Anda di halaman 1dari 6

https://ufitahir.wordpress.

com/2010/10/29/sej
arah-kemajuan-kemunduran-dan-
kebangkitan-dunia-baru-islam/
SEJARAH KEMAJUAN, KEMUNDURAN,
DAN KEBANGKITAN DUNIA
BARU ISLAM
Posted by: ufiluthfiyah on: 29 Oktober 2010

 In: Tentang Agama Islam


 12 Comments

A. Kemajuan Dunia Islam

a) Dinasti Umayah (661-750 M)

Bani Umayah adalah keturunan Umayah bin Abdul Syams, salah satu suku Quraisy. Dalam
sejarah Islam Bani Umayah mendirikan dalam dua periode: Damascus dan Cordoba.

Dinasti umayah dimulai dengan naiknya Muawiyah sebagai khalifah pada tahun 661 M. Bani
Umayah berhasil mengokohkan kekhalifahan di Damascus selama 90 tahun (661 – 750).

Penyebutan ”Dinasti” pada kekhalifahan Bani Umayah karena Muawiyah mengubah sistem
suksesi kepemimpinan dari yang bersifat demokratis dengan cara pemilihan kepada yang bersifat
keturunan.

Muawiyah berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan menaklukkan seluruh


Imperium Persia dan sebagian Imperium Bizantium. Bahasa Arab menjadi bahasa administrasi
secara resmi disamping bahasa bangsa-bangsa yang bersatu. Dan dari persatuan berbagai Bangsa
di bawah naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan Islam yang baru. Kemajuan-kemajuan
diberbagai bidang mulai diraih kekhalifahan Islam diantaranya adalah:

 Bidang ekspansi wilayah


 Bidang bahasa dan sastra Arab
 Bidang pembangunan fisik sarana prasarana penunjang kebudayaan dan
pemerintahan seperti masjid-masjid, istana-istana peristirahatan.

Sesungguhnya di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula, seperti dalam bidang
keagamaan, sejarah dan filsafat.
Kekuasaan dan kejayaan Dinasti Bani Umayah  mencapai puncaknya di zaman al-Walid.
Sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Terlalu banyak faktor yang harus mereka hadapi untuk
bisa terhindar dari kehancuran. Gaya hidup mewah (hubuddunya) jauh dari gaya hidup Islami
dikalangan keluarga para khalifah. Faktor ini turut memperlemah jiwa dan vitalitas keluarga dan
anak-anak khalifah, sehingga mereka kurang sanggup memikul beban pemerintahan yang
demikian besar. Disamping faktor ini telah menimbulkan ketidakpuasan dikalangan orang saleh.
Faktor Ketidakadilan, dan masih banyak lagi faktor lainnya.

Pada awal abad ke-8 (720 M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayah telah tersebar secara
intensif. Kelompok yang merasa tidak puas bermunculan. Rongrongan Khawarij dan Syi’ah yang
terus-menerus memandang Bani Umayah sebagai perampas khilafah.

Gerakan oposisi yang pertama-tama dinamakan Hasyimiyah dan kemudian Abbasiyah dipimpin
oleh Muhammad bin Ali. Gerakan ini mendapat dukungan terbesar dari orang-orang khurasan
yang merupakan basis partai Ali. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, Abu Muslim
al-Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Bani Umayah. Pada
Januari 750 Marwan II, Khalifah terakhir Bani Umayah, dapat dikalahkan di pertempuran Zab
Hulu, sebuah anak Sungai Tigris sebelah timur Mosul. Ia kemudian melarikan diri ke Mesir.
Sementara itu, pasukan Abbasiyah membunuh semua anggota keluarga Bani Umayah yang
berhasil mereka tawan. Ketika mereka mencapai Mesir, sebuah kesatuan menemukan dan
membunuh Marwan II pada Agustus 750. Maka berakhirlah kekuasaan Bani Umayah di
Damaskus. Namun satu-satunya anggota keluarga Bani Umayah, Abdurrahman (cucu Hisyam),
berhasil meloloskan diri ke Afrika Utara, kemudian menyeberang ke Spanyol. Disinilah
selanjutnya ia membangun kekuasaan Dinasti Bani Umayah yang baru dengan berpusat di
Cordoba.

b) Dinasti Abasiyah (750-1258 M)

Dinasti Abbasiyah yang menguasai daulah (negara) pada masa klasik dan pertengahan Islam.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah tercapai zaman keemasan Islam. Daulah ini disebut
Abbasiyah karena pendirinya adalah keturunan al-Abbas (paman Nabi SAW) yakni Abu Abbas
as-Saffah. Walaupun Abu Abbas adalah pendiri daulah ini, pemerintahannya hanya singkat (750
– 754). Pembina daulah ini yang sebenarnya adalah Abu Ja’far al-Mansur (khalifah ke-2). Dua
khalifah inilah peletak dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah.

Para sejarawan membagi Daulah Abbasiyah dalam lima periode;

Periode Pertama (132 H – 232 H / 750 M – 847 M)

Yang membedakan antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah adalah masuknya keluarga non
arab ke dalam pemerintahan.

Pada periode pertama ini Daulah Abbasiyah ini pemerintahan difokuskan pada pembenahan
administrasi negara ketahanan dan pertahanan. Untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas
negara yang baru berdiri itu, al-Mansur kemudian memindahkan Ibukota dari al-Hasyimiyah,
dekat Kufah, ke kota yang baru dibangunnya Baghdad, pada tahun 767. di sana ia menertibkan
pemerintahannya dengan mengangkat aparat yang duduk di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Dalam lembaga eksekutif ia mengangkat wazir (menteri), ia juga membentuk lembaga protokol
negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping mengembangkan angkatan
bersenjata.

Meneruskan jawatan pos yang sudah ada sejak masa Bani Umayah, dengan penambahan tugas
dari selain mengantarkan surat juga untuk menghimpun seluruh informasi dari daerah sehingga
administrasi kenegaraan dapat berlangsung dengan lancar.

Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas
as-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh
khalifah sesudahnya. Mulai dari masa khalifah al-Mahdi (775 – 785) hingga khalifah al-Wasiq
(842 – 847). Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman khalifah Harun al-Rasyid (786 –
809) dan puteranya al-Ma’mun (813 – 833).

Daulah ini lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan
wilayah yang memang sudah luas. Dan ini pulalah yang membedakan antara Dinasti Abbasiyah
dengan Dinasti Umayah yang lebih mementingkan perluasan daerah.

Pada zaman al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian
berlipat ganda dibandingkan sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah
dan demikian pula perdagangan internasional ketimur dan barat dipergiat. Basrah menjadi
pelabuhan penting yang sarananya lengkap.

Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun al-Rasyid. Kesejahteraan
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat tak tertandingi.

Khalifah al-Ma’mun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan
menerjemahkan buku-buku dari Yunani. Filsafat Yunani yang rasional menjadikan khalifah
terpengaruh dan mengambil teologi rasional Muktazilah menjadi teologi negara.

Al-Mu’tasim khalifah berikutnya (833 – 842), memberi peluang besar kepada orang Turki masuk
dalam pemerintahan. Daulah Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek
orang Muslim mengikuti perjalanan perang sudah terhenti. Ketentaraan kemudian terdiri dari
prajurit-prajurit Turki yang profesional. Kekuatan militer menjadi sangat kuat, akibatnya tentara
menjadi sangat dominan sehingga khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka
ditangan mereka.

1. Periode kedua (232 H – 334 H / 847 M – 945 M)


2. Periode ketiga (334 H – 447 H / 945 M – 1055 M)
3. Periode keempat (447 H – 590 H / 1055 M – 1199 M)
4. Periode kelima (590 H – 656 H / 1199 M – 1258 M)

c) Dinasti Umayah di Spanyol (757-1492 M)


Di belahan Barat (eropa) berdiri megah Khalifah Umayah di Spanyol dengan sebelumnya tentara
Islam pimpinan Thariq Ibnu Ziyad  pada tahun 711 M menaklukkan kerajaan Visigothic yang
diperintah oleh raja Roderick. Dalam memperluas wilayah kekuasaannya kekuatan Islam ini
pada tahun 732 menyeberangi pegunungan pirenia (perbatasan Perancis), dan pastilah akan
mengubah sejarah Eropa seandainya mereka tidak dikalahkan dengan menyedihkan sekali oleh
Charles Mortel atau yang sering dipanggil Karel Martel.

d) Dinasti Fatimiyah (919-1171 M)

Syahruddin El-Fikriasa Kejayaan Islam (the golden age of Islam) ditandai dengan penyebaran
agama Islam hingga ke benua Eropa. Pada masa itulah berdiri sejumlah pemerintah atau kekha-
lifahan Islamiyah. Seperti dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Turki Utsmani dan
Ayyubiyah.

Selain penyebaran agama, kemajuan Islam juga ditandai dengan kegemilangan peradaban Islam.
Banyak tokoh-tokoh Muslim yang muncul sebagai cendekiawan dan memiliki pengaruh besar
dalam dunia peradaban hingga saat ini. Namun, setelah perebutan kekuasaan dan kepemimpinan
yang kurang fokus, akibatnya pemerintahan Islam dikalahkan. Salah satunya adalah dinasti
Fatimiyah.

Imperium Ismailiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi ini hanya mampu bertahan selama
lebih kurang dua setengah abad (909-1171 M). Ubaidillah al-Mahdi adalah pengikut sekte Syiah
Ismailiyah. Dinamakan sekte Ismailiyah, karena sepeninggal Jafar As-Shadiq, anggota sekte
Syiah Ismailiyah berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam (Jafar as-Shadiq).
Dan Ismail selaku putra Jafar yang sedianya akan dijadikan pengganti, telah meninggal terlebih
dahulu. Di saat yang sama, mayoritas pengikut Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad
yang merupakan putra Ismail. Padahal, menurut mereka masih terdapat sosok Musa Al-Kazhim
yang dinilai lebih pantas memegang tampuk kepemimpinan spiritual.

Maka disaat itulah, tampil Abdullah atau Ubaidillah Al-Mahdi mengambil kepemimpinan
spiritual langsung (dari jalur Ali melalui Ismail). Bersama keluarga dan para pengikutnya,
Ismailiyah menyebar di wilayah Salamiyah, sebuah pusat kaum Ismailiyah di Suriah. Maka pada
tahun 297 H atau 909 M, ia dilantik menjadi khalifah.

Pada masa kepemimpinannya, pemerintahan Dinasti Fatimiyah berpusat di Maroko, dengan


ibukotanya al-Manshur-iyah. Dinasti Fatimiyah menjalankan roda pemerintahan di Maroko
selama 24 tahun yang di pimpin oleh empat orang khalifah, termasuk Ubaidillah al-Mahdi. Tiga
orang khalifah Dinasti Fatimiyah lainnya yang pernah memerintah di Maroko adalah al-Qaim
(322-323 H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M), dan al-Muizz (341-362 H/952-
975 M).

Maka sejak saat itulah, dinasti Fatimiyah berhasil menjadi salah satu pusat pemerintahan Islam
yang disegani. Puncaknya, terjadi pada masa Al-Aziz (365-386 H/975-996 M). Ia adalah putra
dari Al-Muizz yang bernakma Nizar dan bergelar al-Aziz (yang perkasa). Al-Aziz, berhasil
mengatasi persoalan keamanan di wilayah Suriah dan Palestina. Bahkan, pada masanya ini pula,
ia membangun istana kekhalifahan yang sangat megah hingga mampu menampung tamu
sebanyak 30 ribu orang. Tempat-tempat ibadah, pusat perhubungan, pertanian maupun industri
mengalami perkembangan pesat.

Sementara dalam bidang pemerintahan, Khalifah al-Aziz berhasil meredam berbagai upaya
pemberontakan yang terjadi di wilayah-wilayah kekuasaannya. Dinasti ini dapat maju antara lain
karena didukung oleh militer yang kuat, administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan
berkembang, dan ekonominya stabil. Namun setelah masa al-Aziz Dinasti Fatimiyah mengalami
kemunduran dan akhirnya runtuh, setelah berkuasa selama 262 tahun.

Krisis kepemimpinan
Khalifah berikutnya setelah al-Aziz, yakni Al-Hakim (386-411 H/996-1021 M), Az-Zahir (411-
427 H/1021-1036 M), Al-Mustansir (428-487 H/1036-1094 M), hingga Al-Mustali (487-495
H/1094-1101 M), tak mampu mengendalikan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Al-Aziz.

Bahkan, krisis di antara kekuatan dalam pemerintahan Daulah Fatimiyah itu terus berlangsung
paada masa al-Hafiz (525-544 H/1131-1149 M), az-Zafir (544-549 H/1149-1154 M), al-Faiz
(549-555 H/1154-1160 M), dan al-Adid (555-567 H/1160-1171 M). Krisis internal itu diperparah
dengan majunya tentara Salib dan pengaruh Nuruddin Zangi dengan panglimanya, Salahuddin
al-Ayyubi.

Ketika khalifah al-Adid sedang sakit pada tahun 555 H/1160 M, Salahuddin al-Ayyubi
mengadakan pertemuaan dengan para pembesar untuk menyelenggarakan khotbah dengan
menyebut nama khalifah Abbasiyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya
kekuasaan Dinasti Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah

B. Kemunduran Dunia Islam

a) Krisis dalam Bidang Sosial Politik

Awalnya adalah rapuhnya penghayatan ajaran Islam, terutama yang terjadi dikalangan para
penguasa. Bagi mereka ajaran Islam hanya sekedar diamalkan dari segi formalitasnya belaka,
bukan lagi dihayati dan diamalkan sampai kepada hakekat dan ruhnya. Pada masa itu ajaran
Islam dapat diibaratkan bagaikan pakaian, dimana kalau dikehendaki baru dikenakan, akan tetapi
kalau tidak diperlukan ia bisa digantungkan. Akibatnya para pengendali pemerintahan
memarjinalisasikan agama dalam kehidupannya, yang mengakibatkan munculnya penyakit
rohani yang sangat menjijikkan seperti keserakahan dan tamak terhadap kekuasaan dan
kehidupan duniawi, dengki dan iri terhadap kehidupan orang lain yang kebetulan sedang sukses.
Akibat yang lebih jauh lagi adalah muncullah nafsu untuk berebut kekuasaan tanpa disertai etika
sama sekali. Kepada bawahan diperas dan diinjak, sementara terhadap atasan berlaku menjilat
dan memuji berlebihan menjadi hiasan mereka.

”Syareat Islam adalah demokratis pada pokoknya, dan pada prinsipnya musuh bagi absolutisme”
(Stoddard, 1966: 119) Kata Vambrey, ” Bukanlah Islam dan ajarannya yang merusak bagian
Barat Asia dan membawanya kepada keadaan yang menyedihkan sekarang, akan tetapi ke-
tanganbesi-an amir-amir kaum muslimin yang memegang kendali pemerintahan yang telah
menyeleweng dari jalan yang benar. Mereka menggunakan pentakwilan ayat-ayat al-Quran
sesuai dengan maksud-maksud despotis mereka”.

b) Krisis dalam Bidang Keagamaan

Krisis ini berpangkal dari suatu pendirian sementara ulama jumud (konservatif) yang
menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Untuk menghadapi berbagai permasalahan
kehidupan umat Islam cukup mengikuti pendapat dari para imam mazhab. Dengan adanya
pendirian tersebut mengakibatkan lahirnya sikap memutlakkan semua pendapat imam-imam
mujtahid, padahal pada hakekatnya imam-imam tersebut masih tetap manusia biasa yang tak
lepas dari kesalahan.

Kondisi dunia Islam yang dipenuhi oleh ulama-ulama yang berkualitas dibuatnya redup dan
pudarnya nur Islam yang di abad-abad sebelumnya merupakan kekuatan yang mampu menyinari
akal pikiran umat manusia dengan terang benderang.

c) Krisis bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

Krisis ini sesungguhnya hanya sekedar akibat dari adanya krisis dalam bidang sosial politik dan
bidang keagamaan. Perang salib yang membawa kaum Nasrani Spanyol dan serangan tentara
mongol sama-sama berperangai barbar dan sama sekali belum dapat menghargai betapa
tingginya nilai ilmu pengetahuan. Pusat-pusat ilmu pengetahuan baik yang berupa perpustakaan
maupun lembaga-lembaga pendidikan diporak-porandakan dan dibakar sampai punah tak
berbekas. Akibatnya adalah dunia pendidikan tidak mendapatkan ruang gerak yang memadai.
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang ada sama sekali tidak memberikan ruang gerak
kepada para mahasiswanya untuk melakukan penelitian dan pengembangan ilmu. Kebebasan
mimbar dan kebebasan akademik yang menjadi ruh atau jantungnya pengembangan ilmu
pengetahuan Islam satu persatu surut dan sirna. Cordova dan Baghdad yang semula menjadi
lambang pusat peradaban dan ilmu pengetahuan beralih ke kota-kota besar Eropa.

C. Kebangkitan Kembali Dunia Baru Islam

Benih pembaharuan dalam dunia Islam sesungguhnya telah muncul di sekitar abad XIII Masehi,
suatu masa yang pada waktu itu dunia Islam tengah mengalami kemunduran dalam berbagai
bidang dengan sangat drastisnya. Ditengah-tengah kemelut yang melanda Baghdad disebabkan
karena invasi yang dilakukan oleh tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan.

TAQIYUDIN IBNU TAYMIYAH

Anda mungkin juga menyukai