Anda di halaman 1dari 33

Makalah

MELAKSANAKAN PANCASILA DI ORDE


REFORMASI

OLEH:

RONALD RONNY
E1 A1 07 013

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah
Rekayasa/Penyehatan Lingkungan ini tepat pada waktu yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “Melaksanakan Pancasila Di Orde Reformasi” ini
memuat tentang hal-hal yang menyangkut tentang pelaksanaan Pancasila.
Dalam penyusunan makalah ini penyusun mendapat banyak bantuan dari
berbagai pihak. Olehnya itu dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik segi moril maupun
materil.
Akhirnya, penyusun menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Olehnya itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
penyusun harapkan demi pembuatan makalah selanjutnya di kemudian hari.
Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca pada umumnya dan bagi penyusun sendiri pada khususnya.

Kendari, Oktober 2011

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................


DAFTAR ISI ...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................
B. Maksud dan Tujuan ............................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Pancasila Dalam Kehidupan Bernegar .........................
B. Sosialiasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Tiga Pendekatan...................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di era reformasi ini ada gejala Pancasila ikut “terdeskreditkan” sebagai bagian
dari pengalaman masa lalu yang buruk. Sebagai suatu konsepsi politik Pancasila
pernah dipakai sebagai legitimasi ideologis dalam membenarkan negara Orde Baru
dengan segala sepak terjangnya. Sungguh suatu ironi sampai muncul kesan di masa
lalu bahwa mengkritik pemerintahan Orde Baru dianggap “anti Pacasila“.
Di sisi lain, rezim reformasi sekarang ini juga menampakkan diri untuk
“malu-malu” terhadap Pancasila. Jika kita simak kebijakan yang dikeluarkan ataupun
berbagai pernyataan dari pejabat negara, mereka tidak pernah lagi mengikutkan kata-
kata Pancasila. Hal ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hampir setiap
pernyataan pejabatnya menyertakan kata – kata Pancasila.
Saat ini orang mulai sedikit- demi sedikit membicarakan kembali Pancasila
dan menjadikannya sebagai wacana publik. Beberapa istilah baru diperkenalkan
untuk melihat kembali Pancasila.
Berdasar uraian di atas menunjukkan bahwa di era reformasi ini elemen
masyarakat bangsa tetap menginginkan Pancasila meskipun dalam pemaknaan yang
berbeda dari orde sebelumnya. Demikian pula negara atau rezim yang berkuasa tetap
menempatkan Pancasila dalam bangunan negara Indonesia. Selanjutnya juga
keinginan menjalankan Pancasila ini dalam praktek kehidupan bernegara atau lazim
dinyatakan dengan istilah melaksanakan Pancasila. Justru dengan demikian
memunculkan masalah yang menarik yaitu bagaimana melaksanakan Pancasila itu
dalam kehidupan bernegara ini.
Permasalahan ini menarik tetapi juga membosankan oleh karena ada kesan
diulang-ulang bahkan sejak Orde Baru yang dengan masif-nya menggelorakan
perlunya Pancasila dilaksanakan, diamalkan dan dihayati oleh segenap elemen
bangsa. Akhirnya orang menjadi bosan dengan retorika pengamalan Pancasila.
Namun demikian permasalahan ini penting untuk diketahui karena memang Pancasila
tetap dibutuhkan dalam kehidupan bernegara. Orde sekarang tidak ingin kembali pada
pengamalan Pancasila orde sebelumnya yang telah dianggap gagal tetapi juga belum
menemukan bentuk pengamalan lain yang dirasakan cocok dengan pemaknaan baru
atas Pancasila sekarang ini. Jadi sekarang ini dibutuhkan bentuk-bentuk pelaksanaan
baru atas Pancasila dalam kehidupan bernegara dengan mensyaratkan tidak
menjadikan Pancasila “berlebih-lebihan” tetapi juga tidak menjadikannya
“terdeskreditkan” secara jauh. Pancasila hendaknya dilaksanakan secara wajar dan
benar dalam kehidupan bernegara Indonesia.

B. Maksud dan Tujuan


Makalah ini ingin menggambarkan sekaligus mengusulkan bagaimana
melaksanakan Pancasila secara wajar sesuai dengan konteks pemaknaan Pancasila
dan dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia era reformasi. Tulisan juga
berupaya menyajikan bagaimana bentuk keterlibatan warganegara dalam pelaksanaan
Pancasila itu.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara


Mengapa dalam wacana publik sejarang ini, orang leluasa untuk memaknai
kembali kembali dengan sudut pandangnya masing-masing tetapi kemudian berhenti
ketika sampai pada bagaimana Pancasila itu dilaksanakan? Ternyata sebagai suatu
konsep teoritik, Pancasila seakan tiada habis untuk dibicarakan, namun selanjutnya
dalam tataran praktis, publik sulit untuk melanjutkan. Akhirnya timbul kesan bahwa
Pancasila memang hanya untuk disuarakan, bergema sebatas dalam wacana saja yang
ujungujungnya menjadi retorika ulangan.
Menanggapi hal ini, Saafroedin Bahar (2007) mengakui bahwa tidaklah
mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila. Menurutnya ada tiga hal yang
menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini
elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung dibawa ke hulu, yaitu ke tataran
filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar
dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta
kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu.
Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada
bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara
fungsional ke arah yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab pertama dapat kita telusuri pada pengalaman Orde Baru dalam
memaknai Pancasila. Telah terjadi proses ideologisasi terhadap Pancasila selama
masa Orde baru. Pancasila yang pada mulanya adalah sebuah kesepakatan politik atau
platform demokratis bagi semua golongan di Indonesia berubah menjadi ideologi
yang benar-benar komprehensif integral yang khas yang berbeda dengan ideologi lain
(Nasution. 1993). Dalam masa Orde Baru terjadi mistifikasi Pancasila (Somantri.
2006) atau Pancasila dipahami sebagai sebuah mitos (Santoso. 2003).
Sebab kedua, adalah dengan dijadikannya Pancasila sebagai wacana publik
maka pemaknaan Pancasila itu sendiri menjadi amat terbuka lengkap dengan
argumentasi akademiknya masing- masing. Pancasila bagi para ahli filsafat misal
Notonagoro, Abdulkadir Besar, dan Driyakarya dikatakan sebagai konsepsi
filsafatnya bangsa Indonesia. Pemaknaan ini yang digunakan selama masa Orde Baru.
Pancasila telah dilepaskan dari sejarah kelahirannya serta keterikatannya dengan
bangunan kenegaraaan Indonesia.
Sebab ketiga adalah benar adanya bahwa banyak sekali wacana publik
terutama akademik yang berbicara tentang Pancasila akhir-akhir ini, namun sayang
sekali pembicaraan mereka tidak banyak memberi perhatian tentang bagaimana cara
melaksanakan Pancasila itu. Pembicaraan hanya berkutat pada masalah isi makna
Pancasila, keprihatinan akan Pancasila, atau perlunya Pancasila dalam kehidupan
bernegara.
Sebab pertama dan kedua saling bertautan. Dengan menjadikan Pancasila
sebagai konsep filsafat sesungguhnya telah membawa Pancasila pada tataran filsafati,
metafisika, teologis bahkan tataran mitos yang semakin abstrak dan tidak ada titik
temu. Pancasila semakin terpisah dari bangun negara Indonesia dan sulit dicarikan
core value sesungguhnya dalam konteks bernegara. Akibatnya muncul sebab yang
ketiga yaitu orang menikmati saja perdebatan dalam makna Pancasila yang berbeda-
beda itu dan segan untuk membicarakan cara pelaksanaannya karena hal yang abstrak
itu memang sulit untuk diturunkan.
Oleh karena itu Saafroedin Bahar (2007) menyarankan bahwa upaya
menemukan konsepsi dasar dari Pancasila dan penjabarannya tidak dapat dan tidak
boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses
perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang
tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian lima
sila Pancasila tetap terkait langsung dengan konteks kehidupan bernegara Indonesia.
Berdasar hal itu maka pemaknaan Pancasila tidak bisa lepas dari pemaknaan sejarah
(interpretasi historis) yaitu pada kata “ proses perumusan” dan pemaknaan secara
yuridis (interpretasi yuridis) merujuk pada kata “pasal-pasal yang tercantum”.
Dari sisi historis, Pancasila berisikan gagasan atau ide untuk menjawab
sejumlah persoalan dasar sebuah bangsa yang hendak merdeka. Sekaligus pula
gagasan yang berhasil dirumuskan ini menjadi gagasan bersama dalam arti diterima
sebagai bentuk kesepakatan di atas gagasangagasan lain tentang kehidupan
berbangsa. Dalam kaitan ini oleh sebagian kalangan, Pancasila merupakan suatu
common platform atau platform bersama bagi berbagai ideologi politik yang
berkembang saat itu di Indonesia atau titik temu seluruh segmen masyarakat
Indonesia untuk saling bertemu dan bekerjasama (Nasution. 1995, Ismail 1999).
Pancasila merupakan kontrak sosial (Onghokham. 2001). Pancasila merupakan
konsepsi politik (Agus Wahyudi dalam http://filsafat.ugm.ac.id/aw)
Isi dari gagasan atau ide mengenai Pancasila sesungguhnya merupakan
jawaban prinsipal atas persoalan dasar kebangsaan Indonesia kala itu sebagai berikut:
1. Masalah pertama apa negara itu?. Masalah ini dijawab dengan prinsip kebangsaan
Indonesia
2. Masakah kedua, bagaimana hubungan antar bangsa – antar negara ? Masalah ini
dijawab dengan prinsip perikemanusiaan
3. Masalah ketiga siapakah sumber dan pemegang kekuasaan negara ? Masalah ini
dijawab dengan prinsip demokrasi ?
4. Masalah keempat, apa tujuan negara ? Masalah ini dijawab dengan prinsip negara
kesejahteraan.
5. Masalah kelima, bagaimana hubungan antar agama dan negara ? Masalah ini
dijawab dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.
(Syarbaini. 2003)
Pancasila dalam interpretasi yuridis merupakan norma-norma dasar bernegara.
Dalam ilmu hukum disebut Grundnorm atau Staatfundamentalnorm. Sesuai dengan
teori jenjang norma (stufentheorie) dari Hans Nawiasky, norma-norma dasar tentang
kehidupan bernegara itu dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi,
ditindaklanjuti dalam undang-undang , peraturan pelaksanaan serta kebijakan
pemerintahan lainnya. Dengan demikian penjabaran Pancasila dan upaya
menjabarkan gagasan dasar Pancasila secara yuridis adalah kedalam konstitusi negara
dalam hal ini pasal-pasal dalam UUD 1945. Pasal-pasal itu selanjutnya dijabarkan ke
dalam pelbagai undang-undang. Jadi norma dasar Pancasila dijabarkan ke dalam
norma hukum negara yaitu UUD 1945.
Dari kedua pemaknaan itu, menurut hemat penulis, pemaknaan secara historis
ini lebih banyak mengundang tafsir luas dan beragam jika dibanding penafsiran
yuridis. Dikarenakan konteks jaman yang berubah, maka kelima gagasan-gagasan
dasar tersebut bisa mengembang pemaknaannya dikaitkan dengan persoalaan
kebangsaan dewasa ini yang semakin kompleks. Orang bisa dengan leluasa
menginterpresikan lima gagasan sesuai dengan konteks jaman bahkan
kepentingannya sebagaimana pernah berlaku pada orde-orde pemerintahan
sebelumnya. Namun jika kita merujuk pada sejarah, gagasan dasar itu dipandang
tetap kontekstual dan mampu memberi jawaban atas persoalan kebangsaan. Menurut
Susilo Bambang Yudhoyono jawaban itu bisa kita dapatkan kembali dengan cara
merefleksi yaitu mengikuti jalan pikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang dianggap
masih tetap relevan dan juga masih tetap menjadi kerangka dan sumber inspirasi dan
solusi menghadapi permasalahan kebangsaan dewasa ini. (Pidato kenegaraan, 1 Juni
2006). Karena itu untuk menghindari pemaknaan yang bisa meluas bahkan beragam
mengenai Pancasila kita bisa kembali pada pemaknaan gagasan dasar Pancasila
ketika pertama kali dimunculkan.
Jadi gagasan tentang kebangsaan, perikemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan
dan prinsip Ketuhanan atau sekarang sesuai dengan urutan sila sila Pancasila yaitu
Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan adalah core values –
nya bangsa dan menjadi sumber inspirasi dan solusi manakala kelima masalah
kebangsaan itu muncul kembali. Prinsip prinsip Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan ini penting untuk diketahui, dimengerti dan dipahami oleh
segenap elemen bangsa. Pada konteks inilah kita berbicara bagaimana nilai-nilai
dasar Pancasila dapat diterima dan disosialisasikan kepada semua warganegara baik
warganegara biasa (rakyat) dan terlebih lagi warganegara yang sedang menjalankan
pemerintahan (pejabat negara). Nilai dasar yang dihayati warganegara ini nantinya
bisa menjadi norma etik bernegara yang dapat dijadikan acuan bagi penyelesaian
masalah kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pemaknaan yuridis, nilai dasar Pancasila yang terimplementasikan ke
dalam hukum dasar negara maupun perundang – undangan negara bisa mengarahkan
hukum Indonesia agar sesuai dengan cita hukum Indonesia. Menurut pendapat S
Attamimi (1991), Pancasila pada konteks hukum adalah sebagai cita hukum yang
memiliki dua fungsi yaitu;
a) fungsi regulatif artinya cita hukum menguji apakah hukum yang dibuat adil atau
tidak adil bagi masyarakat
b) fungsi konstitutif artinya fungsi yang menentukan bahwa tanpa dasar cita hukum
maka hukum yang dibuat akan kehilangan maknanya sebagai hukum
Norma –norma hukum yang meliputi pelbagai peraturan perundangundangan
negara Indonesia yang berpuncak pada UUD 1945 inilah yang mengatur tertib
penyelenggaraan bernegara termasuk kehidupan warganegara. Berkaitan dengan hal
ini maka yang diperlukan adalah kesadaran hukum warganegara baik rakyat negara
ataupun penyelenggara negara untuk terlibat yang meliputi; mentaati peraturan
perundangan yang berlaku, memberi masukan bagi proses penyusunan hukum dan
mengawasi termasuk memberi penilaian terhadap hukum yang berlaku. Agar
kesadaraan hukum ini menguat maka diperlukan sosialisasi yang luas pula pada
segenap elemen bangsa.
Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Pancasila
termasuk penjabarannya dalam konteks kehidupan bernegara Indonesia mencakup
dua hal. Pertama, menjabarkannya nilai dasar Pancasila itu kedalam norma etik
bernegara yang berisikan seperangkat lima gagasan dasar yang bisa menjadi sumber
inspirasi dan solusi bagi masalah kebangsaan Indonesia. Kedua, menjabarkan lima
nilai dasar Pancasila itu kedalam norma hukum bernegara yaitu aturan perundangan-
undangan negara dimana isi materinya tidak bertentangan dengan Pancasila itu
sendiri. Untuk berjalannya kedua itu dibutuhkan pemahaman yang luas pada segenap
warganegara baik rakyat maupun penyelenggara negara melalui proses sosialisasi
termasuk proses pendidikan Pancasila.

B. Sosialiasi Nilai Nilai Pancasila Dalam Tiga Pendekatan


Gagasan atau nilai-nilai dasar Pancasila itu memang perlu disosialisasikan
kepada segenap warganegara Indonesia oleh karena berfungsinya dalam praktek
bernegara membutuhkan dukungan warganya. Bagi warganegara biasa dukungan itu
berbentuk penerimaan terhadap nilai nilainya, internalisasi nilai yang selanjutnya
menjadi acuan penyelesaian soal kebangsaan dan kemampuan kritis jika terjadi
penyimpangan pelaksanaan penyelenggaraan bernegara. Bagi warganegara selaku
penyelenggara negara, sebagai sumber inspirasi bagi pembuatan kebijakan dan
menjadi tauladan warga dalam bernegara. Oleh karena itu kesadaran etik maupun
kesadaran hukum yang mencerminkan nilai Pancasila amat penting dimiliki oleh
semua warganegara Indonesia. Sosialisasi nilai Pancasila bisa dilakukan melalui
pendidikan Pancasila.
Orde Baru sebenarnya memiliki pengalaman yang kaya dalam hal
mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila termasuk melakukan pendidikan Pancasila
kepada warganegara. Pada bidang pendidikan formal waktu itu pendidikan Pancasila
dikemas melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), mata pelajaran
PPKn dan matakuliah Filsafat Pancasila di perguruan tinggi. Undang-undang No 2
tahun 1989 juga mengamanatkan bahwa kurikulum semua jenjang wajib berisikan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Di bidang kemasyarakatan atau jakur
non formal, sosialisasi Pancasila dikemas melalaui penataran P4. Namun setelah
berjalan sampai pada berakhirnya Orde Baru, pendidikan Pancasila model Orde Baru
ini dianggap gagal.
Beberapa kalangan menilai bahwa Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang bertujuan membentuk budi pekerti luhur telah gagal
mencapai sasaran. Pendidikan yang sudah dilaksanakan puluhan tahun itu hanya
menghasilkan warga negara yang kurang bertanggung jawab dan bahkan mematikan
hati nurani. Tidak tercapainya tujuan pendidikan Pancasila, disebabkan sistem
pengajaran yang keliru. Pendidikan Pancasila berlangsung unilateral, datang dari
negara, dan tidak memungkinkan munculnya perbedaan pendapat. Sistem itu
menghasilkan warga negara yang tidak cerdas karena pendidikan dilakukan otoriter
demi kepentingan penguasa. Pendidikan Pancasila yang dilakukan doktriner berakibat
fatal. Pancasila setelah dikemas dalam Pendidikan Moral Pancasila justru mematikan
hati nurani generasi muda karena tanpa disertai keteladanan (Kompas, Kamis, 16 Juni
2005). Pelajaraan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Mata Kuliah
Dasar Umum (MKDU) Pancasila, serta Kewiraan telah gagal melakukan sosialisasi
dan diseminasi demokrasi. Kegagalan ini setidaknya bersumber pada tiga hal.
Pertama, secara substantif PPKn, Pancasila dan Kewiraan tidak secara terencana dan
terarah mencakup materi dan pembahasan yang lebih terfokus pada pendidikan
demokrasi dan kewarganegaraan. Tidak heran kalau materi-materi yang ada
umumnya terpusat pada pembahasan yang bersifat idealistik, legalistik, dan normatif.
Kedua, meskipun materinya potensial untuk pendidikan demokrasi dan
kewarganegaraan, tetapi tidak bisa berkembang karena pendekatan dalam
pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif (bersifat kekuasaan), monologis,
dan tidak partisipatif. Ketiga, substansi pelajaran itu lebih teoritis. Tidak heran kalau
terdapat kesenjangan yang jelas antara teoritis dan wacana yang dibahas dengan
realitas sosial politik yang ada. (Kompas , Kamis, 18 Oktober 2001). Penataran P4
juga dianggap gagal. Dinyatakan bahwa ternyata penataran P4 yang sudah dilakukan
sekitar dua dekade ini tidak mampu mengubah perilaku mereka yang telah ditatar
termasuk para penatarnya sendiri. Dilihat dari hasilnya selama ini Penataran P4 hanya
membuang-buang uang negara dan merupakan kegiatan indoktrinasi mental yang
kosmetik. Penataran P4 telah menjadi kontra produktif ketika keteladanan dari
pimpinan makin sirna dan moral aparat ambruk karena mereka sudah mabuk dengan
kekuasaan dan kekayaan serta KKN menjadijadi. (Suara Pembaruan, 3 Juni 1998)
Namun demikian dengan kegagalan tersebut bukan berarti sosialisasi dan
pendidikan akan nilai-nilai Pancasila tidak dianggap penting kemudian dihentikan. Di
era reformasi ini, ada keinginan untuk bagaimana mensosialisasi nilai dasar Pancasila
namun tidak terjebak dalam kesalahan yang sama. Hal ini timbul oleh karena
kegelisahan terhadap munculnya berbagai efek buruk perilaku warga bangsa yaitu
perilaku melanggar etika sosial kebangsaan maupun pelanggaran hukum. Sepuluh
rektor perguruan tinggi di Yogyakarta mendesak pemerintah dan seluruh lembaga
pendidikan di Indonesia untuk melakukan reaktualisasi pendidikan Pancasila
(www.ugm.ac.id). Pendidikan Pancasila yang sedikitnya berisikan 36 butir nilai pada
lima sila perlu diajarkan dalam kegiatan ekstrakulikuler bagi siswa SD sampai
SMA/SMK agar mereka mempunya jiwa, watak, kepribadian patriotik dan nasionalis
yang kuat sesuai nilai luhur Pancasila (Antara, 09 Juli 2008)
Oleh karena itu perlu disusun reaktualisasi akan bentuk pendidikan Pancasila
dengan beberapa pembatasan. Pertama, mendasarkan pada pemaknaan baru atas
Pancasila, strategi pendekatan yang berpijak pada warganegara, keterlibatan negara
yang minimal dan tidak ingin mengulang kesalahan masa lalu. Reaktualisasi
pendidikan Pancasila ini akan berhasil dengan melalui tiga jalur pendekatan
pengembangan yaitu pendekatan pengembangan pendidikan pembelajaran (psyco-
paedagogic development), pengembangan sosial budaya (socio-cultural development)
dan pengembangan yang dipengaruhi oleh kekuasaan (socio- political intervention).

1. Pengembangan Pendidikan Pembelajaran (Psyco-Paedagogic Development)


Psyco paedagogic development adalah pendekatan yang berasumsikan bahwa
pengembangan nilai akan berhasil apabila nilai tersebut diinternalisasikan ,
ditanamkan atau dididikkan pada diri peserta didik. Sosialisasi nilai tersebut
berlangsung dalam proses yang disengaja, direncanakan, dan sistematis. Pendekatan
ini umumnya dilakukan pada lingkup dan jalur pendidikan formal seperti sekolah,
madrasah dan perguruan tinggi. Namun demikian keberhasilan sosialisasi melalui
pendekatan ini masih tergantung pada faktor-faktor lain seperti materi, metode
pembelajarannya dan kualitas pemberi dan penerima sosialisasi.
a. Filsafat pendidikan yang melandasi
Terkait dengan materi dan metode pembelajaran nilai-nilai Pancasila ini maka
perlu dikaitkan pula dengan filsafat pendidikan yang dianut. Sebab penggunaan
filsafat pendidikan yang relevan tentu saja amat berpengaruh bagi keberhasilan dalam
memaknai nilai Pancasila dan metode pembelajarannya. Filsafat pendidikan adalah
filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan yang bila
dihubungkan dengan makalah ini adalah masalah nilai Pancasila dan metode
pembelajarannya. Beberapa aliran filsafat pendidikan adalah filsafat pendidikan
progresivisme yang didukung oleh filsafat pragmatisme; filsafat pendidikan
perenialisme yang didukung oleh idealisme; filsafat pendidikan esensialisme yang
didukung oleh idealisme dan realisme; dan aliran rekonstruksionisme.
(http://fadliyanur.blogspot.com)
1) Progressivisme
Progressivisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat sekitar
abad ke-20. Filsafat progressivisme bermuara pada aliran filsafat pragmatisme
yang di perkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1885
1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
Progressivisme didasari oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme dengan azas
utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk terus survive (mempertahankan
hidupnya) terhadap semua tantangan, dan memandang sesuatu dari segi
manfaatnya. Oleh karena itu filsafat progresivisme tidak mengakui kemutlakan
kehidupan, menolak absolutisme dan otoriterisme dalam segala bentuknya. Nilai-
nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan. Dalam bidang
pendidikan filsafat ini meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan
kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan baik secara fisik maupun cara
berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam
dirinya, tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena
itu filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Kebudayaan
dipandang sebagai hasil budi manusia, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik
manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Nilai-nilai
yang dianut dipandang bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan. Maka
pendidikan sebagai usaha manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan itu
haruslah sejiwa dengan kebudayaan itu. Untuk itu pendidikan sebagai alat untuk
memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan
situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna dan corak
dari output (keluaran) yang berupa manusia manusia yang berkualitas unggul,
berkompetitif, insiatif, adaptif dan kreatif sanggup menjawab tantangan
zamannya.
2) Perenialisme
Filsafat perenialisme terkenal dengan bahasa latinnya Philosophia Perenis.
Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Plato, Aristoteles, kemudian
dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas dalam abad ke-13. Perenialisme berasal dari
kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme lahir sebagai
suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Dalam
pendidikan, kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak
menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih
bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku
pendidik. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme
memberikan jalan keluar yaitu kembali kepada kebudayaan masa lampau yang
dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya. Perenialisme berpandangan
bahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah
pada jiwanya. Sedangkan perbuatan manusia merupakan pancaran isi jiwanya
yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan. Secara teologis, manusia perlu
mencapai kebaikan tertinggi, yaitu nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan
Tuhan. Untuk dapat sampai kesana manusia harus berusaha dengan bantuan akal
rationya yang berarti mengandung nilai kepraktisan.Menurut Aristoteles,
kebajikan dapat dibedakan: yaitu yang moral dan yang intelektual. Kebajikan
moral adalahkebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan
dasar dari kebajikan intelektual. Jadi, kebajikan intelektual dibentuk oleh
pendidikan dan pengajaran. Kebajikan intelektual didasari oleh pertimbangan dan
pengawasan akal. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi
yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada
potensi itu agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa
terpenuhi. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi
pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi. Ide-ide Plato ini kemudian
dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia
kenyataan, Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah "kehahagiaan". Untuk
mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus di
kembangkan secara seimbang. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan akal
budi supaya anak didik dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan hidup itu
sendiri. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan
pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal
sehat.
3) Esensialisme
Esensialisme adalah filsafat pendidikan yang di dasarkan kepada nilainilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme
didukung oleh idealisme obyektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada
hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti
spiritual. Esensialisme juga didukung realisme yang berpendapat bahwa kualitas
nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh
subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut. Idealisme
modern yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, pandangan-
pandangannya bersifat spiritual sedangkan realisme modern, sebagai eksponen
yang lain, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik. Alam
adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan
pangkal berfilsafat. Maka anggapan mengenai adanya kenyataan bukan hanya
dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya. Bahwa
nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian
dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun
idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui
bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri
(memilih, melaksanakan). Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah
bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan
kekuatannya sepanjang masa.
4) Rekonstruksionisme
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu
aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang bercorak modern. Kata rekonstruksionisme dalam bahasa
Inggeris rekonstruct yang berarti menyusun kembali. Aliran rekonstruksionisme,
pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan
adanya krisis kebudayaan modern. Keduanya memandang bahwa keadaan
sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh
kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran. Jika perenialisme berupaya
dengan jalan kembali pada kebudayaan lama, maka aliran rekonstruksionisme
menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus yang paling luas
dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia. Untuk
mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan
antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan
manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan
lembaga pendidikan perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang baru, dan untuk mencapai tujuan utama tersebut
memerlukan kerjasama antar ummat manusia. Dalam proses pendidikan,
pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina
kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar
pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk
dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Sosialisasi nilai dasar Pancasila dan proses pembelajarannya akan memiliki
keberhasilan bermakna manakala berpijak pada filsafat pendidikan yang tepat
digunakan. Dalam hal ini aliran progresivisme bisa dianggap menciptakan
kegagalan pendidikan Pancasila. Progresivisme memandang suatu nilai itu baik
jika itu bersifat pragmatis, berguna langsung dalam kehidupan terlebih pada
kehidupan material seperti sekarang ini. Padahal nilai-nilai Pancasila bukanlah
nilai nilai material, nilai-nilai Pancasila tidak bisa untuk mencari kerja, atau
mendapatkan ketrampilan. Jadi dari sisi pragmatisme tidak menguntungkan.
Karena itulah mengapa anak muda sekarang ini segan atau malas belajar
Pancasila karena dianggap tidak berguna untuk mencukupi kebutuhan
materialnya. Paham yang berkembang sekarang ini adalah progresivisme yang
didukung oleh pragmatisme. Aliran rekonstruktivisme juga tidak tepat , oleh
karena sesungguhnya aliran ini sebagai kelanjutan dari progresivisme. Nilai-nilai
dasar Pancasila sampai saat sekarang ini adalah kesepakatan bersama bangsa
sebagaimana dalam Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998. Ada konsensus
nasional yang di era reformasi ini tidak akan dilakukan perubahan yaitu :
Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
Bhineka Tunggal Ika. Jika kita merekonstruksi kesepakatan akan nilai Pancasila
berarti kita memulai lagi kehidupan bernegara. Dalam pendidikan, tidak harus
semua warisan kebudayaan ditata ulang karena ada krisis kebudayaan sebab ada
hal-hal baik yang masih bisa diteruskan.
Filsafat perenialisme tidak sepenuhnya bisa digunakan dalam memandang
pendidikan Pancasila. Nilai atau gagasan dasar Pancasila bukanlah nilai-nilai
abadi, bukan nilai spiritual manusia Indonesia sebagai pancaran dari Tuhan.
Gagasan dasar Pancasila adalah hasil sejarah dan pergulatan pemikiran bangsa
ketika menghadapi persaoalan kebangsaan kala itu. Persoalan kebangsaan
berkembang dan semakin komplek dan gagasan dasar sebagai jawabannya harus
terus dikembangkan sehingga mampu menjawab tantangan itu. Karena itu kita
berbicara bahwa nilai dasar Pancasila bersifat terbuka yang menurut Franz
Magnis Suseno (2001) memiliki tiga ciri yaitu (1) bahwa nilai-nilai tidak berasal
dari luar dari moral , budaya masyarakat itu sendiri (2) dasarnya bukan keyakinan
ideologis sekelompok orang melainkan hasil musyawarah dari konsensus
masyarakat tersebut dan (3) nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja
sehingga tidak langsung operasional. Namun demikian Pancasila tetap dipandang
sebagai hasil budaya bangsa yang tinggi nilai dan keberadaannya bagi
kelangsungan hidup bernegara. Pendidikan nilai Pancasila merupakan pendidikan
tentang karya luhur para pendahulu bangsa yang tetap kontekstual untuk
permasalahan dewasa ini.
Oleh karena nilai dasar Pancasila perlu kita kontekstualisasikan dengan
persoalan kebangsaan yang senantiasa berubah maka, pendidikan Pancasila harus
pula mampu melihat persoalan itu sebagai realitas dan menjadi isi
pembelajarannya. Anak didik diperkenalkan dengan realitasrealitas yang ada
secara obyektif yang kemudian dianalisis dengan ide-ide dasar Pancasila.
Kenyataan (realitas) dipertemukan dengan gagasan (idealisme) untuk
mendapatkan penyelesaian. Dengan demikian pendidikan Pancasila tidak murni
berisikan hal-hal yang ideal tetapi juga realistis karena bersinggungan dengan
kenyataan yang dihadapi. Pandangan antara idealisme dan realisme merupakan
komponen dalam filsafat pendidikanesensialisme yang berpandangan bahwa
gagasan-gagasan dasar ideal akan semakin menemukan kebenarannya dan
diyakini jika teruji melalui kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Pendidikan
Pancasila lebih tepat jika dilandasai oleh filsafat pendidikan esensialisme.
b. Penataan metode pembelajarannya
Selanjutnya metode atau strategi pembelajaran yang mana yang tepat dalam
sosialisasi nilai-nilai Pancasila tergantung pada asumsi yang melandasinya, jenis
materi pembelajaran, dan filsafat dan teori pembelajaran yang dianut. Pengalaman
pendidikan Pancasila era Orde Baru memberi pelajaran kepada kita bahwa kegegalan
semata-mata karena materi, tetapi terutama pada asumsi dan teori pembelejaran yang
dianut. Pancasila bagi Orde Baru dipandang sebagai nilai kebenaran yang pasti yang
mana warga diposisikan sebagai obyek pembelajaran yang siap untuk menerima
Pancasila. Oleh karena itu yang berlaku adalah proses indoktrinasi dan pengajaran
Pancasila nilai bukan proses pembelajaran. Selain itu pengajaran Pancasila hanya
sekedar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah kognitif) sedangkan ranah
afektif dan psikomotorik masih kurang diperhatikan. Ini berakibat pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa.
Mengenai materi atau isi pembelajaran Pancasila perlu dibuat pemetaan yang
disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Pemaknaan baru atas Pancasila
memberi penjelasan bahwa konsep teoritik Pancasila bisa dipecah sebagai konsepsi
filosofis, historis, politik, dan yuridis. Dari sisi filosofis Pancasila adalah lima nilai
dasar yang karena sifatnya abstrak perlu dijabarkan atau diturunkan lagi kedalam
nilai-nilai instrumental kehidupan (norma etik dan sosial). Misal nilai Ketuhanan
diturunkan menjadi toleransi dan kerjasama antar umat beragama. Nilai kemanusiaan
berisi kejujuran dan menghormati orang lain. Nilai persatuan menjadi nilai
kebersamaan dan tanggungjawab sosial. Nilai kerakyatan menjadi menghargai
pendapat orang lain dan bermusyawarah. Nilai keadilan menjadi tolong –menolong
dan berlaku adil. Materi yang bersifat nilai (afektif) ini tepat diberikan kepada tingkat
dasar (SD) sebab anak usia SD lebih bersifat emosional, lebih mudah menerima
dalam hal penanaman nilai dan sikap. Sekaligus pula materi nilai ini melandasi
karakter anak untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan di atasnya.
Dari sisi historis dan politis, Pancasila merupakan salah satu karya luhur
bangsa yang bisa mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat Indonesia. Aspek
historis Pancasila tepat disajikan pada siswa SMP dan yang sederajat. Anak sudah
mampu merekam proses yang terjadi di masa lalu dan belajar menghayati bahwa
Pancasila merupakan nilai yang tepat untuk Indonesia yang majemuk ini. Rasa
kebangsaaan dan patriotisme bisa ditumbuhkan melalui belajar sisi historis Pancasila.
Aspek yuridis Pancasila berisi norma dasar Pancasila yang terjabar kedalam norma
hukum yang tertuang dalam pelbagai peraturan perundangan negara. Tujuan yang
diinginkan adalah tumbuhnya kesadaran hukum warganegara untuk senantiasa taat
tetapi juga kritis terhadap berlakunya hukum di Indonesia. Materi ini tepat untuk
siswa SMA ataupun mahasiswa. Mereka bersifat rasional, mampu berfikir kritis dan
bersikap terhadap hukum yang berlaku.
Dengan pemetaan dan penataan materi seperti di atas , pembelajaran Pancasila
dimungkinkan tidak terjadi pengulangan materi mulai dari SD, SMP , SMA dan
perguruan tinggi. Belajar Pancasila diharapkan tidak menjenuhkan atau
membosankan siswa sebagaimana berlaku pada masa lalu yang sering dicemooh
belajar Pancasila tetap itu-itu saja, tidak berubah.
Berkaitan dengan metode pembelajarannya, aliran idealisme dan aliran
realisme sebagai komponen filsafat esensialisme berpadu dalam suatu sintesa dengan
mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena
minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas
tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atas nilai-nilai, namun juga
tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas
dirinya sendiri (memilih, melaksanakan). Jadi nilai Pancasila kita pandang sebagai
kebaikan bersama yang dituju tetapi proses internalisasinya tetaplah menghargai anak
untuk aktif memilih, memilah dan melaksanakan nilai itu. Dengan demikian metode
pembelajaran berpusat pada siswa untuk aktif terlibat dengan nilai tetapi guru/
pendidik memiliki referensi nilai yaitu Pancasila itu sendiri sebagai rujukan dan
tujuan dari proses internalisasi.
Mengenai metode pembelajaran nilai ini, dikenal adanya 5 model pendekatan
yaitu: (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan
perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3)
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi nilai
(values clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action
learning approach). (Teuku Ramli Zakaria, 2001). Masing-masing pendekatan
memiliki ciri dan penerapan yang berbeda. Kelima pendekatan ini juga memiliki
kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Perlu ditentukan pendekatan mana yang
tepat untuk pembelajaran Pancasila disesuaikan dengan filsafat pendidikan yang
melandasinya.
Pendekatan penanaman nilai tidak sepenuhnya digunakan sebab pendekatan
ini lebih berpusat pada guru yang aktif untuk menanamkan nilai yang dianggap sudah
baku. Sedangkan posisi siswa dipandang sebagai obyek yang siap untuk diberi atau
ditanamkan nilai-nilai tersebut. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai
dengan perkembangan kehidupan demokrasi karena dinilai mengabaikan hak anak
untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
Pendekatan perkembangan moral kognitif juga kurang tepat untuk
pembelajaran nilai Pancasila. Pendekatan ini berpijak dari teorinya John Dewey, Jean
Piaget dan L Kolhberg yang lebih menekankan pada proses penalaran moral dalam
mengatasi suatu dilema moral. Moralitas dipandang bukan hasil tetapi proses.
Penekanan kepada proses semata dan mengabaikan isi atau hasil, tidak akan
mencapai sepenuhnya apa yang diharapkan. Disamping itu pendekatan ini memberi
kebebasan penuh pada anak akan suatu nilai yang diyakini baik. Pendekatan ini bias
filsafat Barat dan menekankan pada nilai-nilai sekuler.
Pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai memberi kekebasan anak
menggunakan rasionya dalam hal menganalisis, memilih dan menentukan nilai-nilai
yang dianggapnya baik. Nilai dalam hal ini bersifat relatif dan subyektif bagi orang
itu tidak bergantung pengaruh luar seperti budaya dan agama. Sama dengan
pendekatan kognitif, pendekatan ini bias budaya Barat yang memberi kebebasan anak
untuk memilih dan melaksanakan nilai. Proses dianggap lebih penting daripada hasil.
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi
penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama
dalam suatu kelompok. Pendekatan ini langsung pada praktek pelaksanaan nilai
dengan suatu kegiatan. Metode pembelajarannya meliputi bermaian peran, sosio
drama, kerja kelompok, dan proyek. Pendekatan ini bisa menghasilkan anak yang
lebih aktif dan partisipatif untuk menjalankan nilai.
Dari berbagai pendekatan di atas, sebenarnya tidak ada suatu pendekatan yang
bisa dikatakan tepat untuk sebuah pembelajaran nilai dengan konteks yang berbeda-
beda oleh karena masing-masing memiliki kekurangan. Berpijak pada filsafat
pendidikan dianut maka pembelajaran Pancasila lebih baik menekankan pendekatan
penanaman nilai sebagai tujuannya sedangkan proses pembelajarannya bisa
menggunakan variasi pendekatan yang lain. Nilai etik sosial, nilai kebangsaan
maupun norma hukum yang merupakan cerminan dari Pancasila hendaknya tetap kita
pandang sebagai nilai ideal sebagai titik tolak sekaligus hasil dari proses
pembelajaran Pancasila. Sedangkan proses penemuan nilai dilakukan melalui variasi
pendekatan moral kognitif, analisis nilai, klarifkasi nilai dan pembelajaran berbuat
dimana proses-proses tersebut lebih banyak berpusat pada siswa daripada guru.
Dengan demikian dalam pembelajaran pendidik memfasilitasi tetapi juga pada
akhirnya memverifikasi nilai-nilai yang ditemukan siswa apakah sesuai atau tidak
dengan nilai dasar Pancasila.

2. Pengembangan Sosial Budaya (Socio-Cultural Development)


Socio-Cultural Development adalah pendekatan yang berpandangan bahwa
sosialisasi nilai akan berhasil bila didukung oleh lingkungan sosial budaya yang ada
di sekitarnya. Oleh karena itu perlu diciptakan lingkungan sosial budaya yang
kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Penciptaan lingkungan
sosial budaya tersebut mencakup penciptaan pola interaksi, kelembagaan maupun
wadah sosial budaya di masyarakat. Dukungan yang ada di lingkungan tersebut amat
berpengaruh bagi keberhasilan sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian
sosialisasi Pancasila tidak semata-mata melalui pendekatan pendidikan (psyco
paedagogic development) tetapi juga harus ditunjang socio-cultural development.
Pengalaman Orde Baru menunjukkan bahwa sosialisasi nilai-nilai Pancasila
ini misalnya melalui praktek simulasi P4 oleh lembaga-lembaga sosial, penciptaan
slogan seperti desa pelopor P4, keluarga Pancasila, ekonomi Pancasila, pemuda
Pancasila, masyarakat Pancasila bahkan ada pula yang disebut kesebelasan Pancasila.
Praktek Orde Baru mengadakan ideologisasi Pancasila hampir pada semua segmen
kehidupan warganya. Sosialisasi lewat jalur sosial budaya ini pada akhirnya dianggap
berlebihan dan tidak lebih dari indoktrinasi ideologi Pancasila dalam pemaknaan
Orde Baru itu sendiri. Kegagalan bukan karena tidak berhasilnya internalisasi tetapi
ternyata rezim itu sendiri yang membohongi rakyat dengan penyimpangan-
penyimpangannya atas Pancasila. Oleh karena itu rakyat menjadi jenuh bahkan muak
yang berakibat Pancasila ikut menanggung kesalahan.
a. Pendekatan sosiologis terhadap masyarakat Indonesia
Berdasar ini, maka jalur socio-cultural development perlu ditata ulang dengan
mempertanyakan terlebih dahulu bagaimana menempatkan kembali Pancasila di mata
masyarakat agar kesan Orde Baru tidak muncul. Penempatan ini penting dilakukan
sebab kondisi sosial budaya (socio cultural) yang mendukung tidak mungkin bisa
dikembangkan sebelum ada kesediaan masyarakat untuk menerima Pancasila.
Penerimaan ini bergantung pada pandangan akan penting tidaknya nilai Pancasila
bagi masyarakat Indonesia dalam konteks sosial.
Dari sisi politik, Pancasila merupakan kesepakatan politik yang menjadi titik
temu dari berbagai kelompok masyarakat Indonesia sehingga bersedia bersatu atau
berintegrasi. Pada titik pembicaraan ini, ada dua pendekatan dalam teori sosiologi
tentang bagaimana masyarakat bisa bersatu. Pendekatan itu adalah pendekatan
fungsional struktural atau fungsionalisme-struktural dan pendekatan konflik. Kedua
pendekatan ini memiliki pandangan sekaligus gambaran tentang bagaimana struktur
masyarakat itu berjalan dan bersatu melalui sudut pandang yang berbeda.
Perspektif fungsionalisme struktural melihat masyarakat dengan
menganalogikannya sebagai organisme biologis (Nasikun, 2006). Masyarakat dilihat
sebagai sistem organis yang memiliki struktur dan fungsi yang masing-masing saling
mempengaruhi dan melengkapi membentuk ketertiban dan harmoni sosial. Meskipun
masyarakat mengalami ketegangan, disfungsi, disharmoni , disintegrasi dan
penyimpangan lainnya namun dapat teratasi melalui penyesuaian dan proses
institusioanalisasi. Faktor yang paling penting dalam mengintegrasikan masyarakat
adalah konsensus diantara anggota masyarakat itu mengenai nilai-
nilaikemasyarakatan tertentu. Interaksi sosial bisa diatur karena commitment mereka
terhadap norma norma sosial bersama yang menghasilkan daya untuk mengatasi
perbedaan pendapat dan kepentingan anggota masyarakat itu. Beberapa ilmuwan
yang berjasa dalam mengembangkan teori ini adalah August Comte (1798- 1857),
Herbert Spencer (1820-1930), Emile Durkheim (1858-1917), dan Talcott Parson
(1902 – 1979). Yang terakhir ini dianggap amat berarti dalam pengembangan teori
struktural fungsional sehingga diasosiasikan teori Parsonian (Megawangi, 1999)
Pendekatan konflik muncul sebagai reaksi atas fungsionalisme struktural.
Pandangan teori konflik berdasar pada anggapan bahwa masyarakat senantiasa
berubah yang tidak pernah berakhir, mengandung konflik sebagai gejala yang
melekat, setiap unsurnya menyumbang bagi terjadinya disintegrasi dan integrasi
terjadi diatas penguasaan sejumlah orang atas orang lain (Nasikun, 2006). Sebab
timbulnya konflik adalah adanya dikotomi dalam masyarakat antara kelompok
ordinat dan subsordinat. Jika menurut Karl Marx (1818-1883) perbedaan ini karena
perbedaan kepemilikan faktor produksi maka menurut Ralf Dahrendorf terjadi karena
perbedaan kepemilikan kekuasaan. Kekuasaan sebagai sumber daya yang terbatas di
masyarakat akan senantiasa diperebutkan. Dengan pengertian seperti ini dalam setiap
masyarakat apapun akan selalu terjadi konflik. Misalnya konflik dosen- mahasiswa,
konflik pastor–jamaah, pemimpin politik dan pengikutnya (Megawangi, 1999).
Dalam hal terjadinya konflik maka yang dibutuhkan adalah pengendalian konflik
dalam bentuk konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi (Nasikun, 2006).
Berdasar dua pendekatan di atas, perlu kita menempatkan Pancasila
dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural ini. Menurut pendekatan fungsional
struktural, masyarakat akan senantiasa terintegrasi diatas tumbuhnya konsensus akan
nilai nilai sosial kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Pancasila merupakan
nilai nilai konsensus bangsa. Jadi Pancasila bisa menjadi nilai sosial bersama
(common values) diantara masyarakat Indonesia sehingga bisa mempersatukan.
Namun demikian nilai sosial bersama tidak menjamin secara penuh bahwa integrasi
masyarakat Indonesia terjaga Masyarakat Indonesia yang plural dengan berbagai
ragam kepentingan akan selalu rawan terjadi konflik. Teori konflik menyatakan
bahwa integrasi dapat terjadi diatas suatu paksaan (coercion) dari kelompok dominan
atas kelompok lain, dan terdapatnya saling ketergantungan diantara kelompok-
kelompok masyarakat itu. Pendekatan konflik juga menyarankan perlunya
ketrampilan pengendalian konflik yang meliputi konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi.
Dengan demikian jika suatu saat konflik memuncak dapat dilakukan pengendalian
dalam bentuk koersif oleh negara namun dengan tidak berlebihan. Pengendalian ini
bisa dibenarkan karena negara memiliki hak monopoli atas kekuasaan politik. Di sisi
lain masyarakat perlu trampil didalam cara-cara mengelola dan mengendalikan
konflik. Nilai-nilai bersama Pancasila bisa dijadikan masyarakat sebagai acuan dalam
rangka penyelesaian konflik ini. Misalnya penyelesaian konflik tidak bertentangan
dengan nilai Ketuhanan, menghargai derajat kemanusiaan, menuju persatuan
masyarakat itu, dilakukan secara demokratis dan menghasilkan rasa keadilan antar
pihak.
b. Penciptaan kondisi sosial budaya yang mendukung Pancasila
Berdasar pemaknaan Pancasila dalam kaitannya dengan masyarakat Indonesia
sebagaimana di atas, maka Pancasila yang dihadirkan ke masyarakat adalah Pancasila
sebagai etik sosial (social ethic) bersama. Pancasila dari sisi sosial politis bukan dari
sisi filosofis, karena pemaknaan Pancasila sebagai konsep filsafat dipandang tidak
penting jika dilihat dari kepentingan mengintegrasikan masyarakat Indonesia. Sebagai
norma sosial yang fundamental Pancasila di masyarakat Indonesia berfungsi dua,
pertama sebagai nilai konsensus yang bisa mempersatukan dan sekaligus sebagai
cita-cita bersama dan kedua sebagai acuan bagi penyelesaian konflik.
Norma sosial Pancasila sebagai nilai dan cita-cita bersama bisa diturunkan
lagi kedalam norma sosial yang lebih konkrit. Misal nilai kemanusiaan dijabarkan
menjadi perlunya kejujuran. Konsep kejujuran inilah yang dikembangkan secara
sosial budaya menjadi lingkungan yang mendukung. Penciptaan lingkungan sosial
budaya yang jujur, misalnya melalui keteladanan para pemimpin masyarakat, slogan-
slogan kejujuran, iklan untuk bertindak jujur dan lembaga lain yang berkiprah untuk
meningkatkan kejujuran. Contohnya adalah “Kantin Kejujuran” di kota Bekasi yang
baru barui ini diresmikan.( Sinar Harapan, 28 Oktober 2008). “Kantin Kejujuran”
dapat dikatakan sebagai lingkungan sosial budaya yang mendukung bagi
implementasi nilai-nilai Pancasila terutama sila kedua. Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) dapat dijadikan contoh lembaga sosial masyarakat yang
mendukung implementasi nilai nilai Pancasila sila pertama. Komunitas Anti
Kekerasan dapat dijadikan contoh lembaga sosial masyarakat yang mendukung
implementasi nilai nilai Pancasila sila keempat. Penciptaan pekan olah raga nasional,
duta wisata, kontes budaya nusantara merupakan lingkungan sosial budaya yang baik
baik sosialisasi nilai nilai Pancasila sila ketiga.
Dengan demikian lembaga sosial budaya yang dibentuk masyarakat tidak
perlu mencerminkan secara langsung Pancasila misalnya dengan sebutan
“Masyarakat Pancasila“ tetapi cukup mewakili salah satu norma sosial yang ada. Cara
seperti ini memungkin tidak terjadinya lagi ideologisasi Pancasila atau serba
Pancasila dalam masyarakat Indonesia yang bisa menimbulkan kejenuhan dan
penolakan. Cara-cara seperti ini secara tidak langsung telah memberikan kondisi
sosial budaya yang amat kondusif bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat.

3. Pengaruh Sosial Politik dari Kekuasaan (Socio- Political Intervention)


Socio- Political Intervention berasumsi bahwa sosialisasi nilai-nilai Pancasila
dalam batas- batas tertentu membutuhkan peran negara untuk mempengaruhi upaya
tersebut. Dalam batas tertentu mengandung maksud bahwa di era demokrasi sekarang
ini peran negara diupayakan minimal sedang peran masyarakat yang diperbesar.
Dalam negara demokrasi, perlu dihindari keterlibatan negara secara penuh dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jadi peran negara demokrasi adalah
memfasilitasi, menyediakan sarana, kebijakan, program dan anggaran bagi sosialisasi
nilai-nilai Pancasila untuk selanjutnya menawarkan kerjasama dengan masyarakat
untuk menjalankan sosialisasi tersebut.
Pengalaman selama era Orde Baru menunjukkan bahwa pendekatan Socio-
Political Intervention ini dilakukan secara penuh oleh negara/pemerintah. Penataran
P4 menjadi proyek besar bagi ideologisasi Pancasila untuk masyaraat luas. setiap
warganegara diharuskan ikut penataran P-4. Kegagalan P4 bukan hanya karena
metode pembelajarannya yang indoktrinatif tetapi juga P4 dikesankan hanya untuk
warganegara biasa yang harus menerima dan menghayati Pancasila. Para pejabat
negara justru banyak yang mengingkari nilai-nilai Pancasila itu dalam perbuatannya.
Inilah yang membuat masyarakat alergi dan merasa dibohongi dari penataran P4.
Udin S Winataputra (2001) menyatakan bahwa seiring dengan semakin kuatnya
tuntutan demokratisasi melalui gerakan reformasi barubaru ini, dan juga dilandasi
oleh berbagai kenyataan sudah begitu maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme
selama masa Orde Baru, tidak dapat dielakkan tudingan pun sampai pada Penataran
P-4 yang dianggap tidak banyak membawa dampak positif, baik terhadap tingkat
kematangan berdemokrasi dari warganegara, maupun terhadap pertumbuhan
kehidupan demokrasi di Indonesia.
P4 sesungguhnya merupakan bentuk pendidikan politik bagi masyarakat.
Sejalan dengan era demokrasi sekarang ini , dengan tidak adanya lagi penataran P4
tetap dibutuhkan bentuk pendidikan politik yang mampu menyemaikan demokrasi
dan juga nilai nilai Pancasila. Dalam hal ini negara perlu menciptakan format
pendidikan politik masyarakat yang dimaksud.
Berkaca pada pengalaman Orde Baru, negara tidak perlu berperan besar dalam
mensosialisasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat, tetapi negara /pemerintah
memfasilitasi secara luas dengan cara bekerjasama dengan masyarakat agar
masyarakat secara berangsur-angsur dengan kesadaran sendiri melaksanakan nilai-
nilai Pancasila. Di negara demokrasi, peran negara dapat ditunjukkan misalnya
dengan membentuk komisi-komisi yang bersifat independen tetapi dengan fasilitas
dari negara untuk berperan dalam pemecahan persoalan-persoalan kebangsaan.
Sekarang ini, di Indonesia telah terbentuk banyak komisi, misal Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Komisi
Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Nasional dan
Keselamatan Transportasi (KNKT) dan lain-lain. Komisi-komisi yang bersifat
indepeneden yang difasilitasi negara ini berbeda dengan lembaga sosial masyarakat
misalnya Komisi Untuk Orang Hilang dan Anti Kekerasan (Kontras) yang mana
merupakan lembaga yang betul – betul hasil swadaya masyarakat sendiri. Jika
demikian, negarapun dapat membentuk suatu komisi independen yang secara khusus
berperan dalam hal sosialisasi nilainilai Pancasila , termasuk konsensus tentang
NKRI, Pembukaan UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, misalkan dengan nama
Komisi Kebangsaan Indonesia (KKI). Komisi ini dengan fasilitas dan anggaran
negara dapat berperan besar mensosialisasikan konsensus-konsensus bangsa pada
masyarakat, bekerjasama dengan masyarakat, bertindak secara independen dan
negara berpengaruh secara minimal.
Di sisi lain peran pemerintah dalam hal sosialisasi nilai-nilai Pancasila adalah
tetap melaksanakan pendidikan Pancasila kepada pejabat negara–nya. Jika penataran
P4 Orde Baru berkesan untuk warganegara biasa/rakyat, tetapi justru dalam era
reformasi ini perlu diadakan lagi bentuk pendidikan Pancasila tetapi khusus untuk
para penyelenggara negara. Negara berkepentingan agar para penyelenggara negara
memiliki nilai-nilai konsensus nasional bangsa termasuk Pancasila sebab dengan
memiliki nilai dan gagasan dasar tersebut integrasi dan kelangsungan hidup bangsa
Indonesia dipelihara oleh penyelenggara negara itu sendiri. Penyelenggara negara
juga diharapkan tidak menyimpang dalam pelaksanaan tugasnya. Kepentingan lain
adalah perilaku para penyelenggara negara ini akan menjadi contoh nyata bagi
warganegara biasa. Gagasan ini misalnya diwujudkan dalam bentuk suatu departemen
mengadakan penataran wawasan kebangsaan untuk para pegawainya.
Pengaruh negara terhadap sosialisasi nilai-nilai Pancasila juga perlu dilakukan
untuk mendukung pendekatan psyco-paedagogic development, dan socio-cultural
development. Terhadap psyco-paedagogic development, misalnya dilakukan dengan
menyusun standar nasional pendidikan, standar isi pembelajaran, program-program
tertentu yang nantinya dilakukan sendiri oleh sekolah. Terhadap socio-cultural
development, negara dapat berperan misalnya dengan cara menyediakan dana
kompetetif untuk lembaga sosial kemasyarakatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasar uraian di atas akan penulis simpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Akibat pemberlakuan Orde Baru yang melakukan mistifikasi dan ideologisasi
Pancasila pada semua ranah kehidupan, Pancasila di era reformasi menjadi
terdeskreditkan atau mendapat kesan buruk dan salah sehingga patut untuk
ditinggalkan. Namun sebagai suatu gagasan besar kebangsaan dan konsensus
nasional, Pancasila tetap ingin ditempatkan kembali dalam bangunan kehidupan
bernegara Pancasila baik oleh warga bangsa maupun penyelenggara negara.
2. Upaya menempatkan kembali Pancasila dalam sistem bernegara tidak sekedar
memposisikan Pancasila secara layak dan benar sesuai dengan pemaknaan baru
tetapi juga menuntut perlunya Pancasila dilaksanakan atau dijalankan secara
konsisten dalam kehidupan bernegara termasuk didalamnya mensosialisasikan
nilai-nilai dasarnya.
3. Melaksanakan dan mensosialisasikan Pancasila dalam kehidupan bernegara dapat
dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan pengembangan pendidikan
pembelajaran (psyco-paedagogic development), pengembangan sosial budaya
(socio-cultural development) dan pengembangan yang dipengaruhi oleh
kekuasaan (socio- political intervention).
4. Jalur psyco-paedagogic development adalah dengan melakukan pembelajaran
Pancasila melalui pendidikan formal dengan cara menata kembali isi materi dan
metode pembelajarannya. Materi Pancasila yang meliputi konsep filosofis,
historis, politis dan yuridis dibedakan dan dipetakan disesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik. Metode pembelajarannya berpusat pada peserta diri
dalam proses menemukan nilai sedangkan pendidik berfungsi memfasilitasi
sekaligus menverifikasi hasil berdasar nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran
Pancasila lebih tepat didasarkan pada filsafat pendidikan esensialisme,
menggunakan pendekatan penanaman nilai yang dipadukan dengan pendekatan
lain secara sinergis dan melengkapi.
5. Jalur socio-cultural development adalah dengan menempatkan Pancasila sebagai
etik sosial bersama di masyarakat. Penyebarluasan dan internalisasi nilai nilai etik
dilakukan melalui pembentukan kelembagaan sosial, wadah dan pola-pola
interaksi yang bisa mendukung implementasi nilai tersebut dan sekaligus
berfungsi sebagai upaya pencegahan dan penyelesaian masalah –masalah
kebangsaan.
6. Jalur socio- political intervention adalah keikutsertaan negara untuk memfasilitasi
, membantu, dan mendukung usaha-usaha sosialisasi Pancasila. Peran negara
dapat dilakukan dengan cara pembentukan komisi independen yang berperan
dalam sosialisasi nilai-nilai kebangsaan, pendidikan nilai-nilai Pancasila dan
kebangsaan kepada penyelenggara negara sendiri dan memberikan kebijakan atau
program yang mendukung jalur psyco-paedagogic development dan jalur socio-
cultural development.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution. 1993. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia :


Studi Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta; Pustaka Utama Grafiti
Faisal Ismail. 1999. Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama. Jakarta. Tiara Wacana
Franz Magnis Suseno. 2001. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakrta : Gramedia
George Ritzer & Douglas J Goodman. 2005. Teori Sosial Modern. Edisi-6 Cetakan
III. Jakarta: Prenada Media

Anda mungkin juga menyukai