LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. K
TglLahir : 05/03/2019
Umur : 1 tahun 4 bulan
JenisKelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Pampang IV No.58/2
No RM : 20-59-18
Tgl Masuk : 12 Juni 2020
Nama Ayah : Tn. G
UmurAyah : 33 Tahun
Agama : Islam
Nama Ibu : Ny. A
Umur ibu : 28 Tahun
Agama : Islam
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dengan orang tua pasien
di IGD RS Ibnus Sina Makassar, pada tanggal 12 Juni 2020.
A. Keluhan Utama
Demam disertai kejang sebelum masuk Rumah Sakit.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang anak laki – laki berumur 1 tahun 4 bulan datang diantar oleh
orang tua nya dengan keluhan demam yang dialami sebelum masuk
RS, demam naik turun. Ada riwayat kejang di rumah, frekuensi 1 kali
dengan durasi kejang < 5 menit setelah itu pasien kembali kejang di
IGD dengan frekuensi dan durasi yang sama. Kejang terjadi pada
1
lemas. Batuk tidak ada, sesak tidak ada,Mual tidak ada, muntah tidak
ada. Anak mau makan dan mau minum. Buang air kecil lancar,
berwarna kuning. Buang air besar encer sejak pagi hari dengan
darah (-). Nyeri kepala(-) Nyeri menelan (-) Nyeri ulu hati (-) Nyeri
perut(-).
2
Masa gestasi : 9 bulan
Beratlahir : 3,5 kg
Panjang badan : 50 cm
Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
Menurut Ibu,bayinya langsung menangis dan kulit bayi berwarna
merah. Tidak ada cacat.
H. Riwayat Nutrisi
Pasien minum ASI hingga sekarang
I. Riwayat Imunisasi
IMUNISASI BELUM PERNAH 1 2 3 4 BOOSTER
HEPATITIS B
POLIO
BCG
DPT
HIB
CAMPAK
MMR
PCV
ROTAVIRUS
INFLUENZA
TIFOID
HEPATITIS A
VARISELA
HPV
PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalisata pada tanggal12 Juni 2020
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Gizi Baik (BB: 10 kg)
Tanda-tanda Vital :
Nadi : 100 kali/menit
TD :-
Laju Pernapasan :-
SuhuTubuh : 38°C
SpO2 :-
Kepala :
3
Bentuk dan ukuran: Normochepal, deformitas (-)
Rambut: Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata: Konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik.
Hidung: Sekret -/-, napas cuping hidung (-), perdarahan (-)
Mulut: sianosis (-)
Lidah: Tidak kotor
Tenggorokan: Tonsil T1/T1 tidak hiperemis.
Leher:Tidak teraba pembesaran KGB
Thorax :
Jantung
I : iktus kordis kuat angkat tidak terlihat.
P : Thrill tidak teraba..
P : Batas kanan atas ICS II dekstra, Batas kiri bawah ICS VI
sisnistra, Batas kanan atas ICS IV dekstra, dan batas kiri
bawah ICS V Midcavicula sinistra
A : bunyi jantung murni I dan II, tidak ditemukan gallop atau
murmur.
Paru-paru
Paru (depan)
I : simetris kanan dan kiri, terlihat retraksi subcostal
P : vokal fremitus kanan dan kiri normal.
P : sonor di kedua lapang paru.
A : vesikuler normal, Ronkhi -/- seluruh lapangparu, wheezing -
/-
Abdomen
Inspeksi : datar, tidak ada benjolan.
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi :Supel, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani dikeempat kuadran abdomen.
4
Ekstremitas
Akral hangat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal: 11 Juni 2020
1. DarahRutin
Hemoglobin : 9,0 g/dL (13-17 g/dL)
Leukosit : 13.400 /µL (4000-10000 /µL)
Hematokrit : 30,3 % (37-43 %)
Trombosit : 87.000/ µL (150000-450000 /µL)
Rapid Test COVID-19 : non reaktif
Swab Test (PCR Test) : Belum dilakukan pengambilan
specimen
GDS Cito : 164 mg/dl
Natrium : 135 mmol/L ( 136 – 145 mmol/L )
Kalium : 4,48 mmol/L ( 3,5 – 5,1 mmol/L )
Klorida : 90,0 mmol/L ( 94 – 110 mmol/L )
2. Radiologi ( Foto thoraks AP )
1) Posisi asimetris, kondisi film baik, inspirasi cukup.
2) Bercak infiltrate pada kedua lapangan paru
3) Tidak tampak pemadatan hilus
4) Cor kesan baik
5) Sinus diafragma baik
6) Tulang – tulang intak
Kesan: Bronchopneumonia
DIAGNOSIS KERJA
Kejang demam
Diare akut
PENATALAKSANAAN
Stesolid 10 mg/ rectal pada pukul 20.24 WITA
Albumin 125 mg / IVpada pukul 20.25 WITA
Paracetamol 25 cc / IV pada pukul 23.00 WITA
5
Paracetamol 15 cc / IV pada pukul 03.20 WITA
Paracetamol 15 cc / IV pada pukul 07.00 WITA
6
BAB III
TINAJUAN PUSTAKA
Definisi
Kejang demam adalah jenis kejang yang paling umum terjadi pada
masa anak – anak. Dengan hitungan insiden sekitar 2% sampai 5%
yang terjadi antara umur 6 bulan hingga 60 bulan. Penyakit ini terjadi
pada saat demam dengan suhu tubuh ( suhu rectal diatas 38°c ) yang
disebabkan suatu proses ekstrakranium. Klasifikasi :
1. Kejang demam sederhana : berlangsung singkat, kurang dari
15 menit, kejang bersifat umum, tonik maupun klonik, tanpa
gerakan fokal dan tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks memiliki salah satu ciri dari :
a) Kejang lama >15 menit
b) Kejang fokall, partial atau umum yang didahului parsial
c) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam 1,2,3
Epidemiologi
Kejang demam adalah jenis gangguan neurologi yang terjadi pada
umur anak – anak, Mengenai sekitar 2 – 5 % anak – anak dengan
umur 6 bulan sampai 5 tahun di Amerika dan eropa barat dengan
insiden memuncak pada usia antara 12 dan 18 bulan. Penyakit ini
paling sering di temukan di populasi Asia ( 5 – 10 % di India dan 6 – 9
% di jepang ). Rasio perbandingan Laki – laki dan perempuan sekitar
1,6 : 1. Kondisi ini paling sering terjadi pada anak – anak yang berasal
dari keluarga dengan ekonomi sosial rendah dan sulitnya akses ke
pusat kesehatan sehingga terlambat untuk di tangani.4
7
kombinasi adanya kemungkinan faktor predisposisi genetic dan faktor
lingkungan. Kejang demam merupakan sebuah respon dependen dari
otak yang masih berkembang terhadap demam.selama proses
pematangan , ada peningkatan system neuron yang menjadi
predisposisi anak untuk menjadi kejang demam. Karena itu,terjadi
pada anak – anak sebelum usia 3 tahun ketika ambang kejang
rendah.
Penelitian terhadap keluarga menduga bahwa faktor genetic
memiliki peran penting.sekitar sepertiga dari anak – anak yang
menderita kejang demam memiliki riwayat keluarga yang positif.
Faktor resiko kejadian kejang demam pada seorang anak terhadap
saudaranya sekitar 20% dan sekitar 30 % dari orang tua yang pernah
mengalami. Serta 35% - 69% pada kembar monozigot dan 14 – 20 %
kembar dizigotik. Semua gen yang mungkin dapat meningkatkan
kejadian angka kejang demam telah di kumpulkan ke dalam lokus
kromosom berikut : 1q31, 2q23-34,3p24.2-23, 3q26.2-26.33, 5q14-15,
5q34,6q22-24, 8q13-21,18p11.2,19p13.3, 19q, dan 21q22. Secara
umum, semakin tinggi suhunya, semakin tinggi kemungkinan
terjadinya kejang demam. infeksi virus merupakan penyebab demam
yang memberikan 80 % terjadinya kejang demam seperti roseola
infantum ( Exanthem subitum ), influenza A, dan Human Koronavirus
HKU1 menimbulkan resiko tertinggi untuk kejang demam.
Resiko terjadinya kejang demam juga meningkat setelah post
vaksin seperti vaksin DTap-IPV-Hib dan MMR, PVC, dan beberapa
formula vaksin influenza yang inaktif seperti Fluvax. Umunya, resiko
kejadian kejang demam post vaksin masih kecil. Anak yang lahir
premature rentan terhadap kejadian kejang demam dan prenatal care
seperti pemberian terapi kortikosteroid juga meningkat resikonya.
Paparan nikotin / alcohol juga sedikit berkaitan dalam meningkatkan
resiko kejadian kejang demam. Salah satu faktor lain yang mungkin
berpengaruh adalah kebisingan lalu lintas dan polusi udara.
8
Zat besi sangat lah penting untuk beberapa fungsi neurotransmitter
seperti monoamine oksidase dan aldehide oksidase. Anemi defisiensi
besi mungkin menjadi predisposisi kejadian kejang demam. Beberapa
penelitian bahkan menunjukkan defisiensi vitamin B12, asam folat,
selenium, kalsium, dan magnesium meningkatkan angka kejadian
kejang demam. Beberapa faktor resiko gangguan ini termasuk riwayat
kejang demam, kejang demam derajat 1, riwayat intrauterine growth
retardation, tinggal di kamar perawatan bayi lebih dari 28 hari, dan
keterlambatan perkembangan sistem saraf.4
Pertama, peningkat suhu di otak akan mempengaruhi banyak
fungsi saraf termasuk beberapa saluran ion yang sensitive terhadap
suhu. Hal ini mempengaruhi pelepasan neuronal dan akan
meningkatkan kemungkinan terjadiya aktivitas neuron yang
massif,yaitu kejang. Proses inflamasi juga dalam hal ini sekresi stiokin
di perifer dan di otak di ketahui menjadi bagian dari mekanisme ini.
Kedua, diketahui pula bahwa demam dan hipertermia saling berbagi
mekanisme dalam meprovokasi kejadian kejang. Pirogen yang
memprovokasi demam yaitu Interleukin-1ẞ berkontribusi terhadap
kejadian demam dan sebaliknya, demam meprovokasi peningkatan
sitokin ini di dalam hippocampus. Selain itu, interleukin-1ẞ di
perlihatkan meningkatkan rangsangan saraf, melalui bantuan
glutamate dan GABA. Ketiga, hipertermia menginduksi hiperventilasi
dan alkalosis sebagai bahan yang penting dalam kejang demam
dalam hal ini alkalosis di otak akan memrpovokasi eksitabilitas saraf
yang massif dan berkontribusi terhadap terjadinya kejang
Diagnosis
Ketika seorang anak datang dengan kejang demam di unit gawat
darurat, penting untuk mengumpulkan riwayat yang akurat dan
terperinci untuk menentukan evaluasi klinik secara menyeluruh
termasuk pemeriksaan neurologis untuk menyingkirkan penyebab
9
sekunder terjadinya demam. Umumnya, riwayat yang digali berasal
dari orang tua atau pengasuh dan harus mencakup sifatnya dan lama
kejangnya, kemunculan dan durasi pada fase post-ictal, adanya
penyakit infeksi atau demam, penggunaan terapi antibiotic,gejala yang
terkait lainnya, riwayat imunisanya, riwayat keluarga yang mengalami
kejang demam, epilepsy, atau penyakit gangguan sistem
saraf,penggunaan anti piretik,dan penggunaan agen anti konvulsan
untuk kejang seperti diazepam atau midazolam.
10
kesadaran, tonus dan kekuatan otot, dan refleks perifer. Setiap
kelainan fokal harus di perhatikan. Pemeriksaan fundus patut
dilakukan untuk mencari adanya tanda – tanda intracranial.4,6
Pemeriksaan penunjang harus diakukan sesuai indikasi untuk
mencari penyebab kejang demam. Pemeriksaan dapat meliputi darah
perifer lengkap, gula darah, elektorlit, kalsium serum, urinalisis, dan
biakan darah, urin atau feses. Anak dengan kejang demam.
Pemeriksaan darah lengkap berfungsi untuk menilai adanya resiko
bakteremia. Namun, kejadian bakteremia pada anak yang berusia di
bawah 24 bulan biasanya sama apakah hadir dengan atau tanpa
kejang. Oleh karena itu seorang praktisi klinis dapat menggnakan
pememriksaan lain seperti analisa urin dan gula darah.
Pungsi lumbal sangat dianjurkan pada anak berusia di bawah 12
bulan, dianjurkan pada anak berusia 12 – 18 bulan, tidak rutin pada
anak berusia diatas 18 bulan ke atas. Pada bayi kecil seringkali sulit
untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosa meningitis karena
manifestasi klinis yang tidak jelas. Biasanya pada anak – anak dengan
infeksi haemophilus influenza atau infeksi streptococcus pneumonia.
Pemeriksaan pungsi lumbal merupakan opsi pada anak yang kejang
demam setelah dirawat dengan antibiotic yang memiliki kemungkinan
tertutupnya tanda dan gejala meningitis.
Pemeriksaan imaging hanya atas indikasi kelainan neurologik yang
menetap atau fokal, parese n.VI, dan edema papil.
Elektroensefalografi dilakukan dilakukan pada kejang demam
kompleks anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal. 3,7
Tatalaksana
1) Manajemen awal yang dapat dilakukan ketika berada dirumah
untuk orang tua :
11
2) Manajemen farmakologi yang dapat di berikan untuk kejang demam
akut pada anak – anak
12
a) Kejang >15 menit
b) Ada kelainan neurologik nyata sebelum atau sesudah
kejang, missal hemiparesis, paresis Todd, serebral palsi,
retardasi mental, hidrosefalus, Kejang fokal
Jenis obat rumatan , fenobarbital 4 – 9 mg / KgBB/ 2 dosis, asam
valproat 15 – 40 mg/KgBB dalam 2 atau 3 kali pemberian.
5) Dipertimbangkan :
a) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
b) Kejang terjadi pada bayi <12bulan
c) Kejang ≥4 kali dalam setahun 8
Komplikasi
Kejang demam dapat menjadi sangat menakutkan dan trauma
emosional abgi orang tua. Kondisi ini dapat menyebabkan kecemasan
yang tanpa sebab dan kepanikan bagi orang tua yang menganggap
bahwa anaknya dapat meninggal pada saat sementara kejang dan
kerusakan otak yang tak bisa disembuhkan jika anak mereka bertahan
hidup.
Anak – anak dengan kejang demam dapat meningkatkan resiko
kejadian epilepsy, kejang demam sederhana dapat meningkatkan
resiko epilepsie sekitar 1 % dan kejang demam kompleks sekitar 4 – 6
%.
Encefalopati adaalah komplikasi yang jarang pada kejang demam.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa kesalahan mutasi pada sodium
channel gen SCN1A dan SCN2A mungkin menjadi predisposisi anak
untuk menjadi kejang demam yang parah.
Berbeda dengan kejang demam tunggal, kejang demam yang
berulang secara signifikan berhubungan dengan peningkatan resiko
keterlambatan pemahaman bahasa. Sebuah studi di swedia sejak 1 juli
1992 mewawancarai sekitar 27.092 orang tua dari anak kembar
menggunakan sebuah metode diagnostic and statistical manual of
mental disorder ( DSM) sebagai dasar interview untuk early
13
symptomatic syndrome eleciting neurodevelopmental clinical
examinations ( ESSENCE ) didapatkan gangguan autism, gangguan
belajar, gangguan perkembangan kordinasi, dan penurunan
kemampuan untuk focus/gangguan hiperaktivitas.4
Prognosis
Kekambuhan kejang demam menjadi kekhawatiran khusus bagi
orang tuan dan klinisi, khususnya tentang resiko timbulnya epilepsy.
Kejang demam sederhana kemungkinan hanya meningkatkan sedikit
resiko kejadian epilepsy, tetapi tidak memiliki kemungkinan yang buruk
terhadap perilaku,skolastik, atau neurokognisi. Resiko terjadinya
epilepsi meningkat pada anak – anak dengan riwayat kejang demam
kompleks. Sepertiga dari anak anak yang datang dengan kejang
demam pertama kali maka akan hadir dengan kejang selama penyakit
demam di masa yang akan datang. Faktor resiko kekambuhan kejang
demam adalah riwayat keluarga yang positif, serangan pertama
sebelum 18 bulan. Kejadian yang terjadi kurang dari 1 jam setelah
dimulainya demam. Itulah pentingnya untuk mengetahui faktor resiko
kejang demam berulang bagi orang tua anak dan praktisi klinis untuk
menyediakan anti epilepsi dengan anak yang kemungkinan kuat untuk
terjadinya rekurensi.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Murata S,et al. Acetaminophen and Febrile Seizure
Recurrences During the Same Fever Episode. Pediatrics.
Vol.142 (5) 2018.
2. Wanigasinghe J. Management of Simple Febrile Seizure. Sri
Lanka Journal of Child Health, 2017 ; 46 (2) : 165 – 171
3. Standar pelayanan medik kesehatan anak.Departemen Ilmu
Kesehatan Anak. Fakultas kedokteran Universitas
Hasanuddin.2016
4. Leung AKC, Hon KL, Leung TNH. Febrile Seizure : an overview
: Drugs in context. 2018 ; 7 : 212536.
5. Chung S.Febrile Seizure. Korean J Pediatr.2014;57 (9):384 –
395
6. Laino D,et al. Management of Pediatric Febrile Seizures.
Int.J.Environ. Res. Public Health. 2018,15,2232.
7. Wanigasinghe J. Management of Simple Febrile Seizure. Sri
Lanka Journal of Child Health, 2017 ; 46 (2) : 165 – 171
8. C.Aguirre-Velazquez,et al. Clinical Guideline : Febrile Seizures,
diagnosis, and Treatment. Rev Mex Neuroci. 2019;20(2) : 97-
103.
15