Anda di halaman 1dari 5

ANALISA PEMAHAMAN MAHASISWA ARSITEKTUR TENTANG METODE BUILDING

INFORMATION MODELLING (BIM) UNTUK MENDUKUNG REVOLUSI INDUSTRI 4.0 BIDANG


KONTRUKSI DI PROVINSI RIAU

MUHD. ARIEF AL HUSAINI

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik,Universitas Riau. Kampus Bina Widya KM 12,5 Simpang Baru
Pekanbaru

ABSTRAK
Dewasa ini di dunia telah mengalami beberapa tahap revolusi yang dimulai dari era rovolusi sosial dan
reolusi industri. Perkembangan keduanya sangat terlihat pada revolusi industri yang menurut para pakar
telah memasuki industri 4.0. Revolusi industri 4.0 ini ditandai dengan tingkat kompetitif yang sangat tinggi.
Sehingga setiap negara sebisa mungkin menyiapkan sumberdaya manusia yang memiliki daya saing,
kemampuan atau skill yang mumpuni dan spesifik, dan kemampuan penerapan teknologi. Revolusi industri
4.0 merambah kesuluruh aspek bidang kompetensi manusia, tidak terkecuali kontruksi. Dunia kontruksi
merupakan sebagai kegiatan membangun sarana maupun prasarana baik dalam arsitektur maupun sipil.
Negara maju telah menerapkan teknologi ataupun metode baru yang memiliki keunggulan dan kecepatan
kerja dalam bidang kontruksi. Seakan terbalik, di Indonesia khususnya didaerah sumber daya manusia lokal
masih berkecimpung dengan penggunaan metode konvensional. Tujuan dari makalah ini untuk meninjau
cara kerja mahasiswa arsitektur dalam proses merancang dalam tugas desain studio arsitektur lanjut.
Penelitian ini dengan pendekatan kuantitaif dan teknik wawancara purposive sampling. Studi ini
menunjukkan mahasiswa arsitektur masih menerapkan metode konvensional dalam merancang. Perlu
adanya penekanan integrasi BIM agar menciptakan lulusan yang mempunyai skill yang tinggi dan cara
kerja yang cepat.

Katakunci: Revolusi Industri 4.0, Arsitektur, Building Information Modelling, Konstruksi

I. LATAR BELAKANG
Isu penting di Indonesia akhir-akhir ini adalah adanya kebijakan pemerintah dalam melakukan
pengembangan wilayahnya. Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi dalam proses pengembangan
kawasan. Desentralisasi sendiri adalah penyerahan wewenang atau kebijakan kepada masing-masing daerah
untuk mengatur pekerjaannya sendiri. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan efisiensi termasuk juga dibidang
konstruksi khususnya arsitektur dan perencanaan kota. Salah satu kelemahan desentralisasi adalah lemahnya
pendalaman local wisdom disebabkan berkurangnya penelitian mendalam akibat biaya yang tinggi dan
perundingan yang bertele-tele. Hal itu menyebabkan mudahnya melaksanakan program yang tidak memiliki
karakter kuat berdasarkan kebutuhan lokal, melainkan meniru apa yang sedang berkembang dikota lain.
Contoh lain adalah dalam satu provinsi memunculkan keberagaman yang saling tolak menolak dalam azas
karakter pembangunan.
Desentralisasi ini harusnya mengikuti dunia yang sedang menggeliat dalam isu revolusi industri 4.0.
Revolusi industri 4.0 adalah munculnya tren otomatisasi dan pertukaran informasi data yang begitu cepat,
dan fabrikasi. Istilah ini mencakup sistem sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awam.
Revolusi industri telah merambah segala lini kehidupan ditandai dengan cepatnya pertukaran informasi
melalui internet dan sudah banyak sistem otomatis melalui fabrikasi mesin dan teknologi baru. Salah satu
bidang yang harus segera mengikuti revolusi industri 4.0 adalah bidang kontruksi. Dunia kontruksi
merupakan sebagai kegiatan membangun sarana maupun prasarana baik dalam arsitektur maupun sipil.
Bidang kontruksi yang juga menjadi elemen penting pertumbuhan kota sebab banyak manusia terlibat dalam
bidang ini seperti kesipilan, arsitek, mandor, tukang, dan lainnya.
Pada revolusi indutri 4.0 para arsitek tidak hanya dituntut untuk tidak hanya bisa mendesain sebuah
rancangan. Namun, harus mampu bekerja secara cepat, transparan, multi disiplin, teliti, dan terintegrasi.
Seakan terbalik dengan tuntutan revolusi industri para arsitek masih banyak bekerja secara konvensional
terutama arsitek didaerah. Arsitek didaerah merupakan perpanjangan tangan dalam membangun
pertumbuhan konstruksi didaerah. Konvensional yang dimaksud adalah arsitek masih menghandalkan

162
penggunaan teknologi terpisah antara 2 Dimensi dan 3 Dimensi. Pengggunaan teknologi terpisah ini
menimbulkan celah ketidaksinkronan informasi antar keduanya sehingga menimbulkan pemahaman yang
salah dan perhitungan anggaran yang berbeba. Artinya metode ini akanmenimbulkan kerugian baik segi
moril maupun materil.
Selain itu, pekerjaan yang terpisah akan menimbulkan waktu pekerjaan yang memakan waktu yang lama.
Arsitek harus menyelesaikan satu persatu tanpa adanya integrasi keduanya. Hal ini tentu akan menimbulkan
celah penggunaan waktu yang lama. Artinya ini akan menimbulkan keterlambatan kontruksi. Satu lagi
kelemahannya adalah proses keluaran output yang terpisah sehingga memerlukan banyak platform baik 2D,
3D, maupun Visualisasi. Hal tersebut akan menimbulkan biaya membesar dalam pembelian lisensi software.
Oleh karena itu, perlu adanya rekontruksi ulang dalam pembentukan sumber daya manusia arsitek lokal
dengan menghasilkan daya saing yang tinggi dan kemampuan daya kerja yang cepat dan teliti. Salah satu hal
yang mendukung ini adalah hadirnya BIM dalam dunia arsitek. BIM adalah sistem, manajemen, metode atau
runutan pengerjaan suatu proyek yang diterapkan berdasarkan informasi terkait dari keseluruhan aspek
bangunan yang dikelola dan kemudian diproyeksikan kedalam model seluruh model baik 2D, 3D, Visualisai,
Analisa, MEP, Struktur. Artinya dalam satu waktu arsitek akan berpikir memenuhi seluruh aspek kontruksi
dalam satu platform sehingga mengurangi tingkat kesalahan. Hal tersebut dikarenakan adanya sinkronisasi
antar aspek dalam kontruksi.
Namun, saat ini banyak pendidikan arsitektur belum mengintegrasian BIM dalam kurikulum sebagai
metode rancang dalam pembelajaran desain perancangan arsitektur. Oleh itu, diperlukan rekonstruksi
kebijakan kelembagaan pendidikan tinggi yang adaptif dan responsif terhadap revolusi industri 4.0. Dalam
mengembangkan transdisiplin ilmu dan program studi yang dibutuhkan. Persiapan sumber daya manusia
khususnya dosen dan peneliti serta perekayasa yang responsive, adaptif dan handal untuk menghadapi
revolusi industri 4.0.

II. METODE PENELITIAN


Tujuan dari makalah ini untuk meninjau cara kerja mahasiswa arsitektur dalam proses merancang dalam
tugas desain studio arsitektur lanjut. Setelah mengetahuin cara kerja maka akan digunakan sebagai dasar
perbaikan sistem pembelajaran agar mampu menghasilkan lulusan yang dapat mengikuti revolusi indoustri
4.0 Penelitian ini menerapkan pendekatan kuantitaif dan dengan pengumpulan data wawancara jenis
purposive sampling. Purposive sampling ini dilakukan dengan memawancarai mahasiswa aktif yang sedang
mengerjakan studio perancangan arsitektur. Wawancarai dihentikan setelah mendapatkan informasi yang
sama dan berulang. Fakta yang ditemukan pada lokasi penelitian akan dianalisa dan dideskripsikan untuk
memperoleh tujuan penelitian.
III. STUDI LITERATUR
Istilah Industri 4.0 dimulai dari proyek strategi teknologi canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan
komputerisasi dan otomatisasi pabrik. Kemudian diangkat kembali pada Hannover Fair tahun 2011. Tahun
2012 adanya rekomendasi pelaksanaan Industri 4.0 kepada Pemerintah Jerman (Working Group on Industry,
2012). Ada empat prinsip rancangan industri 4.0 yaitu:
1. Interoperabilitas ; adalah kemampuan mesin, perangkat, sensor, dan manusia untuk berhubungan dan
berkomunikasi dengan satu sama lainnya,
2. Transparansi Informasi ; adalah kemampuan sistem informasi untuk menciptakan salinan fisik secara
virtual dengan memperkaya model pabrik digital dan sensor,
3. Bantuan Teknis ; kemampuan sistem bantuan untuk membantu manusia dengan mengumpulkan dan
membuat visualisasi informasi secara menyeluruh agar bisa membuat keputusan bijak dan
menyelesaikan masalah genting dengan cepat,
4. Keputusan mandiri, adalah kemampuan sistem siber-fisik untuk membuat keputusan sendiri dan
melakukan tugas semandiri mungkin.
Untuk mendukung revolusi Industri 4.0 dibidang arsitektur perlu pemahaman terkait Buiding Information
Modelling (BIM). BIM diinisiasi pada tahun 2007 di Amerika Serikat. Pada tahun 2009, 50% industri
konstruksi di Amerika Serikat sudah mengaplikasikan BIM. Kemudian adanya peningkatan sebanyak 75%
dari tahun 2007, yaitu 42 persen pengguna BIM di Amerika Serikat Serikat berada di level expert dan
advanced, yang jumlahnya berkembang sebanyak 3 kali lipat dari tahun 2007 (Andy K. D. Wong, Francis K.
W. Wong, Abid Nadeem, 2010). Building Information Modelling (BIM) merupakan salah satu teknologi di

163
bidang AEC (Architecture, Engineering dan Contruction) yang mampu mensimulasikan seluruh informasi di
dalam proyek pembangunan ke dalam bentuk real information (informasi fakta). BIM merupakan sistem,
manajemen, metode atau runutan pengerjaan suatu proyek yang diterapkan berdasarkan informasi terkait dari
keseluruhan aspek bangunan yang dikelola dan kemudian diproyeksikan kedalam model 2D, 3D, dan
Visualisasi penuh (Andy K. D. Wong, Francis K. W. Wong, Abid Nadeem, 2010).
Berbeda dengan sistem 3D modelling lainnya, BIM memungkinkan seluruh stakeholder yang terlibat
untuk mengetahui digital model dari bangunan yang sedang dikerjakan. Selain itu, penggunaan BIM dalam
sebuah proyek bangunan memungkinkan pengiriman dokumen gambar secara terintegrasi atau Intergrated
Project Delivery (IPD) dilakukan sehingga dapat mempersingkat waktu dalam proses delivery serta
meminimalisir salah komunikasi antar stakeholder (Sastra, Suparno, 2004)
General Service Administration (GSA) mengarahkan penggunaan BIM berbasis IFC (Industry Foundation
Classes) serta mengarahkan agar penggunaan BIM tidak hanya didasari atas efisiensi biaya saja, tetapi juga
atas dasar keuntungan lainnya yang ditawarkan seperti kemampuan untuk mengeksplorasi metode
engineering yang berbeda, melakukan analisis energi, mendapatkan spesifikasi produk secara otomatis dan
juga penghematan dalam penggunaan kertas. Berikut kelebihan metode Building Information Modelling
(Graphisoft. 2012) :
• Untuk kemudahan proses penggambaran, setiap lantai dipisahkan per layer secara otomatis
• Gambar yang dihasilkan berupa dua output (window), 2D (pandangan atas) dan 3D (interaktif), di
mana kedua output itu aktif secara bersamaan dan saling terhubung, artinya kita bisa membuat
gambar pada window manapun, dan masing-masing window yang lain akan saling meng-update satu
sama lain secara otomatis.
• Untuk presentasi, tersedia fasilitas render dengan kualitas yang sangat baik, dengan output
berupa image atau movie. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, terdapat plugin yang bisa me-
render berbagai format gambar. Software ini juga dilengkapi dengan fasilitas flytrough, yaitu fasilitas
untuk membuat animasi pasif.
• Obyek yang dilengkapi dengan parameter ukuran yang sangat detail, memudahkan kita mendapatkan
obyek dengan ukuran yang benar-benar fleksibel.
• Dilengkapi dengan fasilitas penghitungan Bill Of Material atau RAB, formatnya cukup bagus dan
bisa diterima para arsitek atau kontraktor.
• Fasilitas GDL, kependekan dari Geometric Description Language , yaitu pembuatan obyek dengan
menggunakan script bahasa pemrograman, mirip kita dulu menggambar obyek dengan program Pascal
atau bahasa C. Hanya saja bahasa GDL jauh lebih sederhana. Karena dengan obyek yang didefinisikan
dengan bahasa program, ukuran file menajadi sangat kecil karena hanya memuat teks saja.

IV. HASIL DAN DISKUSI


Informasi data dalam penulisan makalah ini didapatkan setelah melakukan wawancara mendalam pada
mahasiswa arsitektur dengan pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa platform teknologi desain yang digunakan saat ini?
2. Bagaimana metode rancang bangunan yang dilakukan (2D, 3D, Visualisasi)?
3. Apa kelemahan metode yang diterapkan saat ini?
4. Apakah anda mengenal BIM dalam metode rancang arsitektur?
5. Apakah anda mengenal kelebihan metode rancang BIM?
6. Apakah sudah ada penerapan motede BIM dalam pembelajaran studi Arsitektur Anda?

Pada pertanyaan pertama seluruh responden yaitu mahasiswa arsitektur di Universitas Riau masih
menggunakan software selain BIM. Software yang digunakan untuk produksi gambar 2D seperti gambar
kerja 100% mahasiswa menggunakan platform Autocad, sedangkan proses pembuatan 3 dimensi 100%
mahasiswa menggunakan platform SketchUp. Sebanyak 45% mahasiswa menggunakan platform Vray untuk
output rendering. Sedangkan platform Potoshop sebagai visualisasi dan CorrelDraw sebagai alat saji
persentasi analisa berturut-turut sebanyak 65% dan 50%.

164
Muhd. Arief Al Husaini: Analisa Pemahaman Mahasiswa Arsitektur Tentang Metode Building Information Modelling
(BIM) Untuk Mendukung Revolusi Industri 4.0 Bidang Konstruksi Di Provinsi Riau

Sumber: Analisa Penulis (2018)


Berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya bahwa metode rancang yang digunakan oleh mahasiswa
arsitektur masih menggunakan metode yang terpisah atau tidak terintegrasi. Metode terpisah maksudnya
adalah mahasiswa menggunakan platform software berbeda-beda dalam mengerjakan satu rancangan
bangunan. Setiap mahasiswa akan beralih ke paltform sofware lain sesuai kebutuhan ouput yang diinginkan.
Mahasiswa menghasilkan gambar kerja 2D dengan software Autocad. Setelah menyelesaikan 2D maka data
yang 2D akan di import (dipindahkan) ke software 3D yaitu SketcUp. Untuk mendapatkan output rendering
maka hasil 3D SketcUp akan dihasilkan dengan plugin Vray atau dipindahkan platform software lainnya
seperti lumion. Selanjutnya perbaikan visualisai akan dilakukan setelah mendapatkan data setelah proses
rendering berlangsung. Sedangkan persentasi analisa akan menggunakan data terpisah berupa platform
CorrelDraw.
Berdasarkan metode kerja terpisah atau tidak terintegrasi dalam proses merancang bangunan yang
dilakukan oleh mahasiswa arsitektur maka banyak muncul kelemahan yang nantinya mengindikasikan
sebagai permasalahan yang mendasar metode konvensional. Berikut kelemahan yang dialami oleh
mahasiswa dengan metode terpisah ini :
1. Tidak efisien.
Mahasiswa mengalami cara kerja yang tidak efisien. Hal ini ditandai dengan adanya perpindah
software yang bukan satu platform sehingga akan menimbulkan bug (gagal) atau tidak support file.
Mahasiswa harus menunggu informasi yang harusnya terkait dalam satu bangunan seperti desain
arsitektur, struktur, mekanikal elektrikal, dan sebagainya. Sehinga mahasiswa tidak akan memiliki
keilmuan yang holistik atau menyeluruh.
2. Waktu pengerjaan lama
Akibat adanya perpindahan software dan saling menunggu informasi menyebabkan mahasiswa akan
membutuhkan waktu lama. Diperparah lagi apabila mahasiswa hampir menyelesaikan 3 Dimensi,
ternyata ada perubahan 2 Dimensi maka mahasiswa akan mengulang kembali pekerjaan 3 Dimensi.
Begitu seterusnya juga berlaku bagi Rendering dan Visualisasi. Sehingga memakan waktu yang
banyak.
3. Tidak teliti
Akibat perpindahan tersebut maka banyak informasi yang tidak sinkron. Apalagi ada perubahan
pekejaan didalam perjalanan pembuatannya. Maka informasi ini tidak saling berkelanjutan dan
otomatis menyesuaikan setiap aspek pekerjaan seperti Arsitektur, struktur, mekanikal elektrikal, dan
lainnya.
4. Biaya tinggi
Setiap platform software tentu tidak diperoleh secara gratisan. Secara hukum setiap software harus
didapatkan secara legal sehingga harus membayar lisensinya. Semakin banyak platform software tentu
akan menimbulkan biaya lisensi yang banyak. Oleh karena itu mahasiswa banyak melakukan
penggunaan software yang tidak berijin.
5. Tidak transparan

165
Dampak panjang dari metode konvensional adalah penerapan hasil pendidikan ini di lapangan kerja
yang mengakibatkan terjadinya ketidaktransparanan dalam dunia kontruksi. Mahasiswa merasa abai
atas informasi yang bukan tanggung jawab mereka walaupun masih dalam rancangan yang sama.
Contohnya adalah mahasiswa arsitektur selalu mengabaikan logika penerapan struktur atau mekanikal
elektrikal. Hal ini disebabkan tidak adanya sinkornisasi informasi dalam satu platform. Sehingga
mahasiswa arsitektur tidak memiliki pemahaman merancang bangunan secara menyeluruh.
Setelah mendapat gambaran metode rancang yang digunakan oleh mahasiswa berbentuk konvensional
atau tidak terintegrasi maka informasi yang ingin diperoleh adalah apakah mahasiswa arsitektur mengenal
Building Information Modelling (BIM) sebagai metode rancang bangunan. Berdasarkan waawancara
diperoleh bahwa mahasiswa arsitektur tidak mengenal, memahami, dan mengetahui kelebihan metode
rancang Building Information Modelling (BIM). Hal tersebut senada bahwa belum adanya penerapan
platform Building Information Modelling (BIM) dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan belum
adanya integrasi Building Information Modelling (BIM) dalam proses pembelajaran merancang bangunan.
Khususnya metode ini diterapkan pada Studio Perancangan Arsitektur Lanjut.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan penelitian ini diperoleh informasi bahwa mahasiswa arsitektur umumnya belum memahami
metode rancang menggunakan platform Building Information Modelling (BIM). Saat ini proses pembelajaran
masih menggunakan metode terpisah. Kita ketahui bersama bahwa metode terpisah ini banyak sekali
kelemahan yang diperoleh seperti tidak efisiensi, waktu pengerjaan lama, biaya yang tinggi, dan tidak
transparan. Sedangkan pada era revolusi industri 4.0 lulusan yang diserap oleh lapangan kerja harus memiliki
daya saing yang tinggi yang ditandai dengan penguasaan teknologi tinggi, cara kerja efisien dan cepat,
ketelitian yang akurat, transparansi anggaran, dan diterima secara global. Salah satu hal yang harus dikuasai
sejak dini oleh sumber daya manusia lokal khususnya arsitektur dalam memimpin era revolusi industri 4.0
dan sistem desentralisasi adalah kemampuan menguasai platform Building Information Modelling (BIM).
Oleh karena itu lembaga yang sangat berperan dalam menyiapkan lahirnya sumber daya manusia arsitektur
yang menguasai platform Building Information Modelling (BIM) adalah Perguruan Tinggi.
Perguruan Tinggi harus segera ikut berbenah dalam revolusi industri 4.0 dengan mengambil peran
menyiapkan lulusan sumber daya manusia lokal yang handal. Perguruan tinggi harus menyiapkan kurikulum
dan metode pendidikan harus mampu mengikuti iklim bisnis dan industri yang semakin kompetitif dan
mengikuti perkembangan teknologi dan informasi. Salah satu cara yang harus ditempuh adalah
mengintegrasian platform Building Information Modelling (BIM) ke dalam kurikulum pembelajaran
arsitektur. Hal tersebut agar lulusan arsitektur memiliki daya saing tinggi, cara kerja yang cepat dan efisien,
transparansi anggaran, dan ramah lingkungan.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih diucapakan pada Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Univeritas Riau yang telah
memberikan kesempatan melakukan penelitian dan membantu dalam penulisan makalah ini.

REFERENSI
Andy K. D. Wong, Francis K. W. Wong, dan Abid Nadeem. 2010. Attributes of Building Information
Modelling Implementations in Various Countries.
Graphisoft. 2012. Essentials Interactive Training Guide. Graphisoft publish. NY
Hermann, Pentek, Otto. 2016. Design Principles for Industrie 4.0 Scenario. Diakses tanggal 4 mei 2016.
Kagermann, H, W. Wahlster dan J. Heilbig. 2013. Recommendations for Implementing the Strategic
Initiative Industrie 4.0: Final Report of the Industrie 4.0 Working Group
Sastra, Suparno. 2004. Rekayasa Arsitektur & Desain Interior Menggunakan ArchiCAD 8.1. Andi Offset.
Yogyakarta.

166

Anda mungkin juga menyukai