Kelas : 3B Keperawatan
1. Jelaskan definisi,etiologi serta tanda dan gejala,pathway dan intervensi dari HIV/AIDS
Definisi
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yakni virus yang menyerang
sistem imun sehingga kekebalan menjadi lemah bahkan sampai hilang. Sedangkan AIDS
adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Disease Syndrome, yakni suatu penyakit
yang disebabkan oleh virus yaitu virus HIV (Sujana, 2007).
HIV secara umum adalah virus yang hanya dapat menginfeksi manusia, memperbanyak
diri didalam sel manusia, sehingga menurunkan kekebalan manusia terhadap penyakit infeksi.
AIDS adalah sekumpulan tanda dan gejala penyakit akibat hilangnya atau menurunnya sistem
kekebalan tubuh seseorang yang didapat karena terinfeksi HIV.
AIDS adalah salah satu penyakit retrovirus epidemic menular, yang disebabkan oleh
infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan
mengenai kelompok resiko tertentu, termasuk pria homoseksual, atau biseksual,
penyalahgunaan obat intra vena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya,
hubungan seksual dan individu yang terinfeksi virus tersebut. (DORLAN, 2002)
AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dan kelainan ringan dalam
respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan
dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang
jarang terjadi. (Centre for Disease Control and Prevention)
Etiologi
Etiologi atau penyebab dari HIV/AIDS karena terganggunya system imun dalam tubuh
ODHA. Partikel virus bergabung dengan sel DNA pasien sehingga orang yang terinfeksi HIV
akan seumur hidup tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas seperti
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam dan lain sebagainya pada
3-6 minggu setelah infeksi (Sudoyo, 2006).
1
Selain karena terganggunya system imun, HIV juga disebabkan oleh penyebarluasan
melalui berbagai jalur penularan diantaranya:
Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan
CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0’01% sampai 0,07%.
Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi 20%
sampai 30%, sedangkan jika gejala AIDS sudah jelas maka kemungkinannya mencapai
50% (PELKESI, 1995).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui kontak antara membrane mukosa
bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily V, 2004).
Penularan dari ibu ke anak yang biasa terjadi adalah sebagai berikut:
Selama dalam kandungannya (antepartum)
Selama persalinan (intrapartum)
Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi (post partum)
Bayi tertular melalui pemberian ASI
Darah dan produk darah yang tercemar HIV/ AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan
menyebar luas.
Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum dan alat-alat lain yang
menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung
digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV (PELKESI, 1995).
Penularan melalui hubungan seks
Pelecehan seksual pada anak.
Pelacuran anak
Sedangkan menurut Hudak dan Gallo (1996), penyebab dari AIDS adalah suatu agen
viral (HIV) dari kelompok virus yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah
melalui hubungan seksual dan mempunyai aktivitas yang kuat terhadap limfosit T yang
berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh manusia. HIV merupakan Retrovirus yang
menggunakan RNA sebagai genom. HIV mempunyai kemampuan mengcopy cetakan materi
genetic dirinya ke dalam materi genetic sel-sel yang ditumpanginya. Sedangkan menurut
Long (1996), penyebab AIDS adalah Retrovirus yang telah terisolasi cairan tubuh orang yang
sudah terinfeksi yaitu darah, semen, sekresi vagina, ludah, air mata, air susu ibu (ASI), cairan
otak (cerebrospinal fluid), cairan amnion, dan urin. Darah, semen, sekresi vagina dan ASI
merupakan sarana transmisi HIV yang menimbulkan AIDS. Cairan transmisi HIV yaitu
melalui hubungan darah (transfusi darah/komponen darah, jarum suntik yang dipakai
bersama-sama), seksual (homo bisek/heteroseksual), perinatal (intra plasenta dan dari ASI).
Empat populasi utama pada kelompok usia pediatrik yang terkena HIV yaitu :
1. Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi (disebut juga
transmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85% kasus AIDS pada anak-anak yang
berusia kurang dari 13 tahun.
2. Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan hemofilia).
3. Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku risiko tinggi.
4. Bayi yang mendapat ASI (terutama di negara-negara berkembang).
Manifestasi Klinis
Masa antara terinfeksi HIV dan timbul gejala-gejala penyakit adalah 6 bulan-10 tahun. Rata-
rata masa inkubasi 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan/5tahun pada orang dewasa. Tanda-
tanda yang ditemui pada penderita AIDS antara lain :
1. Gejala yang muncul setelah 2 sampai 6 minggu sesudah virus masuk ke dalam tubuh:
sindrom mononukleosida yaitu demam dengan suhu badan 380 C sampai 400 C dengan
pembesaran kelenjar getah benih di leher dan di ketiak, disertai dengan timbulnya bercak
kemerahan pada kulit.
2. Gejala dan tanda yang muncul setelah 6 bulan sampai 5 tahun setelah infeksi, dapat
muncul gejala-gejala kronis : sindrom limfodenopati kronis yaitu pembesaran getah bening
yang terus membesar lebih luas misalnya di leher, ketiak dan lipat paha. Kemudian sering
keluar keringat malam tanpa penyebab yang jelas. Selanjutnya timbul rasa lemas,
penurunan berat badan sampai kurang 5 kg setiap bulan, batuk kering, diare, bercak-bercak
di kulit, timbul tukak (ulceration), perdarahan, sesak nafas, kelumpuhan, gangguan
penglihatan, kejiwaan terganggu. Gejala ini diindikasikan dengan adanya kerusakan sistem
kekebalan tubuh.
3
3. Pada tahap akhir, orang-orang yang sistem kekebalan tubuhnya rusak akan menderita
AIDS. Pada tahap ini penderita sering diserang penyakit berbahaya seperti kelainan otak,
meningitis, kanker kulit, luka bertukak, infeksi yang menyebar, tuberkulosis paru (TBC),
diare kronik, candidiasis mulut dan pneumonia.
Menurut Cecily L Betz, anak-anak dengan infeksi HIV yang didapat pada masa perinatal
tampak normal pada saat lahir dan mulai timbul gejala pada 2 tahun pertama kehidupan.
Manifestasi klinisnya antara lain:
1) Berat badan lahir rendah.
2) Gagal tumbuh.
3) Limfadenopati umum.
4) Hepatosplenomegali.
5) Sinusitis.
6) Infeksi saluran pernapasan atas berulang.
7) Parotitis.
8) Diare kronik atau kambuhan.
9) Infeksi bakteri dan virus kambuhan.
10) Infeksi virus Epstein-Barr persisten.
11) Sariawan orofaring.
12) Trombositopenia.
13) Infeksi bakteri seperti meningitis.
14) Pneumonia interstisial kronik.
Selain itu ada tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk mendiagnosis HIV menurut
klasifikasi WHO, antara lain:
Gejala mayor:
Gagal tumbuh atau penurunan berat badan
Diare kronis
Demam memanjang tanpa sebab
Tuberkolosis
Gejala minor
Limfadenopati generalisa
Kandidiasis oral
Batuk menetap
Distress pernapasan / pneumonia
Infeksi berulang
Infeksi kulit generalisata
PATHWAY
(HIV RETROVIRUS)
Sinar matahari dapat merangsang peningkatan hormon estrogen (pada wanita) yang
diperbanyak sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimun. Secara tidak langsung
menimbulkan peradangan sehingga meningkatkan produksi autoantibodi kemudian
menghambat fungsi sel pembunuh alami.
3. Kelainan pada Limfosit B
11
Limfosit terbagi menjadi sel B dan sel T. Sel B merupakan respon ”cairan” tubuh;
tugasnya adalah memproduksi immunoglobulin yang memusnahkan zat-zat luar dan
melindungi tubuh. Pada pasien lupus antibodi limfosit B terlalu banyak bekerja. itulah
sebabnya, ia secara tidak normal memproduksi banyak sekali immunoglobulin dan
autoantibodi. Pengaturan proses tersebut menjadi keliru ketika imun komplek tertumpuk
dalam jaringan sel dan menimbulkan peradangan. Autoantibodi yang mengarah ke bagian-
bagian tertentu dari sel, seperti anti-DNA, antikardiolipin, atau anti-RO (SSA), mampu
merusak jaringan sel secara langsung. Toleransi sel B hilang melalui permusuhan yang gagal
di dalam limfa, kelenjar getah bening, tulang sumsum melalui pemindahan pasif yang
mengakibatkan rusaknya mekanisme pengawasan tubuh. Semua itu hilang, dimusnahkan,
ditekan atau diabaikan yang menyebabkan sel-sel yang reaktif secara otomatis menerobos
dan pada akhirnya terbentuklah autoantibodi.
Manifestasi Klinis
Gejala yang sering muncul pada pentakit Sistemik Lupus Eritematosus adalah:
a. Sakit pada sendi (arthralgia)
b. Demam diatas 38°C
c. Bengkak pada sendi (arthritis)
d. Penderita sering merasa lemah, kelelahan (fatique) berkepanjangan
e. Ruam pada kulit
f. Anemia (kurang darah)
Anemia hemolitik pada pasien SLE terjadi karena antibodi langsung berlawanan dengan
sel-sel darah merah, hal ini disebut autoimun hemolitik anemia. Sel darah merah dihasilkan
oleh sumsum tulang, dan dikeluarkan ke peredaran darah. Ketika sesorang mengali
peradangan kronis rangsangan untuk memproduksi sel darah merah menurun.
g. Gangguan ginjal
h. Sakit di dada jika menghirup napas dalam (pleurisi)
i. Ruam berbentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung
j. Sensitif terhadap cahaya sinar matahari (fotosensitivitas)
k. Rambut rontok
l. Gangguan abnormal pambekuan darah (clotting)
m. Jari menjadi putih atau biru saat dingin (fenomena rayhaud’s)
n. Sariawan (ulcers) pada rongga mulut dan tenggorokan
o. Selera makan hilang
Pathway
Intervensi Keperawatan
15
b) Klien mampu menunjukkan tehnik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan.
c) Klien mampu mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
mencegah nyeri.
3) Intervensi:
a) Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 1-10), frekuensi, dan
waktu. Menandai gejala non verbal misalnya gelisah, takikardi, meringis.
Rasional: mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda
perkembangan atau resolusi komplikasi. Catatan: sakit yang kronis tidak
menimbulkan perubahan autonomik.
b) Dorong pengungkapan perasaan.
Rasional: dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga mengurangi
persepsi akan intensitas rasa sakit.
c) Berikan aktivitas hiburan, misalnya membaca, berkunjung, dan menonton
televisi.
Rasional: memfokuskan kembali perhatian, mungkin dapat meningkatkan
kemampuan untuk menanggulangi.
d) Lakukan tindakan paliatif, misalnya pengubahan posisi, massase, rentang gerak
pada sendi yang sakit.
Rasional: meningkatkan relaksasi atau menurunkan tegangan otot.
e) Berikan kompres hangat atau dingin, teknik relaksasi.
Rasional: kompres dapat mengurangi rasa nyeri.
f) Instruksikan pasien atau dorong untuk menggunakan visualisasi atau bimbingan
imajinasi, relaksasi progresif, tehnik nafas dalam.
Rasional: meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat. Dapat menurunkan
kebutuhan narkotik analgesik (depresan SSP) dimana telah terjadi proses
degeneratif neuromotorik. Mungkin tidak berhasil jika muncul demensia,
meskipun minor.
g) Berikan analgesik atau antipiretik narkotik. Gunakan ADP (analgesik yang
dikontrol pasien) untuk memberikan analgesik 24 jam dengan dosis sesuai
indikasi.
Rasional: memberikan penurunan nyeri atau tidak nyaman, mengurangi demam.
Obat yang dikontrol pasien atau berdasarkan waktu 24 jam mempertahankan
kadar analgesik darah tetap stabil, mencegah kekurangan ataupun kelebihan
obat-obatan.
4) Pendidikan kesehatan
a) Informasikan pada klien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan
saran koping.
b) Ajarkan penggunaan tehnik non farmakologi misalnya distraksi, relaksasi.
c) Diagnosa: Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada
penampilan fisik.
1) Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien mampu
mempersepsikan yang positif terhadap penampilan dan fungsi tubuh sendiri.
2) Kriteria Hasil:
a) Klien mampu menunjukkan citra tubuh ditandai dengan :
(1) Kongruen antara realitas tubuh, ideal tubuh, dan wujud tubuh.
(2) Kepuasan terhadap penampilan dan fungsi tubuh.
(3) Keinginan untuk menyentuh bagian tubuh yang mengalami gangguan.
b) Klien mampu menyusun tujuan atau rencana realistis untuk masa depan.
3) Intervensi:
a) Dorong pengungkapan mengenai masalah tentang proses penyakit, harapan masa
depan.
Rasional: berikan kesempatan untuk mengidentifikasi rasa takut atau kesalahan
konsep dan menghadapinya secara langsung.
b) Diskusikan arti dari kehilangan atau perubahan pada pasien atau orang terdekat.
memastikan bagaimana pandangan pribadi pasien dalam memfungsikan gaya
hidup sehari-hari.
Rasional: mengidentifikasi bagaimana penyakit mempengaruhi persepsi diri dan
interaksi dengan orang lain akan menentukan kebutuhan terhadap intervensi atau
konseling lebih lanjut.
17
c) Diskusikan persepsi pasien mengenai bagaimana orang terdekat menerima
keterbatasan.
Rasional: isyarat verbal atau non verbal orang terdekat dapat mempunyai
pengaruh mayor pada bagaimana pasien memandang dirinya sendiri.
d) Perhatikan perilaku menarik diri, penggunaan menyangkal atau terlalu
memperhatikan tubuh atau perubahan.
Rasional: dapat menunjukkan emosional ataupun metode koping maladaptif,
membutuhkan intervensi lebih lanjut atau dukungan psikologis.
e) Susun batasan pada perilaku maladaptif. Bantu pasien untuk mengidentifikasi
perilaku positif yang dapat membantu koping.
Rasional: membantu pasien untuk mempertahankan kontrol diri, yang dapat
meningkatkan perasaan harga diri.
f) Bantu dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan.
Rasional: mempertahankan penampilan yang dapat meningkatkan citra diri.
Rujuk pada konseling psikiatri, misalnya perawat spesialis psikiatri perawat
klinis, psikiatri atau psokolog, pekerja sosial.
4) Pendidikan Kesehatan
a) Ajarkan orang tua tentang pentingnya respon mereka terhadap perubahan tubuh
anak dan penyesuaian dikemudian hari sesuai dengan kebutuhan.