Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PEMANTAPAN KEMAMPUAN PROFESIONAL ( PKP )

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VI


SD INPRES NO. 177 PANGALAWAKKANG MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Oleh:

BASRI
NIM : 859 389 021

PROGRAM PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


POKJAR JENEPONTO UPBJ – UT MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TERBUKA
MAKASSAR
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Identifikasi Masalah

Pada proses pembelajaran yang berlangsung di kelas VI SDI No.


177 Pangalawakkang belum sesuai harapan. Pada saat pembelajaran
berlangsung banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan guru. Ada
siswa yang mengganggu teman sebangkunya. Ada juga beberapa orang
siswa kelihatan melamun bahkan ada yang tertidur. Di samping itu, ada yang
selalu minta izin keluar.
Setelah diadakan penilaian ternyata rata-rata kelas siswa hanya
mencapai 53. Siswa yang tuntas mencapai KKM hanya 4 orang dari 24
siswa atau 20%.
Menurut Johson ( 1972 : 12) matematika merupakan unsur-unsur
yang tidak didefinisikan, definisi, aksioma, dan dalili-dalil dimana argument
setelah terbukti valid pada umumnya, karena matematika ini sering di sebut
ilmu dedukatif.
2.. Analisis Masalah

Rendahnya hasil belajar seperti yang diuraikan pada identifikasi


masalah terjadi karena guru masih menggunakan metode ceramah. Guru
tidak memberikan latihan yang dapat mengaktifkan siswa. Guru pun tidak
menggunakan media pembelajaran. Di samping itu, guru tidak
menggunakan sumber belajar yang bervariasi.

3. Alternatif dan Prioritas Perbaikan Pembelajaran

Salah satu model pembelajaran yang dianggap dapat mengatasi


masalah rendahnya hasil belajar siswa adalah model pembelajaran
kontekstual. Kelebihan model pembelajaran ini ada 3 yaitu : Secara pribadi,
secara sosial dan secara akademis. Dengan menggunakan model ini
diharapkan rata-rata kelas yang semula hanya 53 meningkat menjadi 70
jumlah siswa yang tuntas mencapai KKM meningkat dari 20% menjadi
minimal 75%.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan yang
diangkat penulis yaitu : “Apakah hasil belajar matematika siswa kelas VI SDI
No. 177 Pangalawakkang dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran
kontekstual?”.

C. Tujuan Penelitian Perbaikan Pembelajaran


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan yang akan dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peningkatan hasil belajar
matematika siswa kelas VI SDI No. 177 Pangalawakkang melalui model
pembelajaran kontekstual.
D. Manfaat Penelitian Perbaikan Pembelajaran
Dalam penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi dunia
pendidikan. Adaun manfaat dari penelitiaan ini adalah :
a. Bagi siswa
1. Siswa dapat memahami dengan mudah materi yang disampaikan
oleh guru.
2. Hasil belajar yang diperoleh siswa dalam pelajaran matematika
dapat meningkat.
b. Bagi guru
1. Meningkatkan kinerja guru dalam proses pembelajaran, sehingga
bisa menjadi guru profesional.
2. Meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola proses
pembelajaran untuk pelajaran matematika agar hasil yang
diperoleh siswa lebih baik.
c. Bagi sekolah
1. Meningkatkan kualitas sekolah dimata masyarakat.
2. Memberikan sumbangan yang positif terhadap kinerja guru,
proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah lebih
meningkat.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Belajar Matematika

Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang yaitu terjadinya perubahan


tingkah laku yang lebih baik. Menurut Hamalik (1993:21) mengungkapkan
bahwa: “Belajar merupakan suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam
diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru
berkat pengalaman dan latihan”. Tingkah laku baru yang dimaksudkan
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, timbulnya pengertian-pengertian baru,
perubahan dan sikap, kebiasaan-kebiasaan, keterampilan, kesanggupan
menghargai, perkembangan sifat-sifat sosial, emosional, pertumbuhan
jasmaniah, dan lain sebagainya.
Sudjana (1989:28) mengemukakan bahwa: “Belajar adalah suatu proses yang
ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang, melalui proses
melihat, mengamati, memahami sesuatu”. Perubahan sebagai hasil proses
belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan
pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilan,
kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimanya, dan lain-
lain yang merupakan aspek yang ada pada individu.
Jadi belajar pada dasarnya adalah perubahan yang diperlihatkan oleh
individu dalam bentuk tindakan sebagai adanya interaksi individu dan
lingkungannya. Seseorang tidak dapat dikatakan belajar tanpa adanya
tindakan.
Kegiatan belajar mengajar matematika tidak hanya berhubungan dengan
permaianan angka-angka atau bilangan-bilangan melainkan suatu ilmu yang
tersusun secara teratur, sistematis, memuat gagasan atau ide-ide yang abstrak
sehingga perlu dipelajari terus menerus dan berkesinambungan karena materi
yang satu merupakan dasar atau landasan untuk mempelajari materi
berikutnya. Seperti yang dikemukakan oleh Hudoyo (1990:1-2) bahwa:
a. Kalau kita telaah, matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-
bilangan serta operasi-operasinya melainkan juga unsur-unsur ruang sebagai
sasarannya.
b. Dengan sasaran dan penelaahan matematika kita dapat mengetahui hakekat
matematika sekaligus kita ketahui cara berpikir matematika.
Sehingga belajar matematika merupakan suatu aktivitas mental untuk
memahami ide konsep atau struktur dalam matematika. Hal ini sejalan dengan
pendapat Muhkal dan Baso Intang Sappaile (1998:16) yang mengatakan
bahwa:
“Hakekat belajar matematika adalah suatu kegiatan psikologis yaitu
mempelajari atau mengkaji hubungan antara objek-objek dalam suatu struktur
matematika serta berbagai hubungan antara struktur-struktur matematika
melalui simbol-simbol sehingga diperoleh pengetahuan baru”.

Matematika merupakan satuan pelajaran yang tersusun secara berurutan,


logis dan bertingkat mulai dari hal-hal sederhana sampai pada tingkat yang
lebih kompleks.
Matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta
operasi-operasinya, melainkan juga aturan yang menerapkan langkah-langkah
operasinya. Lebih dari itu, matematika juga berkenaan dengan ide-ide atau
konsep-konsep dasar yang tersusun secara hirarkis dan peranannya secara
deduktif, sehingga matematika juga merupakan ilmu yang bersifat abstrak
yang mempelajari tentang ruang dan bilangan dan keduanya berhubungan
secara teratur. Hal ini sejalan dengan Herman Hudoyo (1990:3) bahwa:
“Matematika berkenaan dengan ide-ide (gagasan-gagasan), struktur-struktur
dan hubungan-hubungan yang diatur secara logika sehingga matematika itu
berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Suatu kebenaran matematika
dikembangkan berdasarkan atas alasan logika dengan pembuktian deduktif”.
1. Hakikat Matematika
Setiap orang barangkali mengetahui matematika itu dari pengalamannya
masing-masing. Bagi orang yang tidak menyukai matematika mungkin akan
merasa menjemukan dan membosankan. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan oleh sifat matematika yang penuh formalitas, simbolisme,
terminologi dan perhitungan rumit, Menampilkan dalam beberapa defenisi
matematika sebagai berikut:
a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang abstrak dan terorganisasi
secara sistematika.
b. Matematika adalah bagian pengetahuan manusia tentang bilangan dan
kalkulasi.
c. Matematika adalah ilmu tentang penalaran yang logis dan masalah-masalah
yang berhubungan dengan bilangan.
d. Matematika membantu orang dalam menginterpretasikan secara tepat sebagai
ide dan kesimpulan.
e. Matematika adalah ilmu pengetahuan tentang kuantitas dan ruang.

(Tim Pengembangan MKDK IKIP Semarang dalam Budiyono 1998:6).

2. Proses Belajar Mengajar Matematika


Banyak siswa yang mempunyai anggapan bahwa pelajaran matematika
merupakan salah satu pelajaran eksakta yang jarang digemari dan dirasa
sulit.Kesulitan belajar siswa itu disebabkan dari faktor internal ataupun
eksternal. Guru merupakan salah satunya pengaruh memecahkan akan
kesulitan tersebut.
Dalam proses belajar matematika di sekolah, setiap guru senantiasa
mengharapkan agar siswanya dapat mencapai hasil belajar sebaik-baiknya.
Kenyataan yang dihasilkan masih tetap saja siswa menunjukkan nilai
matematika yang rendah, akibatnya kegiatan proses belajar mengajar akan
selalu terhambat atau tidak lancar.
Tim Pengembangan MKDK IKIP dalam Bodiyono (1998:7) menunjukkan

gejala kesulitan belajar sebagai berikut:


a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah.
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan.
c. Lambat dalam melakukan kegiatan belajar.
d. Menunjukkan sikap yang kurang ajar.
e. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan.
f. Menunjukkan gejala emosional yang tinggi.

Dengan gejala-gejala tersebut diatas seorang guru senantiasa memahami


dengan jalan memberikan diagnosis kepada siswa.Mendiagnosis kesulitan
belajar pada prinsipnya adalah suatu upaya untuk memahami jenis dan
karakteristik serta latar belakang kesulitan-kesulitan belajar dengan
menghimpun dan menggunakan berbagai informasi seobyektif mungkin,
sehingga memungkinkan untuk dapat mengambil kesimpulan dan keputusan
serta alternatif pemecahannya.
3. Hasil Belajar Matematika

Dalam kamus bahasa Indonesia hasil berarti suatu yang telah dicapai dari
yang telah dilakukan atau dikerjakan sebelumya. Menurut Sudjana (1996)
bahwa hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajar. Jadi hasil belajar adalah akibat dari suatu
aktivitas yang dapat diketahui perubahannya dalam pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, nilai dan sikap melalui ujian tes atau ujian.
Sedangkan Dick dan Reiser (Djamarah, 1994) hasil belajar adalah
kemampuan yang dimiliki siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran. Mereka
membedakan hasil belajar atas empat macam yaitu pengetahuan,
keterampilan, intelektual, keterampilan motorik dan sikap.
Selanjutnya (Dimyati, 1999) memaparkan bahwa hasil belajar adalah hasil
dari suatu interaksi tindak belajar atau tindakan mengajar yang diakhiri
dengan proses evaluasi hasil belajar dari siswa, hasil belajar merupakan hasil
akhir dari suatu materi pelajaran.
Pengertian hasil belajar dikemukakan oleh (Nana Wahida, 2004) suatu
tindakan atau kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksional
telah dicapai atau dikuasai oleh siswa dalam bentuk hasil-hasil belajar yang
diperlihatkannya setelah mereka menempuh pengalaman belajarnya (proses
belajar mengajar). Hasil belajar siswa pada hakekatnya adalah perubahan
tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dari beberapa pengertian hasil belajar yang dikemukakan diatas, jelas
terlihat bahwa hasil belajar tidak lain adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki sebagai hasil pembelajaran yang diamati melalui penampilan siswa
untuk mengetahui hasil belajar yang telah dicapai diadakan penilaian salah
satu alat ukur yang digunakan adalah tes.
Jadi, hasil belajar matematika adalah kemampuan-kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh siswa sebagai hasil belajar
matematika.
4. Pentingnya Pemecahan Masalah dalam Matematika
Mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah memungkinkan
siswa itu menjadi lebih analitik dalam mengambil keputusan di dalam
kehidupan sehari-hari (Herman Hudoyo 2001:167), dengan kata lain, jika
seorang siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah, maka siswa itu akan
mampu mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, menganalisis
informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah
diperolehnya
Menurut Polya dalam Herman Hudoyo (2001: 164-165) bahwa di dalam
matematika terdapat dua macam masalah yaitu:
a. Masalah menemukan
Masalah menumukan dapat teoritis atau praktis, abstrak termasuk teka-teki
menemukan ini lebih penting dalam matematika elementer. Bagian utama
dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
1) Apakah yang dicari?
2) Bagaimana data yang diketahui?
3) Bagaimana syaratnya?

Ketiga bagian utama tersebut dia atas merupakan landasan untuk


menyelesaikan masalah.

b. Masalah membuktikan
Masalah membuktikan digunakan untuk menunjukkan suatu pernyataan itu
benar atau salah tetapi tidak keduanya. Herman Hudoyo (2001:45)
menyatakan bahwa bagian utama yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah membuktikan adalah:
1) Hipotesis.
2) Konsklusi dari suatu teorema
Masalah membuktikan lebih banyak dijumpai dalam matematika lanjut.Dari
dua jenis masalah tersebut di atas yang menjadi fokus dalam penelitian
tindakan di tingkat SMP ini adalah masalah menemukan.
Menurut pandoyo dan Muklis (1999:10) dikatakan bahwa masalah dalam
pelajaran matematika adalah suatu soal matematika menjadi masalah bagi
siswa apabila siswa tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan
ditinjau dari kematangan ilmu, siswa belum mempunyai algoritma atau
prosedur untuk menyelesaikan, dan siswa kurang berkeinginan untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Materi matematika yang diberikan kepada siswa dalam bentuk masalah akan
member motivasi kepada mereka untuk mempelajari pelajaran tersebut
menurut Herman Hudoyo dalam Muklis (1999:10). Para siswa merasa puas
jika mereka dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, keputusan ini
merupakan suatu hadiah instrinsik bagi siswa lebih lama apabila dibandingkan
dengan tipe belajar yang lain.
Berdasarkan uaraian di atas bahwa metode pemecahan masalah dalam
pengajaran matematika perlu dikembangkan dan merupakan metode yang
sangat tepat untuk soal cerita. Metode pemecahan masalah adalah metode
yang sangat essensial untuk topik tertentu sebab mempunyai dampak positif
antara lain :
a) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian
menganalisis dan akhirnya mampu meneliti kembali hasil yang telah dicapai.
b) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam diri siswa dan dapat digunakan
sebagai hadiah instrinsik bagi siswa.
c) Potensi intelektual siswa meningkat.
d) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan proses penemuan.

B. Model Pembelajaran Kontekstual


Merupakan model yang mengusahakan untuk membuat siswa aktif dalam
menggali kemampuan diri siswa dengan mempelajari konsep-konsep
sekaligus menerapkannya dan mengaitkannya dengan dunia nyata di sekitar
lingkungan siswa. Sejalan dengan itu, Elaine B. Jhonson (dalam Rusman,
2012 : 187) mengemukakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah sebuah
sistem yang merangsang otak untuk menyususn pola-pola yang mewujudkan
makna. Lebih lanjut lagi, Elaine mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual
adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan
makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari
kehidupan sehari-hari siswa berada.
Hal inilah yang mendasari bahwa model kontekstual (Contextual
Teaching And Learning) baik untuk diterapkan oleh guru dalam pembelajaran.
seperti yang kita ketahui, sejauh ini pembelajaran yang biasa guru lakukan
masih bersifat konvensional, monoton, dan masih terpusat kepada guru saja.
sehingga siswa tidak memperoleh pengalaman belajar yang bermakna, dan
tidak diikut sertakan terlibat secara langsung dalam pemecahan masalah yang
diberikan guru pada proses pembelajaran. dengan demikian, siswa sekolah
dasar khususnya cenderung diam, terkadang terlihat mengantuk, kurang
semangat dalam mengikuti pelajaran atau jenuh.
Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching And Learning)
pada intinya adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan
kehidupan nyata. artinya siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang biasa
dihadapi di lingkungan, sehingga pada masanya nanti siswa dapat mampu
mengatasi persoalan-persoalan yang nyata yang dihadapi di lingkungannya.
Oleh sebab itu, melalui pembelajaran kontekstual, pembelajaran bukan suatu
transformasi pengetahuan yang diberikan guru kepada siswa dengan cara
menghafal beberapa konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan
nyata, akan tetapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk
mencari kemampuan untuk bisa hidup (life skiil) dari apa yang dipelajarinya.
Hal ini sangat erat kaitanya dengan tujuan pendidikan nasional yang
ditetapkan pemerintah.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan guru pada penerapan
model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching And Learning) dalam
proses kegiatan belajar mengajar adalah sebagai berikut di bawah ini.
1.    Guru mengarahkan siswa untuk sedemikian rupa dapat mengembangkan
pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar yang bermakna, berkesan,
baik dengan cara meminta siswa untuk bekerja sendiri dan mencari serta
menemukan sendiri jawabannya, kemudian memfasilitasi siswa untuk
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan keterampilannya yang baru
saja ditemuinya.
2.   Dengan bimbingan guru, siswa di ajak untuk menemukan suatu fakta dari
permasalahan yang disajikan guru/dari materi yang diberikan guru.
3.   Memancing reaksi siswa untuk melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan
tujuan untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa.
4.   Guru membentuk kelas menjadi beberapa kelompok umtuk melakukan
diskusi, dan tanya jawab.
5.   Guru mendemonstrasikan ilustrasi/gambaran materi dengan model atau
media yang sebenarnya.
6.   Guru bersama siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang telah
dilakukan.
7.  Guru melakukan evaluasi, yaitu menilai kemampuan siswa yang
sebenarnya.
 Penerapan pendekatan Kontekstual di kelas

Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu


konstruktivisme (Constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya
(Questioning) masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan
(Modeling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic
Assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika
menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Dan, untuk
melaksanakan hal itu tidak sulit! CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa
saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar,
langkahnya adalah berikut ini.

1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan


cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkostruksi sendiri
pengetahuan dan keterampilan barunya!
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik!
3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya!
4. Ciptakan `masyarakat belajar' (belajar dalam kelompokkelompok)!
5. Hadirkan `model' sebagai contoh pembelajaran!
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan!
BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN PERBAIKAN PEMBELAJARAN

A. Subjek, Tempat, Waktu Penelitian, Pihak Yang Membantu


l.  Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian adalah siswa kelas VI SDI No.177 Pangalawakkang
yang berjumlah 20 orang yang terdiri dari laki – laki sebanyak 10 orang dan
perempuan sebanyak 10 orang.
2. Tempat Penelitian
Penelitian di lakukan di kelas VI SDI No.177 Pangalawakkang Kabupaten
Jeneponto.
3.  Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan pada semester ganjil tahun pelajaran 2020/2021.
No Hari/Tanggal Mata Pelajaran Siklus
1. Senin, 12 April 2021 Matematika Prasiklus
2. Senin, 19 April 2021 Matematika Siklus I
3. Senin, 26 April 2021 Matematika Siklus II
4. Pihak Yang Membantu
Dalam perjalanan proses penelitian, penelitian dibantu oleh kepala sekolah,
rekan-rekan guru dan supervisor 1. Hal ini dilakukan demi terlaksananya
penelitian dengan baik dan tercapainya tujuan yang diharapkan. Peneliti
sekaligus guru kelas di sekolah ini tidak merasa kesulitaan dalam menghubungi
rekan-rekan guru yang membantu peneliti dalam mengumpulkan sejumlah data
yang di butuhkan pada saat penelitian.
B. Desain Prosedur Perbaikan Pembelajaran
1. Bentuk Prosedur Perbaikan Pembelajaran
Penelitian perbaikan pembelajaran ini identic dengan penelitian tindakan kelas
(PTK) dengan demikian mengikuti alur PTK yang di modifikasi oleh Kemmis
dan MC Taggart. Penlitian ini di rencanakan berlangsung 2 siklus. Setiap siklus
terdiri atas perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan, dan refleksi. Alur
penelitian ini terlihat pada gambar berikut
(Gambar Model Kemmis dan Taggart diadaptasi dari Rochiati, 2012)
a. Siklus I
Siklus I dilaksanakan sebanyak 1 kali pertemuan, dengan waktu ( 2 x 35
menit). Secara rinci prosedur pelaksanaan penelitian pada siklus I dijabarkan
sebagai berikut:
1. Plan (Perencanaan), yaitu rencana tindakan apa yang akan dilakukan untuk
memperbaiki, meningkatkan atau perubahan perilaku dan sikap sebagai
solusi. Pada tahap perencanaan dilakukan dengan menyusun perencanaan
tindakan berdasarkan identifikasi masalah pada obeservasi awal sebelum
penelitian dilaksanakan. Rencana tindakan ini mencakup semua langkah
tindakan secara rinci pada tahap ini segala keperluan pelaksanaan peneliti
tindakan kelas dipersiapkan antara laian :
1. Membuat RPP
2. Bahan Ajar
3.Metode dan strategi pembelajaran
4. Pendekatan yang digunakan
5. Subjek penelitian
6. Teknik dan instrument observasi.
2. Act (Tindakan atau pelaksanaan), yaitu apa yang dilakukan oleh guru atau
peneliti sebagai upaya perbaikan, peningkatan atau perubahan yang
diinginkan. Pelaksanaan tindakan disesuaikan dengan rencana yang telah
dibuat sebelumya. Pelaksanaan tindakan merupakan proses kegiatan
pembelajaran kelas sebagai realisasi dari teori dan strategi belajar mengajar
yang telah disiapkan serta mengacu pada kurikulum yang berlaku, dan hasil
yang diperoleh diharapkan dapat meningkatkan kerjasama peneliti dengan
subjek penelitian sehingga dapat memberikan refleksi dan evaluasi terhadap
apa yang terjadi di kelas.
3. Observe (Observasi), yaitu mengamati atas hasil atau dampak dari tindakan
yang dilaksanakan atau dikenakan terhadap siswa. Tahap observasi merupakan
kegiatan pengamatan langsung terhadap pelaksanaan tindakan yang dilakukan
dalam PTK. Tujuan pokok observasi adalah untuk mengetahui ada-tidaknya
perubahan yang terjadi dengan adanya pelaksanaan tindakan yang sedang
berlangsung.
4. Reflect (Refleksi), yaitu peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan
atas hasil atau dampak dari tindakan dari berbagai kriteria. Berdasarhan hasil
refleksi ini, peneliti bersama-sama guru dapat melakukan revisi perbaikan
terhadap rencana awal. Melalui refleksi, guru akan dapat menetapkan apa
yang telah dicapai, serta apa yang belum dicapai, serta apa yang perlu
diperbaiki lagi dalam pembelajaran berikutnya. Oleh karena itu hasil dari
tindakan perlu dikaji, dilihat dan direnungkan, baik itu dari segi proses
pembelajaran antara guru dan siswa, metode, alat peraga maupun evaluasi.
b. Siklus II
Secara terperinci prosedur penelitian tindakan kelas untuk siklus II sama
dengan siklus I, yaitu rencana, pengamatan, observasi dan refleksi, dan
mengadakan penyempurnaan.

C.  Teknik Analisis Data


Pengelolaan data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis secara
kuantitatif digunakan analisis deksriptif yaitu skor rata-rata yang diperoleh dari
hasil tes tiap siklus bertujuan untuk mengetahui tingkat penguasaan materi
melalui penggambaran karakteristik distribusi nilai pencapaian prestasi belajar
siswa melalui penggunaan model pembelajaran. Skor rata-rata meliputi nilai rata
– rata ( mean), nilai tertinggi ( maksimal). Dan nilai terendah ( minimal ) diolah
dengan bantuan aplikasi SPSS 20, kemudian nilai tesebut dikelompokkan
dengan melihat pedoman pengkategorian yang dimodifikasi dari DEPDIKNAS
( dalam saenab, 2012) sebagai berikut.

Tabel 3.1 Pengaktegorian tingkat penggunaan prestasi belajar


Skor Kategori
0 - 34 Sangat rendah
35 – 54 Rendah
55 – 64 Sedang
65 - 84 Tinggi
85 - 100 Sangat Tinggi

Dari hasil belajar siswa yang diperoleh dari tes yang akan dilaksanakan
setelah berakhir satu siklus, kemudian dianalisis untuk melihat ketuntasan
belajar siswa secara individu dengan menggunakan rumus ( Arikunto, 2009),
sebagai berikut :
jumlah nilai
Ketuntasan Siswa = x 100%
jumlah nilai maksimal

jumlah siswa yang tuntas belajar


Ketuntasan Klasikal = x 100%
jumlah siswa

DAFTAR PUSTAKA

N.K., Roetiyah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rinneka Cipta


Nurhadi dan Gerrad Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya
dalam KBK. Malang : Universitas Malang
Sibarani, R. 1992. Hakikat Bahasa. Bandung : PT. Aditya Bakti
Taufik, Agus. 2002. Teori-teori Belajar dan Implikasi dalam Pembelajaran.
Jakarta : Universitas Terbuka.
Suherman, dkk. ( 2001). Common Texbook Strategi Pembelajaran matematika
Kontenporer. Bandung: Jurusan Pendidikan matematika UPI Bandung.

Suprihatiningrum, Jamil. 2014. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media.

Hamatik, Omar. 2009. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar CBSA,


Bandung; Sinar Baru Algensindo.

Veerman,K. 2003. Intelligent Support For Discovery Leraning. Twente; Twente


University Press.

Rusffendi,. 2006. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan


Kompetensinya dalam Pengajaran matematika Bandung; Tarsito

Suryabrat, Sumadi. 2002. Psikolgi Pendidikan. Jakarta; Raja Grafindo Persada.

Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. 2014. Implementasi Kurikulum 13 Konsep dan
penerapan. Surabaya; Kata Pena.

Anda mungkin juga menyukai