Naskah Akademik Public
Naskah Akademik Public
1
SUSUNAN TIM KERJA PENYUSUNAN
TENTANG PERIKANAN
i
KATA PENGANTAR
ii
melakukan pengumpulan data dan uji konsep ke beberapa provinsi untuk
mendapatkan masukan langsung dari pemangku kepentingan serta
masyarakat, yaitu di Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Kalimantan
Selatan, Provinsi Jawa Timur (Banyuwangi), dan Provinsi Bangka
Belitung.
Kami menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan
Naskah Akademik ini. Oleh karenanya, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak agar pada penyusunan
Naskah Akademik berikutnya dapat lebih baik. Akhir kata, kami
harapkan isi dari Naskah Akademik dan Draf RUU tentang Perikanan
dapat menjadi dasar hukum bagi penyelenggaran perikanan di Indonesia.
3
KATA PENGANTAR
vi
b. Penegakan Hukum ………………………………………………….. 69
c. Sanksi …………………………………………………………………... 70
D. Kajian terhadap Impilkasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya terhadap Aspek Beban Keuangan Negara..........................72
1. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang Terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat…………………………………………………………………… 72
2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-
Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara ..
75
viii
L. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
viii
(UU Perairan)...............................................................................................100
M. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan,
Ikan, dan Tumbuhan (UU KHIT) ....................................................... 103
N. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE) .............................. 104
O. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Ekslusif (UU ZEE) ............................................................................. 105
P. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan
(UU Bagi Hasil Perikanan) .................................................................. 107
ix
o. Ketentuan Pidana…………………………………………………… 151
p. Ketentuan Peralihan…………………………………………………. 155
q. Ketentuan Penutup ……………………………………………….... 155
DAFTAR PUSTAKA
NA RUU Perikanan, Senin 2 April 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
dengan 17.504 pulau, luas daratan 1.922.570 km2, dan luas perairan
laut 5,8 juta km² terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta km2, luas
perairan kepulauan 2,95 juta km², dan luas Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) 2,55 juta km2. Secara geo politik, Indonesia
memiliki peran yang sangat strategis karena berada di antara benua
Asia dan Australia, serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia, yang menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia
dalam konteks perdagangan global (the global supply chain system)
yang menghubungkan kawasan Asia Pasifik dengan Australia. 1
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia Indonesia memiliki luas
wilayah laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km 2 yang memiliki
keanekaragaman sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat
besar. Potensi lestari sumber daya ikan atau perairan laut Indonesia
sebesar 7,2 juta ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan sebesar 7,0 juta ton/tahun.2
Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, memiliki
kekayaan alam sangat besar dan beragam, baik berupa sumber daya
alam (SDA) terbarukan (perikanan, terumbu karang, padang lamun,
hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi),
SDA tak terbarukan3, energi kelautan (seperti pasang-surut,
gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion),
maupun jasa- jasa lingkungan kelautan dan pulau-pulau kecil untuk
pariwisata bahari, transportasi laut, dan sumber keragaman hayati
serta plasma nutfah. Kekayaan alam tersebut menjadi salah satu
modal dasar yang
1
NA RUU Perikanan, Senin 2 April 2018
3 Yang dimaksud dengan sumber daya alam tak terbarukan seperti minyak
dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya).
2
harus dikelola dengan optimal untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat Indonesia.4
Selama berabad-abad ekstraksi sumber daya ikan menjadi
sumber ketahanan pangan, penghidupan, dan budaya masyarakat
kelautan dan pesisir dan kini ikan menjadi komoditas penting dunia.5
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan
kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan
ikan terus menerus meningkat setiap tahunnya. 6 Dengan semakin
meningkatnya kebutuhan pangan dari sektor perikanan maka dapat
dikatakan bahwa permintaan produk perikanan meningkat 20 kali
lipat selama 30 tahun terakhir dan diproyeksikan akan terus
meningkat dengan rata-rata 1.5% per tahun sampai dengan tahun
2020.7
Menurut data Food and Agriculture Organization of The
United Nations (FAO) diketahui bahwa total produksi perikanan
pada tahun 2014 sebesar 93.4 juta ton, dimana 81.5 juta ton
berasal dari laut Cina dan kemudian diikuti oleh Indonesia, Amerika
Serikat, dan Rusia. Dari data FAO tahun (2016) diketahui bahwa
total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2014 sebesar
93.4 juta ton, sedangkan untuk perikanan budidaya sebesar 73.8 juta
ton.8 Untuk konsumsi perikanan tangkap dunia dari Tahun 2013
sampai dengan tahun 2015 sebesar 50%, sedangkan untuk konsumsi
perikanan budidaya dunia sebesar 50%.9 Dari data diatas maka
diketahui bahwa perikanan tangkap menjadi sumber produksi ikan
yang utama di dunia.
Dari Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kelautan dan
Perikanan Tahun 2015-2019 diketahui bahwa Potensi lestari
sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 7,3 juta ton per
tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan
ZEEI.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat
permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan
penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan teori tentang penyelenggaraan
perikanan Indonesia serta bagaimana praktik empiris
penyelenggaraan perikanan Indonesia?
2. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan perikanan saat ini?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dari pembentukan RUU tentang
Perikanan?
D. Metode Penyusunan
Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perikanan
dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan menelaah
berbagai data sekunder seperti hasil-hasil penelitian atau kajian,
literatur, serta peraturan perundang-undangan terkait baik di tingkat
undang-undang maupun peraturan pelaksanaan dan berbagai
dokumen hukum terkait.
Guna melengkapi studi kepustakaan dan literatur dilakukan
pula diskusi (focus group discussion) dan wawancara dengan
mengundang beberapa pakar serta kegiatan uji konsep dihadapan
berbagai stakeholder, pakar, akademisi, maupun LSM, serta dengan
melakukan pencarian dan pengumpulan data lapangan ke 4 (empat)
daerah yaitu Provinsi Maluku, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi
Kepulauan Riau, dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Adapun
stakeholder yang memberikan masukan dalam penyusunan NA dan
RUU ini adalah:
a. Kementerian Kelautan dan Perikanan,
b. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi;
c. Pelabuhan Perikanan;
d. Pengadilan Perikanan;
e. Polisi Perairan;
f. Universitas (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Fakultas
Hukum); dan
g. LSM (HNSI/KIARA/TELAPAK).
Data yang diperoleh dari masukan pakar, maupun data yang
berasal dari pencarian dan pengumpulan data lapangan selanjutnya
diolah dan dirumuskan dalam format Naskah Akademik dan draf
RUU sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
khususnya Lampiran I mengenai teknik penyusunan Naskah
Akademik dan Lampiran II tentang perancangan peraturan
perundang-undangan.
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
1. Penguasaan Negara
Sumber daya perikanan Indonesia merupakan sumber daya
alam Indonesia yang harus dikuasai negara sesuai dengan amanat
Pasal 33 UUD 1945. Dalam memahami konsep ‘Penguasaan Negara’
atau ‘Dikuasai oleh Negara’, terdapat beberapa pendapat. Hal ini
tercatat seperti yang disampaikan oleh Menteri Negara BUMN dalam
keterangan tertulis di sidang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
bahwa bentuk ‘Penguasaan Negara’ tersebut dinyatakan dengan
bentuk Negara bertindak sebagai regulator, fasilitator dan operator
yang secara dinamis akan menuju Negara hanya sebagai regulator
dan fasilitator. Namun menurut Prof. Harun Al rasyid, konsep
Penguasaan Negara diartikan sama dengan Negara memiliki.
Perbedaan mengenai peran negara dalam mengelola aset tersebut
jelas terlihat. Mahkamah konstitusi menyatakan bahwa definisi
Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 lebih besar dari
konsep kepemilikan dalam hukum perdata dan sikap pemerintah
yang bertindak hanya sebagai regulator, fasilitator, dan operator.
Dalam konsep hukum publik, Penguasaan Negara berarti kedaulatan
rakyat menjadi dasar dari timbulnya penguasaan Negara. Negara
merefleksikan kedaulatan rakyat sehingga mengandung kepemilikan
publik, rakyat secara kolektif adalah penguasa dari apa yang
diamanatkan dalam konstitusi. Jika Penguasaan Negara diartikan
sebagai kepemilikan hukum secara perdata maka akan mendegradasi
konsep kepemilikan publik tersebut. Definisi Penguasaan Negara
hanya sebatas sebagai pengatur, fasilitator dan pengawas saja tidak
sesuai dan mendegradasi konsep yang sebenarnya23.
Sebagai kesimpulan, kata “dikuasai oleh Negara” haruslah
dimaknai sebagai usaha penguasaan Negara terhadap segala sumber
kekayaan-kekayaan yang berasal dari konsep kedaulatan rakyat.
Kekayaan tersebut mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yan
18
1. WPP-RI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman.
2. WPP-RI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat
Sumatera dan Selat Sunda.
3. WPP-RI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan
Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut
Timor bagian Barat.
4. WPP-RI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan
Laut China Selatan.
5. WPP-RI 712 meliputi perairan Laut Jawa.
6. WPP-RI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut
Flores, dan Laut Bali.
7. WPP-RI 714 Meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda.
8. WPP-RI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut
Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau.
9. WPP-RI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara
Pulau Halmahera.
10. WPP-RI 717 meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera
Pasifik.
11. WPP-RI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut
Timor bagian Timur.
30 PKSPL IPB 2015, dalam Tata Kelola Kawasan Konservasi Perairan Untuk
Perikanan Berkelanjutan di Indonesia Oleh Luky Adrianto
produktifitas perikanan untuk jangka panjang sehingga dapat
menyediakan manfaat sosial, ekonomi dan budaya untuk generasi
saat ini dan yang akan datang. Namun, perikanan Indonesia saat ini
telah mengalami tangkap lebih akibat akses terhadap perikanan yang
relatif terbuka (open access fisheries), kegiatan perikanan illegal (IUU
fishing), dan pengelolaan yang belum memadai. Untuk itu diperlukan
pilihan-pilihan instrumen pengelolaan yang mampu mengatasi
masalah open access, IUU fishing dan permasalahan lainnya yang
selaras dengan budaya yang berkembang di dalam masyarakat
Indonesia. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah tegas dalam
membangun fondasi pengelolaan perikanan. Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) telah memperkuat pengawasan untuk
mengurangi terjadinya IUU fishing di perairan Indonesia.
Kelembagaan baru yang mengatur kesebelas Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP) sedang dikembangkan dan Rencana Pengelolaan
Perikanan (RPP) telah disusun untuk setiap WPP dan jenis atau
kelompok jenis ikan prioritas.31
Dalam berbagai kondisi yang memungkinkan peningkatan
upaya pengelolaan telah tersedia, masih terdapat ketidakpastian
tentang bagaimana Indonesia dapat mengatasai permasalahan
perikanan akses terbuka yang telah umum diketahui di dunia
menyebabkan terjadinya tangkap lebih dan kehilangan keuntungan
ekonomis bagi pelaku perikanan. Dalam hal ini pengelola perikanan
meresponnya dengan membatasi jumlah tangkapan melalui sistem
perizinan, pembatasan alat tangkap dan musim penangkapan ikan.
Pendekatan seperti ini biasanya tidak berhasil karena dalam kondisi
perikanan akses terbuka, nelayan akan berlomba menangkap ikan
sebanyak-banyaknya.32
Tangkap lebih perikanan bisa terjadi akibat IUU fishing yang
dilakukan baik oleh kapal-kapal ikan luar maupun dalam negeri.
Tangkap lebih bisa terjadi secara legal dalam kerangka pengaturan
perikanan nasional baik skala besar maupun kecil apabila instrumen
25
bersama. Terkait keberadaan HPP ini terdapat keberatan yang
dikemukanan menyangkut alokasi kuota (kepada siapa diberikan dan
berapa besar/banyak wilayah/alokasi yang diberikan) dan apakah
distribusi manfaat sumber daya cukup adil dimata sebagian besar
masyarakat. Tidak ada satu pendekatan yang sesuai untuk semua
jenis dan karakteristik perikanan. Pendekatan yang paling berhasil
adalah yang dikembangkan secara transparan melalui proses yang
inklusif dan sesuai dengan budaya dan karakteristik lingkungan dan
sumberdaya dari perikanan yang hendak dikelola. 37
5. Usaha Perikanan
Berdasarkan Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan, yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan
yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam
suatu sistem bisnis perikanan. Dari pengertian tersebut, ternyata
ruang lingkup bidang perikanan sangat luas, yang tidak hanya
Hordyk, Dedi S Adhuri, Tukul R Adi, dan Luky Adrianto, Konsep Hak Pengelolaan
Perikanan Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia Vol.9 No.1 Mei 2017, hal. 10.
memanfaatkan sumberdaya ikan dan lingkungannya, tetapi juga
mengelolanya. Kata “pemanfaatan” bermakna sekedar
mengeksploitasi, mengeksplorasi dan memanfaatkan sumberdaya
ikan dan lingkungannya tanpa ada upaya perencanaan,
pengendalian, evaluasi, serta konservasi. Oleh karena itu, kajian
yang terkandung dalam kata “perikanan” diperluas dengan adanya
kata “pengelolaan”. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 mendefinisikan pengelolaan sebagai semua upaya, termasuk
proses yang terintegrasi dalam pengumpulkan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber
daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati.
SDI adalah potensi semua jenis ikan. Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di
dalam lingkungan perairan. Lingkungan sumber daya ikan adalah
perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota dan
faktor alamiah sekitarnya. Sumber daya perikanan termasuk kepada
kelompok sumber daya alam yang dapat diperbaruhi (renewable
source). Meskipun demikian dalam pemanfaatan sumber daya ini
harus rasional sebagai usaha untuk menjaga keseimbangan produksi
dan kelestarian sumber daya. Hal ini perlu adanya penegasan karena
sumber daya perikanan merupakan sumber daya milik bersama
(common property resources) dalam artian hak properti atas sumber
daya tersebut dipegang secara bersama-sama sehingga tidak ada
larangan bagi siapapun untuk memanfaatannya.
Pengelolaan SDI dan lingkungan (Resources) menjadi
tanggung jawab bersama antara masyarakat sebagai pengguna
sumberdaya (Users) dan pemerintah sebagai fasilitator dan manager
pengelolaan (Management). Dua komponen yang pertama adalah
Resources dan Users memerlukan komponen ketiga yaitu manager
pengelolaan (Management) agar penggunaan resources oleh users
lebih berdayaguna, bernilai tambah (added value), dan tetap
memperhatikan kelestariannya. Dengan kata lain, agar pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungan (resources) oleh users (nelayan,
pembudidaya ikan, pedagang, dan komponen masyarakat lainnya)
tidak sekedar berorientasi kepentingan ekonomi semata, maka peran
pemerintah sangat penting untuk membuat berbagai kebijakan untuk
mengatur pemanfaatan dan pengelolaan.
Usaha yang dilakukan oleh users dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan dan lingkungannya disebut sebagai usaha
perikanan. Praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat
melalui penangkapan ikan (perikanan tangkap) dan budidaya ikan.
Sehingga usaha perikanan merupakan semua kegiatan yang
dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap
atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan pasca panen mulai
dari menyimpan (storage), mengolah (processing), mendinginkan
atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil dan mendapatkan
laba dari kegiatan yang dilakukan. Menurut UU Perikanan, yang
dimaksud usaha perikanan adalah usaha yang dilaksanakan dalam
sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan,
dan pemasaran. Dengan demikian, usaha perikanan bukan hanya
usaha di bidang produksi (budidaya ikan dan penangkapan ikan),
namun demikian juga usaha pendukung produksi (usaha pra
produksi) dan usaha pasca produksi (pengolahan dan pemasaran)
untuk meningkatkan nilai tambah (added value) hasil-hasil
perikanan. Sedangkan berdasarkan BPS dalam Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I, yang termasuk
dalam sektor perikanan adalah kegiatan usaha yang mencakup
penangkapan dan budidaya ikan, jenis crustacea (seperti udang,
kepiting), moluska, dan biota air lainnya di laut, air payau dan air
tawar.42 Dari berbagai pemahaman di atas, maka usaha perikanan
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Usaha pra produksi perikanan merupakan usaha pendukung dan
penyedia sarana, input,saprodi, dan berbagai perbekalan nelayan
maupun pembudidaya ikan, misalnya usaha pembuatan kapal
ikan, usaha penyedia alat tangkap ikan (jaring, pancing,
pelampung, dan lain-lain), usaha produksi mesin penangkapan
ikan (diesel, sparepart, dan lain-lain), usaha penyediaan pupuk,
Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I .Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
pakan ikan, es, keranjang, box, cold box, obat-obatan perikanan,
usaha penyediaan teknologi reproduksi buatan, usaha pertokoan
sembako, makanan dan minuman untuk perbekalan melaut dan
budidaya, sampai usaha jasa penyediaan tenaga kerja produksi
perikanan, dan lain-lain.
b. Usaha pembudidayaan ikan (aquaculture effort) adalah kegiatan
untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan
serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol,
termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah,
dan/atau mengawetkannya. Orang yang mata pencahariannya
melakukan pembudidayaan ikan disebut pembudidaya ikan.
c. Penangkapan ikan (fishing effort) adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan
yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya. Orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan disebut nelayan (fisherman). Sumber daya
perikanan laut dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok
besar yaitu:43 (1) sumber daya ikan demersal, yaitu jenis ikan
yang hidup di atau dekat dasar perairan; (2) sumber daya ikan
pelagis, yaitu jenis sumber daya ikan yang hidup di sekitar
permukaan perairan; (3) sumber daya ikan pelagis besar, yaitu
jenis ikan oceanik seperti tuna, cakalang, tenggiri dan lain-lain;
(4) sumber daya udang dan biota laut non ikan lainnya seperti
kuda laut.
d. Usaha pengolahan ikan (fish processing effort) merupakan usaha
yang bertujuan menciptakan dan atau menambah kegunaan
(utility) ikan, baik kegunaan waktu (time utility) maupun kegunaan
bentuk (form utility). Orang yang melakukan usaha pengolahan
ikan disebut pengolah ikan (fish processor).
e. Usaha pemasaran ikan (fish marketing effort) merupakan semua
upaya untuk menyampaikan ikan dari produsen ke konsumen.
49 Ibid.
50 Ridwan, Nurma A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal STAIN
Purwokerto. Purwokerto. dalam, Juniarta, Susilo dan Primyastanto, Kajian Profil
Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten
Probolinggo Jawa Timur, 2013, Jurnal ECSOFiM Vol. 1. hal. 12
51 Lili Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Masyarakat Hukum
Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam di Wilayah Pesisir laut, diakses
5 Oktober 2016, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/364-
perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-hukum-adat-dalam-
pengelolaan-sumber-daya-alam-di-wilayah-pesisir-dan-laut
berjuang lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup
keseharian mereka.52
Di Indonesia masih terdapat berbagai bentuk kearifan lokal
dari kelompok masyarakat adat yang mempraktekan cara tradisional
untuk mengelola sumberdaya pesisir. 53 Sebagai contoh pada
masyarakat adat di pesisir Pulau Saparua Maluku yang memiliki cara
memelihara kawasan pesisir dengan konsep petuanan Sasi yang
mengatur tentang hal konservasi sumberdaya tertentu agar dapat
memberikan manfaat dan keuntungan secara berkelanjutan. Akan
tetapi sejalan dengan proses dinamika kehidupan masyarakat,
kearifan lokal terdegradasi dengan nilai-nilai dan norma adat yang
memudar, karena perkembangan dan tantangan kehidupan yang
semakin kompleks. Sejumlah substansi kearifan lokal yang pernah
dianut dalam masyarakat tidak lagi menjadi pedoman berperilaku.
Kearifan lokal dalam pelestarian wilayah pesisir misalnya untuk
menjaga dan mengatur sistem penangkapan ramah lingkungan, saat
ini sudah menghilang dan digantikan dengan sistem eksploitasi
berlebihan.
Melemahnya posisi kearifan lokal akibat derasnya arus
kapitalisasi yang lebih mengedepankan analisa untung rugi membuat
memudarnya warisan budaya lokal. Proses kemunduran kearifan
lokal/tradisional ditandai dengan perubahan tatanan sosial,
kurangnya nilai humanis, kemiskinan moral, sifat ketergantungan
dan kurangnya kemandirian masyarakat dan terdegradasinya
sumberdaya alam dan lingkungan yang justru mendukung kehidupan
mereka.54
Memudarnya keyakinan masyarakat lokal, khususnya
masyarakat tradisional untuk menggunakan metode atau cara
tradisional dalam pengelolaan hasil laut kembali bukan perkara
mudah untuk dilakukan. Membangun kembali pentingnya
kelestarian alam dengan kondisi kekinian oleh masyarakat
pesisir yang
Ibid.
52
53 Prijono, S.N. 2000a. Laporan Pendukung No 1: Sejarah dan Latar
Belakang Proyek. dalam Zulkarnain, Asdi Agustar, Rudi Febriamansyah, 2008,
Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir (Studi
Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir
Provinsi Riau), Jurnal Agribisnis Kerakyatan, Vol. 1 Juli, hal 70.
54 Husni Thamrin, 2013, Kearifan Lokal dalam Pelestarian lingkungan ,
Kutubkhanah, Vol. 16 No. 1 Januari, hal. 46
kebanyakan kondisi kehidupan kesehariannya sulit, baik secara
ekonomi ataupun sosial mendorong mereka untuk selalu mengambil
lebih dari apa yang tersedia di sekitar mereka. Kondisi ini tentu perlu
campur tangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang tepat,
dan yang tak kalah penting adalah peran serta masyarakat asli dan
masyarakat di luar komunitas tersebut baik secara perseorangan
maupun kelompok.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan masyarakat,
kebiasaan yang baik yang diikuti oleh kelompok masyarakatnya.55
Meskipun begitu kearifan lokal cenderung sudah banyak dilupakan
kebanyakan masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Di sisi lain,
masyarakat yang sudah sadar atau mulai sadar akan pentingnya
kelestarian lingkungan dalam menjaga sumberdaya kelautan
khususnya di wilayah tempat mereka tinggal mulai membangun,
merekonstruksi dan menata kebiasaan/perlakuan buruk mereka
terhadap lingkungan ke arah pemulihan dan pemeliharaan sumber
potensi kelautannya.
Kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian
lingkungannya kembali tentu perlu keterlibatan dari semua pihak,
disamping kemauan masyarakat itu sendiri yang kuat dan konsisten.
Untuk merekonstruksi kearifan lokal itu kembali, sangat penting
untuk menimbulkan kesadaran yang tinggi terhadap
ketergantungannya kepada perubahan kondisi lingkungan alam,
diikuti oleh kemampuan manusianya terhadap teknologi yang
mampu diciptakan untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan,
bukan malah merusaknya.
Harapan terbesar masyarakat pesisir agar pemerintah
memberikan akses kepada masyarakat adat untuk mencari
penghidupan mereka di wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil serta
pengelolaannya. Masyarakat tradisional/adat perlu diberikan wilayah
penangkapan ikan secara tradisional di dalam RZWP-3-K (Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) dan memberikan
pengelolaan wilayah tersebut sesuai dengan hukum adat daerah yang
7. Penegakan Hukum
Secara konsepsional inti dan arti penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.62
Menurut pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo,
penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-
ide yang adalah pula sebagai hakekat penegakan hukum.63 Dalam
pemahaman umum, penegakan hukum adalah menerapkan dan/atau
menjalankan perintah/larangan yang telah dirumuskan dalam
undang-undang atau hukum positif suatu negara. Mewujudkan apa
yang telah dirumuskan menjadi kaidah perundang-undangan itulah,
sebuah kerja penegakan hukum.64
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, namun dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:65
a. Faktor hukumnya itu sendiri yang mencakup peraturan
perundang-undangan.
Penegakan hukum terhadap undang-undang dapat terganggu
karena tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,
belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan
untuk menerapkan undang-undang, dan ketidakjelasan arti
Penelitian “Penegakan Hukum Pidana Illegal Fishing”, Jakarta, 2012, hal. 79.
65 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
67 Ibid.
68 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung
Mangkurat, Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kegiatan Pengumpulan Data
dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan kedua
Atas UU Nomor 31 tahun 2004 ke Provinsi Kalimantan Selatan, 12-17 September
2016.
69 Diskusi dengan Pelabuhan Perikanan, Provinsi Kalimantan Selatan dalam
5. Pungutan Perikanan
Dalam UU Perikanan, pungutan perikanan dikenakan kepada
setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya
ikan namun pungutan ini tidak dikenakan kepada nelayan dan
pembudidaya ikan kecil. Namun dengan dikeluarkannya UU Nomor
77 Ibid.
78 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
79 Diskusi dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Pattimura, Provinsi Maluku, Loc Cit.
51
75 Tahun 2015 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara
bukan pajak yang berlaku pada kementerian kelautan dan perikanan.
Kedepannya diharapkan pungutan hasil perikanan ditangani oleh
pelabuhan perikanan dimana izin kapal tersebut dikeluarkan.80
Beberapa kendala dalam pengembangan sektor perikanan
tangkap di Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan pungutan
salah satunya adalah tidak adanya kebijakan pemerintah yang
memberikan kepastian usaha, hal ini lebih diperlemah dengan
berlakunya sistim otonomi daerah muncul pungutan berganda yaitu
pungutan yang ada di pusat dan didaerah (Pemda). Pungutan-
pungutan tersebut sering menjadi keluhan bagi pengusaha yang
terjun ke bisnis perikanan laut. Sebagai contoh untuk 1 unit kapal,
harus membayar yang disebut Pungutan Pengusaha Perikanan (PPP)
yang dihitung berdasarkan gross ton (GT) kapal. Per kapal minimum
bisa kena Rp 10 juta. Setelah membayar PPP baru pengusaha
mengantongi Izin Usaha Perikanan (IUP). Sementara untuk
memperoleh Surat izin Perusahaan (SIP) pengusaha terlebih dahulu
harus membayar pungutan hasil penangkapan (PHP). Hitungannya
berdasarkan GT kapal dikali produktivitas tangkapan dikali 2,5%,
lalu dikali lagi harga patokan jenis ikan. Belum lagi harus mengurus
surat lain dari instansi perhubungan laut, pihak keamanan, dan
instansi lain. Sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya biaya
tingga (high cost) dalam perekonomian dan menyebabkan
menurunnya daya saing dan produktivitas sektor perikanan tangkap.
Sementara di daerah, hal yang sama akan terjadi, dimana seorang
pengusaha harus membayar pungutan yang ditetapkan Pemerintah
daerah. Misalnya, pungutan 2% dari harga ikan paling tinggi. Kalau
sekali mendarat kapal membawa 10 ton hasil tangkap. Dimana 2 ton
udang dan sisanya ikan biasa. Maka pungutan 2% dihitung dengan
menganggap 10 ton itu harga udang karena harga udang yang paling
mahal. Kendala lainnya, adalah harga kapal yang mahal. Untuk
kapal di atas 30 GT minimal harganya Rp 1 miliar. Harga
tersebut buat kelompok nelayan jelas tidak akan terjangkau, kecuali
ada kredit dari
53
bank. Namun, pihak bank banyak yang enggan mengucurkan kredit
untuk pembelian kapal ikan. Kalau pun ada yang mau memberikan
kredit kepada kelompok nelayan, bank biasanya meminta jaminan.
Sementara nelayan tidak memiliki jaminan kecuali kapal dan hasil
tangkapan. Disisi lain bank tidak menerima jaminan berupa kapal.
Dengan kondisi seperti itu, sulit rasanya mendongkrak jumlah kapal
berukuran 30 GT keatas tanpa ada dukungan dari bank.81
8. Pengawasan Perikanan
Pengawasan perikanan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pengelolaan perikanan, guna mendukung
terwujudnya kedaulatan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan
untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini diharapkan berdampak
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian
perikanan.
Saat ini, terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan
pengawasan terhadap pengelolaan sektor perikanan, yaitu:88
1. Di wilayah 12 mil laut provinsi Kalimantan Selatan masih sering
terjadi konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.
Umumnya konflik terjadi karena nelayan pendatang memasuki
wilayah tangkap nelayan lokal. Tidak dapat dipungkiri potensi
perikanan tangkap provinsi Kalimantan Selatan sebesar
339.437,3 ton yang dinilai cukup besar serta kekayaan wilayah
perairan laut yang melimpah turut mengundang nelayan
pendatang yang umumnya berasal dari pulau jawa untuk mencari
dan menangkap ikan di perairan kalimantan selatan. Hal ini
berpotensi konflik besar yang perlu untuk mendapatkan
penanganan secara tepat.
2. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti
centrang, lampaesar dan pukat yang mengancam ekosistem
lingkungan dan benih ikan ditengarai masih sering terjadi.
92 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi Maluku, Loc Cit.
atas 12 mil, sehingga mempunyai kekuatan hukum dalam
melakukan kegiatan pengawasan perikanan. Contohnya dalam
Pasal 66A ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengawas perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pegawai
negeri sipil yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh
menteri atau pejabat yang ditunjuk, perlu ditambah kata-kata
Polisi Air agar lebih kuat.93
h) Perlu ada pengaturan sanksi yang berat terhadap pelaku bom
ikan di RUU tentang Perikanan agar mempunyai efek jera.
Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bom (handak)
dan zat kimia (potassium) tersebut sangat merusak ekosistem
terumbu karang sehingga bisa berakibat kepunahan keragaman
jenis ikan atau sejenisnya. Kondisi tersebut tentu tidak boleh
dibiarkan berlarut-larut. 94
61
96 Ibid.
97 Ibid.
62
Pengaturan mengenai peran serta masyarakat di UU
Perikanan saat ini masih dirasa kurang komprehensif. Peran serta
masyarakat masih dinilai belum optimal terutama terkait pengelolaan
wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Terdapat 5 (lima)
kabupaten pesisir dan 126 desa peisir dengan jumlah penduduk
sebesar 686.956 jiwa. Potensi sumber daya manusia ini sayangnya
belum terkelola secara baik, sehingga upaya peningkatan pengelolaan
ekosistem lingkungan, sosial ekonomi, perikanan, dan pengamanan
pulau-pulau pesisir belum terlaksana dengan baik. Kedepannya
peran serta masyarakat baik secara mandiri maupun melalui
penguatan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) menjadi
prioritas dalam bidang perikanan dan kelautan.98
Partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan
perikanan juga diperlukan melalui pendampingan atau penyuluhan
perikanan, yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 99
102 Diskusi
dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Lambung
Mangkurat, Loc. Cit.
103 Ibid.
mungkin menyelesaikan proses penyidikan dalam waktu yang
relatif singkat. Bahwa ditinjau dari prespektif asas penanganan
suatu tindak pidana dalam kerangka penegakan hukum yang
mengedepankan asas cepat adalah sesuatu yang baik, namun hal
ini menjadi persoalan tersendiri jika penyidik menjadikan waktu
penahanan yang singkat sebagai alasan dalam menyiapkan hal-
hal terkait dengan pembuktian perkara, sehingga pembuktian
lemah dan tidak sempurna yang pada akhirnya dapat
menyebabkan pembuktian di persidangan tidak maksimal dan
memungkinkan terdakwa lepas dari tuntutan hukum.
3) Bahasa
4) Saksi
104
Ibid. 67
ditangkap karena melakukan tindak pidana perikanan tidak bisa
diterbitkan izin usahanya lagi, hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya ada kekhawatiran jika pihak korporasi tempat
kapat tersebut disita bernaung akan melakukan upaya
memperoleh kembali kapal tersebut dengan cara membeli untuk
kemudian digunakan lagi melakukan usaha penangkapan ikan.
Alasan lain mengapa kapal yang ditangkap tidak bisa lagi
diberikan izin melakukan usaha penangkapan ikana karena
berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan yang lestari
dan bertanggung jawab perlu dilaksanakan dengan pemberian
tanda terhadap kapal ikan, alat penangkapan ikan dan alat bantu
penangkapan. Pemberian tanda dimaksudkan untuk
mempermudah pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap
setiap pelaku penangkapan ikan. Dan bagi kapal ikan yang
ditangkap kerena melakukan IUU Fishing tidak akan diberi tanda
lagi, oleh karena itu secara universal kapal dimaksud dianggap
kapal yang tidak memiliki tanda khusus/kapal ilegal.105
Sampai saat ini penyidikan terfokus (sebagian besar)
dilakukan untuk tindak pidana di bidang penangkapan ikan
terutama di wilayah perairan ZEEI dan kurang menyentuh tindak
pidana di bidang budidaya, pengolahan serta tindak pidana yang
terjadi di perairan territorial. Untuk itu diperlukan upaya untuk
penguatan lembaga penyidik perikanan khususnya PPNS dan
Polri berupa peningkatan kemampuan teknis penyidikan,
dukungan pembiayaan serta penyediaan sarana dan prasaran
pendukung agar dapat menjangkau dan menangani seluruh
tindak pidana di bidang perikanan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam KUHAP,
untuk memudahkan pembuktian pada proses pemeriksaan di
pengadilan perlu ditambahkan alat elektonik. Hal ini berkaitan
dengan pembuktian lokasi (lokus) terjadinya tindak pidana yang
memerlukan data dari alat elektronik seperti Vessel Monitoring
System (VMS), GPS dll.
105
Ibid. 68
Tempat penyimpanan barang bukti tindak pidana
perikanan khususnya Kapal, sampai saat ini belum ada. Untuk
menyiasati masalah tersebut maka barang bukti kapal, jaring dan
uang hasil lelang di titipkan di JPU berdasarkan berita acara
penitipan barang.
Pasal 80 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara
dari penuntut umum hakim harus menjatuhkan putusan, namun
tidak disebutkan mekanisme apabila waktu tersebut terlampaui.
b. Penegakan Hukum
Pelaksanaan Pasal 69 ayat (4) UU Perikanan yaitu tindakan
khusus berupa pembakaran atau penenggelaman kapal berdasar
bukti permulaan yang cukup dilakukan oleh Penyidik dan/atau
pengawas perikanan apabila diyakini bahwa kapal ikan asing tersebut
benar-benar melakukan tindak pidana perikanan di WPPNRI tanpa
SIPI atau SIKPI.106 Tindakan ini perlu dilakukan secara hati hati
karena berpotensi melanggar ketentuan UNCLOS Pasal 57 ayat (1)
yang menjamin kebebasan pelayaran di wilayah perairan ZEE. Di
wilayah ZEE kapal penangkap ikan berbendera asing dapat berlayar
bebas dengan syarat seluruh alat penangkap ikan di simpan di dalam
palka sesuai Pasal 38 ayat (1). Demikian pula dengan kapal
pengangkut ikan yang mengangkut ikan bukan dari hasil tangkapan
di WPP Indonesia dapat berlayar tanpa perlu dilengkapi dengan SIKPI.
Penenggelaman kapal yang dilakukan penyidik berdasarkan
ketentuan Pasal 69 ayat (4) pada prinsipnya bertentangan dengan
asas praduga tidak bersalah oleh sebab itu maka penenggelaman
sebaiknya dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.107
Untuk mendukung pengembangan usaha perikanan bagi
nelayan kecil maka kapal dan alat tangkap ikan yang telah disita
sebaiknya tidak ditengggelamkam atau dimusnahkan tetapi di
serahkan kepada kelompok bersama usaha nelayan dan atau
koperasi perikanan sesuai ketentuan Pasal 76C ayat (5).108
106 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
107 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit.
108
Ibid. 69
Kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU
Fishing) tidak semua dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
kejahatan. Yang dimaksud dengan tindak pidana kejahatan, apabila
telah melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) s/d ayat (4), Pasal 9, Pasal
12 ayat (1) s/d ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 26
ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28 ayat (1).109
Pemerintah dituntut harus aktif dan konsistem melakukan
perjanjian kerjasama penaggulangan IUU Fishing baik secara
bilateral maupun multilateral. Selain itu dukungan pemenuhan
kebutuhan aparat yang tangguh yang dilengkapi dengan sarana
dan prasarana yang memadai antara lain berupa kapal pengawas
serta memperkuat pos penjagaan di daerah perbatasan dengan
memperhatikan perekonomian mereka. Permasalahan IUU Fishing
juga terkait karena kurangnya kesadaran dan pemahaman
masyarakat tentang hukum perikanan sehingga perlu dilakukan
sosialisasi yang melibatkan semua pihak baik aparat penegak hukum
maupun pihak swasta secara berkelanjutan. Hal ini ditujukan
untuk menghindari adanya penafsiran hukum yang berbeda antar
aparat penegak hukum. Koordinasi antar-lembaga terkait perlu di
lakukan secara konsisten dalam penegakan hukum perikanan
sehingga dengan kewenangan yang mereka miliki masing-masing
dapat mencapai tujuan yang sama.110
c. Sanksi
Sanksi pidana dalam UU Perikanan masih belum efektif dan
kurang memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana.
Contohnya untuk jenis pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf
m dan huruf n, sanksinya masih terlalu ringan dan tidak akan
pernah memberikan efek jera bagi pelaku, sehingga disarankan agar
sanksi pidana denda dinaikan dari Rp. 250.000.000 menjadi paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) ditambah dengan
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan.111
109 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
110 Diskusi dengan Pengadilan Perikanan Ambon, Loc Cit.
111 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
70
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 35A ayat (3) mengenai
penggunaan nahkoda dan anak buah kapal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa
peringatan, pembekuan izin atau pencabutan izin yang diberikan
secara bertahap.112Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
penyerapan tenaga kerja Indonesia di bidang perikanan, karena pada
pelaksanaannya pasal ini tidak dapat menyentuh operator kapal
dengan alasan investor asing. Selain itu perlu dilakukan monitoring
atau pengecekan terinci oleh masing-masing instansi yang
mengeluarkan surat izin.113
Pelanggaran terhadap jenis, jumlah dan ukuran alat
penangkap ikan sebagai mana di atur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a
sebaiknya diatur dalam satu pasal tersendiri dan digolongkan
sebagai satu tindak pidana kejahatan sesuai pasal Pasal 103 ayat (1),
karena pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat menyebabkan
berbagai jenis dan ukuran ikan non target ikut tertangkap sehingga
berpotensi membahayakan kelestarian sumber daya ikan.114
Sanksi bagi korporasi yang melakukan tindak pidana
perikanan hendaknya dijatuhkan hanya kepada korporasi dalam
bentuk denda bukan kepada pengurus sebagaimana di atur dalam
Pasal 101.115
Ketentuan Pasal 102 yang tidak membolehkan pidana penjara
bagi nelayan asing yang melakukan tindak pidana di ZEE Indonesia
kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan pemerintah negara yang bersangkutan, bertentangan dengan
asas equality before the law bahwa semua orang sama kedudukannya
dimata hukum. Disamping itu penjatuhan hukuman denda semata
tanpa di barengi dengan pemberian hukuman pengganti akan
menyulitkan nelayan asing yang tidak mampu membayar denda.
Nasib nelayan tersebut, terkatung katung tidak akan diizinkan oleh
pihak imigrasi untuk pulang kenegaranya selama kewajiban denda
belum dibayarkan. Oleh sebab itu perlu dipertimbangkan suatu
71
bentuk hukuman pengganti berupa kurungan bagi nelayan asing
yang tidak mampu membayar denda.116
Untuk efektifitas penerapan sanksi terhadap tidak pidana
perikanan yang terjadi diperlukan pemahaman yang baik dari
petugas penyidik dan JPU untuk menganalisa dan mengidentikasi
bentuk pelanggaran yang terjadi, apakah digolongkan ke dalam
tindak kejahatan atau pelanggaran. Untuk itu diperlukan upaya
peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat melalui kegiatan
pembinaan dan pelatihan secara teratur.117
116 Ibid.
117 Diskusi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, Loc Cit.
72
penyimpanan, transportasi, dan distribusi, dengan melibatkan
kementerian-kementerian terkait, pemerintah daerah, pelaku
usaha, hingga nelayan dan pembudidaya ikan.
3) SLIN menggunakan pendekatan komoditas unggulan,
wilayah/kawasan, dan konektivitas sesuai dengan potensi
daerah.
Pengaturan SLIN diharapkan dapat berperan dalam:
1) mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan
pangan nasional melalui jaminan ketersediaan,
keterjangkauan, dan keberlanjutan untuk pemenuhan
konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan; dan
2) memenuhi konsumsi ikan dan industri pengolahan ikan
melalui jaminan terhadap pengadaan, penyimpanan,
transportasi, dan distribusi ikan dan produk perikanan, serta
bahan dan alat produksi.
c. pengaturan mengenai sistem data dan informasi perikanan yang
mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun,
mengembangkan, dan menyediakan sistem data dan informasi
Perikanan diharapkan dapat memperkuat penyelenggaraan
perikanan terutama pada saat perencanaan. Dengan adanya
sistem data dan informasi yang mutakhir dan akurat potensi
perikanan di Indonesia juga dapat lebih terukur dan terjaga
kelestariannya.
d. pengaturan tersendiri mengenai konservasi perikanan diharapkan
dapat menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Dengan
penguatan pengaturan Konservasi sumber daya ikan yang
dilakukan melalui konservasi ekosistem, jenis ikan, dan sumber
daya genetik ikan diharapkan juga peran serta masyarakat agar
lebih peduli terhadap potensi sumber daya ikan serta pengelolaan
perikanan secara keseluruhan.
e. pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah setidaknya
mempengaruhi beberapa urusan kewenangan di bidang kelautan
dan perikanan pada pemerintahan daerah seperti:
1) Kelembagaan
a) Kelembagaan kelautan dan perikanan hanya ada di
provinsi.
b) Kelembagaan yang ada di kabupaten/kota berganti status
menjadi cabang dinas atau UPTD provinsi.
c) Perlu pengaturan pemindahan P3D (personil, pembiayaan,
sarana dan prasarana, dan dokumen).
d) Tahap transisi dilakukan melalui mekanisme tugas
pembantuan dari provinsi ke kabupaten/kota.
2) Personil (ASN) Daerah
a) Personil (ASN) Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) di
kabupaten/kota dapat beralih status menjadi pegawai
provinsi.
b) Bagi personil kabupaten/kota yang tidak mau beralih
status, kekosongan diisi oleh personil provinsi.
c) Tata cara pengubahan status kepegawaian di fasilitasi BKN
regional.
d) Pemerintah pusat menentukan standar kompetensi bagi
pejabat DKP terkait seleksi terbuka sesuai UU ASN;
3) Keuangan Daerah
a) Kewajiban penganggaran menjadi kewenangan provinsi
(money follow function).
b) Bantuan keuangan pusat kedepan hanya diperuntukan
bagi provinsi.
4) Pelayanan Publik
a) Perijinan terkait kelautan dan perikanan akan beralih ke
provinsi.
b) Perijinan harus diatur oleh Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria (NSPK) yang jelas.
c) NSPK jadi lebih rumit karena ada yang bersifat cross-
cutting ketika terkait dengan kementerian atau lembaga
lain.
5) Bimbingan dan Pengawasan (BinWas)
a) BinWas tekhnis dilakukan langsung oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
b) BinWas umum dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.
c) Rule of engagement atau interface antara BinWas umum
dan teknis harus diatur antara kedua kementerian di atas.
d) Pengawasan terhadap Unit Pelaksana Tekhnis Daerah
(UPTD) atau cabang dinas provinsi dilakukan oleh
inspektorat provinsi.
2. Kajian Ekonomi dan Dampak Pelaksanaan Perubahan Undang-
Undang tentang Jalan terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
Kajian ekonomi dan dampak pelaksanaan dari RUU Perikanan
ini tidak mengalami banyak perubahan terhadap aspek beban
keuangan negara. Namun demikian ada beberapa pengaturan yang
memang memberi dampak pada aspek keuangan negara seperti
pengaturan mengenai pungutan Perikanan dan pembentukan
Pengadilan Perikanan.
Pungutan perikanan berdampak pada jumlah pendapatan
negara bukan pajak (PNBP) yang tercatat meningkat dari Rp 77,49
miliar pada tahun 2015 menjadi Rp 360,86 miliar pada tahun 2016.
Kenaikan pencapaian PNBP pada tahun 2016 disebabkan
pemberlakuan Peraturan Pemerintah yang menaikkan tarif pungutan
hasil perikanan secara progresif dengan menerapkan formula baru
bagi sistem pemungutan retribusi kegiatan kelautan dan perikanan.
Pembentukan Pengadilan Perikanan pada dasarnya dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
keuangan Negara. Oleh karena itu, seiring dengan peningkatan
penegakan hukum terutama untuk menindaklanjuti tindak pidana
perikanan maka penambahan Pengadilan Perikanan tentunya akan
menambah beban penggunaan keuangan Negara, seperti perekrutan
hakim ad hoc serta pembangunan sarana dan prasarana Pengadilan
Perikanan.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
80
Perikanan mendefinisikan “nelayan kecil adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan
berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT)”. Adapun ketentuan
Pasal 1 angka Pasal 1 angka 4 UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan mendefinisikan “nelayan kecil adalah Nelayan yang
melakukan Penangkapan Ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan
maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling
besar 10 (sepuluh) gros ton (GT)”.
Definisi nelayan yang berbeda tersebut akan menimbulkan
permasalahan hukum dalam implementasi penyelenggaraan
perikanan khususnya yang terkait dengan pengaturan terhadap
“nelayan kecil” karena menyangkut substansi pengaturan yang ada di
Bab X, Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 UU No. 31 Tahun 2004 dan
ketentuan lainnya yaitu ketentuan “pengecualian” terhadap
kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal
perikanan (Pasal 7 ayat (3) UU No. 45 Tahun 2009), kewajiban
memiliki SIPI dan/atau membawa SIPI asli (Pasal Pasal 27 ayat (5)
dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009), pungutan perikanan
(Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009), dan keringanan pengenaan
sanksi pidana dan denda (Pasal 100B dan Pasal 100C UU No. 45
Tahun 2009).
Definisi pembudi daya ikan dalam UU Perikanan yang
berbunyi “Pembudi daya Ikan adalah setiap orang yang mata
pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.” perlu disesuaikan
dengan Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam yang berbunyi
“Pembudi daya Ikan adalah setiap orang yang mata pencahariannya
melakukan pembudidayaan ikan air tawar, ikan air payau, dan ikan
air laut.”
Karena saat ini telah ada UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, substansi
pengaturan terkait perlindungan dan perberdayaan nelayan yang ada
di UU Perikanan, substansinya disinkronkan atau jika perlu dihapus,
karena sudah cukup diatur di UU Perlindungan dan Pemberdayaan
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, selain juga
untuk memperkecil kemungkinan tumpang tindih atau tidak sinkron
di antara keduanya.
Materi yang terkait dengan usaha-usaha bagi perlindungan dan
pemberdayaan nelayan yang ada di UU Perikanan harus disinkronkan
dengan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, yang mencakup
substansi definisi nelayan dan pembudidaya ikan (Pasal 1 angka 10
sampai dengan angka 13 UU No. 45 Tahun 2009), tujuan
penyelenggaraan perikanan, pemberdayaan nelayan, system
pemantauan kapal perikanan (Pasal 7 ayat (3) UU No. 45 Tahun
2009), kebersamaan dan kemitraan (Pasal 25 (2) UU No. 45 Tahun
2009), kewajiban dan pengecualian pemilikan SIPI dan SIKPI (Pasal
27 ayat (5) dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009), pungutan
perikanan, pelestarian perikanan, dan pemanfaatan bahan rampasan
dari hasil tindak pidana dibidang perikanan. Semua substansi
tersebut harus sinkron pengaturannya antara UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan dan UU Perikanan.
83
air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan
yang potensial di wilayah Republik Indonesia; Laut Lepas; dan laut
teritorial. Jika melihat dari ketentuan di atas maka wilayah laut yang
dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan perikanan di UU Perikanan
dan UU Kelautan sudah selaras namun di UU Perikanan tidak
terdapat ketentuan mengenai pengelolaan perikanan di Zona
Tambahan dan Landas Kontinen. Terdapatnya nomenklatur baru
dalam wilayah laut, maka mengenai pengelolaan perikanan di zona
tambahan dan landas kontinen dapat dijadikan materi muatan dalam
perubahan RUU Perikanan.
Pemerintah wajib untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
perikanan di laut lepas melalui forum pengelolaan perikanan
regional dan internasional. Pembangunan kelautan yang terdapat
dalam Bab V dilaksanakan untuk mewujudkan Indonesia menjadi
negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional. Pembangunan kelautan diselenggarakan
melalui perumusan dan pelaksanaan kebijakan salah satunya terkait
pengelolaan sumber daya kelautan yakni perikanan.
Dalam Bab Keenam bagian kesatu diatur mengenai
pengelolaan kelautan. Pengelolaan kelautan yang dilakukan oleh
pemerintah dan pemerintah daerah yang ditujukan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan
sumber daya kelautan dengan menggunakan prinsip ekonomi biru.
Kebijakan ekonomi biru dalam UU kelautan ditetapkan oleh
pemerintah. Pembangunan ekonomi kelautan dilaksanakan melalui
penciptaan usaha yang sehat dan peningkatan kesejahteraan rakyat,
terutama masyarakat pesisir dengan mengembangkan kegiatan
ekonomi produktif, mandiri, dan mengutamakan kepentingan
nasional. Pemanfaatan sumber daya kelautan meliputi perikanan;
energi dan sumber daya mineral; sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil; dan sumber daya nonkonvensional.
Terkait pemanfaatan sumber daya kelautan yang berupa sektor
perikanan maka pemerintah mengatur pengelolaan sumber daya ikan
di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta menjalankan
pengaturan sumber daya ikan di laut lepas berdasarkan kerja sama
dengan negara lain dan hukum internasional sebagaimana tercantum
dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19. Dalam melakukan
83
pemanfaatan sektor perikanan pemerintah mengoordinasikan
pengelolaan sumber daya ikan serta memfasilitasi terwujudnya
industri perikanan. Dalam memfasilitasi terwujudnya industri
perikanan, pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian
sumber daya ikan; menjamin iklim usaha yang kondusif bagi
pembangunan perikanan; dan melakukan perluasan kesempatan
kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup nelayan dan
pembudidaya ikan. Pemerintah mengatur sistem logistik ikan
nasional untuk kepentingan distribusi hasil perikanan. Selain itu
dalam rangka peningkatan usaha perikanan, maka pihak perbankan
bertanggung jawab dalam pendanaan suprastruktur usaha
perikanan, yang mana pendanaan tersebut diatur dalam undang-
undang tersendiri. Di samping itu perikanan termasuk ke dalam
pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam paragraf 3 UU Kelautan dikatakan bahwa pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi
sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya buatan,
dan jasa lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Perikanan termasuk ke dalam
sumber daya buatan dan jasa lingkungan. Dalam penjelasan Pasal 22
ayat (3) UU Kelautan dikatakan bahwa sumber daya buatan meliputi
infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan.
Sedangkan jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan
dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan
dan perikanan, serta energi gelombang laut.
UU Kelautan juga mengatur mengenai penegakan kedaulatan
dan hukum di wilayah perairan Indonesia, dasar laut, dan tanah di
bawahnya yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional. Untuk penegakkan
hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi khususnya dalam
melaksanakan patrol keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
dan wilayah yurisdiksi Indonesia dilakukan badan keamanan laut.
Badan Keamanan Laut (Bakamla) memiliki tugas patroli keamanan
dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah
yurisdiksi Indonesia.
Bakamla memiliki fungsi untuk menyusun kebijakan nasional
di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia
84
dan wilayah yurisdiksi Indonesia; menyelenggarakan sistem
peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan
Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; melaksanakan
penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran
hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia; menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli
perairan oleh instansi terkait; memberikan dukungan teknis dan
operasional kepada instansi terkait; memberikan bantuan pencarian
dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi
Indonesia; dan melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan
nasional. Selain Bakamla dibentuk pula sistem pertahanan laut yang
berfungsi untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi segenap bangsa Indonesia
dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
Indonesia di wilayah laut. Sistem pertahanan laut diselenggarakan
oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
Dalam wilayah laut dibutuhkan perencanaan ruang laut untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang laut. Struktur ruang
Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan kelautan dan sistem
jaringan prasarana dan sarana laut yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang laut meliputi
kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan
kawasan strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang laut meliputi
perencanaan tata ruang laut nasional, perencanaan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, dan perencanaan zonasi kawasan laut.
Perencanaan ruang laut merupakan suatu proses untuk
menghasilkan rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi
untuk menentukan struktur ruang laut dan pola ruang laut.
Perencanaan ruang laut dipergunakan untuk menentukan kawasan
yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya,
misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri
maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk
melindungi kelestarian sumber daya kelautan; serta untuk
menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran,
pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut.
85
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda)
Keterkaitan UU Pemda dengan UU Perikanan adalah
mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Pasal 9 ayat (1) UU Pemda mengklasifikasikan urusan
pemerintahan yang terdiri atas urusan pemerintahan absolut,
urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa urusan
pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat
dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Pasal 9 ayat (4)
menyatakan urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke
daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.
Urusan pemerintahan konkuren kemudian terbagi menjadi
kewenangan daerah yang terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan
urusan pemerintahan pilihan. Salah satu urusan pemerintahan
pilihan tersebut meliputi kelautan dan perikanan (Pasal 11 ayat (1)).
Pasal 14 ayat (1) UU Pemda menyebutkan bahwa penyelenggaraan
urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan
sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah
provinsi. Dalam Pasal 14 ayat (5) disebutkan daerah kabupaten/kota
penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari
penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dan pada ayat (5) selanjutnya diatur penentuan daerah
kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan
adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
Dengan berlakunya UU Pemda tersebut, terjadi perubahan
kewenangan pengelolaan laut provinsi yang semula 4-12 mil kini
menjadi 0-12 mil, pengelolaan perairan yang dilakukan sebelumnya
oleh pemerintah kabupaten/kota diambil alih oleh pemerintah
provinsi, salah satunya kewenangan zonasi laut yang dulu 4-12 mil
menjadi 0-12 mil. Sebelumnya zonasi laut 0-4 mil merupakan
kewenangan Pemerintah kabupaten/kota.
Dalam hal pembagian urusan bidang antara pemerintah
pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota, khususnya pada
sektor kelautan dan perikanan yang diatur oleh Undang-
Undang tidak terdapat pemberian kewenangan pengelolaan
kepada daerah kabupaten/kota yang diambil alih oleh pemerintah
pusat dan daerah provinsi.
Berikut rincian pembagian urusan pemerintahan bidang
kelautan dan perikanan:
a. Sub Urusan Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
1) Pemerintah Pusat
a) Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional.
b) Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional.
c) Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah)
ikan antarnegara.
d) Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur
perdagangannya secara internasional.
e) Penetapan kawasan konservasi.
f) Database pesisir dan pulau-pulau kecil.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
a) Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan
gas bumi.
b) Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di
luar minyak dan gas bumi.
c) Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
b. Sub Urusan Perikanan Tangkap
1) Pemerintah Pusat
a) Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut di atas 12 mil.
b) Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang
diperbolehkan (JTB).
c) Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk:
(1) kapal perikanan berukuran di atas 30 Gross Tonase (GT);
dan
(2) di bawah 30 Gross Tonase (GT) yang menggunakan modal
asing dan/atau tenaga kerja asing.
d) Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan
perikanan nasional dan internasional.
e) Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan dengan ukuran di atas 30 GT.
f) Pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
a) Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah laut sampai dengan
12 mil.
b) Penerbitan izin usaha perikanan tangkap untuk kapal
perikanan berukuran di atas 5 GT sampai dengan 30 GT.
c) Penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan
perikanan provinsi.
d) Penerbitan izin pengadaan kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan dengan ukuran di atas 5 GT sampai dengan
30 GT.
e) Pendaftaran kapal perikanan di atas 5 GT sampai dengan 30
GT.
3) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
a) Pemberdayaan nelayan kecil dalam Daerah kabupaten/kota.
b) Pengelolaan dan penyelenggaraan Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
c. Sub Urusan Perikanan Budidaya
1) Pemerintah Pusat
a) Sertifikasi dan izin edar obat/dan pakan ikan.
b) Penerbitan izin pemasukan ikan dari luar negeri dan
pengeluaran ikan hidup dari wilayah Republik Indonesia.
c) Penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang
pembudidayaan ikan lintas Daerah provinsi dan/atau yang
menggunakan tenaga kerja asing.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya
lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.
3) Pemerintah Kabupaten/Kota
a) Penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang usahanya
dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota.
b) Pemberdayaan usaha kecil pembudidayaan ikan.
c) Pengelolaan pembudidayaan ikan.
d. Sub Urusan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
1) Pemerintah Pusat
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di atas 12 mil,
strategis nasional dan ruang laut tertentu.
2) Pemerintah Daerah Provinsi
Pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan
12 mil.
e. Sub Urusan Pengolahan dan Pemasaran
1) Pemerintah Pusat:
a) Standardisasi dan sertifikasi pengolahan hasil perikanan.
b) Penerbitan izin pemasukan hasil perikanan konsumsi dan
nonkonsumsi ke dalam wilayah Republik Indonesia.
c) Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil
perikanan lintas Daerah provinsi dan lintas negara.
2) Pemerintah Daerah Provinsi:
Penerbitan izin usaha pemasaran dan pengolahan hasil
perikanan lintas Daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu)
Daerah provinsi.
f. Sub Urusan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan
1) Pemerintah Pusat:
Penyelenggaraan karantina ikan, pengendalian mutu dan
keamanan hasil perikanan.
g. Sub Urusan Pengembangan SDM Masyarakat Kelautan dan
Perikanan
1) Pemerintah Pusat:
a) Penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional.
b) Akreditasi dan sertifikasi penyuluh perikanan.
c) Peningkatan kapasitas SDM masyarakat kelautan dan
perikanan.
Perubahan konstelasi kewenangan pengelolaan perikanan
pasca ditetapkannya UU Pemda perlu segera ditindaklanjuti dengan
melakukan penyesuaian aturan tentang perikanan untuk menjamin
adanya kepastian hukum bagi masyarakat, memastikan tidak
terganggunnya fungsi pelayanan publik, serta memastikan inisiatif
pengelolaan perikanan yang selama ini telah digagas dan
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak terbengkalai.
Perubahan terhadap aturan di bidang perikanan yang perlu
disesuaikan mencakup kewenangan perizinan (termasuk pendaftaran
kapal perikanan), pengaturan zona tangkap, kelembagaan
pengelolaan perikanan yang selama ini ada di kabupaten/kota, serta
kewenangan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan dan
genetik.
91
dan International Court of Justice (ICJ), UNCLOS mendirikan
Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS),
International Sea-bed Authority (ISBA) dan International Tribunal
for the Law of the Sea (ITLOS) untuk menjamin interpretasi yang
tepat dan mudah dari ketentuan-ketentuannya yang sangat kompleks
tersebut. Seperti diketahui meskipun UNCLOS dan Annex-nya
mengandung ratusan ketentuan-ketentuan yang rinci, masih tersedia
kemungkinan adanya perbedaan dalam interpretasi dan
pengimplementasiannya. Dengan demikian perlu kita perhatikan
praktek negara-negara, serta fungsi dari berbagai lembaga
internasional yang disebutkan di atas untuk memperjelas arti dan
maksud dari ketentuan-ketentuan tersebut agar menjamin
pengimplementasiannya dengan baik. Dalam hal ini kerja sama antar
negara pihak disertai dukungan dari lembaga internasional tersebut
sangat penting untuk mencegah sengketa tentang hukum laut.
UNCLOS telah merumuskan pengaturan secara internasional
bagi pelbagai kegiatan kelautan, ke dalam suatu dokumen yang
terdiri dari 320 pasal dan aturan tambahannya yang dimuat dalam 9
buah lampiran serta beberapa resolusi pendukungnya. Sebagian
besar merupakan perubahan dan kodifikasi dari ketentuan-ketentuan
yang telah ada, akan tetapi bagian terpenting dari UNCLOS ini
menggambarkan usaha pembaharuan yang merefleksikan adanya
suatu perkembangan yang progresif (progressive development) dari
hukum internasional. Secara keseluruhan UNCLOS ini merupakan
suatu kerangka pengaturan yang sangat komprehensif dan meliputi
hampir semua kegiatan di laut, sehingga dianggap sebagai “a
constitution for the oceans”. Sejumlah pembaharuan dapat dilihat,
antara lain, pada perumusan ketentuan-ketentuan baru tentang ZEE,
negara kepulauan, selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional, perlindungan lingkungan laut, riset ilmiah kelautan,
serta perumusan ketentuan-ketentuan, mekanisme serta prosedur
penambangan daerah dasar laut samudra dalam yang terletak di luar
yurisdiksi nasional.
Hal lain yang cukup menarik adalah bahwa UNCLOS
mengandung beberapa kewajiban kerja sama bagi negara pihak.
Salah satu contoh adalah adanya kewajiban kerja sama regional di
bidang pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber
91
daya hayati laut. Selain dari itu UNCLOS juga menganjurkan kerja
sama serupa di bidang perlindungan lingkungan laut dan riset ilmiah
kelautan. Sejak mulai berlakunya, UNCLOS telah mengalami
perkembangan dengan diadakannya secara terus-menerus
pertemuan-pertemuan lebih lanjut mengenai pelaksanaannya melalui
pelbagai forum. Seperti diketahui, sebagai kelanjutan dari
pelaksanaan Konvensi telah dibentuk antara lain, International
Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), Commission on the Limits
of the Continental Shelf (CLCS), dan telah dilengkapi dengan dua
perjanjian tambahan, yaitu Perjanjian Tambahan (Implementing
Agreement) tahun 1994 tentang Implementasi Bab XI dan tahun
1995 tentang jenis ikan yang sama atau persediaan jenis ikan yang
termasuk dalam jenis yang sama di ZEE dua negara atau di ZEE
dan zona diluar dan yang berdekatan dengannya (Pasal 63) dan jenis
ikan yang bermigrasi jauh (Pasal 64) yang dikenal sebagai
Straddling Stocks dan Highly Migratory Stocks.
UNCLOS dibagi ke dalam tujuh belas bab, dan empat belas
bab daripadanya mengatur tentang berbagai hal, antara lain tentang
pengertian atau istilah dan ruang lingkup berlakunya. Bab-bab
selanjutnya berisi ketentuan-ketentuan tentang laut teritorial dan
zona tambahan; selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
negara kepulauan; zona ekonomi eksklusif; landas kontinen; laut
lepas; pulau; laut tertutup dan setengah tertutup; hak negara tak
berpantai untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan transit;
daerah dasar laut samudera dalam (Kawasan); perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut; riset ilmiah kelautan; dan
pengembangan dan alih teknologi kelautan. Tiga Bab terakhir berisi
ketentuan tentang Penyelesaian Sengketa (Bab XV), Ketentuan
Umum (Bab XVI) dan Ketentuan Penutup.
Di samping itu, UNCLOS juga dilengkapi dengan sembilan
lampiran (Annex) yang berisi ketentuan-ketentuan lebih lanjut
tentang jenis ikan yang bermigrasi jauh; komisi tentang batas-batas
landas kotinen; persyaratan dasar untuk prospekting, eksplorasi dan
eksploitasi di Kawasan; anggaran dasar Enterprise (sebagai pelaksana
kegiatan di Kawasan); konsiliasi; Statuta Mahkamah Internasional
Hukum Laut (ITLOS); Arbitrase; Arbitrase Khusus, dan partisipasi
organisasi internasional. Seperti telah diuraikan sebelumnya
92
Konvensi ini juga dilengkapi dengan dua Perjanjian Tambahan.
UNCLOS serta Resolusi-Resolusi yang menyertainya merupakan
suatu dokumen hukum yang sangat luas, dan bagi mereka yang tidak
familiar atau kurang mengikutinya sangat kompleks dan
membingungkan. Hal ini terbukti dari banyaknya para ahli, bahkan
ahli hukum, yang mencoba menginterpretasikan ketentuan-
ketentuan konvensi dengan cara selain “pick and choose” juga tanpa
memperhatikan sejarah dan tujuan pembentukannya.
Keterkaitan antara UNCLOS dengan RUU tentang Perikanan
antara lain terletak pada pemanfaatan wilayah perairan Indonesia
yang meliputi landas kontinen, ZEE, dan wilayah perairan lepas
pantai lainnya. Dalam UNCLOS dibenarkan bahwa setiap negara
memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah lautan mulai dari
wilayah landas kontinen 12 mil hingga ZEE 200 mil. Dalam wilayah
kedaulatan atau yurisdiksi sebagaimana dimaksud, negara memiliki
wewenang untuk melakukan pemanfaatan dan pendayagunaan
secara menyeluruh terhadap wilayah laut tersebut. Ditegaskan pula
dalam hal wilayah laut itu berbatasan secara langsung dengan
wilayah laut dari negara lain maka penyelesaiannya ditetapkan
melalui kesepakatan bersama antara kedua negara tersebut.
Pemanfaatan terhadap wilayah laut termasuk didalamnya persoalan
perikanan mulai dari penangkapan hingga aktifitas penjagaan
ketersediaan sumber daya alam hayati secara berkelanjutan.
Terkait Access Right bagi pihak asing dalam mengeksploitasi
sumber daya lkan di WPPNKRI, terdapat 2 (dua) opsi yang diberikan
oleh UNCLOS. Pilihan pertama adalah dengan membuka Open Acces
bagi pihak asing berdasarkan Pasal 71 UNCLOS, sedangkan pilihan
kedua yakni dengan menutup Access Right Bagi Pihak Asing dengan
menggunakan ketentuan Pasal 72 UNCLOS.
Jika pilihan politik Indonesia dalam RUU Perikanan nanti
cenderung pada opsi yang Kedua maka dalam RUU harus ditegaskan
bahwa “Jenis usaha Penangkapan Ikan yang berada di WPPNKRI
hanya dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan
hukum Indonesia”. Pilihan sebenarnya juga memiliki alas hak yang
cukup kuat mengingat dalam Ketentuan Pasal 71 UNCLOS memberi
peluang bagi suatu negara pantai untuk mengecualikan berlakunya
ketentuan kewajiban memberikan access right apabila kondisi
93
ekonominya sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya hayati
yang ada di zona ekonomi eksklusifnya. Oleh karena itu sepanjang
Indonesia mempunyai alasan yang kuat bahwa kondisi ekonomi
Indonesia sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya hayati di
ZEE maka sangat mungkin jika Indonesia dalam perubahan RUU
Perikanan nanti menegaskan sikapnya untuk menutup Access Right
Bagi Pihak Asing.
Dalam RUU Perikanan nantinya harus mengakomodir
mengenai batasan atas yurisdiksi wilayah perairan yang
diperkenankan untuk mengambil sumberdaya alam hayati berupa
komoditi perikanan. Aspek pengelolaan lingkungan mulai dari
penangkapan, larangan penggunaan bahan dan alat tangkap yang
mengganggu ekosistem dan keselamatan lingkungan, pencemaran
lingkungan hidup, hingga kewajiban ganti rugi dan rekonsiliasi atas
sengketa yang timbul dari pelanggaran wilayah perairan dan
wilayah tangkap perikanan harus pula diakomodir secara utuh
didalam RUU tentang Perikanan.
100
Jika melihat dalam UU Perikanan dan UU Perairan Indonesia
diketahui bahwa wilayah pengelolaan perikanan baik untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi laut
teritorial beserta perairan kepulauan dan perairan pedalaman, ZEEI,
dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
dapat diudahakan serta lahan pembudidayaan ikan. Laut teritorial
dapat diartikan sebagai jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut
yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Sedangkan
perairan kepulauan diartikan semua perairan yang terletak pada sisi
dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai. UU Perairan juga memberikan
definisi mengenai perairan pedalaman yang diartikan semua perairan
yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai
Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang
terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.
Terkait dengan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan
pelestarian lingkungan perairan Indonesia yang salah satunya
dilakukan melalui sektor perikanan dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan hukum internasional.
Meskipun Indonesia memiliki hak berdaulat di wilayah perairan
Indonesia, namun pemerintah Indonesia harus tetap menghormati
persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain yang
menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan kepulauan
yang meliputi pelaksanaan hak perikanan tradisional, hak akses dan
komunikasi negara tetangga yang langsung berdampingan,
pemasangan, pemeliharaan, dan penggantian kabel di dasar laut oleh
negara lain.
Di wilayah perairan Indonesia semua kapal dari berbagai
negara dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan
perairan kepulauan Indonesia. Lintas damai dapat diberikan jika
berkaitan dengan navigasi yang normal, atau perlu dilakukan karena
keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi pertolongan
kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau
kesulitan. Lintas dianggap damai diberikan apabila tidak merugikan
kedamaian, ketertiban, atau keamanan Indonesia, dan dilakukan
sesuai dengan ketentuan konvensi dan hukum internasional yang
lain. Lintas oleh kapal asing dianggap membahayakan kedamaian,
101
ketertiban, atau keamanan Indonesia dan melakukan salah satu
kegiatan yang dilarang oleh konvensi dan/atau hukum internasional
termasuk setiap kegiatan perikanan.
Pemerintah Indonesia menetapkan alur laut dan skema
pemisahan lalu lintas di laut territorial dan perairan kepulauan dalam
rangka untuk melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal asing
yang melaksanakan hak lintas damai di perairan Indonesia, serta
untuk menjamin keselamatan pelayaran. Lintas damai melalui alur-
alur yang telah ditetapkan khususnya diperuntukan bagi lintas kapal
tanki, kapal bertenaga nuklir, dan kapal yang mengangkut muatan
yang berbahaya atau beracun, termasuk limbah radio aktif. Selain itu
alur lintas damai dapat juga ditetapkan untuk kepentingan
perlindungan perikanan, termasuk budidaya laut dan pelestarian
lingkungan laut. Penetapan alur-alur laut, terutama skema pemisah
lalu lintas tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan organisasi
internasional yang berwenang terutama dalam masalah teknis
keselamatan pelayaran.
Selain itu keterkaitan antara UU Perikanan dan UU Perairan
Indonesia dapat dilihat dalam Bab V UU Perairan Indonesia
mengenai penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia.
Dalam rangka untuk menegakkan hukum di perairan Indonesia,
ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya maka
diperlukan pengawasan oleh pemerintah. Pengawasan dalam sektor
perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan yang merupakan
pegawai negeri sipil yang bekerja di bidang perikanan yang
diangkat oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Di samping itu
pengawas perikanan juga dapat dididik untuk menjadi Penyidik
Pengawai Negeri Sipil Perikanan. Sanksi atas pelanggaran yang
telah dilakukan, sesuai dengan ketentuan konvensi hukum
internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
105
alami hayati dan ekosistemnya. Selain itu ketentuan larangan
maupun sanksi terkait konservasi yang ada di wilayah perairan harus
juga disinkronkan dengan UU KSDAHE. Ini berarti, segala tindakan
KSDAHE yang ada di wilayah perairan yang telah diatur di dalam
UU Perikanan atau akan diatur di dalam RUU Perikanan harus
disinkronkan substansinya dengan materi yang ada di dalam UU
KSDAHE.
Kegiatan konservasi di dalam UU Perikanan mencakup
konservasi sumber daya ikan, yang di dalam Pasal 1 angka 8 UU No.
45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan
genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Adapun usaha
konservasi pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan melalui upaya
konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika
ikan (Pasal 13 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004). Kemudian
Penjelasan Pasal 13 ayat (1) menjelaskan bahwa konservasi
sumber daya perikanan Kawasan konservasi yang terkait
dengan perikanan, antara lain, adalah terumbu karang, padang
lamun, bakau, rawa, danau, sungai, dan embungyang dianggap
penting untuk dilakukan konservasi. Dalam hal ini
Pemerintah dapat melakukan penetapan kawasan konservasi, antara
lain, sebagai suaka alam perairan, taman nasional perairan, taman
wisata perairan, dan/atau suaka perikanan.
Selain itu pengaturan terkait dengan konservasi perikanan
yang ada di UU No. 45 Tahun 2009 mencakup juga substansi
mengenai penetapan jenis ikan yang dilindungi (Pasal 7 ayat (6)),
penetapan Menteri dalam mendukung kebijakan pengelolaan
konservasi sumber daya perikanan (Pasal 7 ayat (1) huruf r),
penggunaan pungutan perikanan untuk konservasi (Pasal 50),
pengawasan (Pasal 66 ayat (3)), serta tugas dan tempat pengawas
perikanan (Pasal 66 ayat (3) dan Pasal 66B ayat (2) huruf f).
Substansi pengaturan terkait konservasi yang ada di dalam UU
Perikanan ini harus sinkron dengan UU KSDAHE.
A. Landasan Filosofis
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian
besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang
sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki
merupakan rahmat dan karunia dari Tuhan yang dapat dimanfaatkan
untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan
nasional. Tugas Negara adalah untuk melindungi segala tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum
sebagaimana diamanatkan Alinea Ketiga Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indoensia Tahun 1945.
Upaya perlindungan dan memajukan kesejahteraan tersebut
dilakukan melalui penyelenggaraan perikanan yang memanfaatkan
secara optimal, yang diarahkan pada pendayagunaan sumber daya
ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan
kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan
kecil, meningkatkan penerimaan dari devisa negara, menyediakan
perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai
tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin kelestarian
sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan serta tata ruang. Hal
ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus
seimbang dengan daya dukungnya, sehingga diharapkan dapat
memberikan manfaat secara terus menerus. Salah satunya dilakukan
dengan pengendalian usaha perikanan melalui pengaturan
pengelolaan perikanan.
Selain itu pemerintah juga melakukan upaya perlindungan
potensi perikanan melalui kebijakan dan pengaturan pengelolaan
perikanan berupa pengawasan, sekaligus penegakaan hukum untuk
menjaga potensi perikanan Indonesia agar tidak hanya diekploitasi
negara lain maupun kekuatan asing, tetapi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan:
“bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalammnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.”
Selain itu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia
memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan SDI di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Laut Lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber daya
ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan sumber
daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dan
teknologi melalui perubahan UU tentang Perikanan yang dapat
mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang
sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan
ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya
ikan, perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin
efektif, efisien, dan modern maupun upaya pengawasan dan
penegakan hukum.
B. Landasan Sosiologis
Potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki merupakan
potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan
bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Kita harus
dapat mengantisipasi terjadinya perubahan di bidang perikanan, baik
yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian
lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode
pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern.
Sektor perikanan di Indonesia telah sedemikian rupa diatur dan
dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009. Dalam perjalanan selama lebih dari 10 tahun masih
terdapat berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan perikanan.
Kondisi dan permasalahan yang ada memang tidak seluruh
bersumber dari kekuranglengkapan norma pengaturan di tingkat
undang-undang. Namun demikian banyak faktor kebijakan yang
harus dibenahi dan diperkuat dalam konteks penyelengaraan
perikanan yang harus dilakukan di tingkat undang-undang.
Secara umum permasalahan lingkup pengaturan, pembagian
tugas dan kewenangan di tingkat pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan perikanan, pengaturan pengelolaan, pengolahan
dan pemasaran hasil perikanan, dan aspek pengawasan dan
penegakan hukum masih menjadi kendala dan belum sepenuhnya
dapat dijawab dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan yang diubah dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009.
Lingkup pengaturan UU Perikanan saat ini lebih
menitikberatkan kepada perikanan tangkap, sedangkan pengaturan
perikanan budidaya dirasa belum komprehensif. Dalam praktiknya
perikanan budidaya membutuhkan pengaturan yang lebih
komprehensif mengingat potensi dan pengembangannya ke depan
akan semakin signifikan. Saat ini belum diatur secara jelas mengenai
zonasi bagi perikanan budidaya, sehingga nelayan budidaya
kesulitan untuk mengetahui wilayah yang dapat dilakukan
pembudidayaan dan menimbulkan terjadi konflik antara nelayan
pembudidaya dan nelayan tangkap ketika nelayan pembudidaya
melakukan pembudidayaan ikan di wilayah perairan.
Pada intinya penting untuk mengatur tata ruang bagi
perikanan budidaya agar tidak terjadi pencemaran dan perebutan
lahan. Saat ini belum ada kebijakan yang jelas mengenai roadmap
riset-riset strategis dibidang rekayasa teknologi budidaya dan
revitalisasi program reservaat (suaka perikanan) untuk
pengembangan usaha budidaya.
Penyelenggaraan perikanan juga erat kaitannya dengan
otonomi daerah, terutama masalah kewenangan dan perizinan, serta
tentang kesyahbandaran. Dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan terkait
kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam
penyelenggaraan perikanan harus dilakukan sinkronisasi. Di sisi lain,
masyarakat masih menemukan kendala akibat adanya perubahan
kebijakan pembagian kewenangan tersebut terutama terkait dengan
aspek perizinan dan pengawasannya.
Degradasi sumberdaya kelautan dan perikanan, dikarenakan
eksploitasi yang tidak berwawasan lingkungan, maupun dampak dari
kegiatan sektor lain seperti pertambangan, minyak dan gas bumi di
wilayah perairan yang menyebabkan pencemaran laut, gejala
penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi fisik habitat pesisir,
pencurian ikan (illegal fishing) dan pembuangan limbah secara
illegal menjadi pekerjaan rumah dalam pengelolaan potensi
perikanan di Indonesia.
Selain itu, mutu hasil produk perikanan masih harus terus
ditingkatkan sehingga nilai jual hasil perikanan baik di pasar lokal,
nasional, regional maupun global bisa lebih bersaing. Keamanan
pangan (food safety) merupakan syarat mutlak bagi negara importer,
kondisi ini masih harus terus ditingkatkan bagi nelayan kita agar
dapat bersaing di tingkat global. Sarana dan prasarana penunjang
juga menjadi syarat multak peningkatan kualitas hasil perikanan.
Kita harus dapat meningkatkan kemampuan teknologi pasca panen
yang meliputi penanganan dan pengolahan produk perikanan sesuai
dengan selera konsumen dan standar mutu produk secara
internasional terutama persyaratan sanitasi.
Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan karena
lemahnya market intelegence yakni penguasaan informasi tentang
pesaing, segmen pasar, dan selera konsumen, serta belum
memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan
komunikasi untuk mendukung distribusi produk perikanan dari
produsen ke konsumen secara tepat waktu menjadi kendala bagi
distribusi dan pemasaran hasil perikanan yang efisien dan
menguntungkan.
Aspek pengawasan dan penegakan hukum di sektor perikanan
masih menyisakan masalah penting terkait mekanisme koordinasi
antar instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana
di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum
acara, terutama mengenai penentuan batas waktu pemeriksaan
perkara; permasalahan waktu penahanan tersangka/terdakwa;
pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (In absensia); permasalahan
pemanfaatan kembali barang bukti berupa kapal; dan fasilitas dalam
penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan
penerapan tindakan hukum berupa penenggalaman kapal asing yang
beroperasi di wilayah perikanan Indonesia.
Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik di bidang perikanan
khususnya cukup memadai untuk melakukan tindakan terhadap
setiap perbuatan pidana di bidang perikanan. Namun demikian
sampai saat ini penyidikan sebagian besar terfokus untuk tindak
pidana di bidang penangkapan ikan terutama di wilayah perairan
ZEEI dan kurang menyentuh tindak pidana di bidang budidaya,
pengolahan serta tindak pidana yang terjadi di perairan territorial.
Untuk itu diperlukan upaya untuk penguatan lembaga penyidik
perikanan khususnya PPNS dan Polri berupa peningkatan
kemampuan teknis penyidikan, dukungan pembiayaan serta
penyediaan sarana dan prasaran pendukung agar dapat menjangkau
dan menangani seluruh tindak pidana di bidang perikanan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam KUHAP, untuk
memudahkan pembuktian pada proses pemeriksaan di pengadilan
perlu ditambahkan alat elektonik. Hal ini berkaitan dengan
pembuktian lokasi (lokus) terjadinya tindak pidana yang
memerlukan data dari alat elektronik seperti Vessel Monitoring
System (VMS), GPS, dan lain-lain. Kendala lainnya terkait alat bukti
adalah tempat penyimpanan barang bukti tindak pidana perikanan
khususnya Kapal.
Pada dasarnya pelaksanaan fungsi pengadilan perikanan yang
menuntut suatu proses penyelesaian perkara yang mudah, murah
dan cepat secara umum telah berjalan dengan baik. Namun disadari
aspek waktu penyelesaiaan perkara utamanya perkara perikanan
yang terjadi di ZEE Indonesia oleh nelayan asing masih berlangsung
lebih dari 30 hari melebihi batas waktu penyelesaian perkara
berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Nelayan asing umumnya hanya dapat berkomunikasi
menggunakan bahasa daerah asalnya sehingga proses pemeriksaan
di pengadilan sangat tergantung oleh penterjemah. Secara umum
penterjemah yang memahami bahasa daerah nelayan asing tersebut
sulit ditemukan.
Perluasan yurisdiksi dan penambahan jumlah pengadilan
perikanan dan pembentukannya di tingkat banding dan kasasi juga
menjadi wacana yang penting agar penegakan hukum mampu
mencakup seluruh wilayah Indonesia. Saat ini penyelesaian perkara
pidana perikanan di tingkat kasasi relatif berlangsung lama bahkan
mencapai 1 tahun. Hal tersebut kemungkinan di sebabkan oleh
belum dibentuknya Hakim Ad hoc Perikanan di tingkat kasasi.
C. Landasan Yuridis
Pemerintah melakukan upaya perlindungan potensi perikanan
melalui kebijakan dan pengaturan pengelolaan perikanan berupa
pengawasan, sekaligus penegakaan hukum untuk menjaga potensi
perikanan Indonesia agar tidak hanya diekploitasi negara lain
maupun kekuatan asing, tetapi sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat Indonesia. Hal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung didalammnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Selain itu, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations
Convention on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia
memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan SDI di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan Laut Lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Oleh karena itu, dibutuhkan dasar hukum pengelolaan sumber
daya ikan yang mampu menampung semua aspek pengelolaan
sumber daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan
hukum dan teknologi melalui perubahan UU Perikanan yang dapat
mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan yang
sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan
ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya
ikan, perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin
efektif, efisien, dan modern maupun upaya pengawasan dan
penegakan hukum.
Penyelenggaraan Perikanan yang selama ini dilaksanakan
berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 45 tahun 2009 telah berlangsung lebih dari
sepuluh tahun dan dalam kurun waktu tersebut terdapat berbagai
115
permasalahan hukum mengingat adanya perkembangan dan
dinamika penyelenggaraan perikanan yang terjadi. Saat ini ada
beberapa undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan
perikanan, diantaranya UU Nomor 27 tahun 2007 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan, serta yang baru saja disahkan UU Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, dan Petambak Garam. Dari beberapa ketentuan tersebut, dapat
dijadikan acuan dalam membangun paradigma baru terhadap
penyelenggaraan Perikanan dengan memperluas ruang lingkup
termasuk perikanan budidaya, mengutamakan peran serta seluruh
pemangku kepentingan, pelibatan masyarakat, penguatan sistem
data dan informasi terkait sumber daya ikan, serta penegakan hukum
dan pemberian sanksi terutama terkait Illegal Unreported and
Unregulated Fishing.
Selanjutnya, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, perlu dilakukan
sinkronisasi terhadap pembagian kewenangan antara Pemerintah
pusat dan daerah terkait penyelenggaran Perikanan.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
1) Perencanaan Perikanan
Dalam menyelenggarakan Pengelolaan Perikanan, Menteri
menyusun dan menetapkan rencana umum Perikanan Nasional dan
rencana Pengelolaan Perikanan. Rencana umum Perikanan Nasional
harus sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional. Rencana umum Perikanan Nasional merupakan pedoman
bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pelaku Pengelolaan
Perikanan dalam perencanaan dan pembangunan sektor Perikanan.
Rencana Pengelolaan Perikanan merupakan rencana strategis yang
memuat analisis situasi perikanan dan kesepakatan antara
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan para
pemangku kepentingan lainnya, sebagai arah dan pedoman dalam
pelaksanaan pengelolaan Sumber Daya Ikan di bidang penangkapan
ikan.
Perencanaan Perikanan dilakukan secara sistematis, terpadu,
terarah, menyeluruh, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan
karakteristik Perikanan setempat. Perencanaan harus dilakukan
berdasarkan pada daya dukung Sumber Daya Perikanan; potensi
Sumber Daya Ikan di WPPNKRI; pengelolaan kesehatan Ikan dan
124
lingkungan; potensi lahan dan Perairan; rencana tata ruang wilayah;
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana tata
ruang laut nasional, dan rencana zonasi kawasan laut;
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; kebutuhan sarana
dan prasarana; kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian
dengan budaya setempat; tingkat pertumbuhan ekonomi; dan
pertimbangan keberadaan masyarakat hukum adat dan/atau
kearifan lokal. Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan
perikanan diatur dengan Peraturan Menteri.
126
Nelayan Kecil yang berbasis masyarakat yang dilakukan secara
berkelompok. Akses ini berupa akses pengelolaan wilayah laut
tertentu dan pengelolaan bagian dari alokasi penangkapan yang
diperbolehkan untuk satu atau lebih jenis kelompok ikan yang mana
kelompok nelayan ini harus menyusun rencana aksi pengelolaan
Perikanan yang akan menjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk
memberikan akses pengelolaan, evaluasi, atau penutupan akses
pengelolaan.
Pengakuan terhadap Pengelolaan perikanan dan akses
Pengelolaan Perikanan harus dijalankan dengan sistem pengelolaan
yang menjamin kelestarian, keberlanjutan, dan kesejahteraan dan
sesuai rencana Pengelolaan Perikanan di suatu WPPNKRI.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengakuan dan akses pengelolaan
Perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c. Usaha Perikanan
Usaha Perikanan merupakan kegiatan yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis Perikanan. Jenis usaha Perikanan terdiri
dari usaha penangkapan Ikan; pembudidayaan Ikan; pengangkutan
Ikan; pengolahan Ikan; dan pemasaran Ikan. Setiap Orang yang
melakukan usaha Perikanan harus menerapkan sistem rantai dingin.
Ketentuan mengenai pelaksanaan sistem rantai dingin diatur dalam
Peraturan Menteri.
Setiap Orang yang melakukan usaha Perikanan di WPPNKRI
wajib memiliki SIUP. Setiap Orang dapat memiliki satu jenis atau
gabungan beberapa jenis usaha Perikanan. Setiap Orang yang
melanggar ketentuan dalam melakukan usaha perikanan, dikenai
sanksi administratif yang meliputi teguran tertulis; denda
administratif; pembatasan kegiatan usaha; penghentian sementara
kegiatan usaha; penarikan Ikan dan/atau hasil pengolahan Ikan dari
peredaran; pembekuan izin usaha; dan/atau pencabutan izin usaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
SIUP diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu yang
dilaksanakan secara bersama oleh instansi yang berwenang di bidang
Perikanan dan perhubungan. Ketentuan mengenai mekanisme, tata
cara, dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu diatur dengan
126
Peraturan Presiden. Kewajiban memiliki SIUP dikecualikan bagi
Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, dan/atau Pembudi Daya Ikan
Kecil. Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, dan Pembudi Daya Ikan
Kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya kepada
instansi Perikanan setempat tanpa dikenakan biaya.
SIUP diterbitkan untuk masing-masing jenis usaha Perikanan.
SIUP untuk jenis usaha Penangkapan Ikan mencantumkan koordinat
daerah Penangkapan Ikan, jumlah dan ukuran kapal Perikanan, jenis
alat penangkap Ikan yang digunakan, dan pelabuhan pangkalan.
SIUP untuk jenis usaha Pembudidayaan Ikan mencantumkan
kepemilikan, luas lahan atau perairan, dan letak lokasinya. SIUP
untuk jenis usaha pengangkutan Ikan mencantumkan daerah
pengumpulan, pelabuhan muat, pelabuhan pangkalan, jenis Ikan,
serta jumlah dan ukuran kapal Perikanan.
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya, dalam menerbitkan SIUP harus mempertimbangkan
potensi dan jumlah Sumber Daya Ikan; daerah penangkapan dan
Pembudidayaan Ikan; jenis alat Penangkapan Ikan yang ramah
lingkungan; dan cara Pembudidayaan Ikan yang ramah lingkungan.
Setiap Orang yang melakukan usaha Perikanan harus
memenuhi standar mutu dan keamanan pangan hasil Perikanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya membina dan memfasilitasi pengembangan usaha
Perikanan agar memenuhi standar mutu dan keamanan pangan Hasil
Perikanan. Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi
berkembangnya industri Perikanan nasional dengan mengutamakan
penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia dalam negeri,
serta mempertimbangkan luas wilayah laut. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya membina
terselenggaranya kebersamaan dan kemitraan yang sehat antara
industri Perikanan, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan/atau koperasi
Perikanan.
d. Konservasi Perikanan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi sesuai
dengan kewenangannya melakukan usaha konservasi Sumber Daya
Ikan, untuk menjamin perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
Sumber Daya Ikan. Konservasi Sumber Daya Ikan dilakukan melalui
konservasi jenis Ikan, sumber daya genetik Ikan, dan ekosistem.
Konservasi jenis Ikan dilakukan melalui penggolongan jenis
Ikan, penetapan status perlindungan jenis Ikan, pemeliharaan, dan
pengembangbiakan. Konservasi sumber daya genetik Ikan dilakukan
melalui upaya pemeliharaan, pengembangbiakan, penelitian, dan
pelestarian gamet. Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe
ekosistem yang terkait dengan Sumber Daya Ikan. Konservasi
ekosistem dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan/atau
rehabilitasi habitat dan populasi Ikan, penelitian dan pengembangan,
pemanfaatan Sumber Daya Ikan dan jasa lingkungan, pengembangan
sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, dan/atau
monitoring dan evaluasi. Ketentuan mengenai Konservasi Perikanan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2) Pelabuhan Perikanan
Pelabuhan Perikanan merupakan pendukung kegiatan
pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan dan
lingkungannya, mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi,
pengolahan, dan pemasaran. Pelabuhan Perikanan mempunyai
fungsi: pemerintahan dan pengusahaan. Fungsi pemerintahan pada
Pelabuhan Perikanan, merupakan fungsi untuk melaksanakan
pengaturan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, serta keamanan
dan keselamatan operasional Kapal Perikanan di pelabuhan
Perikanan. Fungsi pengusahaan pada Pelabuhan Perikanan,
merupakan fungsi untuk melaksanakan pengusahaan berupa
penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kapal Perikanan dan jasa terkait
di pelabuhan Perikanan. Fungsi pemerintahan, meliputi:
1) pelayanan pembinaan mutu hasil Perikanan;
2) pengumpulan data tangkapan, Hasil Perikanan, dan data
kelautan serta perikanan lainnya;
3) tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat
Nelayan;
4) pelaksanaan kegiatan operasional kapal Perikanan;
5) tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya
Ikan;
6) pelaksanaan kesyahbandaran;
7) tempat pelaksanaan fungsi karantina Ikan;
8) publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh Kapal Perikanan dan
kapal pengawas kapal Perikanan;
9) tempat publikasi hasil penelitian kelautan dan Perikanan;
10) pemantauan wilayah pesisir;
11) pengendalian lingkungan;
12) kepabeanan; dan/atau
13) keimigrasian.
Selain memiliki fungsi pemerintahan, Pelabuhan Perikanan
dapat melaksanakan fungsi pemerintahan lainnya yang terkait
dengan Pengelolaan Perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Fungsi pengusahaan, meliputi:
1) pelayanan tambat dan labuh kapal Perikanan;
2) pelayanan bongkar muat Ikan;
3) pelayanan pengolahan hasil Perikanan;
4) pemasaran dan distribusi Ikan;
5) pemanfaatan fasilitas dan lahan di pelabuhan Perikanan;
6) pelayanan perbaikan dan pemeliharaan kapal Perikanan;
7) pelayanan logistik dan perbekalan kapal Perikanan;
8) wisata bahari; dan/atau
9) penyediaan dan/atau pelayanan jasa lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya menyelenggarakan dan membina pengelolaan
pelabuhan Perikanan. Dalam penyelenggaraan dan pembinaan,
Menteri menetapkan: rencana induk Pelabuhan Perikanan secara
nasional, klasifikasi pelabuhan Perikanan, pengelolaan pelabuhan
Perikanan, persyaratan dan/atau standar teknis dalam perencanaan,
pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan
Perikanan, wilayah kerja dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan
yang meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi
wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan Perikanan, dan
Pelabuhan Perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah.
Setiap Orang yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan
dan/atau kapal pengangkut Ikan, wajib mendaratkan seluruh Ikan
tangkapannya di Pelabuhan Perikanan yang ditetapkan atau
pelabuhan lainnya yang ditunjuk. Setiap Orang yang melanggar
ketentuan, dikenai sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut
meliputi: teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan
usaha, penghentian sementara kegiatan usaha, pembekuan izin
usaha, dan/atau pencabutan izin usaha. Ketentuan mengenai
pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai Pelabuhan Perikanan diatur dalam Peraturan
Menteri.
3) Syahbandar Perikanan
Dalam rangka keselamatan operasional kapal Perikanan,
ditunjuk syahbandar di pelabuhan Perikanan. Syahbandar di
Pelabuhan Perikanan mempunyai tugas dan wewenang:
1) menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
2) mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal Perikanan;
3) memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal Perikanan;
4) memeriksa teknis dan nautis Kapal Perikanandan memeriksa alat
Penangkapan Ikan, dan alat bantu Penangkapan Ikan;
5) memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
6) memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan Ikan;
7) mengatur olah gerak dan lalu lintas Kapal Perikanan di
pelabuhan Perikanan;
8) mengawasi pemanduan;
9) mengawasi pengisian bahan bakar;
10) mengawasi kegiatan pembangunan dan pemanfaatan fasilitas
pelabuhan Perikanan;
11) melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
12) memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman
kebakaran di pelabuhan Perikanan;
13) mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim;
14) memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal Perikanan;
15) menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan
Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
16) memeriksa sertifikat Ikan hasil tangkapan.
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan, diangkat oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.
Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di Pelabuhan Perikanan
dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di Pelabuhan
Perikanan setempat. Penyelenggaraan kesyahbandaran di Pelabuhan
Perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Setiap Kapal Perikanan yang melakukan kegiatan Perikanan
wajib memiliki surat laik operasi Kapal Perikanan tanpa dikenai
biaya. Surat laik operasi dikeluarkan oleh pengawas Perikanan
setelah memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
Setiap nahkoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang akan
berlayar melakukan Penangkapan Ikan dan/atau pengangkutan Ikan
dari Pelabuhan Perikanan, wajib memiliki surat persetujuan berlayar.
Surat persetujuan berlayar dikeluarkan oleh syahbandar setelah
Kapal Perikanan mendapatkan surat laik operasi.
Dalam hal Kapal Perikanan berada dan/atau berpangkalan di
luar pelabuhan Perikanan, surat persetujuan berlayar diterbitkan
oleh syahbandar setempat, setelah memperoleh surat laik operasi
dari pengawas Perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.
Ketentuan mengenai syahbandar Perikanan, surat laik operasi, dan
surat persetujuan berlayar diatur dalam Peraturan Menteri.
g. Pungutan Perikanan
Setiap Orang yang memperoleh manfaat langsung dari Sumber
Daya Ikan dan lingkungannya di WPPNKRI dan/atau di luar
WPPNKRI dikenakan pungutan Perikanan. Pungutan Perikanan
terdiri dari: penerimaan negara bukan pajak dan retribusi izin usaha
Perikanan. Pungutan Perikanan dikecualikan bagi Nelayan Kecil,
Nelayan Tradisional, dan/atau Pembudidaya Ikan Kecil.
Pungutan Perikanan digunakan untuk penyelenggaraan
Perikanan dan kegiatan Konservasi Sumber Daya Perikanan.
Ketentuan mengenai pungutan Perikanan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Ketentuan mengenai pungutan Perikanan masing-
masing diatur dengan Peraturan Daerah.
141
dan/atau badan hukum asing yang melakukan penelitian Perikanan
di WPPNKRI, wajib menyerahkan hasil penelitiannya kepada
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap
penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing di WPPNKRI. Pengawasan dapat
melibatkan peran serta masyarakat.
Setiap Orang yang melanggar ketentuan diatas dikenai sanksi
administratif. Sanksi administratif meliputi: teguran tertulis, denda
administrati, dan deportasi bagi tenaga kerja asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai
pelaksanaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan penelitian dan pengembangan
Perikanan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
j. Kerjasama Internasional
Untuk menyelenggarakan pengelolaan Perikanan, Pemerintah
Pusat dan/atau Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
141
dapat melakukan kerja sama internasional dengan: pemerintah
negara lain, lembaga atau organisasi internasional di bidang
Perikanan, dan/atau warga negara atau organisasi non-pemerintah
dari negara lain. Kerja sama internasional dapat berupa:
1) publikasi secara berkala hal-hal yang terkait dengan langkah
konservasi dan pengelolaan Sumber Daya Ikan;
2) kerja sama dalam rangka konservasi dan pengelolaan Sumber
Daya Ikan di Laut Lepas, Laut Lepas yang bersifat tertutup atau
semi tertutup, dan wilayah kantong;
3) kerja sama pencegahan dan pemberantasan tindak pidana di
bidang Perikanan;
4) tukar menukar informasi di bidang Perikanan;
5) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang Perikanan;
6) pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan di bidang Perikanan; dan
7) keanggotaan pada badan/ lembaga/organisasi regional dan
internasional di bidang Perikanan.
Kerja sama internasional di bidang Perikanan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara
umum. Ketentuan mengenai kerja sama internasional diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
k. Pengawasan Perikanan
Pengawasan Perikanan dilaksanakan untuk menjamin
tercapainya tujuan penyelenggaraan Perikanan dan terciptanya tertib
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Perikanan. Pengawasan Perikanan dilakukan terhadap:
1) Penangkapan Ikan;
2) Pembudidayaan Ikan;
3) pengolahan Ikan;
4) pemasaran Hasil Perikanan;
5) mutu dan keamanan Hasil Perikanan;
6) produksi, pemasaran, dan penggunaan pakan serta obat Ikan;
7) Konservasi Perikanan; dan
8) penelitian dan pengembangan Perikanan.
Pengawasan Perikanan dilakukan oleh pengawas Perikanan.
Pengawas Perikanan merupakan pegawai negeri sipil yang bekerja di
bidang Perikanan, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Pengawas Perikanan dapat dididik untuk
menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan dan ditetapkan
sebagai pejabat fungsional pengawas Perikanan. Dalam
menyelenggarakan pengawasan Perikanan, pengawas dapat
melibatkan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dapat
berupa perorangan atau kelompok.
Pengawas Perikanan melaksanakan tugas di:
1) WPPNKRI;
2) kapal Perikanan;
3) Pelabuhan Perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk;
4) pelabuhan tangkahan;
5) sentra usaha Perikanan;
6) unit pengolahan Ikan;
7) area pembenihan Ikan;
8) area pembudidayaan Ikan; dan
9) kawasan konservasi perairan.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan pengawas Perikanan
berwenang:
1) memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha Perikanan;
2) memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
Perikanan;
3) memeriksa kegiatan usaha Perikanan;
4) memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan
Perikanan;
5) memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI;
6) mendokumentasikan hasil pemeriksaan;
7) mengambil contoh Ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk
keperluan pengujian laboratorium;
8) memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal
Perikanan;
9) menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap
kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan
tindak pidana Perikanan di WPPNKRI sampai dengan
diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan
tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik;
10) menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin di bidang
Perikanan untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan/atau
11) melakukan tindakan khusus terhadap Kapal Perikanan yang
berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau
membahayakan keselamatan kapal pengawas Perikanan dan/atau
awak kapal Perikanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya wajib menyediakan dan/atau memfasilitasi sarana
dan prasarana pengawasan Perikanan. Dalam melaksanakan
tugasnya, Pengawas Perikanan dapat dilengkapi dengan kapal
pengawas Perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.
Pengawas perikanan dan/atau penyidik dapat melakukan
tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman
Kapal Perikanan yang berbendera asing yang patut diduga telah
melakukan tindak pidana di bidang Perikanan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.
Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal dapat dilakukan dalam hal kapal berbendera
asing berusaha melarikan diri; melakukan perlawanan yang dapat
membahayakan keselamatan kapal, pengawas, dan/atau awak kapal
Perikanan; dan/atau; tidak memiliki SIPI dan SIKPI serta secara
nyata menangkap dan/atau mengangkut Ikan ketika memasuki
WPPNKRI. Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal harus dilakukan dengan tidak menimbulkan
kerusakan terhadap Sumber Daya Perikanan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengawasan Perikanan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
l. Larangan
Setiap Orang dilarang melakukan Penangkapan Ikan dan/atau
Pembudidayaan Ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian Sumber Daya Ikan
dan/atau lingkungannya di WPPNKRI. Larangan menggunakan
bahan
kimia, bahan biologis, alat, cara, dan/atau bangunan untuk
Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan dikecualikan
untuk kepentingan penelitian. Ketentuan mengenai penggunaan jenis
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, dan/atau
bangunan yang dilarang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Setiap Orang dilarang memiliki, menguasai, membawa,
menggunakan alat penangkapan, dan/atau alat bantu Penangkapan
Ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan Sumber Daya
Ikan di kapal penangkap Ikan di WPPNKRI. Ketentuan mengenai
alat penangkapan dan/atau alat bantu Penangkapan Ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan Sumber Daya Ikan diatur
dalam Peraturan Menteri.
Setiap Orang dilarang: a. melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan Sumber Daya Ikan
dan/atau lingkungannya di WPPNKRI; b. membudidayakan Ikan
dan/atau Ikan hasil rekayasa genetik yang dapat membahayakan
Sumber Daya Ikan, lingkungan Sumber Daya Ikan, dan/atau
kesehatan manusia di WPPNKRI; dan c. memproduksi,
mengadakan, mengedarkan, memasarkan, dan/atau menggunakan
pakan dan obat Ikan dalam Pembudidayaan Ikan yang dapat
membahayakan Sumber Daya Ikan, lingkungan Sumber Daya
Perikanan, dan/atau kesehatan manusia di WPPNKRI. Ketentuan
mengenai perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan Sumber Daya Ikan dan/atau lingkungannya,
membudidayakan Ikan dan/atau Ikan hasil rekayasa genetik yang
dapat membahayakan Sumber Daya Ikan, lingkungan Sumber
Daya Ikan, dan/atau kesehatan manusia, dan memproduksi,
memasarkan, dan/atau menggunakan pakan dan obat Ikan dalam
Pembudidayaan Ikan yang dapat membahayakan Sumber Daya Ikan,
lingkungan Sumber Daya Ikan, dan/atau kesehatan manusia diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Setiap Orang dilarang memperdagangkan, memasukkan,
dan/atau mengeluarkan jenis Ikan yang dilarang untuk
diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta menangkap,
mengeluarkan, mengedarkan Ikan yang dilindungi di dalam dan/atau
ke luar WPPNKRI.
Larangan juga diberlakukan bagi setiap Orang yang
menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan
penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia
dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan Ikan. Larangan juga berlaku pada setiap Orang yang
memalsukan SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI; dan/atau menggunakan
SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI palsu.
m. Pengadilan Perikanan
Untuk mengadili tindak pidana di bidang Perikanan dibentuk
pengadilan khusus yang berada di lingkup peradilan umum.
Pengadilan khusus merupakan pengadilan Perikanan yang
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana
di bidang Perikanan. Pengadilan Perikanan berkedudukan di
pengadilan negeri. Pembentukan pengadilan Perikanan dilakukan
secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan
negara. Pembentukan pengadilan Perikanan ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Kewenangan Pengadilan Perikanan berlaku di WPPNKRI.
Yurisdiksi pengadilan Perikanan dibagi berdasarkan yurisdiksi
pengadilan yang berada di WPPNKRI. Pembagian yurisdiksi
pengadilan Perikanan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Dalam hal tindak pidana Perikanan terjadi di WPPNKRI yang
belum memiliki pengadilan Perikanan, tindak pidana Perikanan yang
terjadi diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang
berwenang.
2) Penuntutan
Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang Perikanan
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang Perikanan
dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang Perikanan harus
memenuhi persyaratan berpengalaman menjadi penuntut umum
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; telah mengikuti pendidikan dan
pelatihan teknis di bidang Perikanan; dan cakap dan memiliki
integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.
Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari
penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik
dalam waktu 5 (lima) Hari terhitung sejak tanggal diterimanya
berkas penyidikan. Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan
tidak lengkap, penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara
kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk tentang hal-hal yang
harus dilengkapi. Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari
terhitung sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus
menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut
umum. Penyidikan dianggap telah selesai jika dalam waktu 5 (lima)
Hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada
148
pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut
lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak
tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap,
penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada
pengadilan Perikanan. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut
umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan
selama 20 (dua puluh) hari. Jangka waktu penahanan lanjutan
apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang
berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Ketentuan jangka waktu
penahanan lanjutan dan dapat diperpanjang, tidak menutup
kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka
waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan telah
terpenuhi. Penuntut umum menyampaikan berkas perkara kepada
ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 50 (lima
puluh) Hari sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik
dinyatakan.
Selain alat bukti yang telah di atur di dalam hukum acara
pidana yang berlaku, untuk memudahkan pembuktian pada proses
pemeriksaan di pengadilan dapat menggunakan alat bukti elektronik.
Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang
dihasilkan dari tindak pidana di bidang Perikanan dirampas untuk
negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua
pengadilan negeri. Pengadilan harus menyediakan tempat
penyimpanan barang bukti berupa benda dan/atau alat yang
digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana di
bidang Perikanan yang telah dirampas.
Barang bukti dari hasil tindak pidana di bidang Perikanan
dapat dilelang untuk negara. Barang bukti dari hasil tindak pidana di
bidang Perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya
perawatan yang tinggi dapat dilelang terlebih dahulu dengan
persetujuan ketua pengadilan negeri. Pelaksanaan lelang dilakukan
oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Uang hasil disetor ke kas negara sebagai
penerimaan negara bukan pajak.
3) Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana di bidang Perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara
yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa. Dalam jangka waktu paling lama 50 (lima
puluh) Hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara
dari penuntut umum, hakim harus sudah menjatuhkan putusan.
Putusan perkara dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran
terdakwa.
Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan
berwenang menetapkan penahanan selama 35 (tiga puluh lima) hari.
Jangka waktu penahanan, jika diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua
pengadilan negeri yang bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
Ketentuan tidak menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari
tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan sudah terpenuhi.
Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke
pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) Hari terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi. Untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat banding, hakim berwenang
menetapkan jangka waktu penahanan paling lama 35 (tiga puluh
lima) hari. Jangka waktu penahanan jika diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang
oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan paling lama 10
(sepuluh) hari. Ketentuan waktu penahanan tidak menutup
kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka
waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan di tingkat
banding telah terpenuhi.
Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) Hari terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Untuk
kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi, hakim berwenang
menetapkan jangka waktu penahanan paling lama 35 (tiga puluh
lima) hari. Jangka waktu penahanan jika diperlukan guna
kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang
oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10 (sepuluh) hari.
Ketentuan waktu penahanan tidak menutup kemungkinan terdakwa
dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir
jika kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi telah terpenuhi.
Selain awak kapal yang ditetapkan sebagai tersangka dalam
tindak pidana Perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal
lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan
asing. Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing dilakukan
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian
melalui kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal. Ketentuan
mengenai pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
o. Ketentuan Pidana
Pada bagian ini diatur mengenai pengenaan pidana baik
berupa pidana penjara maupun pidana denda kepada stiap orang
yang melakukan pelanggaran terhadap larangan dan kewajiban yang
ditetapkan dalam batang tubuh RUU, meliputi:
1. Setiap nahkoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang
akan berlayar melakukan Penangkapan Ikan dan/atau
pengangkutan Ikan dari Pelabuhan Perikanan, yang melanggar
kewajiban memiliki surat persetujuan berlayar, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
melakukan Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan
dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat, cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian Sumber Daya Ikan dan/atau
lingkungannya di WPPNKRI, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan memiliki,
menguasai, membawa, menggunakan alat penangkapan,
dan/atau alat bantu Penangkapan Ikan yang mengganggu dan
merusak keberlanjutan Sumber Daya Ikan di kapal penangkap
151
Ikan di WPPNKRI, dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang melanggar larangan melakukan perbuatan
yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan Sumber
Daya Ikan dan/atau lingkungannya di wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
5. Setiap Orang melanggar larangan membudidayakan Ikan
dan/atau Ikan hasil rekayasa genetik yang dapat membahayakan
Sumber Daya Ikan, Lingkungan Sumber Daya Ikan, dan/atau
kesehatan manusia di WPPNKRI, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
6. Setiap Orang melanggar larangan memproduksi, mengadakan,
mengedarkan, memasarkan, dan/atau menggunakan pakan dan
obat Ikan dalam Pembudidayaan Ikan yang dapat membahayakan
Sumber Daya Ikan, lingkungan Sumber Daya Perikanan,
dan/atau kesehatan manusia di WPPNKRI, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
7. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
memperdagangkan, memasukkan, dan/atau mengeluarkan jenis
Ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh
miliar rupiah).
8. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
menangkap, mengeluarkan, mengedarkan Ikan yang dilindungi,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar
rupiah).
9. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan
penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia
152
dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan
pengolahan Ikan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
10. Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar larangan
memalsukan SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI dan/atau menggunakan
SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI palsu, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
11. Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap Ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk
melakukan Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia dan/atau di luar WPPNKRI, yang
melanggar kewajiban memiliki SIPI, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
12. Setiap Orang yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan
berbendera Indonesia di WPPNKRI, yang melanggar kewajiban
membawa SIPI asli, dipidana dengan paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
13. Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkut Ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk
melakukan pengangkutan Ikan di WPPNKRI, yang melanggar
kewajiban memiliki SIKPI, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
14. Setiap Orang yang membangun, memasukkan dari luar negeri,
atau memodifikasi Kapal Perikanan, yang melanggar kewajiban
mendapat persetujuan Menteri, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
15. Setiap Orang yang berkewarganegaraan negara indonesia yang
memiliki Kapal Perikanan yang dioperasikan di WPPNKRI dan
Laut Lepas, yang melanggar kewajiban mendaftarkan terlebih
dahulu sebagai kapal Perikanannya Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
16. Setiap nakhoda yang mengoperasikan Kapal Perikanan yang
akan berlayar melakukan Penangkapan Ikan dan/atau
pengangkutan Ikan dari Pelabuhan Perikanan, yang melanggar
kewajiban memiliki surat persetujuan berlayar, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Dalam ketentuan ini diatur pula mengenai pemberatan. Dalam
hal tindak pidana terkait SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI pemalsuan
persetujuan dan pemalsuan pendaftaran melibatkan pejabat,
pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu
Korporasi, pidana dikenakan terhadap Korporasi dan/atau personil
pengendali Korporasi. Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi jika
tindak pidana:
i. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali
Korporasi;
ii. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan
Korporasi;
iii. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi
perintah; dan/atau
iv. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi Korporasi.
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu Korporasi,
maka Korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. Pidana denda yang
dijatuhkan terhadap Korporasi adalah maksimum pidana denda
ditambah dengan 2/3 (dua per tiga). Selain pidana denda terhadap
Korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pengumuman putusan hakim;
b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
c. pencabutan izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f. pengambilan Korporasi oleh negara.
Dalam ketentuan ini juga diatur pengecualian dalam hal
tindak pidana dilakukan oleh Nelayan Kecil, Nelayan Tradisonal,
dan/atau Pembudi Daya Ikan Kecil, yang jumlah pidananya menajdi
lebih ringan yakni dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana denda, denda
dimaksud wajib disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara
bukan pajak kementerian yang membidangi urusan Perikanan.
Dalam ketentuan ini dibedakan pula antara tindak pidana kejahatan
dan pelanggaran. Adapun Benda dan/atau alat yang dipergunakan
dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana Perikanan dapat
dirampas untuk negara.
p. Ketentuan Peralihan
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. perkara tindak pidana di bidang Perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan Perikanan yang masih dalam tahap penyidikan
atau penuntutan tetap diberlakukan hukum acara yang berlaku
sebelum berlakunya Undang-Undang ini;
b. perkara tindak pidana di bidang Perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan Perikanan yang sudah diperiksa tetapi belum
diputus oleh pengadilan negeri tetap diperiksa dan diputus oleh
pengadilan negeri yang bersangkutan sesuai dengan hukum acara
yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang ini; dan
c. perkara tindak pidana di bidang Perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan Perikanan yang sudah dilimpahkan ke
pengadilan negeri tetapi belum mulai diperiksa dilimpahkan
kepada pengadilan Perikanan yang berwenang.
q. Ketentuan Penutup
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);
dan
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
45 Tahun 2009 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Semua Peraturan Pemerintah yang diamanatkan untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Semua
Peraturan Menteri yang diamanatkan untuk melaksanakan ketentuan
Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar Setiap Orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan
Negara Kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari
wilayah perairan (laut) yang sangat luas dengan potensi perikanan
yang sangat besar dan beragam. Potensi perikanan yang dimiliki
merupakan kekayaan negara dan sebagai potensi ekonomi yang
dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang
punggung pembangunan nasional.
Merujuk kepada hal itu, potensi perikanan yang ada di perairan
Indonesia tentunya perlu dikelola secara sinergis oleh seluruh
pemangku kepentingan. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya
perlu digawangi oleh pembentukan dan implementasi berbagai
kebijakan, regulasi, dan koordinasi lintas sektor yang sinergis.
Sampai dengan saat ini sinergitas yang dibutuhkan tersebut
dirasakan masih menyisakan ruang untuk penyempurnaan.
Untuk mewujudkan sinergi kebijakan di bidang perikanan,
harus merujuk kepada salah satunya usaha optimalisasi sumberdaya
perikanan yang ada demi kepentingan nasional. Hal tersebut tentu
akan membutuhkan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan.
Sebagai salah satu gambaran dibutuhkannya sinergi tersebut adalah
fakta bahwa dalam pembangunan perikanan, harus tetap memelihara
kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Para pelaku industri
penangkapan dan pembudidayaan ikan tidak boleh hanya
mengutamakan jumlah hasil perikanan yang maksimal untuk
keuntungan finansial, namun mengacuhkan peran lingkungan
perikanan yang menopang keberlanjutan industri perikanan di masa
datang.
Selain itu, sinergi juga dibutuhkan antar pemangku
kepentingan ketika sektor industri perikanan perlu ditata secara
menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor yang terkait
dalam suatu keutuhan usaha perikanan yang saling menunjang dan
saling menguntungkan baik yang berskala kecil, menengah, dan
besar.
Terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan,
seharusnya tidak berhenti kepada pelaku di lapangan tetapi juga
menyangkut kepada korporasi. Upaya penegakan hukum di bidang
perikanan harusnya lebih maju. Selain menimbulkan efek jera,
penegakan hukum tersebut juga harus memberikan sanksi ganti rugi
yang efektif untuk memulihkan sumber daya perikanan melalui ganti
kerusakan sumber daya ikan.
Adapun lingkup pengaturan dalam RUU Perikanan
mencakup perencanaan Perikanan, pengelolaan Perikanan, usaha
Perikanan, kapal dan pelabuhan/kesyahbandaran Perikanan,
sistem data dan informasi Perikanan, pungutan Perikanan,
penelitian dan pengembangan Perikanan, pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan Perikanan, Konservasi Perikanan, kerja sama
internasional, pengawasan Perikanan, larangan, pengadilan
Perikanan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan Perikanan, larangan, dan sanksi.
B. Saran
Penyempurnaan UU Perikanan sangat diperlukan sebagai
jawaban dari perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum
yang terjadi terkait dengan penyelenggaraan perikanan. Oleh karena
itu, penyusunan NA Perikanan ini diharapkan dapat menjadi
pedoman, acuan, dasar dalam penyusunan dan pembahasan RUU
Perikanan Komisi IV DPR bersama dengan Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Djoko Tribawono, 2013, Hukum Perikanan Indoneisia Edisi Revisi,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Johanes Widodo dan Suadi, 2008, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Laut, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Subdirektorat Pengembangan Standardisasi dan Klasifikasi Statistik,
2012, Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2012 Buku I
.Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Arif Satria, 2015, Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sartini, 2009, Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel
Press.
Satjipto Rahardjo, Masalah penegakan hukum suatu tinjauan
sosiologis, Bandung: CV. Sinar Baru.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kelautan, UU Nomor 32
Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 294, TLN Nomor 5603.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah,
UU Nomor 23 Tahun 2014, LN Tahun 2014 Nomor 244, TLN
Nomor 5587.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 1 Tahun 2014, LN
Tahun 2014 Nomor 2, TLN Nomor 5490.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU
Nomor 45 Tahun 2009, LN Tahun 2009 Nomor 154, TLN 5073.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pengesahan UNCLOS
1982, UU Nomor 21 Tahun 2009.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pelayaran, UU Nomor
17 Tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 64, TLN 4849.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, UU Nomor 16 Tahun
2006, LN Tahun 2006 Nomor 92, TLN Nomor 4660.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Tentara Nasional
Indonesia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004, LN Tahun 2004
Nomor 126, TLN 4438.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2002, LN Tahun 2002
Nomor 2, TLN Nomor 4168.
Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Perairan Indonesia, UU
Nomor 6 Tahun 1996.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan,
dan Tumbuhan, UU Nomor 16 Tahun 1992, LN Tahun 1992
Nomor 56, TLN Nomor 3482.
160
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang tentang Zona Ekonomi
Ekslusif, UU Nomor 5 Tahun 1983.
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Bagi Hasil Perikanan,
UU Nomor 16 Tahun 1964.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Jenis Dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak, PP Nomor 75
Tahun 2015.
Republik Indonesia, Peraturan Daerah Provinsi Maluku tentang
Retribusi Perizinan Tertentu, Perda Provinsi Maluku Nomor 15
Tahun 2013.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pemanfaatan Kapal
Perikanan, Keppres Nomor 14 Tahun 2000.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Tentang Rencana Strategis Kementerian
Kelautan Dan Perikanan Tahun 2015-2019, Permen-KP Nomor
25 Tahun 2015.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Tentang Estimasi Potensi, Kepmen KP Nomor
47 Tahun 2016.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
tentang Tata Cara Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan
dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan,
Kepmen 58/2001.
Internet
Antara, PDB Sektor Perikanan Makin Tumbuh pada Triwulan I
2016 ,
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/04/090759733/pdb-
sektor-perikanan-makin-tumbuh-pada-triwulan-i-2016, diakses
tanggal 30 September 2016.
Lili Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Masyarakat
Hukum Adat dalam Pengelolaan Sumber daya Alam di Wilayah
Pesisir laut, diakses 5 Oktober
2016, http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/364-
perlindungan-hukum-terhadap-hak-hak-masyarakat-hukum- adat-
dalam-pengelolaan-sumber-daya-alam-di-wilayah-pesisir- dan-laut