Anda di halaman 1dari 75

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................i
BAB I...................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.......................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................6
1.3. Tujuan....................................................................................................6
1.3.1. Tujuan Umum.................................................................................6
1.3.2. Tujuan Kdhusus..............................................................................6
1.4. Manfaat..................................................................................................7
1.4.1. Manfaat Teoritis..............................................................................7
1.4.2. Manfaat Praktisi..............................................................................7
1.5. Sistematika Penulisan.............................................................................8
BAB II................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................10
2.1. Konsep Skizofrenia..............................................................................10
2.1.1. Pengertian......................................................................................10
2.1.2. Etiologi..........................................................................................11
2.1.3. Jenis-jenis Skizofrenia..................................................................13
2.1.4. Penatalaksanaan............................................................................16
2.2. Konsep Dasar Halusinasi.....................................................................17
2.2.1. Pengertian......................................................................................17
2.2.2. Etiologi..........................................................................................18
2.2.3. Klasifikasi halusinasi....................................................................21
2.2.4. Tanda dan Gejala...........................................................................22
2.2.5. Tahapan Terjadinya Halusinasi.....................................................23
2.2.6. Rentang Respon Neurobiologis.....................................................27
2.2.7. Tingkat intensitas halusinasi.........................................................28
BAB III...............................................................................................................30
KONSEP TEORITIS..........................................................................................30
3.1. Konsep Asuhan Keperawatan..............................................................30
3.1.1. Pengkajian.....................................................................................30

i
ii

3.2. Pohon masalah..................................................................................44


3.3. Diagnosa Keperawatan.....................................................................44
3.4. Intervensi Keperawatan....................................................................49
3.5. Implementasi Keperawatan...............................................................66
3.6. Evaluasi Keperawatan......................................................................68
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................71
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Undang-undang kesehatan jiwa nomor 18 tahun 2014 bab 1

pasal 1 ayat 1 mendefinisikan kesehatan jiwa adalah kondisi dimana

seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan

sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuannya sendiri

dapat mengatasi tekanan, bekerja secara produktif, dan mampu

memberikan kontribusi untuk komunitasnya

Negara Indonesia telah menetapkan suatu peraturan

mengenai kesehatan jiwa seperti yang tercantum dalam undang-undang

nomor 18 tahun 2014 yang secara khusus membahas mengenai masalah

kesehatan jiwa. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan dalam pasal

1 ayat 4 mengenai upaya kesehatan jiwa yaitu setiap kegiatan untuk

mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu,

keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif,

kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh,

terpadu, dan berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah,

dan/ atau masyarakat. Tujuan upaya kesehatan jiwa itu adalah menjamin,

memberikan pelindungan, memberikan pelayanan kesehatan,

meningkatkan mutu bagi upaya kesehatan jiwa dan memberikan hak

yang

1
2

sama bagi para penderita baik masalah kejiwaan maupun gangguan jiwa.

(Undang-Undang no. 18 tahun 2014).

Masalah yang dapat terjadi pada kesehatan jiwa sering

disebut dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah seseorang yang

terganggu dari segi mental dan tidak bisa menggunakan pikirannya

secara normal (Purnama dkk 2016 dalam Rahman 2017). Undang-

undang No. 18 tahun 2014 menjelaskan mengenai orang dengan

gangguan jiwa atau disingkat ODGJ yang artinya adalah orang yang

mengalami gangguan dalam pikiran, prilaku, dan perasaan yang

termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan

prilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan

hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Di negara-

negara berkembang yang menjadi salah satu masalah utama dari

gangguan jiwa adalah skizofrenia. Jenis psikosis yang satu ini

menempati posisi teratas dari seluruh gangguan jiwa yang ada di dunia

(Nuraenah,2012 dikutip dari Riani, 2017). Jadi gangguan jiwa adalah

seseorang yang mengalami perubahan baik dalam segi mental maupun

pikiran sehingga perkembangan biopsikososial mengalami hambatan.

Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang

ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi,

gangguan realitas (halusinasi atau waham) (Keliat,2011). Skizofrenia

memiliki dua gejala yaitu gejala positif dan gejala negatif, dimana salah

satu dari gejala positif penyakit skizofrenia adalah halusinasi yang


memiliki arti dimana saat persepsi dan sensoris tidak benar dan tidak

sesuai dengan realitas yang ada (Baradero, Mary, Anastasia. 2015).

Menurut Trimelia (2011) diperkirakan lebih dari 90% pasien dengan

skizofrenia mengalami halusinasi. Meskipun bentuk halusinasinya

bervariasi tetapi sebagian besar pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa

mengalami halusinasi dengar (Yosep 2016). Pasien skizofrenia yang

mengalami halusinasi disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam

menghadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan

cara mengontrol halusinasi. Tanda dan gejala halusinasi seperti berbicara

sendiri, senyum sendiri, tertawa sendiri, menarik diri dari orang lain, dan

tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata (Maramis, 2008

dikutip dari Wijayanti, 2013).

WHO dikutip dari Yosep (2016) memperkirakan ada sekitar

450 juta orang di dunia yang mengalami masalah gangguan kesehatan

jiwa, dan hampir satu pertiga dari penduduk diwilayah asia tenggara

pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. WHO (2016) menjabarkan

bahwa terdapat 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena

bipolar, sedangkan 21 juta orang mengalami kasus skizoprenia dan

sekitar 47,5 juta orang yang terkena dimensia. Di Negara Indonesia saat

ini dari 34 provinsi menunjukan prevalensi gangguan jiwa sebanyak 1,7

per mil. Proporsi penderita gangguan jiwa yang mengalami pasung

sebanyak 14,3%, tercatat 18,2% penduduk pedesaan melakukan

pemasungan. Angka penderita di berbagai provinsi di Indonesia

berbeda-beda berikut adalah


provinsi dengan angka gangguan jiwa terbanyak yaitu DI Yogyakarta,

Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan jawa tengah (Riskesdas, 2013).

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 menunjukan

angka prevalensi gangguan jiwa berat di Jawa Barat sebanyak 1,8 per

mil. Dengan angka prevalensi di perkotaan dan pedesaan sama yaitu 1,5

per mil penduduk Indonesia yang menderita skizizfren/Psikosis.Angka

tersebut sedikit berbeda dengan yang di laporkan pada Riskesdas

2013sebesar 1,7 per mil.

Banyaknya prevalensi gangguan jiwa berat di kabupaten

Cirebon yaitu 0.73 per mil Berdasarkan data Riskesdas 2018, sedangkan

kota Cirebon 10.43 per mil. Dari data diatas jumlah kasus gangguan jiwa

di kabupaten di Cirebon lebih sedikit dibandingkan kota Cirebon. kasus-

kasus tersebut ditemukan di fasilitas rawat jalan puskesmas. Kasus yang

lebih sering ditemukan yaitu pada posisi pertama ada gangguan emosi

atau neurotik/ psikosomatik sebanyak 15. 885 kasus, posisi kedua ada

gangguan jiwa akut sebanyak 1.274 kasus, posisi ketiga ada skizofrenia

dengan kasus sebanyak 635, dan posisi terakhir ada kasus episode

depresif sebanyak 187 kasus. selain kasus tersebut terdapat pula 84 kasus

gangguan jiwa dan perilaku yang diakibatkan oleh pemakaian lebih dari

satu jenis obat dan zat psikotik. Berdasarkan pengamatan tatalaksana

program kesehatan jiwa di puskesmas pada tahun 2015 lebih banyak

kasus yang ditemukan di puskesmas daripada di rumah sakit dengan

118.327 kasus
gangguan jiwa dipuskesmas dan 14.468 kasus gangguan jiwa di rumah

sakit (www.dinkes.cirebonkab.go.id diakses 24 Februari 2020).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Umum

Daerah Arjawinangun pada tanggal 3 januari-13 februari 2020 pasien

yang dirawat berjumlah 218 orang dengan pasien yang berjenis kelamin

laki- laki yaitu sebanyak 127 orang dan pasien perempuan sebanyak 91

orang. Pasien yang datang ke ruang pattimura terbanyak berumur 15-44

tahun yaitu sebanyak 186 orang dan paling sedikit berumur >65 tahun

sebanyak 3 orang dengan berbagai diagnosa. Jadi dari data tersebut

didapatkan 10 besar masalah keperawatan yang terdapat diruang

pattimura yaitu sebagai berikut:

Tabel 1.1
Distribusi Pasien Berdasarkan 10 Besar Masalah Keperawatan
Utama di Unit Perawatan Jiwa RSUD Arjawinangun bulan
Januari-Desember Tahun 2019

No Masalah Keperawatan Jumlah Pasien (%)


1 Rpk/Pk 75 34
2 Halusinasi 65 30
3 Defisit Perawatan Diri / Dpd 43 20
4 Harga Diri Rendah / Hdr 17 8
5 Isos 8 4
6 Resiko Bunuh Diri 3 1,4
7 Waham 3 1,4
8 Nutrisi Kurang dari Kebutuhan 2 1,0
9 Ketakutan /Paranoid 1 0,5
10 Anxietas / Cemas 1 0,5
Total 218 100
Sumber data: Catatan Rekam Medik Ruang Pattimura RSUD Arjawinangun 2019

Hasil dari tabel di atas menunjukan bahwa halusinasi

menempati peringkat kedua dari sepuluh masalah keperawatan diruangan


Pattimura RSUD Arjawinangun. Halusinasi bila tidak segera ditangani

akan berdampak terjadinya kerusakan baik pada diri sendiri, orang lain

dan lingkungan Sehingga penulis tertarik untuk membahas lebih

mendalam mengenai halusinasi dengar dengan mengangkatnya kedalam

karya tulis ilmiah yang berjudul Asuhan Keperawatan dengan masalah

utama halusinasi dengar di ruang pattimura RSUD Arjawinangun

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan

rumusan masalah yang akan penulis ambil sebagai berikut

“ Bagaimana pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada pasien jiwa dengan

masalah utama gangguan sensori persepsi: Halusinasi dengar di Ruang

Pattimura RSUD Arjawinangun?".

1.3. Tujuan

Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah adalah sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan Umum

Penulisan karya tulis ilmiah ini bertujuan agar penulis

mampu memberikan asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan

masalah utama gangguan sensori persepsi: halusinasi dengar di

Ruang Pattimura RSUD Arjawinangun. Secara holistik dan optimal.

1.3.2. Tujuan Kdhusus

Setelah melakukan asuhan keperawatan penulis dapat:


a. Mengkaji pasien dengan halusinasi dengar

b. Menetapkan diagnosa keperawatan pada pasien halusinasi dengar

c. Menyusun perencanaan keperawatan pada pasien halusinasi dengar

d. Melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien halusinasi

dengar

e. Mengevaluasi pasien pada pasien halusinasi dengar

f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang diberikan pada

pasien halusinasi dengar.

1.4. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari karya tulis ilmiah adalah sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Karya tulis ilmiah ini dapat menjadi bahan bacaan bagi

pembaca dan menjadi salah satu bahan dalam membuat asuhan

keperawatan selanjutnya untuk menyempurnakan asuhan

keperawatan pada pasien halusinasi dengar sebelumnya.

1.4.2. Manfaat

Praktisi 1.4.2.1.Bagi

Penulis

Hasil dari karya tulis ilmiah ini dapat menambah

pengalaman dan meningkatkan keterampilan penulis dalam

memberikan asuhan keperawatan jiwa khususnya pada pasien

dengan masalah utama halusinasi dengar.


1.4.2.2. Bagi Institusi Pendidikan

Penulis berharap karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan

sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan dalam ilmu

keperawatan khususnya pada keperawatan jiwa dengan masalah

keperawatan halusinasi dengar sehingga dapat menambah

pengetahuan bagi pembaca.

1.4.2.3. Bagi Rumah Sakit

Semoga karya tulis ilmiah ini dapat menjadi bahan

masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan

asuhan keperawatan pada pasien halusinasi dengar, sehingga

pasien dapat mendapatkan perawatan yang meliputi

biopsikososiospiritual pada pasien yang mengalami masalah

utama halusinasi dengar.

1.4.2.4. Bagi Pasien dan Keluarga Pasien

Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan

gambaran bagi pasien dan keluarga pasien mengenai masalah dan

perawatan yang diberikan kepada pasien.

1.5. Sistematika Penulisan

Secara garis besar penulis laporan kasus ini sebagai berikut:

BAB I berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan. BAB II berisi

tinjauan pustaka yang menggunakan konsep dasar tentang gambaran

umum yang terdiri dari halusinasi, penyebab halusinasi, klasifikasi

halusinasi, tanda
dan gejala halusinasi, tahapan halusinasi, rentang respon halusinasi serta

proses keperawatan teoritis yang diawali dengan pengkajian, diagnosa

keperawatan, masalah keperawatan,, pohon masalah, rencana

keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi. BAB III berisi

tinjauan kasus yang terdiri dari penerapan asuhan keperawatan berisi

pengumpulan data, analisa data, mengidentifikasi diagnosa

keperawatan, rencana tindakan keperawatan, catatan tindakan

keperawatan dan catatan perkembangan. BAB IV berisikan tentang

pembahasan dari kasus tersebut dan BAB V berisikan simpulan dan

saran dari keseluruhan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Skizofrenia

2.1.1. Pengertian

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein”

yang artinya retak atau pecah (split) dan “phren” yang artinya

pikiran, yang selalu dihubungkan dengan fungsi emosi. Dengan

demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang

yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian serta

emosi (Sianturi,F.L. Risperidone and Haloperidol Comparative

Effect of Positive Symtoms Patient Schizophrenic. Journal of

Biology, Agriculture and Healthcare. 2014). Skizofrenia

merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan

menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan

perilaku yang aneh dan terganggu(Nuraenah. Hubungan

dukungan keluarga dan beban keluarga dalam merawat anggota

dengan riwayat perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Islam.

Klender. Jakarta. 2014. No.1, 41-50). Skizofrenia adalah

gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam

pikiran, emosi dan perilaku. Pikiran yang terganggu, dimana

berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara logis,

persepsi dan perhatian yang keliru

10
11

afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktivitas

motorik yang bizzare (perilaku aneh). Pasien skizofrenia menarik

diri dari orang lain dan kenyataan, seringkali masuk ke dalam

kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi(

Davinson,G,C. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT.Rajagrafindo

Permai.2010).

2.1.2. Etiologi

Skizofrenia dianggap sebagai gangguan yang

menyebabkan multipel dan saling berinteraksi. Diantara factor

multipel itu dapat disebut:

2.1.2.1. Keturunan

Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama

anka kembar satu telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-

1,8%, bagi saudara kandung 7-15%, anak dengan salah satu

orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang

tua menderita skizofrenia 40-60%, kembar dua telur 2-15%.

Kembar satu telur 61-68%. Menurut hukum Mendel

skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif.

2.1.2.2. Gangguan Anatomik

Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak

berperan, yaitu: Lobus temporal, system limbik dan reticular

activating system. Ventrikel penderita skizofrenia lebih besar

daripada kontrol. Pemeriksaan MRI (Magnetik Resonance


Imaging) menunjukkan hilangnya atau 9 kemungkinan budaya

atau adat yang dianggap terlalu berat bagi seseorang dapat

menyebabkan seseorang menjadi gangguan jiwa.

2.1.2.3. Faktor Presipitasi

Secara umum pasien dengan gangguan halusinasi

timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan,

tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak

berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan koping dapat

mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (anna 2008).

Factor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

1) Biologi

Gangguan dalam komunikasi dan putara balik otak

yang mengatur proses informasi serta abnormalitas

pada mekanisme pintu masuk yang ada di dalam otak.

2) Stress lingkungan

3) Sumer koping

2.1.2.4. Tanda dan Gejala

Gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Gejala primer

Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir,

gangguan emosi, gangguan kemauan serta autism(Maramis,W.F.

Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga Press. 2013).


2. Gejala sekunder

Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi dan

gejala ketatonik maupun gangguan psikomotor yang

lain(Maramis,W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya:

Airlangga Press. 2013).

2.1.3. Jenis-jenis Skizofrenia

2.1.3.1. Skizofrenia Simpleks

Skizofrenia Simpleks, sering timbul pertama kali pada

masa pubertas. Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan

kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya

sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat.

Jenis ini timbul secara perlahan, pada permulaan mungkin

penderita kurang memperhatikan keluarganya atau menarik

diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur dalam

kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi

pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia

akan mungkin menjadi “Pengemis”, “Pelacur” atau

“Penjahat”(Maramis,W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.

Surabaya: Airlangga Press. 2013).

2.1.3.2. Skizofrenia Hebefrenik

Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia,

permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa

remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah


gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya

depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku

kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan

halusinasi banyak sekali(Maramis,W.F. Catatan Ilmu

Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga Press. 2013)

2.1.3.3. Skizofrenia Katatonik

Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia,

timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya

akut serta sering didahului oleh stress emosional. Mungkin

terjadi gadu gelisah katatonik atau stupor

katatonik(Maramis,W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.

Surabaya: Airlangga Press. 2013)

1) Stupor katatonik

Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian

sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya sangat

dangkal. Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita

keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan

bergerak.

2) Gaduh gelisah
katatonik

Pada gaduh gelisah katatonik, terdapathiperaktivitas

motoric, tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya

dan tidak dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.

2.1.3.4. Skizofrenia Paranoid

Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam

perjalanan penyakit. Hebefrenia dan katatonia sering lama-


kelamaan menunjukan gejala-gejala skizofrenia simpleks atau

gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian

halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak

konstan(Maramis,W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.

Surabaya: Airlangga Press. 2013)

2.1.3.5. Episode Skizofrenia Akut

Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan

pasien seperti keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin

berkabut, dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan

dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-

akaan mempunyai yang khusus baginya. Prognosisnya baik

dalam waktu beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam

bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang bila kesadaran

yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu

jenis skizofrenia lainnya(Maramis,W.F. Catatan Ilmu

Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga Press. 2013)

2.1.3.6. Skizofrenia Residual

Merupakan keadaan Skizofrenia dengan gejala-gejala

primernya, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder.

Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan

Skizofrenia(Maramis,W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.

Surabaya: Airlangga Press. 2013)


2.1.3.7. Skizofrenia Skizoafektif

Pada Skizofrenia skizoafektif, disamping gejala-gejala

skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-

gejala depresi atau gejala-gejala manik. Jenis ini cenderung

untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi mungkin juga timbul

serangan(Maramis,W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa.

Surabaya: Airlangga Press. 2013)

2.1.4. Penatalaksanaan

Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada

skizofrenia. Hal ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain

dan dengan jangka waktu yang relative cukup lama. Terapi

skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan

rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi

individu, terpi kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri,

latihan keterampilan sosial dan manajemen kasus.

WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk

penanganan masalah gangguan jiwa, baik berbasis

masyarakat maupun tatanan kebijakan seperti puskesmas

dan rumah sakit.

1) Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga.

2) Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan

jiwa di masyarakat.
3) Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui

puskesmas.

4) Level pertama adaalah layanan kesehatan jiwa komunitas.

2.2. Konsep Dasar Halusinasi

2.2.1. Pengertian

Keliat (2011), mendefinisikan halusinasi sebagai salah satu gejala

gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori

persepsi: merasakan sensasi palsu berupa suara, pengelihatan,

pengecapan perabaan atau penghinduan, pasien merasakan stimulus

yang sebenarnya tidak ada. Yusuf, Fityasari dan Nihayati (2015),

mendefinisikan halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu

objek tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori

ini meliputi seluruh panca indra. Halusinasi merupakan salah satu

gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan sensori

persepsi, serta merasakan persepsi palsu berupa suara, pengelihatan,

pengecapan, perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus

yang sebetulnya tidak ada. Kusumawati, Hartono (2011),

mendefinisikan halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia

dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan

eksternal (dunia luar). Pasien memberi persepsi atau pendapat tentang

lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai

contoh pasien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang

yang berbicara. Varcarolis


dikutip dari Yosep dan Sutini (2016), menjelaskan halusinasi dapat

didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang,

dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang paling sering

adalah halusinasi pendengaran (Audiotory-hearing voice or sounds),

penglihatan (visual-Seeing persons or thing), penciuman (Olfactory-

smelling odors), pengecapan (Gustatory-experiencing taste). Penulis

menyimpulkan dari beberapa pengertian diatas halusinasi adalah salah

satu tanda gejala gangguan jiwa berupa adanya perubahan sensori

persepsi, serta merasakan rangsangan yang palsu pada kelima panca

indra.

2.2.2. Etiologi

Penyebab terjadinya halusinasi menurut konsep stress

adaptasi Stuart terdiri dari dua faktor stressor yaitu faktor predisposisi

dan faktor presipitasi (Nurhalimah,2016).

2.2.2.1. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi merupakan faktor risiko dimana

seseorang dapat menentukan jenis dan jumlah sumber masalah

yang sedang dihadapi untuk mengatasi stress. (Fitria, 2012).

Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari:

1) Faktor Biologis

Faktor biologis menurut (Fitria, 2012

& Nurhalimah, 2016), faktor ini meliputi

adanya riwayat anggota


keluarga yang mengalami gangguan jiwa (herediter). Yang

termasuk riwayat keluarga disini bukan lah berasal dari gen

yang diturunkan melainkan dari faktor keluarga yang sangat

berpengaruh terhadap gangguan ini. Selain itu adanya riwayat

gangguan atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan

narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA) juga

menjadi faktor dalam gangguan ini.

2) Faktor Psikologis

Menurut kedua ahli tersebut (Fitria, 2012 &

Nurhalimah, 2016). Psikologis seseorang juga mempengaruhi

untuk dapat terjadinya penyakit ini. Bila seseorang memiliki

hubungan interpersonal yang kurang baik, atau orang tersebut

selalu mengalami kegagalan dalam mencapai keinginannya

juga dapat menjadikan orang tersebut menjadi individu yang

memiliki tingkat stress dan kecemasan yang tinggi. Selain itu

kurangnya kasih sayang dari orang-orang disekitarnya atau

pernah menjadi korban, pelaku ataupun saksi dari perilaku

kekerasan pun ikut menjadikan psikologis seseorang menjadi

terganggu sosiobudaya dan lingkungan.

Sebagian besar pasien halusinasi berasal dari

keluarga dengan sosial ekonomi rendah, selain itu pasien

memiliki riwayat penolakan dari lingkungan pada usia

perkembangan anak, pasien halusinasi seringkali memiliki


tingkat pendidikan yang rendah serta pernah mengalami

kegagalan dalam hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri),

serta tidak bekerja (Nurhalimah, 2016).

3) Faktor biokimia

Saat seseorang mengalami stress yang berlebihan

tubuh akan mengeluarkan suatu zat yang disebut dengan

Buffofenon dan dimethytranferase (DMP). Zat tersebut

bersifat halusinogenik neurokimia (Fitria, 2012).

2.2.2.2. Faktor presipitasi

Faktor presipitasi (Fitria, 2012 & Nurhalimah, 2016).

adalah suatu rangsangan stimulus yang di gambarkan oleh

individu sebagai suatu tantangan, ancaman atau tuntutan yang

menyebabkan seseorang mengeluarkan energi yang besar untuk

dapat menghadapinya. Biasanya pasien halusinasi memiliki

stressor presipitasi terhadap adanya penyakit baik yang bersifat

infeksi dan kronis atau ditemukan adanya kelainan struktur otak.

Selain itu, jika seseorang tidak diajak berkomunikasi dan

diasingkan ketempat yang sepi atau terisolasi yang jauh dari

keramaian merupakan faktor pencetus yang paling sering terjadi.

Sedangkan menurut Yusuf, Fitryasari dan Nihayati

(2015) faktor presipitasi pada masalah halusinasi terbagi menjadi

tiga meliputi pertama stressor sosial budaya, yang dapat terjadi


ketika Stres dan kecemasan yang meningkat bila terjadi

penurunan stabilitas dalam lingkungan keluarga. Kedua adalah

faktor biokimia, seperti dopamine, norepineprin, indolamin serta

zat halusinogenik yang dicurigai adanya hubungan dengan

gangguan orientasi realitas, salah satu diantaranya halusinasi.

Ketiga faktor psikologis, yaitu disaat intensitas kecemasan

seseorang yang terlalu ekstrem dan berkepanjangan serta adanya

keterbatasan dalam kemampuan mengatasi masalah dapat

mengembangkan gangguan orientasi realitas seseorang sehingga

biasanya mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan

yang dianggap tidak menyenangkan.

2.2.3. Klasifikasi halusinasi

Halusinasi dapat terjadi bermacam-macam sehingga

untuk mempermudah untuk menentukan halusinasi pada

seseorang dapat dilihat dalam klasifikasi seperti berikut:

Tabel 2.1
Klasifikasi Halusinasi
Jenis Data Subyektif Data Objektif
Halusinasi
Halusinasi Pasien biasanya mengatakan Pasien terlihat bicara
dengar/ suara mendengar suara-suara atau atau tertawa sendiri,
kegaduhan, mendengar suara marah-marah tanpa
yang mengajak bercakap- sebab, mengarahkan
cakap, dan mendengar suara telinga ke arah
untuk memerintahkan tertentu, dan menutup
melakukan sesuatu yang telinga.
berbahaya.
Halusinasi Pasien mengatakan melihat Pasien terlihat
penglihatan bayangan, sinar, bentuk menunjuk-nunjuk ke

Lanjutan
Jenis Data Subyektif Data Objektif
Halusinasi
geometris, bentuk kartun, arah tertentu dan
melihat hantu atau monster menunjukan
ketakutan pada
sesuatu yang tidak
jelas.
Halusinasi Pasien mengatakan mencium Pasien terlihat sedang
penciuman bau-bauan seperti bau darah, mencium seperti
urine, feses, dan kadang- sedang membau-
kadang bau yang bauan tertentu. Dan
menyenangkan. menutup hidung.
Halusinasi Pasien mengatakan seperti Pasien biasanya
pengecapan merasakan rasa darah, urine, sering meludah dan
atau feses muntah.
Halusinasi Pasien mengatakan ada Pasien Nampak
perabaan serangga di permukaan kulit menggaruk-garuk
dan merasa seperti tersengat permukaan kulit.
listrik.
Sumber: (Yusuf dkk. 2015 ).

2.2.4. Tanda dan


Gejala

Berdasarkan modul bahan ajar cetak keperawatan jiwa

Nurhalimah (2016) tanda dan gejala dari halusinasi dapat dinilai

dari hasil observasi terhadap pasien serta ungkapan dari pasien.

Sehingga didapat tanda dan gejala dari halusinasi adalah sebagai

berikut:

a. Data subyektif

Pasien mengatakan: mendengar suara-suara atau

kegaduhan, mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap,

mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang

berbahaya, melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk

kartun, melihat hantu atau monster, mencium bau-bauan


seperti bau darah, urin, feses, kadang-kadang bau itu

menyenangkan, merasa takut atau senang dengan

halusinasinya.

b. Data objektif

Pasien terlihat: bicara atau tertawa sendiri, marah-

marah tanpa sebab, mengarahkan telinga ke arah tertentu,

menutup telinga, menunjuk-nunjuk ke arah tertentu ,

ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas, mencium sesuatu

seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup hidung,

sering meludah, muntah, menggaruk-garuk permukaan kulit.

2.2.5. Tahapan Terjadinya Halusinasi

Berdasarkan buku asuhan keperawatan pasien

halusinasi Trimelia (2011) terdapat lima tahapan proses

terjadinya halusinasi yaitu sebagai berikut:

a. Tahap I (sleep disorder) merupakan fase awal individu

sebelum munculnya halusinasi. Karakteristik yang biasanya

terjadi adalah individu merasakan banyak masalah, ingin

menghindari orang lain maupun lingkungan, dan takut jika

orang lain tahu bahwa dirinya memiliki banyak masalah.

Masalah dirasakan semakin sulit karena stressor yang ada

dalam diri pasien terakumulasi atau bertambah seperti putus

cinta, di PHK dan lain-lain. Selain itu, masalah dirasakan

semakin menekan disaat


support sistemnya kurang dan persepsi individu terhadap

masalahnya sangat buruk. Hal tersebut menyebabkan sulit

tidur yang terus menerus sehingga individu terbiasa untuk

menghayal dan menganggap hayalan-hayalan tersebut adalah

upaya dari pemecahan masalah.

b. Tahap II (Comforting moderate level of anxiety) pada tahap

ini halusinasi bersifat menyenangkan dan secara umum

diterima sebagai sesuatu yang alami. Karakteristiknya yang

biasanya terjadi individu mengalami emosi yang berlanjut,

seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa

dan ketakutan. Tahap ini individu mencoba untuk

memusatkan pikirannya pada timbulnya kecemasan dan pada

penenangan pikiran untuk mengurangi kecemasan dan

beranggapan bahwa pengalaman pikiran dan sensori yang

dialaminya dapat dikontrol atau dikendalikan jika

kecemasannya dapat diatasi. Dalam tahap ini terdapat

kecenderungan individu yang merasa nyaman dengan

halusinasinya dan halusinasi bersifat sementara.

Perilaku yang muncul: tertawa atau menyeringai

yang tidak sesuai, menggerak-gerakan bibirnya tanpa

menimbulkan suara, gerakan matanya cepat, respon verbal

lamban, diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan.


c. Tahap III (Condemning severe level of anxiety) tahap ini

halusinasi bersifat menyalahkan, sering mendatangi individu,

dan secara umum halusinasi bersifat menjijikan.

Karakteristiknya adalah individu merasakan pengalaman

sensoris menjadi lebih sering datang dan menjadi bias,

pengalaman tersebut mulai menjadi menjijikan dan

menakutkan. Individu mulai merasa kehilangan kendali dan

merasa tidak mampu mengontrolnya sehingga mulai berusaha

utuk menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang

dipersepsikan oleh individu dan individu juga menarik diri

dari orang lain dengan intensitas yang lama karena merasa

malu akan halusinasinya.

Perilaku yang sering muncul: peningkatan sistem

syaraf otonom yang menunjukan ansietas seperti pernafasan,

tekanan darah dan nadi meningkat, konsentrasi menurun,

dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan

kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan

realita.

d. Tahapan IV (Controling severe level of anxiety) tahap ini

halusinasi bersifat mengendalikan sehingga fungsi sensori

menjadi tidak relevan dengan kenyataan dan pengalaman

sensori tersebut menjadi penguasa. Karakteristiknya adalah

halusinasi dirasakan lebih menonjol, menguasai dan


mengontrol individu, adanya perlawanan individu pada suara-

suara atau sensori yang abnormal, individu menjadi tidak

berdaya dan menyerah untuk melawan halusinasi sehingga

halusinasi tersebut menguasai dirinya. Munculnya rasa

kesepian jika halusinasi tersebut berakhir adalah permulaan

individu memasuki fase gangguan psikotik.

Perilaku yang muncul: cenderung mengikuti

petunjuk sesuai isi halusinasi, kesulitan berhubungan dengan

orang lain, rentang perhatian hanya beberapa detik/menit,

adanya gejala fisik kecemasan yang berat seperti berkeringat,

tremor, ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.

e. Tahap V (Concuering panic level of anxiety) tahap ini

halusinasi bersifat menaklukan, halusinasi menjadi lebih

rumit dan individu mengalami gangguan dalam menilai

lingkungannya. Karakteristik yang terjadi yaitu terganggunya

pengalaman sensori, halusinasi berubah menjadi mengancam,

memerintah, memarahi, dan menakutkan apabila perintahnya

tidak diikuti, sehingga individu merasa terancam. Individu

merasa terpaku dan tidak berdaya melepaskan diri dan tidak

dapat berhubungan dengan orang lain. Individu merasa berada

dalam dunia yang menakutkan dalam waktu yang singkat atau

bisa juga beberapa jam, hari atau selamanya/ kronis, tahap ini

terjadinya gangguan psikotik berat.


Perilaku yang muncul: biasanya individu

menunjukan perilaku menyerang, risiko bunuh diri atau

membunuh, kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi

seperti amuk, agitasi, menarik diri, tidak mampunya individu

untuk merespons terhadap petunjuk yang kompleks dan lebih

dari satu orang.

2.2.6. Rentang Respon Neurobiologis

Berdasarkan buku keperawatan kesehatan jiwa Stuart

(2016) menjelaskan rentang respon neurobiologis sebagai berikut:

Gambar 2.1
Rentang respon neurobiologis

Respon adaptif Respon Maladaptif

Pikiran logis Proses pikir kadang tergantung Gg.Proses pikir

waham Persepsi akurat ilusi Halusinasi

Emosi konsisten Emosi berlebihan/kurang Kerusakan proses emosi

Prilaku sesuai Prilaku tidak terorganisir Prilaku tidak

sesuai Hub. Sosial harmonis Prilaku aneh

Isolasi sosial

Sumber: Stuart (2016 )


2.2.7. Tingkat intensitas halusinasi

Halusinasi terbagi menjadi beberapa tahap sebagai

berikut:

Tabel 2.2
Tingkat intensitas halusinasi

Tingkat Karakteristik Prilaku yang


Diamati
Tahap 1: Seseorang akan Tersenyum/
merupakan tahap merasakan cemas, tertawa sendiri,
dimana tingkat kesepian, rasa bersalah menggerakan bibir
halusinasi dalam dan ketakutan sehingga tanpa suara,
batas sedang dan menyebabkan emosi yang penggerakan mata
halusinasi berlebihan. Sehingga yang cepat,
dirasakan orang tersebut akan fokus respons verbal
menyenangkan pada pikiran untuk lambat, diam dan
menghibur agar dapat berkonsentrasi/
mengurangi ansietas. sibuk.
Dalam tahap ini
ditemukan tidak adanya
gangguan
jiwa (Nonpsychotic).
Tahap II: dimana Adanya pengalaman Terjadinya
tingkat ansietas sensori yang menakutkan, peningkatan tanda-
berat yang kehilangan control, tanda saraf otonom
menyalahkan dan menjauh dari sumber yang seperti
menyebabkan dirasakan, dan adanya peningkatan
adanya rasa perasaan dilecehkan oleh denyut jantung,
antipasti dan pengalaman sensori pernapasan dan
halusinasi tersebut sehingga orang tekanan darah,
dirasakan tersebut merasa malu dan mulai
menjijikan. menarik diri dari orang menyempitnya
lain. Namun masih rentang perhatian,
mungkin untuk sibuk dengan
mengarahkan pada hal pengalaman
yang realitas. Tahap ini sensoriknya, dapat
termasuk dalam terjadi kehilangan
gangguan jiwa ringan kemampuan untuk
(Mildly psychotic). membedakan
halusinasi dan
kenyataan.
Tahap III: tingkat Pada tahap ini seseorang Mulai mengikuti
ansietas berat yang sudah menyerah dan arahan dari
mengontrol mulai menerima halusinasi daripada
pengalaman pengalaman sensorinya, menolaknya,
sensoris sehingga isi dari halusinasi dapat adanya kesulitan
dirasakan
Dilanjutkan
Tingkat Karakteristik Prilaku yang
Diamati
tidak dapat ditolak menarik, dan merasa untuk berhubungan
lagi, dan menjadi kesepian bila pengalaman dengan orang lain,
mahakuasa sensori berakhir. Tahap hanya beberapa
ini termasuk dalam detik atau menit
gangguan jiwa saja rentang
(psychotic) perhatian yang
ditunjukan,
munculnya gejala
fisik dari ansietas
yang parah seperti
berkeringat,
tremor, dll.
Tahap IV: tingkat Pengalaman sensorik Perilaku yang
ansietas panik yang tersebut dapat mengancam ditunjukan panik
menakutkan. jika tidak diikuti, seperti dilanda
Halusinasi mulai halusinasi tersebut dapat teror, memiliki
menjadi rumit dan berlangsung selama potensi untuk
dipengaruhi oleh berjam-jam atau berhari- bunuh diri atau
waham hari jika tidak secepatnya membunuh yang
diberikan tindakan. Tahap kuat, menunjukan
ini sudah masuk dalam aktivitas fisik
tahap gangguan jiwa sesuai dengan isi
berat (Severely halusinasinya
psychotic). seperti kekerasan,
agitasi, menarik
diri, atau
katatonia. Tidak
dapat
merespons
petunjuk
kompleks, dan
tidak dapat
merespon bila
lebih dari satu
orang.
Sumber: (Stuart, 2016 & Yusuf dkk, 2015).
BAB III

KONSEP TEORITIS

3.1. Konsep Asuhan Keperawatan

3.1.1. Pengkajian

Kozier,et al. (2010) mendefinisikan pengkajian adalah

pengumpulan, pengaturan, validasi, dan dokumentasi data

(informasi) yang sistematis dan berkesinambungan yang dilakukan

pada semua fase proses keperawatan. Berikut adalah pengkajian yang

dilakukan untuk mendapatkan informasi pada pasien gangguan jiwa

meliputi:

3.1.2. Identitas

Dimana perawat dan pasien saling berkenalan dan

kontak mengenai: nama perawat, nama panggilan perawat, nama

pasien, nama panggilan pasien, tujuan, waktu, tempat pertemuan,

dan topik yang akan dibicarakan. Selain itu tanyakan usia dan

catat nomor rekam medis, tanggal pengkajian dan sumber data

yang didapat (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

3.1.3. Alasan Masuk

Berisi pertanyaan mengenai penyebab pasien atau

keluarga datang ke rumah sakit saat ini, tindakan yang sudah

keluarga lakukan untuk mengatasi masalah tersebut serta hasil

dari tindakan tersebut (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

30
31

3.1.4. Faktor Predisposisi

Faktor ini berisi mengenai pengalaman pasien

mengenai ada atau tidaknya riwayat gangguan jiwa dimasa lalu.

Jika pasien pernah mengalami gangguan jiwa tanyakan hasil dari

pengobatan yang pernah dilakukan, selain itu tanyakan apakah

pasien pernah mengalami, melakukan atau menyaksikan

penganiayaan baik fisik maupun seksual, bagaimana lingkungan

pasien apakah melakukan penolakan terhadapnya, adakah

kekerasan dalam rumah dan apakah pasien pelaku atau korban

dari tindakan kriminal.

Selain itu tanyakan juga anggota keluarga yang lain

apakah ada atau tidak yang mengalami masalah gangguan jiwa

seperti pasien. Jangan lupa tanyakan hubungan pasien dengan

anggota keluarga yang sakit tersebut. Serta bagaimana

pengalaman pasien di masa lalu ada atau tidaknya pengalaman

yang tidak menyenangkan seperti kegagalan, kehilangan,

perpisahan, kematian dan kegagalan dalam tumbuh kembang

(Direja, 2011 & Keliat, 2011).

3.1.5. Pemeriksaan Fisik

Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, tinggi

badan, berat badan, serta ada atau tidaknya masalah fisik yang

pasien alami bila ada lakukan pemeriksaan pada sistem tersebut


(Direja, 2011) dan dokumentasikan masalah keperawatan sesuai

dengan data yang ditemukan (Keliat, 2011).

3.1.6. Psikososial

1) Genogram

Genogram terdiri dari tiga generasi dengan menggambarkan

pola komunikasi, pola asuh dan pengambilan keputusan

(Direja, 2011 & Keliat, 2011).

2) Konsep diri

a) Citra tubuh

Berisi mengenai bagian tubuh yang pasien sukai

dan tidak sukai (Direja, 2011) serta bagaimana reaksi pasien

terhadap bagian tubuh tersebut (Keliat, 2011).

b) Identitas diri

Berisi status dan posisi pasien sebelum dirawat,

serta kepuasan pasien terhadap status dan posisinya seperti

di tempat kerja, sekolah atau kelompoknya serta kepuasan

pasien mengenai jenis kelaminnya (Direja, 2011).

c) Fungsi Peran

Berisi peran atau tugas pasien baik didalam

keluarga, kelompok atau masyarakat serta kemampuan yang

pasien miliki dalam menjalankan peran atau tugas tersebut,

(Direja, 2011) selain itu tanyakan perubahan yang terjadi

saat
pasien sakit dan dirawat lalu bagaimana perasaan pasien

akibat perubahan tersebut (Keliat, 2011).

d) Ideal diri

Berisi harapan-harapan pasien mengenai posisi,

status, tugas/peran, lingkungan baik di keluarga, sekolah,

tempat kerja atau masyarakat (Direja, 2011) dan harapan

terhadap penyakit yang dideritanya lalu bagaimana jika

kenyataan tersebut tidak sesuai dengan apa yang

diharapkannya (Keliat, 2011).

e) Harga diri

Berisi mengenai hubungan pasien dengan orang

lain apakah sesuai dengan kondisi diatas,

penilaian/penghargaan yang orang lain berikan terhadap

pasien dan kehidupannya (Direja, 2011) serta, dampak

pasien berhubungan dengan orang lain, harapan, fungsi

peran dan ideal diri yang tidak sesuai harapan (Keliat,

2011).

3.1.7. Hubungan Sosial

Berisi orang-orang yang dekat dengan kehidupan

pasien, orang yang biasa pasien bercerita, meminta bantuan

ataupun dukungan. Selain itu tanyakan kepada pasien mengenai

aktivitasnya di dalam masyarakat apakah pasien terlibat dalam

salah satu kelompok di lingkungannya serta sejauh mana pasien

tersebut terlibat dalam kelompok (Direja, 2011). Ada atau

tidaknya
hambatan dalam berhubungan dengan orang lain serta bagaimana

minat pasien untuk berinteraksi dengan orang lain (Keliat, 2011).

Hasil dari pengkajian penulis sebelumnya pasien

halusinasi cenderung untuk acuh tak acuh (apatis) dengan

lingkungannya.

3.1.8. Spiritual

1) Nilai dan kepercayaan

Berisi mengenai pandangan dan keyakinan pasien

mengenai gangguan jiwa dengan menyesuaikan norma

budaya dan agama yang dianut oleh pasien dan tanyakan

pandangan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa

(Direja, 2011).

2) Kegiatan ibadah

Berisi kegiatan-kegiatan ibadah pasien dirumah

apakah pasien beribadah sendiri atau kelompok dan

bagaimana pendapat pasien ataupun keluarga mengenai

kegiatan ibadah (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

3.1.9. Status Mental

1) Penampilan

Biasanya data yang didapat melalui observasi

yaitu mengenai penampilan pasien yang tidak rapih, pakaian

yang pasien kenakan tidak sesuai dengan keadaan, cara

mengenakan pakaian yang tidak seperti biasanya serta dapat

berisi
penjelasan mengenai kondisi pasien selain kondisi-kondisi

yang sudah ada (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

2) Pembicaraan

Amati bagaimana pasien berbicara apakah lambat,

cepat, keras, gagap, terburu-buru, membisu, apatis, sering

terhenti serta tidak mampu memulai pembicaraan dan

inkoheren (bila pembicaraan berpindah-pindah dari satu

kalimat ke kalimat lain yang tidak ada kaitannya ) (Direja,

2011 & Keliat, 2011).

Hasil dari pengkajian penulis sebelumnya pada

pasien halusinasi didapati pasien tidak berbicara cepat dan

volume sedang namun pasien sering berbicara sendiri, tidak

mampu memulai pembicaraan dan inkoheren (ngaco).

3) Aktivitas motorik

Aktivitas motorik didapat dengan menggunakan

metode observasi keadaan pasien apakah lesu, tegang, atau

gelisah yang tampak jelas terlihat. Mungkin pasien

menunjukan gerakan motorik yang menunjukan kegelisahan

atau agitasi, selain itu ada pula aktivitas motorik yang disebut

dengan tik yaitu keadaan dimana adanya gerakan-gerakan

kecil yang tidak terkontrol pada otot muka, atau grimasen

dimana gerakan otot muka yang berubah-ubah dan tidak

dapat dikontrol oleh pasien. Adapula tremor yaitu jari-jari

pasien
nampak bergetar ketika pasien mengulurkan tangan dan

merentangkan jari-jari dan kompulsif yaitu kegiatan pasien

yang selalu dilakukan secara berulang-ulang (Direja, 2011 &

Keliat, 2011).

4) Alam perasaan

Data alam perasaan pasien yang didapatkan dari

observasi meliputi sedih, putus asa, gembira yang berlebihan

nampak jelas terlihat, ketakutan pada objek yang sudah jelas,

dan khawatir (objeknya belum jelas) (Direja, 2011 & Keliat,

2011).

Hasil dari pengkajian penulis sebelumnya pasien

halusinasi memiliki alam perasaan adanya khawatir pada

objek yang tidak jelas.

5) Afek

Data afek pasien di dapati dari hasil observasi dan

hasilnya dapat berupa datar yaitu tidak ada ekspresi pada

wajah saat ada stimulasi yang menyenangkan atau

menyedihkan, tumpul yaitu hanya berekspresi saat ada

stimulasi yang kuat, labil yaitu emosi pasien yang berubah

dengan cepat, dan afek yang tidak sesuai yaitu emosi yang

pasien miliki tidak sesuai atau bertentangan dengan stimulasi

yang ada (Direja, 2011 & Keliat, 2011).


Hasil dari pengkajian penulis sebelumnya pasien

halusinasi memiliki afek yang labil dapat berubah-ubah

dengan cepat.

6) Interaksi wawancara

Data didapatkan melalui wawancara dan

observasi, biasanya pasien menunjukan sikap yang

bermusuhan, tidak kooperatif, dan mudah tersinggung telah

tampak jelas, kontak mata kurang, defensif atau selalu

mempertahankan pendapat dirinya, dan curiga (Direja, 2011

& Keliat, 2011).

7) Persepsi

Data tersebut mengenai jenis-jenis dari halusinasi,

isi halusinasi, frekuensi halusinasi (Direja, 2011), waktu

terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi

serta gejala yang nampak pada saat pasien berhalusinasi

(Keliat, 2011).

8) Proses pikir

Data yang diperoleh ini saat kita mewawancarai

pasien yaitu pertama sirkumstansial yaitu pembicaraan yang

berbelit-belit sebelum sampai ke tujuan, kedua tangensial

yaitu pembicaraan yang berbelit-belit tidak sampai pada

tujuan pembicaraan, ketiga kehilangan asosiasi yaitu

pembicaraan yang dilakukan tidak memiliki hubungan antar

kalimatnya dan tidak menyadarinya, keempat flight of ideas

yaitu pembicaraan
meloncat dari satu topik ke topik lainnya namun ada

hubungan yang tidak logis dan tidak sampai tujuan, kelima

blocking yaitu saat melakukan pembicaraan tiba-tiba pasien

berhenti tanpa ada stimulus dari luar kemudian dilanjutkan

kembali, dan terakhir perseverasi yaitu pembicaraan yang

diulang-ulang (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

9) Isi pikiran

Data yang diperoleh melalui wawancara seperti

obsesi yaitu pikiran-pikiran yang selalu muncul walaupun

pasien berusaha menghilangkannya, fobia yaitu saat

seseorang mengalami ketakutan yang patologis atau tidak

logis terhadap objek atau situasi tertentu, hipokondria yaitu

keyakinan terhadap adanya gangguan pada organ dalam

tubuh yang sebenarnya tidak ada, depersonalisasi yaitu

perasaan pasien yang acuh terhadap diri sendiri atau orang

lain atau lingkungan, ide yang terkait yaitu keyakinan pasien

terhadap kejadian yang terjadi di lingkungan, bermakna, dan

terkait pada dirinya, pikiran magis yaitu khayalan pasien

mengenai kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang

mustahil/ diluar kemampuannya (Direja, 2011 & Keliat,

2011).

10) Tingkat kesadaran

Data yang didapatkan menggunakan metode

wawancara dan observasi adalah saat pasien bingung (tampak


bingung dan kacau), bila hanya observasi ada stupor

(gangguan motorik, seperti ke kakuan, gerakan yang diulang-

ulang, anggota tubuh dalam sikap canggung yang

dipertahankan dalam waktu yang lama, tetapi pasien

menyadari semua yang terjadi di lingkungan), sedangkan bila

hanya wawancara terdapat orientasi pasien mengenai waktu,

tempat dan orang. Selain hal-hal tersebut ada beberapa

tingkat kesadaran yang lain seperti sedasi yaitu dimana pasien

mengatakan bahwa ia merasa melayang-layang antara sadar

dan tidak sadar (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

11) Memori

Untuk memori dapat dilihat dari gangguan daya

ingat jangka panjang (tidak dapat mengingat kejadian yang

terjadi lebih dari satu bulan), gangguan daya ingat jangka

pendek (tidak dapat mengingat kejadian yang terjadi dalam

minggu terakhir), gangguan daya ingat saat ini (tidak dapat

mengingat kejadian yang baru saja terjadi), dan konfabolasi

yaitu pembicaraan pasien yang tidak sesuai dengan kenyataan

dengan memasukan cerita yang tidak benar untuk menutupi

gangguan daya ingatnya (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

12) Tingkat konsertasi dan berhitung

Data yang diperoleh dapat berupa apakah

konsentrasi pasien mudah dialihkan, tidak mampu


berkonsentrasi dan tidak dapat atau tidak mampu berhitung

(Direja, 2011 & Keliat, 2011).

13) Kemampuan penilaian.

Ada dua kelainan dalam kemampuan penilaian

yaitu gangguan kemampuan penilaian ringan yaitu dapat

mengambil keputusan yang sederhana dengan bantuan orang

lain dan gangguan kemampuan penilaian bermakna yaitu

tidak mampu mengambil keputusan walaupun dibantu orang

lain (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

14) Daya tilik diri

Data dapat diperoleh melalui wawancara dan hasil

dari data tersebut dapat berupa mengingkari penyakit yang

diderita dan menyalahkan hal-hal diluar dirinya baik orang

lain atau lingkungan (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

3.1.10. Kebutuhan Persiapan Pulang

1) Makan

Tanyakan mengenai frekuensi, jumlah, variasi,

macam dan cara makan serta observasi kemampuan pasien

dalam menyiapkan dan membersihkan alat makan (Direja,

2011 & Keliat, 2011). Pasien halusinasi biasanya sibuk

dengan pikirannya sendiri sehingga tidak ada waktu untuk

pasien makan atau menolak makan saat halusinasinya sedang

mengancam dirinya.
2) Buang Air Besar dan Buang Air Kecil

Observasi kemampuan yang pasien miliki untuk

pergi ke WC, menggunakan WC, dan kemudian

membersihkannya setelah itu observasi cara pasien

membersihkan diri dan merapihkan pakaian (Direja, 2011 &

Keliat, 2011).

3) Mandi

Tanyakan mengenai frekuensi, cara mandi,

menyikat gigi, cuci rambut, gunting kuku, dan bercukur.

Serta observasi mengenai kebersihan tubuh dan bau badan

(Direja, 2011 & Keliat, 2011).

4) Berpakaian

Kemampuan pasien untuk mengambil, memilih

dan mengenakan pakaian serta alas kaki, lihat pula

penampilan dan dandanan pasien, serta tanyakan frekuensi

pasien untuk berganti pakaian, nilai kemampuan yang harus

dimiliki oleh pasien (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

5) Istirahat dan tidur

Tanyakan berapa lama dan waktu saat tidur

siang/malam, persiapan sebelum tidur dan aktivitas sesudah

tidur, mandi/cuci muka dan menyikat gigi (Direja, 2011 &

Keliat, 2011). Pasien yang mengalami halusinasi merasa


bahwa dirinya sedang ada yang mengawasi dan ia merasa

tidak aman sehingga istirahat dan tidurnya tergangu.

6) Penggunaan obat

Observasi penggunaan obat meliputi frekuensi,

jenis, dosis, waktu dan cara pemberian serta reaksi dari obat

yang digunakan (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

7) Pemeliharaan kesehatan

Tanyakan kepada pasien tentang bagaimana,

kapan perawatan lanjut dan tempat perawatan lanjutan serta

siapa saja sistem pendukung yang dimiliki oleh pasien

(Direja, 2011 & Keliat, 2011).

8) Aktivitas di dalam rumah

Tanyakan kemampuan pasien meliputi

merencanakan, mengolah dan menyajikan makanan,

merapihkan rumah, mencuci pakaian sendiri dan mengatur

kebutuhan biaya sehari-hari (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

9) Aktivitas di luar rumah

Tanyakan kemampuan pasien untuk berbelanja

sehari-hari, bisa tidak pasien melakukan perjalanan mandiri,

dan aktivitas lain yang dapat dilakukan diluar rumah (Direja,

2011 & Keliat, 2011).


3.1.11. Pola dan Mekanisme Koping

Data yang diperoleh didapat melalui wawancara pada

pasien atau keluarga, mengenai koping yang dimiliki pasien

apakah adaptif atau maladaptif (Direja, 2011 & Keliat, 2011).

Hasil dari pengkajian penulis sebelumnya pasien

halusinasi cenderung lebih menunjukan koping individu yang

maladaptif.

3.1.12. Masalah psikososial dan lingkungan

Data yang diperoleh melalui wawancara berisi setiap

masalah yang dimiliki pasien (Direja, 2011).

3.1.13. Pengetahuan

Data yang diperoleh dapat melalui wawancara pada

pasien (Direja, 2011).

3.1.14. Aspek medik

Berisikan diagnosa medis yang dirumuskan oleh dokter yang

merawat pasien, tuliskan pula obat-obatan pasien baik itu obat

fisik ataupun psikofarmaka (Direja, 2011).


3.2. Pohon masalah

Gambar 2.2
Pohon masalah
halusinasi

Risiko perilaku kekerasan

Gangguan sensori

persepsi: halusinasi

pendengaran/penglihatan Defisit
perawatan diri

Isolasi sosial Penurunan


motivasi
perawatan
diri
Harga diri rendah

ketidakberdayaan

koping individu tidak efektif

sumber: (Trimelia, 2011)

3.3. Diagnosa Keperawatan

Kozier et al. (2010) mendefinisikan diagnosa

keperawatan adalah fase kedua dalam proses keperawatan. Diagnosa

ini merupakan tahap yang penting sehingga perawat perlu berpikir

kritis untuk menginterpretasi data pengkajian dan mengidentifikasi

kekuatan serta
masalah pada pasien. Dapat dilihat pada pohon masalah diatas,

terdapat beberpa diagnosa keperawatan yang dapat ditegakan sebagai

berikut.

3.3.1. Risiko Perilaku Kekerasan

1) Definisi

Perilaku kekerasan menurut Keliat (2011) adalah

suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang

secara fisik maupun psikologis.

2) Batasan karakteristik

a) Subjektif

Biasanya mengungkapkan kata-kata ancaman,

serta kata-kata yang kasar, selain itu pasien juga

mengungkapkan keinginannya untuk melukai atau

memukul.

b) Objektif

Terlihat dari wajahnya yang nampak memerah

dan tegang, pandangan yang tajam, mengatupkan

rahangnya dengan kuat, mengepalkan tangan, suaranya

tinggi atau berteriak dan kasar, selalu mondar-mandir, dan

bahkan sampai melempar atau memukul apapun yang ada

didekatnya baik benda atau manusia.

3) Faktor
risiko
Berdasarkan buku diagnosis keperawatan

Wilkinson (2016) menjelaskan faktor risiko dari terjadinya

risiko prilaku kekerasan adalah sebagai berikut: adanya

riwayat penganiayaan baik menjadi saksi, korban maupun

pelaku. riwayat kekerasaan baik langsung terhadap orang lain

atau diri sendiri maupun tidak langsung, pernah terlibat dalam

penyalahgunaan zat-zat yang terlarang, adanya gangguan pada

neurologis, riwayat ancaman kekerasan.

3.3.2. Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi

1) Definisi

Halusinasi menurut Keliat (2011) adalah salah

satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh

pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,

penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghinduan tanpa

stimulus yang nyata.

2) Batasan karakteristik

a) Subjektif

Selalu mendengarkan suara-suara gaduh atau

yang sedang bercakap-cakap, ada suara yang

memerintahkan berbuat sesuatu, pandangannya seperti

melihat adanya bayangan/ sinar/ bentuk kartun/ hantu/

monster, adanya bau darah/ urin/ feses/ kadang bau yang


menyenangkan yang tercium, adanya perasaan senang atau

takut terhadap halusinasinya.

b) Objektif

Selalu berbicara atau tertawa sendiri,

terkadang marah-marah tanpa penyebab yang pasti,

menutup telinga, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas,

menunjuk-nunjuk kearah tertentu, membau-baui sesuatu,

menutup hidungnya, sering meludah bahkan muntah, dan

menggaruk-garuk permukaan kulit.

3) Faktor yang berhubungan

Faktor-faktor yang berhubungan dengan halusinasi

adalah sebagai berikut: menarik diri, koping individu yang

tidak efektif, adanya gangguan pada proses berpikir atau kata

lain mengalami delusi.

3.3.3. Isolasi sosial

1) Definisi

Isolasi sosial menurut Doenges (2015) adalah

kesendirian yang dialami oleh individu dan merasa sebagai

beban orang lain dan sebagai kondisi yang negatif atau

mengancam.

2) Batasan karakteristik

a) Subjektif
Mengungkapkan perasaan kesendirian yang

diakibatkan orang lain, merasa tidak aman bila ditempat

umum, perasaan tidak mampu untuk memenuhi harapan

orang lain, ketertarikan yang tidak sesuai dengan tahap

perkembangannya, merasa memiliki perasaan yang tidak

sama dengan orang lain.

b) Objektif

Kurang atau tidak ada dukungan dari orang

terdekat, memiliki afek yang tumpul, tidak komunikatif,

selalu mengasingkan diri atau memilih untuk sendiri, tidak

melakukan kontak mata, perilaku yang tidak sesuai

dengan perkembangan, adanya tindakan yang berulang-

ulang.

3) Faktor yang berhubungan

Faktor yang berhubungan isolasi sosial meliputi:

terdapat faktor pendukung terhadap ketidakpuasan dalam

hubungan personal, adanya perubahan pada penampilan fisik

atau status mental, gangguan kondisi kesehatan, nilai atau

perilaku sosial yang tidak diterima, ketidakadekuatan sumber

personal, tidak mampu mencapai kepuasan dalam hubungan

personal.
3.4. Intervensi Keperawatan

Kozier et al (2010) mendefinisikan intervensi

keperawatan adalah setiap tindakan yang berdasarkan penilaian klinis

dan pengetahuan, yang perawat lakukan untuk meningkatkan hasil

pada pasien. Rencana tindakan yang perawat akan berikan pada

pasien dengan gangguan sensori persepsi: halusinasi adalah sebagai

berikut.
Tabel 2.3
Intervensi Keperawatan Resiko Perilaku kekerasan
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
keperawatan
1 2 3 4 5
1. Risiko 1. Pasien dapat 1.1 pasien menunjukan 1.1.1 Bina hubungan saling percaya dengan: beri
perilaku membina tanda-tanda percaya salam setiap interaksi, perkenalkan nama, nama
kekerasan hubungan kepada perawat dengan panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan,
saling menunjukan wajah cerah, tanyakan dan panggil nama kesukaan pasien, tunjukan
percaya tersenyum, mau sikap empati, jujur, dan menepati janji setiap
berkenalan, ada kontak berinteraksi, tanyakan perasaan pasien dan masalah
mata, bersedia yang dihadapi pasien, buat kontrak interaksi yang
menceritakan perasaan jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan
perasaan pasien.
2. Pasien dapat 2.1 pasien menceritakan 2.1.1 bantu pasien mengungkapkan perasaan
mengidentifi penyebab perilaku marahnya dengan cara motivasi pasien untuk
kasi kekerasan yang menceritakan penyebab rasa kesal atau jengkelnya,
penyebab dilakukannya yaitu dengarkan tanpa menyela atau member penilaian
perilaku menceritakan penyebab setiap ungkapan perasaan pasien.
kekerasan perasaan jengkel/kesal
yang baik dari diri sendiri
dilakukannya maupun lingkungannya.
3. Pasien dapat 3.1 pasien menceritakan 3.1.1 bantu pasien mengungkapkan tanda-tanda
mengidentifi keadaan: fisik meliputi perilaku kekerasan yang dialaminya dengan cara
kasi tanda- mata merah, tangan memotivasi pasien menceritakan kondisi fisik saat
tanda mengepal, ekspresi perilaku kekerasan terjadi, motivasi pasien
perilaku tegang, dan lain-lain. menceritakan kondisi emosinya saat terjadi perilaku
kekerasan Emosional meliputi kekerasan, motivasi pasien menceritakan kondisi

50
51

Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
keperawatan
perasaan marah, jengkel, psikologis saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi
bicara kasar. Sosial pasien menceritakan kondisi hubungan dengan orang
meliputi bermusuhan lain saat terjadi perilaku kekerasan.
yang dialami saat terjadi
perilaku kekerasan.
4. Pasien dapat 4.1 pasien menjelaskan 4.1.1 diskusikan dengan pasien perilaku kekerasan
mengidentifi mengenai jenis-jenis yang dilakukannya selama ini: motivasi pasien
kasi jenis ekspresi kemarahan yang menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang
perilaku selama ini telah selama ini pernah dilakukannya, motivasi pasien
kekerasan dilakukannya, menceritakan perasaan pasien setelah tindak
yang pernah perasaannya saat kekerasan tersebut terjadi, diskusikan apakah dengan
dilakukannya melakukan kekerasan, tindak kekerasan yang dilakukannya masalah yang
efektivitas cara yang dialami teratasi.
dipakai dalam
menyelesaikan masalah.
5. Pasien dapat 5.1 pasien menjelaskan 5.1.1 Diskusikan dengan pasien akibat negatif
mengidentifi akibat tindak kekerasan (kerugian) cara yang dilakukan pada diri sendiri,
kasi akibat yang dilakukannya: diri orang lain/ keluarga, dan lingkungan.
perilaku sendiri meliputi luka,
kekerasan dijauhi teman, dll. Orang
lain/ keluarga meliputi
luka, tersinggung,
ketakutan, dll.
Lingkungan meliputi
barang atau benda rusak
dll.
6. Pasien dapat 6.1 pasien menjelaskan 6.1.1 diskusikan dengan pasien mengenai apakah
51
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
keperawatan
mengidentifi cara-cara sehat pasien mau mempelajari cara baru mengungkapkan
kasi cara mengungkapkan marah marah yang sehat, jelaskan berbagai alternatif pilihan
konstruktif untuk mengungkapkan marah selain perilaku
dalam kekerasan yang diketahui pasien, jelaskan cara-cara
mengungkap sehat untuk mengungkapkan marah seperti: pertama
kan cara fisik dengan nafas dalam, pukul bantal/ kasur,
kemarahan. dan olah raga. Kedua secara verbal dengan
mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal kepada
orang lain. Ketiga sosial dengan cara latihan asertif
dengan orang lain. Terakhir cara spiritual dengan
sembahyang/ doa, zikir, meditasi, dsb sesuai
keyakinan agamanya masing-masing.
7. Pasien dapat 7.1 pasien memperaga- 7.1.1 diskusikan cara yang mungkin dipilih dan
mendemons- kan cara mengontrol anjurkan pasien memilih cara yang mungkin untuk
trasikan cara perilaku kekerasan secara mengungkapkan kemarahan.
mengontrol fisik yaitu nafas dalam, 7.1.2 latih pasien memperagakan cara yang dipilih:
perilaku memukul bantal/ kasur. peragakan cara melaksanakan cara yang dipilih,
kekerasan Secara verbal yaitu
jelaskan manfaat cara tersebut, anjurkan pasien
mengungkapkan menirukan peragaan yang sudah dilakukan, beri
perasaan kesal/ jengkel penguatan pada pasien dan perbaiki cara yang masih
pada orang lain tanpa belum sempurna.
menyakiti. Secara7.1.3 anjurkan pasien menggunakan cara yang sudah
spiritual yaitu zikir/ doa dilatih saat marah/jengkel.
meditasi sesuai
agamanya.
8. Pasien 8.1 keluarga: 8.1.1 diskusikan pentingnya peran serta keluarga
mendapat menjelaskan cara sebagai pendukung pasien untuk mengatasi perilaku
52
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
keperawatan
dukungan merawat pasien dengan kekerasan.
keluarga perilaku kekerasan dan 8.1.2 diskusikan potensi keluarga untuk membantu
untuk mengungkapkan rasa pasien mengatasi perilaku kekerasan.
mengontrol puas dalam merawat 8.1.3 jelaskan pengertian, penyebab, akibat dan cara
perilaku pasien. merawat pasien perilaku kekerasan yang dapat
kekerasan dilaksanakan oleh keluarga.
8.1.4 peragakan cara merawat pasien (menangani PK)
8.1.5 beri kesempatan keluarga untuk memperagakan
ulang
8.1.6 beri pujian kepada keluarga setelah peragaan
8.1.7 tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba
cara yang dilatih.
9. Pasien 9.1 pasien menjelas- kan 9.1.1 jelaskan manfaat menggunakan obat secara
mengguna- mengenai manfaat teratur dan kerugian jika tidak menggunakan obat.
kan obat minum obat, kerugian 9.1.2 jelaskan kepda pasien mengenai jenis obat
sesuai tidak minum obat, nama (nama, warna, dan bentuk obat), dosis yang tepat
program obat, bentuk dan warna untuk pasien, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek
yang telah obat, dosis yang yang akan dirasakan pasien.
ditetapkan diberikan kepadanya, 9.1.3 anjurkan pasien untuk minta dan menggunakan
waktu pemakaian, cara obat tepat waktu, lapor ke perawat/dokter jika
pemakaian, efek yang mengalami efek yang tidak biasa, beri pujian terhadap
dirasakan kedisiplinan pasien menggunakan obat.
9.2 pasien menggunakan
obat sesuai program.
Sumber: (Hidayat dkk. 2017: 77)

53
Tabel 2.4
Intervensi Keperawatan Halusinasi
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
keperawatan
Gangguan 1. pasien dapat 1.1 Ekspresi wajah 1.1.1 Bina hubungan saling percaya dengan
sensori membina bersahabat, menunjukan mengungkapkan prinsip komunikasi terapentik.
persepsi: hubungan rasa senang ada kontak Seperti: sapa pasien dengan ramah baik verbal
Halusinasi saling mata. Mau berjabat maupun non verbal, perkenalkan diri dengan sopan,
percaya tangan, mau tanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan
menyebutkan nama, mau yang disukai pasien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur
menjawab salam, pasien dan menepati janji, tunjukan sikp simpati dan
mau duduk berdampingn menerima apa adanya, beri perhatian pada kebutuhan
dengan perawat, mau dasar pasien adakan kontak sering dan singkat secara
mengungkap-kan bertahap.
masalah yang dihadapi.
2. Pasien dapat 2.1 Pasien dapat 2.1.1 Adakah kontak sering dan singkat secara
mengenal menyebutkan waktu, isi, bertahap.
halusinasinya frekunsi timbulnya 2.1.2 Observasi tingkah laku pasien terkait dengan
halusinasi. halusinasinya; bicara dan tertawa sendiri, memandang
a. Pasien dapat ke kiri atau ke kanan atau kedepan seolah-olah ada
mengungkapkan teman bicara.
perasaan terhadap 2.1.3 Bantu pasien mengenali halusinasinya. Jika
halusinasi nya menemukan pasien yang sedang halusinasi, tanyakan
apakah ada suara yang didengar. Jika pasien
menjawab ada, lanjutkan: apa apa yang dikatakan.
Katakan bahwa perawat percaya pasien mendengar
suara itu, namun perawat sendiri tidak mendengarnya
(dengan nada bersahabat tanpa menuduh atau 54
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
keperawatan
menghakimi). Katakan bahwa pasien lain juga ada
seperti pasien. Katakan bahwa perawat akan
membantu pasien. Jika pasien tidak berhalusinasi
klarifikasi tentang adanya pengalaman halusinasi.
2.1.4 Diskusikan dengan pasien: situasi yang
menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi ( jika
sendiri, jengkel / sedih), waktu dan frekuensi
terjadinya halusinasi (pagi, siang sore, dan malam
atau sering dan kadang-kadang)
2.1.5 Diskusikan dengan pasien apa yang dirasakan
jika terjadi halusinasi (marah, takut, sedih, senang)
beri kesempatan mengungkapkan perasaannya.
2. Pasien dapat 3.1 Pasien dapat 3.1.1 Identifikasi bersama pasien cara tindakan yang
mengontrol menyebutkan tindakan dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah,
halusinasi yang biasanya dilakukan menyibukan diri dll).
nya untuk mengendalikan 3.1.2 Diskusikan manfaat dan cara yang digunakan
halusinasinya pasien, jika bermanfaat beri pujian.
3.2 Pasien dapat 1.1.3 Diskusikan cara baru untuk memutus atau
menyebutkan cara baru mengontrol timbulnya halusinasi: katakan: “saya
3.3 Pasien dapat tidak mau dengar/lihat kamu” (pada saat halusinasi
memilih cara mengatasi terjadi), menemui orang lain (perawat/teman/anggota
halusinasi seperti yang keluarga) untuk bercakap cakap atau mengatakan
telah didiskusikan halusinasi yang didengar / dilihat, membuat jadwal
dengan pasien kegiatan sehari hari agar halusinasi tidak sempat
3.4 Pasien dapat muncul, meminta keluarga/teman/ perawat menyapa
melaksanakan cara yang jika tampak bicara sendiri
telah dipilih untuk 3.1.4 Bantu pasien memilih dan melatih cara memutus 55
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
keperawatan
mengendalikan halusinasi secara bertahap
halusinasinya
3. Pasien dapat 4.1 Keluarga dapat 4.1.1 Anjurkan pasien untuk memberitahu keluarga
dukungan membina hubungan jika mengalami halusinasi.
dari keluarga saling percaya dengan 4.1.2 Diskusikan dengan keluarga (pada saat
dalam perawat keluarga berkunjung/pada saat kunjungan rumah)
4.2 Keluarga dapat mengenai: gejala halusinasi yang di alami pasien,
menyebutkan pengertian, cara yang dapat dilakukan pasien dan keluarga untuk
tanda dan tindakan untuk memutus halusinasi, cara merawat anggota keluarga
mengendali kan yang halusinasi di rumah: beri kegiatan, jangan
halusinasi biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama,
beri informasi waktu follow up atau kapan perlu
mendapat bantuan halusinasi tidak terkontrol, dan
risiko mencederai orang lain.
4. Pasien dapat 5.1 Pasien dan 5.1.1 Diskusikan dengan pasien dan keluarga
memanfaat keluarga dapat tentang dosis,efek samping dan manfaat obat.
kan obat menyebutkan manfaat, 5.1.2 Anjurkan pasien minta sendiri obat pada
dengan baik dosis dan efek samping perawat dan merasakan manfaatnya.
obat 5.1.3 Anjurkan pasien bicara dengan dokter tentang
5.2 Pasien dapat manfaat dan efek samping obat yang dirasakan.
mendemons- trasikan 5.1.4 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa
penggunaan obat dgn konsultasi.
benar 5.1.5 Bantu pasien menggunakan obat dengan
5.3 Pasien dapat prinsip 5 (lima) benar
informasi tentang
manfaat dan efek
samping obat
56
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi
keperawatan
5.4 Pasien memahami
akibat berhenti minum
obat tanpa konsultasi
Pasien dapat
menyebutkan prinsip 5
benar penggunaan obat
Sumber: (Damaiyanti, Mukhripah & iskandar, 2012: 63).

Tabel 2.5
Intervensi Keperawatan Isolasi Sosial
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
1 2 3 4 5
Isolasi sosial 1. Pasien dapat 1.1 Ekspresi wajah 1.1.1 Bina hubungan saling percaya dengan
membina bersahabat menunjukan mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik
hubungan rasa senang ada kontak seperti: sapa pasien dengan ramah baik verbal
saling mata, mau berjabat maupun non verbal, perkenalkan diri dengan sopan,
percaya. tangan, mau menjawab tanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan
salam, pasien mau duduk yang disukai pasien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur
berdampingan dengan dan menepati janji, tunjukan sifat empati dari
perawat, mau menerima pasien apa adanya, beri perhatian kepada
mengutarakan masalah pasien dan perhatikan kebutuhan dasar pasien.
yang dihadapi.
2. Pasien dapat 2.1 Pasien dapat 2.1.1 kaji pengetahuan pasien tentang perilaku
menyebutkan menyebutkan penyebab menarik diri dan tanda-tandanya. 57
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
penyebab menarik diri yang berasal 2.1.2 Beri kesempatan kepada pasien untuk
menarik diri dari: diri sendiri, orang mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau
lain, lingkungan. tidak mau bergaul.
2.1.3 Diskusikan bersama pasien tentang perilaku
menarik diri tanda-tanda serta penyebab yang
muncul.
2.1.4 Berikan pujian terhadap kemampuan pasien
dalam menggunakan perasaannya.
3. Pasien dapat 3.1 pasien dapat 3.1.1 Kaji pengetahuan pasien tentang manfaat dan
menyebutkan menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain.
keuntungan keuntungan berhubungan 3.1.2 Beri kesempatan dengan pasien untuk
berhubungan dengan orang lain. mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
dengan orang berhubungan dengan orang lain.
lain dan 3.1.3 Diskusikan bersama pasien tentang keuntungan
kerugian berhubungan dengan orang lain.
tidak 3.1.4 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
berhubungan pengungkapan perasaan tentang keuntungan
dengan orang berhubungan dengan orang lain.
lain.
3.2 Pasien dapat 3.2.1 Kaji pengetahuan pasien tentang manfaat dan
menyebutkan kerugian kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
tidak berhubungan 3.2.2 Beri kesempatan kepada pasien untuk
dengan orang lain. mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain.
3.2.3 Diskusikan bersama pasien tentang kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain.
3.2.4 Beri reinforcement positif terhadap kemampuan
58
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
pengungkapan perasaan tentang kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain.
4. Pasien dapat 4.1 Pasien dapat 4.1.1 Kaji kemampuan pasien membina hubungan
melaksana- mendemonstrasikan dengan orang lain.
kan hubungan hubungan sosial secara 4.1.2 Dorong dan bantu pasien untuk berhubungan
sosial secara bertahap antara: K-P, K- dengan orang lain melalui tahap: K-P, K-P-P lain, K-
bertahap P-K, K-P-Kel, K-P-Klp. P-P lain- K lain, K-P-Kel/Klp/Masy.
4.1.3 Beri reinforcement terhadap keberhasilan yang
telah dicapai.
4.1.4 Bantu pasien untuk mengevaluasi manfaat
berhubungan.
4.1.5 Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan
bersama pasien dalam mengisi waktu.
4.1.6 Motivasi pasien untuk mengikuti kegiatan
ruangan.
4.1.7 Beri reinforcement atas kegiatan pasien dalam
ruangan.
5. Pasien dapat 5.1 pasien dapat 5.1.1 Dorong pasien untuk mengungkapkan
mengungkapk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain.
an perasaannya setelah 5.1.2 Diskusikan dengan pasien tentang perasaan
perasaannya berhubungan dengan manfaat berhubungan dengan orang lain.
setelah orang lain: diri sendiri, 5.1.3 Beri reinforcement positif atas kemampuan
berhubungan orang lain. pasien mengungkapkan manfaat berhubungan dengan
dengan orang orang lain.
lain.
6. Pasien dapat 6.1 keluarga dapat: 6.1.1 Bisa berhubungan saling percaya dengan
memberdaya- menjelaskan keluarga: salam; perkenalkan diri, sampaikan tujuan,
59
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
kan sistem perasaannya, buat kontrak, eksplorasi perasaan keluarga.
pendukung menjelaskan cara 6.1.2 Diskusikan dengan anggota keluarga tentang:
atau keluarga merawat pasien menarik perilaku menarik diri, penyebab perilaku menarik
mampu diri, mendemonstrasikan diri, akibat yang akan terjadi jika perilaku menarik
mengembang cara perawatan pasien diri tidak ditanggapi, cara keluarga menghadapi
kan menarik diri, pasien menarik diri.
kemampuan berpartisipasi dalam 6.1.3 Dorong anggota keluarga untuk memberikan
pasien untuk perawatan pasien dukungan kepada pasien untuk berkomunikasi
berhubungan menarik diri. dengan orang lain.
dengan orang 6.1.4 Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan
lain. bergantian menjenguk pasien minimal satu minggu
sekali.
6.1.5 Beri reinforcement atas hal-hal yang telah
dicapai oleh keluarga.
Sumber: (Damaiyanti, Mukhripah & iskandar, 2012: 86)

Tabel 2.6
Intervensi Keperawatan Harga Diri Rendah
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
1 2 3 4 5
Harga diri 1. Pasien dapat 1.1 Ekspresi wajah 1.1.1 bina hubungan saling percaya dengan
rendah membina bersahabat, menunjukan mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik
hubungan rasa senang, ada kontak sebagai berikut: sapa pasien dengan ramah baik verbal
saling mata, mau berjabat maupun non verbal, perkenalkan diri dengan sopan,
percaya tangan, mau tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang
dengan menyebutkan nama, mau disukai pasien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan 60
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
perawat menjawab salam, pasien menepati janji, tunjukan sikap empati dan menerima
mau duduk pasien apa adanya, beri perhatian kepada dan
berdampingan dengan perhatian kebutuhan dasar pasien.
perawat, mau
mengutarakan masalah
yang dihadapi.
2. Pasien dapat 2.1 pasien mengidenti- 2.1.1 diskusikan kemampuan dan aspek positif yang
mengidentifi fikasi kemampuan dan dimiliki pasien dan buat daftarnya jika pasien tidak
kasi aspek positif yang mampu mengidentifikasi maka dimulai oleh perawat
kemampuan dimiliki seperti untuk memberi pujian pada aspek positif yang
dan aspek kemampuan yang dimiliki pasien.
positif yang dimiliki pasien, aspek 2.1.2 setiap bertemu pasien hindarkan memberi
dimiliki. positif keluarga, aspek penilaian negatif.
positif lingkungan yang 2.1.3 utamakan memberi pujian yang realistis.
dimiliki pasien.
3. Pasien dapat 3.1 pasien menilai 3.1.1 diskusikan dengan pasien kemampuan yang
menilai kemampuan yang masih dapat dilaksanakan selama sakit.
kemampuan dimiliki untuk 3.1.2 diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan
yang dimiliki dilaksanakan. pelaksanaannya.
untuk
dilaksanakan
4. Pasien dapat 4.1 pasien membuat 4.1.1 rencanakan bersama pasien aktivitas yang dapat
menetapkan rencana kegiatan harian. dilakukan setiap hari sesuai kemampuan baik kegiatan
atau mandiri, kegiatan dengan bantuan sebagian dan
merencana- kegiatan yang membutuhkan bantuan total.
kan kegiatan 4.1.2 tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi
sesuai kondisi pasien.
61
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
dengan 4.1.3 beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang
kemampuan boleh pasien lakukan.
yang dimiliki
5. Pasien dapat 5.1 pasien melakukan 5.1.1 beri kesempatan pada pasien untuk mencoba
melakukan kegiatan sesuai kondisi kegiatan yang telah direncanakan.
kegiatan dan kemampuannya. 5.1.2 beri pujian atas keberhasilan pasien.
sesuai 5.1.3 diskusikan kemungkinan pelaksanaan kegiatan
kondisi dan setelah pulang.
kemampuan
nya.
6. Pasien dapat 6.1 pasien memanfaatkan 6.1.1 beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang
memanfaat- sistem pendukung yang cara merawat pasien dengan harga diri rendah.
kan sistem ada di keluarga. 6.1.2 bantu keluarga memberikan dukungan selama
pendukung pasien dirawat
yang ada. 6.1.3 bantu keluarga menyiapkan lingkungan
dirumah.
Sumber: (Hidayat dkk. 2017: 77)

62
Tabel 2.7
Intervensi Keperawatan Defisit Perawatan diri
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
1 2 3 4 5
Defisit 1. Pasien dapat 1.1 dalam… kali interaksi 1.1.1 bina hubungan saling percaya dengan cara beri
perawatan membina pasien menunjukan salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama, nama
diri hubungan tanda-tanda percaya panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
saling kepada perawat seperti Tanyakan nama dan panggilan kesukaan pasien.
percaya wajah cerah, tersenyum, Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali
dengan mau berkenalan, ada berinteraksi, tanyakan perasaan dan masalah yang
perawat. kontak mata, menerima dihadapi pasien. Buat kontrak interaksi yang jelas,
kehadiran perawat, dengarkan ungkapan perasaan pasien dengan empati,
bersedia menceritakan penuhi kebutuhan dasar pasien.
perasaannya.
2. Pasien 2.1 dalam… kali interaksi 2.1.1 diskusikan dengan pasien mengenai penyebab
mengetahui pasien menyebutkan pasien tidak merawat diri, manfaat menjaga
pentingnya penyebab tidak merawat perawatan diri untuk keadaan fisik, mental, dan sosial.
perawatan diri, manfaat menjaga Tanda-tanda perawatan diri yang baik, penyakit atau
diri. perawatan diri, tanda- gangguan kesehatan yang biasa dialami oleh pasien
tanda bersih dan rapi, bila perawatan diri tidak adekuat.
gangguan yang dialami
jika perawatan diri tidak
diperhatikan.
3. Pasien 3.1 dalam… kali 3.1.1 diskusikan frekuensi menjaga perawatan diri
mengetahui interaksi pasien selama ini seperti mandi, gosok gigi, keramas,
cara-cara menyebutkan frekuensi berpakaian, berhias, gunting kuku.
melakukan menjaga perawatan diri 63
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
perawatan seperti frekuensi mandi,
diri. frekuensi gosok gigi,
frekuensi keramas,
frekuensi ganti pakaian,
frekuensi berhias,
frekuensi gunting kuku.
3.2 dalam… kali 3.1.2 diskusikan cara praktek perawatan diri yang
interaksi pasien baik dan benar mengenai mandi, gosok gigi, keramas,
menjelaskan cara berpakaian, berhias, gunting kuku.
menjaga perawatan diri 3.1.3 berikan pujian untuk setiap respon pasien yang
seperti cara mandi, cara positif.
gosok gigi, cara
keramas, cara
berpakaian, cara berhias,
cara gunting kuku.
4. Pasien dapat 4.1 dalam… kali interaksi 4.1.1 bantu pasien saat perawatan diri mandi, gosok
melaksana- pasien mempraktikkan gigi, keramas, berpakaian, berhias, gunting kuku.
kan perawatan diri dengan 4.1.2 beri pujian setelah pasien selesai melaksanakan
perawatan dibantu oleh perawat perawatan diri.
diri dengan seperti mandi, gosok gigi,
bantuan keramas, berpakaian,
perawat. berhias, gunting kuku.
5. Pasien dapat 5.1 dalam…kali interaksi 5.1.1 pantau pasien dalam melaksanakan perawatan
melaksana- pasien melaksanakan diri mengenai mandi, gosok gigi, keramas,
kan praktik perawatan diri berpakaian, berhias, gunting kuku.
perawatan secara mandiri seperti 5.1.2 beri pujian saat pasien melaksanakan perawatan
diri secara mandi 2x sehari, gosok diri secara mandiri.
64
Diagnosa Perencanaan
No Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
keperawatan
mandiri. gigi sehabis makan,
keramas 2x seminggu,
ganti pakaian 1x sehari,
berhias sehabis mandi,
gunting kuku setelah
mulai panjang.
6. Pasien 6.1 Dalam… kali 6.1.1 diskusikan dengan keluarga mengenai penyebab
mendapatkan interaksi keluarga pasien tidak melaksanakan perawatan diri, tindakan
dukungan menjelaskan cara-cara yang telah dilakukan pasien selama di rumah sakit
keluarga membantu pasien dalam dalam menjaga perawatan diri dan kemajuan yang
untuk memenuhi kebutuhan telah dialami oleh pasien.
meningkat- perawatan dirinya. 6.1.2 diskusikan dengan keluarga tentang sarana yang
kan 6.2 Dalam… kali diperlukan untuk menjaga perawatan diri pasien dan
perawatan interaksi keluarga anjurkan kepada keluarga menyiapkan sarana
diri. menyiapkan sarana tersebut.
perawatan diri pasien: 6.1.3 diskusikan dengan keluarga hal-hal yang perlu
sabun mandi, pasta gigi, dilakukan keluarga dalam perawatan diri mengenai
sikat gigi, shampoo, anjurkan keluarga untuk mempraktikan perawatan diri
handuk, pakaian bersih, (mandi, gosok gigi, keramas, berpakaian, berhias,
sandal, dan alat berhias. gunting kuku), ingatkan pasien waktu mandi, gosok
6.3 Keluarga gigi, keramas, ganti baju, berhias, dan gunting kuku.
mempraktikan perawatan Bantu jika pasien mengalami hambatan dalam
diri pada pasien perawatan diri, beri pujian atas keberhasilan pasien.
Sumber: (Hidayat dkk. 2017: 77)

65
66

3.5. Implementasi Keperawatan

Kozier et al. (2010) mendefinisikan implementasi adalah fase

ketika perawat melaksanakan intervensi keperawatan. Berdasarkan buku

Manajemen kasus gangguan jiwa: CMHN (Keliat, Wiyono, Susanti,

2011) implementasi dapat menggunakan susunan seperti pada

komunikasi terapeutik yang langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Tahap orientasi

Tahap ini dilakukan saat kita pertama kali betemu dan

seterusnya. Tujuan dari tahap ini adalah mengevaluasi kondisi pasien,

memastikan rencana yang akan dilakukan sesuai dengan kondisi

pasien saat itu dan melakukan evaluasi atas tindakan yang telah

diajarkan. Tahap ini terdiri dari salam terapeutik, perkenalan atau

mengingat nama serta memvalidasi dan mengevaluasi keadaan

pasien, mengingatkan kontrak/pertemuan yang terdiri dari topik atau

tindakan atau kegiatan, tempat dan waktu pelaksanaannya.

b. Tahap kerja.

Merupakan bagian utama dalam hubungan perawat pasien

yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan yang sebelumnya

telah direncanakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai baik

untuk pasien maupun keluarga pasien. Pada kasus pasien dengan

gangguan sensori persepsi: halusinasi, memiliki tahap kerja sebagai

berikut (Damaiyanti & Iskandar 2012 ):


1) Sp 1 halusinasi

a) Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien

b) Mengidentifikasi isi halusinasi pasien

c) Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien

d) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien

e) Mengidentifikasi situasi yang dapat menimbulkan

halusinasi pasien

f) Mengidentifikasi respon pasien terhadap halusinasi pasien

g) Mengajarkan pasien menghardik halusinasi

h) Menganjurkan pasien memasukan cara menghardik ke

dalam kegiatan harian

2) Sp 2 halusinasi

a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

b) Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan

obat secara teratur

c) Menganjurkan pasien memasukan kedalam jadwal kegiatan

harian

3) Sp 3 halusinasi

a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

b) Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan cara

bercakap-cakap dengan orang lain.

d) Menganjurkan pasien memasukan kedalam jadwal kegiatan

harian
4) Sp 4 halusinasi

a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

b) Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan cara

melakukan kegiatan.

c) Menganjurkan pasien memasukan kedalam jadwal kegiatan

harian

c. Tahap terminasi

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari pertemuan

perawat dengan pasien. Pada tahap ini terbagi menjadi dua yaitu

tahap terminasi sementara dan terminasi minasi terakhir. Pada tahap

terminasi sementara adalah saat berakhirnya pertemuan perawat

pasien dan akan bertemu lagi dengan pasien pada waktu yang telah

disepakati biasanya terminasi sementara ini terdiri dari evaluasi hasil

yang terbagi lagi menjadi evaluasi subjektif dan objektif, tindak

lanjut, dan kontrak yang akan datang mengenai waktu , topik, dan

tempat.

3.6. Evaluasi Keperawatan

Kusumawati, Hartono (2011) mendefinisikan evaluasi

merupakan proses yang berkelanjutan dan dilakukan secara terus-

menerus untuk melihat efek dari tindakan keperawatan yang telah

dilaksanakan. Evaluasi keperawatan terbagi menjadi dua yaitu:

1. Evaluasi proses (formatif), evaluasi ini dilakukan pada setiap akhir

dari tindakan yang diberikan.


2. Evaluasi hasil (sumatif), evaluasi ini dilakukan dengan cara

membandingkan antara respon dari pasien dengan tujuan yang ingin

dicapai.

Pola pikir dari evaluasi keperawatan dapat menggunakan pendekatan

SOAP untuk penulisannya, berikut adalah penjelasan dari singkatan

SOAP, sebagai berikut:

S (Subjektif): respon subjektif pasien atas tindakan keperawatan yang

telah diberikan.

O (Objektif): berupa respon objektif dari pasien yang telah diberikan

tindakan keperawatan

A (Analisis): analisis antara data subjektif dan objektif sehingga dapat

disimpulkan maslah tersebut sudah tertangani atau belum

tertangani maupun munculnya masalah-masalah baru yang

lainnya.

P (Perencanaan): rencana tindak lanjut terhadap analisis yang telah

dilakukan.

Dalam merencanakan tindak lanjut dapat terdiri dari hal-hal

berikut yaitu rencana teruskan jika masalah belum terselesaikan, rencana

dimodifikasi jika belum menunjukan hasil yang maksimal walaupun

semua tindakan keperawatan telah diberikan, rencana dan diagnosis

keperawatan dibatalkan jika terdapat masalah baru yang bertolak

belakang dengan masalah keperawatan yang telah ditentukan tersebut,

dan rencana dan diagnosis selesai jika tujuan dari pemberian tindakan

keperawatan
telah terpenuhi sehingga tindakan yang dilakukan selanjutnya hanya

memelihara dan mempertahankan kondisi yang baru.

Evaluasi yang diharapkan pada pasien halusinasi dengar setelah

diberikan asuhan keperawatan adalah sebagai berikut:

a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya.

b. Pasien dapat mengidentifikasi halusinasinya dan menghardik

halusinasi.

c. Pasien mau minum obat secara teratur.

d. Pasien dapat mengandalikan halusinasinya dengan cara

bercakap-cakap dengan orang lain.

e. Pasien mampu mengendalikan halusinasinya dengan cara

melakukan kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary., Dayrit, W. M., Maratning, A.(2015). Kesehatan mental


psikiatri. (Linda, Ayu., penerjemah ).Jakarta: EGC.
Damaiyanti, M., dan Iskandar. (2012).Asuhan keperawatan jiwa. Bandung: PT
Refika Aditama.
Dharma, Kelana Kusuma. (2011). Metodologi penelitian keperawatan
(pedoman melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian). Jakarta: CV.
Trans info media.
Direja, Ade Herman Surya. (2011). Asuhan keperawatan jiwa. Nuha medika:
Yogyakarta.
Doenges, M. E., Mary F. M., Alice C. G. (2012). Rencana asuhan keperawatan:
pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien.
(edisi ketiga). (I Made & Ni Made, penerjemah). Jakarta: EGC.
Fitria, Nita. (2012). Prinsip dasar dan aplikasi penulisan laporan pendahuluan
dan strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika.
Hidayat., Solihin., Rochayati., Haryanto., Rohmana. (2017). Buku panduan
praktek klinik keperawatan jiwa. Cirebon: Prodi keperawatan Cirebon.
Keliat, Budi. A., Wiyono, A. P., Susanti. H.(2011).Manajemen kasus gangguan
jiwa: CMHN (intermediate course).Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. (2016). Riset Kesehatan Dasar: RISKESDAS 2013. Diambil pada
24 Februari 2018. Dari www.depkes.go.id
Kemenkes RI. (2015). Rencana strategis kementrian kesehatan tahun 2015-2019.
Diambil pada 24 Februari 2018. Dari www.dinkes.cirebonkab.go.id
Kozier, Barbara… [et al]. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep,
proses, dan praktik (Karyuni, Eko…[et al] penerjemah). Jakarta: EGC.
Kusumawati, Farida., Hartono, Yudi. (2011).Buku ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Lestary, Heny., dkk. (2013). Riskesdas dalam angka provinsi jawa barat 2013.
Diambil pada 28 Februari 2018. Dari www.litbang.depkes.go.id
Nurarif, A. H., Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan
berdasarkan diagnosa medis & nanda nic-noc jilid 3.Jogjakarta: mediaction
Nurhalimah. (2016) .ModulBahan Cetak Keperawatan: Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Rahman, F. H. (2017). Upaya penurunan risiko perilaku kekerasan pada
dengan melatih asertif secara verbal. Diambil pada 27 Februari 2018.
Dari www. eprints.ums.ac.id/52404/.
Riani, B. R. (2017). BAB I PDF. Diambil pada 27 Februari 2018. Dari
www.scholar.unad.ac.id
Rosdahl, Caroline. B., Kowalski, Mary. T. (2014). Buku ajar keperawatan
dasar. (edisi kesepuluh). (Setiawan., Tampubolon, A. O., Mardelia, E. A.,
Yulianti, Devi., penerjemah). Jakarta: EGC.

71
72

Stuart, G. W. (2016).Prinsip dan praktik keperawatan kesehatan jiwa. (edisi


kedua). (Keliat, B. A & Pasaribu, J., penerjemah). Singapore: Elsevier
(Singapore) Pte Ltd.
Trimelia. (2011). AsuhanKeperawatan klien Halusinasi. Jakarta: Trans Info
Media.
Undang-Undang No.18 tahun 2014. (2014). Undang-Undang No.18 tahun 2014.
Diambil pada 02 Maret 2018. Dari http://yankes.kemenkes.go.id/assets/
download/UU%20No.%2018%20Th%202014%20ttg%20Kesehatan%20jiw
a.pdf.
Videbeck, Sheila. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa.(Komalasari, Renata.,
Hany, Alfarina., penerjemah). Jakarta: EGC.
WHO. (2016). Mental health: strengthening our response. Diambil pada 24
Februari 2018. Dari
www.who.int/entity/mediacentre/factsheets/fs220/en/index. html
Wijayanti, Ni. M., Candra, I. W., Ruspawan, I. D. M. (2013). Terapi okupasi
aktivitas waktu luang terhadap perubahan gejala halusinasi pendengaran
pada pasien skizofrenia. Diambil pada 08 Maret 2018. Dari poltekkes-
denpasar.ac.id/files/…/Ni%20Made%20Wijayanti,%20dkk.pdf.
Wilkinson, Judith. M. (2016). Diagnosis keperawatan diagnosis NANDA-I,
intervensi NIC, hasil NOC. (edisi kesepuluh).(Wahyuningsih, E. &
Praptiani, W., penerjemah). Jakarta: EGC.
Yosep, Iyus., dan Sutini, Titin. (2016). Buku ajar keperawatan jiwa dan
advance mental health nursing.Bandung: PT Refika aditama
Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihatati, H. E. (2015).Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta. Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai