desa Ety51, Kabupaten
Seram Bagian Barat, wilayah hukum adat dikapling pengusaha
mutiara dengan ijin yang diberikan kepada perusahaan tersebut dan
melarang masyarakat hukum adat untuk memasuki daerah
tersebut. Padahal wilayah itu merupakan sumber mata
pencaharian bagi masyarakat tradisional untuk memenuhi
kebutuhan hidup keseharian mereka.
Kasus lainnya lagi, masyarakat di pulau Benjina, Kabupaten
Kepulauan Aru, masyarakat hukum adat tidak lagi mempunyai akses
untuk menyelam mutiara karena laut sekitarnya telah terkontaminasi
dengan buangan sisa-sisa hasil produksi ikan. Kasus seperti ini
membuat masyarakat tidak dapat memperoleh penghasilan yang
biasanya mereka lakukan, dan akhirnya membuat mereka harus

49 Ibid.
50 Ridwan, Nurma A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal STAIN
Purwokerto. Purwokerto. dalam, Juniarta, Susilo dan Primyastanto, Kajian Profil
Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten
Probolinggo Jawa Timur, 2013, Jurnal ECSOFiM Vol. 1. hal. 12
51 Lili Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Masyarakat Hukum

Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam di Wilayah Pesisir laut, diakses
5 Oktober 2016, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/364-
perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-hukum-adat-dalam-
pengelolaan-sumber-daya-alam-di-wilayah-pesisir-dan-laut
berjuang lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup
keseharian mereka.52
Di Indonesia masih terdapat berbagai bentuk kearifan lokal
dari kelompok masyarakat adat yang mempraktekan cara tradisional
untuk mengelola sumberdaya pesisir. 53 Sebagai contoh pada
masyarakat adat di pesisir Pulau Saparua Maluku yang memiliki cara
memelihara kawasan pesisir dengan konsep petuanan Sasi yang
mengatur tentang hal konservasi sumberdaya tertentu agar dapat
memberikan manfaat dan keuntungan secara berkelanjutan. Akan
tetapi sejalan dengan proses dinamika kehidupan masyarakat,
kearifan lokal terdegradasi dengan nilai-nilai dan norma adat yang
memudar, karena perkembangan dan tantangan kehidupan yang
semakin kompleks. Sejumlah substansi kearifan lokal yang pernah
dianut dalam masyarakat tidak lagi menjadi pedoman berperilaku.
Kearifan lokal dalam pelestarian wilayah pesisir misalnya untuk
menjaga dan mengatur sistem penangkapan ramah lingkungan, saat
ini sudah menghilang dan digantikan dengan sistem eksploitasi
berlebihan.
Melemahnya posisi kearifan lokal akibat derasnya arus
kapitalisasi yang lebih mengedepankan analisa untung rugi membuat
memudarnya warisan budaya lokal. Proses kemunduran kearifan
lokal/tradisional ditandai dengan perubahan tatanan sosial,
kurangnya nilai humanis, kemiskinan moral, sifat ketergantungan
dan kurangnya kemandirian masyarakat dan terdegradasinya
sumberdaya alam dan lingkungan yang justru mendukung kehidupan
mereka.54
Memudarnya keyakinan masyarakat lokal, khususnya
masyarakat tradisional untuk menggunakan metode atau cara
tradisional dalam pengelolaan hasil laut kembali bukan perkara
mudah untuk dilakukan. Membangun kembali pentingnya
kelestarian alam dengan kondisi kekinian oleh masyarakat
pesisir yang

Ibid.
52
53 Prijono, S.N. 2000a. Laporan Pendukung No 1: Sejarah dan Latar
Belakang Proyek. dalam Zulkarnain, Asdi Agustar, Rudi Febriamansyah, 2008,
Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir (Studi
Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir
Provinsi Riau), Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Vol. 1 Juli, hal 70.
54 Husni Thamrin, 2013, Kearifan Lokal dalam Pelestarian lingkungan ,
Kutubkhanah, Vol. 16 No. 1 Januari, hal. 46
kebanyakan kondisi kehidupan kesehariannya sulit, baik secara
ekonomi ataupun sosial mendorong mereka untuk selalu mengambil
lebih dari apa yang tersedia di sekitar mereka. Kondisi ini tentu perlu
campur tangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang tepat,
dan yang tak kalah penting adalah peran serta masyarakat asli dan
masyarakat di luar komunitas tersebut baik secara perseorangan
maupun kelompok.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan masyarakat,
kebiasaan yang baik yang diikuti oleh kelompok masyarakatnya.55
Meskipun begitu kearifan lokal cenderung sudah banyak dilupakan
kebanyakan masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Di sisi lain,
masyarakat yang sudah sadar atau mulai sadar akan pentingnya
kelestarian lingkungan dalam menjaga sumberdaya kelautan
khususnya di wilayah tempat mereka tinggal mulai membangun,
merekonstruksi dan menata kebiasaan/perlakuan buruk mereka
terhadap lingkungan ke arah pemulihan dan pemeliharaan sumber
potensi kelautannya.
Kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian
lingkungannya kembali tentu perlu keterlibatan dari semua pihak,
disamping kemauan masyarakat itu sendiri yang kuat dan konsisten.
Untuk merekonstruksi kearifan lokal itu kembali, sangat penting
untuk menimbulkan kesadaran yang tinggi terhadap
ketergantungannya kepada perubahan kondisi lingkungan alam,
diikuti oleh kemampuan manusianya terhadap teknologi yang
mampu diciptakan untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan,
bukan malah merusaknya.
Harapan terbesar masyarakat pesisir agar pemerintah
memberikan akses kepada masyarakat adat untuk mencari
penghidupan mereka di wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil serta
pengelolaannya. Masyarakat tradisional/adat perlu diberikan wilayah
penangkapan ikan secara tradisional di dalam RZWP-3-K (Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) dan memberikan
pengelolaan wilayah tersebut sesuai dengan hukum adat daerah yang

55 Lihat., Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. (Yogyakarta: Kepel


Press), hal. 9.
bersangkutan selama tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan.
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut
Community-Based Management, menurut Nikijuluw56, merupakan
pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai
dasar pengelolaanya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya
yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion).
Carter57 memberikan defenisi pengelolaan berbasis masyarakat
sebagai: “A strategy for achieving a people-centered development
where the focus of decision making with regard to the sustainable
use of natural resources in an area lies with the people in the
communities of that area” atau sebagai suatu strategi untuk
mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana
pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya
secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-
organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.58
Masyarakat dalam melibatkan dirinya untuk berperan serta
disyaratkan untuk ikut hadir memecahkan persoalan-persoalan
masyarakatnya sendiri, termasuk aktif untuk memikirkan,
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan yang
dilakukannya secara bersama.
Untuk menjaga ketersediaan ikan dan ekosistem laut,
tentunya peran masyarakat luas tidak dapat dipandang sebelah mata,
banyak kasus-kasus pencurian dan perusakan terumbu karang yang
dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal. Beberapa jenis
pelanggaran pidana yang sering terjadi dan tercatat di Pengadilan
Negeri Ambon adalah59, mengoperasikan kapal penangkapan ikan
berbendera asing di ZEEI tidak dilengkapi Surat Ijin Penangkapan
Ikan, penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai,
pengangkutan ikan tidak memiliki Surat Keterangan Berlayar dari

56 Latama, Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, Bogor: 2002.


57 Ibid.
58 Op. Cit., Stefanus Stanis, hal. 24.
59 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon dalam Kegiatan
Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang
Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9
September 2016.
Syahbandar perikanan dan melanggar ketentuan persyaratan atau
standard operasional penangkapan ikan.
Selain itu, kegiatan pengawasan sumber daya perikanan
terutama di laut, pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan juga dilakukan oleh TNI-AL, Bakamla dan
Polair, yang dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
instansi ataupun melalui operasi bersama (tetapi jarang terjadi)60.
Persoalan yang terjadi di lapangan adalah kendala sarana kapal
pengawas/patrol yang tidak memadai, baik kapasitas, jarak jelajah
dan sudah usangnya kapal patrol tersebut. Luasnya perairan di
Indonesia ini, termasuk di dalamnya Maluku, dengan keterbatasan
sarana yang ada pengawasan tersebut belum maksimal untuk
menjangkau perairan di wilayah tersebut.
Guna menunjang kegiatan pengawasan oleh instansi terkait,
dengan keterbatasan yang telah disebutkan di atas peran serta
masyarakat sebagai pengawas terhadap wilayah dan kekayaan
sumber daya perikanan di wilayah tangkap mereka, masyarakat
nelayan dapat berpartisipasi dan aktif memberikan informasi di
lapangan jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal
nelayan asing ataupun lokal (nelayan lokal di kepulauan Maluku
ataupun nelayan berbendera Indonesia yang sedang melakukan
penangkapan ikan di kawasan Maluku).
Pelibatan masyarakat dalam pengawasan tentu menjadi hal
yang krusial dan penting diikutsertakan terutama dalam
pembahasan-pembahasan program pemerintah yang terkait dengan
nelayan. Bantuan kapal dari pemerintah misalnya, disesuaikan
dengan kebutuhan nelayan lokal dan diberikan sesuai data nelayan
yang benar-benar membutuhkannya, alih-alih bantuan malah jatuh
kepada orang atau kelompok orang yang bukan nelayan, akibatnya
kapal bantuan tidak dapat digunakan dengan maksimal.61
Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan, kebutuhan
program terletak pada pengambilan keputusan menyangkut

60 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan


Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan
kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
61 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi Maluku

dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik


dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi
Maluku, 5-9 September 2016.
38
kebutuhan terpenting bagi mereka sesuai dengan perubahan kondisi
lingkungan dan perubahan sosial, ini berkaitan dengan ketahanan
adaptasi nelayan terhadap persoalan-persoalan tertentu yang
berhubungan dengan persoalan pesisir ketidakpastian hasil
tangkapan serta kerusakan lingkungan/ sumberdaya perikanan yang
menyebabkan penurunan hasil tangkapan mereka.

7. Penegakan Hukum
Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.62
Menurut pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo,
penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-
ide yang adalah pula sebagai hakekat penegakan hukum.63 Dalam
pemahaman umum, penegakan hukum adalah menerapkan dan/atau
menjalankan perintah/larangan yang telah dirumuskan dalam
undang-undang atau hukum positif suatu negara. Mewujudkan apa
yang telah dirumuskan menjadi kaidah perundang-undangan itulah,
sebuah kerja penegakan hukum.64
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, namun dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:65
a. Faktor hukumnya itu sendiri yang mencakup peraturan
perundang-undangan.
Penegakan hukum terhadap undang-undang dapat terganggu
karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,
belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan
untuk menerapkan undang-undang, dan ketidakjelasan arti

62 Soerjono Soekanto, “Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum”, Makalah

pada Seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta, 1979.


63 Satjipto Rahardjo, Masalah penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis,

Bandung: CV. Sinar Baru, hal. 15.


64 Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Laporan

Penelitian “Penegakan Hukum Pidana Illegal Fishing”, Jakarta, 2012, hal. 79.
65 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal 8.


39
kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan
peranan (role) dan sebagaimana halnya dengan warga
masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa
kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah
mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan
timbul konflik (status conflict dan conflict of roles).
Selain itu, dalam penegakan hukum diskresi menjadi sangat
penting, oleh karena:
1) Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian
lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku
manusia.
2) Adanya kelambatan untuk menyesuaikan perundang-
undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam
masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian.
3) Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan
sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-
undang.
4) Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan
penanganan secara khusus.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga
mausia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik,
peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan
untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena
itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat
mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Seorang penegak
hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan
masyarakat yang ada di lingkungan tersebut, beserta tatanan
status/kedudukan dan peranan yang ada. Selain itu, hal lain
yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-
lembaga sosial yang hidup, serta yang sangat diharagai oleh
bagian terbesar warga masyarakat setempat.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-
nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk
(sehingga dihindari).

B. Kajian terhadap Asas/Prinsip dalam RUU Perikanan


Dalam penyelenggaraan perikanan di Indonesia terutama bagi
semua warga masyarakat termasuk Pemerintah yang
menyelenggarakan perikanan harus berlandaskan asas-asas sebagai
berikut:
1. Asas manfaat.
Pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan
serta manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat.
2. Asas keadilan.
Pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluang dan
kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga
tanpa kecuali.
3. Asas kebersamaan.
Pengelolaan perikanan dilakukan secara bersama-sama oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, nelayan, nelayan kecil,
pembudidaya ikan, pembudidaya ikan kecil, masyarakat, dan
pihak lain yang terkait pengelolaan perikanan.
4. Asas kemandirian.
Kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Ikan dari
dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan
Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan
memanfaatkan potensi sumber daya Perikanan secara
bermartabat.
5. Asas pemerataan.
Pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata,
dengan memperhatikan pelaku utama perikanan yaitu nelayan,
nelayan kecil, pembudi daya ikan, pembudidaya ikan kecil, dan
petambak garam.
6. Asas keterpaduan.
Pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu
sampai hilir dalam upaya meningkatkan produktivitas dan
efesiensi.
7. Asas keterbukaan.
Pengelolaan perikanan dilakukan dengan ketersediaan akses
informasi dan memberikan informasi oleh masyarakat, asas
keterbukaan diperlukan karena pengelolaan perikanan tidak
dapat dilakukan secara sepihak yang melibatkan hanya satu
instansi namun harus didukung oleh semua instansi serta
pengawasannya dilakukan oleh masyarakat.
8. Asas efisiensi.
Pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat,
terkonteksi (pendistribusian/pemasaran hasil pengolahan ikan)
dan berdaya saing maksimal, untuk masalah efisiensi dalam
pengelolaan perikanan sebenarnya sudah tercakup di dalam asas
keterpaduan diatas, namun keterpaduan tidak dapat dilepaskan
dari efisiensi.
9. Asas kelestarian lingkungan.
Pengelolaan perikanan dilakukan dengan cara memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan, baik secara nasional ataupun
internasional, hal ini termasuk dalam kaidah pokok perikanan
yakni Code Of Conduct For Responsible Fisheris (CCRF) yang
didalamnya menyatakan bahwa negara harus memberlakukan
pendekatan terhadap konversi pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan serta negara harus dapat mengembangkan alat
penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan, dan
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
10. Asas pembangunan yang berkelanjutan.
Pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana, terpadu dan
mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan
masyarakat dengan mengutamakan kelestarian lingkungan
hidup untuk masa kini dan masa depan baik secara Nasional
dan Internasional.
11. Asas kearifan lokal.
pengelolaan perikanan dilakukan dengan cara memperhatikan
aspek kearifan lokal/budaya lokal setempat baik cara
penangkapan ikan dan pengolahan ikan, yang mampu
meningkatkan kesejaheraan dari pelaku utama perikanan yaitu
nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan, pembudidaya ikan
kecil, dan petambak garam.
12. Asas kedaulatan.
Negara Indonesia sebagai negara kepulauan melakukan
pengelolaan perikanan dalam bentuk perlindungan dan
pengawasan terhadap sumber daya laut khususnya perikanan
terhadap penangkapan ikan secara illegal oleh warga asing
dan/atau perusahaan asing dengan tujuan mewujudkan sumber
daya laut yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi kesejahteraan
rakyat.

C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada,


serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat
1. Ruang Lingkup
Lingkup pengaturan di UU Perikanan saat ini lebih
menitikberatkan kepada perikanan tangkap, adapun perikanan
budidaya sampai saat ini pengaturannya masih dirasa belum
komprehensif. Secara umum, UU Perikanan belum banyak mengatur
tentang perikanan budidaya. Di antaranya, belum diatur mengenai
pemanfaatan wilayah pesisir antara industri budidaya dengan
masyarakat lokal yang menggunakan ruang yang sama untuk
kegiatan penangkapan dan aktivitas lain. Belum ada ketentuan
tentang kepemilikan pulau-pulau kecil oleh perorangan atau
korporasi untuk kepentingan budidaya, yang tidak merugikan
kepentingan masyarakat lokal.
Selain itu beberapa substansi yang belum terakomodir adalah
mengenai tata ruang ruang bagi pembudidaya perikanan agar tidak
terjadi pencemaran dan perebutan lahan petambak yang mencakup
perikanan lahan petambak dan pesisir; belum adanya kebijakan yang
jelas mengenai roadmap riset-riset strategis dibidang rekayasa
teknologi budidaya; pembinaan dan penguatan ekonomi masyarakat
pesisir melalui pengembangan usaha budidaya laut termasuk
pemberian pelatihan teknologi budidaya terapan dan pelatihan
manajemen keuangan; akses permodalan/pembiayaan bagi
pembudidaya; sertifikasi kompetensi para pembudidaya ikan; dan
kewenangan pemerintah dan/atau pemerintah daerah terkait
pengelolaan perikanan budidaya, pembagian tugas dan tanggung
jawab antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana
amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah. Belum adanya pengaturan mengenai perijinan budidaya
perikanan yang dilaksanakan di atas 3 mil laut (budidaya tuna) dan
tidak melintasi wilayah kabupaten lainnya, karena sesuai UU 23
Tahun 2014 batas kewenangan kabupaten/kota adalah 2 mil laut,
sementara kewenangan Provinsi jika usaha perikanan budidaya
tersebut lintas kabupaten/kota.

2. Wilayah Pengelolaan Perikanan


Wilayah pengelolaan perikanan dalam UU Perikanan belum
mengakomodir ketentuan mengenai pengelolaan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya di wilayah perairan umum sehingga
kedepannya perlu ditambahkan mengenai wilayah pengelolaan
perikanan di perairan umum.
Dalam ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Perikanan diketahui
bahwa nelayan kecil bebas melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia, dan hal ini dapat
menimbulkan potensi konflik antara nelayan lokal dan nelayan
pendatang dalam melakukan pengelolaan perikanan. Persoalan lain
yang sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan yaitu dimana
terdapat nelayan asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
territorial pada waktu tertentu padahal jika melihat ketentuan dalam
UU Perikanan diketahui bahwa nelayan asing hanya dapat
melakukan penangkapan ikan di ZEEI.
Permasalahan mengenai pengelolaan perikanan di wilayah
perairan Indonesia oleh nelayan asing, maka kedepannya perlu
pengaturan pembatasan yang ketat bagi nelayan asing yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia dan juga
sanksi yang tegas bagi nelayan asing yang tetap melakukan
44
penangkapan ikan di wilayah yang bukan wilayah penangkapannya
agar sumber daya perikanan yang seharusnya diperuntukan untuk
memajukan kesejahteraan rakyat dapat dimanfaatkan secara
maksimal untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan
meningkatkan kesejahteraan nelayan serta masyarakat indonesia.
Permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya ikan yaitu tumpang
tindih pemanfaatan lahan yang terus terjadi sebagai akibat dari
belum optimalnya penyusunan tata ruang dan pengendaliannya,
akibat belum sinkronnya peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Diharapkan jika peta
Rencana Tata Ruang dan Wilayah sudah sinkron maka tidak akan
terjadi pemanfaatan lahan baik untuk nelayan pembudidaya maupun
nelayan perikanan tangkap.
3. Usaha perikanan
a. Akses Kapal Asing
Akses kapal asing yang dapat menangkap ikan di wilayah
perairan Indonesia ditengarai banyak merugikan kepentingan Negara
dan nelayan Indonesia. Kondisi inilah yang menyebabkan
dikeluarkannya kebijakan moratorium untuk kapal ikan asing.
Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri KP Nomor:
56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium)
Perizinan Usaha Perikanan Tangkap Di WPPNRI pada bulan
November 2014 memang ada fenomena menarik terkait dengan
kondisi perikanan di beberapa wilayah Indonesia.
Moratorium di satu sisi memberikan dampak positif dimana
potensi ikan di wilayah perairan Indonesia meningkat cukup tinggi
sehingga para nelayan kecil dan nelayan tradisional mendapatkan
kemudahan mendapatkan hasil tangkapan ikan di wilayah yang tidak
terlalu jauh ke tengah laut. Di sisi lain, moratorium menyebabkan
turunnya pendapatan daerah dari sektor perikanan mengingat
turunnya jumlah kapal yang mengajukan izin penangkapan dan
pengangkutan.
Moratorium hakikatnya hanya terkait usaha perikanan yang
berasal dari ikan yang ditangkap di Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia (ZEEI) sebagai wilayah yang diizinkan menjadi wilayah
operasional dari kapal-kapal asing dan eks asing yang merupakan
kapal dengan ukuran besar.
45
Mekanisme penangkapan ikan di dalam Zona ZEEI dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa usaha perikanan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPPNRI)
hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau
badan hukum Indonesia (ayat 1). Kondisi ini dikecualikan kepada
orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan
ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara
Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku (ayat 2).
WPPNRI merupakan WPP untuk kegiatan penangkapan ikan,
konservasi, penelitian dan pengembangan, yang meliputi : perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan
ZEEI
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United
Nation on The Low of The Sea/Unclos) Indonesia harus dapat
menetapkan kemampuannya dalam memanfaatkan sumberdaya ikan
di ZEEI. Bila belum memiliki kemampuan untuk memanfaatkan
seluruh jumlah tangkapan yang dibolehkan, maka berilah
kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan surplus
sumberdaya ikan yang ada di ZEEI melalui perjanjian dan ketentuan
yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia.
b. Pengelolaan dan Pemasaran hasil perikanan
Dalam hal pengelolaan dan pemasaran hasil perikanan belum
ada suatu master plan atau perencanaan yang terpadu baik yang
berlaku nasional maupun tiap daerah yang disesuaikan dengan
kondisi, potensi, dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing
daerah. Besarnya potensi dan hasil tangkap maupun budidaya
perikanan tidak akan cukup menghidupi nelayan dan memajukan
masyarakat nelayan dan sekitanya jika aspek pengolahan dan
pemasaran hasil perikanan belum ditata dengan baik.
Terdapat banyak kendala atau hambatan yang dihadapi dari
aspek pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang harus segara
dibenahi dan ditanggulangi seperti: banyaknya kegaitan
penyelundupan; kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan
pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan
46
standar mutu produk secara internasional (seperti HACCP,
persyaratan sanitasi, dll); lemahnya kemampuan pemasaran produk
perikanan karena lemahnya market intelegence (penguasaan
informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera konsumen),
serta belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi
dan komunikasi untuk mendukung distribusi produk perikanan dari
produsen ke konsumen secara tepat waktu; terbatasnya sarana dan
prasarana pemasaran (bangunan pasar, TPI); lemahnya koordinasi
antara unsur terkait; terbatasnya kebijakan tentang kredit murah
dan lunak bagi nelayan; sistem hukum dan kelembagaan perikanan
yang masih Lemah; iklim usaha yang belum kondusif (seperti
adanya berbagai pungutan dan proses perizinan yang masih
birokratis; lemahnya posisi tawar nelayan, pembudidaya dan
pengolah rendah terhadap pasar/penjual (keterikatan kepada
pengijon); tidak stabilnya harga-harga faktor produksi; belum
optimalnya sertifikasi produk; sentra produksi yang tersebar
sehingga sulit mencapai skala ekonomi; dan harga BBM yang
mahal.

4. Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan


Sistem informasi dan data statistik perikanan merupakan hal
yang sangat penting dalam bidang perikanan. Data dan informasi
yang akurat dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan untuk
perencanaan pembangunan, penentuan kebijakan, dan indikator
dalam menilai keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan.
Selanjutnya, data statistik dan informasi perikanan yang telah
disusun dan dikembangkan oleh pemerintah dipublikasikan kepada
para pelaku usaha perikanan sehingga mereka dapat menata dan
mengelola usaha perikanan dengan baik.66
Data dan informasi statistik perikanan tangkap, selama ini
didapat berdasarkan mekanisme pelaporan oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten/Kota secara periodik per 3 tiga bulan
(triwulan). Data statistik tersebut selanjutnya akan divalidasi
ditingkat provinsi, untuk selanjutnya akan divalidasi ditingkat

Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku dalam


66

Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan


RUU tentang Perubahan kedua UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9
September 2016.
nasional untuk memastikan bahwa data yang diperoleh tersebut
sudah sesuai dengan metode yang dipergunakan, dan merupakan
data yang berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan, namun
disatu sisi kelemahannya tidak ada sistem pertukaran data antar
provinsi bertetangga sehingga tingkat eksploitasi Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) tidak diketahui secara akurat.67
Saat ini ada satu sistem informasi dan data statistik perikanan
yang dapat digunakan untuk mengetahui sumber ikan yaitu Sistem
Informasi Geografis (SIG) telah diaplikasikan dalam konsep
penetapan potensi lahan untuk budidaya perikanan maupun dalam
kegiatan penangkapan ikan di laut. SIG memerlukan suatu sistem
basis data spatial (keruangan) dan basis data non spasial (atribute).
Penyerbaluasan informasi dan data statistik kepada nelayan melalui
sistem informasi berbasis komputer di pelabuhan perikanan, TPI,
dan sentra penyuluhan.68 Untuk itu perlu diperbaharui setiap 2 (dua)
tahun terutama mengenai potensi perikanan. Untuk data hasil
tangkap dan data lainnya sudah bisa diakses secara online setiap
harinya.69 Walaupun data statistik perikanan di Indonesia sudah
tersedia namun belum dapat diakses dengan mudah, selain itu
banyak data yang jika dikaji lebih dalam terlihat jauh dari
kebenarannya. Dengan demikian sulit dijadikan dasar pengambilan
keputusan/kebijakan atau untuk kepentingan ilmiah. Banyak
industri penangkapan yang memberikan data daerah penangkapan
yang tidak sesuai.70
Terdapat hambatan dalam pengembangan sistem dan
informasi perikanan adalah terbatasannya tenaga atau personel di
lapangan guna melakukan pengumpulan data, terbatasnya dana
operasional untuk pengambilan data, perubahan desa sampel yang

67 Ibid.
68 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung
Mangkurat, Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data
dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua
Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Kalimantan Selatan, 12-17 September
2016.
69 Diskusi dengan Pelabuhan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan dalam

Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan


RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi
Kalimantan Selatan, 12-17 September 2016.
70 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Pattimura, Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka
penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU
Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
dijadikan lokasi budidaya ikan yang tidak sesuai. 71 Data tangkapan
oleh industri penangkapan belum dapat didata dengan benar. Masih
ada informasi yang belum terekam dari semua kapal sesuai keadaan
sebenarnya. Di sisi lain belum ada sanksi bagi industri penangkapan
yang tidak memberikan informasi dengan benar. 72 Sistem informasi
dan data statistik perikanan yang diperoleh di pelabuhan perikanan
adalah dengan menggunakan instrumen Log Book Penangkapan,
yang memuat infomasi tentang jumlah volume dan jenis hasil
tangkapan, daerah penangkapan, serta kebutuhan logistik.73
Di Provinsi Kalimantan Selatan juga terkait dengan sistem
informasi dan data statistik perikanan yang dapat digunakan untuk
mengetahui keberadaan dan jumlah hasil tangkapan pada tiap
pelabuhan saat ini belum ada, karena penangkapan ikan di laut
Provinsi Kalimantan Selatan lebih bnyak dilakukan oleh nelayan dari
luar Jawa, sehingga ikan-ikan tersebut selanjutnya dibawa ke
pelabuhan di Jawa. Adapun hasil perikanan di oleh nelayan Provinsi
Kalimantan Selatan banyak yang tidak dilakukan penjualannya
dipelabuhan perikanan, sehinga potensi maupaun hasil tangkap
perikanan yang ada di wilayah laut Provinsi Kalimantan Selatan sulit
untuk didata.74 Data dan informasi juga penting bagi pendataan
jumlah nelayan secara benar dan terkini, serta perlu dilakukan
sensus Perikanan yang dilaksanakan minimal 10 tahun sekali sebagai
database tindakan selanjutnya.75

5. Pungutan Perikanan
Dalam UU Perikanan, pungutan perikanan dikenakan kepada
setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya
ikan namun pungutan ini tidak dikenakan kepada nelayan dan
pembudidaya ikan kecil. Namun dengan dikeluarkannya UU Nomor

71 Diskusi Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan dalam

Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan


RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi
Kalimantan Selatan, 12-17 September 2016.
72 Ibid.
73 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
74 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung

Mangkurat, Loc. Cit.


75 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi
Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan
Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun
2004 ke Provinsi Maluku, 12-17 September 2016.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mana perizinan
usaha perikanan hanya terdapat di Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Perizinan mengenai pengelolaan ruang laut diatas 12 mil
dilakukan oleh Pemerintah Pusat sedangkan untuk perizinan
pengelolaan ruang laut dibawah 12 mil dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi. Terkait pengelolaan perikanan dan perizinan pendaftaran
serta pendaftaran kapal diatas 30 GT dilakukan oleh Pemerintah
Pusat sedangkan untuk kapal dibawah 30 GT dilakukan oleh
pemerintah provinsi. Dengan ditariknya perizinan ke Pemerintah
Pusat, maka Pemerintah Daerah tidak mendapatkan bagi hasil yang
adil, karena pungutan yang seharusnya diambil ketika mengurus
perizinan pengelolaan perikanan saat ini hanya dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi untuk pemanfaatan perikanan di bawah 12
mil.76 Jika melihat pada praktiknya tidak dapat dipungkiri
terdapat pula nelayan yang melakukan pemanfaatan perikanan di
wilayah kabupaten/kota, namun dengan adanya ketentuan ini
pemerintah kabupaten/kota tidak mendapatkan bagi hasil apapun.
Di samping itu dalam Pasal 14 huruf d UU Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dikatakan
bahwa “Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional
dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah
dan 80% (delapan puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota”.
Pembagian 80% dari penerimaan negara disektor perikanan
dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota
seluruh Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (2)
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah. Dengan adanya frasa ini maka daerah penghasil
sumber ikan terbesar tidak mendapatkan bagi hasil yang adil karena
bagi hasilnya tersebut juga dibagi ke daerah yang tidak memiliki
sumber daya perikanan. Sehingga banyak daerah yang memiliki
sumber daya ikan yang melimpah yang masih kekurangan dan
tidak sejahtera dengan bagi hasil seperti ini. Dengan Perizinan kapal
diatas 30 GT dilakukan oleh Pemerintah Pusat maka pemerintah
kabupaten/kota hanya menarik

76 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas


Pattimura, Provinsi Maluku dalam Kegiatan Pengumpulan Data dalam rangka
penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua Atas UU
Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9 September 2016.
retribusi dari nelayan.77 Jadi dapat dikatakan bahwa pemasukan bagi
pemerintah daerah dalam sektor perikanan hanya didapat dari bagi
hasil dari sektor perikanan yang sama rata dengan provinsi lain di
seluruh Indonesia dan juga retribusi yang dikenakan bagi nelayan.
Provinsi Maluku memiliki peraturan mengenai retribusi yang
diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 15 Tahun
2013 tentang Retribusi Perizinan Tertentu. Dalam Perda tersebut
dijelaskan mengenai subjek dan objek yang dikenai retribusi
perikanan. Selain itu dalam Perda Retribusi Perizinan tertentu juga
diatur sanksi administratif dan sanksi pidana yang dikenakan bagi
wajib retribusi yaitu orang pribadi atau badan yang menurut
peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau
pemotong retribusi tertentu.78
Mekanisme pungutan saat ini sudah berjalan dengan baik,
namun perlu kontrol dan sanksi hukum yang jelas. Terkait
penentuan dana bagi hasil dari pungutan sesuai yang diatur dalam
Pasal 48-51 sejauh ini belum diberikan ke nelayan, karena
peruntukannya sesuai Pasal 50 bukan untuk nelayan tetapi untuk
konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan. Namun jika penentuan
bagi hasil yang dimaksud dalam pertanyaan ini adalah dalam kaitan
dengan upah yang diterima sebagai seorang nelayan/tenaga
kerja/buruh berdasarkan beban kerja, belum terlalu adil bagi
nelayan. Dalam banyak jurnal hasil penelitian diketahui salah satu
sumber kemiskinan nelayan adalah sistem bagi hasil yang diterapkan
belum berpihak kepada nelayan kecil.79
Menurut Pelabuhan Perikanan Nusantara sampai sejauh ini
tidak ada kendala mengenai pungutan perikanan, karena pungutan
pengusahaan perikanan baru atau perubahan serta pungutan hasil
perikanan atas izin penangkapan ikan dan/atau kapal operasi
penangkapan ikan baru atau perpanjangan ditangani oleh Pusat
(DJPT), sedangkan yang ditangani oleh pelabuhan perikanan adalah
jasa pelabuhan perikanan yang mana tarifnya berdasarkan PP Nomor

77 Ibid.
78 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
79 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Pattimura, Provinsi Maluku, Loc Cit.
51
75 Tahun 2015 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku pada kementerian kelautan dan perikanan.
Kedepannya diharapkan pungutan hasil perikanan ditangani oleh
pelabuhan perikanan dimana izin kapal tersebut dikeluarkan.80
Beberapa kendala dalam pengembangan sektor perikanan
tangkap di Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan pungutan
salah satunya adalah tidak adanya kebijakan pemerintah yang
memberikan kepastian usaha, hal ini lebih diperlemah dengan
berlakunya sistim otonomi daerah muncul pungutan berganda yaitu
pungutan yang ada di pusat dan didaerah (Pemda). Pungutan-
pungutan tersebut sering menjadi keluhan bagi pengusaha yang
terjun ke bisnis perikanan laut. Sebagai contoh untuk 1 unit kapal,
harus membayar yang disebut Pungutan Pengusaha Perikanan (PPP)
yang dihitung berdasarkan gross ton (GT) kapal. Per kapal minimum
bisa kena Rp 10 juta. Setelah membayar PPP baru pengusaha
mengantongi Izin Usaha Perikanan (IUP). Sementara untuk
memperoleh Surat izin Perusahaan (SIP) pengusaha terlebih dahulu
harus membayar pungutan hasil penangkapan (PHP). Hitungannya
berdasarkan GT kapal dikali produktivitas tangkapan dikali 2,5%,
lalu dikali lagi harga patokan jenis ikan. Belum lagi harus mengurus
surat lain dari instansi perhubungan laut, pihak keamanan, dan
instansi lain. Sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya biaya
tingga (high cost) dalam perekonomian dan menyebabkan
menurunnya daya saing dan produktivitas sektor perikanan tangkap.
Sementara di daerah, hal yang sama akan terjadi, dimana seorang
pengusaha harus membayar pungutan yang ditetapkan Pemerintah
daerah. Misalnya, pungutan 2% dari harga ikan paling tinggi. Kalau
sekali mendarat kapal membawa 10 ton hasil tangkap. Dimana 2 ton
udang dan sisanya ikan biasa. Maka pungutan 2% dihitung dengan
menganggap 10 ton itu harga udang karena harga udang yang paling
mahal. Kendala lainnya, adalah harga kapal yang mahal. Untuk
kapal di atas 30 GT minimal harganya Rp 1 miliar. Harga
tersebut buat kelompok nelayan jelas tidak akan terjangkau, kecuali
ada kredit dari

80 Diskusi dengan Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Kegiatan


Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang
52
Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9
September 2016.

53
bank. Namun, pihak bank banyak yang enggan mengucurkan kredit
untuk pembelian kapal ikan. Kalau pun ada yang mau memberikan
kredit kepada kelompok nelayan, bank biasanya meminta jaminan.
Sementara nelayan tidak memiliki jaminan kecuali kapal dan hasil
tangkapan. Disisi lain bank tidak menerima jaminan berupa kapal.
Dengan kondisi seperti itu, sulit rasanya mendongkrak jumlah kapal
berukuran 30 GT keatas tanpa ada dukungan dari bank.81

6. Penelitian dan Pengembangan Perikanan serta Pendidikan,


Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Maluku
diperuntukkan sebagai wilayah untuk kegiatan penangkapan ikan,
konservasi, penelitian dan pengembangan. Selalu ada penelitian yang
dilakukan di Maluku oleh lembaga-lembaga terkait di pusat tetapi
hasilnya jarang disampaikan kepada daerah. Hasil dari suatu
kegiatan penelitian dan pengembangan di suatu wilayah seharusnya
dapat dijadikan bahan acuan dalam perencanaan pembangunan dan
penentuan kebijakan di bidang perikanan. Bentuk pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan perikanan di Maluku salah satunya
melalui program magang nelayan penerima paket ke Balai
Penangkapan Ikan di Tegal. Selain itu juga dilakukan pelatihan
berupa perbaikan dan perawatan mesin kapal, dan pelatihan
manajemen usaha perikanan.82
Adapun beberapa kendala dan hambatan dalam penerapan
teknologi, yaitu:
a. Penerimaan dan pemahaman teknologi bagi pelaku utama/pelaku
usaha merupakan bagian dari proses edukasi dan adaptasi
teknologi. Mereka diyakinkan dengan bukti (termasuk insentif)
bukan sebatas ujicoba.
b. Berbagai upaya dalam menghasilkan teknologi akan menjadi tidak
berarti jika tidak diikuti dengan usaha menyebarluaskannya. Di
sisi lain diseminasi bukan hanya semata-mata menyebarkan
informasi, namun juga menjadi media dalam memperoleh umpan

Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung


81

Mangkurat, Loc. Cit.


82 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
balik untuk perencanaan penelitian dan diseminasinya serta
sebagai bahan masukan bagi penentu kebijakan.
c. Di bidang sumber daya manusia, jumlah peneliti dan perekayasa
sebagai penghasil teknologi dan jumlah penyuluh sebagai tenaga
pendamping teknologi di masyarakat masih sangat minim
dibandingkan dengan negara-negara maju.
d. Keterkaitan yang erat antara unsur peneliti, penyuluh, pelatih dan
masyarakat kelautan dan perikanan sangat diperlukan dalam
upaya mempercepat proses adopsi teknologi, dimana penyuluh
dan pelatih berperan sebagai jembatan antara peneliti dan
masyarakat. Teknologi yang dihasilkan oleh peneliti akan
disalurkan oleh penyuluh dan pelatih kepada masyarakat sebagai
adopter. Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha agar ada link
antara sumber teknologi, penyampai teknologi dan pengguna
teknologi agar penyampaian teknologi dapat dilakukan secara
informatif, aplikatif dan efektif. Link tersebut dapat berupa
kegiatan yang dapat mempertemukan keempat unsur tersebut
(peneliti- penyuluh/pelatih-masyarakat) guna terjadi komunikasi
dan tukar- menukar pengalaman dalam penerapan teknologi.

7. Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan (Otonomi Daerah)


Terkait apakah substansi di dalam UU Perikanan dan UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah sinkron, pada
bidang kelautan yang semula kewenangan dibagi antara Pemerintah
Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/ Kota, kini hanya diberikan kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah Propinsi. Kewenangan Kabupaten/Kota yang
hilang diantaranya adalah pelaksanaan kebijakan, penataan ruang
laut, pengawasan dan penegakan hukum, koordinasi pengelolaan dan
pemanfaatan, dan perizinan (kecuali ijin usaha perikanan). Untuk itu
hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah kewenangan dalam
mengatur tata ruang perikanan dan pengelolaan perikanan berbasis
masyarakat/kearifan lokal.83

Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung


83

Mangkurat, Loc. Cit.


Selain itu hambatan terkait pelaksanaan otonomi daerah
adalah masih dirasa belum terjadi sinkronisasi antara peraturan
dengan teknis pelaksanaan, hal ini terlihat dari beberapa hal yaitu;
(a) Provinsi mengawasi laut secara keseluruhan sementara sarana,
prasaran dan koordinasi dengan kabupaten/kota tidak tersedia
cukup baik; (b) kelembagaan pengawasan wilayah laut masih lemah
terlihat dari armada dan jumlah personil; (c) terjadi disharmonisasi
dengan peraturan daerah. Disamping itu, dalam sektor perikanan
budidaya masih terdapat perumusan yang masih belum sinkron yaitu
masalah pengelolaan areal pembudidayaan lintas kabupaten/kota
yang masih belum jelas contohnya pengelolaan induk (grandparent
stock) yang merupakan wewenang provinsi ternyata dimiliki pula
oleh pemerintah kabupaten/kota sehingga menimbulkan tumpang
tindih kewenangan. Untuk sektor perikanan tangkap sendiri, lahirnya
UU Pemda memberikan kemudahan bagi nelayan dan pelaku
perikanan tangkap untuk melakukan pendaftaran serta memperoleh
perizinan terpadu satu pintu agar SIUP dan SIKPI yang diperlukan
dalam kegiatan perikanan tangkap dapat dilaksanakan.84
Terkait dengan wacana pembentukan lembaga khusus yang
menangani masalah pengelolaan perikanan, grand desain wilayah
pengelolaan perikanan di kawasan pulau-pulau kecil dan terluar
(PPKT). Pembentukan lembaga khusus tidak begitu diperlukan,
tetapi hal ini menjadi tanggungjawab bersama untuk menjaga
keutuhan NKRI termasuk upaya mensejahterakan masyarakat
didalamnya. 85

Dalam rangka otonomi daerah, Dinas Kelautan dan Perikanan


Provinsi Maluku memberi usulan sebagai berikut:86
a. Penguatan urusan pemerintahan terutama substansi terkait
dengan perikanan budidaya yang dirasa masih kurang diatur
secara komprehensif bila dibandingkan dengan perikanan tangkap,
walaupun penyerahan urusan pemerintahan antara Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan telah sinkron dan sinergi.

84 Diskusi Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan, Loc.


Cit
. 85 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung
Mangkurat, Loc. Cit.
86 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Maluku, Loc Cit.
b. Penguatan regulasi terkait dengan alokasi anggaran DAU dan
DAK pada Provinsi Maluku yang bercirikan kepulauan dengan
wilayah administrasi yang sebagian besar terdiri dari laut
(92,4%),sehingga pemerataan pembangunan disektor perikanan di
Provinsi Maluku mampu optimal dari hulu hingga hilir,
khususnyauntuk perikanan tangkap, perikanan budidaya sampai
pengolahan dan pemasaran yang masih banyak
hambatan/kendala.
c. Tindak lanjut yang serius terhadap dukungan anggaran
Pemerintah Pusat yang telah mencanangkan Provinsi Maluku
sebagai “Lumbung Ikan Nasional” oleh Presiden RI pada waktu
yang lalu. Hal ini mengingat pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan di Provinsi Maluku belum optimal jika hanya
mengandalkan dari Badan Pengelola Lumbung Ikan Nasional
Provinsi Maluku saja.
d. Perluasan kewenangan Pemerintah Provinsi dalam mengelola
sumberdaya kelautan dan perikanan dari 12 mil diukur dari garis
pantai menjadi 24 mil.
e. Kewenangan penerbitan izin (baru) sebaiknya tidak terbatas sampai
dengan 30 GT, tapi sampai dengan 60 GT. Perluasan kewenangan
penerbitan ijin oleh Gubernur saja, sehingga para nelayan tidak
perlu lagi mengurus izin ke Jakarta ( > 30 GT – 60 GT).
f. Segala perijinan yang berasal dari Pemerintah Pusat ataupun
daerah, agar mengacu atau berdasarkan rekomendasi Gubernur,
seperti Konservasi.
g. Komoditas ikan yang akan diekspor melalui daerah lain, agar
memperhatikan daerah produsen sehingga daerah penghasil
mendapat bagian atau perhatian khusus.
h. Kewenangan melakukan pendataan pesisir dan pulau-pulau kecil
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada
Pemeritah Kabupaten/Kota.
i. Pembagian kewenangan yang tidak seimbang dapat
menurunkan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) dan juga
ketika terjadi masalah di daerah yang kebijakannya ditangani
oleh Pusat tidak bisa diselesaikan secara cepat.
j. Perlu pola hubungan dan pembagian kewenangan yang tepat
antara Pemerintah Pusat dan Daerah agar dapat dihindari
fenomena atau ekses buruk akibat ketimpangan hubungan dan
pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah, dengan
memasukkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis dan terpercaya.
Selain itu, Universitas Patimura Provinsi Maluku juga
memberikan usulan sebagai berikut:87
a. Perlu penguatan kewenangan kearifan lokal budaya sasi, adat yang
telah dilakukan masyarakat setempat dalam mengelola
sumberdaya perikanan secara turun temurun dari nenek
moyangnya,baik melalui moratorium aspek kawasan, aspek jenis
komoditas maupun aspek alat tangkap, sehingga masyarakat lokal
dapat sejahteradampak kebijakan pembagian kewenangan yang
dikeluarkan.
b. Perlu ada pengaturan kewenangan mengenai jalur penangkapan
ikan bagi para nelayan asli dan pendatangyang akan melakukan
penangkapan ikan di daerah tertentu, agar tidak terjadi konflik
diantara nelayan.
c. Perlu ada pengaturan kewenangan yang jelas terkait dengan sistem
pengelolaan breeding dan spawning.
d. Perlu penyegaran kembali kajian mengenai stok ikan di Provinsi
Maluku, mengingat Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber
Daya Ikan Laut belum optimal sehingga akan lebih mudah dalam
pendugaan Maximum Sustainable Yield (MSY) ikan di Provinsi
Malukuuntuk pengaturan kewenangannya.
e. Perlu ada revisi pengaturan perimbangan keuangan UU 33 Tahun
2004, agar bersifat adil bagi daerah penghasil sumberdaya ikan.
Selama ini dirasakan tidak adil dalam pembagian bagi hasil ke
pemerintah daerah. Contoh Potensi Perikanan di Kabupaten
Kepulauan Aru sangat besar, namun fasilitas perikanannya hanya
dimiliki oleh pengusaha dan belum berpihak ke
masyarakatsehingga masyarakatnya selalu miskin.
f. Perlu ada keberpihakan kepada kabupaten/kota yang mampu
mengelola sumberdaya ikan secara berkelanjutan, mengingat
dengan meningkatnya peran provinsi dalam kewenangannya, akan
berdampak kabupaten/kotakurang optimal dalam memanfaatkan

87Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas,


Pattimura Provinsi Maluku, Loc Cit.
sumberdaya ikan yang ada, dan/atau mungkin bisa berakibat
makin tidak peduli atas wilayah lautnya.
g. Perlu ada pengaturan kewenangan terhadap pemanfaatan perairan
umum, waduk dan sejenisnya pada bidang perikanan budidaya
agar sejak dini lingkungan perairan tidak tercemar oleh ride tide
atau blooming algae.
h. Perlu ada tambahan pengaturan kewenangan mengenai alat
tangkap selain alat tangkap utama, yaitu alat tangkap bantu dan
tambahan. Hal ini untuk meminimalisir konflik antar nelayan di
daerah penangkapan.

8. Pengawasan Perikanan
Pengawasan perikanan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pengelolaan perikanan, guna mendukung
terwujudnya kedaulatan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan
untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini diharapkan berdampak
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian
perikanan.
Saat ini, terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan
pengawasan terhadap pengelolaan sektor perikanan, yaitu:88
1. Di wilayah 12 mil laut provinsi Kalimantan Selatan masih sering
terjadi konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.
Umumnya konflik terjadi karena nelayan pendatang memasuki
wilayah tangkap nelayan lokal. Tidak dapat dipungkiri potensi
perikanan tangkap provinsi Kalimantan Selatan sebesar
339.437,3 ton yang dinilai cukup besar serta kekayaan wilayah
perairan laut yang melimpah turut mengundang nelayan
pendatang yang umumnya berasal dari pulau jawa untuk mencari
dan menangkap ikan di perairan kalimantan selatan. Hal ini
berpotensi konflik besar yang perlu untuk mendapatkan
penanganan secara tepat.
2. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti
centrang, lampaesar dan pukat yang mengancam ekosistem
lingkungan dan benih ikan ditengarai masih sering terjadi.

Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Kalimantan


88

Selatan, Loc Cit.


58
Kurangnya kesadaran dan pengetahuan para nelayan tangkap
menjadi akar masalah yang perlu untuk mendapatkan
penangangan baik melalui penindakan maupun sosialisasi dan
upaya preventif lainnya agar kondisi lingkungan tetap terjaga.
3. Keterbatasan sarana dan prasarana serta tenaga sumberdaya
manusia yang memadai merupakan permasalahan klasik yang
kerap terjadi. Hal ini menjadi kendala utama dalam penegakan
dan pengawasan sektor perikanan di Provinsi Kalimantan
Selatan.
4. Dokumen tangkap, budidaya, pengangkutan, maupun penjualan
ikan dari dan didalam wilayah provinsi Kalimantan Selatan
maupun di luar wilayah provinsi Kalimantan Selatan yang masih
belum lengkap dimiliki oleh para pelaku usaha perikanan.
5. Alih fungsi wilayah perikanan menjadi perkebunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang dan wilayah.
6. Padat tangkap (overfishing) di perairan pantai.89
7. Di bidang perikanan budidaya, masalah peraturan tata ruang
yang sering kali dilanggar atau tidak dipatuhi tanpa ada tindakan
yang tegas dari pemerintah atau aparat penegak hukum. Bahkan
tidak sedikit aturan tata ruang diganti atau disesuaikan dengan
kepentingan pribadi atau kelompok penguasa.90
Dalam kegiatan pengawasan perikanan, instansi yang
melaksanakan pengawasan di bidang perikanan adalah Ditjen
Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), TNI AL,
Polairud, dan Pokwasmas, yang dilakukan melalui koordinasi intensif.
Terkait dengan kegiatan kegiatan pengawasan di bidang
perikanan tersebut masih terdapat beberapa masalah, antara lain:91
1. pengawasan perairan perbatasan masih lemah, keterbatasan
kapal patroli dan sistem pengawasan;
2. pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan yang masih
lemah dan belum efektif; dan
3. IUU Fishing masih terjadi, penegakan hukum/ penanganan kasus
tindak pidana perikanan masih sangat lemah

89 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung


Mangkurat, Loc. Cit.
90 Ibid
91 Ibid.
Mengingat pentingnya kegiatan pengawasan perikanan, maka
diperlukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu
antara lain:92
a) Pelaksanaan pengawasan perikanan dalam rangka tertib dan
patuh terhadap peraturan perundang-undangan, perlu
dilaksanakan baik dalam bentuk sosialisasi peraturan, maupun
uji petik dan patroli.
b) Perlu penguatan koordinasi lintas sektor pada pengawasan
perikanan yang melibatkan instansi terkait lainnya, yaitu Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Polri, TNI-AL, Satker PSDKP,
Bakamla, dan lain-lain.
c) Pengaturan kewenangan petugas pengawasan perikanan terhadap
Kapal Penangkap Ikan ukuran besar perlu diperketat dan dibatasi
jumlahnya dalam rangka untuk kelestarian sumberdaya ikan.
d) Perlu ada penguatan pengaturan sistem pengawasan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikananberbasis masyarakat. Hal ini
karena keterlibatan masyarakat menjadi sangat penting, sebab
sarana dan prasarana pengawasan yang disediakan oleh
pemerintah terbatas, dan sudah menjadi adat budaya masing-
masing daerah sebagai wujud rasa tanggung jawab terhadap
sumber penghidupannya, seperti Awig-awig di Bali dan NTB,
Panglima Laut di Aceh, dan Sasi di Maluku.
e) Terkait dengan pengaturan mengenai pengawasan perikanan
budidaya, belum terakakomodir di UU Perikanan maupun Perda.
f) Perlu penguatan sarana prasana, peningkatan kuantitas dan
kualitas aparat SDM pengawas perikanan, dukungan anggaran
untuk biaya operasional yang memadai, keterlibatan Kelompok
Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) yang intensif mengingat
hal tersebut sudah termaktub dalam UU 45/2009 Pasal 67, serta
KEPMEN 58/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Masyarakat
dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan.
g) Perlu ada penguatan kewenangan yang sama dengan instansi lain
khususnya pada Polisi Air dalam melakukan patroli di perairan
dengan tidak dibatasi areanya, dan jika memungkinkan sampai di

92 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Maluku, Loc Cit.
atas 12 mil, sehingga mempunyai kekuatan hukum dalam
melakukan kegiatan pengawasan perikanan. Contohnya dalam
Pasal 66A ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengawas perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pegawai
negeri sipil yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh
menteri atau pejabat yang ditunjuk, perlu ditambah kata-kata
Polisi Air agar lebih kuat.93
h) Perlu ada pengaturan sanksi yang berat terhadap pelaku bom
ikan di RUU tentang Perikanan agar mempunyai efek jera.
Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bom (handak)
dan zat kimia (potassium) tersebut sangat merusak ekosistem
terumbu karang sehingga bisa berakibat kepunahan keragaman
jenis ikan atau sejenisnya. Kondisi tersebut tentu tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut. 94

i) Perlu ada revisi terkait dengan permintaan saksi ahli yang


dihadirkan tidak harus dari pusat, namun bisa dari Provinsi
sehingga akan mempercepat proses penyidikan perkara. Selain
itu, perlu ada penambahan waktu masa penahanan di Pasal 73B,
dan Pasal 76.95
j) Perlu ada kewenangan yang lebih luas, bagi siapa saja tim
pengawas perikanan yang menangkap kapal yang terlibat IUU
Fishing untuk diteruskan atau diproses lebih lanjut hingga
penahanan.96
k) Perlu ada pengaturan yang spesifik mengenai “Operasi Bersama”
antara Bakamla, Polisi Air dan PPNS dalam melakukan kegiatan
penangkapan pelaku IUU Fishing sehingga sinergi dan efektif
serta optimal, walaupun terkadang operasi pengawasan di laut
dilakukan secara mandiri oleh masing-masing instansi.
Mengingat luasnya perairan yang harus diawasi, keterbatasn
sarana kapal pengawas/patroli dan besarnya biaya operasional
kapal.97

9. Peran Serta Masyarakat

93 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku dalam, Loc. Cit.


94 Ibid.
95 Ibid

61
96 Ibid.
97 Ibid.

62
Pengaturan mengenai peran serta masyarakat di UU
Perikanan saat ini masih dirasa kurang komprehensif. Peran serta
masyarakat masih dinilai belum optimal terutama terkait pengelolaan
wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Terdapat 5 (lima)
kabupaten pesisir dan 126 desa peisir dengan jumlah penduduk
sebesar 686.956 jiwa. Potensi sumber daya manusia ini sayangnya
belum terkelola secara baik, sehingga upaya peningkatan pengelolaan
ekosistem lingkungan, sosial ekonomi, perikanan, dan pengamanan
pulau-pulau pesisir belum terlaksana dengan baik. Kedepannya
peran serta masyarakat baik secara mandiri maupun melalui
penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) menjadi
prioritas dalam bidang perikanan dan kelautan.98
Partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan
perikanan juga diperlukan melalui pendampingan atau penyuluhan
perikanan, yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 99

Dalam kegiatan pengelolaan perikanan, masyarakat masih


menjunjung tinggi adat dalam menjaga kelestarian lingkungan dan
berkelanjutannya ketersedian ikan di daerah mereka. Keberadaan
hukum adat selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan keseharian
masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan menjadi sangat penting,
dikarenakan keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan yang
disediakan oleh pemerintah, di lain pihak potensi sumberdaya
pengawasan di masyarakat cukup besar, dan sudah menjadi adat
budaya masing-masing daerah sebagai wujud rasa tanggung jawab
terhadap sumber penghidupannya, seperti Awig-awig di Bali dan
NTB, Panglima Lut di Aceh, dan Sasi di Maluku.
Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat, adalah merupakan
sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam
mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya kelautan dan perikanan secara bertanggung jawab.
Peran masyarakat tidak dapat dipandang sebelah mata, banyak

98 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan


Selatan, Loc. Cit.
99 Diskusi dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, Provinsi Kalimantan

Selatan, Loc. Cit.


kasus-kasus pencurian dan perusakan terumbu karang yang
dilakukan oleh nelayan asing maupun lokal. Beberapa jenis
pelanggaran pidana yang sering terjadi adalah 100: mengoperasikan
kapal penangkapan ikan berbendera asing di ZEEI tidak dilengkapi
Surat Ijin Penangkapan Ikan, penggunaan alat penangkapan ikan
yang tidak sesuai, pengangkutan ikan tidak memiliki Surat
Keterangan Berlayar dari Syahbandar perikanan dan melanggar
ketentuan persyaratan atau standard operasional penangkapan ikan.
Selain itu, kegiatan pengawasan sumber daya perikanan
terutama di laut, pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan juga dilakukan oleh TNI-AL, Bakamla dan
Polair, yang dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
instansi ataupun melalui operasi bersama (tetapi jarang terjadi)101.
Persoalan yang terjadi di lapangan adalah kendala sarana kapal
pengawas/patrol yang tidak memadai, baik kapasitas, jarak jelajah
dan sudah usangnya kapal patrol tersebut. Luasnya perairan di
Indonesia ini, dengan keterbatasan sarana yang ada pengawasan
tersebut belum maksimal untuk menjangkau perairan di wilayah
tersebut.
Guna menunjang kegiatan pengawasan oleh instansi terkait,
dengan keterbatasan yang telah disebutkan di atas peran serta
masyarakat sebagai pengawas terhadap wilayah dan kekayaan
sumber daya perikanan di wilayah tangkap mereka, masyarakat
nelayan dapat berpartisipasi dan aktif memberikan informasi di
lapangan jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal
nelayan asing ataupun local.
Pelibatan masyarakat dalam pengawasan tentu menjadi hal
yan krusial dan penting diikutsertakan terutama dalam pembahasan-
pembahasan program pemerintah yang terkait dengan nelayan.
Bantuan kapal dari pemerintah misalnya, disesuaikan dengan
kebutuhan nelayan lokal dan diberikan sesuai data nelayan yang
benar-benar membutuhkannya, alih-alih bantuan malah jatuh

100 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon dalam Kegiatan


Pengumpulan Data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang
Perubahan kedua Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Maluku, 5-9
September 2016.
101 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku, Loc. Cit.
kepada orang atau kelompok orang yang bukan nelayan, alhasil
kapal bantuan tidak dapat digunakan dengan maksimal.102
Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan, kebutuhan
program terletak pada pengambilan keputusan menyangkut
kebutuhan terpenting bagi mereka sesuai dengan perubahan kondisi
lingkungan dan perubahan sosial, ini berkaitan dengan ketahanan
adaptasi nelayan terhadap persoalan-persoalan tertentu yang
berhubungan dengan persoalan pesisir ketidakpastian hasil
tangkapan serta kerusakan lingkungan/ sumberdaya perikanan yang
menyebabkan penurunan hasil tangkapan mereka.

10. Pengadilan Perikanan, Penegakan Hukum, dan Sanksi


a. Pengadilan Perikanan
Pada dasarnya pelaksanaan fungsi pengadilan perikanan yang
menuntut suatu proses penyelesaian perkara yang mudah, murah
dan cepat secara umum telah berjalan dengan baik. Beberapa hal
yang menjadi kendala dalam perkara perikanan antara lain:103
1) Permasalahan Waktu Penahanan Tersangka/Terdakwa.

Dalam ketentuan Pasal 37 ayat 6 UU No. 31 Tahun 2004 tentang


Perikanan disebutkan bahwa “untuk kepentingan penyidikan,
Penyidik dapat menahan Tersangka paling lama 20 (dua puluh)
hari”, selanjutnya ayat 7 dijelaskan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat 6 apabila diperlukan guna pemeriksaan
yang belum selesai maka jangka waktu penahanan tersebut dapat
diperpanjang oleh Penuntut Umum untuk paling lama 10
(sepuluh) hari, dengan demikian maka total jangka waktu
seorang ditahan dalam proses penyidikan tindak pidana
perikanan adalah 30 (tiga puluh) hari.

Jika dibandingkan masa penahanan tersangka dalam proses


penyidikan tindak pidana perikanan dengan tindak pidana umum
sebagaimana ditentukan dalam KUHAP maka penyidikan tindak
pidana perikanan lebih singkat, hal ini merupakan tantangan dan
kendala sendiri karena pihak penyidik dituntut untuk secepat

102 Diskusi
dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung
Mangkurat, Loc. Cit.
103 Ibid.
mungkin menyelesaikan proses penyidikan dalam waktu yang
relatif singkat. Bahwa ditinjau dari prespektif asas penanganan
suatu tindak pidana dalam kerangka penegakan hukum yang
mengedepankan asas cepat adalah sesuatu yang baik, namun hal
ini menjadi persoalan tersendiri jika penyidik menjadikan waktu
penahanan yang singkat sebagai alasan dalam menyiapkan hal-
hal terkait dengan pembuktian perkara, sehingga pembuktian
lemah dan tidak sempurna yang pada akhirnya dapat
menyebabkan pembuktian di persidangan tidak maksimal dan
memungkinkan terdakwa lepas dari tuntutan hukum.

2) Tentang Persoalan Mengadili Tanpa Kehadiran Terdakwa (In


absensia).

Berkaitan dengan pemeriksaan sidang pengadilan secara In


Absensia muncul persoalan manakala terjadi, seorang tersangka
yang meninggal dunia ketika perkaranya hendak dilimpahkan ke
Pengadilan untuk disidangkan, hal ini menimbulkan masalah
tersendiri karena disatu sisi dengan kematian tersangka tersebut
menjadikan perkara dinyatakan ditutup demi hukum, namun
disisi lain perkara tersebut tidak selesai sehingga upaya untuk
melakukan perampasan barang bukti kapal sebagai modal
merehabilitasi kerugian negara akibat adanya IUU Fishing tidak
tercapai dengan baik.

Persoalan tersebut pernah terjadi pada tahun 2013 dalam perkara


atas nama Mr. Jaruey Kamthong/Nahkoda KM.SF2-3872. Pada
waktu itu penyidik hendak melimpahkan perkara meskipun
Tersangka telah meninggal dunia dengan mendasarkan pada
ketentuan Pasal 79 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Pihak Kejaksaan Negeri setempat berkeberatan dengan
pelimpahan perkara dimaksud dengan berdasar kepada ketentuan
Pasal 77 KUHP. Terhadap permasalahan tersebut menurut
pendapat penulis hal tersebut harus dikaitkan dengan asas
legalitas. Secara yuridis undang-undang telah melakukan suatu
pembatasan khusus tentang hapusnya pertanggungjawaban
pidana, pengaturan tersebut dapat dilihat dalam Bab VIII tentang
hapusnya kewenangan menuntut pidana. Pasal 77 bab tersebut
disebutkan, “Kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh
meninggal dunia”.

Ini mengindikasikan bahwa bagi seseorang tersangka yang telah


meninggal dunia maka tidak dapat dilakukan penuntutan oleh
jaksa penuntut umum, ketentuan ini tidak saja membatasi
pertanggung jawaban hukum pelaku tindak pidana yang telah
meninggal dunia akan tetapi lebih dari itu ada kandungan/nilai-
nilai kemanusian yang tersirat di dalamnya. Oleh karena itu, bagi
pelaku yang telah meninggal dunia tidak dapat dilanjutkan proses
hukumnya, tidak boleh ada dalam proses penegakan hukum itu
dilakukan dengan cara melanggar hukum juga, tidak ada alasan
baik yuridis maupun filosofis yang dapat dijadikan argumentasi
pembenar untuk tetap melakukan penuntutan bagi pelaku tindak
pidana yang telah meninggal dunia.

Harus dipahami maksud ketentuan Pasal 79 UU No. 31 Tahun


2004 tersebut adalah ditekankan pada proses persidangan,
artinya pada tahap penyidikan tersangka masih ada namun ia
tidak ada lagi pada tahap persidangan dan alasan ketiadaan
terdakwa di sidang tersebut diterjemahkan dalam bentuk seperti
melarikan diri, bukan karena kematian. Jika terdakwa dalam
proses persidangan melarikan diri, maka persidangan tetap
dilangsungkan secara In Absensia, namun jika meninggal maka
perkara dimaksud haruslah dinyata-kan ditutup demi hukum
dengan mengacu pada ketentuan Pasal 77 KUHP.

3) Bahasa

Nelayan asing umumnya hanya dapat berkomunikasi


menggunakan bahasa daerah asalnya sehingga proses
pemeriksaan di pengadilan sangat tergantung oleh penterjemah.
Secara umum penterjemah yang memahami bahasa daerah
nelayan asing tersebut sulit ditemukan.

4) Saksi

Saksi penangkap utamanya dari Angkatan Laut tidak pernah


dapat dihadirkan di pengadilan untuk memberikan kesaksian
dengan alasan sedang tugas patroli di laut. Hal ini tidak
memungkin dilakukan pengecekan/konfirmasi keterangan pada
saat pemeriksaan di pengadilan khususnya keterangan dari saksi
penangkap yang tidak diakui/dibantah oleh terdakwa. Selain itu,
Sulit menghadirkan ahli sesuai bidang kompetensi yang
diperlukan dan saksi yang dihadirkan belum dilengkapi sertifikat
keahlian.

5) Permasalahan Pemanfaatan Kembali Barang Bukti berupa


Kapal.

Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun


2004, benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau
yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas
untuk negara, dan hampir pasti ditemui Jaksa Penuntut Umum
akan menuntut agar kapal yang digunakan sebagai alat dirampas
untuk negara terlebih apabila kapal tersebut adalah kapal nelayan
asing. Ketika tuntutan Jaksa Penuntutan Umum tersebut
dikabulkan oleh hakim, maka benda yang dirampas tersebut
sudah sah menjadi hal milik negara untuk selanjutnya yang
menjadi permasalahan kemudian adalah pemanfaatan kapal-
kapal dimaksud sehingga tidak rusak sia-sia di dermaga.

Terkait dengan hukum acara di bidang perikanan, saat ini


keberlakuannya masih dirasa kurang efektif. Pemerintah dalam
hal ini telah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 14
Tahun 2000 tentang Pemanfaatan Kapal Perikanan yang
dinyatakan dirampas untuk negara. Dalam point pertama Keppres
tersebut disebutkan kapal perikanan berserta kelengkapannya
yang dinyatakan dirampas untuk negara, dimanfaatkan untuk
meningkatkan kemampuan nelayan kecil dan nelayan
transmigran dalam usaha penangkapan ikan. Namun demikian
pemanfaatan kapal tersebut bukannya tanpa persoalan karena
dalam praktiknya terdapat beberapa kendala yaitu, pertama pada
umumnya kapal nelayan asing yang dirampas banyak diantanya
menggunakan teknologi penangkapan ikan yang tidak bisa
digunakan oleh nelayan tradisional kita sehingga kapal yang
diserahkan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal.104
Kendala kedua dalam upaya pemanfaatan barang bukti
kapal ini adalah bahwa menurut informasi kapal yang telah

104
Ibid. 67
ditangkap karena melakukan tindak pidana perikanan tidak bisa
diterbitkan izin usahanya lagi, hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya ada kekhawatiran jika pihak korporasi tempat
kapat tersebut disita bernaung akan melakukan upaya
memperoleh kembali kapal tersebut dengan cara membeli untuk
kemudian digunakan lagi melakukan usaha penangkapan ikan.
Alasan lain mengapa kapal yang ditangkap tidak bisa lagi
diberikan izin melakukan usaha penangkapan ikana karena
berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan yang lestari
dan bertanggung jawab perlu dilaksanakan dengan pemberian
tanda terhadap kapal ikan, alat penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan. Pemberian tanda dimaksudkan untuk
mempermudah pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap
setiap pelaku penangkapan ikan. Dan bagi kapal ikan yang
ditangkap kerena melakukan IUU Fishing tidak akan diberi tanda
lagi, oleh karena itu secara universal kapal dimaksud dianggap
kapal yang tidak memiliki tanda khusus/kapal ilegal.105
Sampai saat ini penyidikan terfokus (sebagian besar)
dilakukan untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan
terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak
pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang
terjadi di perairan territorial. Untuk itu diperlukan upaya untuk
penguatan lembaga penyidik perikanan khususnya PPNS dan
Polri berupa peningkatan kemampuan teknis penyidikan,
dukungan pembiayaan serta penyediaan sarana dan prasaran
pendukung agar dapat menjangkau dan menangani seluruh
tindak pidana di bidang perikanan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam KUHAP,
untuk memudahkan pembuktian pada proses pemeriksaan di
pengadilan perlu ditambahkan alat elektonik. Hal ini berkaitan
dengan pembuktian lokasi (lokus) terjadinya tindak pidana yang
memerlukan data dari alat elektronik seperti Vessel Monitoring
System (VMS), GPS dll.

105
Ibid. 68
Tempat penyimpanan barang bukti tindak pidana
perikanan khususnya Kapal, sampai saat ini belum ada. Untuk
menyiasati masalah tersebut maka barang bukti kapal, jaring dan
uang hasil lelang di titipkan di JPU berdasarkan berita acara
penitipan barang.
Pasal 80 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara
dari penuntut umum hakim harus menjatuhkan putusan, namun
tidak disebutkan mekanisme apabila waktu tersebut terlampaui.
b. Penegakan Hukum
Pelaksanaan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan yaitu tindakan
khusus berupa pembakaran atau penenggelaman kapal berdasar
bukti permulaan yang cukup dilakukan oleh Penyidik dan/atau
pengawas perikanan apabila diyakini bahwa kapal ikan asing tersebut
benar-benar melakukan tindak pidana perikanan di WPPNRI tanpa
SIPI atau SIKPI.106 Tindakan ini perlu dilakukan secara hati hati
karena berpotensi melanggar ketentuan UNCLOS Pasal 57 ayat (1)
yang menjamin kebebasan pelayaran di wilayah perairan ZEE. Di
wilayah ZEE kapal penangkap ikan berbendera asing dapat berlayar
bebas dengan syarat seluruh alat penangkap ikan di simpan di dalam
palka sesuai Pasal 38 ayat (1). Demikian pula dengan kapal
pengangkut ikan yang mengangkut ikan bukan dari hasil tangkapan
di WPP Indonesia dapat berlayar tanpa perlu dilengkapi dengan SIKPI.
Penenggelaman kapal yang dilakukan penyidik berdasarkan
ketentuan Pasal 69 ayat (4) pada prinsipnya bertentangan dengan
asas praduga tidak bersalah oleh sebab itu maka penenggelaman
sebaiknya dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.107
Untuk mendukung pengembangan usaha perikanan bagi
nelayan kecil maka kapal dan alat tangkap ikan yang telah disita
sebaiknya tidak ditengggelamkam atau dimusnahkan tetapi di
serahkan kepada kelompok bersama usaha nelayan dan atau
koperasi perikanan sesuai ketentuan Pasal 76C ayat (5).108

106 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
107 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit.
108

Ibid. 69
Kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU
Fishing) tidak semua dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
kejahatan. Yang dimaksud dengan tindak pidana kejahatan, apabila
telah melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) s/d ayat (4), Pasal 9, Pasal
12 ayat (1) s/d ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 26
ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28 ayat (1).109
Pemerintah dituntut harus aktif dan konsistem melakukan
perjanjian kerjasama penaggulangan IUU Fishing baik secara
bilateral maupun multilateral. Selain itu dukungan pemenuhan
kebutuhan aparat yang tangguh yang dilengkapi dengan sarana
dan prasarana yang memadai antara lain berupa kapal pengawas
serta memperkuat pos penjagaan di daerah perbatasan dengan
memperhatikan perekonomian mereka. Permasalahan IUU Fishing
juga terkait karena kurangnya kesadaran dan pemahaman
masyarakat tentang hukum perikanan sehingga perlu dilakukan
sosialisasi yang melibatkan semua pihak baik aparat penegak hukum
maupun pihak swasta secara berkelanjutan. Hal ini ditujukan
untuk menghindari adanya penafsiran hukum yang berbeda antar
aparat penegak hukum. Koordinasi antar-lembaga terkait perlu di
lakukan secara konsisten dalam penegakan hukum perikanan
sehingga dengan kewenangan yang mereka miliki masing-masing
dapat mencapai tujuan yang sama.110

c. Sanksi
Sanksi pidana dalam UU Perikanan masih belum efektif dan
kurang memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana.
Contohnya untuk jenis pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf
m dan huruf n, sanksinya masih terlalu ringan dan tidak akan
pernah memberikan efek jera bagi pelaku, sehingga disarankan agar
sanksi pidana denda dinaikan dari Rp. 250.000.000 menjadi paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) ditambah dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan.111

109 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
110 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit.
111 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
70
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 35A ayat (3) mengenai
penggunaan nahkoda dan anak buah kapal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa
peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin yang diberikan
secara bertahap.112Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
penyerapan tenaga kerja Indonesia di bidang perikanan, karena pada
pelaksanaannya pasal ini tidak dapat menyentuh operator kapal
dengan alasan investor asing. Selain itu perlu dilakukan monitoring
atau pengecekan terinci oleh masing-masing instansi yang
mengeluarkan surat izin.113
Pelanggaran terhadap jenis, jumlah dan ukuran alat
penangkap ikan sebagai mana di atur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a
sebaiknya diatur dalam satu pasal tersendiri dan digolongkan
sebagai satu tindak pidana kejahatan sesuai pasal Pasal 103 ayat (1),
karena pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat menyebabkan
berbagai jenis dan ukuran ikan non target ikut tertangkap sehingga
berpotensi membahayakan kelestarian sumber daya ikan.114
Sanksi bagi korporasi yang melakukan tindak pidana
perikanan hendaknya dijatuhkan hanya kepada korporasi dalam
bentuk denda bukan kepada pengurus sebagaimana di atur dalam
Pasal 101.115
Ketentuan Pasal 102 yang tidak membolehkan pidana penjara
bagi nelayan asing yang melakukan tindak pidana di ZEE Indonesia
kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan pemerintah negara yang bersangkutan, bertentangan dengan
asas equality before the law bahwa semua orang sama kedudukannya
dimata hukum. Disamping itu penjatuhan hukuman denda semata
tanpa di barengi dengan pemberian hukuman pengganti akan
menyulitkan nelayan asing yang tidak mampu membayar denda.
Nasib nelayan tersebut, terkatung katung tidak akan diizinkan oleh
pihak imigrasi untuk pulang kenegaranya selama kewajiban denda
belum dibayarkan. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan suatu

112 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit.


113 Diskusi dengan Kepolisian Perairan Maluku, Loc Cit.
114 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit.
115 Ibid.

71
bentuk hukuman pengganti berupa kurungan bagi nelayan asing
yang tidak mampu membayar denda.116
Untuk efektifitas penerapan sanksi terhadap tidak pidana
perikanan yang terjadi diperlukan pemahaman yang baik dari
petugas penyidik dan JPU untuk menganalisa dan mengidentikasi
bentuk pelanggaran yang terjadi, apakah digolongkan ke dalam
tindak kejahatan atau pelanggaran. Untuk itu diperlukan upaya
peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat melalui kegiatan
pembinaan dan pelatihan secara teratur.117

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan


Diatur Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat Dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan
Negara
1. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam
Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat
Beberapa materi muatan baru yang akan diatur dalam Undang-
Undang Perikanan tentu akan menimbulkan implikasi terhadap
masyarakat. Beberapa hal yang dimungkinkan akan mempengaruhi
usaha perikanan serta penyelenggaraan perikanan secara
keseluruhan dapat diuraikan berikut ini:
a. pengaturan mengenai usaha perikanan budidaya diatur lebih
komprehensif diharapkan dapat memberikan implikasi terhadap
meningkatnya hasil perikanan budidaya yang dapat menunjang
potensi perikanan di Indonesia selain dari hasil perikanan
tangkap.
b. pengaturan mengenai Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) dalam
implementasinya diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan
perikanan, karena:
1) SLIN merupakan implementasi konsep logistik berbasis
komoditas, yaitu melakukan penanganan (penyimpanan dan
pengiriman) dan mengembangkan sarana dan prasarananya
sesuai dengan karakteristik komoditas.
2) SLIN menggunakan prinsip supply chain management (SCM)
dengan mengintegrasikan proses-proses pengadaan,

116 Ibid.
117 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
72
penyimpanan, transportasi, dan distribusi, dengan melibatkan
kementerian-kementerian terkait, pemerintah daerah, pelaku
usaha, hingga nelayan dan pembudidaya ikan.
3) SLIN menggunakan pendekatan komoditas unggulan,
wilayah/kawasan, dan konektivitas sesuai dengan potensi
daerah.
Pengaturan SLIN diharapkan dapat berperan dalam:
1) mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan
pangan nasional melalui jaminan ketersediaan,
keterjangkauan, dan keberlanjutan untuk pemenuhan
konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan; dan
2) memenuhi konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan
melalui jaminan terhadap pengadaan, penyimpanan,
transportasi, dan distribusi ikan dan produk perikanan, serta
bahan dan alat produksi.
c. pengaturan mengenai sistem data dan informasi perikanan yang
mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun,
mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi
Perikanan diharapkan dapat memperkuat penyelenggaraan
perikanan terutama pada saat perencanaan. Dengan adanya
sistem data dan informasi yang mutakhir dan akurat potensi
perikanan di Indonesia juga dapat lebih terukur dan terjaga
kelestariannya.
d. pengaturan tersendiri mengenai konservasi perikanan diharapkan
dapat menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Dengan
penguatan pengaturan Konservasi sumber daya ikan yang
dilakukan melalui konservasi ekosistem, jenis ikan, dan sumber
daya genetik ikan diharapkan juga peran serta masyarakat agar
lebih peduli terhadap potensi sumber daya ikan serta pengelolaan
perikanan secara keseluruhan.
e. pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah setidaknya
mempengaruhi beberapa urusan kewenangan di bidang kelautan
dan perikanan pada pemerintahan daerah seperti:
1) Kelembagaan
a) Kelembagaan kelautan dan perikanan hanya ada di
provinsi.
b) Kelembagaan yang ada di kabupaten/kota berganti status
menjadi cabang dinas atau UPTD provinsi.
c) Perlu pengaturan pemindahan P3D (personil, pembiayaan,
sarana dan prasarana, dan dokumen).
d) Tahap transisi dilakukan melalui mekanisme tugas
pembantuan dari provinsi ke kabupaten/kota.
2) Personil (ASN) Daerah
a) Personil (ASN) Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) di
kabupaten/kota dapat beralih status menjadi pegawai
provinsi.
b) Bagi personil kabupaten/kota yang tidak mau beralih
status, kekosongan diisi oleh personil provinsi.
c) Tata cara pengubahan status kepegawaian di fasilitasi BKN
regional.
d) Pemerintah pusat menentukan standar kompetensi bagi
pejabat DKP terkait seleksi terbuka sesuai UU ASN;
3) Keuangan Daerah
a) Kewajiban penganggaran menjadi kewenangan provinsi
(money follow function).
b) Bantuan keuangan pusat kedepan hanya diperuntukan
bagi provinsi.
4) Pelayanan Publik
a) Perijinan terkait kelautan dan perikanan akan beralih ke
provinsi.
b) Perijinan harus diatur oleh Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) yang jelas.
c) NSPK jadi lebih rumit karena ada yang bersifat cross-
cutting ketika terkait dengan kementerian atau lembaga
lain.
5) Bimbingan dan Pengawasan (BinWas)
a) BinWas tekhnis dilakukan langsung oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
b) BinWas umum dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.
c) Rule of engagement atau interface antara BinWas umum
dan teknis harus diatur antara kedua kementerian di atas.
d) Pengawasan terhadap Unit Pelaksana Tekhnis Daerah
(UPTD) atau cabang dinas provinsi dilakukan oleh
inspektorat provinsi.
2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-
Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
Kajian ekonomi dan dampak pelaksanaan dari RUU Perikanan
ini tidak mengalami banyak perubahan terhadap aspek beban
keuangan negara. Namun demikian ada beberapa pengaturan yang
memang memberi dampak pada aspek keuangan negara seperti
pengaturan mengenai pungutan Perikanan dan pembentukan
Pengadilan Perikanan.
Pungutan perikanan berdampak pada jumlah pendapatan
negara bukan pajak (PNBP) yang tercatat meningkat dari Rp 77,49
miliar pada tahun 2015 menjadi Rp 360,86 miliar pada tahun 2016.
Kenaikan pencapaian PNBP pada tahun 2016 disebabkan
pemberlakuan Peraturan Pemerintah yang menaikkan tarif pungutan
hasil perikanan secara progresif dengan menerapkan formula baru
bagi sistem pemungutan retribusi kegiatan kelautan dan perikanan.
Pembentukan Pengadilan Perikanan pada dasarnya dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
keuangan Negara. Oleh karena itu, seiring dengan peningkatan
penegakan hukum terutama untuk menindaklanjuti tindak pidana
perikanan maka penambahan Pengadilan Perikanan tentunya akan
menambah beban penggunaan keuangan Negara, seperti perekrutan
hakim ad hoc serta pembangunan sarana dan prasarana Pengadilan
Perikanan.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT

A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki
luas wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km2 yang
memiliki keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang
sangat besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau perairan laut
Indonesia sebesar 7,2 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan
yang diperbolehkan sebesar 7,0 juta ton/tahun. Indonesia sebagai
negara maritim terbesar di dunia, memiliki kekayaan alam sangat
besar dan beragam, baik berupa sumber daya alam (SDA) terbarukan
(perikanan, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove,
rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), SDA tak terbarukan,
energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC
(Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan
kelautan dan pulau-pulau kecil untuk pariwisata bahari, transportasi
laut, dan sumber keragaman hayati serta plasma nutfah. Kekayaan
alam tersebut menjadi salah satu modal dasar yang harus dikelola
dengan optimal untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia.
Potensi perikanan yang sangat besar di Indonesia menjadi salah
satu sumber kekayaan Indonesia merupakan rahmat dari Tuhan
Yang Maha Esa yang harus dikelola, dimanfaatkan, dan dilestarikan
secara bertanggungjawab dan berkelanjutan, demi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah juga wajib mengelola potensi sumber daya perikanan
Indonesia dengan menguasai perairan perikanan Indonesia dan
mengelolanya demi sebesar-besranya kemammuran rakyat. Hal ini
sesuai dengan amanah Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang
menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.”
B. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Saat ini regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan
perikanan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 (yang selanjutnya disebut UU Perikanan). Pada
dasarnya UU Perikanan ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya
ikan secara lestari melalui penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, dan meningkatkan
ekspor, serta meningkatkan taraf hidup nelayan.
Namun dalam praktiknya timbul permasalahan terkait dengan
keberlakuan UU Perikanan yaitu dengan banyaknya praktik-praktik
Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing yang terjadi di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
(WPPNRI), baik yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan Indonesia
(KII) maupun oleh kapal-kapal perikanan asing menyebabkan
kerugian baik dari aspek sosial, ekologi/lingkungan, maupun
ekonomi. Namun saat ini UU Perikanan belum mengakomodir
ketentuan mengenai IUU Fishing sehingga banyak sekali kasus IUU
Fishing yang terjadi di Indonesia.
Dalam penyelenggaraan perikanan masih banyak terdapat
konflik yang dialami nelayan misalnya seperti konflik yang terjadi di
wilayah perbatasan antara nelayan Indonesia dengan nelayan asing,
konflik yang disebabkan oleh pembagaian wilayah tangkapan
dimana banyak sekali kapal penangkapan ikan dari pihak asing yang
melakukan pemanfaatan perikanan di wilayah perairan Indonesia,
hal ini disebabkan karena belum optimalnya rencana tata ruang dan
rencana zonasi dalam sektor perikanan untuk perikanan tangkap.
Keterbatasan armada penangkapan ikan yang masih
didominasi oleh kapal berukuran kecil menjadi suatu permasalahan
yang dialami oleh nelayan, karena hal ini menyebabkan jangkauan
wilayah penangkapan ikan menjadi terbatas sehingga jumlah
tangkapan yang didapat menjadi sedikit. Permasalahan lain yang
sering dihadapi nelayan yaitu dalam proses perizinan baik perizinan
usaha penangkapan ikan maupun perizinan kapal perikanan. Dalam
praktiknya terdapat banyak permasalahan yang dialami oleh
pembudidaya perikanan seperti tumpang tindihnya pemanfaatan
lahan; terbatasnya prasarana saluran irigasi; terbatasnya
ketersediaan serta distribusi induk dan benih unggul; tingginya harga
pakan menyebabkan hasil dari budidaya ikan masih belum
maksimal; serangan hama dan penyakit ikan/udang; adanya
pencemaran yang mempengaruhi kualitas lingkungan perikanan
budidaya.
Jika melihat lingkup pengaturan dalam UU Perikanan saat ini
lebih menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan
pengaturan perikanan budidaya dirasa belum komprehensif.
Sehingga dalam praktiknya perikanan budidaya membutuhkan
pengaturan yang lebih komperhensif mengingat potensi dan
pengembangannya perikanan budidaya ke depan akan semakin
signifikan. Di samping itu penggunaan sumberdaya kelautan dan
perikanan yang belum memperhatikan kearifan lokal menjadi salah
satu dampak yang diakibatkan karena hal tersebut yaitu kerusakan
lingkungan laut dan pencemaran laut, pencurian ikan (illegal fishing)
dan gejala penangkapan ikan yang berlebihan. Lemahnya
kemampuan nelayan dalam melakukan pemasaran produk juga
menjadi salah satu kendala dalam pengembangan usaha nelayan
untuk menjadi usaha yang maju.
Sampai saat ini penyidikan dalam kasus perikanan sebagian
besar terfokus untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan
terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak
pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang
terjadi di perairan territorial. Penjatuhan sanksi pidana yang terdapat
dalam UU Perikanan belum memberikan efek jera terhadap tindak
pidana di bidang perikanan. Sedangkan ketentuan pengaturan
mengenai keterlibatan masyarakat dalam sektor perikanan dalam UU
Perikanan masih sangat terbatas yakni hanya pada pengawasan
perikanan.
Hal lain yang menyebabkan perlunya dilakukan perubahan
terhadap UU Perikanan yaitu dengan diterbitkannya beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perikanan maka
perlu dilakukan sinkronisasi kewenangan pemerintah dan
pemerintah daerah dibidang perikanan terkait dengan keberlakuan
78
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan
Daerah, sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Petambak Garam, UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,
dan UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.

C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan


dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak
Garam (UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan)
UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan merupakan dasar
hukum yang berlaku di Indonesia dalam menyelenggarakan
perlindungan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam
termasuk keluarga nelayan dan pembudi daya ikan yang melakukan
pengolahan dan pemasaran, sehingga memberikan jaminan kepastian
hukum serta keadilan bagi mereka agar mencapai sasaran yang
maksimal. Nelayan di dalam UU ini mencakup nelayan, nelayan kecil,
nelayan tradisional, nelayan buruh, dan nelayan nelayan pemilik.
Adapun pembudidaya ikan mencakup pembudidaya ikan,
pembudidaya ikan kecil, penggarap lahan budi daya, dan pemilik
lahan budidaya. UU ini juga mencakup petambak garam, petambak
garam kecil, penggarap tambak garam dan pemilik tambak garam.
Adapun keterkaitan UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan dengan UU Perikanan adalah meliputi definisi perikanan
dan usaha perikanan (Pasal 1 angka 20 dan angka 22 UU
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan), komoditas perikanan
(Pasal 1 angka 24 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan),
subyek pelaku di bidang perikanan yaitu nelayan dan pembudidaya
ikan (Pasal 1 angka 3 sampai dengan angka 4, dan angka 9 sampai
dengan angka 12 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan),
upaya-upaya pemberdayaan dan perlindungan bagi nelayan dan
pembudidaya ikan (Bab IV dan Bab V UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan).
Salah satu permasalahan yang timbul adalah ketidaksinkronan
mengenai definisi “nelayan kecil” yang ada di UU Perikanan dan
79
UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Pasal 1 angka 11
UU

80
Perikanan mendefinisikan “nelayan kecil adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan
berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT)”. Adapun ketentuan
Pasal 1 angka Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan mendefinisikan “nelayan kecil adalah Nelayan yang
melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan
maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling
besar 10 (sepuluh) gros ton (GT)”.
Definisi nelayan yang berbeda tersebut akan menimbulkan
permasalahan hukum dalam implementasi penyelenggaraan
perikanan khususnya yang terkait dengan pengaturan terhadap
“nelayan kecil” karena menyangkut substansi pengaturan yang ada di
Bab X, Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 UU No. 31 Tahun 2004 dan
ketentuan lainnya yaitu ketentuan “pengecualian” terhadap
kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal
perikanan (Pasal 7 ayat (3) UU No. 45 Tahun 2009), kewajiban
memiliki SIPI dan/atau membawa SIPI asli (Pasal Pasal 27 ayat (5)
dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009), pungutan perikanan
(Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009), dan keringanan pengenaan
sanksi pidana dan denda (Pasal 100B dan Pasal 100C UU No. 45
Tahun 2009).
Definisi pembudi daya ikan dalam UU Perikanan yang
berbunyi “Pembudi daya Ikan adalah setiap orang yang mata
pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.” perlu disesuaikan
dengan Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam yang berbunyi
“Pembudi daya Ikan adalah setiap orang yang mata pencahariannya
melakukan pembudidayaan ikan air tawar, ikan air payau, dan ikan
air laut.”
Karena saat ini telah ada UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, substansi
pengaturan terkait perlindungan dan perberdayaan nelayan yang ada
di UU Perikanan, substansinya disinkronkan atau jika perlu dihapus,
karena sudah cukup diatur di UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, selain juga
untuk memperkecil kemungkinan tumpang tindih atau tidak sinkron
di antara keduanya.
Materi yang terkait dengan usaha-usaha bagi perlindungan dan
pemberdayaan nelayan yang ada di UU Perikanan harus disinkronkan
dengan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yang mencakup
substansi definisi nelayan dan pembudidaya ikan (Pasal 1 angka 10
sampai dengan angka 13 UU No. 45 Tahun 2009), tujuan
penyelenggaraan perikanan, pemberdayaan nelayan, system
pemantauan kapal perikanan (Pasal 7 ayat (3) UU No. 45 Tahun
2009), kebersamaan dan kemitraan (Pasal 25 (2) UU No. 45 Tahun
2009), kewajiban dan pengecualian pemilikan SIPI dan SIKPI (Pasal
27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009), pungutan
perikanan, pelestarian perikanan, dan pemanfaatan bahan rampasan
dari hasil tindak pidana dibidang perikanan. Semua substansi
tersebut harus sinkron pengaturannya antara UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dan UU Perikanan.

D. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan (UU


Kelautan)
NKRI sebagai negara kepulauan memiliki sumber daya alam
yang melimpah yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang
Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus
dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan
umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Wilayah laut sebagai bagian
terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai
strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik,
ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan
modal dasar pembangunan nasional. UU Kelautan ini disusun untuk
memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan
kelautan serta untuk menegaskan bahwa Indonesia merupakan
negara kepulauan.
UU kelautan disusun dengan tujuan untuk menegaskan
Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim;
mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan/atau kegiatan di
wilayah laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan hukum laut internasional demi tercapainya
kemakmuran bangsa dan negara; mewujudkan laut yang lestari serta
aman sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa Indonesia;
memanfaatkan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan bagi generasi sekarang tanpa
mengorbankan kepentingan generasi mendatang; memajukan budaya
dan pengetahuan Kelautan bagi masyarakat; mengembangkan
sumber daya manusia di bidang Kelautan yang profesional, beretika,
berdedikasi, dan mampu mengedepankan kepentingan nasional
dalam mendukung Pembangunan Kelautan secara optimal dan
terpadu; memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh
masyarakat sebagai negara kepulauan; dan mengembangkan peran
NKRI dalam percaturan kelautan global sesuai dengan hukum laut
internasional untuk kepentingan bangsa dan negara.
Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan dalam UU
Kelautan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta
dasar laut dan tanah dibawahnya termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat
(2) UU Kelautan. Keterkaitan UU Kelautan dengan UU Perikanan
terletak dalam pengelolaan kelautan, karena salah satu bentuk
pengelolaan kelautan Indonesia yaitu dalam sektor perikanan. Dalam
UU Kelautan dikatakan bahwa wilayah Laut terdiri atas wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar
laut internasional. Di wilayah laut Indonesia yang terdiri atas
wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan
dasar laut internasional. Pemerintah berhak melakukan pengelolaan
dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan laut. Wilayah
perairan meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut
teritorial. Sedangkan wilayah yurisdiksi meliputi Zona Tambahan,
ZEE, dan Landas Kontinen. Dapat dikatakan bahwa pengelolaan dan
pemanfaatan kelautan yang salah satunya dilakukan melalui sektor
perikanan dapat dilakukan di perairan pedalaman, perairan
kepulauan, dan laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE, Landas
Kontinen, laut lepas, dan kawasan dasar laut internasional. Jika
melihat ketentuan UU Perikanan wilayah pengelolaan perikanan
untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan terdapat di
perairan Indonesia; ZEEI; Sungai, danau, waduk, rawa, dan
82
genangan

83
air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan
yang potensial di wilayah Republik Indonesia; Laut Lepas; dan laut
teritorial. Jika melihat dari ketentuan di atas maka wilayah laut yang
dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan perikanan di UU Perikanan
dan UU Kelautan sudah selaras namun di UU Perikanan tidak
terdapat ketentuan mengenai pengelolaan perikanan di Zona
Tambahan dan Landas Kontinen. Terdapatnya nomenklatur baru
dalam wilayah laut, maka mengenai pengelolaan perikanan di zona
tambahan dan landas kontinen dapat dijadikan materi muatan dalam
perubahan RUU Perikanan.
Pemerintah wajib untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
perikanan di laut lepas melalui forum pengelolaan perikanan
regional dan internasional. Pembangunan kelautan yang terdapat
dalam Bab V dilaksanakan untuk mewujudkan Indonesia menjadi
negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional. Pembangunan kelautan diselenggarakan
melalui perumusan dan pelaksanaan kebijakan salah satunya terkait
pengelolaan sumber daya kelautan yakni perikanan.
Dalam Bab Keenam bagian kesatu diatur mengenai
pengelolaan kelautan. Pengelolaan kelautan yang dilakukan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah yang ditujukan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan
sumber daya kelautan dengan menggunakan prinsip ekonomi biru.
Kebijakan ekonomi biru dalam UU kelautan ditetapkan oleh
pemerintah. Pembangunan ekonomi kelautan dilaksanakan melalui
penciptaan usaha yang sehat dan peningkatan kesejahteraan rakyat,
terutama masyarakat pesisir dengan mengembangkan kegiatan
ekonomi produktif, mandiri, dan mengutamakan kepentingan
nasional. Pemanfaatan sumber daya kelautan meliputi perikanan;
energi dan sumber daya mineral; sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil; dan sumber daya nonkonvensional.
Terkait pemanfaatan sumber daya kelautan yang berupa sektor
perikanan maka pemerintah mengatur pengelolaan sumber daya ikan
di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta menjalankan
pengaturan sumber daya ikan di laut lepas berdasarkan kerja sama
dengan negara lain dan hukum internasional sebagaimana tercantum
dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Dalam melakukan
83
pemanfaatan sektor perikanan pemerintah mengoordinasikan
pengelolaan sumber daya ikan serta memfasilitasi terwujudnya
industri perikanan. Dalam memfasilitasi terwujudnya industri
perikanan, pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian
sumber daya ikan; menjamin iklim usaha yang kondusif bagi
pembangunan perikanan; dan melakukan perluasan kesempatan
kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup nelayan dan
pembudidaya ikan. Pemerintah mengatur sistem logistik ikan
nasional untuk kepentingan distribusi hasil perikanan. Selain itu
dalam rangka peningkatan usaha perikanan, maka pihak perbankan
bertanggung jawab dalam pendanaan suprastruktur usaha
perikanan, yang mana pendanaan tersebut diatur dalam undang-
undang tersendiri. Di samping itu perikanan termasuk ke dalam
pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam paragraf 3 UU Kelautan dikatakan bahwa pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi
sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya buatan,
dan jasa lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Perikanan termasuk ke dalam
sumber daya buatan dan jasa lingkungan. Dalam penjelasan Pasal 22
ayat (3) UU Kelautan dikatakan bahwa sumber daya buatan meliputi
infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan.
Sedangkan jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan
dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan
dan perikanan, serta energi gelombang laut.
UU Kelautan juga mengatur mengenai penegakan kedaulatan
dan hukum di wilayah perairan Indonesia, dasar laut, dan tanah di
bawahnya yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional. Untuk penegakkan
hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi khususnya dalam
melaksanakan patrol keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
dan wilayah yurisdiksi Indonesia dilakukan badan keamanan laut.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) memiliki tugas patroli keamanan
dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah
yurisdiksi Indonesia.
Bakamla memiliki fungsi untuk menyusun kebijakan nasional
di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia
84
dan wilayah yurisdiksi Indonesia; menyelenggarakan sistem
peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; melaksanakan
penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran
hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia; menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli
perairan oleh instansi terkait; memberikan dukungan teknis dan
operasional kepada instansi terkait; memberikan bantuan pencarian
dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia; dan melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan
nasional. Selain Bakamla dibentuk pula sistem pertahanan laut yang
berfungsi untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
Indonesia di wilayah laut. Sistem pertahanan laut diselenggarakan
oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
Dalam wilayah laut dibutuhkan perencanaan ruang laut untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang laut. Struktur ruang
Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan kelautan dan sistem
jaringan prasarana dan sarana laut yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang laut meliputi
kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan
kawasan strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang laut meliputi
perencanaan tata ruang laut nasional, perencanaan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, dan perencanaan zonasi kawasan laut.
Perencanaan ruang laut merupakan suatu proses untuk
menghasilkan rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi
untuk menentukan struktur ruang laut dan pola ruang laut.
Perencanaan ruang laut dipergunakan untuk menentukan kawasan
yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya,
misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri
maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk
melindungi kelestarian sumber daya kelautan; serta untuk
menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran,
pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut.
85
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda)
Keterkaitan UU Pemda dengan UU Perikanan adalah
mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Pasal 9 ayat (1) UU Pemda mengklasifikasikan urusan
pemerintahan yang terdiri atas urusan pemerintahan absolut,
urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa urusan
pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat
dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Pasal 9 ayat (4)
menyatakan urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke
daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.
Urusan pemerintahan konkuren kemudian terbagi menjadi
kewenangan daerah yang terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan
urusan pemerintahan pilihan. Salah satu urusan pemerintahan
pilihan tersebut meliputi kelautan dan perikanan (Pasal 11 ayat (1)).
Pasal 14 ayat (1) UU Pemda menyebutkan bahwa penyelenggaraan
urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan
sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi. Dalam Pasal 14 ayat (5) disebutkan daerah kabupaten/kota
penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari
penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dan pada ayat (5) selanjutnya diatur penentuan daerah
kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan
adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
Dengan berlakunya UU Pemda tersebut, terjadi perubahan
kewenangan pengelolaan laut provinsi yang semula 4-12 mil kini
menjadi 0-12 mil, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumnya
oleh pemerintah kabupaten/kota diambil alih oleh pemerintah
provinsi, salah satunya kewenangan zonasi laut yang dulu 4-12 mil
menjadi 0-12 mil. Sebelumnya zonasi laut 0-4 mil merupakan
kewenangan Pemerintah kabupaten/kota.
Dalam hal pembagian urusan bidang antara pemerintah
pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, khususnya pada
sektor kelautan dan perikanan yang diatur oleh Undang-
Undang tidak terdapat pemberian kewenangan pengelolaan
kepada daerah kabupaten/kota yang diambil alih oleh pemerintah
pusat dan daerah provinsi.
Berikut rincian pembagian urusan pemerintahan bidang
kelautan dan perikanan:
a. Sub Urusan Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
1) Pemerintah Pusat
a) Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional.
b) Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional.
c) Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah)
ikan antarnegara.
d) Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur
perdagangannya secara internasional.
e) Penetapan kawasan konservasi.
f) Database pesisir dan pulau-pulau kecil.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
a) Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan
gas bumi.
b) Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di
luar minyak dan gas bumi.
c) Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
b. Sub Urusan Perikanan Tangkap
1) Pemerintah Pusat
a) Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil.
b) Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang
diperbolehkan (JTB).
c) Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk:
(1) kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross Tonase (GT);
dan
(2) di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan modal
asing dan/atau tenaga kerja asing.
d) Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan
perikanan nasional dan internasional.
e) Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan dengan ukuran di atas 30 GT.
f) Pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
a) Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan
12 mil.
b) Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal
perikanan berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
c) Penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan
perikanan provinsi.
d) Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan
30 GT.
e) Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30
GT.
3) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
a) Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota.
b) Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
c. Sub Urusan Perikanan Budidaya
1) Pemerintah Pusat
a) Sertifikasi dan izin edar obat/dan pakan ikan.
b) Penerbitan izin pemasukan ikan dari luar negeri dan
pengeluaran ikan hidup dari wilayah Republik Indonesia.
c) Penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang
pembudidayaan ikan lintas Daerah provinsi dan/atau yang
menggunakan tenaga kerja asing.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya
lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
3) Pemerintah Kabupaten/Kota
a) Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya
dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota.
b) Pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan.
c) Pengelolaan pembudidayaan ikan.
d. Sub Urusan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
1) Pemerintah Pusat
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di atas 12 mil,
strategis nasional dan ruang laut tertentu.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan
12 mil.
e. Sub Urusan Pengolahan dan Pemasaran
1) Pemerintah Pusat:
a) Standardisasi dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.
b) Penerbitan izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan
nonkonsumsi ke dalam wilayah Republik Indonesia.
c) Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil
perikanan lintas Daerah provinsi dan lintas negara.
2) Pemerintah Daerah Provinsi:
Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil
perikanan lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
Daerah provinsi.
f. Sub Urusan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan
1) Pemerintah Pusat:
Penyelenggaraan karantina ikan, pengendalian mutu dan
keamanan hasil perikanan.
g. Sub Urusan Pengembangan SDM Masyarakat Kelautan dan
Perikanan
1) Pemerintah Pusat:
a) Penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional.
b) Akreditasi dan sertifikasi penyuluh perikanan.
c) Peningkatan kapasitas SDM masyarakat kelautan dan
perikanan.
Perubahan konstelasi kewenangan pengelolaan perikanan
pasca ditetapkannya UU Pemda perlu segera ditindaklanjuti dengan
melakukan penyesuaian aturan tentang perikanan untuk menjamin
adanya kepastian hukum bagi masyarakat, memastikan tidak
terganggunnya fungsi pelayanan publik, serta memastikan inisiatif
pengelolaan perikanan yang selama ini telah digagas dan
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak terbengkalai.
Perubahan terhadap aturan di bidang perikanan yang perlu
disesuaikan mencakup kewenangan perizinan (termasuk pendaftaran
kapal perikanan), pengaturan zona tangkap, kelembagaan
pengelolaan perikanan yang selama ini ada di kabupaten/kota, serta
kewenangan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan dan
genetik.

F. UU Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan UNCLOS 1982


(UU tentang Pengesahan UNCLOS 1982)
UU tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dibentuk dalam
rangka meratifikasi ketentuan konvensi internasional yang diatur
dalam United Nations Convention of The Law on The Sea Tahun
1982. Meskipun konvensi internasional ini telah ditandatangani pada
tahun 1982, Indonesia baru melakukan resepsi (receptie) akan
ketentuan yang dikandung didalamnya setelah 3 tahun konvensi
tersebut berlaku secara internasional yaitu tanggal 31 Desember
1985. Pada tanggal 11 Desember 1982 UNCLOS menetapkan
asas-asas dasar untuk penataan kelautan, sebagai instrumen
perjanjian internasional UNCLOS merupakan hasil negosiasi antar
lebih dari seratus negara termasuk Indonesia, yang mengatur materi
yang begitu luas dan kompleks. Secara rinci UNCLOS menetapkan
hak dan kewajiban, kedaulatan, hak-hak berdaulat dan yurisdiksi
negara-negara dalam pemanfaatan dan pengelolaan laut.
Keberadaan UNCLOS dapat dikatakan telah mengakhiri
ketidaktertiban hukum dalam pemanfaatan laut. Selain
mempertahankan berbagai zona maritim seperti perairan pedalaman,
laut territorial, landas kontinen dan laut lepas, UNCLOS telah
menetapkan sejumlah ketentuan baru seperti tentang selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional, perairan kepulauan, dan
ZEE, serta perubahan pada ketentuan tentang landas kontinen
(sampai dengan 200 mil atau lebih). Di samping itu UNCLOS juga
menciptakan suatu rezim zona maritim yang baru yaitu untuk dasar
laut samudera dalam di luar yurisdiksi nasional yang dikenal sebagai
international sea bed area yang ditetapkan sebagai “warisan
bersama umat manusia” (common heritage of mankind).
Untuk mengantisipasi timbulnya sengketa dalam
pengimplementasian ketentuan-ketentuan baru tersebut, UNCLOS
menyediakan suatui kerangka kelembagaan. Disamping
kelembagaan yang telah tersedia dalam lingkup PBB seperti
90
specialized agencies

91
dan International Court of Justice (ICJ), UNCLOS mendirikan
Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS),
International Sea-bed Authority (ISBA) dan International Tribunal
for the Law of the Sea (ITLOS) untuk menjamin interpretasi yang
tepat dan mudah dari ketentuan-ketentuannya yang sangat kompleks
tersebut. Seperti diketahui meskipun UNCLOS dan Annex-nya
mengandung ratusan ketentuan-ketentuan yang rinci, masih tersedia
kemungkinan adanya perbedaan dalam interpretasi dan
pengimplementasiannya. Dengan demikian perlu kita perhatikan
praktek negara-negara, serta fungsi dari berbagai lembaga
internasional yang disebutkan di atas untuk memperjelas arti dan
maksud dari ketentuan-ketentuan tersebut agar menjamin
pengimplementasiannya dengan baik. Dalam hal ini kerja sama antar
negara pihak disertai dukungan dari lembaga internasional tersebut
sangat penting untuk mencegah sengketa tentang hukum laut.
UNCLOS telah merumuskan pengaturan secara internasional
bagi pelbagai kegiatan kelautan, ke dalam suatu dokumen yang
terdiri dari 320 pasal dan aturan tambahannya yang dimuat dalam 9
buah lampiran serta beberapa resolusi pendukungnya. Sebagian
besar merupakan perubahan dan kodifikasi dari ketentuan-ketentuan
yang telah ada, akan tetapi bagian terpenting dari UNCLOS ini
menggambarkan usaha pembaharuan yang merefleksikan adanya
suatu perkembangan yang progresif (progressive development) dari
hukum internasional. Secara keseluruhan UNCLOS ini merupakan
suatu kerangka pengaturan yang sangat komprehensif dan meliputi
hampir semua kegiatan di laut, sehingga dianggap sebagai “a
constitution for the oceans”. Sejumlah pembaharuan dapat dilihat,
antara lain, pada perumusan ketentuan-ketentuan baru tentang ZEE,
negara kepulauan, selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional, perlindungan lingkungan laut, riset ilmiah kelautan,
serta perumusan ketentuan-ketentuan, mekanisme serta prosedur
penambangan daerah dasar laut samudra dalam yang terletak di luar
yurisdiksi nasional.
Hal lain yang cukup menarik adalah bahwa UNCLOS
mengandung beberapa kewajiban kerja sama bagi negara pihak.
Salah satu contoh adalah adanya kewajiban kerja sama regional di
bidang pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber
91
daya hayati laut. Selain dari itu UNCLOS juga menganjurkan kerja
sama serupa di bidang perlindungan lingkungan laut dan riset ilmiah
kelautan. Sejak mulai berlakunya, UNCLOS telah mengalami
perkembangan dengan diadakannya secara terus-menerus
pertemuan-pertemuan lebih lanjut mengenai pelaksanaannya melalui
pelbagai forum. Seperti diketahui, sebagai kelanjutan dari
pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain, International
Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), Commission on the Limits
of the Continental Shelf (CLCS), dan telah dilengkapi dengan dua
perjanjian tambahan, yaitu Perjanjian Tambahan (Implementing
Agreement) tahun 1994 tentang Implementasi Bab XI dan tahun
1995 tentang jenis ikan yang sama atau persediaan jenis ikan yang
termasuk dalam jenis yang sama di ZEE dua negara atau di ZEE
dan zona diluar dan yang berdekatan dengannya (Pasal 63) dan jenis
ikan yang bermigrasi jauh (Pasal 64) yang dikenal sebagai
Straddling Stocks dan Highly Migratory Stocks.
UNCLOS dibagi ke dalam tujuh belas bab, dan empat belas
bab daripadanya mengatur tentang berbagai hal, antara lain tentang
pengertian atau istilah dan ruang lingkup berlakunya. Bab-bab
selanjutnya berisi ketentuan-ketentuan tentang laut teritorial dan
zona tambahan; selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
negara kepulauan; zona ekonomi eksklusif; landas kontinen; laut
lepas; pulau; laut tertutup dan setengah tertutup; hak negara tak
berpantai untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan transit;
daerah dasar laut samudera dalam (Kawasan); perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; riset ilmiah kelautan; dan
pengembangan dan alih teknologi kelautan. Tiga Bab terakhir berisi
ketentuan tentang Penyelesaian Sengketa (Bab XV), Ketentuan
Umum (Bab XVI) dan Ketentuan Penutup.
Di samping itu, UNCLOS juga dilengkapi dengan sembilan
lampiran (Annex) yang berisi ketentuan-ketentuan lebih lanjut
tentang jenis ikan yang bermigrasi jauh; komisi tentang batas-batas
landas kotinen; persyaratan dasar untuk prospekting, eksplorasi dan
eksploitasi di Kawasan; anggaran dasar Enterprise (sebagai pelaksana
kegiatan di Kawasan); konsiliasi; Statuta Mahkamah Internasional
Hukum Laut (ITLOS); Arbitrase; Arbitrase Khusus, dan partisipasi
organisasi internasional. Seperti telah diuraikan sebelumnya
92
Konvensi ini juga dilengkapi dengan dua Perjanjian Tambahan.
UNCLOS serta Resolusi-Resolusi yang menyertainya merupakan
suatu dokumen hukum yang sangat luas, dan bagi mereka yang tidak
familiar atau kurang mengikutinya sangat kompleks dan
membingungkan. Hal ini terbukti dari banyaknya para ahli, bahkan
ahli hukum, yang mencoba menginterpretasikan ketentuan-
ketentuan konvensi dengan cara selain “pick and choose” juga tanpa
memperhatikan sejarah dan tujuan pembentukannya.
Keterkaitan antara UNCLOS dengan RUU tentang Perikanan
antara lain terletak pada pemanfaatan wilayah perairan Indonesia
yang meliputi landas kontinen, ZEE, dan wilayah perairan lepas
pantai lainnya. Dalam UNCLOS dibenarkan bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah lautan mulai dari
wilayah landas kontinen 12 mil hingga ZEE 200 mil. Dalam wilayah
kedaulatan atau yurisdiksi sebagaimana dimaksud, negara memiliki
wewenang untuk melakukan pemanfaatan dan pendayagunaan
secara menyeluruh terhadap wilayah laut tersebut. Ditegaskan pula
dalam hal wilayah laut itu berbatasan secara langsung dengan
wilayah laut dari negara lain maka penyelesaiannya ditetapkan
melalui kesepakatan bersama antara kedua negara tersebut.
Pemanfaatan terhadap wilayah laut termasuk didalamnya persoalan
perikanan mulai dari penangkapan hingga aktifitas penjagaan
ketersediaan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan.
Terkait Access Right bagi pihak asing dalam mengeksploitasi
sumber daya lkan di WPPNKRI, terdapat 2 (dua) opsi yang diberikan
oleh UNCLOS. Pilihan pertama adalah dengan membuka Open Acces
bagi pihak asing berdasarkan Pasal 71 UNCLOS, sedangkan pilihan
kedua yakni dengan menutup Access Right Bagi Pihak Asing dengan
menggunakan ketentuan Pasal 72 UNCLOS.
Jika pilihan politik Indonesia dalam RUU Perikanan nanti
cenderung pada opsi yang Kedua maka dalam RUU harus ditegaskan
bahwa “Jenis usaha Penangkapan Ikan yang berada di WPPNKRI
hanya dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan
hukum Indonesia”. Pilihan sebenarnya juga memiliki alas hak yang
cukup kuat mengingat dalam Ketentuan Pasal 71 UNCLOS memberi
peluang bagi suatu negara pantai untuk mengecualikan berlakunya
ketentuan kewajiban memberikan access right apabila kondisi
93
ekonominya sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya hayati
yang ada di zona ekonomi eksklusifnya. Oleh karena itu sepanjang
Indonesia mempunyai alasan yang kuat bahwa kondisi ekonomi
Indonesia sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya hayati di
ZEE maka sangat mungkin jika Indonesia dalam perubahan RUU
Perikanan nanti menegaskan sikapnya untuk menutup Access Right
Bagi Pihak Asing.
Dalam RUU Perikanan nantinya harus mengakomodir
mengenai batasan atas yurisdiksi wilayah perairan yang
diperkenankan untuk mengambil sumberdaya alam hayati berupa
komoditi perikanan. Aspek pengelolaan lingkungan mulai dari
penangkapan, larangan penggunaan bahan dan alat tangkap yang
mengganggu ekosistem dan keselamatan lingkungan, pencemaran
lingkungan hidup, hingga kewajiban ganti rugi dan rekonsiliasi atas
sengketa yang timbul dari pelanggaran wilayah perairan dan
wilayah tangkap perikanan harus pula diakomodir secara utuh
didalam RUU tentang Perikanan.

G. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU


Pelayaran)
Keterkaitan UU Pelayaran dengan UU Perikanan adalah
angkutan di perairan yang termasuk didalamnya kapal perikanan.
Definisi Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau
memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan
kapal. Pasal 219 UU Pelayaran menyatakan bahwa setiap kapal yang
berlayar wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang
dikeluarkan oleh Syahbandar. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 42 UU
Perikanan, bahwa dalam rangka keselamatan operasional kapal
perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan yang
mempunyai tugas dan wewenang menerbitkan Surat Persetujuan
Berlayar. Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan
penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan
perikanan wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang
dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan yang diangkat
oleh menteri yang membidangi urusan pelayaran. Pelaksanaan
ketentuan mengenai Surat Persetujuan Berlayar ini menimbulkan
beberapa permasalahan seperti adanya dualisme rezim yang dipakai
untuk menentukan jenis
kapal perikanan yang digunakan, apakah menggunakan ketentuan
UU Pelayaran atau UU Perikanan.
Pasal 276 sampai dengan Pasal 271 UU Pelayaran mengatur
mengenai penjagaan laut dan pantai. Adapun tugas dari penjaga laut
dan pantai diantaranya melakukan pengawasan dan penertiban
kegiatan serta lalu lintas kapal dimana di dalamnya termasuk kapal
perikanan. Hal ini perlu sinkronisasi dengan ketentuan mengenai
pengawas perikanan yang ada dalam Pasal 66B UU Perikanan
sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

H. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Nomor 1 Tahun


2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-pulau
Kecil (UU PWP3K)
Keterkaitan UU PWP3K dengan UU Perikanan adalah
mengenai ikan (sumber daya hayati) dan sumber daya buatan
meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan
perikanan yang termasuk sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
(Pasal 1 angka 4). Berdasarkan UU Perikanan wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan meliputi perairan Indonesia, ZEEI dan sungai,
danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di
wilayah Republik Indonesia. Perairan Pesisir termasuk dalam
pengelolaan wilayah perikanan sebagaimana definisi dalam UU
PWP3K yaitu laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan
sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan
dangkal, rawa payau, dan laguna (Pasal 1 angka 7).
Selain itu, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di
sekitarnya salah satunya diprioritaskan untuk kepentingan usaha
perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari (Pasal
23). UU Perikanan belum secara tegas mengatur mengenai usaha
perikanan serta industri perikanan di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, sehingga perlu ditambahkan pengaturannya dalam
perubahan UU Perikanan.
I. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (UU SP3K)
Kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan
merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utamanya agar mereka
mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam
mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya
lainnya. Selain itu, kegiatan penyuluhan pertanian, perikanan, dan
kehutanan dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraan, serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
UU SP3K telah mengatur secara komprehensif dalam suatu
pengaturan yang terpadu dan serasi antara penyuluhan yang
diselenggarakan oleh kelembagaan penyuluhan pemerintah,
kelembagaan penyuluhan swasta, dan kelembagaan penyuluhan
swadaya kepada pelaku utama dan pelaku usaha. Sedangkan UU
Perikanan dianggap masih bersifat parsial dan belum mengatur
sistem penyuluhan secara jelas, tegas, dan lengkap.
Di dalam UU Perikanan terdapat bab mengenai pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan perikanan yaitu Bab IX. Pada Pasal 57
ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah menyelenggarakan pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan
pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan. Pada ayat
(2) Pemerintah menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu)
satuan pendidikan dan/atau pelatihan perikanan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang
bertaraf internasional.
Selanjutnya dalam Pasal 58 disebutkan bahwa Pemerintah
dapat bekerja sama dengan lembaga terkait, baik di tingkat nasional
maupun di tingkat internasional, dalam menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan. Sedangkan dalam
Pasal 59 untuk ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pengaturan peyuluhan perikanan dalam UU Perikanan tersebut
masih belum spesifik dan masih didelegasikan kepada Peraturan
Pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan perikanan dapat
mengacu pada UU SP3K. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
UU SP3K ini merupakan undang-undang rujukan bagi kegiatan
penyuluhan perikanan terhadap nelayan, pembudi daya ikan,
pengolah ikan, dan masyarakat.

J. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara


Nasional Indonesia (UU TNI)
UU TNI dibentuk karena adanya perubahan sistem
ketatanegaraan yang berimplikasi terhadap TNI, antara lain adanya
pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-
masing. Pembentukan Undang-Undang tentang TNI bertujuan untuk
membangun dan mengembangkan TNI secara profesional sesuai
dengan kepentingan politik negara yang mengacu pada nilai dan
prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan
hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah
diratifikasi.
TNI mempunyai tugas pokok yaitu menegakkan kedaulatan
negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. TNI
mempertahankan keutuhan dan kesatuan wilayah kekuasaan negara
dengan segala isinya, di darat, laut, dan udara yang batas-batasnya
ditetapkan dengan undang-undang.
Ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara di antaranya adalah pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh
negara lain dan ancaman keamanan di laut atau udara yurisdiksi
nasional Indonesia yang dilakukan pihak-pihak tertentu, berupa
salah satunya penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian
kekayaan laut. TNI mempunyai wewenang dalam melindungi
kekayaan laut Indonesia yang dilakukan untuk kepentingan
pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan
nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Matra TNI Angkatan Laut (TNI AL) merupakan matra yang
bersinggungan langsung dengan kegiatan perikanan khususnya di
bidang pengawasan dan penyidikan. AL bertugas untuk
97
melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan,
menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut
yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan
hukum internasional yang telah diratifikasi, melaksanakan tugas
diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik
luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah, melaksanakan tugas
TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut,
dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
UU Perikanan memberikan kewenangan kepada TNI AL
melalui penyidik perwira TNI AL dalam rangka penyidikan tindak
pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan NKRI.
Penyidik perwira TNI AL juga berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.
Lebih lanjut UU Perikanan menjabarkan secara rinci
kewenangan yang dimiliki oleh para penyidik. Salah satu
kewenangan yang secara nyata dilakukan oleh TNI AL adalah
kewenangan untuk menghentikan, memeriksa, menangkap,
membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka
melakukan tindak pidana di bidang perikanan.

K. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian


Negara Republik Indonesia
Kepolisian merupakan alat negara yang mempunyai salah
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pengemban fungsi
kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil,
dan/atau bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kepolisian khusus
adalah instansi dan/atau badan Pemerintah yang oleh atau atas
kuasa undang-undang (peraturan perundang-undangan) diberi
wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian dibanding
teknisnya masing- masing. Wewenang bersifat khusus dan terbatas
dalam “lingkungan kuasa soal-soal” (zaken gebeid) yang ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya.
Contoh dari kepolisian khusus yaitu Balai Pengawasan Obat dan
Makanan, Polsus Kehutanan, dan lain-lain.
98
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia antara
lain adalah memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum,
melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-
bentuk pengamanan swakarsa, dan melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia secara umum berwenang antara lain menerima
laporan dan/atau pengaduan, melaksanakan pemeriksaan khusus
sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan,
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, dan mencari
keterangan dan barang bukti. Selain kewenangan secara umum,
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai kewenangan di
bidang proses pidana yaitu melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan; melarang setiap orang meninggalkan
atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan; membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik
dalam rangka penyidikan; membawa dan menghadapkan orang
kepada penyidik dalam rangka penyidikan; menyuruh berhenti orang
yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; memanggil orang
untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian penyidikan;
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; memberi
petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ketentuan
mengenai kewenangan di bidang proses pidana ini sangat terkait
dengan UU Perikanan karena ketentuan penyidikan dalam UU
Perikanan mengacu pada sebagian besar ketentuan kewenangan di
bidang proses pidana dalam Undang-Undang tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Selain ketentuan kewenangan di bidang proses pidana,
ketentuan tugas dan kewenangan secara umum juga ikut menjadi
99
acuan dalam ketentuan penyidikan pada UU Perikanan, yaitu
ketentuan yang mengatur mengenai penerimaan laporan dan/atau
pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana di bidang
perikanan dan koordinasi antar penyidik dalam penanganan
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.

L. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan


Indonesia (UU Perairan)
Indonesia merupakan negara kepulauan yang seluruh
wilayahnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan. Sebagai negara
kepulauan Indonesia memiliki suatu gugusan pulau, termasuk
bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-
lain sebagai wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain
demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah
lainnya merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan,
keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis
dianggap sebagai demikian. Penegasan bahwa Indonesia merupakan
negara kepulauan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perairan.
Keterkaitan antara UU Perairan dan UU Perikanan terdapat
dalam pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia. Definisi
perairan Indonesia terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU Perairan yang
menyatakan bahwa perairan indonesia terdiri dari laut teritorial
Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
Jadi dapat diketahui bahwa pengelolaan perikanan di perairan
Indonesia mencakup laut teritorial Indonesia beserta perairan
kepulauan dan perairan pedalamannya. Selain dalam UU Perairan
definisi mengenai perairan juga terdapat dalam Pasal 1 angka 20 dan
Pasal 3 ayat (1) UU Perikanan yang menyatakan bahwa Perairan
Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan
dan perairan pedalamannya. Jika melihat wilayah pengelolaan
perikanan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perikanan
terlihat bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi
perairan Indonesia; ZEEI; sungai, danau, waduk, rawa, dan
genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan
pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah NKRI.

100
Jika melihat dalam UU Perikanan dan UU Perairan Indonesia
diketahui bahwa wilayah pengelolaan perikanan baik untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi laut
teritorial beserta perairan kepulauan dan perairan pedalaman, ZEEI,
dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
dapat diudahakan serta lahan pembudidayaan ikan. Laut teritorial
dapat diartikan sebagai jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut
yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Sedangkan
perairan kepulauan diartikan semua perairan yang terletak pada sisi
dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai. UU Perairan juga memberikan
definisi mengenai perairan pedalaman yang diartikan semua perairan
yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai
Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang
terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.
Terkait dengan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan
pelestarian lingkungan perairan Indonesia yang salah satunya
dilakukan melalui sektor perikanan dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan hukum internasional.
Meskipun Indonesia memiliki hak berdaulat di wilayah perairan
Indonesia, namun pemerintah Indonesia harus tetap menghormati
persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain yang
menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan kepulauan
yang meliputi pelaksanaan hak perikanan tradisional, hak akses dan
komunikasi negara tetangga yang langsung berdampingan,
pemasangan, pemeliharaan, dan penggantian kabel di dasar laut oleh
negara lain.
Di wilayah perairan Indonesia semua kapal dari berbagai
negara dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan
perairan kepulauan Indonesia. Lintas damai dapat diberikan jika
berkaitan dengan navigasi yang normal, atau perlu dilakukan karena
keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi pertolongan
kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau
kesulitan. Lintas dianggap damai diberikan apabila tidak merugikan
kedamaian, ketertiban, atau keamanan Indonesia, dan dilakukan
sesuai dengan ketentuan konvensi dan hukum internasional yang
lain. Lintas oleh kapal asing dianggap membahayakan kedamaian,
101
ketertiban, atau keamanan Indonesia dan melakukan salah satu
kegiatan yang dilarang oleh konvensi dan/atau hukum internasional
termasuk setiap kegiatan perikanan.
Pemerintah Indonesia menetapkan alur laut dan skema
pemisahan lalu lintas di laut territorial dan perairan kepulauan dalam
rangka untuk melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal asing
yang melaksanakan hak lintas damai di perairan Indonesia, serta
untuk menjamin keselamatan pelayaran. Lintas damai melalui alur-
alur yang telah ditetapkan khususnya diperuntukan bagi lintas kapal
tanki, kapal bertenaga nuklir, dan kapal yang mengangkut muatan
yang berbahaya atau beracun, termasuk limbah radio aktif. Selain itu
alur lintas damai dapat juga ditetapkan untuk kepentingan
perlindungan perikanan, termasuk budidaya laut dan pelestarian
lingkungan laut. Penetapan alur-alur laut, terutama skema pemisah
lalu lintas tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan organisasi
internasional yang berwenang terutama dalam masalah teknis
keselamatan pelayaran.
Selain itu keterkaitan antara UU Perikanan dan UU Perairan
Indonesia dapat dilihat dalam Bab V UU Perairan Indonesia
mengenai penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia.
Dalam rangka untuk menegakkan hukum di perairan Indonesia,
ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya maka
diperlukan pengawasan oleh pemerintah. Pengawasan dalam sektor
perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan yang merupakan
pegawai negeri sipil yang bekerja di bidang perikanan yang
diangkat oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Di samping itu
pengawas perikanan juga dapat dididik untuk menjadi Penyidik
Pengawai Negeri Sipil Perikanan. Sanksi atas pelanggaran yang
telah dilakukan, sesuai dengan ketentuan konvensi hukum
internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

M. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina


Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (UU KHIT)
Tindakan karantina sebagai suatu upaya pencegahan masuk
dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan,
atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari
102
suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam
wilayah negara Republik Indonesia. Lebih lanjut, tindakan karantina
merupakan salah satu cara untuk menghindarkan ancaman yang
dapat merusak kelestarian sumberdaya perikanan dari hama dan
penyakit ikan. Kerusakan tersebut akan menurunkan hasil produksi
budidaya ikan, baik kuantitas maupun kualitas atau dapat
mengakibatkan musnahnya jenis-jenis ikan tertentu yang bernilai
ekonomis dan ilmiah tinggi. Bahkan beberapa penyakit hewan dan
ikan tertentu dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan
masyarakat.
Dalam UU Perikanan dan UU KHIT terdapat perbedaan dalam
mendefinisikan ikan. Dalam UU Perikanan Pasal 1 angka 4 “Ikan
adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya berada di dalam lingkungan perairan” dan penjelasan Pasal
7 ayat (6) UU Perikanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
“jenis ikan” adalah:
1. ikan bersirip (Pisces);
2. udang, rajungan, kepiting dan sebangsanya (Crustacea);
3. kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput dan sebangsanya
(Mollusca);
4. ubur-ubur dan sebangsanya (Coelenterata);
5. tripang, bulu babi dan sebangsanya (Echinodermata);
6. kodok dan sebangsanya (Amphibia);
7. buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya
(Reptilia);
8. paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya (Mammalia);
9. rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam
air (Algae);
10. biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis
tesebut di atas, termasuk ikan yang dilindungi.
semuanya termasuk bagian-bagiannya dan ikan yang dilindungi.
Sedangkan definisi ikan dalam Pasal 1 angka 10 UU KHIT
“Ikan adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh daur
hidupnya berada di dalam air, dalam keadaan hidup atau mati,
termasuk bagian-bagiannya.
Pada Pasal 41A huruf j disebutkan bahwa fungsi pelabuhan
perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan
103
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya
dapat berupa tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan. Hal ini
berhubungan dengan kegiatan karantina dimana pada Pasal 5 UU
KHIT dimana setiap media pembawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang dimasukkan ke dalam wilayah
NKRI wajib:
1. dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit
bagi hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan,
tumbuhan dan bagian-bagian tumbuhan, kecuali media pembawa
yang tergolong benda lain;
2. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
3. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat-
tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina.

N. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE)
UU KSDAHE merupakan dasar hukum yang berlaku dalam
penyelenggaraan perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi
kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan
manusia. UU ini mencakup semua segi di bidang KSDAHE.
Adapun keterkaitan UU KSDAHE dengan UU Perikanan
adalah mencakup lingkup dari pengaturan UU KSDAHE yang
meliputi ekosistem, tumbuhan, dan satwa yang ada di wilayah
perairan. Ekosistem dalam hal ini adalah mencakup kawasan suaka
alam, cagar alam, kawasan pelestarian alam, cagar biosfer, suaka
alam, taman hutan raya, maupun taman wisata yang ada diwilayah
perairan. Adapun tumbuhan dan satwa mencakup tumbuhan dan
satwa liar yang berada di wilayah konservasi yang ada diwilayah
perairan.
Di dalam ketentuan Pasal 5 UU KSDAHE dinyatakan bahwa
KSDAHE dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem
penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari
104
sumber daya

105
alami hayati dan ekosistemnya. Selain itu ketentuan larangan
maupun sanksi terkait konservasi yang ada di wilayah perairan harus
juga disinkronkan dengan UU KSDAHE. Ini berarti, segala tindakan
KSDAHE yang ada di wilayah perairan yang telah diatur di dalam
UU Perikanan atau akan diatur di dalam RUU Perikanan harus
disinkronkan substansinya dengan materi yang ada di dalam UU
KSDAHE.
Kegiatan konservasi di dalam UU Perikanan mencakup
konservasi sumber daya ikan, yang di dalam Pasal 1 angka 8 UU No.
45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Adapun usaha
konservasi pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan melalui upaya
konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika
ikan (Pasal 13 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004). Kemudian
Penjelasan Pasal 13 ayat (1) menjelaskan bahwa konservasi
sumber daya perikanan Kawasan konservasi yang terkait
dengan perikanan, antara lain, adalah terumbu karang, padang
lamun, bakau, rawa, danau, sungai, dan embungyang dianggap
penting untuk dilakukan konservasi. Dalam hal ini
Pemerintah dapat melakukan penetapan kawasan konservasi, antara
lain, sebagai suaka alam perairan, taman nasional perairan, taman
wisata perairan, dan/atau suaka perikanan.
Selain itu pengaturan terkait dengan konservasi perikanan
yang ada di UU No. 45 Tahun 2009 mencakup juga substansi
mengenai penetapan jenis ikan yang dilindungi (Pasal 7 ayat (6)),
penetapan Menteri dalam mendukung kebijakan pengelolaan
konservasi sumber daya perikanan (Pasal 7 ayat (1) huruf r),
penggunaan pungutan perikanan untuk konservasi (Pasal 50),
pengawasan (Pasal 66 ayat (3)), serta tugas dan tempat pengawas
perikanan (Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 66B ayat (2) huruf f).
Substansi pengaturan terkait konservasi yang ada di dalam UU
Perikanan ini harus sinkron dengan UU KSDAHE.

O. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi


Ekslusif (UU ZEE)
UU ZEE dibentuk dengan tujuan untuk menjamin eksistensi
hukum laut di wilayah Indonesia. Eksistensi hukum laut itu
diwujudkan dalam bentuk perlindungan yang mencakup beberapa
hal diantaranya; (i) perlindungan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan bangsa dengan memanfaatkan segala sumber daya
alam yang tersedia baik hayati maupun non hayati; (ii) penjaminan
kegiatan penelitian ilmiah di wilyah yurisdiksi hukum laut
Indonesia;
(iii) pemanfaatan segenap energi potensial dan efektif yang dapat
diperoleh dari wilayah hukum laut Indonesia; (iv) legitimasi wilayah
ZEE sebagai mana yang telah di atur dalam konvensi hukum laut
internasional yang mengakui wilayah ZEE sejauh 200 mil dari lepas
pantai. Selain itu, UU ZEE berperan juga sebagai payung hukum
yang mengatur segala bentuk aspek pendayagunaan dan pengelolaan
atas wilayah laut Indonesia.
UU ZEE ini terdiri dari 9 Bab dan 21 Pasal. UU ZEE
mengatur mulai dari hak kedaulatan negara beserta yurisdiksi dan
kewajiban- kewajibannya, kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di
wilayah ZEE, ganti rugi terhadap pelanggaran wilayah ZEE, dan
penegakan hukum di wilayah ZEE Indonesia. Dari beberapa hal
pokok yang diatur dalam UU ini menggambarkan bahwa
penyelenggaran kedaulatan di wilayah laut Indonesia merupakan
suatu tindakan serius dalam rangka menjamin yurisdiksi dan
pemanfaatan secara tepat dan bertanggung jawab atas wilayah ZEE
Indonesia.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 UU ZEE,
ZEE Indonesia diartikan sebagai jalur di luar dan berbatasan dengan
laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-
undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar
laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200
mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dari
ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa sepanjang 200 mil wilayah
ZEE, Indonesia memiliki kedaulatan penuh termasuk aspek
pemanfaatan dan pendayagunaan atas sumber-sumber yang
terkandung baik dipermukaan maupun yang ada di dalam wilayah
laut ZEE Indonesia. Bertolak dari adanya penjaminan atas
pemanfaatan itu, dapat dipahami bahwa keterkaitan utama antara
UU ZEE dengan Rancangan Undang-Undang tentang Perikanan
dapat dilihat dari adanya kepastian untuk memanfaatkan sumber
daya
alam hayati berupa perikanan secara bertanggung jawab demi
kesejahteraan bangsa.
Keterkaitan lainnya terletak dalam Pasal 4 UU ZEE tentang
prinsip kedaulatan dan yurisdiksi. Hak berdaulat untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya
alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya
serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi
dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, termasuk di dalamnya
pemanfaatan terhadap kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan yang
dilakukan di dalam wilayah ZEE itu harus dilakukan secara berdaya
guna dan tepat guna dengan memperhatikan aspek pengelolaan,
ketersedian dan keberlanjutan sumber daya alam, dan lingkungan.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di wilayah ZEE termasuk di
dalamnya aspek pengelolaan baik eksploitasi dan eksplorasi
dilakukan berdasarkan izin Pemerintah Republik Indonesia atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam konvensi-konvensi hukum
internasional. Oleh sebab itu kegiatan perikanan terutama
penangkapan ikan diwilayah ZEE Indonesia harus dilakukan
berdasarkan izin Pemerintah dan dengan memperhatikan aspek
lingkungan sehingga kegiatan pemanfaatan perikanan tidak dapat
dilakukan secara sembarangan dan tanpa memperhatikan aspek
pengelolaan dan pencemaran lingkungan.

P. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil


Perikanan (UU Bagi Hasil Perikanan)
UU Bagi Hasil Perikanan ini bertujuan untuk meningkatkan
taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta
memperbesar produksi ikan, sehingga proses bagi hasil tersebut
harus sejauh mungkin menghilangkan unsur-unsurnya yang bersifat
pemerasan dan semua pihak yang turut serta masing-masing
mendapat bagian yang adil dari usaha itu. Sebelum UU Bagi Hasil
Perikanan tersebut dikeluarkan, bagi hasil di bidang perikanan
diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan hukum adat setempat
yang menurut ukuran sosialisme Indonesia pada waktu itu belum
memberikan dan menjamin bagian yang layak bagi para nelayan
penggarap dan penggarap tambak.
Perjanjian bagi hasil perikanan menurut UU Bagi Hasil
Perikanan adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha
penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan penggarap
dengan nelayan pemilik atau antara petani penggarap tambak dengan
petani pemilik tambak. Menurut perjanjian, mereka masing-masing
menerima bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan yang
telah disetujui sebelumnya.
Pasal 3 ayat (1) UU Bagi Hasil Perikanan menyebutkan
bahwa jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar
perjanjian bagi-hasil, maka dari hasil usaha itu kepada pihak
nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus
diberikan bagian sebagai berikut, yaitu: Pertama, untuk perikanan
laut. Jika dipergunakan perahu layar: minimum 75% (tujuh puluh
lima persen) dari hasil bersih; sedangkan, jika dipergunakan kapal
motor: minimum 40% (empat puluh persen) dari hasil bersih. Kedua,
untuk perikanan darat. Mengenai hasil ikan pemeliharaan minimum
40% (empat puluh persen) dari hasil bersih, sedangkan mengenai
hasil ikan liar minimum 60% (enam puluh persen) dari hasil kotor.
Selanjutnya pada ayat (2) dijelaskan, bahwa pembagian hasil
diantara para nelayan penggarap dari bagian yang mereka terima
menurut ketentuan dalam ayat 1 pasal ini diatur oleh mereka sendiri,
dengan diawasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang
bersangkutan untuk menghindarkan terjadinya pemerasan, dengan
ketentuan, bahwa perbandingan antara bagian yang terbanyak dan
yang paling sedikit tidak boleh lebih dari 3 (tiga) lawan 1 (satu).
Kemudian Pasal 4 UU Bagi Hasil Perikanan menjelaskan
bahwa angka bagian pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak
sebagai yang tercantum dalam Pasal 3 ditetapkan dengan ketentuan,
bahwa beban-beban yang bersangkutan dengan usaha perikanan itu
harus dibagi sebagai berikut: Pertama, untuk perikanan laut. Beban-
beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan
pihak nelayan penggarap antara lain: ongkos lelang, uang
rokok/jajan, dan biaya perbekalan untuk para nelayan penggarap
selama di laut, biaya untuk sedekah laut (selamatan bersama) serta
iuran-iuran yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang
bersangkutan seperti untuk koperasi dan pembangunan
perahu/kapal, dana kesejahteraan, dana kematian, dan lain-lainnya.
Sedangkan beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik
antara lain: ongkos pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta
alat-alat lain yang dipergunakan, penyusutan dan biaya eksploitasi
usaha penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak, es, dan
lain sebagainya.
Kedua, untuk perikanan darat. Bahan-bahan yang menjadi
tanggungan bersama dari pemilik tambak dan penggarap tambak,
uang pembeli benih ikan pemeliharaan, biaya untuk pengeduk
saluran (caren), biaya-biaya untuk pemupukan tambak dan
perawatan pada pintu-air serta saluran, yang mengairi tambak yang
diusahakan itu. Sedangkan, bahan-bahan yang menjadi tanggungan
pemilik tambak; disediakannya tambak dengan pintu-air dalam
keadaan yang mencukupi kebutuhan, biaya untuk memperbaiki dan
mengganti pintu-air yang tidak dapat dipakai lagi serta pembayaran
pajak tanah yang bersangkutan; dan bahan-bahan yang menjadi
tanggungan penggarap tambak: biaya untuk menyelenggarakan
pekerjaan sehari-hari yang berhubungan dengan pemeliharaan ikan
didalam tambak, dan penangkapannya pada waktu panen.
Dalam UU Perikanan, saat ini tidak diatur secara khusus
mengenai sistem bagi hasil perikanan, akan tetapi UU Perikanan
tersebut telah mengamanatkan pengusaha perikanan untuk
mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan
kelompok nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil dalam
kegiatan usaha perikanan.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian
besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang
sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki
merupakan rahmat dan karunia dari Tuhan yang dapat dimanfaatkan
untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan
nasional. Tugas Negara adalah untuk melindungi segala tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum
sebagaimana diamanatkan Alinea Ketiga Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945.
Upaya perlindungan dan memajukan kesejahteraan tersebut
dilakukan melalui penyelenggaraan perikanan yang memanfaatkan
secara optimal, yang diarahkan pada pendayagunaan sumber daya
ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan
kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan
kecil, meningkatkan penerimaan dari devisa negara, menyediakan
perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai
tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin kelestarian
sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan serta tata ruang. Hal
ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus
seimbang dengan daya dukungnya, sehingga diharapkan dapat
memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satunya dilakukan
dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan
pengelolaan perikanan.
Selain itu pemerintah juga melakukan upaya perlindungan
potensi perikanan melalui kebijakan dan pengaturan pengelolaan
perikanan berupa pengawasan, sekaligus penegakaan hukum untuk
menjaga potensi perikanan Indonesia agar tidak hanya diekploitasi
negara lain maupun kekuatan asing, tetapi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan:
“bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalammnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.”
Selain itu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia
memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan SDI di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Laut Lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber daya
ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber
daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dan
teknologi melalui perubahan UU tentang Perikanan yang dapat
mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang
sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan
ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya
ikan, perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin
efektif, efisien, dan modern maupun upaya pengawasan dan
penegakan hukum.

B. Landasan Sosiologis
Potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki merupakan
potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan
bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Kita harus
dapat mengantisipasi terjadinya perubahan di bidang perikanan, baik
yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian
lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode
pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern.
Sektor perikanan di Indonesia telah sedemikian rupa diatur dan
dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009. Dalam perjalanan selama lebih dari 10 tahun masih
terdapat berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan perikanan.
Kondisi dan permasalahan yang ada memang tidak seluruh
bersumber dari kekuranglengkapan norma pengaturan di tingkat
undang-undang. Namun demikian banyak faktor kebijakan yang
harus dibenahi dan diperkuat dalam konteks penyelengaraan
perikanan yang harus dilakukan di tingkat undang-undang.
Secara umum permasalahan lingkup pengaturan, pembagian
tugas dan kewenangan di tingkat pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan perikanan, pengaturan pengelolaan, pengolahan
dan pemasaran hasil perikanan, dan aspek pengawasan dan
penegakan hukum masih menjadi kendala dan belum sepenuhnya
dapat dijawab dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan yang diubah dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009.
Lingkup pengaturan UU Perikanan saat ini lebih
menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan pengaturan
perikanan budidaya dirasa belum komprehensif. Dalam praktiknya
perikanan budidaya membutuhkan pengaturan yang lebih
komprehensif mengingat potensi dan pengembangannya ke depan
akan semakin signifikan. Saat ini belum diatur secara jelas mengenai
zonasi bagi perikanan budidaya, sehingga nelayan budidaya
kesulitan untuk mengetahui wilayah yang dapat dilakukan
pembudidayaan dan menimbulkan terjadi konflik antara nelayan
pembudidaya dan nelayan tangkap ketika nelayan pembudidaya
melakukan pembudidayaan ikan di wilayah perairan.
Pada intinya penting untuk mengatur tata ruang bagi
perikanan budidaya agar tidak terjadi pencemaran dan perebutan
lahan. Saat ini belum ada kebijakan yang jelas mengenai roadmap
riset-riset strategis dibidang rekayasa teknologi budidaya dan
revitalisasi program reservaat (suaka perikanan) untuk
pengembangan usaha budidaya.
Penyelenggaraan perikanan juga erat kaitannya dengan
otonomi daerah, terutama masalah kewenangan dan perizinan, serta
tentang kesyahbandaran. Dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan terkait
kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam
penyelenggaraan perikanan harus dilakukan sinkronisasi. Di sisi lain,
masyarakat masih menemukan kendala akibat adanya perubahan
kebijakan pembagian kewenangan tersebut terutama terkait dengan
aspek perizinan dan pengawasannya.
Degradasi sumberdaya kelautan dan perikanan, dikarenakan
eksploitasi yang tidak berwawasan lingkungan, maupun dampak dari
kegiatan sektor lain seperti pertambangan, minyak dan gas bumi di
wilayah perairan yang menyebabkan pencemaran laut, gejala
penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi fisik habitat pesisir,
pencurian ikan (illegal fishing) dan pembuangan limbah secara
illegal menjadi pekerjaan rumah dalam pengelolaan potensi
perikanan di Indonesia.
Selain itu, mutu hasil produk perikanan masih harus terus
ditingkatkan sehingga nilai jual hasil perikanan baik di pasar lokal,
nasional, regional maupun global bisa lebih bersaing. Keamanan
pangan (food safety) merupakan syarat mutlak bagi negara importer,
kondisi ini masih harus terus ditingkatkan bagi nelayan kita agar
dapat bersaing di tingkat global. Sarana dan prasarana penunjang
juga menjadi syarat multak peningkatan kualitas hasil perikanan.
Kita harus dapat meningkatkan kemampuan teknologi pasca panen
yang meliputi penanganan dan pengolahan produk perikanan sesuai
dengan selera konsumen dan standar mutu produk secara
internasional terutama persyaratan sanitasi.
Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan karena
lemahnya market intelegence yakni penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera konsumen, serta belum
memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan
komunikasi untuk mendukung distribusi produk perikanan dari
produsen ke konsumen secara tepat waktu menjadi kendala bagi
distribusi dan pemasaran hasil perikanan yang efisien dan
menguntungkan.
Aspek pengawasan dan penegakan hukum di sektor perikanan
masih menyisakan masalah penting terkait mekanisme koordinasi
antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana
di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum
acara, terutama mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan
perkara; permasalahan waktu penahanan tersangka/terdakwa;
pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (In absensia); permasalahan
pemanfaatan kembali barang bukti berupa kapal; dan fasilitas dalam
penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan
penerapan tindakan hukum berupa penenggalaman kapal asing yang
beroperasi di wilayah perikanan Indonesia.
Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik di bidang perikanan
khususnya cukup memadai untuk melakukan tindakan terhadap
setiap perbuatan pidana di bidang perikanan. Namun demikian
sampai saat ini penyidikan sebagian besar terfokus untuk tindak
pidana di bidang penangkapan ikan terutama di wilayah perairan
ZEEI dan kurang menyentuh tindak pidana di bidang budidaya,
pengolahan serta tindak pidana yang terjadi di perairan territorial.
Untuk itu diperlukan upaya untuk penguatan lembaga penyidik
perikanan khususnya PPNS dan Polri berupa peningkatan
kemampuan teknis penyidikan, dukungan pembiayaan serta
penyediaan sarana dan prasaran pendukung agar dapat menjangkau
dan menangani seluruh tindak pidana di bidang perikanan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam KUHAP, untuk
memudahkan pembuktian pada proses pemeriksaan di pengadilan
perlu ditambahkan alat elektonik. Hal ini berkaitan dengan
pembuktian lokasi (lokus) terjadinya tindak pidana yang
memerlukan data dari alat elektronik seperti Vessel Monitoring
System (VMS), GPS, dan lain-lain. Kendala lainnya terkait alat bukti
adalah tempat penyimpanan barang bukti tindak pidana perikanan
khususnya Kapal.
Pada dasarnya pelaksanaan fungsi pengadilan perikanan yang
menuntut suatu proses penyelesaian perkara yang mudah, murah
dan cepat secara umum telah berjalan dengan baik. Namun disadari
aspek waktu penyelesaiaan perkara utamanya perkara perikanan
yang terjadi di ZEE Indonesia oleh nelayan asing masih berlangsung
lebih dari 30 hari melebihi batas waktu penyelesaian perkara
berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Nelayan asing umumnya hanya dapat berkomunikasi
menggunakan bahasa daerah asalnya sehingga proses pemeriksaan
di pengadilan sangat tergantung oleh penterjemah. Secara umum
penterjemah yang memahami bahasa daerah nelayan asing tersebut
sulit ditemukan.
Perluasan yurisdiksi dan penambahan jumlah pengadilan
perikanan dan pembentukannya di tingkat banding dan kasasi juga
menjadi wacana yang penting agar penegakan hukum mampu
mencakup seluruh wilayah Indonesia. Saat ini penyelesaian perkara
pidana perikanan di tingkat kasasi relatif berlangsung lama bahkan
mencapai 1 tahun. Hal tersebut kemungkinan di sebabkan oleh
belum dibentuknya Hakim Ad hoc Perikanan di tingkat kasasi.

C. Landasan Yuridis
Pemerintah melakukan upaya perlindungan potensi perikanan
melalui kebijakan dan pengaturan pengelolaan perikanan berupa
pengawasan, sekaligus penegakaan hukum untuk menjaga potensi
perikanan Indonesia agar tidak hanya diekploitasi negara lain
maupun kekuatan asing, tetapi sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat Indonesia. Hal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung didalammnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Selain itu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia
memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan SDI di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Laut Lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber
daya ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan
sumber daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan
hukum dan teknologi melalui perubahan UU Perikanan yang dapat
mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang
sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan
ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya
ikan, perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin
efektif, efisien, dan modern maupun upaya pengawasan dan
penegakan hukum.
Penyelenggaraan Perikanan yang selama ini dilaksanakan
berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 45 tahun 2009 telah berlangsung lebih dari
sepuluh tahun dan dalam kurun waktu tersebut terdapat berbagai
115
permasalahan hukum mengingat adanya perkembangan dan
dinamika penyelenggaraan perikanan yang terjadi. Saat ini ada
beberapa undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan
perikanan, diantaranya UU Nomor 27 tahun 2007 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan, serta yang baru saja disahkan UU Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, dan Petambak Garam. Dari beberapa ketentuan tersebut, dapat
dijadikan acuan dalam membangun paradigma baru terhadap
penyelenggaraan Perikanan dengan memperluas ruang lingkup
termasuk perikanan budidaya, mengutamakan peran serta seluruh
pemangku kepentingan, pelibatan masyarakat, penguatan sistem
data dan informasi terkait sumber daya ikan, serta penegakan hukum
dan pemberian sanksi terutama terkait Illegal Unreported and
Unregulated Fishing.
Selanjutnya, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dilakukan
sinkronisasi terhadap pembagian kewenangan antara Pemerintah
pusat dan daerah terkait penyelenggaran Perikanan.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rancangan Undang-Undang


tentang Perikanan
Jangkauan dan arah pengaturan RUU Perikanan bertujuan
untuk menegakkan kedaulatan kemaritiman Indonesia sekaligus
melaksanakan pemanfaatan sumber daya perikanan yang terkandung
di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dalam rangka
mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan nasional untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Arah pengaturan yang ingin diwujudkan dalam RUU
Perikanan yaitu untuk meningkatkan produktivitas sumber daya ikan
baik perikanan tangkap maupun budidaya, pelestarian lingkungan
pembudidayaan ikan, pemanfaatan sistem pendukung perikanan dan
penegakan hukum di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia agar
dapat berdaya guna dan bersaing guna.
Untuk mencapai hal tersebut maka penyelenggaraan
perikanan memiliki beberapa tujuan pokok, yaitu:
a. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan Perikanan;
b. menjamin kelestarian Sumber Daya Ikan dan Lingkungan Sumber
Daya Ikan;
c. meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein yang
memenuhi standar mutu dan keamanan pangan;
d. meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri
pengolahan Ikan dan industri lainnya;
e. meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
f. meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
dan
g. mendorong perluasan dan kesempatan kerja serta berusaha.
Pengaturan dalam RUU Perikanan yang terkait dengan
penyelenggaraan perikanan meliputi:
1. penambahan materi dan substansi baru dalam rangka
penyempurnaan RUU Perikanan yang berorientasi pada
kedaulatan maritim Indonesia dan dalam rangka mencapai
ketahanan pangan melalui pemanfaatan sumber daya perikanan
yang berkelanjutan atau lestari.
2. pengaturan komponen Perikanan beserta segala aspek
pendukungnya meliputi pemberdayaan dan pengelolaan
perikanan tangkap, pengelolaan perikanan budi daya terpadu,
penyediaan sarana dan prasarana pendukung perikanan,
manajemen usaha perikanan, dan pelaksanaan kewenangan
pengawasan dan penegkan hukum perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia.
3. penyempurnaan materi mencakup perencanaan dan pengelolaan
perikanan, usaha perikanan, kapal perikanan, pelabuhan,
syahbandar, sistem data dan informasi perikanan, pungutan
perikanan, konservasi perikanan, penelitian dan pengembangan
di bidang perikanan, pendidikan pelatihan dan penyuluhan
perikanan, kerjasama internasional di bidang perikanan,
pengawasan perikanan serta peran serta masyarakat dalam
menjaga, mengelola dan memanfaatkan sumber daya perikanan
Indonesia.

B. Ruang Lingkup Materi Muatan RUU Perikanan


1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum RUU tentang Perikanan berisi batasan
pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan.
Dalam ketentuan umum dijelaskan beberapa batasan pengertian
terkait dengan perikanan antara lain:
a. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
sumber daya perikanan.
b. Sumber Daya Perikanan adalah potensi semua sumber daya ikan,
sumber daya lingkungan, dan segala sumber daya buatan
manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya
ikan.
c. Sumber Daya Ikan adalah potensi semua jenis ikan dan
organisme lain yang berhubungan dengan ikan.
d. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian
dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
e. Pengelolaan Perikanan adalah upaya pelindungan, pemanfaatan,
dan pelestarian Perikanan, untuk mencapai kelangsungan
produktivitas Sumber Daya Perikanan yang berkelanjutan.
f. Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh Ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
dan cara yang mengedepankan asas keberlanjutan dan
kelestarian, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah, dan/atau mengawetkannya.
g. Pembudidayaan Ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan, dan/atau membiakkan Ikan serta memanen
hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol dan berkelanjutan,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya.
h. Pengolahan Ikan adalah pengolahan hasil Penangkapan Ikan dan
Pembudidayaan Ikan untuk tujuan komersial.
i. Pemasaran Ikan adalah rangkaian kegiatan memasarkan ikan dan
produk olahannya mulai dari merencanakan, menentukan harga,
melakukan promosi dan mendistribusikan kepada konsumen
sesuai dengan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil
perikanan.
j. Hasil Perikanan adalah Ikan yang ditangani, diolah, dan/atau
dijadikan produk akhir yang berupa Ikan segar, Ikan beku, dan
olahan lainnya.
k. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang
digunakan untuk melakukan Penangkapan Ikan, mendukung
operasi Penangkapan Ikan, pembudidayaan Ikan, pengangkutan
ikan, pengolahan Ikan, pelatihan Perikanan, dan
penelitian/eksplorasi Perikanan.
l. Surat Izin Usaha Perikanan yang selanjutnya disingkat SIUP
adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan Perikanan
untuk melakukan usaha Perikanan dengan menggunakan sarana
produksi yang tercantum dalam izin tersebut.
m. Surat Izin Penangkapan Ikan yang selanjutnya disingkat SIPI
adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap Kapal Perikanan
untuk melakukan Penangkapan Ikan yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari SIUP.
n. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan yang selanjutnya disingkat
SIKPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap Kapal
Perikanan untuk melakukan pengangkutan Ikan.
o. Hari adalah hari kerja.
p. Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis Perikanan yang
digunakan sebagai tempat Kapal Perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat Ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang Perikanan.
q. Nelayan adalah setiap orang yang seluruh atau sebagian sumber
mata pencahariannya melakukan Penangkapan Ikan.
r. Nelayan Kecil adalah Nelayan yang melakukan Penangkapan
Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang
tidak menggunakan kapal penangkap Ikan maupun yang
menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10
(sepuluh) gros ton (GT).
s. Nelayan Tradisional adalah Nelayan yang melakukan
Penangkapan Ikan di perairan yang merupakan hak Perikanan
tradisional yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai
dengan budaya dan kearifan lokal.
t. Pembudi Daya Ikan adalah setiap orang yang mata
Pencahariannya melakukan Pembudidayaan Ikan air tawar, Ikan
air payau, dan Ikan air laut.
u. Pembudi Daya Ikan Kecil adalah Pembudi Daya Ikan yang
melakukan Pembudidayaan Ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
v. Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang selanjutnya disingkat WPPNKRI adalah wilayah
pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan
ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan.
w. Perairan Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil
laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia beserta
perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
x. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disingkat
ZEEI adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut
teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar
200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut
teritorial diukur.
y. Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam
ZEEI, Laut Teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia,
dan perairan pedalaman Indonesia.
z. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik
yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
aa. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
bb. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Perikanan.
cc. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonom.

2. Materi yang akan diatur


a. Penguasaan
Penguasaan oleh negara dalam pengelolaan sumber daya
perikanan diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
daerah sesuai denga kewenangannya melalui fungsi kebijakan,
pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.
b. Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan Perikanan dalam WPPNKRI dilakukan untuk
melindungi, memanfaatkan, dan melestarikan Sumber Daya
Perikanan secara optimal dan berkelanjutan, dengan
mempertimbangkan potensi Sumber Daya Perikanan Indonesia.
Dalam Pengelolaan Perikanan, Menteri menetapkan:
1) rencana pengelolaan Perikanan;
2) potensi dan alokasi Sumber Daya Ikan di wilayah Pengelolaan
Perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3) jumlah tangkapan yang diperbolehkan di WPPNKRI;
4) potensi dan alokasi lahan Pembudidayaan Ikan di WPPNKRI;
5) potensi dan alokasi induk serta benih Ikan tertentu di WPPNKRI;
6) jenis, jumlah, dan ukuran alat Penangkapan Ikan;
7) jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu Penangkapan
Ikan;
8) daerah, jalur, dan waktu atau musim Penangkapan Ikan;
9) persyaratan atau standar prosedur operasional Penangkapan
Ikan;
10) pelabuhan Perikanan;
11) sistem pemantauan kapal Perikanan;
12) jenis Ikan baru yang akan dibudidayakan;
13) jenis Ikan dan wilayah penebaran kembali serta Penangkapan
Ikan berbasis budi daya;
14) Pembudidayaan Ikan dan perlindungannya;
15) cara pengendalian aktivitas perikanan yang dapat menimbulkan
pencemaran dan kerusakan Sumber Daya Ikan serta
lingkungannya;
16) rehabilitasi dan peningkatan Sumber Daya Ikan serta
lingkungannya;
17) jenis, ukuran, atau berat minimum jenis Ikan yang boleh
ditangkap untuk induk;
18) kawasan konservasi perairan;
19) wabah dan wilayah wabah penyakit Ikan, keadaan kritis, serta
penanggulangannya;
20) jenis Ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan
21) jenis Ikan yang dilindungi.
Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
Pengelolaan Perikanan wajib mematuhi ketentuan pengelolaan
perikanan yang ditetapkan menteri mencakup jenis, jumlah, dan
ukuran alat Penangkapan Ikan; jenis, jumlah, ukuran, dan
penempatan alat bantu Penangkapan Ikan; daerah, jalur, dan waktu
atau musim Penangkapan Ikan; persyaratan atau standar prosedur
operasional Penangkapan Ikan; sistem pemantauan kapal perikanan;
jenis Ikan baru yang akan dibudidayakan; jenis Ikan dan wilayah
penebaran kembali serta Penangkapan Ikan berbasis budi daya;
Pembudidayaan Ikan dan perlindungannya; cara pengendalian
aktivitas perikanan yang dapat menimbulkan pencemaran dan
122
kerusakan Sumber Daya Ikan serta lingkungannya; jenis, ukuran,
atau berat minimum jenis Ikan yang boleh ditangkap untuk induk;
kawasan konservasi perairan; wabah dan wilayah wabah penyakit
Ikan, keadaan kritis, serta penanggulangannya; jenis Ikan yang
dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke
dan dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan jenis Ikan yang
dilindungi. Adapun kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem
pemantauan Kapal Perikanan dikecualikan bagi Nelayan Kecil,
Nelayan Tradisional, dan/atau Pembudidaya Ikan kecil. Setiap Orang
yang melanggar kewajiban tersebut dikenai sanksi administratif.
Yang meliputi teguran tertulis; denda administratif; pembatasan
kegiatan usaha; penghentian sementara kegiatan usaha; penarikan
Ikan dan/atau hasil pengolahan Ikan dari peredaran; pembekuan izin
usaha; dan/atau pencabutan izin usaha. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Penetapan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
dilakukan setelah mempertimbangkan rekomendasi dari komisi
nasional yang mengkaji Sumber Daya Ikan. Komisi nasional
dibentuk oleh Menteri, beranggotakan para ahli di bidangnya, yang
berasal dari lembaga terkait.
Kawasan konservasi perairan dan jenis Ikan yang dilindungi
diperuntukkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
pariwisata, dan/atau kelestarian Sumber Daya Perikanan.
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk:
1) mengatur pemasukan, pengeluaran, dan/atau transit jenis calon
induk, induk, dan/atau benih Ikan ke dalam dan ke luar
WPPNKRI.
2) mengatur dan mengembangkan penggunaan sarana dan
prasarana Pembudidayaan Ikan dalam rangka pengembangan
Pembudidayaan Ikan.
3) mengatur dan membina tata kelola air dan lahan pembudidayaan
Ikan. Tata kelola air dan lahan Pembudidayaan Ikan ini
dilakukan sesuai dengan kebutuhan teknis Pembudidayaan Ikan
dan menghindari penggunaan lahan yang dapat merugikan
pembudidayaan Ikan, termasuk ketersediaan sabuk hijau.
Pengaturan dan pembinaan tersebut dilakukan dalam rangka
123
menjamin kuantitas dan kualitas air serta perairan untuk
kepentingan pembudidayaan Ikan. Sedangkan Pelaksanaan tata
kelola air dan lahan Pembudidayaan Ikan dilakukan oleh
Pemerintah Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan
dan pembinaan tata kelola air dan lahan Pembudidayaan Ikan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
4) menetapkan persyaratan dan standar serta melakukan
pengawasan terhadap alat pengangkut, unit penyimpanan hasil
produksi budi daya Ikan, dan unit pengelolaan kesehatan Ikan
dan lingkungannya. Pemerintah Pusat dalam melaksanakan
pengelolaan kesehatan Ikan dan lingkungannya berkewajiban
melibatkan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan standar serta pengawasan alat pengangkut, unit
penyimpanan hasil produksi budi daya Ikan, dan unit pengelolaan
kesehatan Ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan
kesehatan Ikan dan lingkungannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

1) Perencanaan Perikanan
Dalam menyelenggarakan Pengelolaan Perikanan, Menteri
menyusun dan menetapkan rencana umum Perikanan Nasional dan
rencana Pengelolaan Perikanan. Rencana umum Perikanan Nasional
harus sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional. Rencana umum Perikanan Nasional merupakan pedoman
bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pelaku Pengelolaan
Perikanan dalam perencanaan dan pembangunan sektor Perikanan.
Rencana Pengelolaan Perikanan merupakan rencana strategis yang
memuat analisis situasi perikanan dan kesepakatan antara
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan para
pemangku kepentingan lainnya, sebagai arah dan pedoman dalam
pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Ikan di bidang penangkapan
ikan.
Perencanaan Perikanan dilakukan secara sistematis, terpadu,
terarah, menyeluruh, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan
karakteristik Perikanan setempat. Perencanaan harus dilakukan
berdasarkan pada daya dukung Sumber Daya Perikanan; potensi
Sumber Daya Ikan di WPPNKRI; pengelolaan kesehatan Ikan dan
124
lingkungan; potensi lahan dan Perairan; rencana tata ruang wilayah;
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana tata
ruang laut nasional, dan rencana zonasi kawasan laut;
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; kebutuhan sarana
dan prasarana; kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian
dengan budaya setempat; tingkat pertumbuhan ekonomi; dan
pertimbangan keberadaan masyarakat hukum adat dan/atau
kearifan lokal. Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan
perikanan diatur dengan Peraturan Menteri.

2) Wilayah Pengelolaan Perikanan


WPPNKRI untuk Penangkapan Ikan dan/atau
Pembudidayaan Ikan meliputi perairan Indonesia; ZEEI; zona
tambahan; dan landas kontinen Indonesia. Penangkapan Ikan
dan/atau Pembudidayaan Ikan di luar WPPNKRI dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara
umum.
Nelayan Kecil bebas menangkap Ikan di seluruh WPPNKRI
yang mana kebebasan menangkap ikan ini dikecualikan di dalam
kawasan zona inti konservasi perairan, zona pemanfaatan wisata,
wilayah hak perikanan tradisional, dan/atau wilayah izin pengelolaan
Perikanan. Selain nelayan kecil Pembudi Daya Ikan Kecil bebas
membudidayakan komoditas Ikan pilihan di seluruh WPPNKRI
yang mana kebebasan membudidayakan ini dikecualikan di dalam
kawasan zona inti konservasi perairan, zona pemanfaatan wisata,
wilayah hak perikanan tradisional, dan/atau wilayah izin pengelolaan
Perikanan. Ketentuan lebih lanjut mengenai WPPNKRI, kebebasan
untuk menangkap oleh Nelayan Kecil, dan kebebasan
membudidayakan oleh Pembudi Daya Ikan Kecil Ikan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

3) Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat


Dalam WPPNKRI untuk kepentingan penangkapan Ikan dan
pembudidayaan ikan, diberikan pengakuan terhadap pengelolaan
Perikanan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang diakui
keberadaannya. Selain pengakuan terhadap masyarakat hukum adat,
125
Pemerintah Daerah memberikan akses pengelolaan Perikanan
kepada

126
Nelayan Kecil yang berbasis masyarakat yang dilakukan secara
berkelompok. Akses ini berupa akses pengelolaan wilayah laut
tertentu dan pengelolaan bagian dari alokasi penangkapan yang
diperbolehkan untuk satu atau lebih jenis kelompok ikan yang mana
kelompok nelayan ini harus menyusun rencana aksi pengelolaan
Perikanan yang akan menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk
memberikan akses pengelolaan, evaluasi, atau penutupan akses
pengelolaan.
Pengakuan terhadap Pengelolaan perikanan dan akses
Pengelolaan Perikanan harus dijalankan dengan sistem pengelolaan
yang menjamin kelestarian, keberlanjutan, dan kesejahteraan dan
sesuai rencana Pengelolaan Perikanan di suatu WPPNKRI.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakuan dan akses pengelolaan
Perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

c. Usaha Perikanan
Usaha Perikanan merupakan kegiatan yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis Perikanan. Jenis usaha Perikanan terdiri
dari usaha penangkapan Ikan; pembudidayaan Ikan; pengangkutan
Ikan; pengolahan Ikan; dan pemasaran Ikan. Setiap Orang yang
melakukan usaha Perikanan harus menerapkan sistem rantai dingin.
Ketentuan mengenai pelaksanaan sistem rantai dingin diatur dalam
Peraturan Menteri.
Setiap Orang yang melakukan usaha Perikanan di WPPNKRI
wajib memiliki SIUP. Setiap Orang dapat memiliki satu jenis atau
gabungan beberapa jenis usaha Perikanan. Setiap Orang yang
melanggar ketentuan dalam melakukan usaha perikanan, dikenai
sanksi administratif yang meliputi teguran tertulis; denda
administratif; pembatasan kegiatan usaha; penghentian sementara
kegiatan usaha; penarikan Ikan dan/atau hasil pengolahan Ikan dari
peredaran; pembekuan izin usaha; dan/atau pencabutan izin usaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
SIUP diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu yang
dilaksanakan secara bersama oleh instansi yang berwenang di bidang
Perikanan dan perhubungan. Ketentuan mengenai mekanisme, tata
cara, dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu diatur dengan
126
Peraturan Presiden. Kewajiban memiliki SIUP dikecualikan bagi
Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, dan/atau Pembudi Daya Ikan
Kecil. Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, dan Pembudi Daya Ikan
Kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya kepada
instansi Perikanan setempat tanpa dikenakan biaya.
SIUP diterbitkan untuk masing-masing jenis usaha Perikanan.
SIUP untuk jenis usaha Penangkapan Ikan mencantumkan koordinat
daerah Penangkapan Ikan, jumlah dan ukuran kapal Perikanan, jenis
alat penangkap Ikan yang digunakan, dan pelabuhan pangkalan.
SIUP untuk jenis usaha Pembudidayaan Ikan mencantumkan
kepemilikan, luas lahan atau perairan, dan letak lokasinya. SIUP
untuk jenis usaha pengangkutan Ikan mencantumkan daerah
pengumpulan, pelabuhan muat, pelabuhan pangkalan, jenis Ikan,
serta jumlah dan ukuran kapal Perikanan.
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya, dalam menerbitkan SIUP harus mempertimbangkan
potensi dan jumlah Sumber Daya Ikan; daerah penangkapan dan
Pembudidayaan Ikan; jenis alat Penangkapan Ikan yang ramah
lingkungan; dan cara Pembudidayaan Ikan yang ramah lingkungan.
Setiap Orang yang melakukan usaha Perikanan harus
memenuhi standar mutu dan keamanan pangan hasil Perikanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya membina dan memfasilitasi pengembangan usaha
Perikanan agar memenuhi standar mutu dan keamanan pangan Hasil
Perikanan. Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi
berkembangnya industri Perikanan nasional dengan mengutamakan
penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia dalam negeri,
serta mempertimbangkan luas wilayah laut. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya membina
terselenggaranya kebersamaan dan kemitraan yang sehat antara
industri Perikanan, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan/atau koperasi
Perikanan.

1) Usaha Penangkapan Ikan


Usaha Penangkapan Ikan terdiri dari usaha Penangkapan Ikan
dengan menggunakan kapal penangkap Ikan yang dioperasikan
secara tunggal dan/atau usaha Penangkapan Ikan dengan
127
menggunakan kapal penangkap Ikan yang dioperasikan dalam satuan
armada Penangkapan Ikan. Usaha Penangkapan Ikan dilakukan oleh
kapal penangkap Ikan yang sekaligus berfungsi sebagai kapal
pengangkut Ikan hasil tangkapan. Sedangkan Usaha Penangkapan
Ikan dilakukan oleh kapal penangkap Ikan, kapal pengangkut Ikan,
dan kapal pendukung operasi Penangkapan Ikan yang merupakan
satu kesatuan armada Penangkapan Ikan. Usaha Penangkapan Ikan
wajib menggunakan alat Penangkapan Ikan yang ramah lingkungan
dan tidak merusak ekosistem dan kelestarian Sumber Daya Ikan.
Usaha Penangkapan Ikan yang menggunakan kapal
penangkap Ikan dan/atau kapal pengangkut Ikan dengan jumlah
kumulatif 100 (seratus) gross ton (GT) ke atas, hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha berbadan hukum. Jenis usaha
Penangkapan Ikan yang berada di WPPNKRI, hanya dapat
dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap Ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk
melakukan Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia dan/atau di luar WPPNKRI wajib
memiliki SIPI. Setiap Orang wajib melakukan penangkapan ikan di
dalam daerah pengangkapan ikan yang tercantum dalam SIPI. Setiap
Orang yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera
Indonesia di WPPNKRI wajib membawa SIPI asli. Setiap Orang
yang mengoperasikan Kapal penangkap Ikan berbendera Indonesia,
yang melakukan Penangkapan Ikan di wilayah yurisdiksi negara lain
wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah
Pusat. Kewajiban memiliki SIPI dan/atau membawa SIPI asli
dikecualikan bagi Nelayan Kecil dan Nelayan Tradisional.
Setiap kapal penangkap Ikan dapat melakukan alih muatan ke
kapal penangkap Ikan dan/atau ke kapal pengangkut Ikan dengan
ketentuan sekurang-kurangnya:
1) mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama;
2) pelaksanaannya diawasi oleh pemantau kapal penangkap Ikan
dan kapal pengangkut Ikan;
3) sistem pemantauan Kapal Perikanandalam kondisi aktif dan
dapat dipantau secara daring/online;
4) melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana
tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan
5) melaporkan kepada pengawas Perikanan di pelabuhan pangkalan
sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI.
Dalam pelaksanaan alih muatan setiap kapal yang melakukan
alih muatan wajib mendaratkan Ikan di pelabuhan pangkalan sesuai
SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa ke luar negeri. Ketentuan lebih
lanjut mengenai usaha Penangkapan Ikan alat Penangkapan Ikan
yang ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem dan kelestarian
Sumber Daya Ikan, SIPI dan alih muatan diatur dengan Peraturan
Menteri.
Setiap Orang yang melanggar yang tercantum dalam usaha
penangkapan ikan dikenai sanksi administratif yang meliputi teguran
tertulis; denda administratif; pembatasan kegiatan usaha;
penghentian sementara kegiatan usaha; penarikan Ikan dan/atau
hasil pengolahan Ikan dari peredaran; pembekuan izin usaha;
pencabutan izin usaha; dan/atau larangan untuk turut serta dalam
kegiatan usaha, dan ekspor/impor. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2) Usaha Pembudidayaan Ikan


Usaha Pembudidayaan Ikan terdiri dari pembenihan Ikan;
pembesaran Ikan; pengangkutan Ikan hasil pembudidayaan;
dan/atau penunjang Pembudidayaan Ikan. Setiap Orang yang
melakukan usaha Pembudidayaan Ikan wajib memiliki izin. Izin
sekurang-kurangnya berupa izin lokasi, SIUP, dan SIKPI. Dalam hal
Setiap Orang yang melakukan usaha Pembudidayaan Ikan juga
melakukan usaha pengangkutan, wajib memiliki SIKPI. Ketentuan
mengenai izin dikecualikan bagi Pembudi Daya Ikan Kecil. Setiap
yang telah diuraikan sebelumnya dalam usaha pembudidayaan ikan
dikenai sanksi administratif yang meliputi teguran tertulis; denda
administratif; pembatasan kegiatan usaha; penghentian sementara
kegiatan usaha; pembekuan izin usaha; pencabutan izin usaha;
dan/atau larangan untuk turut serta dalam kegiatan usaha, dan
ekspor/impor. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. Setiap Orang yang
melakukan usaha Pembudidayaan Ikan di WPPNKRI dengan
menggunakan modal asing, wajib memiliki rekomendasi
Pembudidayaan Ikan penanaman modal.
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan pembinaan usaha Pembudidayaan Ikan
yang sekurang-kurangnya meliputi pengelolaan usaha; pengelolaan
sarana dan prasarana; teknik pembudidayaan; jaminan mutu
keamanan dan kesehatan hasil Perikanan; dan kelestarian Sumber
Daya Ikan dan lingkungannya. Setiap Orang yang melanggar
ketentuan ini dikenai sanksi administrative yang meliputi teguran
tertulis; denda administratif; pembatasan kegiatan usaha;
penghentian sementara kegiatan usaha; pembekuan izin usaha;
dan/atau pencabutan izin usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai usaha Pembudidayaan
Ikan, izin, rekomendasi Pembudidayaan Ikan penanaman modal, dan
pembinaan usaha Pembudidayaan Ikan diatur dalam Peraturan
Menteri.

3) Usaha Pengangkutan Ikan


Usaha pengangkutan Ikan terdiri dari usaha pengangkutan
Ikan dan usaha pengangkutan Ikan hidup. Setiap Orang yang
melakukan usaha pengangkutan Ikan wajib memiliki SIUP. Setiap
Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut
Ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan
pengangkutan Ikan di WPPNKRI wajib memiliki SIKPI. Setiap
Orang yang mengoperasikan kapal pengangkut Ikan wajib membawa
SIKPI asli. Kewajiban memiliki SIKPI dan/atau membawa SIKPI
asli dikecualikan bagi Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, dan/atau
Pembudidaya Ikan Kecil. Setiap Orang yang melanggar ketentuan
dalam SIKPI, dikenai sanksi administratif yang meliputi teguran
tertulis; denda administratif; pembatasan kegiatan usaha;
penghentian sementara kegiatan usaha; pembekuan izin usaha;
dan/atau pencabutan izin usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha pengangkutan Ikan serta
SIUP dan SIKPI diatur dalam Peraturan Menteri.
4) Usaha Pengolahan Ikan
Usaha Pengolahan Ikan terdiri dari Ikan segar, Ikan beku, dan
Ikan olahan lainnya. Usaha Pengolahan Ikan bertujuan untuk
meningkatkan nilai tambah Hasil Perikanan yang memenuhi
kelayakan pengolahan Ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan
Hasil Perikanan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Setiap Orang yang melakukan usaha pengolahan Ikan dan
produk Perikanan wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan
kelayakan pengolahan Ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan
hasil Perikanan. Sistem jaminan mutu dan keamanan Hasil
Perikanan terdiri atas pengawasan dan pengendalian mutu,
pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar bahan baku,
sanitasi dan teknik penanganan serta pengolahan, mutu produk,
sarana dan prasarana, dan metode pengujian, dan sertifikasi. Setiap
Orang yang melanggar ketentuan inidikenai sanksi administratif
yang meliputi teguran tertulis; denda administratif; pembatasan
kegiatan usaha; penghentian sementara kegiatan usaha; penarikan
Ikan dan/atau hasil pengolahan Ikan dari peredaran; pembekuan izin
usaha; dan/atau pencabutan izin usaha. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Setiap Orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan
kelayakan pengolahan Ikan dibuktikan dengan sertifikat kelayakan
pengolahan. Setiap Orang yang memenuhi dan menerapkan
persyaratan penerapan sistem jaminan mutu Hasil Perikanan harus
dibuktikan dengan sertifikat penerapan program manajemen mutu
terpadu. Sertifikat kelayakan pengolahan dan sertifikat penerapan
program manajemen mutu terpadu dikeluarkan oleh Menteri.
Untuk menghasilkan produk pengolahan Perikanan yang
memenuhi kelayakan pengolahan Ikan, sistem jaminan mutu, dan
keamanan Pemerintah Pusat menetapkan bahan baku, bahan
tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang
membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya melakukan sosialisasi bahan baku, bahan tambahan
makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan
kesehatan manusia dan/atau lingkungan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya memfasilitasi prasarana pengolahan Hasil
Perikanan. Selain itu Pemerintah Pusat mendorong peningkatan nilai
tambah produk hasil Perikanan dan juga Pemerintah Pusat dapat
membatasi pengeluaran bahan baku industri pengolahan Ikan ke luar
negeri untuk menjamin ketersediaan bahan baku di dalam negeri.
Ketentuan mengenai peningkatan nilai tambah produk Hasil
Perikanan dan pembatasan pengeluaran bahan baku industri
pengolahan Ikan ke luar negeri diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Untuk menunjang ketersediaan bahan baku industri
pengolahan Ikan dalam negeri, Pemerintah Pusat mengembangkan
sistem logistik Ikan nasional yang meliputi pengembangan jaringan
distribusi Ikan yang menjangkau seluruh wilayah secara efisien;
pengelolaan sistem distribusi Ikan yang dapat mempertahankan mutu
dan keamanan Hasil Perikanan; pengembangan sarana dan
prasarana distribusi Ikan; pengembangan kelembagaan distribusi
Ikan; pengelolaan pasokan Ikan dan permintaan Ikan;
pengembangan sistem informasi ketersediaan Ikan; dan peningkatan
peran pemerintah daerah dalam penyediaan dan penyaluran bahan
baku.

5) Usaha Pemasaran Ikan


Usaha Pemasaran Ikan terdiri dari penyimpanan, transportasi,
pendistribusian, dan promosi. Usaha pemasaran Ikan bertujuan
untuk mendistribusikan Hasil Perikanan agar dapat dimanfaatkan,
dinikmati, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya mengembangkan sistem pemasaran produk Hasil
Perikanan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menyediakan atau memfasilitasi prasarana
pemasaran Hasil Perikanan.
Pemerintah Pusat berkewajiban menyelenggarakan dan
memfasilitasi kegiatan usaha pemasaran Hasil Perikanan di dalam
negeri maupun ke luar negeri. Pengeluaran hasil produksi usaha
Perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan di
dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional.
Pemasukan Hasil Perikanan dari luar negeri harus memperhatikan
hasil panen, hasil tangkapan, musim Ikan, iklim, dan cuaca di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai usaha pemasaran Ikan dan sistem pemasaran
produk Hasil Perikanan diatur dalam Peraturan Menteri.

d. Konservasi Perikanan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi sesuai
dengan kewenangannya melakukan usaha konservasi Sumber Daya
Ikan, untuk menjamin perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
Sumber Daya Ikan. Konservasi Sumber Daya Ikan dilakukan melalui
konservasi jenis Ikan, sumber daya genetik Ikan, dan ekosistem.
Konservasi jenis Ikan dilakukan melalui penggolongan jenis
Ikan, penetapan status perlindungan jenis Ikan, pemeliharaan, dan
pengembangbiakan. Konservasi sumber daya genetik Ikan dilakukan
melalui upaya pemeliharaan, pengembangbiakan, penelitian, dan
pelestarian gamet. Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe
ekosistem yang terkait dengan Sumber Daya Ikan. Konservasi
ekosistem dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan/atau
rehabilitasi habitat dan populasi Ikan, penelitian dan pengembangan,
pemanfaatan Sumber Daya Ikan dan jasa lingkungan, pengembangan
sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, dan/atau
monitoring dan evaluasi. Ketentuan mengenai Konservasi Perikanan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

e. Kapal, Pelabuhan, dan Syahbandar Perikanan


1) Kapal Perikanan
Kapal Perikanan berdasarkan fungsinya meliputi kapal
penangkap Ikan, kapal pengangkut Ikan, kapal penyangga, kapal
pengolah Ikan, kapal latih Perikanan, kapal penelitian/eksplorasi
Perikanan, dan kapal pendukung operasi Penangkapan Ikan
dan/atau Pembudidayaan Ikan.
Setiap Orang yang membangun, memasukkan dari luar
negeri, atau memodifikasi Kapal Perikanan, wajib mendapat
persetujuan Menteri. Pembangunan atau modifikasi Kapal Perikanan
dapat dilakukan di dalam atau di luar negeri setelah
mendapat
pertimbangan teknis laik berlayar dari menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pelayaran.
Setiap Orang yang berkewarganegaraan negara Indonesia
yang memiliki Kapal Perikanan yang dioperasikan di WPPNKRI dan
Laut Lepas, wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai Kapal
Perikanan Indonesia. Pendaftaran Kapal Perikanan harus dilengkapi
dengan dokumen: bukti kepemilikan, identitas pemilik, dan surat
ukur. Kapal Perikanan yang telah terdaftar, diberikan surat tanda
kebangsaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pendaftaran Kapal Perikanan yang dibeli atau diperoleh dari
luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai
Kapal Perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen,
harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari
daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal.
Setiap Kapal Perikanan Indonesia harus diberi tanda pengenal
kapal Perikanan. Kapal penangkap Ikan berbendera Indonesia yang
dipergunakan oleh Nelayan Kecil dapat menggunakan 2 (dua) jenis
alat Penangkapan Ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan
musim. Ketentuan mengenai kapal Perikananan diatur dengan
Peraturan Menteri.

2) Pelabuhan Perikanan
Pelabuhan Perikanan merupakan pendukung kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan dan
lingkungannya, mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi,
pengolahan, dan pemasaran. Pelabuhan Perikanan mempunyai
fungsi: pemerintahan dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada
Pelabuhan Perikanan, merupakan fungsi untuk melaksanakan
pengaturan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, serta keamanan
dan keselamatan operasional Kapal Perikanan di pelabuhan
Perikanan. Fungsi pengusahaan pada Pelabuhan Perikanan,
merupakan fungsi untuk melaksanakan pengusahaan berupa
penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kapal Perikanan dan jasa terkait
di pelabuhan Perikanan. Fungsi pemerintahan, meliputi:
1) pelayanan pembinaan mutu hasil Perikanan;
2) pengumpulan data tangkapan, Hasil Perikanan, dan data
kelautan serta perikanan lainnya;
3) tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat
Nelayan;
4) pelaksanaan kegiatan operasional kapal Perikanan;
5) tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya
Ikan;
6) pelaksanaan kesyahbandaran;
7) tempat pelaksanaan fungsi karantina Ikan;
8) publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh Kapal Perikanan dan
kapal pengawas kapal Perikanan;
9) tempat publikasi hasil penelitian kelautan dan Perikanan;
10) pemantauan wilayah pesisir;
11) pengendalian lingkungan;
12) kepabeanan; dan/atau
13) keimigrasian.
Selain memiliki fungsi pemerintahan, Pelabuhan Perikanan
dapat melaksanakan fungsi pemerintahan lainnya yang terkait
dengan Pengelolaan Perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Fungsi pengusahaan, meliputi:
1) pelayanan tambat dan labuh kapal Perikanan;
2) pelayanan bongkar muat Ikan;
3) pelayanan pengolahan hasil Perikanan;
4) pemasaran dan distribusi Ikan;
5) pemanfaatan fasilitas dan lahan di pelabuhan Perikanan;
6) pelayanan perbaikan dan pemeliharaan kapal Perikanan;
7) pelayanan logistik dan perbekalan kapal Perikanan;
8) wisata bahari; dan/atau
9) penyediaan dan/atau pelayanan jasa lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menyelenggarakan dan membina pengelolaan
pelabuhan Perikanan. Dalam penyelenggaraan dan pembinaan,
Menteri menetapkan: rencana induk Pelabuhan Perikanan secara
nasional, klasifikasi pelabuhan Perikanan, pengelolaan pelabuhan
Perikanan, persyaratan dan/atau standar teknis dalam perencanaan,
pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan
Perikanan, wilayah kerja dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan
yang meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi
wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan Perikanan, dan
Pelabuhan Perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah.
Setiap Orang yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan
dan/atau kapal pengangkut Ikan, wajib mendaratkan seluruh Ikan
tangkapannya di Pelabuhan Perikanan yang ditetapkan atau
pelabuhan lainnya yang ditunjuk. Setiap Orang yang melanggar
ketentuan, dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut
meliputi: teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan
usaha, penghentian sementara kegiatan usaha, pembekuan izin
usaha, dan/atau pencabutan izin usaha. Ketentuan mengenai
pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai Pelabuhan Perikanan diatur dalam Peraturan
Menteri.

3) Syahbandar Perikanan
Dalam rangka keselamatan operasional kapal Perikanan,
ditunjuk syahbandar di pelabuhan Perikanan. Syahbandar di
Pelabuhan Perikanan mempunyai tugas dan wewenang:
1) menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
2) mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal Perikanan;
3) memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal Perikanan;
4) memeriksa teknis dan nautis Kapal Perikanandan memeriksa alat
Penangkapan Ikan, dan alat bantu Penangkapan Ikan;
5) memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
6) memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan Ikan;
7) mengatur olah gerak dan lalu lintas Kapal Perikanan di
pelabuhan Perikanan;
8) mengawasi pemanduan;
9) mengawasi pengisian bahan bakar;
10) mengawasi kegiatan pembangunan dan pemanfaatan fasilitas
pelabuhan Perikanan;
11) melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
12) memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman
kebakaran di pelabuhan Perikanan;
13) mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim;
14) memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal Perikanan;
15) menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan
Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
16) memeriksa sertifikat Ikan hasil tangkapan.
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan, diangkat oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.
Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di Pelabuhan Perikanan
dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di Pelabuhan
Perikanan setempat. Penyelenggaraan kesyahbandaran di Pelabuhan
Perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Setiap Kapal Perikanan yang melakukan kegiatan Perikanan
wajib memiliki surat laik operasi Kapal Perikanan tanpa dikenai
biaya. Surat laik operasi dikeluarkan oleh pengawas Perikanan
setelah memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
Setiap nahkoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang akan
berlayar melakukan Penangkapan Ikan dan/atau pengangkutan Ikan
dari Pelabuhan Perikanan, wajib memiliki surat persetujuan berlayar.
Surat persetujuan berlayar dikeluarkan oleh syahbandar setelah
Kapal Perikanan mendapatkan surat laik operasi.
Dalam hal Kapal Perikanan berada dan/atau berpangkalan di
luar pelabuhan Perikanan, surat persetujuan berlayar diterbitkan
oleh syahbandar setempat, setelah memperoleh surat laik operasi
dari pengawas Perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.
Ketentuan mengenai syahbandar Perikanan, surat laik operasi, dan
surat persetujuan berlayar diatur dalam Peraturan Menteri.

f. Sistem Data dan Informasi Perikanan


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban membangun, menyusun,
mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi
Perikanan. Kewajiban diselenggarakan dengan cara pengumpulan,
pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan diseminasi data:
1) potensi Perikanan;
2) pergerakan Ikan;
3) sarana dan prasarana Perikanan;
4) produksi Perikanan;
5) pascaproduksi Perikanan;
6) pengolahan Perikanan;
7) pemasaran Perikanan;
8) sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan
Sumber Daya Ikan dan pengembangan sistem bisnis Perikanan;
dan
9) data lainnya di bidang Perikanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya mengadakan pusat informasi Perikanan untuk
menyelenggarakan sistem data dan informasi Perikanan yang
sistematis, lengkap, dan terintegrasi. Sistem data dan informasi
digunakan untuk: pengelolaan Perikanan, usaha Perikanan,
penelitian dan pengembangan Perikanan, pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan Perikanan, konservasi Perikanan, kerjasama
internasional, serta pengawasan dan evaluasi Perikanan.
Sistem data dan informasi meliputi: basis data, sistem aplikasi
yang terintegrasi, jejaring sumber informasi, serta sumber daya
manusia untuk manajemen sistem data dan informasi. Basis data
diperoleh melalui kegiatan inventarisasi Perikanan. Basis data paling
sedikit memuat informasi mengenai:
1) wilayah pengelolaan Perikanan;
2) potensi dan ketersediaan Sumber Daya Ikan;
3) jumlah benih dan induk ikan;
4) status dan kriteria Perikanan;
5) jenis Ikan;
6) jumlah produksi Perikanan;
7) konsumsi Ikan nasional;
8) peluang dan tantangan pasar Perikanan;
9) data pemasukan dan pengeluaran Ikan dari dalam atau ke luar
negeri;
10) data perizinan Perikanan;
11) prakiraan cuaca; dan
12) harga hasil Perikanan.
Basis data wajib diperbaharui oleh Menteri bersama dengan
lembaga pemerintah di bidang pengembangan ilmu pengetahuan.
Basis data wajib diperbaharui sekurang-kurangnya setiap 6 (enam)
bulan.
Penyelenggaraan sistem data dan informasi Perikanan
dilaksanakan oleh Menteri. Penyelenggaraan sistem data dan
informasi dilaksanakan bersama dengan lembaga pemerintah di
bidang pengembangan ilmu pengetahuan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menjamin kerahasiaan informasi Perikanan yang
berkaitan dengan:
1) data log book penangkapan dan pengangkutan Ikan;
2) data yang diperoleh dari pengamat; dan/atau
3) data perusahaan dalam proses perizinan usaha Perikanan.
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Pusat wajib membangun jaringan informasi
Perikanan dengan lembaga lain, di dalam maupun di luar negeri.
Sistem informasi Perikanan harus dapat diakses dengan mudah dan
cepat oleh seluruh pengguna informasi Perikanan. Ketentuan
mengenai sistem data dan informasi diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

g. Pungutan Perikanan
Setiap Orang yang memperoleh manfaat langsung dari Sumber
Daya Ikan dan lingkungannya di WPPNKRI dan/atau di luar
WPPNKRI dikenakan pungutan Perikanan. Pungutan Perikanan
terdiri dari: penerimaan negara bukan pajak dan retribusi izin usaha
Perikanan. Pungutan Perikanan dikecualikan bagi Nelayan Kecil,
Nelayan Tradisional, dan/atau Pembudidaya Ikan Kecil.
Pungutan Perikanan digunakan untuk penyelenggaraan
Perikanan dan kegiatan Konservasi Sumber Daya Perikanan.
Ketentuan mengenai pungutan Perikanan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Ketentuan mengenai pungutan Perikanan masing-
masing diatur dengan Peraturan Daerah.

h. Penelitian dan Pengembangan Perikanan


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menyelenggarakan kegiatan penelitian dan
pengembangan Perikanan dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk mendukung
pembangunan Perikanan berkelanjutan. Penelitian dan
pengembangan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Perikanan
sebagai upaya mempercepat pembangunan Perikanan berkelanjutan.
Penelitian dan Pengembangan Perikanan harus memperhatikan
kelestarian lingkungan, kearifan lokal, dan kode etik.
Pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan
Perikanan dilaksanakan oleh: perorangan, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, dan/atau lembaga penelitian dan
pengembangan milik pemerintah atau swasta. Pelaksana penelitian
dan pengembangan Perikanan dapat melakukan kerja sama dengan:
pelaku usaha Perikanan, asosiasi Perikanan, dan/atau lembaga
penelitian dan pengembangan milik asing. Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat
bekerjasama dengan badan atau lembaga penelitian nasional
dan/atau internasional dalam rangka kegiatan penelitian dan
pengembangan Perikanan di WPPNKRI.
Hasil penelitian dan pengembangan Perikanan bersifat
terbuka untuk semua pihak kecuali penelitian tertentu yang
dinyatakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
tidak untuk dipublikasikan. Hasil penelitian dan pengembangan
Perikanan dapat dipergunakan untuk: meningkatkan kemandirian
dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
Perikanan, mengungkapkan dan memahami potensi dan
permasalahan Sumber Daya Ikan dan lingkungannya serta
mengembangkan teknologi Pengelolaan Perikanan dan konservasi
Sumber Daya Ikan, serta menyiapkan dan menyediakan basis ilmiah
yang kuat dan teknologi tepat guna sebagai kunci dalam menyusun
kebijakan pengelolaan dan pengembangan usaha Perikanan agar
lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah
lingkungan serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.
Warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang
melakukan penelitian Perikanan di WPPNKRI harus memperoleh
izin dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Penelitian
yang dilakukan oleh warga negara asing dan/atau badan hukum
asing harus mengikutsertakan peneliti Indonesia. Warga negara
140
asing

141
dan/atau badan hukum asing yang melakukan penelitian Perikanan
di WPPNKRI, wajib menyerahkan hasil penelitiannya kepada
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap
penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing di WPPNKRI. Pengawasan dapat
melibatkan peran serta masyarakat.
Setiap Orang yang melanggar ketentuan diatas dikenai sanksi
administratif. Sanksi administratif meliputi: teguran tertulis, denda
administrati, dan deportasi bagi tenaga kerja asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai
pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan penelitian dan pengembangan
Perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

i. Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan guna meningkatkan dan mengembangkan
kompetensi sumber daya manusia di bidang Perikanan. Pendidikan
dan pelatihan dapat diselenggarakan oleh: Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah provinsi atau kabupaten/kota, swasta, dan/atau
swadaya. Pendidikan dan pelatihan paling sedikit berupa pemberian
pelatihan, penyuluhan, beasiswa, dan/atau bantuan biaya
pendidikan di bidang praproduksi, produksi, pascaproduksi,
pengolahan, dan pemasaran Ikan.
Pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan melalui pendidikan
dan pelatihan formal atau non formal. Penyuluhan dilakukan secara
partisipatif dan berkelanjutan antara Pemerintah Pusat dan/atau
Pemerintah Daerah terhadap sumber daya manusia di bidang
Perikanan. Ketentuan mengenai pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

j. Kerjasama Internasional
Untuk menyelenggarakan pengelolaan Perikanan, Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
141
dapat melakukan kerja sama internasional dengan: pemerintah
negara lain, lembaga atau organisasi internasional di bidang
Perikanan, dan/atau warga negara atau organisasi non-pemerintah
dari negara lain. Kerja sama internasional dapat berupa:
1) publikasi secara berkala hal-hal yang terkait dengan langkah
konservasi dan pengelolaan Sumber Daya Ikan;
2) kerja sama dalam rangka konservasi dan pengelolaan Sumber
Daya Ikan di Laut Lepas, Laut Lepas yang bersifat tertutup atau
semi tertutup, dan wilayah kantong;
3) kerja sama pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di
bidang Perikanan;
4) tukar menukar informasi di bidang Perikanan;
5) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang Perikanan;
6) pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang Perikanan; dan
7) keanggotaan pada badan/ lembaga/organisasi regional dan
internasional di bidang Perikanan.
Kerja sama internasional di bidang Perikanan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara
umum. Ketentuan mengenai kerja sama internasional diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

k. Pengawasan Perikanan
Pengawasan Perikanan dilaksanakan untuk menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan Perikanan dan terciptanya tertib
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Perikanan. Pengawasan Perikanan dilakukan terhadap:
1) Penangkapan Ikan;
2) Pembudidayaan Ikan;
3) pengolahan Ikan;
4) pemasaran Hasil Perikanan;
5) mutu dan keamanan Hasil Perikanan;
6) produksi, pemasaran, dan penggunaan pakan serta obat Ikan;
7) Konservasi Perikanan; dan
8) penelitian dan pengembangan Perikanan.
Pengawasan Perikanan dilakukan oleh pengawas Perikanan.
Pengawas Perikanan merupakan pegawai negeri sipil yang bekerja di
bidang Perikanan, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Pengawas Perikanan dapat dididik untuk
menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan dan ditetapkan
sebagai pejabat fungsional pengawas Perikanan. Dalam
menyelenggarakan pengawasan Perikanan, pengawas dapat
melibatkan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dapat
berupa perorangan atau kelompok.
Pengawas Perikanan melaksanakan tugas di:
1) WPPNKRI;
2) kapal Perikanan;
3) Pelabuhan Perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk;
4) pelabuhan tangkahan;
5) sentra usaha Perikanan;
6) unit pengolahan Ikan;
7) area pembenihan Ikan;
8) area pembudidayaan Ikan; dan
9) kawasan konservasi perairan.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan pengawas Perikanan
berwenang:
1) memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha Perikanan;
2) memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
Perikanan;
3) memeriksa kegiatan usaha Perikanan;
4) memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan
Perikanan;
5) memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI;
6) mendokumentasikan hasil pemeriksaan;
7) mengambil contoh Ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk
keperluan pengujian laboratorium;
8) memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal
Perikanan;
9) menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap
kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan
tindak pidana Perikanan di WPPNKRI sampai dengan
diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan
tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik;
10) menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin di bidang
Perikanan untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan/atau
11) melakukan tindakan khusus terhadap Kapal Perikanan yang
berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau
membahayakan keselamatan kapal pengawas Perikanan dan/atau
awak kapal Perikanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya wajib menyediakan dan/atau memfasilitasi sarana
dan prasarana pengawasan Perikanan. Dalam melaksanakan
tugasnya, Pengawas Perikanan dapat dilengkapi dengan kapal
pengawas Perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.
Pengawas perikanan dan/atau penyidik dapat melakukan
tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman
Kapal Perikanan yang berbendera asing yang patut diduga telah
melakukan tindak pidana di bidang Perikanan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.
Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal dapat dilakukan dalam hal kapal berbendera
asing berusaha melarikan diri; melakukan perlawanan yang dapat
membahayakan keselamatan kapal, pengawas, dan/atau awak kapal
Perikanan; dan/atau; tidak memiliki SIPI dan SIKPI serta secara
nyata menangkap dan/atau mengangkut Ikan ketika memasuki
WPPNKRI. Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal harus dilakukan dengan tidak menimbulkan
kerusakan terhadap Sumber Daya Perikanan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengawasan Perikanan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

l. Larangan
Setiap Orang dilarang melakukan Penangkapan Ikan dan/atau
Pembudidayaan Ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian Sumber Daya Ikan
dan/atau lingkungannya di WPPNKRI. Larangan menggunakan
bahan
kimia, bahan biologis, alat, cara, dan/atau bangunan untuk
Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan dikecualikan
untuk kepentingan penelitian. Ketentuan mengenai penggunaan jenis
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau
bangunan yang dilarang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Setiap Orang dilarang memiliki, menguasai, membawa,
menggunakan alat penangkapan, dan/atau alat bantu Penangkapan
Ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan Sumber Daya
Ikan di kapal penangkap Ikan di WPPNKRI. Ketentuan mengenai
alat penangkapan dan/atau alat bantu Penangkapan Ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan Sumber Daya Ikan diatur
dalam Peraturan Menteri.
Setiap Orang dilarang: a. melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan Sumber Daya Ikan
dan/atau lingkungannya di WPPNKRI; b. membudidayakan Ikan
dan/atau Ikan hasil rekayasa genetik yang dapat membahayakan
Sumber Daya Ikan, lingkungan Sumber Daya Ikan, dan/atau
kesehatan manusia di WPPNKRI; dan c. memproduksi,
mengadakan, mengedarkan, memasarkan, dan/atau menggunakan
pakan dan obat Ikan dalam Pembudidayaan Ikan yang dapat
membahayakan Sumber Daya Ikan, lingkungan Sumber Daya
Perikanan, dan/atau kesehatan manusia di WPPNKRI. Ketentuan
mengenai perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan Sumber Daya Ikan dan/atau lingkungannya,
membudidayakan Ikan dan/atau Ikan hasil rekayasa genetik yang
dapat membahayakan Sumber Daya Ikan, lingkungan Sumber
Daya Ikan, dan/atau kesehatan manusia, dan memproduksi,
memasarkan, dan/atau menggunakan pakan dan obat Ikan dalam
Pembudidayaan Ikan yang dapat membahayakan Sumber Daya Ikan,
lingkungan Sumber Daya Ikan, dan/atau kesehatan manusia diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Setiap Orang dilarang memperdagangkan, memasukkan,
dan/atau mengeluarkan jenis Ikan yang dilarang untuk
diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta menangkap,
mengeluarkan, mengedarkan Ikan yang dilindungi di dalam dan/atau
ke luar WPPNKRI.
Larangan juga diberlakukan bagi setiap Orang yang
menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan
penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia
dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan Ikan. Larangan juga berlaku pada setiap Orang yang
memalsukan SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI; dan/atau menggunakan
SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI palsu.

m. Pengadilan Perikanan
Untuk mengadili tindak pidana di bidang Perikanan dibentuk
pengadilan khusus yang berada di lingkup peradilan umum.
Pengadilan khusus merupakan pengadilan Perikanan yang
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana
di bidang Perikanan. Pengadilan Perikanan berkedudukan di
pengadilan negeri. Pembentukan pengadilan Perikanan dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan
negara. Pembentukan pengadilan Perikanan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Kewenangan Pengadilan Perikanan berlaku di WPPNKRI.
Yurisdiksi pengadilan Perikanan dibagi berdasarkan yurisdiksi
pengadilan yang berada di WPPNKRI. Pembagian yurisdiksi
pengadilan Perikanan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Dalam hal tindak pidana Perikanan terjadi di WPPNKRI yang
belum memiliki pengadilan Perikanan, tindak pidana Perikanan yang
terjadi diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang
berwenang.

n. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang


Pengadilan
1) Penyidikan
Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang Perikanan
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Penyidikan tindak pidana di bidang Perikanan di WPPNKRI
dilakukan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan; dan/atau Penyidik Perwira
TNI AL.
Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Perikanan yang
terjadi di Pelabuhan Perikanan diutamakan dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perikanan. Penyidik harus melakukan
koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang
Perikanan. Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak
pidana di bidang Perikanan, Menteri membentuk forum koordinasi.
Penyidik berwenang:
1) menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana
di bidang Perikanan;
2) memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya;
3) membawa dan menghadapkan tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya;
4) menggeledah sarana dan prasarana Perikanan yang diduga
digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana
di bidang Perikanan;
5) menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau
menahan kapal dan/atau orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang Perikanan;
6) memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
Perikanan;
7) memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di
bidang Perikanan;
8) mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
tindak pidana di bidang Perikanan;
9) membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
10) melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan
dan/atau hasil tindak pidana; dan
11) melakukan penghentian penyidikan.
Penyidik yang melakukan penangkapan atau penahanan kapal
asing di ZEEI harus segera memberitahukan kepada Negara bendera
mengenai penangkapan atau penahanan tersebut.
Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan kepada
penuntut umum paling lama 7 (tujuh) Hari sejak ditemukan adanya
tindak pidana di bidang Perikanan. Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari.
Jangka waktu penahanan jika diperlukan untuk kepentingan
147
pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang oleh penuntut
umum paling lama 40 (empat puluh) hari. Ketentuan tersebut di atas
tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan telah terpenuhi. Setelah jangka waktu 60 (enam puluh)
hari, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan
demi hukum. Penyidik menyampaikan hasil penyidikan ke penuntut
umum paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak pemberitahuan
dimulainya penyidikan. Jangka waktu penyidikan, dapat
diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) Hari dalam hal penyidikan
membutuhkan kerjasama dengan negara lain dan/atau terkait
dengan tindak pidana non Perikanan. Permohonan jangka waktu
penyidikan dimohonkan kepada ketua pengadilan negeri.

2) Penuntutan
Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang Perikanan
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang Perikanan
dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang Perikanan harus
memenuhi persyaratan berpengalaman menjadi penuntut umum
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; telah mengikuti pendidikan dan
pelatihan teknis di bidang Perikanan; dan cakap dan memiliki
integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.
Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari
penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik
dalam waktu 5 (lima) Hari terhitung sejak tanggal diterimanya
berkas penyidikan. Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan
tidak lengkap, penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara
kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk tentang hal-hal yang
harus dilengkapi. Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari
terhitung sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus
menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut
umum. Penyidikan dianggap telah selesai jika dalam waktu 5 (lima)
Hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada
148
pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut
lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak
tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap,
penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada
pengadilan Perikanan. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut
umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
selama 20 (dua puluh) hari. Jangka waktu penahanan lanjutan
apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Ketentuan jangka waktu
penahanan lanjutan dan dapat diperpanjang, tidak menutup
kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka
waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan telah
terpenuhi. Penuntut umum menyampaikan berkas perkara kepada
ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 50 (lima
puluh) Hari sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik
dinyatakan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam hukum acara
pidana yang berlaku, untuk memudahkan pembuktian pada proses
pemeriksaan di pengadilan dapat menggunakan alat bukti elektronik.
Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang
dihasilkan dari tindak pidana di bidang Perikanan dirampas untuk
negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua
pengadilan negeri. Pengadilan harus menyediakan tempat
penyimpanan barang bukti berupa benda dan/atau alat yang
digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana di
bidang Perikanan yang telah dirampas.
Barang bukti dari hasil tindak pidana di bidang Perikanan
dapat dilelang untuk negara. Barang bukti dari hasil tindak pidana di
bidang Perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya
perawatan yang tinggi dapat dilelang terlebih dahulu dengan
persetujuan ketua pengadilan negeri. Pelaksanaan lelang dilakukan
oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Uang hasil disetor ke kas negara sebagai
penerimaan negara bukan pajak.
3) Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana di bidang Perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara
yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa. Dalam jangka waktu paling lama 50 (lima
puluh) Hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara
dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan.
Putusan perkara dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran
terdakwa.
Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan
berwenang menetapkan penahanan selama 35 (tiga puluh lima) hari.
Jangka waktu penahanan, jika diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
Ketentuan tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari
tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan sudah terpenuhi.
Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke
pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) Hari terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi. Untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, hakim berwenang
menetapkan jangka waktu penahanan paling lama 35 (tiga puluh
lima) hari. Jangka waktu penahanan jika diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan paling lama 10
(sepuluh) hari. Ketentuan waktu penahanan tidak menutup
kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka
waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan di tingkat
banding telah terpenuhi.
Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) Hari terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, hakim berwenang
menetapkan jangka waktu penahanan paling lama 35 (tiga puluh
lima) hari. Jangka waktu penahanan jika diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10 (sepuluh) hari.
Ketentuan waktu penahanan tidak menutup kemungkinan terdakwa
dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir
jika kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi telah terpenuhi.
Selain awak kapal yang ditetapkan sebagai tersangka dalam
tindak pidana Perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal
lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan
asing. Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing dilakukan
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian
melalui kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal. Ketentuan
mengenai pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

o. Ketentuan Pidana
Pada bagian ini diatur mengenai pengenaan pidana baik
berupa pidana penjara maupun pidana denda kepada stiap orang
yang melakukan pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban yang
ditetapkan dalam batang tubuh RUU, meliputi:
1. Setiap nahkoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang
akan berlayar melakukan Penangkapan Ikan dan/atau
pengangkutan Ikan dari Pelabuhan Perikanan, yang melanggar
kewajiban memiliki surat persetujuan berlayar, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
melakukan Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan
dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian Sumber Daya Ikan dan/atau
lingkungannya di WPPNKRI, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan memiliki,
menguasai, membawa, menggunakan alat penangkapan,
dan/atau alat bantu Penangkapan Ikan yang mengganggu dan
merusak keberlanjutan Sumber Daya Ikan di kapal penangkap
151
Ikan di WPPNKRI, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang melanggar larangan melakukan perbuatan
yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan Sumber
Daya Ikan dan/atau lingkungannya di wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
5. Setiap Orang melanggar larangan membudidayakan Ikan
dan/atau Ikan hasil rekayasa genetik yang dapat membahayakan
Sumber Daya Ikan, Lingkungan Sumber Daya Ikan, dan/atau
kesehatan manusia di WPPNKRI, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
6. Setiap Orang melanggar larangan memproduksi, mengadakan,
mengedarkan, memasarkan, dan/atau menggunakan pakan dan
obat Ikan dalam Pembudidayaan Ikan yang dapat membahayakan
Sumber Daya Ikan, lingkungan Sumber Daya Perikanan,
dan/atau kesehatan manusia di WPPNKRI, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
7. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
memperdagangkan, memasukkan, dan/atau mengeluarkan jenis
Ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh
miliar rupiah).
8. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
menangkap, mengeluarkan, mengedarkan Ikan yang dilindungi,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar
rupiah).
9. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan
penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia
152
dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan Ikan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
10. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
memalsukan SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI dan/atau menggunakan
SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI palsu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
11. Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap Ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk
melakukan Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia dan/atau di luar WPPNKRI, yang
melanggar kewajiban memiliki SIPI, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
12. Setiap Orang yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan
berbendera Indonesia di WPPNKRI, yang melanggar kewajiban
membawa SIPI asli, dipidana dengan paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
13. Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkut Ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk
melakukan pengangkutan Ikan di WPPNKRI, yang melanggar
kewajiban memiliki SIKPI, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
14. Setiap Orang yang membangun, memasukkan dari luar negeri,
atau memodifikasi Kapal Perikanan, yang melanggar kewajiban
mendapat persetujuan Menteri, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
15. Setiap Orang yang berkewarganegaraan negara indonesia yang
memiliki Kapal Perikanan yang dioperasikan di WPPNKRI dan
Laut Lepas, yang melanggar kewajiban mendaftarkan terlebih
dahulu sebagai kapal Perikanannya Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
16. Setiap nakhoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang
akan berlayar melakukan Penangkapan Ikan dan/atau
pengangkutan Ikan dari Pelabuhan Perikanan, yang melanggar
kewajiban memiliki surat persetujuan berlayar, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Dalam ketentuan ini diatur pula mengenai pemberatan. Dalam
hal tindak pidana terkait SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI pemalsuan
persetujuan dan pemalsuan pendaftaran melibatkan pejabat,
pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu
Korporasi, pidana dikenakan terhadap Korporasi dan/atau personil
pengendali Korporasi. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi jika
tindak pidana:
i. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali
Korporasi;
ii. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
Korporasi;
iii. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah; dan/atau
iv. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi Korporasi.
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu Korporasi,
maka Korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. Pidana denda yang
dijatuhkan terhadap Korporasi adalah maksimum pidana denda
ditambah dengan 2/3 (dua per tiga). Selain pidana denda terhadap
Korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilan Korporasi oleh negara.
Dalam ketentuan ini juga diatur pengecualian dalam hal
tindak pidana dilakukan oleh Nelayan Kecil, Nelayan Tradisonal,
dan/atau Pembudi Daya Ikan Kecil, yang jumlah pidananya menajdi
lebih ringan yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana denda, denda
dimaksud wajib disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara
bukan pajak kementerian yang membidangi urusan Perikanan.
Dalam ketentuan ini dibedakan pula antara tindak pidana kejahatan
dan pelanggaran. Adapun Benda dan/atau alat yang dipergunakan
dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana Perikanan dapat
dirampas untuk negara.

p. Ketentuan Peralihan
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. perkara tindak pidana di bidang Perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan Perikanan yang masih dalam tahap penyidikan
atau penuntutan tetap diberlakukan hukum acara yang berlaku
sebelum berlakunya Undang-Undang ini;
b. perkara tindak pidana di bidang Perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan Perikanan yang sudah diperiksa tetapi belum
diputus oleh pengadilan negeri tetap diperiksa dan diputus oleh
pengadilan negeri yang bersangkutan sesuai dengan hukum acara
yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini; dan
c. perkara tindak pidana di bidang Perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan Perikanan yang sudah dilimpahkan ke
pengadilan negeri tetapi belum mulai diperiksa dilimpahkan
kepada pengadilan Perikanan yang berwenang.

q. Ketentuan Penutup
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);
dan
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Semua Peraturan Pemerintah yang diamanatkan untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Semua
Peraturan Menteri yang diamanatkan untuk melaksanakan ketentuan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar Setiap Orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan
Negara Kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari
wilayah perairan (laut) yang sangat luas dengan potensi perikanan
yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki
merupakan kekayaan negara dan sebagai potensi ekonomi yang
dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang
punggung pembangunan nasional.
Merujuk kepada hal itu, potensi perikanan yang ada di perairan
Indonesia tentunya perlu dikelola secara sinergis oleh seluruh
pemangku kepentingan. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya
perlu digawangi oleh pembentukan dan implementasi berbagai
kebijakan, regulasi, dan koordinasi lintas sektor yang sinergis.
Sampai dengan saat ini sinergitas yang dibutuhkan tersebut
dirasakan masih menyisakan ruang untuk penyempurnaan.
Untuk mewujudkan sinergi kebijakan di bidang perikanan,
harus merujuk kepada salah satunya usaha optimalisasi sumberdaya
perikanan yang ada demi kepentingan nasional. Hal tersebut tentu
akan membutuhkan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan.
Sebagai salah satu gambaran dibutuhkannya sinergi tersebut adalah
fakta bahwa dalam pembangunan perikanan, harus tetap memelihara
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Para pelaku industri
penangkapan dan pembudidayaan ikan tidak boleh hanya
mengutamakan jumlah hasil perikanan yang maksimal untuk
keuntungan finansial, namun mengacuhkan peran lingkungan
perikanan yang menopang keberlanjutan industri perikanan di masa
datang.
Selain itu, sinergi juga dibutuhkan antar pemangku
kepentingan ketika sektor industri perikanan perlu ditata secara
menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor yang terkait
dalam suatu keutuhan usaha perikanan yang saling menunjang dan
saling menguntungkan baik yang berskala kecil, menengah, dan
besar.
Terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan,
seharusnya tidak berhenti kepada pelaku di lapangan tetapi juga
menyangkut kepada korporasi. Upaya penegakan hukum di bidang
perikanan harusnya lebih maju. Selain menimbulkan efek jera,
penegakan hukum tersebut juga harus memberikan sanksi ganti rugi
yang efektif untuk memulihkan sumber daya perikanan melalui ganti
kerusakan sumber daya ikan.
Adapun lingkup pengaturan dalam RUU Perikanan
mencakup perencanaan Perikanan, pengelolaan Perikanan, usaha
Perikanan, kapal dan pelabuhan/kesyahbandaran Perikanan,
sistem data dan informasi Perikanan, pungutan Perikanan,
penelitian dan pengembangan Perikanan, pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan Perikanan, Konservasi Perikanan, kerja sama
internasional, pengawasan Perikanan, larangan, pengadilan
Perikanan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan Perikanan, larangan, dan sanksi.

B. Saran
Penyempurnaan UU Perikanan sangat diperlukan sebagai
jawaban dari perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum
yang terjadi terkait dengan penyelenggaraan perikanan. Oleh karena
itu, penyusunan NA Perikanan ini diharapkan dapat menjadi
pedoman, acuan, dasar dalam penyusunan dan pembahasan RUU
Perikanan Komisi IV DPR bersama dengan Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Djoko Tribawono, 2013, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Johanes Widodo dan Suadi, 2008, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Subdirektorat Pengembangan Standardisasi dan Klasifikasi Statistik,
2012, Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I
.Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Arif Satria, 2015, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel
Press.
Satjipto Rahardjo, Masalah penegakan hukum suatu tinjauan
sosiologis, Bandung: CV. Sinar Baru.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Makalah dan Artikel


Abdul Halim, Budy Wiryawan, Neil R Loneragan, M. Fedi A Sondita,
Adrian Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto,
Konsep Hak Pengelolaan Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan
Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Kebijakan
Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017.
Food and Agriculture Organization of The United Nations, In Brief The
State Of World Fisheries and Aquaculture, 2016.
Husni Thamrin, 2013, Kearifan Lokal dalam Pelestarian lingkungan,
Kutubkhanah, Vol. 16 No. 1 Januari.
Julian J. Pattipeilohy, Sistem Penangkapan Ikan Tradisional
Masyarakat Nelayan di Pulau Saparua, Jurnal Penelitian Vol. 7
No.5, Edisi November 2015.
Kelompok Kerja Right Based Fisheries Management, Pertimbangan
Akademis Hak Pengelolaan Perikanan sebagai Instrumen untuk
Mencapai Perikanan Yang Berkelanjutan dan Mensejahterakan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laporan Kinerja Kementerian
Kelautan dan Perikanan Tahun 2015.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Laporan Kinerja Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya, 2015.
Keraf, S. A, 2002, Etika Lingkungan,. Pn. Buku Kompas, Jakarta,
dalam Stefanus Stanis, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten
Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur, Tesis tidak diterbitkan,
2005, Universitas Diponegoro Semarang.
Ningsih, 2005. Strategi Mengelola dan Memanfaatkan Sumber Daya
Laut dan Perikanan. Majalah Info Kajian Bappenas, Volume 2,
2005.
Ridwan, Nurma A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal
STAIN Purwokerto. Purwokerto. dalam, Juniarta, Susilo dan
Primyastanto, Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir
Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa
Timur, 2013, Jurnal ECSOFiM Vol. 1.
Prijono, S.N. 2000a. Laporan Pendukung No 1: Sejarah dan Latar
Belakang Proyek. dalam Zulkarnain, Asdi Agustar, Rudi
Febriamansyah, 2008, Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan dan
Pelestarian Sumberdaya Pesisir (Studi Kasus di Desa Panglima
Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi
Riau), Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Vol. 1 Juli.
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Laporan
Penelitian “Penegakan Hukum Pidana Illegal Fishing”, Jakarta,
2012.
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum dan Kesadaran
Hukum,
Makalah pada Seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta, 1979.

Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kelautan, UU Nomor 32
Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 294, TLN Nomor 5603.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah,
UU Nomor 23 Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 244, TLN
Nomor 5587.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 1 Tahun 2014, LN
Tahun 2014 Nomor 2, TLN Nomor 5490.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU
Nomor 45 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 154, TLN 5073.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengesahan UNCLOS
1982, UU Nomor 21 Tahun 2009.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayaran, UU Nomor
17 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 64, TLN 4849.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, UU Nomor 16 Tahun
2006, LN Tahun 2006 Nomor 92, TLN Nomor 4660.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Tentara Nasional
Indonesia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004, LN Tahun 2004
Nomor 126, TLN 4438.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2002, LN Tahun 2002
Nomor 2, TLN Nomor 4168.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perairan Indonesia, UU
Nomor 6 Tahun 1996.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan,
dan Tumbuhan, UU Nomor 16 Tahun 1992, LN Tahun 1992
Nomor 56, TLN Nomor 3482.
160
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang tentang Zona Ekonomi
Ekslusif, UU Nomor 5 Tahun 1983.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Bagi Hasil Perikanan,
UU Nomor 16 Tahun 1964.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jenis Dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, PP Nomor 75
Tahun 2015.
Republik Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Maluku tentang
Retribusi Perizinan Tertentu, Perda Provinsi Maluku Nomor 15
Tahun 2013.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pemanfaatan Kapal
Perikanan, Keppres Nomor 14 Tahun 2000.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Tentang Rencana Strategis Kementerian
Kelautan Dan Perikanan Tahun 2015-2019, Permen-KP Nomor
25 Tahun 2015.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Tentang Estimasi Potensi, Kepmen KP Nomor
47 Tahun 2016.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
tentang Tata Cara Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan
dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan,
Kepmen 58/2001.

Internet
Antara, PDB Sektor Perikanan Makin Tumbuh pada Triwulan I
2016 ,
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/04/090759733/pdb-
sektor-perikanan-makin-tumbuh-pada-triwulan-i-2016, diakses
tanggal 30 September 2016.
Lili Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Masyarakat
Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam di Wilayah
Pesisir laut, diakses 5 Oktober
2016, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/364-
perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-hukum- adat-
dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam-di-wilayah-pesisir- dan-laut

Anda mungkin juga menyukai