Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS

HIPERTROFI TONSIL LINGUALIS grade 2


Disusun sebagai salah satu syarat lulus stase
Stase THT di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Maria Chrisma Pramana, Sp. THT-KL

Disusun Oleh :
Ahmad Dalma Haidar
20204010279

SMF BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsil lingual merupakan bagian dari jaringan limfoid pada dasar lidah yang bertumpu di lapisan

tipis jaringan fibrosa dasar lidah. Jaringan ini dapat ditemukan pada sebagian besar individu dari

berbagai tingkatan umur. Tonsil lingual tampak sebagai dua massa di lateral lidah yang simetris

di kedua sisi lidah dan dipisahkan oleh lipatan glossoepiglotikum pada garis tengah lidah, mulai

dari papila sirkumvalata hingga valekula. Tonsil lingual memiliki peran klinis penting pada

keluhan suatu penyakit saat terjadi pembesaran. Gambaran klinis pada struktur ini berhubungan

langsung dengan komposisi jaringan limfoid dan posisi anatomisnya. Proses patologis dapat

mempengaruhi perbandingan besar tonsil lingual dengan tonsil palatina dan adenoid. Tonsil

lingual sering berhubungan erat dengan pole bawah tonsil palatina dan dapat menonjol menutupi

daerah valekula hingga ke tepi atas epiglotis hingga mendorong epiglotis ke arah posterior dan

menyebabkan tertutupnya ujung epiglotis oleh tonsil lingual. Hipertrofi tonsil lingual (HTL)

sering tidak terdeteksi karena sering muncul tanpa keluhan dan merupakan hasil dari adanya

edema dan peradangan serta hiperplasia pada jaringan akibat paparan berulang mukosa tonsil

oleh asam lambung yang refluks dan menimbulkan penebalan serta peradangan pada mukosa

sehingga dapat mempersempit jalan nafas di daerah retrolingual dan meningkatkan kemungkinan

terjadinya obstruksi jalan nafas


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer

merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina,

tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba Eustachius.2

A. Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada

kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot

palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil

mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi

seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil

terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

 Lateral – muskulus konstriktor faring superior


 Anterior – muskulus palatoglosus

 Posterior – muskulus palatofaringeus

 Superior – palatum mole

 Inferior – tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau

kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang

kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik

difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di

seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya

memperlihatkan pusat germinal

Fosa Tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas

posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot

konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar

dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.

Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri

karotis eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri

fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri

palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan

cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis

dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal


asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian

posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri

tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina

desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.

Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal

Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda

(deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke

kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah

bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada

Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal)

dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.

Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-

kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi

adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin

(IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di

jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel
sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada

folikel ilmfoid.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi

limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan

mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan

sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

B. Tonsil Faringeal (Adenoid)1

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama

dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu

segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun

mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.

Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan

adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat

meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada

masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7

tahun kemudian akan mengalami regresi.

C. Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada

apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

1. Hipertrofi Tonsil Lingua;is

2.1 Definisi
Hipertrofi tonsil lingual adalah pembesaran tonsil di daerah lingual yang terletak

didasar lidah.

2.2 Insidensi

Hipertrofi tonsil lingual kadang-kadang dilaporkan pada anak-anak, tetapi paling

sering terjadi pada orang dewasa terutama pada individu atopik

1.3 Etiologi

Etiologi terjadinya hipertrofi tonsil masih belum jelas. Namun, ada spekulasi

penyebab nya adalah sebagai mekanisme kompensasi setelah pengangkatan tonsil

palatina atau sekunder untuk infeksi tonsil kronis tingkat rendah. Beberapa penyebab

mungkin berkontribusi terhadap terjadinya Hipertrofi tonsil lingual ( LTH) seperti

hiperplasia limfoid reaktif akibat adenotonsilektomi sebelumnya, , kegemukan, dan

penggunaan obat-obatan seperti fenitoin.

1.4 Manifestasi Klinis

Secara klinis, hiperplasia tonsil lingual dapat muncul dengan gejala yang disebabkan

oleh posisi anatomisnya. Meskipun banyak pasien asimtomatik atau tanpa gejala,

pasien yang lain mungkin mengeluh adanya perubahan suara, batuk kronis, tersedak

atau dispnea.. keluhan lain yang bisa muncul adalah sakit tenggorokan, disfagia,

demam dan leukositosis. Komplikasi yang bisa terjadi terkait engan Hipertrofi Tonsil

Lingual adalah obstruksi jalan napas, pembentukan abses, apnea tidur obstruktif dan

epiglotitis dewasa berulang.

1.5 Klasifikasi
1.6 Penegakan Diagnosis

Anamnesis

Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50%

diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan

keluhan rasa sakit pada tenggorok , sakit waktu menelan, rasa mengganjal di

tenggorok,

Pemeriksaan Fisik

Sebelum prosedur klinis, semua pasien harus ditanyai tentang kontak yang

berisiko COVID-19, demam, dan gejala penyakit pernapasan. Pasien yang

mengalami hilangnya pembauan dan / atau perasarasa secara tiba-tiba harus

dianggap berisiko tinggi terinfeksi COVID-19. Pasien harus memakai masker bedah

yang menutupi mulut (Vittorio A et al., 2020).

Persiapkan peralatan yang tepat dan alat pelindung diri (APD) yang tepat sebelum

memulai pemeriksaan fisik. Peralatan mungkin termasuk adalah spatel lidah. Minta

pasien dalam posisi duduk di kursi pemeriksaan di ruangan dengan nyaman. Minta

pasien untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah sembari Masukkan spatel lidah

dengan hati-hati. Lampu kepala sangat penting untuk memungkinkan penerangan

untuk melihat tonsil dari penderita, pada pemeriksaan fisik Tampak tonsil

membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut, permukaan tonsil

tidak rata

Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi HTL dapat dilakukan dengan laringoskopi serat optik fleksibel,

pemeriksaan rontgen cervical soft tissue lateral, CT Scan dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI).2 Diagnosis pasti dibuat berdasarkan pada anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan baku emas laringoskopi serat optik fleksibel.

Laringoskopi serat optik sendiri merupakan prosedur medis yang merupakan

tindakan pemeriksaan endoskopi laring untuk mendapatkan tampilan langsung

anatomi laring seperti glotis dan pita suara. 13 Penggunaan laringoskopi serat

optik fleksibel serta pencitraan MRI atau CT scan memiliki kelemahan yaitu alat

yang harus selalu dibersihkan setiap habis pakai, pemeliharaan alat serta biaya

pemeriksaan yang terbilang mahal serta tidak tersedianya alat ini di semua rumah

sakit dan dibutuhkannya kerjasama dari penderita oleh karena alasan-alasan

tersebut, makaUniversitas Andalas 3 dipikirkan untuk mencari alternatif sebagai

pengganti pemeriksaan penunjang dengan penggunaan rontgen cervical soft tissue

lateral, selain lebih ekonomis pemeriksaan ini juga dapat dilakukan di semua

rumah sakit. 14 Pemeriksaan rontgen cervical soft tissue lateral juga lebih mudah

dilakukan pada anak bila dibandingkan dengan CT scan.15 Pemeriksaan rontgen

cervical soft tissue lateral merupakan prosedur umum untuk skrining jaringan

lunak daerah leher. 15 Sejak tahun 1939 Rontgen cervical lateral telah sering

digunakan sebagai penilaian keadaan patologis daerah leher. 16 Foto rontgen

cervical lateral dapat menunjukkan gambaran bayangan dari jaringan lunak

prevertebral yang dibedakan ke dalam bayangan retrofaring dibagian proksimal

sampai setinggi C5 dan bayangan retrotrakea di bagian distalnya. 17 Pada HTL

pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur ukuran tonsil lingual serta diameter
anterior-posterior terkecil dari nasofaring, orofaring dan hipofaring. Gambaran

dari HTL sering memberikan gambaran abnormal pada rontgen cervical soft

tissue lateral. 15 Laringoskopi serat optik fleksibel sebagai pemeriksaan baku

emas pada laring tidaklah selalu tersedia di semua rumah sakit ditambah lagi

dengan biaya pemeriksaan yang cukup mahal

1.7 Penatalaksanaan

 Amandel lingual rentan terhadap iritasi dan peradangan oleh agen kimia

berdasarkan posisi anatomisnya. Perawatan diarahkan untuk menghindari

pembersihan tenggorokan yang berlebihan dan faktor-faktor yang memberatkan

seperti debu, asap tembakau atau bahan kimia yang mengiritasi seperti dalam

kasus kami. [ 2,6] Peradangan akut biasanya merespon analgesik, istirahat, terapi

antibiotik yang sesuai (larutan Lugol dengan antibiotik sulpha) dan mungkin

steroid. [ 4-6] Perawatan bedah jarang diperlukan dan umumnya disediakan untuk

pasien dengan obstruksi jalan napas bergejala, abses tonsil atau infeksi berulang

yang tidak responsif terhadap terapi antibiotikPerawatan pada Level 3

Tindakan Pembedahan

Apabila setelah dilakukan terapi konservatif gagal, maka tindakan pembedahan

perlu dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Tonsilektomi adalah prosedur

mengangkat keseluruhan tonsil termasuk kapsulnya dengan cara diseksi pada ruang

peritonsilar antara kapsul tonsil dan dinding muskuler. Pilihan terapi tonsilektomi dilakukan

berdasarkan indikasi yang tepat sehingga diperoleh keuntungan yang nyata Indikasi
tonsilektomi yang sering dan masih digunakan di indonesia adalah AAO‐NHS Clinical

Indicator Compendium tahun 1995 yang menetapakan indikasi berupa indikasi absolut dan

relatif. Indikasi absolut berupa pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas,

disfagia berat, sleep apneu, gangguan berbicara dan cor pulmonale. Indikasi absolut lainnya

berupa rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil

hilang dengan pengobatan serta hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai adanya keganasan.

Indikasi relatif berupa terjadi serangan tonsilitis lebih dari 3 kali dalam setahun walaupun

telah mendapatkan terapi yang adekuat, halitosis atau napas bau yang tidak berhasil dengan

pengobatan, otitis media efusi atau otitis media supuratif.

Differential Diagnosis

Limfoma

Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan jaringan

limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,

yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Keluhan yang biasanya ditemukan pada limfoma

adalah Pembersaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ  Malaise umum  Berat badan

menurun >10% dalam waktu 3 bulan  Demam tinggi 38˚C selama 1 minggu tanpa sebab 

Keringat malam  Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar) . Pada pasien ini tidak

ditemukan gejal gejala seperti diatas

Kista Duktus Tiroglossus

Kista duktus tiroglosus adalah kelainan perkembangan di mana saluran tiroglosus menetap setelah turunnya kelenjar tiroid. Kista

duktus tiroglosus merupakan salah satu massa kongenital asimtomatik yang paling sering ditemukan di daerah leher (7%). Kista duktus

tiroglosus dapat terjadi di sepanjang saluran tiroglosus, dengan 70% timbul di garis tengah anterior
leher, di bawah tulang hyoid warna sama dengan warna kulit sekitarnya. Selain itu massa ikut bergerak saat

menelan dan menjulurkan lidah. Hal ini merupakan tanda patognomonis kista Kurnia | Pria dengan Kista

pada Duktus duktus tiroglosus yaitu massa yang ikut bergerak keatas saat menelan dan saat lidah

diprotrusikan

BAB III

STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Sdr. Y

Umur : 23 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Paten Gunung, Magelang Selatan, Kota Magelang

Agama : Islam

Status Pernikahan : Belum menikah

Tanggal Masuk : 19 Maret 2021


No. RM : 264164

2. ANAMNESIS

2.1. Keluhan Utama

Mimisan

2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengalami mimisan yang kambuh-kambuhan sejak kurang lebih 1 minggu

SMRS. 1 hari SMRS, pasien mengalami mimisan yang cukup banyak dan disertai

dengan mual muntah. Sebelum mimisan, pasien selalu merasakan nyeri kepala

belakang dengan skala 4. Pasien juga mengeluhkan bahwa biasanya hidungnya mampet

terutama yang sebelah kiri. Pada waktu kecil, pasien juga sering mengalami mimisan

yang kambuh-kambuhan apabila kecapekan. Sebelumnya pasien pernah masuk UGD

karena mimisan yang cukup parah akan tetapi kemudian keluhan membaik dan pasien

diperbolehkan pulang.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Pasien pernah mengalami mimisan kambuh-kambuhan pada waktu kecil

b. Asma : disangkal

c. Hipertensi : disangkal

d. Vertigo : disangkal

e. Alergi : disangkal

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Anggota keluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan seperti pasien

b. Asma : disangkal
c. Hipertensi : disangkal

d. Stroke : disangkal

e. DM : disangkal

f. PJK : disangkal

g. Vertigo : disangkal

h. Alergi : disangkal

2.5. Riwayat Pengobatan Sebelumnya

Pada 3 hari SMRS, pasien datang ke UGD Rumah Sakit di Jogja karena keluhan

yang serupa kemudian membaik dan diperbolehkan pulang.

2.6. Riwayat Personal Sosial

Pasien membuka kedai makanan di Jogja selain itu pasien juga bekerja sebagai

driver ojek online dan sering bekerja hingga pukul 3 pagi.

2.7. Anamnesis Sistem

Kepala Leher : Nyeri kepala belakang

THT : Mimisan, hidung kiri bumpet

Respirasi, Kulit : Tidak ada keluhan

Kardiovaskular : Tidak ada keluhan

Gastrointestinal : Tidak ada keluhan

Perkemihan, Ekstremitas : Tidak ada keluhan

Sistem Reproduksi : Tidak ada keluhan

3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Sedang


Kesadaran : Compos Mentis , E4M6V5

Vital Sign : TD = 117 / 70 mmHg N = 80 x/menit

RR = 21 x/menit T = 36,2 °C

Status Generalisata

a. Kepala : Normocephal

b. Wajah : Simetris

c. Leher : Pembesaran KGB (-)

d. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Mata cekung (-/-)

Status Lokalis

Hidung

Dekstra Sinistra
Discharge Cloth (+) Cloth (+)
Konka Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Hipertrofi (+) Hipertrofi (++)

Septum Deviasi (+) Deviasi (++)


Sinus Paranasalis Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium
Nilai
Pemeriksaan Hasil Satuan Metode
Rujukan
HEMATOLOGI
PAKET DARAH
LENGKAP
Hemoglobin 14.7
gr/dL 13.0-18.0 SLS
JUMLAH SEL DARAH
Leukosit 7.8
10ˆ3/ul 4.00-11.00 Hidro
Eritrosit 8.0
10ˆ6/uL 1.50-6.50 Dynamic
Hematokrit 40.0
% 40.0-54.0 Hidro
Angka Trombosit 293
10ˆ3/ul 150-450 Dynamic
Eosinofil 2
% 1-6 Calculated
Basofil 1
% 0-1 Hidro
Netrofil Segmen 60
% 40-75 Dynamic
Limfosit 27
% 20-45 Laser FC
Monosit 10
% 2-10 Laser FC
Netrofil # 4.20
10ˆ3/ul 2.0-7.5 Laser FC
Limfosit# 2.2
Laser FC
DIAMETER SEL/SIZE
RWD-CV 12.6
% 11.6-14.4 Scatered Light
RWD-SD 38.3
fL 35.1-43.9 Scatered Light
P-LCR 20.9
% 9.3-27.9 Scatered Light
CALCULATED
MCV 82.6
fL 76-96 Calculated
MCH 29.7
pg 27.5-32.0 Calculaterd
MCHC H 35.9
g/dL 30.0-35.0 Calculated

SERO IMUNOLOGI
SARS-Cov IgM/IgG
Rapid Test
SARS Cov IgM Non Reaktif
Non Reaktif
SARS Cov IgG Non Reaktif
Non Reaktif
COAGULASI
PT=APTT
Kontrol PT 12.7
detik 9.0-12.7 Optic
Kontrol APTT 26.4
detik 21.5-29.1 Optic
PT 10.9
detik 9.9-11.8 Optic
INR 1.01
0.81-1.21
APTT 25.9
detik 23.9-34.9 Optic

b. Nasondoskopi

Pada nasoendoskopi ditemukan :

 Cloth pada kedua hidung di daerah pleksus Kiesselbach,

 Hipertrofi konka inferior pada kedua hidung akan tetapi sebelah kiri lebih besar,
 Deviasi septum pada kedua hidung dan sebelah kiri lebih berat,

 Rongga hidung yang sempit terutama hidung sebelah kiri.

5. DIAGNOSIS

Diagnosis Kerja : Epistaksis Anterior

Diagnosis Banding : Hemofilia, Tumor nasal

6. PENATALAKSANAAN

 Marimer nasal spray 4x1 (sebelum nasoendoskopi)

 Inj. Cernevit 1x1

 Inj. Vitamin K 1x1

 Proneuron 2x1 (p.r.n)

 Lanzoprazole 0.0.1

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien laki-laki berusia 23 tahun datang ke UGD RSUD Tidar Magelang dengan keluhan

mimisan yang kambuh-kambuhan sejak 1 minggu SMRS. Sebelum mimisan kambuh pasien

pasti merasakan pusing terlebih dahulu di kepala belakang dengan skala 4. Pasien merupakan

driver ojek online di Jogja yang sering bekerja hingga pukul 3 pagi. Pasien sempat di bawa

ke UGD rumah sakit di Jogja pada 3 hari SMRS karena mimisan yang cukup parah akan

tetapi pasien diperbolehkan pulang setelah keluhannya membaik


Berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis

yang memungkinkan pada pasien tersebut adalah epistaksis anterior dengan diagnosis

banding hemofilia dan tumor nasal. Pada anamnesis didapatkan kemungkinan penyebab

berulangnya mimisan pasien adalah karena kelelahan. Pasien setiap hari bekerja hingga pukul

3 pagi sebagai driver online. Setelah pulang kerja pasien biasanya mengalami nyeri kepala

belakang kemudian keluhan mimisan akan kambuh. Pada pemeriksaan nasoendoskopi

terlihat jelas bahwa sumber perdarahan pada pasien berada di area pleksus Kiesselbach yang

dimana memperkuat diagnosis epistaksis anterior. Pasien diberikan obat proneuron untuk

meredakan nyeri kepala dan juga vitamin K untuk membantu proses pembekuan darah.

BAB V

KESIMPULAN

Pasien Sdr. Y usia 23 tahun datang ke UGD Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

dengan keluhan mimisan kambuh-kambuhan sejak 1 minggu yang lalu. Diagnosis pasien ini

adalah epistaksis anterior. Tatalaksana pada pasien ini antara lain Marimer nasal spray 4x1

(sebelum nasoendoskopi), inj. Cernevit 1x1, inj. Vitamin K 1x1, Proneuron 2x1 (p.r.n), dan

Lanzoprazole 0.0.1.
Pasien diberikan edukasi mengatur jadwal aktivitasnya kembali untuk mencegah

kelelahan yang dapat menyebabkan mimisan berulang. Pasien juga diminta untuk tidak

meminum minuman yang dingin serta menghindari terpapa udara yang terlalu dingin. Selain

itu pasien juga diminta untuk makan makanan yang bergizi untuk menjaga kesehatan

tubuhnya dan apabila keluhan memburuk maka pasien diminta segera memeriksakan diri ke

dokter untuk penanganan lebih lanjut.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Adeyeye F.M. et al., 2020. Endoscopic Detection of Bleeding Sites in Patient With

Epistaksis

Freenan S.C. et al., 2020. Physiology Nasal. In : StatPearls [Internet]

Humbert M. et al., 2015. Nasal Anatomy and Evaluation


John L.S. and Sunil M., 2020. Anatomy Head and Neck, Nasal Cavity

Krulewitz N.A. et al, 2019. Epistaxis

Luis R.R. et al., 2018. Epidemiology of Epistaxis In The Emergency Department of a

Southern European Tertiary Care Hospital

McArthur F.J. and McGarry G.W., 2017. The Arterial Supply of The Nasal Cavity

Patel R.G., 2017. Nasal Anatomy and Function

PERHATI-KL, 2020. West Java Othorhinoloaryngology Head and Neck Surgery Update

on Daily and Emergency Setting. Hal. 21.

Quoc A.N. et al., 2020. Epistaxis. emedicine.medscape.com/article/863220-overview#a6

Rafael B., 2018. Current Approaches to Epistxis Treatment in Primary and Secondary

Care

Rao P., 2017. Diagnosis and Management of Epistaxis : A Summary rom Recent

Systematic Reviews

Schrader J. et al., 2015. Hemophilia

Tabassom A., 2020. Epistaxis. In : Stat Pearls [Internet]

V.J. Lund et al., 2016. Nose and Paranasal Sinus Tumours : United Kingdom National

Multidisciplinary Guidelines

Vittorio A. et al., 2020. Clinical Recommendations for Epistaxis Management During the

COVID-19 Pandemic

Yau S., 2015. An update on Epistaxis.

Anda mungkin juga menyukai