Jurnal Pertanian Tropik
Jurnal Pertanian Tropik
Analisis Mutu Simplisia Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Var. Rubrum) dengan Suhu
Pengeringan yang Berbeda
Quality Analysis of Simplicia Red Ginger (Zingiber officinale Var. Rubrum) Rhizome with Different
Drying Temperature
ABSTRACT
Red Ginger is a ginger that is often used as a basic ingredient of herbal medicine because of its high
essential oil content and the most spicy taste. Part of the Red Ginger plant that is commonly utilized
is rhizome, to maintain the quality of ginger rhizome so as not to reduce the economic value, the fresh
ginger rhizome is processed first before storing or selling, one of the ways is in the form of simplicia.
The purpose of this study was to obtain the best drying temperature for the quality of red ginger
simplicia. The treatments given were drying at 90oC (W1), 100oC (W2), 110oC (W3) and 120oC (W4).
The study design used a non factorial Complete Randomized Design (RAL) consisting of 5
replications. Drying using an oven that lasts for 300 minutes. Data were analyzed by analysis of
variance and if it had real effect it was followed by Duncan's test (DMRT). Observations made were
water content, ash content, starch levels, oleoresin levels, and vitamin C. The best drying results are
at a temperature of 120°C at a moisture content with an average value of 3.70%, a temperature of
90°C produces the best drying at ash content with an average value of 4.79%, starch content of
55.72%, oleoresin content of 50.79% and vitamin C 7.67%. It can be concluded that drying using a
temperature of 120°C results in a better quality of simplicia red ginger rhizome in the water content.
Whereas at Ash content, the starch levels, oleoresin levels and vitamin C, the best temperature are
in the drying treatment at 90°C.
Keywords : Red Ginger, Simplicia, Chemical, Temperature.
ABSTRAK
Jahe merah merupakan jahe yang sering digunakan sebagai bahan dasar jamu karena kandungan
minyak atsiri yang tinggi dan rasanya paling pedas. Bagian dari tanaman jahe merah yang biasa
dimanfaatkan adalah rimpang, untuk menjaga mutu rimpang jahe agar tidak mengurangi nilai
ekonomis, rimpang jahe segar dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum disimpan atau dijual,
salah satunya dalam bentuk simplisia. Tujuan penelitian untuk mendapatkan suhu pengeringan
terbaik terhadap mutu simplisia jahe merah. Perlakuan yang diberikan adalah pengeringan dengan
suhu 90oC (W1), 100oC (W2), 110oC (W3) dan 120oC (W4). Rancangan penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial terdiri atas 5 ulangan. Pengeringan menggunakan
oven yang berlangsung selama 300 menit. Data dianalisis dengan sidik ragam dan apabila
berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s (DMRT). Pengamatan yang dilakukan
yaitu Kadar Air, Kadar Abu, Kadar Pati, Kadar Oleoresin, dan Vitamin C. Hasil pengeringan terbaik
terdapat pada suhu 120°C pada kadar air dengan nilai rata-rata 3,70%, suhu 90°C menghasilkan
pengeringan terbaik pada kadar abu dengan nilai rata-rata 4,79%, kadar pati 55,72%, kadar oleoresin
50,79% dan vitamin C 7,67 %. Dapat disimpulkan bahwa pengeringan dengan menggunakan suhu
120°C mengahasilkan mutu simplisia rimpang jahe merah yang lebih baik pada kandungan kadar air.
136
Jurnal Pertanian Tropik ISSN NO: 2356- 4725/p- ISSN : 2655-7576
Vol.7. No.1. April 2020 (18) 136- 143 DOI: 10.32734/jpt.v7i1,April.3866
Sedangkan pada kadar Abu, kadar pati, oleoresin dan vitamin C suhu terbaiknya terdapat pada
perlakuan pengeringan dengan suhu 90°C.
PENDAHULUAN
Jahe merupakan bahan alamiah yang banyak oven lebih menguntungkan, karena akan terjadi
digunakan masyarakat sebagai obat masuk pengurangan kadar air dalam jumlah besar
angin, gangguan pencernaan, sebagai dalam waktu yang relatif singkat dan suhunya
analgesik, anti-inflamasi, dan lain-lain. dapat diatur (Muller et al., 2006).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa jahe Suhu pengeringan memegang peranan
mempunyai sifat antioksidan. Beberapa penting dalam proses pengeringan, untuk
komponen utama dalam jahe seperti gingerol menjaga mutu simplisia jahe pada proses
dan shogaol memiliki aktivitas antioksidan pengeringan, salah satu indikator penting yang
(Winarti dkk., 2005). Untuk menjaga mutu digunakan adalah kadar air pada jahe maksimal
kandungan jahe agar tidak mengurangi nilai 10% seperti yang tertuang di dalam SNI 01-
ekonomis, rimpang jahe segar dilakukan 7087-2005 (BSN, 2005). Dari hasil penelitian
pengolahan terlebih dahulu sebelum disimpan Sari (2011) menunjukan bahwa suhu
atau dijual, salah satunya dalam bentuk pengeringan 105oC menghasilkan mutu
simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang simplisia rimpang jahe merah dengan kadar air
dipergunakan sebagai obat yang belum <10%. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi
mengalami pengolahan apapun kecuali dapat meningkatkan biaya produksi dan
dikatakan lain, berupa bahan yang telah menurunkan nilai gizi, sedangkan jika suhu
dikeringkan (Kemenkes RI, 2011). pengeringannya terlalu rendah, produk yang
Tahapan proses pengolahan rimpang jahe dihasilkan akan basah dan lengket serta berbau
segar menjadi simplisia jahe dilakukan melalui busuk (Winarno, 2004).
beberapa tahap yaitu proses penyortiran, Proses pengeringan bertujuan untuk
pencucian, perajangan atau pemotongan, mendapatkan suhu pengeringan yang terbaik
pengeringan, penyortiran akhir, pengemasan terhadap mutu simplisia rimpang jahe merah.
dan penyimpanan (Sembiring dkk., 2012). Suhu pengeringan dapat mengakibatkan
Pemanenan yang tidak sesuai dapat terjadinya perubahan karakteristik kimia
mengakibatkan rimpang dengan mudah sehingga mengurangi mutu produk yang
mengalami kerusakan fisiologis sehingga dapat dihasilkan (Winangsih et al., 2013).
menurunkan mutu, oleh sebab itu perlu
dilakukan penanganan lebih lanjut, salah BAHAN DAN METODE
satunya adalah dengan proses pengeringan
(Ananingsih dkk., 2017). Penelitian telah dilaksanakan pada Bulan
Pengeringan adalah proses pengeluaran air April sampai dengan Juni 2019, di
atau pemisahan air dalam jumlah yang relatif Laboratorium Teknologi Pasca Panen (TPP),
kecil dari bahan dengan menggunakan energi Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia (INK),
panas (Arun, 2004). Pengeringan yang tepat Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas
akan menghasilkan mutu simplisia yang tahan Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dan
disimpan lama dan tidak terjadi perubahan Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian,
bahan aktif yang dikandungnya (Manoi, 2006). Universitas Riau.
Terdapat berbagai metode dalam Bahan yang digunakan dalam penelitian
pengeringan yaitu: pengeringan dengan sinar adalah jahe merah varietas jahira 2 dengan
matahari langsung dan pengeringan dengan alat umur panen 10 bulan yang dipesan dari Nagrak,
pengering buatan (oven). Pengeringan dengan Sukabumi, Jawa Barat. Bahan lain yang
137
Jurnal Pertanian Tropik ISSN NO: 2356- 4725/p- ISSN : 2655-7576
Vol.7. No.1. April 2020 (18) 136- 143 DOI: 10.32734/jpt.v7i1,April.3866
2005 (BSN, 2005) yang menyatakan bahwa Perlakuan W1 dengan suhu 90°C lebih
kadar air simplisia jahe merah maksimal 10%. bagus dibandingkan dengan perlakuan W2, W3
dan W4. Hal ini berdasarkan hasil uji Duncan’s
Menurut Manoi (2006), apabila kadar air Multiple Range Test, Kadar abu simplisia jahe
lebih besar dari 10% akan menyebabkan merah yang terendah terdapat pada perlakuan
terjadinya proses enzimatik dan kerusakan oleh pengeringan dengan suhu 90°C (W1) dengan
mikroba. Simplisia yang disimpan dalam waktu nilai rata-rata 4,79%. Sedangkan kadar abu
yang lama, enzim akan merubah kandungan tertinggi terdapat pada perlakuan dengan suhu
kimia yang telah terbentuk menjadi produk lain 120°C (W4) dengan niali rata-rata 5,67%.
yang mungkin tidak lagi memiliki efek Suhu pengeringan yang tinggi
farmakologis seperti senyawa asalnya. Menurut mempengaruhi energi panas yang menguraikan
Winarno (2008), kadar air dalam bahan pangan molekul air dan terjadinya peningkatan mineral
ikut menentukan tingkat penerimaan sehingga kadar abu simplisia rimpang jahe
konsumen, kesegaran, dan daya tahan dari merah semakin tinggi. Menurut SNI 01-7087-
makanan tersebut. Kadar air yang tinggi akan 2005 (BSN, 2005), kadar abu maksimum untuk
mempengaruhi mutu produk, mengakibatkan simplisia rimpang jahe merah adalah 8,0%. Jika
mudah rusak dan sangat rentan dengan dilihat dari perlakuan W1, W2, W3 dan W4 nilai
pengaruh faktor lingkungan, produk akan rata-rata dari semua perlakuan tersebut masih
teroksidasi sehingga akan merubah komponen dibatas normal yaitu <8,0%.
yang ada. Kadar abu dalam analisis bahan pangan
menggambarkan unsur mineral yang
Kadar Abu terkandung dalam bahan pangan. Kadar abu
menyatakan jumlah mineral yang terdapat
Hasil analisis sidik ragam menunjukan
dalam bahan pangan dimana kadar abu
bahwa pengeringan rimpang jahe merah
merupakan sisa yang tertinggal bila sampel
dengan dengan suhu yang berbeda,
bahan makanan dibakar sempurna di dalam
berpengaruh sangat nyata terhadap kadar abu
suatu tungku (tanur). Mineral yang terdapat
jahe merah.
pada suatu bahan dapat merupakan dua macam
Tabel 2. Rata-rata Nilai Kadar Abu pada
garam yaitu garam organik dan garam
Simplisia Rimpang Jahe Merah.
anorganik. Garam organik yaitu garam asam
Perlakuan Suhu Persentase Kadar
malat, oksalat, asetat dan pektat sedangkan
Pengeringan Abu (%) ± Stdev
garam anorganik antara lain dalam bentuk
W1 (90°C) 4,79 ± 0,14a
garam fosfat, karbonat, khlorida, sulfat, dan
W2 (100°C) 5,07 ± 0,09b
nitrat
W3 (110°C) 5,26 ± 0,28b
(Sudarmadji et al., 1997).
W4 (120°C) 5,67 ± 0,12c
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang
sama menunjukkan sangat berbeda nyata.. Kadar Pati
Hasil sidik ragam kadar abu menunjukan
Hasil analisis tabel sidik ragam menunjukan
semakin tinggi suhu pengeringan maka
bahwa pengeringan simplisia rimpang
kandungan abu pada jahe merah akan samakin
jahe merah dengan dengan suhu
meningkat. Menurut Sudarmadji (1997),
pengeringan yang berbeda, berpengaruh sangat
penentuan kadar abu dipengaruhi oleh jenis
nyata terhadap kadar pati jahe merah
bahan, waktu dan suhu yang digunakan pada
saat pengolahan. Jika bahan diolah melalui
proses pengeringan, maka semakin tinggi suhu
yang digunakan, persentase kadar abu produk
Tabel 3. Rata-rata Nilai Kadar Pati pada
semakin meningkat karena air yang keluar dari
Simplisia Rimpang Jahe Merah.
bahan pangan semakin besar.
139
Jurnal Pertanian Tropik ISSN NO: 2356- 4725/p- ISSN : 2655-7576
Vol.7. No.1. April 2020 (18) 136- 143 DOI: 10.32734/jpt.v7i1,April.3866
Perlakuan Suhu Persentase Kadar gula-gula yang sederhana. Menurut Yuliani dan
Pengeringan Pati (%) ± Stdev Intan (2009), kadar pati minimum untuk
W1 (90°C) 55,72 ± 0,48a simplisia rimpang jahe merah adalah >44,99%.
W2 (100°C) 55,15 ± 0,61a Jika dilihat dari perlakuan W1, W2, W3 dan W4
W3 (110°C) 53,83 ± 0,65b nilai rata-rata dari semua perlakuan tersebut
W4 (120°C) 53,12 ± 0,79b masih dibatas normal yaitu >44,99%.
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang Kadar Oleoresin
sama menunjukkan sangat berbeda nyata.
Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin tinggi Hasil analisis tabel sidik ragam
suhu pengeringan maka kandungan pati pada menunjukan bahwa pengeringan simplisia
simplisia rimpang jahe merah akan samakin rimpang jahe merah dengan suhu
rendah. Menurut Lidiasari et al., (2006), suhu pengeringan yang berbeda, berpengaruh sangat
yang terlalu tinggi akan mengakibatkan nyata terhadap kadar oleoresin jahe merah.
terjadinya leaching atau rusaknya molekul pati Tabel 4. Rata-rata Nilai Kadar Oleoresin pada
pada saat pengeringan. Perlakuan W1 dengan Simplisia Rimpang Jahe Merah.
suhu 90°C lebih bagus dibandingkan dengan Perlakuan Suhu Persentase
perlakuan W3 dan W4 tetapi tidak berbeda nyata Pengeringan Oleoresin (%) ±
dengan perlakuan W2. Hal ini berdasarkan hasil Stdev
uji Duncan’s Multiple Range Test, kandungan W1 (90°C) 50,79 ± 0,54a
kadar pati simplisia rimpang jahe merah yang W2 (100°C) 50,12 ± 0,21b
paling tertinggi yaitu terdapat pada perlakuan W3 (110°C) 49,71 ± 1,47b
pengeringan dengan suhu 90°C (W1) dengan W4 (120°C) 48,33 ± 0,62b
nilai rata-rata 55,72%. Sedangkan kadar pati Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom
simplisia jahe merah dengan yang terendah yang sama menunjukkan sangat berbeda
nyata.
terdapat pada perlakuan pengeringan dengan
suhu 120°C (W4) dengan nilai rata-rata 53,12%. Kadar oleoresin jahe merah yang tertinggi
Pati adalah salah satu bahan penyusunan yaitu terdapat pada perlakuan pengeringan
yang paling banyak dan luas terdapat di alam, dengan suhu 90°C (W1) dengan nilai rata-rata
yang merupakan karbohidrat cadangan pangan 50,79%. Sedangkan kadar oleoresin simplisia
pada tanaman. Pati terdiri dari dua fraksi yang jahe merah yang terendah terdapat pada
dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi perlakuan pengeringan dengan suhu 120°C
terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut (W4) dengan nilai rata-rata 48,33%. Hasil uji
disebut amilopektin (Winarno, 2004). Amilosa tersebut menunjukan bahwa oleoresin tidak
merupakan polisakarida yang linier sedangkan stabil terhadap pemanasan. Semakin tinggi
amilopektin adalah yang berupa cabang. Pati suhu pengeringan maka kandungan oleoresin
bersifat tidak larut dalam air sehingga mudah pada simplisia rimpang jahe merah akan
dipisahkan dari zat lainnya (Sudarmadji, 2003). semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan
Menurut Febrianto (2013), semakin pernyataan Martina (2012), yang menyatakan
tinggi suhu pengeringan maka kadar pati oleoresin bersifat tidak stabil terhadap
semakin menurun karena panas mengakibatkan pemanasan dan sensitif terhadap cahaya atau
rusaknya sebagian molekul pati saat adanya oksigen karena mengandung zat-zat
pengeringan. Menurut Santoso dkk (1997), volatil. Menurut Anam dan Manuhara (2010),
proses pengeringan dengan suhu tinggi dapat suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibat
mengubah bentuk pati menjadi pati rusaknya komponen minyak atsiri yang ada di
tergelatinisasi sehingga granula pati yang rusak dalam oleoresin.
akan lebih banyak. Dengan semakin banyaknya Sifat-sifat fisik oleoresin yang kental
molekul pati yang rusak maka kadar asam total cukup menyulitkan pengguna dalam
akan semakin meningkat pula, hal ini penyimpanan jangka panjang karena mudah
disebabkan molekul pati akan berubah menjadi terpengaruh oleh suhu, oksidasi O2, cahaya dan
140
Jurnal Pertanian Tropik ISSN NO: 2356- 4725/p- ISSN : 2655-7576
Vol.7. No.1. April 2020 (18) 136- 143 DOI: 10.32734/jpt.v7i1,April.3866
kelembaban. Sifat fisik yang lengket dan kental W4 (120°C) 3,59 ± 0,46d
juga menyulitkan proses penakaran dan Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang
pencapuran oleoresin dengan bahan-bahan lain sama menunjukkan sangat berbeda nyata.
dalam suatu produk (Koswara dan Sutrisno, Berdasarkan hasil uji Duncan’s Multiple
2006). Oleoresin tidak stabil terhadap Range Test. kadar vitamin C simplisia rimpang
perubahan lingkungan mengharuskan oleoresin jahe merah tertinggi terdapat pada perlakuan
disimpan dalam kondisi optimal menggunakan pengeringan dengan suhu 90°C (W1) dengan
wadah gelas bertutup yang berwarna gelap, nilai rata-rata 7,67%. Sedangkan kadar vitamin
pada suhu cukup rendah. Dalam skala industri, C simplisia jahe merah dengan rataan nilai
penanganan dan penyimpanan oleoresin terendah terdapat pada perlakuan pengeringan
menjadi faktor yang mempengaruhi efisiensi dengan suhu 120°C (W4) dengan nilai rata-rata
penggunaan oleoresin (Nhestricia, 2017). 3,59%. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa
semakin tinggi suhu pengeringan maka
Perlakuan W1 dengan suhu 90°C lebih bagus kandungan vitamin C pada jahe merah akan
karena kadar oleoresinnya lebih tinggi samakin sedikit. Hal ini disebabkan karena
dibandingkan dengan perlakuan W2, W3 dan vitamin C larut dalam air dan rusak akibat
W4. Penggunaan oleoresin memiliki kelebihan kontak panas yang lebih lama dan suhu yang
dalam hal keseragaman (konsentrasi, rasa, dan semakin meningkat (Musaddad, 2008). Hal ini
aroma), umur simpan, penyimpanan yang didukung oleh Harold dan Edward (2016), yang
mudah, serta keamanan dari kontaminasi menyatakan bahwa yang menyebabkan
mikrobiologis. Selain menimbulkan rasa pedas kerusakan vitamin C yaitu adanya pemanasan
jahe, oleoresin juga bersifat higienis, dengan suhu diatas 60°C.
mengandung antioksidan alami, bebas enzim, Perlakuan W1 memiliki kadar vitamin C
dan dimanfaaatkan sebagai bahan penyedap lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
makanan dan minuman yang mempunyai W2, W3 dan W4. Hal ini dikarenakan seiring
karakteristik rasa dan aroma sama dengan dengan naiknya suhu maka kandungan vitamin
rempah-rempah aslinya (Anam dan Manuhara, C pada simplisia rimpang jahe merah akan
2005). semakin sedikit. Menurut Simanjuntak (2009),
penurunan atau kerusakan vitamin C
disebabkan oleh suhu, garam, gula, dan
Kadar Vitamin C katalisis logam. Laju kerusakan meningkat
karena kerja logam dan enzim. Menurut
Hasil analisis tabel sidik ragam Winarno (2008), vitamin C adalah vitamin yang
menunjukan bahwa pengeringan simplisia mudah rusak di antara vitamin yang lain,
rimpang jahe merah dengan suhu yang vitamin C sangat mudah larut dalam air, mudah
berbeda, berpengaruh sangat nyata terhadap teroksidasi dan proses tersebut dipercepat oleh
kandungan vitamin C jahe merah. Hasil panas, sinar, alkali, enzim, oksidator serta oleh
analasis tabel sidik ragam kadar vitamin C pada katalis tembaga dan besi.
simplisia rimpang jahe merah dengan suhu Vitamin yang terdapat dalam bahan
pengeringan yang berbeda dapat dilihat pada akan lebih mudah larut dengan pemanasan,
Tabel 5. tanpa pemanasan sebagian dari vitamin akan
masih tertinggal di dalam simplisia. Vitamin C
Tabel 5. Rata-rata Nilai Vitamin C pada menunjukan sensitivitas yang tinggi dan mudah
Simplisia Rimpang Jahe Merah. teroksidasi oleh panas, cahaya, dan udara
Perlakuan Suhu Persentase (Riberio et al, 2011). Sifat sensitif vitamin C
Pengeringan Vitamin C (%) ± tersebut menjadi pentunjuk agar bahan
Stdev makanan atau minuman seminim mungkin
W1 (90°C) 7,67 ± 0,29a melibatkan proses pemasakan. Kandungan
W2 (100°C) 6,33 ± 0,25b vitamin C dalam bahan makanan akan
W3 (110°C) 4,84 ± 0,32c berkurang jika dipanaskan, oleh karena itu
141
Jurnal Pertanian Tropik ISSN NO: 2356- 4725/p- ISSN : 2655-7576
Vol.7. No.1. April 2020 (18) 136- 143 DOI: 10.32734/jpt.v7i1,April.3866
Santoso, B.A.S., Nasta dan S. Widowati. 1997. Sudarmadji, S. Haryono dan Suhardi. 1997. Analisa
Studi Karakteristik Pati Ubi Jalar. Prosiding Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty.
Seminar Nasional Teknologi Pangan. Dalam Yogyakarta.
S. Budijanto, F. Zakaria, R.D. Hariyadi dan Winangsih. P. E. Parman, S. 2013. Pengaruh
B. Satiawiharja. Perhimpunan Ahli Metode Pengeringan Terhadap Kualitas
Teknologi Pangan Indonesia dan Kantor Simplisia Lempuyang Wangi. Buletin
Menteri Negara Urusan Teknologi Pangan Anatomi dan Fisiologi.
Republik Indonesia. Jakarta. Semarang. 21 (1). 20
Sari, G.P. 2011. Studi Budidaya dan Pengaruh Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT.
Lama Pengeringan Terhadap Jahe Merah Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal: 131-
(Zingiber officinale Rosc). Skripsi. Prodi 133
Agroteknologi. Fakultas Pertanian dan Winarno, F. G. 2008. Kimia pangan dan gizi. M-
Peternakan. Universitas Islam Negeri Sultan Brio Press. Bogor. Hal 150
Syarif Kasim. Pekanbaru. Winarti C., dan Nurdjanah. 2005. Peluang
Sembiring, Bagem S. dan Yuliani Sri. 2012. Tanaman Rempah dan Obat sebagai
Penanganan dan Pengolahan Rimpang Jahe. Sumber Pangan Fungsional. Jurnal
Teknologi Hasil Penelitian Jahe. Balai Litbang Pertanian, 24(2): 45-56.
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Yuliani, S. dan Intan, S. K. 2009. Pengembangan
Bogor. Produk Jahe Kering Dalam Berbagai Jenis
Simanjuntak, S. 2009. Nilai Gizi dan Organoleptik Industri. Buletin Teknologi Pascapanen
serta Daya Simpan Minuman Lidah Buaya
Pertanian. (5): 61-68.
yang di Blansing dengan Waktu Berbeda.
Skripsi. Prodi Teknologi Hasil Pertanian.
Fakultas Pertanian. Universitas Riau.
Pekanbaru. .
.
143