Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AKIDAH AKHLAK
BAB 3 KESATUAN DAN KERAGAMAN AKIDAH DALAM ISLAM

DOSEN PENGAMPU: Zaitun Abidin S.Pd.,M.Pd.

Disusun Oleh:
Pivi sopiana (12010325924)

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul (Kesatuan dan
Keragaman Akidah dalam Islam) ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dosen Zaitun Abidin
S.Pd.I, M.Pd.. pada Matakuliah Akidah Akhlak. Selain itu, makalah ini juga
bertujuaan untuk menambahkan wawasan tentang bagian bagian dari kesatuan dan
keragaman akidah dalam islam bagi para pembaca dan juga penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Dosen Zaitun Abidin, S.Pd.I, M.Pd.
selaku dosen Matakuliah Akidah Akhlak yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini

Sei Meranti Km0, 21 November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………2

DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar
Belakang……………………………………………………………………………………
……….……………………………………………………………………………………4
B. Rumusan
Masalah……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………..4
C. Tujuan
Penulisan……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………..4

BAB II PEMBAHASAN

KESATUAN DAN KERAGAMAN AKIDAH DALAM ISLAM

A. Kesatuan Akidah Sejak Nabi Adam a.s. Hingga Nabi Muhammad SAW………………..5
B. Jalan yang di tempuh para Rasul dalam Menanamkan Akidah…………………...………9
C. Keragaman Akidah dalam Islam dan permasalahannya…………………………………11

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN………………………………………………………………………….………13

DAFTAR REFERENSI……………………………………………………………….…………14

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sepanjang sejarah, Tauhid digunakan untuk menetapkan dan menerangkan segala apa yang
diwahyukan Allah kepada RasulNya. Perkembangan Tauhid mengalami beberapa tahapan
sesuai dengan  dengan perkembangan manusia, yang dimulai pada masa nabi Adam,
Rasulullah SAW, masa Khullafaurrasyidun, sampai sekarang, walaupun demikian dari nabi
Adam hingga sekarang aqidah dalam islam tetap satu yaitu mengesakan Tuhan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kesatuan aqidah islam semenjak nabi Adam hingga nabi Muhammad
SAW.?
2.  jalan apa yang ditempuh para Rasul dalam menanamkan akidah islam?
3. Bagaimana keberagaman akidah dalam islam dan permasalahannya?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui kesatuan aqidah islam semenjak nabi Adam hingga nabi Muhammad
SAW.
2.  Mengetahui jalan yang ditempuh para Rasul dalam menanamkan akidah islam?
3. Mengetahui keberagaman akidah dalam islam dan permasalahannya?

4
BAB II
PEMBAHASAN
KESATUAN DAN KERAGAMAN AKIDAH DALAM ISLAM

A. Kesatuan Akidah Sejak Nabi Adam a.s. Hingga Nabi Muhammad SAW.

Sejarah menunjukkan bahwa pemahaman manusia terhadap tauhid sudah tua


sekali,yaitu sejak diutusnya Nabi Adam a.s. ketika diturunkan kebumi, Nabi Adam a.s.
membawa akidah ketauhidan tersebut. Sejak itu, telah diketahui dan diyakini adanya dan
Esa-Nya Allah SWT. Sebagai pencipta alam. Hal ini sebagaimana ditanyakan dalam
firman Allah SWT:

‫ك ِم ۡن اَ ۡر َس ۡلنَا َو َم ۤا‬
َ ِ‫اِ ٰلهَ اَل َنَّهٗ اِلَ ۡي ِه نُ ۡو ِح ۡۤى اِ اِاَّل ۤ َّرس ُۡو ٍل ِم ۡن قَ ۡبل‬
﴾ ۲۵: ۤ ‫اعبُد ُۡو ِن اَنَا اِاَّل‬ ۡ َ‫ ﴿ ف‬ ‫األنبياء‬
Artinya:
‘’Dan kami tidak mengutus seorang rosul pun sebelum engkau (Muhammad, melainkan
kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku,
maka sembahlah Aku.’’
(Q.S. Al-Anbiya [21]: 25)

Berdasarkan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa semua nabi, mulai Nabi Adam a.s.
sampai dengan Nabi Muhammad SAW., mengajar dan memimpin umat untuk
meyakinkan bahwa yang menjadikan alam atau pencipta alam semesta ini adalah
Tunggal, Esa, yaitu Allah SWT. Namun, ketika Nabi Adam a.s. wafat, di antara cucu-
cucunya itu terdapat beberapa orang menyimpang dari akidah ini. Hal ini disebabkan
kapasitas dan keterbatasan kemampuan pikiran mereka dalam memahami kebenaran yang
tunggal tersebut.1

Dari penyimpangan akidah ini kelak lahir kepercayaan yang sesat dan menyimpang
dari agama yang benar. Jumlah mereka yang tersesat itu dari hari ke hari semakin
bertambah, sedangkan akidahnya pun semakin jauh dari sumber yang asli. Untuk
mengembalikan akidah yang sesat itu, Allah SWT. Mengutus rasul yang dipilih-Nya dari
kalangan anak cucu Adam dengan membawa akidah tauhid pula. Rasul ini lalu
menyampaikan ajakan untuk masuk ke dalam agama (Islam) yang dahulu dibawa oleh
1
Nurcholish Madjid, Islaam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm.
179.

5
Nabi Adam a.s. umat manusia pun, yang waktu itu jumlahnya belum begitu banyak,
sebagian lalu kembali pada akidah tauhidnya. Akan tetaapi, ada pula yang tetap
berpegang pada akidahnya yang sesat.

Allah SWT. Kembali mengutus seorang rasul untuk mengembalikan anak cucu
Adam itu pada akidahnya yang benar dan lurus. Dalam hal ini Allah SWT. Mengutus
pula seorang rasul dengan membawa ajaran yang sama, yaitu akidah ketauhidan.
Demikianlah seterusnya, nabi dan rasul silih berganti dating dan pergi: Nabi Adam a.s.
wafat, datang Nabi Idris a.s., Nabi Idris a.s. wafat, datang Nabi Nuh a.s., dan Nabi Nuh
a.s., wafat diutus pula Nabi Shalih a.s., dan seterusnya bersambung panjang membentuk
garis vertikal hingga Nabi Muhammad SAW.2

Pangkal tolak tentang kebenaran universal yang tunggal itu adalah adanya keyakinan
tentang akidah tauhid, suatu kepercaayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana
tersebut di atas, bahwa adanya kepercayaan terhadap keesaan Tuhan berakibat terhadap
adanya keyakinan tentang kesatuan umat dengan segala implikasinya.

Dengan demikian, akidah tauhid itu merupakan akidah yang satu yang merentang
panjang dari Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW. Itulah yang dimaksud
dengan kesatuan akidah dalam sejarah umat manusia. Adapun ajaran-ajaran agama yang
tidak mencerminkan ketauhidan hanya merupakan penyimpangan dari akidah ketauhidan
yang satu itu.3

Mengenai kesatuan umat manusia itu kemudian timbul persilisihan yang telah
digambarkan oleh Allah SWT., dalam firman-Nya

Artinya:

‘’Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk,
menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama
mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk member keputusan diantara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih
hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab), setalah bukti-bukti yang nyata
sampai kepada mereka, karena kedengkian diantara mereka sendiri. Maka
dengan kehendak-Nya, Allah member petunjuk kepada mereka yang beriman

2
Afif Muhammad et.al.,Tauhid, Bandung: Bina Imu, 1986, hlm. 13.

3
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 178-179

6
tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.’’

(Q.S. Al-Baqarah [2]: 213)

Allah SWT. Berfirman:

Artinya :

‘’Dan sungguh, (agama tauhid) inilah, agama kamu, agama yang satu dan Aku
adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka terpecah
belah dalam urusan (agama)nya menjadi beberapa golongan. Setiap golongan
(merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).’’

(Q.S. Al-Mu’minun [23]: 52-53)

Dan firman Allah SWT:

Artinya:

‘’Sesungguhnya kami telah mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana


kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan kami telah
mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub dan anak cucunya; Isa,
Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami telah memberikan Kitab Zabur
kepada Dawud. Dan ada beberapa rasul yang telah kami kisahkan mereka
kepadamu sebelumnya dan ada beberapa rasul (lain) yang tidak kami kisahkan
kepadamu. Dan Allah kepada Musa, Allah berfiman langsung.’’

(Q.S. An-Nisa [4]: 163-164)

Berkaitan dengan makna kesatuaan umat, dalam hal ini Ismail Raji Al-Faruqi
menyatakan bahwa orang-orang yang beriman hendaknya memiliki satu pijakan yang
akan memberikan kepada seluruh usahanya satu makna yang mencakup keseluruhan,
yaitu mengabdi kepada Tuhan. Ummah adalah satu dan harus tetap satu sebab Tuhan juga
satu dan pengabdian kepada-Nya juga satu. Kehendak-Nya bagi seluruh umat manusia
untuk segala tempat dan waktu, yang diungkapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
SAW.dan yang terkristalisasi di dalam syariat adalah satu.4

4
Isma’il Raji Al-Faruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, Kuala Lumpur
The International Institute of Islamic Thought, 1982, hlm. 138.
7
Kesatuan ummah ini pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika berada
di Madinah, beliau mengeluarkan sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama
Yahudi untuk suatu kelompok masyarakat, menekankan kerja sama sedekat mungkin
dikalangan kaum Muslim, menyerukan kepada orang-orang Yahudi dan Kaum Muslim,
menyerukan kepada orang-orang Yahudi dan kaum Muslim bekerjasama untuk
perdamaian.5Di sini tampak bahwa Nabi Muhammad SAW. tidak memiliki hasrat untuk
berperang seandainya tidak diperangi dan seandainya dapat mencapai tujuan perdamaian
sehingga jika dilakukan peperangan hanyalah karena peperangan itu tidak dapat
dihindarkan.6

Meskipun terdapat perbedaan tentang kerisalahan tersebut, ada persamaan prinsip


ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul itu, yang menjadi inti ajarannya, yaitu ajaran
tauhid, suatau kepercayaan terhadap adanya keesaan Tuhan. Semua nabi dan rasul sejak
Nabi Adam a.s. sampai Nabi Muhammad SAW. menyeru kepada manusia untuk
meyakini atau memercayai kepada keesaan Tuhan, dan menyeru tentang keharusan
manusia untuk tunduk hanya kepada-Nya.

Dalam pandangan Muhammad Asad, Al-Islam adalah satu-satunya agama (yang


benar) dalam penglihatan Tuhan adalah sikap berserah diri (manusia) kepada-Nya; dan
mereka yang telah diberi Kitab Suci sebelum berselisih pendapat (tentang masalah ini)
hanya setelah datang kepada mereka pengetahuan (mmengenai hal tersebut), karena
saling cemburu sesama mereka. Barang siapa mengingkari (kebenaran) pesan-pesan
Allah SWT., sesungguhnya Allah SWT. itu cepat dalam membuat perhitungan.7

Dengan demikian, sikap berserah diri kepada Tuhan yang dalam bahasa Arap
disebut al-islam meupakan esensi semua agama yang benar, sebagaimana umat terdahulu
yang telah menerima Kitap Suci dari Tahun melalui para nabi dan rasul-Nya, yang dalam
istilah teknis disebut Ahl Al Kitap, kemudian mereka berselisih.

Adanya persamaan prinsip dasar pengkuan terhadap adanya keesaan Tuhan atau
tauhid dan konsekuensi logisnya, yaitu islam atau sikap berserah diri kepada-Nya bagi
semua agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul termasuk sejak sebelum islam dibawa

5
Fazlur Rahman, Islam, Chicago and London: University of Chicago Press, 1979,
hlm. 18-19.

6
Fazlur Rahman, Islam, hlm. 22.

7
Muhammad Asad, The Message of the Quran, London: E.j. Brill, 1980, hlm. 69.

8
oleh Nabi Muhammad SAW . maka tampaklah terdapat titik temu pada semua agama
tersebut, yaitu terletak pada sikap islam. Yusup Ali memberikan komentar bawah dalam
pandangan islam, semua agama (samawi,pen.) adalah satu (sama) Sebab kebenaran
adalah satu (sama). Al- Islam adalah agama yang diajarkan oleh semua Nabi terdahulu
dan kebenaran yang diajarkan oleh semua kitap Suci yang diwahyukan. 8 pengertian kata
al-Islam seperti yang terdapat dalam Al- Quran surat Al- Baqarah ayat 62:

Artinya:

‘’Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yabudi, orang-orang


Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman
kepada Allah dan hari melakukan kebajikan, mereka dan mendapatkan pahala dari
Tuhannya, dan mereka tidak bersedih hati.’’

B. Jalan yang Ditempuh Para Rasul dalam Menanamkan Akidah

Sebelumnya telah disebutkan bahwa para rasul diutus oleh Allah SWT.
untuk memurnikan akidah umat manusia. Mereka berusaha memelihara dan
meneguhkan agama dengan berbagai macam cara dan dalil yang mampu mereka
ketengahkan. Ada yang kuat, ada yang sempit, ada yang luas, sesuai dengan masa
dan tempat serta hal-hal yang memengaruhi perkembangan agama.
Seperti rasul-rasul terdahulu, Nabi Muhammad SAW. pun menanamkan
akidah tauhid ke dalam jiwa umatnya dengan menundukkan pandangan,
mengarahkan pikiran, membangkitkan rasio, dan mengingatkan perilaku. Dalam
hal ini Rasulullah SAW. melakukan pembinaan akidah dan mereformasi serta
menganjurkan penanaman akidah tauhid dengan pendidikan dan
pengembangannya sehingga dapat mengantarkan pada kesuksesan, dapat
memalingkan umat dari menyembah berhala dan syirik pada akidah tauhid.
Demikian pula, segala permasalahan yang tidak terpecahkan langsung
dikembalikan kepada Rasulullah SAW. sehingga beliau berhasil menghilangkan
perpecahan antara umatnya.9
Dalam menyebarkan dakwahnya, Rasulullah SAW. mengajak kaum
Muslim untuk menaati Allah SWT. dan Rasul-Nya serta menghindari dari
8
A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Translation and Commentary, Jedah: Dar Al-
Qiblah, 1430 H, hlm. 145.

9
Sayid Sabiq, Akidah Islam; Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra Wahyu,
Surabaya: Al-Ikhlas, 1996 hlm. 36
9
perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang
sehingga menimbulkan kekacauan. Dengan demikian, tauhid pada zaman
Rasulullah SAW. tidak sampai pada perdebatan dan polemik yang
berkepanjangan karena Rasul menjadi penengahnya.10Allah SWT. berfirman:
Artinya :
‘’Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan
bersabarlah. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.’’

(Q.S. Al-Anfal [8]: 46)

Dalam mengemban misinya, Rasulullah SAW. dapat mengubah umatnya yang


awalnya menyembah berhala, syirik, dan kufur menjadi umat yang berakidah tauhid.
Sementara itu, beliau dapat pula membentuk sahabat-sahabatnya menjadi pemimpin yang
harus diikuti dalam hal perbaikan budi dan akhlak, bahkan menjadi pembimbing
kebaikan dan keutamaan.

Allah SWT. membuat kesaksian pada generasi itu bahwa mereka memperoleh
ketinggian dan keistimewaan yang khusus, sebagaimana firman-Nya:

Artinya :

‘’Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan
mereka adalah orang-orang fasik.’’

(Q.S. Ali Imran [3]: 110)

C. Keberagaman Akidah dalam Islam dan Permasalahannya

Sejak kedaulatan negara tauhid berdiri dibawah pimpinan Nabi Muhammad


SAW., kondisi akidah umat pada masa itu masih tetap dalam landasan yang
digunakan sebagai pedomannya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.11

T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid, Jakarta: Pustaka Rizki Putra,
10

1975, hlm. 4-5


11
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam(Teologi Islam), Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010, hlm. 57.
10
Sepeninggalan Rasulullah SAW. dan kepemimpinan dilanjutkan oleh Abu
Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Khaththab, umat Islam juga masih tampak
bersatu seperti keadaan pada masa Nabi. Karena pada waktu itu umat Islam tidak
memiliki kesempatan untuk mencoba membicarakan masalah-masalah yang
berhubungan dengan akidah dan bidang lainnya.tetapi mereka lebih memusatkan
perhatian dan pikirannya untuk pertahanan dan perluasan daerah Islam.12
Selanjutnya, setelah datang masa pertikaian yang banyak berdasarkan siasat
dan politik, apalagi setelah adanya hubungan dengan pemikiran filsafat dan ajaran
agama lain, muncul desakan yang memaksa otak manusia untuk menyelami
sesuatu yang tidak kuasa dicapainya. Itulah menjadi sebab pokok terjadinya
pergantian atau penyelewengan dari jalan yang lazim ditempuh oleh para nabi dan
rasul. Ini pula yang merupakan sebab utama keimanan yang asalnya cukup luas
dan mudah diterima menjadi berbagai macam pemikiran yang berisikan filsafat
atau menjadi bahan kiasan yang banyak dipersilisihkan menurut ketentuan mantik
atau ilmu bahasanya.
Ajaran keimanan yang telah berubah itu akhirnya tidak lagi mencerminkan
keimanan yang dapat menjadikan jiwa kembali suci. Amal perbuatan menjadi
mulia dan baik ataupun yang dapat memberikan semangat gerak pada
perseorangan ataupun yang dapat memberikan daya hidup pada umat dan bangsa.
Sebagai akibat dari perselisihan dalam persoalan siasat dan politik,
penyelewengan ajaran-ajaran tauhid yang dibawa oleh para Rasul, dan akibat dari
paham-paham pemikiran mazhab-mazhab baru yang kemudian dipaksakan agar
akal dapat menerima ajaran itu, kemudian para tokoh mazhab berpecah belah
menjadi beberapa golongan. Para tokoh tersebut tersebet memberikan pengajaran
yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Setiap ajaran mencerminkan suatu corak tersendiri dari cari pemikiranya.
Masing-masing menganggap bahwa apa yang dimiliki dan dipegang ini benar,
sedangkan yang tidak sepaham denganya adalah salah. Oleh karena itu, muncul
paham-paham seperti alhi hadis, Asy’ariyah, Maturidiah, Mu’tazilah, Syi’ah,
Jahmiah, dan masih banyak lagi yang berbeda antara satu paham dan paham
lainnya.
Pokok-pokok utama yang menyebabkan timbulnya perselisihan dan
perbedaan pendapat berkisar dalam hal-hal dibawah ini:
1. Keimanan itu hanya sebagai kepercayaan ataukah kepercayaan ada
hubungannya dengan amal perbuatan.
2. Sifat-sifat Allah SWT. yang dzatiah itu kekal ataukah dapat lenyap dari-Nya.
3. Manusia itu musayyar atau mukhyyar.

12
Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hlm. 57
11
4. Apakah wajib atas Allah SWT. itu mengerjakan yang baik atau yang terbaik,
ataukah yang wajib?
5. Baik atau buruk itu dapat dikenal dengan akal atau dengan syariat.
6. Allah SWT. wajib memberikan pahala kepada orang yang taat dan menyiksa
kepada orang yang bermaksiat, ataukah tidak.
7. Allah SWT. itu dapat dilihat di akhirat nanti ataukah hal itu mustahil.
8. Bagaimana hukum seseorang yang menumpuk dosa besar dan matinya tidak
bertobat?13

Selain itu. Masih banyak lagi persoalan yang merupakan bahan peselisihan
pendapat antara berbagai golongan kaum mukminin.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
    
     Ketauhidan telah muncul sejak diciptanya Adam AS oleh Allah SWT. Adam
diperintahkan untuk mengajarkan Tauhid kepada anak cucunya. Akan tetapi semenjak nabi
Adam wafat, mulai terjadilah penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh bani Adam
ini, sehingga Allah mengutus nabi Nuh AS sebagai Nabi dan nenek moyang ke-2 bagi umat
manusia.
Begitulah watak manusia, makin lama makin mengendur ketauhidannya. Allah mengutus
para Rosul-Nya untuk memberi peringatan agar umat manusia kembali ke jalan-Nya yang
lurus hingga nabi terahir, yaitu nabi Muhammad.
Pada zaman nabi Muhammad adalah masa penyusunan peraturan-peraturan, penetapan
pokok-pokok akidah dan penyatuan umat Islam serta masa untuk mebangun kedaulatan
Islam. Pada masa ini orang-orang Islam langsung tertuju kepada Rosulullah SAW untuk
mengetahui dasar-dasar agama dan hukum-hukum syariah. Disamping itu mereka juga
disinari oleh nur wahyu dan petunjuk-petunjuk Al-qur’an.
Setelah Rosulullah SAW wafat, kepemimpinan diambil oleh Khulafaurrosyidin. Dalam masa
kedua Kholifah pertama, yakni Abu bakar dan Umar, penetapan pokok-pokok akidah masih
seperti kala Rosulullah SAW. Di masa Usman dan Ali timbullah beberapa golongan dan
partai yang diakibatkan akan terjadinya kekacauan politik yang kemudian masing-masing
dari mereka berusaha mempertahankan pendiriannya dan terbukalah pintu takwil bagi nash-
nash Alqur’an dan hadist, juga terjadi pembuatan periwayatan-periwayatan palsu. Oleh sebab
itu pembahasan mengenai akidah mulai subur dan berkembang selangkah demi selangkah
dan kian hari kian membesar dan meluas.

13
DAFTAR REFERENSI

Nurcholish Madjid, Islaam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm.
179.

Afif Muhammad et.al.,Tauhid, Bandung: Bina Imu, 1986, hlm. 13.

Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 178-179

Isma’il Raji Al-Faruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, Kuala Lumpur
The International Institute of Islamic Thought, 1982, hlm. 138.

Fazlur Rahman, Islam, Chicago and London: University of Chicago Press, 1979, hlm.
18-19.

Fazlur Rahman, Islam, hlm. 22.

Muhammad Asad, The Message of the Quran, London: E.j. Brill, 1980, hlm. 69.

A. Yusuf Ali, The Holy Qur’an, Translation and Commentary, Jedah: Dar Al-Qiblah,
1430 H, hlm. 145.

Sayid Sabiq, Akidah Islam; Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra
Wahyu, Surabaya: Al-Ikhlas, 1996 hlm. 36.

T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid, Jakarta: Pustaka
Rizki Putra, 1975, hlm. 4-5.

Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam(Teologi Islam), Jakarta: Raja Grafindo Persada,


2010, hlm. 57.

Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), hlm. 57.

14

Anda mungkin juga menyukai