Anda di halaman 1dari 7

BERKAH BERJAMAAH

Oleh : KH DR Ahzami Samiun Jazuli MA


Ni’mat berjamaah adalah ni’mat yang harus kita syukuri setelah
ni’mat iman dan Islam. Ada tiga alasan mengapa ni’mat berjamaah harus
kita syukuri, yaitu:
1. Kita mendapatkan pemahaman Islam yang benar dan syamil di dalam
tarbiyah. Jika berangkat bukan dari berjamaah, maka pemahaman
Islam kita parsial, sepotong-sepotong, tidak utuh dan tidak
menyeluruh. Kalau Islam kita karena sejak lahir, maka keislaman kita
belum tershibghoh. Dalam tarbiyah kita diberi pemahaman dulu
sebelum berjamaah.
Pemahaman materi ma’rifatullah, ma’rifatur Rasul, ma’rifatul Islam,
alwala’ wal baro’ itu membentuk fikroh kita dalam pemahaman Islam
yang syamil, utuh dan tersibghoh dengan warna Islam. Sehingga jika
menghadapi masalah timbangannya jelas ukurannya berdasarkan
timbangan Allah, bukan hawa nafsu.
2. Ni’mat Ukhuwah
Dalam jamaah kita merasakan persaudaraan yang indah, berada dalam
liqo seperti berada di dalam taman syurga. Semangat saling menasehati,
saling menolong karena Allah. Dimanapun kita berdiam, kita bisa
menemukan jejaring persaudaraan yang saling bekerjasama dalam
dakwah. Orang yang baru saja dikenal seolah-olah seperti saudara
kandung yang lama tidak bertemu, bisa langsung akrab dan saling
bersinergi disebabkan karena berjamaah.
3. Tsiqoh
Pertemuan-pertemuan/liqo menjadi berkah karena adanya saling
percaya (tsiqoh), sehingga menjadi keberkahan, tumbuh energi besar
untuk membangun keluarga, masyarakat dalam rangka memperbaiki
ummat. Maka kita membangun sekolah, membangun lingkungan yang
dapat melahirkan generasi muslim yang beraqidah benar, berakhlaq
mulia karena kita ingin membangun generasi yang lebih baik. Timbullah
kantong-kantong masyarakat dan lembaga-lembaga yang kita dirikan
yang memberi manfaat besar kepada ummat.
Kita harus mensyukuri ketiga nikmat ini, karena Allah berfirman
dalam surat Ibrahim ayat 7: ”Jika kamu bersyukur akan kami tambah,
jika kamu kufur azab Ku amat pedih.”
Allah mengancam dengan azab. Bukan dengan pengurangan ni’mat.
(Ngeri kan, bahaya kalau tidak mensyukuri ni’mat berjamaah, bisa Allah
cabut ni’mat itu dan berganti dengan azab kesengsaraan dan penyesalan).
Mensyukuri ni’mat berjamaah adalah dengan menjaga dan
memeliharanya dari kekacauan barisan dan keretakan yang bisa
berakibat perpecahan.
Lalu apa yang menyebabkan orang lupa dengan ni’mat Allah?
Ini karena terhalang oleh penyakit hati, yaitu:
✓ Merasa lebih tinggi (isti’la)
Ingat syetan tergelincir ke neraka karena merasa lebih baik dari
Adam. Sifat merasa lebih senior, lebih berjasa, lebih cerdas, lebih
pandai cari dana, lebih hebat, dan lebih berkapasitas.
Sebaliknya menuduh saudaranya under capacity, tidak pandai
cari dana, tidak pandai orasi dan bernarasi, dan lain-lain. Sikap ini
berbahaya dan bisa menggelincirkan.
Ingat kisah Nabi Musa ketika muridnya bertanya: “Adakah orang
yang lebih berilmu dari engkau wahai Musa? Musa menjawab “tidak
ada” Sepintas jawaban Musa ini ada benarnya, karena ia seorang nabi
dan rasul, bahkan Ulul Azmi, senantiasa dalam bimbingan Wahyu.
Tetapi apa yang terjadi? Allah hendak memberi pelajaran kepada Nabi
Musa dengan memerintahkan Nabi Musa belajar dari seseorang yang
tidak dikenal, orang yang tidak populer, namanya tidak disebut dalam
Al-Qur’an, hanya disebut dalam hadits, yaitu Khidir agar Nabi Musa
tahu bahwa ada orang yang lebih tinggi ilmunya daripada dirinya.
Berapa lama Nabi Musa belajar? Dalam S. Al-Kahfi Allah
menyebut huqubah, jamak dari haqibah. 1 hakibah = 80 tahun. Jika
bentuk terendah dari jamak adalah 3 maka paling sedikit Nabi Musa
belajar kepada Khidir selama 240 tahun untuk bersabar mengikutinya
tanpa boleh bertanya sampai dijelaskan pada waktunya.
Sampai sekarang tidak diketahui status guru Nabi Musa apakah
seorang wali atau seorang nabi. Tetapi ini menunjukkan orang
berilmu tidak harus terkenal atau popular.
Pelajaran lain bisa kita petik dari kisah Rasulullah Muhammad
SAW yang sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy yang
berkedudukan, banyak pengikutnya, banyak hartanya. Dalam waktu
yang bersamaan datang seorang buta dan miskin (Abdullah bin Ummi
Makhtum) yang ingin masuk Islam dan membersihkan diri.
Dalam logika manusia, Rasulullah membidik dakwah para
pembesar karena akan dapat banyak pengikut dan banyak hartanya
untuk kemajuan dakwah, tetapi Allah mengajarkan bahwa menilai
manusia itu bukan dari kedudukannya, atau hartanya, kecerdasannya,
kepopulerannya, atau tampilan luarnya, tetapi dari kebersihan hatinya.
Teguran Allah dengan menghadirkan seorang mad’u yang buta dan
tidak terkenal.
Jadi dalam berjamaah harus totalitas untuk dakwah, bukan
untuk tujuan lain (harta, kedudukan, popularitas). Jika ada tujuan atau
kepentingan lain itu harus diperbaiki, diluruskan, dibersihkan dari
niat-niat yang lain. Namun ketika dinasihati dan diluruskan malah
membuat wadah baru, membuat tandingan, melemahkan barisan
jamaah. Ini berbahaya karena menjaga persatuan adalah wajib dan
jelas dalilnya.
Kalau sudah jelas dalilnya tak perlu ada ijtihad lain.
Semua dalil untuk berijtihad batal karena dalil alQur’an jelas dan
tegas. Misalnya Q.S. Ali imron 103, tidak perlu ada penafsiran lain,
tidak perlu ada ijtihad lain, karena akan menabrak dalil Al-Qur’an.
✓ Ghurur (tertipu dengan diri sendiri)
Orang yang merasa dirinya lebih cerdas, lebih berjasa, lebih
senior, akan terjebak dengan dirinya sendiri, dan setan akan
membuatnya tergelincir.
Orang alim yang luas ilmunya bisa tergelincir disebabkan dia
tertipu dengan kehebatan dirinya, disebabkan hawa nafsunya
terkagum-kagum dengan dirinya.
Janganlah berdakwah karena (baca:untuk mengikuti) si fulan,
karena si fulan bisa berubah. Berdakwahlah karena Allah, untuk
Allah, bukan karena si fulan lebih pandai orasi, lebih pandai cari dana,
dan lebih cerdas.
Kaum mu’tazilah tergelincir dengan kecerdasannya. Dia
mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk Allah, padahal tidak ada dalil
yang mengatakan Allah menciptakan Al-Qur’an. Yang jelas ada
bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an.
Kalau dikatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka makhluk itu
lemah, bisa salah bisa lupa. Sedangkan Al-Qur’an itu pasti benar,
tidak ada keraguan padanya.
Di masa mazhab Abu Hanifah, ada seorang muridnya yang
mengatakan luar biasa ini mazhab, tidak ada yang akan
mengalahkannya. Jika ada ayat Al-Qur’an atau hadits yang
bertentangan dengan pendapat Imam Abu Hanifah, maka ayat tersebut
harus ditafsirkan ulang, ayat atau hadits tersebut harus di nasakh
(diganti).
Sikap ini salah dan membahayakan karena tertipu dengan
dirinya sendiri. Dan bisa menyebabkan orang menjadi taklid buta,
tidak lagi menyandarkan pendapatnya kepada kitab Allah dan sunnah
tetapi pendapat dan pemikiran orang yang dikaguminya.
Sebab-sebab taklid (ikut-ikutan tanpa tahu apa yg diikuti) adalah :
• Jahil, karena itu belajarlah supaya tafaqquh fiddiin; jangan
mengikuti nenek moyang.
• Ghuluw. Jangan berlebihan dalam mencintai dan dalam
membenci. Orang Yahudi berlebihan kepada Uzair. Orang
Nasrani berlebihan kepada Isa as (menganggap Isa Tuhan).
Mengagumi seseorang tokoh, ustadz sekedarnya saja.
Dunia adalah tempat ujian. Tidak ada yang abadi. Nabi
Sulaiman as diuji dengan kekuasaan dan kekayaan. Nabi
Sulaiman bersyukur.
Nabi Ayub diuji dengan kemiskinan dan penyakit, tetap
bersabar. Allah berfirman : ni’mal abdu innahu awwaab
(sebaik-baik hamba; adalah yang taat kepada Allah).
• Pembenaran (Tabrir)
Tabrir adalah seseorang yang merenung, memikirkan sesuatu,
kemudian pendapatnya dicarikan dalil, supaya seolah-olah
benar sesuai dengan Al-Qur’an itu adalah cara yang salah.
Yang benar adalah Al-Qur’an dulu, hadits dulu, baru pendapat
ulama, istimbat hasil pikiran manusia. Setiap ucapan bisa
diterima atau ditolak kecuali Al-Quran. Karena Al-Qur’an
wajib diterima. Bila hal ini dibalik, berbahaya. Merenung dulu,
lalu memaksakan dalil-dalil sebagai pembenaran itu sama
dengan membelakangi Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an dipakai
untuk membenarkan pendapatnya.
Harusnya bersikaplah seperti Umar bin Khahtab. Ketika Umar
membatasi mahar supaya meringankan para bujang untuk
menikah, maka diprotes oleh shohabiyah Khaulah binti
Tsa’labah: Mengapa engkau membatasi sesuatu yang Allah
tidak membatasinya? Umar langsung beristighfar dan mengakui
kesalahannya. Umar salah, dan wanita ini benar (padahal tujuan
Umar baik, agar para bujang dan gadis cepat menikah tidak
dibebani dengan biaya mahar yang mahal. Tetapi begitu
diingatkan, Umar segera menerima, tidak mencari-cari dalil
pembenaran)
Bagaimana solusinya?
a. Iltizam kepada jamaah
Hidup bukan untuk kenyamanan, tetapi sebagai ujian. Manusia
diuji untuk mencapai derajat ahsanu amala (sebaik-baiknya
amal). Jika mencari kenyamanan nanti di surga Allah. Orang
yang diuji harus sabar. Sepasang suami istri jika ada masalah,
apakah dia langsung bercerai? Apakah dijamin jika bercerai
tidak ada masalah?
Hidup untuk mendapatkan keberkahan. Berkah ada di dalam
berjamaah, ada suasana ta’liful qulub (ikatan hati), saling
menasehati, dan saling menolong.
Apakah kita yakin jika kita keluar dari jamaah akan lebih baik,
lebih sholeh, lebih taat kepada Allah, lebih ikhlash?
Dimanapun kita hidup ada masalah, bersabarlah menyelesaikan
masalah, bukan membubarkan rumah tangganya lalu bikin
rumah tangga baru.
Apakah orang yang sholat berjamaah, jika imamnya salah,
bubar sholatnya, keluar dari barisan sholat? Tidak. Sholat tetap
bisa dilanjutkan. Adapun kesalahan imam, tanggung jawab sang
imam. Makmum tetap bisa menyelesaikan sholatnya.

Anda mungkin juga menyukai