Anda di halaman 1dari 19

Laporan Resmi

Praktikum Farmakologi Farmasi

“PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT”

Nama : Linda
NIM : 081501019
Program : S-1 Reguler
Kelompok/ Hari : IV / Kamis
Asisten : Nur Aira Juwita, S. Farm
Tanggal Percobaan : 25 Februari 2010

Laboratorium Farmakologi Farmasi


Departemen Farmakologi Farmasi
Fakultas Farmasi
Universitas Sumetera Utara
Medan
2010
Lembar Persetujuan Dan Nilai Laporan Praktikum
Judul Percobaan : Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat

Medan, 4 Maret 2010


Tanggal ACC : ______________________
Asisten, Praktikan,

( Nur Aira Juwita, S. Farm ) ( Linda )

Perbaikan :
1. Perbaikan I, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
2. Perbaikan II, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
3. Perbaikan III, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
4. Perbaikan IV, Tanggal : ___________________
Telah Diperbaiki : ___________________
5. Pergantian Jurnal : ___________________

Nilai :
PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT
I. PENDAHULUAN

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok
untuk sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar
sehingga menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa
adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang
diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh
bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat
tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang
diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya.
Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang
ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama


disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor
farmakokinetik; kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang
terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik
merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi dalam
berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan
individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat
dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)
Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah
dikenal baik pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat
lainnya. Tikus-tikus jantan muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh
lebih cepat daripada tikus-tikus betina muda dewasa atau tikus jantan pubertas.
Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik. Beberapa laporan klinik
menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex dependent ini terjadi juga
pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen, dan salisilat.
wanita cenderung memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan
memiliki persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan
yang sama. (Mary K. and Jim K., 2005)
II. TUJUAN PERCOBAAN

 Untuk mengetahui pengaruh variasi biologis terhadap dosis obat yang diberikan
kepada hewan percobaan

 Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang
diberikan kepada hewan percobaan

III.PRINSIP PERCOBAAN

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi dosis, salah satunya yaitu variasi
biologi. Variasi biologi dapat diuji dengan perbandingan mencit dengan berat badan
yang berbeda, perbandingan mencit dengan perbedaan kondisi tubuh, dan dari
perbedaan jenis kelamin jantan dan betina.
IV. TINJAUAN PUSTAKA

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok
untuk sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini bisa terlalu besar
sehingga menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Tanpa
adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang
diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh
bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat
tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang
diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya.
Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang
ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama


disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor
farmakokinetik; kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang
terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik
merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi dalam
berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan
individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat
dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang.
Berdasarkan mekanisme nya ada dua jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik
dan toleransi farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat
meningkat metabolismenya sendisri (obat merupakan self inducer), misalnya
barbiturat dan rifampisin. Toleransi farmakodinamik atau toleransi seluler terjadi
karena proses adaptasi sel atau reseptor terhadap obat yang terus-menerus berada di
lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang mencapai reseptor tidak berkurang,
tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka responnya berkurang.
Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin, amfetamin dan
nitrat organik. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama
(bioinekivalensi) yang cukup besar dapat menimbulkan respon terapi yang berbeda
(inekivalensi terapi). Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit, dan obat
untuk penyakit yang berbahaya (life-saving drugs), perbedaan bioavailabilitas antara
10-20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang
sering kali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah: digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)
Efek Plasebo
Dalam setiap pengobatan, respon yang diperlihatkan pasien merupakan
resultante dari efek farmakologik obat yang diberikan dan efek plasebo (efek yang
bukan disebabkan oleh obat) yang selalu terikut selama pengobatan. Efek plasebo ini
dapat berbeda secara individual dan dapat berubah dari waktu ke waktu pada
individu yang sama. Efek ini dapat memperbaiki respon pasien terhadap pengobatan,
tetapi dapat juga merugikan, tegantung dari kualitas hubungan dokter-pasien.
Manifestasinya, dapat berupa perubahan emosi, perasaan subyektif, dan gejala
obyektif yang berada di bawah kontrol saraf otonom ataupun somatik.
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)
Pengaruh Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya
(makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam
asap rokok menginduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat tertentu (misalnya
teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan
demikian mengurangi respon pasien.
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)
GOLONGAN BARBITURAT
Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula
dimanfaatkan sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan ada-lah barbiturat
kerja disana. (long-acting barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat anti-epilepsi,
fenobarbital, mefobarbital, dan metarbital; serta primi-don yang mirip dengan
barbiturat ( Sulistia.G,1980).
Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus (4). Banyak
barbiturat menghambat tahap akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi
pembentukan fosfatase berenergi tinggi. Senyawa fosfat ini perlu untuk sintesis
neuro-transmiter (ump. ACh), dan untuk repolarisasi mcmbran sel neuron setelah
depolarisasi ( Sulistia.G,1980).
FENOBARBITAL
Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) me-rupakan senyawa organik
pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, mem-batasi
penjalaran aktivitas serangan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital
merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat, tersering digunakan, dan
termurah. Dosis efektif relatif ren-dah (2). Efek sedatif, dalam hal ini dianggap efek
samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan sentral lainnya
tanpa menghi-langkan khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil;
kadang-kadang hanya timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang
berat pada penggunaan sebagai antiepilepsi belum pernah dilaporkan (2).
Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi epilepsi grand mal. Karena
efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya dengan fenitoin,
penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut.
( Sulistia.G,1980).
Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai
serangan kortikal lainnya; juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril.
Sekalipun khasiatnya terbatas, karena sifat antikonvulsi berspektrum lebar dan aman,
fenobarbital sering cocok untuk terapi awal serangan absence, spasme mioklonik,
dan epilepsi akinetik; apalagi mengingat kemungkinan komplikasi serangan tonik-
klonik umum (grand mal) pada ketiga je-nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi
psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams berhati-hati, oleh karena ada
kemungkinan terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama hams di-ingat oleh
mereka yang menggunakan fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap kelainan
dengan konvulsi (umpamanya pada bidang kesehatan anak). ( Sulistia.G,1980).
Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg
sehari. Untuk mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma
optimal, berkisar antara 10 sampai 30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml
sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian fenobarbital harus
secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi serangan
kembali, atau malahan serangan status epileptikus ( Sulistia.G,1980).
MEFOBARBITAL
Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbiturat), efek sedatifnya lebih
lemah daripada feno- barbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi
mefobarbital tetap efektif terhadap grand mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama
dengan fenobarbital karena terjadi N-demetilasi di hati. Khasiat mefobarbital
terhadap petit mal jelas me-lebihi fenobarbital, akan tetapi kurang bila diban-dingkan
dengan obat yang selektif terhadap petit mal. Dosis yang biasa diberikan pada orang
dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis terbagi ( Sulistia.G,1980).
METARBITAL
Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-
metil-5,5-dietilbar-biturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa
kerjanya paling lama. Metarbital tidak memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat
antikonvulsi); tetapi dalam kombinasi ataupun sebagai obat tunggal berguna terhadap
grand mal yang sudah refrakter terhadap pengobatan lazim; juga terhadap epilepsi
mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap spasme mioklonik pada anak kecil (infant)
metarbital paling baik khasiatnyajdan pada kelainan dengan konvulsi akibat
kerusakan pada otak, metarbital juga sangat berguna. ( Sulistia.G,1980).
Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam
kulit. Dosis awal dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari
dan dapat dinaik-kan menjadi 800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan
sehari, diberikan terbagi. ( Sulistia.G,1980).
Faktor-Faktor Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan juga berperan terhadap variasi individual dalam
metabolisme obat. Perokok sigaret memetabolisasi beberapa jenis obat secara lebih
cepat dibandingkan dengan bukan perokok sebab adanya induksi enzim. Pekerja-
pekerja industri yang terpapar beberapa pestisida memetabolisasi obat-obat tertentu
lebih cepat dibandingkan dengan orang yang tidak terpapar. Perbedaan-perbedaan
demikian itu menyebabkan kesulitan untuk menentukan dosis yang efektif dan aman
untuk obat-obat mempunyai indeks terapi sempit. (Mary K. and Jim K., 2005)
Umur dan Jenis Kelamin
Kepekaan yang meningkat terhadap aktivitas farmakologik dan toksisitas
obat-obat telah dilaporkan pada penderita yang sangat muda dan yang tua sekali
dibandingkan dengan penderita yang dewasa muda. Walaupun ini mencerminkan
adanya perbedaan dalam absorpsi obat, distribusi dan eliminasi obat, perbedaan-
perbedaan dalam metabolisme obat tidak bisa disingkirkan, suatau kemungkinan
yang didukung oleh studi-studi pada mamalia yang menunjukkan bahwa obat-obat
metabolisme dengan lebih lambat bisa disebabkan oleh kurangnya metabolik atau
kurangnya persediaan kofaktor endogen yang diperlukan. Kecenderungan yang
serupa telah dilihat pada manusia, tetapi bukti-bukti yang pasti masih harus
didapatkan. (Mary K. and Jim K., 2005)
Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah
dikenal baik pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat
lainnya. Tikus-tikus jantan muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh
lebih cepat daripada tikus-tikus betina muda dewasa atau tikus jantan pubertas.
Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik. Beberapa laporan klinik
menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex dependent ini terjadi juga
pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen, dan salisilat.
(Mary K. and Jim K., 2005)
Jenis kelamin dan persentase lemak tubuh pada wanita cenderung memiliki
persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki persentase cairan tubuh
yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan yang sama. Konsekuensinya,
wanita cenderung merasakan efek obat yang lebih hebat dibandingkan pria karena
obat akan terlarut dalam jumlah volume cairan tubuh yang relatif lebih kecil. Wanita
juga memiliki kandungan lemak yang lebih banyak daripada pria. Obat – obat yang
larut dalam lemak akan secara lebih luas terdistribusi dan dapat menghasilkan durasi
kerja yang lebih lama. Konsep yang sama ini juga dapat diaplikasikan pada
perbedaan komposisi lemak tubuh anatara anggota yang memiliki jenis kelamin yang
sama. (Henry H. and Barbara N., 1999)
Variasi Genetis
Individu – individu cenderung mewarisi protein dan pola enzim yang sama
dari orang tuanya. Ada variasi genetik yang signifikan pada enzim yang
memetabolisme obat, sehingga perbedaan pada individu dapat terlihat. Jika
perbedaan tersebut mempengaruhi laju metabolisme obat, maka akan menghasilkan
efek yang berbeda juga. Jika sebuah enzim menghilang, dimana dalam kasus
metabolisme obat yang sangat rendah. Laju metabolisme yang rendah akan
menghasilkan meningkatnya dan diperpanjangnya efek dari obat sehingga dapat
mengakibatkan konsekuensi yang serius. (Henry H. and Barbara N., 1999)

PENGOBATAN KEADAAN KECEMASAN


Respons psikologis, perilaku, dan fisiologis yang menandai kecemasan
mempunyai berbagai bentuk. Secara tipikal, kesadaran psikis dari kecemasan disertai
dengan meningkatnya kewaspadaan, ketegangan motor, dan hiperaktivitas otonomik.
Sebelum memberikan resep sedatif-hipnotika, seseorang harus menganalisis gejala
pasien secara hati-hati. Kecemasan adalah merupakan efek sekunder dari keadaan
sakit organik infarktus miokardium akut, angina pektoris, ulkus saluran cerna, dan
sebagainya yang masing-masing memerlukan terapi spesifik. Golongan lain dari
keadaan kecemasan sekunder (kecemasan situasional) berasal dari kejadian yang
hanya sekali atau sedikit sekali dialami, termasuk antisipasi terhadap ketakutan
terhadap prosedur medis atau pemeriksaan gigi, penyakit keluarga, atau tragedi
lainnya. Meskipun kecemasan situasional cenderung berakhir dengan sendirinya,
penggunaan sedatif-hipnotika jangka pendek mungkin sesuai untuk menangani
masalah ini dan juga untuk menangani keadaan cemas yang diakibatkan oleh
penyakit tertentu. Penggunaan suatu sedatif-hipnotika sebagai pramedikasi
menjelang pembedahan atau beberapa prosedur medis yang tidak menyenangkan
adalah masuk akal dan dibenarkan. Jika pasien menganggap kecemasan kronis
sebagai keluhan utama, mungkin lebih tepat untuk meninjau kembali kriteria
diagnostik yang disusun di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSMIV) untuk menentukan apakah diagnosisnya sudah benar dan bila
pengobatannya meliputi terapi obat. Misalnya, kecemasan yang berlebihan atau tidak
beralasan atas kejadian-kejadian di dalam kehidupan (generalized anxiety disorder),
gangguan panik (panic disorder) dan agorafobia biasa ditangani dengan obat-obat,
biasanya dalam hubungannya dengan psikoterapi. Dalam beberapa kasus, kecemasan
merupakan suatu gejala dari masalah psikiatrik lainnya, yang mungkin membenarkan
untuk digunakannya penggunaan bahan farmakologis misalnya, senyawa
antidepresan atau antipsikosis ( Katzung.B, 2002).
Benzodiazepine tetap merupakan obat yang paling umum digunakan untuk
penanganan keadaan-keadaan kecemasan, termasuk gangguan kecemasan umum.
Karena gejala-gejala kecemasan dapat disembuhkan dengan banyak jenis
benzodiazepine, maka tidaklah selalu mudah untuk memperlihatkan keunggulan satu
obat atas obat lainnya. Namun demikian, alprazolam terutama efektif pada
penanganan penderita gangguan panik dan agorafobia, dan dalam hal ini lebih
selektif dibandingkan terhadap benzodiazepine lainnya. Alprazolam juga dilaporkan
memiliki khasiat yang mirip dengan antidepresan trisiklik dalam penanganan
sebagian besar gangguan depresi utama. Pemilihan benzodiazepine untuk mengatasi
kecemasan didasarkan pada beberapa prinsip farmakologi:
(1) indeks terapi yang relatif tinggi ditambah dengan ketersediaan flumazenil yang
dapat digunakan untuk pengobatan overdosis benzodiazepine',
(2) rendahnya risiko interaksi obat berdasarkan induksi enzim hati;
(3) kecepatan eliminasi yang lambat, menyebabkan efek sistem saraf pusat bertahan
lama; dan
(4) rendahnya risiko kebergantungan fisiologis, dengan gejala putus obat yang kecil (
Katzung.B, 2002) .
Kerugian dari benzodiazepine meliputi kecenderungan terjadinya
kebergantungan psikologis, pembentukan metabolit-metabolit aktif, adanya efek
amnesik dan harganya yang mahal. Selain itu, benzodiazepine mempunyai efek
depresi sistem saraf pusat yang bersifat aditif bila diberikan bersama dengan obat
lain, misalnya ethanol. Pasien harus diingatkan akan adanya kemungkinan tersebut
untuk menghindari gangguan terhadap kerja yang membutuhkan kewaspadaan
mental dan koordinasi motorik. Banyak kelemahan Benzodiazepine yang tidak
dimiliki oleh buspirone yang tampaknya merupakan suatu anti cemas yang paling
selektif dari obat-obat yang tersedia sekarang ini. Namun demikian, keterbatasan dari
buspirone yang meliputi mula kerja efek anti cemas yang luar biasa lambat yang
membatasi penggunaannya untuk mengatasi kecemasan umum dan efikasinya yang
terbatas pada keadaan kecemasan yang ditandai adanya serangan panik dan
karakteristik fobia ( Katzung.B, 2002).
Berdasarkan perbedaan sifatsifat fisiknya, secara antropologis manusia
digolongkan dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas
perbedaan parameter morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan
tekstur rambut, tinggi badan, bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya, yang
membedakan suku-suku tertentu dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara
genomik, perbedaan-perbedaan morfologis tersebut ternyata disebabkan oleh adanya
beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap perbedaan fenotipe dari masing-
masing etnik tersebut. Farmakogenomik dapat memberikan metode yang akurat
dalam menentukan dosis obat yang tepat berdasarkan sifat genetic dari seseorang.
(Maksum Radji, 2005)
Efek dari obat secara terpisah tergantung pada hal - hal berikut ini :
o Jumlah obat yang diberikan
o Luas dan laju absorpsi
o Luas dan laju distribusi
o Pengikatan dan letaknya pada jaringan
o Metabolism (bio-transformasi)
o Ekskresi
Absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi dari suatu obat meliputi
perjalanannya melewati membrane sel. (www.forcon.ca/learning/hitting.html)
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang
menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja
yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal,
inhalasi.
Oral, adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai,
karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui
rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping,
enteron berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui saluran
cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus). (www.NursingBegin.com)
V. METODE PERCOBAAN
5.1. Alat dan Bahan

5.1.1. Alat

 Timbangan elektrik
 Spuit 1 ml
 Oral sonde
 Stopwatch
 Erlenmeyer 10 ml
 Beaker glass 25 ml

5.1.2. Bahan
 Mencit 6 ekor
 Luminal Natrium 0,7%
 Aquadest

5.2. Prosedur Percobaan


 Hewan ditimbang, dan ditandai
 Dihitung dosis dengan pemberian:
- Mencit I : Batina luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
- Mencit II : Jantan luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
- Mencit III : Berat badan kecil, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
- Mencit IV : Berat badan besar, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (I.P)
- Mencit V : tidak puasa, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (oral)
- Mencit VI : puasa, luminal 0,7 % dosis 50 mg / kg BB (oral)
 Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90
menit
 Dibuat grafik respon vs waktu
VI. PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK, DAN PEMBAHASAN
6.1. Perhitungan
6.1.1. Perhitungan Dosis
Mencit I
berat badan = 26,5 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
50 mg
Dosis (mg)   berat mencit (g)
1000g
50
  26,5  1,325 mg
1000
0,7 g 700 mg
Konsentrasi 0,7%    7 mg / ml
100 ml 100 ml
dosis (mg) 1,325
Volume larutan yang disuntikkan    0,189 ml
7 mg/ml 7 mg / ml
Volume larutan yang disuntikkan
Untuk syringe 80 skala 
0,0125
0,189
  15,12skala
0,0125

Mencit II
berat badan = 25,1 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
50 mg
Dosis (mg)   berat mencit (g)
1000g
50
  25,1  1,255mg
1000
0,7 g 700 mg
Konsentrasi 0,7%    7 mg / ml
100 ml 100 ml
dosis (mg) 1,255
Volume larutan yang disuntikkan    0,179 ml
7 mg/ml 7
Volume larutan yang disuntikkan
Untuk syringe 80 skala 
0,0125
0,179
  14,32skala
0,0125

Mencit III
berat badan =20,6g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
50 mg
Dosis ( mg ) =  berat mencit (g)
1000g
50
=  20,6 = 1,03 mg
1000
0,7 g 700 mg
Konsentrasi 0,7% = = = 7 mg / ml
100 ml 100 ml
dosis ( mg ) 1,03
Volume larutan yang disuntikkan = = = 0,147 ml
7 mg/ml 7

Mencit IV
berat badan = 28,3 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
50 mg
Dosis (mg)   berat mencit (g)
1000g
50
  28,3  1,415 mg
1000
0,7 g 700 mg
Konsentrasi 0,7%    7 mg / ml
100 ml 100 ml
dosis (mg) 1,415
Volume larutan yang disuntikkan    0,202 ml
7 mg/ml 7
Untuk syringe 80 skala  1 skala  1 : 80  0,0125
0,202
Jumlah larutan yang disuntikkan   16,16skala
0,0125

Mencit V
berat badan = 24,7 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Oral)
konsentrasi = 0,7%
50 mg
Dosis (mg)   berat mencit (g)
1000 g
50
  24,7  1,235 mg
1000
0,7 g 700 mg
Konsentrasi 0,7%    7 mg / ml
100 ml 100 ml
dosis (mg) 1,235
Volume larutan yang disuntikkan    0,176ml
7 mg/ml 7

Mencit VI
berat badan = 24,1 g
dosis Luminal Na = 50 mg/kgBB (Oral)
konsentrasi = 0,7%
50 mg
Dosis ( mg ) =  berat mencit (g)
1000 g
50
=  24 ,1 = 1,205 mg
1000
0,7 g 700 mg
Konsentrasi 0,7% = = = 7 mg / ml
100 ml 100 ml
dosis ( mg ) 1,205
Volume larutan yang disuntikkan = = = 0,172ml
7 mg/ml 7

6.2. Data Percobaan


Terlampir

6.3. Grafik Percobaan


Terlampir

6.4. Pembahasan
Dari hasil percobaan diperoleh bahwa mencit dengan berat badan yang lebih
kecil mengalami efek obat yang lebih cepat daripada mencit dengan berat badan
yang lebih besar, hal ini sesuai dengan teori dimana mencit dengan berat badan yang
lebih kecil yang akan mengalami efek obat yang lebih cepat. Menurut teori,
kebanyakan dosis dewasa dikalkulasikan sekitar berat dewasa, yaitu 150 pon antara
umur 16 sampai 65 tahun. Namun, kebanyakan orang dewasa beratnya tidak
mencapai 150 pons. Pada individu kecil (100 pons), dosisnya harus dikurangi. Pada
individu yang lebih besar (200 pon sampai 300 pons), dosis nya harus ditingkatkan.
Bagaimanapun juga pendekatan dosis seperti ini tidak selalu dapat dijadikan
pedoman dikarenakan masih banyaknya faktor lain yang menentukan. (Henry H. and
Barbara N., 1994).
Pada kondisi puasa, dari hasil percobaan diperoleh bahwa mencit yang puasa
mengalami efek obat yang lebih cepat dibandingkan yang tidak puasa. Sesuai dengan
teori dimana efek obat akan bekerja lebih cepat tanpa makanan, karena apabila
disertai dengan makanan, obat akan berinteraksi dengan makanan dan menyebabkan
absorpsi dari obat menjadi pelan. Makanan – makanan tipe tertentu dapat
membalikkan efek terapi dari suatu obat dengan meningkatkan absorbsi, menunda
absorbsi, dan bahkan dapat mencegah absorbsi pada pengobatan. Lebih jauh,
makanan dapat menyebabkan pasien merasakan reaksi yang berlawanan. (Mary K.
and Jim K., 2005)
Berdasarkan variasi jenis kelamin, dari hasil percobaan diperoleh bahwa
mencit betina mengalami efek obat lebih awal dibandingkan jantan yaitu betina pada
menit ke 10` dan jantan pada menit 40`. Menurut teori, pada wanita cenderung
memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki persentase
cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan yang sama.
Konsekuensinya, wanita cenderung merasakan efek obat yang lebih hebat
dibandingkan pria karena obat akan terlarut dalam jumlah volume cairan tubuh yang
relatif lebih kecil. Wanita juga memiliki kandungan lemak yang lebih banyak
daripada pria. Obat – obat yang larut dalam lemak akan secara lebih luas terdistribusi
dan dapat menghasilkan durasi kerja yang lebih lama. Konsep yang sama ini juga
dapat diaplikasikan pada perbedaan komposisi lemak tubuh antara anggota yang
memiliki jenis kelamin yang sama. (Henry H. and Barbara N., 1999)

VII. KESIMPULAN DAN SARAN


7.1. Kesimpulan
- Mencit dengan berat badan lebih besar mengalami efek kerja obat lebih
cepat dibanding mencit dengan berat badan lebih kecil.
- Mencit dengan kondisi dipuasakan mengalami efek kerja obat lebih cepat
daripada mencit yang tidak dipuasakan.
- Mencit dengan jenis kelamin betina mengalami efek kerja obat lebih cepat
dibanding mencit dengan jenis kelamin betina.
7.2. Saran
Penggunaan Fenobarbital dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat
lainnya untuk mengetahui perbandingan onset of action dan duration of action
antara turunan barbiturat lainnya yang memiliki efek sama.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan Terapi
”. Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895

Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian


Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman
120-122

Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc Graw
Hill ; USA. Pages 231 – 232.
Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku
Salemba Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.

Mary, K., and Keogh, J. (2005). ”Pharmacology Demistified”. Mc Graw Hill ; New
Jersey. Pages 42-44

Maksum Radji. (2005). ”Pendekatan Farmakogenomik Dalam Pengembangan Obat


Baru”
www.scribd.com

www.forcon.ca/learning/hitting.html

www.NursingBegin.com

Anda mungkin juga menyukai