Anda di halaman 1dari 310

Peran Perwakilan

Parlemen

Fraksi-fraksi di DPR-RI

Peraturan Tata Tertib DPR-RI:


Peran Perwakilan Anggota dan Kelembagaan DPR

Penguatan Prinsip Representasi


dalam Fungsi Pokok Parlemen

Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia


bekerjasama dengan
Proyek PROPER - United Nations Development Programme Indonesia
Hak Cipta 2008
United Nations Development Programme (UNDP)
Parliamentary Reform and Public Engagement Revitalization (PROPER)
Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Lt 7
Komplek Gedung DPR, DPD, MPR RI,
Jl. Jenderal Gatot Subroto No 6
Jakarta 10270

Penulis:
Frank Feulner Ph.D
Dra. Siti Nur Solechah, MSi & Haryadi, SIP,MPA
Nurul Hilaliah, SHI

Sekretariat Jenderal DPR RI:


Dra. Nining Indra Shaleh, MSi
Untung Djumadi, SH

PROPER UNDP:
Pheni Chalid, MA, Ph.D
Umar Zulkarnain Aziz, MIR
Bachtiar Kurniawan, MA
Daftar Isi

Kata Sambutan ................................................................................................................ v

Kata Pengantar ............................................................................................................. vii

BAB I : Pendahuluan

A. Latar Belakang ................................................................................................. 2

B. Penelitian tentang Perwakilan Parlemen ............................................... 4

C. Focus Group Discussion ............................................................................... 6

BAB II : FRAKSI-FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


REPUBLIK INDONESIA

Tujuan dan Metodologi ...................................................................................... 10

Mengatur Faksi di DPR dan Praktek Terbaik ................................................. 18

Fraksi-fraksi di DPR RI .......................................................................................... 19

Mekanisme Kerja Fraksi di DPR ........................................................................ . 24

Rekomendasi Mengenai Bagaimana Fraksi

Bisa Meningkatkan Perwakilan ........................................................................ 35

BAB III : PERATURAN TATA TERTIB DPR RI:


PERAN PERWAKILAN ANGGOTA DAN
KELEMBAGAAN DPR

Pendahuluan .......................................................................................................... . 42

Peran Perwakilan Anggota DPR dalam


Peraturan Tata Tertib Komparatif ..................................................................... 56

Peran Permasalahan Peran Perwakilan Tatib DPR RI ................................. 69

Analisis............ .......................................................................................................... . 84

Penutup .................................................................................................................... 113

Peran Perwakilan Parlemen iii


Daftar Isi

BAB IV : KOMPILASI HASIL FGD 1-6, “PENGUATAN PRINSIP


REPRESENTASI/PERWAKILAN DALAM
FUNGSI POKOK PARLEMEN”

FGD 1 Definisi dan Prinsip Representasi di Parlemen .............................. 124

FGD 2 Strategi Memasukkan Prinsip Representasi dalam

UU Susduk MPR, DPR, DPRD, DPRD, dan Tata Tertib DPR RI ................... 145

FGD 3 Tata Hubungan Anggota Parlemen


dengan Konstituennya ........................................................................................ 167

FGD 4 Penjaringan Aspirasi Masyarakat dan Pengaruhnya


terhadap Kebijakan Fraksi .................................................................................. 202

FGD 5 Peran Fraksi dalam Mengelola Aspirasi Masyarakat dan


Menjadikannya sebagai Basis Keberpihakan................ .............................. 235

FGD 6 Peran Media dalam Mendorong Peningkatan Kinerja


Anggota DPR dan Partispasi Politik Masyarakat........... .............................. 268

iv Peran Perwakilan Parlemen


KATA SAMBUTAN

Pada tahun 1998 Dewan Perwakilan Rakyat Republik


Indonesia mengalami perubahan peranan dan fungsi yang
besar dibandingkan dengan masa orde baru. Anggota Dewan
mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam menjalankan
fungsi legislasi, penganggaran (budgeting) dan monitoring.
Dalam kewenangan fungsi legislasi DPR mempunyai
kewenangan yang melebihi Presiden dalam pembuatan undang-
undang. Sedangkan dalam fungsi penganggaran, Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan yang menentukan
dalam proses penyusunan anggaran. Meskipun proses persiapan
penyusunan anggaran lebih banyak dilakukan oleh pemerintah,
DPR memiliki peran penting dalam menentukan arah dan
prioritas alokasi. Demikian pula halnya, DPR melakukan fungsi
pengawasan terhadap seluruh kebijakan pemerintah yang
berlaku.

Selain tuntutan menjalankan fungsi-fungsi legislasi,


penganggaran dan pengawasan, anggota DPR harus menjalankan
fungsi representasi. Semenjak tahun 2004, dilakukan beberapa
perubahan undang-undang dan kebijakan mengenai system
politik untuk meningkatkan kualitas representasi. Sama halnya
dengan Presiden, anggota Dewan dipilih langsung oleh
rakyat melalui partai untuk duduk di Dewan. Pengaturan ini
bertujuan untuk mewujudkan, lembaga perwakilan sebagai
lembaga representasi. Anggota yang ada merupakan Anggota
yang secara langsung dipilih oleh konstituennya dan bekerja
menyalurkan dan mengolah aspirasi untuk kepentingan rakyat.

Peran Perwakilan Parlemen v


Dalam menjalankan peran dan fungsi anggota Dewan,
perangkat Sekretariat Jenderal DPR RI memegang peranan
kunci dalam mendukung kerja-kerja anggota Dewan.
Menghadapi tuntutan yang semakin besar seiring dengan
meningkatnya tuntunan peranan dan fungsi anggota Dewan,
Sekretariat Jenderal DPR RI perlu bekerja lebih keras memberikan
dukungan tehnis, administratif dan keahlian kepada DPR RI.
Peningkatan kualitas bantuan tehnis, adminitratif dan keahlian
perlu dilakukan secara terus menerus.

Dalam usaha peningkatan dukungan tersebut, Sekertariat


Jenderal DPR RI melakukan kerjasama antara lain dengan
UNDP (United Nations Development Programme) melalui
proyek PROPER (Parliamentary Reform and Public Engagement
Revitalization). Satu bentuk kerjasama tersebut, menghasilkan
beberapa buku untuk anggota Dewan, antara lain buku
panduan Fungsi Representasi; Sistem Pelaporan Anggota
Dewan; Pengarusutamaan Gender dalam Fungsi legislatif;
Panduan Kode Etik Parlemen; serta buku kompilasi hasil
penelitian dan hasil diskusi terfokus (FGD). Buku buku tersebut
diharapkan dapat membantu dalam memaksimalkan kinerja
anggota Dewan dalam bidang legislasi, penganggaran, dan
pengawasan, serta fungsi representasi.

Dra. Nining Indra Saleh, MSi

Sekretariat Jenderal
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

vi Peran Perwakilan Parlemen


KATA PENGANTAR

Demokrasi mempunyai arti kekuatan rakyat. Pemerintahan


adalah wujud dari kekuatan rakyat untuk implementasi
kebijakan. Meskipun demikian, kekuasaaan mutlak terletak di
tangan rakyat yang dapat dipergunakan langsung oleh rakyat
atau melalui perwakilan. Sejalan dengan Abraham Lincoln,
bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat,
dan untuk rakyat. Demokrasi tidaklah sama dengan kebebasan,
tetapi demokrasi merupakan wujud dari kebebasan yang
terlembaga melalui aturan-aturan atau prosedural-prosedural
yang telah terbentuk melalui kurun waktu yang lama.

Indonesia telah mengalami beberapa bentuk demokrasi,


dan tahun 1998 pada khususnya merupakan titik sejarah
terhadap perubahan peran politik dari Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dari lembaga ”rubber stamp” kemauan eksekutif
menjadi lembaga yang independen dalam sistem presidensial.
Pemilu 1999 merupakan penanda atas pengakuan atau
kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan lembaga-
lembaga negara lainnya. DPR tidak lagi hanya berfungsi
sekedar menstempel keinginan eksekutif seperti di masa order
baru, tetapi sebagai institusi paling menentukan didalam
membuat undang-undang dan perencanaan anggaran dan
pengawasan. Tetapi dalam menjalankan fungsi yang seolah-
olah baru tersebut, sebagian anggota DPR belum menyadari
fungsi konstitusionalnya dan kurang berpengalaman dalam
menjalankan fungsi representasi, yaitu mewakili rakyat.

Peran Perwakilan Parlemen vii


Sejak tahun 2000, Sekretariat Jenderal bekerjasama
dengan United Nations Development Programme (UNDP) telah
melakukan fasilitasi terhadap DPR di dalam memaksimalkan
fungsi – fungsinya melalui bantuan teknis terhadap anggota,
alat kelengkapan dan Sekretariat Jenderal DPR. Bantuan
teknis dari UNDP ditujukan untuk lebih memaksimalkan
fungsi-fungsi legislasi, budgeting dan monitoring. Melalui
bantuan teknis tersebut serangkaian kegiatan dan beberapa
buku-buku panduan telah tersusun untuk dipergunakan oleh
anggota Dewan dan para staf ahli. Dengan keberadaan buku-
buku panduan ini diharapkan DPR sebagai lembaga dapat
menjalankan fungsi-fungsinya secara maksimal.

Buku kompilasi ‘Peran Perwakilan Parlemen’ ini mencoba


memberikan gambaran tentang pentingnya aspek-aspek
prinsip dan peran perwakilan/representasi dalam konteks
perkembangan dinamika tuntutan peran, tugas maupun
fungsi partai politik dalam memenuhi aspirasi dan kepentingan
masyarakat dimana hal ini dilakukan oleh fraksi di parlemen.
Disamping itu, buku kompilasi ini juga akan mencoba
memberikan rumusan, masukan dan rekomendasi untuk
melihat kembali apakah prinsip perwakilan perlu dipertegas
melalui peraturan-peraturan seperti Peraturan Tata Tertib.
Buku kompilasi ini juga akan melihat apakah rumusan prinsip
perwakilan yang ada sekarang ini sudah mencerminkan prinsip
perwakilan/representasi.

Pheni Chalid, MA, Ph.D

Manager Proyek
Proyek PROPER - UNDP Indonesia

viii Peran Perwakilan Parlemen


bab i

PENDAHULUAN

Peran Perwakilan Parlemen 1


A.
Latar Belakang
Di negara demokrasi yang telah berhasil mengaplikasikan praktik
terbaik dan ideal dalam tata pelaksanaan pemerintahan yang baik,
pengimplentasian peran dan prinsip perwakilan parlemen mempunyai
peran kunci dalam memberikan kontribusi tercapainya tujuan tersebut.
Indonesia sebagai negara yang menganut dan melaksanakan sistem
pemerintahan yang demokratis melalui lembaga DPR yang mempunyai
peran, tanggungjawab dengan fungsi-fungsinya harus secara optimal
memberikan kontribusinya dalam mencapai tujuan pembangunan
nasional sebagaimana yang dimandatkan dan diamanatkan oleh
konstitusi negara.

Pasca Orde Baru mempunyai makna penting bagi lembaga


parlemen Indonesia atau DPR dengan adanya transisi pembagian
kekuasaan dimana DPR menjadi salah satu bagian terpenting dari
pelaksana pemerintahan. DPR dengan tiga fungsinya: legislasi,
penyusunan dan pengalokasian anggaran serta pengawasan
mempunyai kekuatan dalam menentukan arah suksesnya tercapainya
pembangunan nasional. Memasuki 10 tahun masa reformasi,
masyarakat masih mempunyai persepsi bahwa kinerja DPR belum
mampu memberikan peningkatan dibanding era sebelumnya,
meskipun pada era reformasi kebebasan berekspresi mendapat
apresiasi dan pengakuan dari salah satu pencapaian keberhasilan
dari kinerja DPR. Pencapaian daripada tujuan utama pembangunan
nasional adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, dimana
tujuan utama ini masih belum terakomodir dan tercapai sesuai dengan
harapan dan tuntutan aspirasi dan kepentingan prioritas masyarakat.

DPR adalah lembaga yang mewakili kepentingan rakyat sebagai


wujud yang merupakan esensi dari kekuatan rakyat, perwakilan rakyat
ini mempunyai tanggungjawab dalam menampung, menyalurkan,
membela dan memperjuangkan tercapainya kepentingan rakyat.

2 Peran Perwakilan Parlemen


Berawal dari tanggungjawab menampung aspirasi masyarakat,
anggota DPR dan lembaga DPR melalui tiga fungsinya yakni legislasi,
fungsi anggaran dan pengawasan mempunyai kewajiban dalam
memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat, namun dari tiga fungsi
tersebut ada fungsi utama lain yang merupakan landasan dari ketiga
fungsi DPR tersebut, yaitu fungsi perwakilan. Fungsi perwakilan
atau representasi inilah yang seharusnya menjadi dasar landasan
dari ketiga fungsi anggota dan lembaga DPR ini dalam memenuhi
tuntutan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Penyaluran aspirasi masyarakat oleh anggota DPR maupun secara


kelembagaan merupakan manifestasi dari pelaksanaan prinsip peran
perwakilan atau representasi dari anggota DPR sebagai wakil rakyat,
serta institusi yang mewakili rakyat. Namun sampai saat ini belum ada
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara
eksplisit tentang prinsip dan pelaksanaan peran perwakilan DPR dan
anggota DPR. Pelaksanaan peran perwakilan/representasi anggota
dan lembaga DPR hanya dipersepsikan sebagai asumsi.

Buku kompilasi ‘Peran Perwakilan Parlemen’ ini mencoba


memberikan gambaran tentang pentingnya aspek-aspek prinsip
dan peran perwakilan/representasi dalam konteks perkembangan
dinamika tuntutan peran, tugas maupun fungsi partai politik dalam
memenuhi aspirasi dan kepentingan masyarakat dimana hal ini
dilakukan oleh fraksi di parlemen. Disamping itu, buku kompilasi ini
juga akan mencoba memberikan rumusan, masukan dan rekomendasi
untuk melihat kembali apakah prinsip perwakilan perlu dipertegas
dan diatur dalam RUU Susduk dan Peraturan Tata Tertib DPR pada
periode masa kerja anggota dewan dimasa yang akan datang, dan
apakah rumusan prinsip perwakilan yang ada pada UU Susduk dan
Peraturan Tata Tertib yang ada sekarang ini sudah mencerminkan
prinsip perwakilan/representasi.

Berdasarkan pengamatan dan pandangan masyarakat tentang


fakta perkembangan dinamika tuntunan peran, tugas serta fungsi
partai politik yang diwakili oleh fraksi di DPR dalam merumuskan
dan menentukan keputusan politik yang menyangkut aspirasi dan

Peran Perwakilan Parlemen 3


kepentingan rakyat, sementara ini aspek dan peran perwakilan dalam
parlemen belum menjadi “heart and soul” atau roh ketiga fungsi
dewan dimana pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat
menjadi prioritas utama.

B.
Penelitian tentang
Perwakilan Parlemen
Konteks akuntabilitas politik, efektifitas dan efisiensi kinerja
parlemen yang responsif dalam mengantisipasi dan menghadapi
dinamika perkembangan tuntuntan peran, tugas dan fungsinya
dengan menampung, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi
masyarakatnya merupakan refleksi dari pelaksanaan tata pemerintahan
yang didasari praktik demokrasi yang terbaik dan ideal. Praktik yang
terbaik dan ideal ini merupakan keberhasilan dari penjiwaan prinsip
perwakilan yang dijadikan sebagai landasan utama dalam mencapai
peningkatan tingkat kesejahteraan rakyatnya sebagai prinsip
fundamental.

Sebagaimana di negara demokrasi lainnya yang telah sukses


mengimplentasikan prinsip dan peran perwakilan/representasi, aspek
peran dan prinsip perwakilan diatur secara eksplisit di dalam Tata
Tertib parlemen mereka. Dalam konteks pelaksanaan dan penguatan
sistem demokrasi di Indonesia, penegasan prinsip dan perwakilan/
representasi dalam UU Susduk dan Tata Tertib DPR dimasa yang
akan datang akan memberikan dampak positif pada konsekuensi
bagi kualitas kehidupan masyarakat atau stabilitas sistem politik dan
masyarakat secara umum. Partai-partai politik dan fraksi mereka bisa
memainkan peran penting untuk meningkatkan perwakilan dengan
menyuarakan kebutuhan dan kepentingan konstituen mereka
dengan lebih jelas. Secara positif, penyampaian ini akan memperkuat

4 Peran Perwakilan Parlemen


sistem perwakilan serta memberikan kontribusi positif terhadap
partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan melalui wakil yang
mereka pilih. Fraksi bisa memperbaiki fungsi perwakilan dengan
mendukung hubungan konstituen para anggotanya dan juga dengan
berkomunikasi secara langsung dengan publik.

Anggota DPR selain wakil rakyat juga merupakan representasi


dari Partai Politik yang menghantarkannya. Mendengar, menyalurkan,
maupun memperjuangkan aspirasi rakyat sejatinya merupakan
bagian dari kewajiban anggota DPR yang juga kader partai politik
dalam rangka menjalankan fungsi maupun tanggung-jawabnya.

Dinamika dan perkembangan masyarakat menuntut peningkatan


peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam kehidupan
demokrasi secara konstitusional, sebagai sarana partisipasi politik
masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa
Indonesia.

Hasil penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran


mengenai peran Partai Politik yang dalam hal ini diwakili oleh Fraksi di
DPR dalam menentukan keputusan politik dengan mengedepankan
dan mengutamakan pelaksanaan prinsip peran perwakilan sebagai
landasan dalam melaksanakan ketiga fungsi anggota dewan dalam
memenuhi tanggungjawab agar aspirasi dan kepentingan masyarakat
bisa terserap, tersalurkan dan dapat diperjuangkan secara efektif dan
optimal. Hasil penelitian ini juga menjabarkan rumusan-rumusan
prinsip-prinsip dasar demokrasi yang terfokus pada pelaksanaan
prinsip representasi secara jelas yang diatur di dalam Peraturan Tata
Tertib DPR dengan memberikan perbandingan-perbandingan pada
pelaksanaan sistem demokrasi dari masa Orde lama sampai dengan
masa Reformasi. Disamping juga memberikan gambaran tentang
pelaksanaan praktik sistem demokrasi yang sukses, terbaik dan ideal
di parlemen di negara lain.

Rekomendasi dan masukan-masukan dari pimpinan fraksi, anggota


DPR, staf ahli fraksi maupun pakar turut memberikan kontribusi atas
hasil kajian ini dengan harapan agar rumusan-rumusan yang telah

Peran Perwakilan Parlemen 5


disampaikan secara kolektif ini dapat membantu memperkuat peran
perwakilan parlemen dengan dimasukannya rekomendasi serta
masukan-masukan tentang pengaturan Peran Perwakilan Parlemen
secara eksplisit dalam Tata Tertib DPR di masa yang akan datang dan
di RUU Susduk yang sedang dibahas dan dalam tahap penyelesaian.

C.
Focus Group Discussion
Penguatan prinsip peran perwakilan/representasi parlemen
belum menjadi permasalahan yang dianggap penting sebagai
elemen akuntabilitas sebuah lembaga perwakilan. Mengingat belum
ada aturan tegas terhadap pelaksanaan jaring aspirasi dan dialog
kebijakan antara anggota parlemen dan konstituennya. Disamping
itu, kegiatan kunjungan ke konstituen juga belum merefleksikan
mekanisme adanya aspirasi masyarakat yang dibahas, didialogkan
dan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam Fraksi-fraksi
di DPR. Hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab Fraksi-fraksi di
DPR untuk menyediakan sistem dukungan dalam melaksanakannya.
Pada akhirnya konstituen/masyarakat memiliki informasi dan akses
tentang bagaimana kebijakan fraksi dihasilkan, atau bagaimana
cara berpartisipasi dalam mencurahkan aspirasinya kepada DPR
menyangkut kepentingan mereka.

Kelompok-kelompok yang memiliki peran penting dalam


mendorong representasi melatari tiga fungsi pokok anggota
DPR RI, seperti Partai Politik yang terkait langsung dengan Fraksi
dan organisasi masyarakat, kelompok-kelompok profesional dan
akademisi merupakan kelompok strategis yang dapat dilibatkan dalam
memberikan masukan-masukan terhadap permasalahan representasi
dan isu-isu terkait dengan kepentingan masyarakat dan bagaimana
parlemen dapat mengaktualisasikannya.

6 Peran Perwakilan Parlemen


Forum diskusi untuk membahas penguatan peran prinsip /
perwakilan representasi dalam parlemen dimaksudkan untuk,
pertama, mengukur sejauhmana DPR RI secara kelembagaan dan
anggota DPR RI telah melakukan fungsi pokoknya dan memenuhi
prinsip representasi dalam proses kerjanya, kedua, mengambil lesson
learned dari pelaksanaan serap aspirasi yang selama ini dilakukan,
ketiga, memberikan masukan dalam mengintegrasikan penguatan
peran prinsip perwakilan/representasi parlemen melalui usulan
pembentukan aturan dalam UU Susduk dan Tata Tertib DPR RI,
mekanisme/aturan main internal fraksi, forum dialog kebijakan,
penyusunan anggaran, dan lain-lain.

Adapun dukungan terhadap penguatan fungsi representasi di


DPR dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan; i) Melakukan kajian
tentang Pelembagaan Fungsi Representasi dalam Tatib DPR RI dan
ii) Focus Group Discussions (FGD) yang akan dilaksanakan pada Mei
hingga September 2008. Akan melibatkan Anggota DPR RI, Staf
Ahli Fraksi-fraksi di DPR RI, Pakar, Akademisi, Pemerhati parlemen/
politik dan Media. FGD akan menghimpun masukan dan mengambil
lesson learned terhadap pelaksanaan fungsi representasi yang sudah
dilakukan dan bagaimana idealitas pelaksanaannya.

Enam (6) serial FGD telah dilaksanakan dengan tema antara


lain: (1). Definisi dan Prinsip Representasi di Parlemen, (2). Strategi
Memasukkan Fungsi Representasi Dalam UU Susduk dan Tata Tertib
DPR RI, (3). Tata Hubungan Anggota DPR RI dengan Konstituennya, (4).
Standar teknis Penyerapan Aspirasi dan pengaruh masukan masyarakat
terhadap kebijakan fraksi, (5). Peran Fraksi dalam mengelola aspirasi
agar menjadi input/masukan anggota fraksi di komisi-komisi dan alat
kelengkapan, dan (6). Peran media dalam melaporkan kinerja anggota
DPR untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memberikan
masukan kepada anggota DPR.

Peran Perwakilan Parlemen 7


8 Peran Perwakilan Parlemen
bab Ii

FRAKSI-FRAKSI
DI
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

Peran Perwakilan Parlemen 9


Tujuan dan Metodologi
Makalah ini bertujuan membahas pentingnya fraksi-fraksi di
parlemen.1 Fraksi-fraksi di DPR mengelompokkan anggota DPR
dan mengijinkan mereka menyuarakan kepentingan secara lebih
baik. Makalah ini dibuat cukup langsung ke sasarannya. Apabila
dikelola dengan baik, fraksi-fraksi bisa menjadi saluran penting untuk
meningkatkan fungsi perwakilan. Fraksi-fraksi biasanya memiliki
struktur manajemen serta tata tertib bagi para anggotanya. Semakin
baik fraksi disusun, semakin baik pula fraksi mengelola informasi dari
masyarakat dan memberitahukan proses permusyawaratan di DPR.

Makalah ini pertama-tama membahas tujuan fraksi serta


prinsip pererwakilan, yang diikuti dengan pembahasan mengenai
bagaimana fraksi diatur dalam sistem perwakilan dan praktek terbaik
yang dijalankan. Untuk mempelajari lebih banyak mengenai fraksi
di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia, makalah ini akan
menganalisa pembentukan berbagai fraksi yang ada pada periode
DPR 2004-2009. Akhirnya, makalah ini memberikan rekomendasi
mengenai bagaimana fraksi-fraksi ini bisa meningkatkan fungsi serta
memperkuat prinsip perwakilan.

Makalah ini menggunakan metode komparatif dan analitik.


Makalah ini memberikan gambaran umum dan contoh-contoh
pembanding serta praktek bagaimana fraksi berfungsi di tempat lain.
Selanjutnya, berdasarkan studi undang-undang yang relevan dan Tatib
DPR, makalah ini menganalisa kerangka kerja fraksi yang ada di DPR-
RI. Terakhir, penulis menggunakan wawancara dengan anggota DPR
serta staf ahli fraksi untuk mengetahui pandangan khusus mengenai
struktur dan mekanisme kerja fraksi-fraksi di DPR.

1 Penulis sadar bahwa istilah “fraksi” untuk partai politik di DPR tidak digunakan secara sama di semua spektrum
demokrasi liberal. Untuk praktisnya, istilah “parliamentary party groups”, “parliamentary parties” dan “parties in
parliament”, serta “fraksi” digunakan dengan pengertian yang sama dalam makalah ini.

10 Peran Perwakilan Parlemen


Versi awal dari makalah ini telah dibahas selama sesi masukan
internal dan eksternal yang dilakukan Program Dukungan Parlemen
UNDP. Masukan-masukan yang terkumpul dalam sesi tersebut telah
dimasukan dalam kajian ini. Penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada para anggota DPR serta staf ahli yang telah menyediakan
waktu untuk wawancara dan berbagi pandangan mengenai kerja
fraksi di DPR.

Fraksi serta Prinsip Perwakilan


Sebuah pemahaman yang jelas atas berbagai jenis fraksi menjadi
penting, paling tidak bukan karena seringnya penggunaan berbagai
istilah yang membingungkan. Karena itu, bagian ini menjelaskan
tujuan dan perbedaan yang ada antara “Parliamentary Party Group”,
“Caucus”, dan “Faction”.

Istilah “Parliamentary Party Group” atau “Parliamentary Party”


digunakan untuk menjelaskan sebuah partai politik atau gabungan
partai politik di badan legislatif, seperti parlemen atau dewan. Fraksi
dipimpin oleh ketua fraksi. Di beberapa negara, jabatan ini disebut
dengan “whip”. Ketergantungan fraksi dari partai politik mereka
berbeda dari satu kasus ke kasus lainnya dan dari satu negara ke
negara lainnya. Pelemahan atau penguatan fraksi dalam kaitannya
dengan partai politik mereka bergantung kepada sejumlah faktor.
Posisi yang lebih lemah bisa terjadi pada saat elit partai menjadi
lebih profesional dan pada saat partai politik menerima bantuan dari
pemerintah. Posisi yang lebih kuat bisa tercipta melalui reformasi
parlemen yang membuat tugas fraksi menjadi lebih efektif, atau
pada saat kondisi keuangan fraksi menjadi lebih baik karena bantuan
keuangan dari pemerintah diberikan langsung kepada partai-partai
di parlemen. Sebagai tambahan, fokus yang beralih dari persaingan
ideologis menuju pragmatisme juga memperlemah posisi partai
politik terhadap partai-partai di parlemen.2

2 Untuk pembahasan mendalam mengenai hal ini, lihat Helms, Ludger, “Parliamentary Party Groups and their Parties:
A Comparative Assessment”, The Journal of Legislative Studies, Vol. 6, No. 2, Summer 2000, halaman 104-120.

Peran Perwakilan Parlemen 11


Fraksi adalah lazim di banyak negara-negara Eropa yang menganut
sistem banyak partai serta disiplin partai yang kuat, seperti Austria
(di mana digunakan istilah Club, Belgia fractie/fraction, Finlandia
(eduskuntaryhmä/riksdagsgrupp), Jerman (Fraktion), Italia (gruppo),
Belanda (fractie), dan Swiss (fraction/fraction/ frazione). Fraksi di
Parlemen Eropa terdiri dari sekurang-kurangnya 19 anggota legislatif
dari paling sedikit lima negara anggota Uni Eropa yang berbeda.
Di Asia, fraksi-fraksi dengan keputusan tertinggi organisasi ada di
Jepang. Di parlemen ini dan banyak parlemen negara lain, cara satu-
satunya anggota DPR dan partai bisa menerima dukungan keuangan
dan bergabung dengan komisi di DPR adalah dengan membentuk
fraksi-fraksi. Pemimpin atau ketua fraksi sering menjadi tokoh penting
di DPR, dan partai-partai politik sering memilih pemimpin mereka
sendiri menjadi ketua. Disiplin dalam fraksi DPR sering diatur Tatib
atau prosedur internal, dan cenderung menjadi kuat dalam sistem
Westminster seperti Inggris, Kanada atau Australia.

Dalam sistem kongres di Amerika Serikat, istilah “Caucus”


digunakan untuk merujuk kelompok-kelompok dengan anggota
tidak hanya dari satu partai politik, tetapi juga kelompok-kelompok
dengan anggota dari lebih dari satu partai. Kaukus-kaukus banyak
partai tersebut juga lazim di banyak parlemen di tempat lain. Para
anggota bergabung dalam kaukus-kaukus tersebut untuk membahas
atau membincangkan panjang lebar isu lintas bidang, atau isu-isu
yang sangat penting. Berbagai kelompok yang mirip di Inggris disebut
dengan “All-Party Parliamentary Groups”.

Istilah “Faksi” digunakan untuk sub-kelompok fraksi atau unit intra-


partai.3 Di dunia politik, agenda utama sebuah partai dapat ditafsirkan
dan selanjutnya dijalankan berbeda oleh berbagai kelompok
anggotanya. Sering berbagai kata sifat digunakan untuk menjelaskan
berbagai fraksi, seperti fraksi “konservatif”, atau fraksi “liberal”. Sebuah
contoh fraksi-isme adalah Jepang di mana politik partai pasca-perang

3 Untuk pembahasan fraksi sebagai unit intra-partai, lihat Frank P. Belloni and Dennis C. Beller, “The Study of
Party Factions as Competitive Political Organizations”, The Western Political Quarterly, Vol. 29, No. 4, (Dec. 1976),
halaman 531-549.

12 Peran Perwakilan Parlemen


telah diperintah satu partai secara berkesinambungan dan fraksi-isme
yang ekstrem dalam partai pemerintah yang dominan.4

Prinsip Perwakilan
Inter-Parliamentary Union melalui panduan untuk praktek yang
baik tahun 2006 menjelaskan kriteria prinsip perwakilan memiliki
dua aspek utama.5 Aspek pertama berarti bahwa parlemen harus
mencerminkan kehendak rakyat seperti yang disuarakan selama
pemilihan umum (pemilu) secara demokratis dan pilihan pemilih untuk
wakil-wakil mereka dan partai politik. Dalam demokrasi perwakilan,
fakta bahwa masyarakat memilih anggota legislatif secara periodik
dan berhak untuk memberhentikan mereka secara periodik berarti
bahwa kekuasaan tertinggi berada pada rakyat tetapi dijalankan
melalui sistem perwakilan.6

Walaupun demikian, apa yang sama pentingnya, adalah aspek


kedua yang merupakan perwakilan dari keanekaragaman sosial
masyarakat dari segi jender, bahasa, agama, etnisitas, minoritas, atau
karakteristik politis yang signifikan lainnya. Jika suatu parlemen tidak
representatif dalam makna yang kedua, hal ini akan membiarkan
beberapa kelompok sosial dan bagian dari masyarakat tidak tersentuh
proses politik. Fakta ini bisa menimbulkan konsekuensi bagi kualitas
kehidupan masyarakat atau stabilitas sistem politik dan masyarakat
secara umum. Partai-partai politik dan fraksi mereka bisa memainkan
peran penting untuk meningkatkan perwakilan dengan menyuarakan
kebutuhan dan kepentingan konstituen mereka dengan lebih
jelas. Secara positif, penyampaian ini akan memperkuat sistem
perwakilan serta berkontribusi positif terhadap partisipasi publik
dalam pembuatan kebijakan melalui wakil yang mereka pilih. Fraksi

4 Lihat Crespo, J.A., “The Liberal Democratic Party in Japan: Conservative Domination”, International Political
Science Review, No. 16, 1995.
5 Lihat, Parliament and Democracy in the Twenty-first Century: A guide to good practice, Inter-Parliamentary Union,
Geneva, 2006.
6 Lihat, McHugh, Declan and Philip Parvin, Neglecting Democracy: Participation and representation in 21st Century
Britain, The Hansard Society, London, 2005, hal.5.

Peran Perwakilan Parlemen 13


bisa memperbaiki fungsi perwakilan dengan mendukung hubungan
konstituen para anggotanya dan juga dengan berkomunikasi secara
langsung dengan publik.

Mengatur Faksi di DPR


dan Praktek Terbaik
Di parlemen yang sangat demokratis, fraksi di DPR diatur
dalam Tatib DPR. Tujuan keseluruhan pembentukan fraksi adalah
membagi DPR yang besar menjadi beberapa kelompok agar bisa
menyuarakan gagasan kebijakan dengan lebih baik. Tatib DPR secara
langsung mengatur pembentukan fraksi, dan secara tidak langsung,
menyeimbangkan minoritas and mayoritas di DPR. Beberapa Tatib DPR
mensyaratkan jumlah minimum anggota untuk membentuk sebuah
fraksi, sedangkan Tatib lainnya memberikan persyaratan persentase
minimum jumlah kursi DPR secara keseluruhan.

Bobot penting yang diberikan kepada partai politik oleh Tatib DPR
sangatlah tergantung pada jumlah partai yang diwakili di DPR. Jadi,
persyaratan yang dikenakan pada fraksi oleh Tatib dan hak istimewa
yang diberikan kepada mereka berbeda dari satu fraksi ke fraksi
lainnya.7 Salah satu tujuan yang lazim adalah membuat perbedaan
yang lebih jelas di antara mayoritas fraksi atau koalisi partai partai di
DPR, yang mendukung pemerintah (eksekutif ) serta partai-partai lain
yang menentangnya. Tatib DPR membantu melembagakan perbedaan
ini, yang dianggap bernilai sebagai kontrol terhadap kemungkinan
penyalahgunaan kekuasaan, sebagai saluran bagi pendapat minoritas,
dan sebagai sarana untuk memastikan perubahan secara damai bagi
mayoritas di parlemen.8

7 Bagian ini merupakan versi yang diperluas dari hal mengenai fraksi sebagai bagian kajian tentang Tatib DPR.
Lihat, Frank Feulner, Standing Orders: Making Parliament Work, WBI Working Papers, World Bank Institute, 2007.
8 Lihat, Paul G. Thomas, “The Role of House Leaders in the Canadian House of Commons”, Canadian Journal of
Political Science, Vol. 15, No. 1, (Mar. 1982), hal. 125-144

14 Peran Perwakilan Parlemen


Sejumlah usulan bisa diberikan terkait dengan fraksi.9 Selama
beberapa dasawarsa belakangan ini, pengaruh mereka pada parlemen
dengan banyak partai telah tumbuh secara signifikan, dan memberikan
mereka kemampuan dan peluang. Demikian pula, fraksi telah menjadi
forum penting bagi anggotanya untuk mewakili pandangan daerah
yang berbeda dalam menanggapi isu-isu politik dan memungkinkan
lebih banyak masukan daerah untuk pembahasan internal partai.
Lebih lanjut, fraksi berguna untuk menengahi perbedaan- perbedaan
internal dan isu-isu seperti mengalihkan cara berpikir ideologis.
Pada akhirnya, fraksi mayoritas yang terlalu kuat yang memaksakan
garis partai yang kaku bisa menyebabkan melemahnya kemandirian
parlemen dari eksektutif.

Banyak parlemen menerapkan Tatib yang mewajibkan para


anggotanya, setelah mereka terpilih, bergabung dengan fraksi dari
partai mereka dan tetap berada di sana sepanjang mereka masih
menjadi anggota DPR. Praktek ini memberikan fraksi tingkat stabilitas
yang tinggi. Di parlemen Jerman (Bundestag), anggota fraksi harus
merupakan asosiasi anggota DPR dari partai politik yang sama.10
Meskipun di beberapa sistem parlemen dengan banyak partai, para
anggotanya tidak terikat secara hukum pada fraksi karena mandat
tersebut bersifat pribadi, para anggota sering hanya bisa melalui
partai untuk mendapatkan kursi DPR dan menjalankan mandat
mereka secara efektif.11 Sebagai contoh, bisa diatur bahwa rancangan
undang-undang yang baru hanya bisa diusulkan melalui fraksi, dan
tidak melalui anggota secara pribadi, seperti kasus di beberapa sistem
kongres.

Di beberapa negara, Tatib DPR memberikan dukungan keuangan


kepada fraksi dengan subsidi bulanan serta penyediaan ruangan
kantor di parlemen. Sebagai contoh, di parlemen Rumania (Chamber
of Deputies), fraksi, tergantung pada jumlah kursi mereka di DPR,

9 Professor Paul Thomas (University of Manitoba) mengajukan empat pemikiran mengenai kaukus partai melalui
sambutan kuncinya pada “Conference Party Caucuses: behind closed doors”, yang diselenggarakan oleh
Canadian Study of Parliament Group, Ottawa, 21-22 Nopember 1997.
10 Sebagai contoh, lihat, Aturan 10, Tatib DPR Jerman, 2003.
11 Seperti dalam kasus di Jerman. lihat, Gerhard Loewenberg, “Parliamentarism in Western Germany: The
Functioning of the Bundestag”, The American Political Science Review, Vol. 55, No. 1, Maret 1961, hal. 87-102.

Peran Perwakilan Parlemen 15


disediakan logistik untuk menjalankan kegiatan mereka, sekretariat,
serta personil khusus, sesuai dengan keputusan Tatib DPR.12 Di
beberapa badan legislatif, pengakuan bahwa fraksi lebih dari anggota
perorangan lebih jauh dicerminkan dengan cara bagaimana agenda
DPR disiapkan dan jatah waktu bicara yang diberikan. Ketua fraksi
biasanya diberikan kesempatan berbicara terlebih dahulu. Dalam
beberapa kasus, meskipun jatah waktu bicara setiap anggota
perorangan adalah sama, tetapi jumlah anggota fraksi yang diberikan
kesempatan berbicara mencerminkan kekuatan setiap fraksi dalam
sidang paripurna.

Merupakan hal penting bahwa fraksi diberikan kebebasan


mengatur urusan internal dan disiplin mereka. Mereka melakukan
ini dengan tatib internal mereka sendiri, secara lebih ketat atau
dengan fleksibilitas. Praktek yang lazim dilakukan dengan memilih
ketua dan sejumlah wakil ketua, komisi eksekutif, serta satu atau
sejumlah juru bicara.13 Secara khusus, pada fraksi yang telah mapan
dan besar, kelompok kerja internal atau kelompok pembahasan isu
dibentuk, mencakup anggota fraksi yang duduk dalam sebuah komisi
DPR dengan fokus yang sama. Kelompok-kelompok ini diketuai
koordinator komisi yang mengadakan rapat secara rutin dengan
ketua fraksi. Tugas utama ketua fraksi yang menanggani masalah
dengan pemerintah adalah mengatur alur urusan pemerintah, yang
dilakukan dengan mengupayakan kerjasama di antara ketua partai
lainnya di parlemen.

Selama rapat rutin, para ketua atau para anggota yang ditunjuk
fraksi akan membahas, merundingkan, dan mengatur urusan legislatif
serta menjabarkan jadwal DPR. Rapat-rapat ini juga digunakan untuk
menyepakati kemajuan yang dicapai menyangkut isu-isu kebijakan.
Proses konsultasi di antara fraksi bisa diatur secara lebih resmi atau
kurang resmi dalam Tatib DPR. Beberapa Tatib mencantumkan “All-
Party Business Committee” (Kanada), “Council of Elders” (Jerman),
“Standing Bureau” (Rumania), atau “Badan Musyawarah” (Indonesia)

12 Lihat, Pasal 16, Tatib DPR Rumania keluaran 2003.


13 Lihat, Gerhard Loewenberg, “Parliamentarism in Western Germany: The Functioning of the Bundestag”, The
American Political Science Review, Vol. 55, No. 1, Maret 1961, hal. 87-102.

16 Peran Perwakilan Parlemen


dengan tujuan merencanakan urusan DPR dan menyediakan kepada
fraksi sebuah forum untuk mencapai konsensus.14 Sesuai dengan
tingkat demokrasi internal dalam fraksi serta kewenangan yang
diberikan kepada perwakilan kelompok, komisi yang beranggotakan
semua unsur partai tersebut kadang-kadang disebut sebagai
“parlemen mini” yang memungkinkan terjadinya politik dagang sapi
di antara fraksi dengan kepentingan yang berbeda.

Kewenangan yang dijalankan pimpinan fraksi bisa sangat kuat.


Ketua fraksi bisa mengadakan rapat mingguan dan menentukan
agenda rapat-rapat rutin tersebut. Ketua fraksi dengan berkonsultasi
dengan pimpinan partai juga mengusulkan kepada fraksi berbagai
sikap atas kebijakan dan isu fraksi, yang kemudian harus dipatuhi semua
anggotanya. Pimpinan fraksi juga mengembangkan strategi dan taktik
DPR serta menetapkan berbagai penugasan komisi DPR.15 Secara
khusus, pimpinan fraksi mengangkat ketua-ketua untuk melakukan
tugas komisi. Salah satu tugas ketua komisi adalah membahas
berbagai isu dengan para anggota komisi lainnya dari fraksinya dan
melaporkan kembali kepada ketua fraksi. Bisa disimpulkan, pada
kebanyakan parlemen, pimpinan fraksi memiliki pengaruh terbesar
terhadap kinerja secara keseluruhan badan legislatif. Namun,
bagaimana pimpinan fraksi membuat keputusannya? Idealnya, boleh
diargumentasikan, keputusan ketua fraksi dibuat berdasarkan suara
terbanyak dalam rapat paripurna fraksi, tetapi tidak semua Tatib
internal fraksi mengatur proses pengambilan keputusan melalui cara
ini. Lebih jauh lagi, setiap fraksi di DPR biasanya memiliki formulasi
atau aturannya sendiri mengenai disiplin internal fraksi.

14 Lihat juga, Donald Page, “Streamlining the Procedures of the Canadian House of Commons, 1963-1966”,
Canadian Journal of Economics and Political Science, Vol. 33, No. 1, (Feb. 1967), hal. 27-49.
15 Sebagai contoh, lihat, Paul G. Thomas, “The Role of House Leaders in the Canadian House of Commons”,
Canadian Journal of Political Science, Vol. 15, No. 1, (Mar. 1982), hal. 125-144.

Peran Perwakilan Parlemen 17


Tantangan dan Praktek yang Baik
Salah satu tantangan utama pembentukan fraksi adalah
penentuan ukuran jumlah anggota minimum yang optimal. Idealnya,
ukuran fraksi ditentukan berdasarkan jumlah seluruh anggota DPR
yang ada di parlemen dan berdasarkan persentase tertentu16. Isu
penting lainnya adalah perlunya memiliki kriteria yang jelas dalam
Tatib DPR mengenai pembentukan fraksi, termasuk hak dan tanggung
jawab dalam di DPR.17 Terakhir, adalah masalah persaingan, yang bisa
terjadi karena tidak adanya peraturan khusus dalam pembentukan
komisi DPR melalui fraksi. Tatib DPR, karenanya, harus mengatur
secara rinci penunjukan anggota komisi DPR dan pemilihan ketua
komisi oleh fraksi.

Dalam kaitannya dengan keseluruhan komisi, media cenderung


menekankan secara berlebihan kepribadian perorangan pimpinan
fraksi dan pengaruh mereka dalam menggalang kompromi. Walaupun
demikian, keberhasilan wakil fraksi untuk mencapai konsensus pada
komisi-komisi sangat tergantung kepada konteks politis pada waktu
itu. Pimpinan fraksi atau anggota DPR sangat bergantung pada
pendapat dalam fraksi mereka masing-masing di mana perbedaan
di antara fraksi bisa sangat lazim. Dalam kasus demikian, tidak ada
konsensus yang segera bisa dicapai, dan pimpinan fraksi tidak memiliki
pilihan lain selain merujuk isu kembali ke paripurna fraksi untuk
pembahasan internal lebih lanjut. Untuk memfasilitasi perundingan
yang lebih berhasil dan dapat membuat komitmen, para pimpinan
fraksi membutuhkan kebebasan dari fraksi mereka masing-masing.
Tetapi, hal ini bisa dicegah oleh peraturan internal fraksi yang bisa
menetapkan dan melaksanakan disiplin partai yang ketat.

16 Sebagai contoh di DPR Jerman, minimum 5 persen dari jumlah keseluruhan kursi yang ada dibutuhkan untuk
membentuk sebuah fraksi. Angka ini sama dengan threshold DPR untuk partai-partai yang memasuki badan
legislatif.
17 Untuk isu ini, juga lihat, Benchmarks for Democratic Legislatures, laporan kelompok kajian, Commonwealth
Parliamentary Association, 2006, hal. 13.

18 Peran Perwakilan Parlemen


Ringkasan Praktek Terbaik yang Ideal

Idealnya, Tatib DPR mengenai fraksi mencakup hal-hal berikut:


zzMenjelaskan kriteria yang pasti pembentukan fraksi.

zzMenjelaskan hak dan tanggungjawab fraksi di DPR.

zzMenjamin kebebasan fraksi untuk mengatur urusan internal


mereka.

zzMendefinisikan dengan jelas kriteria pendanaan fraksi dan


dukungan lain yang disediakan DPR.

zzMenjelaskan layanan pendukung apa yang bisa dimiliki fraksi,


bagaimana staf direkrut, dan kepada siapa staf fraksi bertanggung
jawab.

zzMenyediakan kesempatan kepada fraksi untuk berkonsultasi


dengan kelompok-kelompok dari seluruh komisi.

Fraksi-fraksi di DPR-RI
Fokus dari bagian makalah ini adalah pada fraksi-fraksi di Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang memiliki 550 anggota.
Selama pemilihan umum tahun 2004, 16 partai politik telah terpilih
untuk diwakili di DPR. Selanjutnya, 10 fraksi telah terbentuk. Pengaruh
dari fraksi-fraksi ini telah semakin meningkat dengan mantap
sejak itu, tampak selama pembahasan perubahan Tatib DPR tahun
2005. Kemudian, terutama, isu penunjukan ketua komisi sangat
diperebutkan. Isu-isu lainnya yang memperlihatkan kekuatan fraksi
yang kian meningkat adalah berbagai keputusan Badan Kehormatan
(BK) serta rapat pleno DPR mengenai hak angket dan hak interpelasi
terhadap pemerintah.

Peran Perwakilan Parlemen 19


Daftar Fraksi di DPR-RI Tahun 2008

No. Fraksi Partai Politik Anggota

Fraksi Partai Golkar Partai Golkar (127)


1 129
(F-PG) Partai Karya Peduli Bangsa (2)
Fraksi Partai Demokrasi
2 Indonesia Perjuangan Partai Demokrasi Indonesia 109
(F-PDIP) Perjuangan

Fraksi Partai Persatuan


3 Partai Persatuan Pembangunan 58
Pembangunan (F-PPP)

Partai Demokrat (56)


4 Fraksi Partai Demokrat Partai Pelopor (3)
(F-PD) Partai Keadilan dan Persatuan 60
Indonesia (1)

5 Fraksi Partai Amanat Nasional


Partai Amanat Nasional 53
(F-PAN)

6 Fraksi Partai Kebangkitan


Bangsa Partai Kebangkitan Bangsa 52
(F-PKB)

7 Fraksi Partai Keadilan Sejahtera


Partai Keadilan Sejahtera 45
(F-PKS)

8 Fraksi Partai Bintang Reformasi


Partai Bintang Reformasi 14
(F-PBR)

9 Fraksi Partai Damai Sejahtera


Partai Damai Sejahtera 13
(F-PDS)

Partai Bulan Bintang (11)


Fraksi Bintang Pelopor Partai Demokrasi Kebangsaan (4)
10 Demokrasi Partai Penegak Demokrasi
(F-BPD) Indonesia (1) 17
Partai Nasional Indonesia
Marhaenisme(1)

TOTAL 550

20 Peran Perwakilan Parlemen


Bertolak belakang dengan kian pentingnya fraksi di DPR-RI, Tatib
DPR hanya relatif sedikit mengatur pembentukan dan tugas-tugas
fraksi. Persyaratan pembentukan ini agak luas. Dalam ketentuan umum
Tatib DPR, fraksi didefinisikan sebagai “Pengelompokan anggota
DPR berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum.”18
Dalam bagian yang sama dari Tatib tersebut, referensi tentang prinsip
perwakilan dibuat dengan menjelaskan tugas dan wewenang DPR
untuk “menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat.”19 Namun, dalam bagian-bagian berikutnya, versi
Tatib yang ada sekarang tidak membuat referensi lebih lanjut terhadap
prinsip keteerwakilan atau hubungan dengan konstituen. Walaupun
demikian, Tatib DPR telah memasukkan satu bab singkat dengan lima
pasal mengenai fraksi:

Bab V
Fraksi

Bagian Pertama
Kedudukan dan Susunan

Pasal 14

Fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Angka 6, bersifat


mandiri dan dibentuk dalam rangka meningkatkan kinerja dan
efektifitas pelaksaanaan tugas wewenang, serta hak dan kewajiban
DPR.

Pasal 15

Fraksi mempunyai jumlah anggota sekurang-kurangnya 13


(tigabelas) orang.

Pasal 16
(1) Fraksi dibentuk oleh anggota-anggota partai politik sebagai hasil
pemilihan umum.

18 “Fraksi adalah pengelompokan Anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil Pemilihan Umum”, Bab I,
Pasal 1 (6), Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal DPRRI, 2005.
19 Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat”, Bab I, Pasal 6, Ayat (l), Butir l,
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal DPRRI, 2005.

Peran Perwakilan Parlemen 21


(2) Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari 2 (dua)
atau lebih partai politik hasil pemilihan umum yang memperoleh
sekurang-kurangnya 13 (tigabelas) orang atau bergabung dengan
fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(3) Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(4) Pimpinan fraksi ditetapkan oleh fraksinya masing-masing

Bagian Kedua
Tugas

Pasal 17
(1) Fraksi bertugas mengkoordinasikan kegiatan anggotanya dalam
melaksanakan tugas dan wewenang DPR.
(2) Fraksi bertugas meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan
dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan yang tercermin
dalam setiap kegiatan DPR.

Pasal 18

DPR menyediakan sarana dan anggaran guna kelancaran


pelaksanaan tugas fraksi menurut perimbangan jumlah anggota tiap-
tiap fraksi.

Referensi tambahan Tatib DPR tentang fraksi ditemukan pada


berbagai bagian menyangkut Badan Musyawarah (Pasal 28-33) dan
Komisi (Pasal 34-38), serta alat kelengkapan DPR lainnya seperti
Badan Legislatif, Panitia Anggaran, Badan Urusan Rumah Tangga, dan
Badan Kehormatan. Tetapi, referensi tentang fraksi hanya menyangkut
susunan alat kelengkapan yang harus berimbang dengan jumlah
kursi partai di DPR. Sebagai alternatif, usulan mengenai komposisi
berimbang sesuai dengan kekuatan fraksi ini bisa juga diringkas dalam
pasal-pasal Tatib DPR mengenai fraksi. Pada pasal-pasal Tatib mengenai
legislasi, anggaran, dan pengawasan, tugas fraksi disebutkan untuk
memberikan pendapat dan pernyataan terhadap rancangan undang-
undang dan anggaran.

22 Peran Perwakilan Parlemen


Tidak adanya ketentuan ambang batas pembentukan fraksi pada
pemilu 2004 mengakibatkan beberapa partai politik dengan jumlah
kurang dari 13 anggota terpilih bisa masuk ke DPR. Karena persyaratan
terbentuknya fraksi memerlukan paling sedikit 13 anggota DPR, tujuh
partai politik terpaksa membentuk fraksi gabungan. Sekarang ini
terdapat 10 fraksi dalam 3 kelompok besar di DPR-RI: 2 fraksi besar
dengan masing-masing 109 dan 129 anggota; lima fraksi menengah
dengan masing-masing 45 sampai 60 anggota; dan tiga fraksi
kecil dengan masing –masing 13 sampai 17 anggota. Tujuh fraksi
mempunyai anggota masing-masing dari sebuah partai, satu fraksi
mempunyai anggota dari dua partai, satu fraksi mempunyai anggota
dari tiga partai; dan satu fraksi mempunyai anggota dari empat partai.
Tidak ada ketentuan dalam tata tertib DPR yang mengatur tentang
lamanya, dan bertahannya, suatu fraksi gabungan yang anggotanya
lebih dari satu partai politik. Lebih jauh lagi, tidak ada ketentuan yang
mengharuskan fraksi untuk menyatakan apakah mereka mendukung
pemerintah (partai pendukung pemerintah) atau beroposisi
terhadapnya (partai oposisi).

Perbedaan besar-kecilnya fraksi mempunyai impliksi secara


langsung atas dukungan yang mereka peroleh dari DPR, dan terhadap
kebutuhan internal organisasi dan manajemen mereka. Sementara
struktur dasar fraksi sama, perbedaan akan terlihat apakah fraksi dapat
menjalankan tugasnya dan bagaimana mereka bisa mendukung kerja
anggotanya. Bagian selanjutnya akan menguraikan persamaan dan
perbedaan antara fraksi di Indonesia.

Bila diamati pengumpulan pendapat mengenai DPR dan partai


politik di Indonesia, tampak ketererwakilan politik masih menjadi
masalah. Meskipun penting bagi parlemen, namun penyebutan
secara eksplisit tentang prinsip ketererwakilan DPR hilang dari UUD,
dasar hukum yang mendefinisikan struktur dan fungsi badan legislatif,
serta Tatib DPR. Anggota DPR dan fraksi kurang tanggap mengakui
tidak ada pencantuman ini dan mulai mengembangkan panduan
mengenai hubungan dengan konstituen, persyaratan membuat
laporan serta mekanisme kerja internal. Di samping itu, berbagai
upaya tengah dilakukan untuk merevisi undang-undang yang

Peran Perwakilan Parlemen 23


menjelaskan struktur dan fungsi badan legislatif serta memasukkan
referensi tentang prinsip ketererwakilan. Diharapkan keterwakilan
dan hubungan dengan konstituen juga akan dicakup dalam revisi di
masa mendatang terhadap Tatib DPR 2009-2013.

Mekanisme Kerja Fraksi


di DPR
Bagian dari makalah ini dilandasi pada masukan yang dihimpun
dari berbagai wawancara dengan anggota DPR serta staf ahli fraksi.
Bagian ini memberikan penjelasan khusus mengenai struktur,
manajemen, dan mekanisme kerja fraksi-fraksi. Praktek terbaik
mengenai prosedur internal dikemukakan secara khusus. Bagian ini
juga memperlihatkan tantangan yang dihadapi fraksi yang besar-
kecilnya berbeda dan sumberdayanya berbeda pula. Ukuran fraksi
menimbulkan implikasi, terutama, pada jumlah staf ahli yang ada
dalam menopang tugas fraksi. Selanjutnya, bagian ini membahas
sejauh mana fraksi menyumbang pada perwakilan politik di DPR,
khususnya, melalui hubungan konstituen para anggotanya. Fraksi-
fraksi memiliki cara yang berbeda dalam berkomunikasi dengan
konstituen dan media.

Organisasi Fraksi
Meskipun partai politik diwajibkan oleh Undang-undang
mengenai Partai Politik untuk memiliki Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga sendiri, namun diserahkan kepada
masing-masing fraksi untuk mengatur urusannya sendiri dan para
anggotanya. Anggaran dasar dibatasi untuk mengatur tujuan,
keanggotaan, struktur dan manajemen partai. Referensi tentang
fraksi memperkenalkan nomenklatur dan eksistensi badan-badan

24 Peran Perwakilan Parlemen


tersebut.20 Hak dan kewajiban anggota dan pimpinan partai diatur
lebih lanjut dalam anggaran rumah tangga. Anggaran rumah tangga
juga mencakup ketentuan-ketentuan mengenai disiplin partai dan
sanksinya. Selanjutnya, anggaran rumah tangga tersebut mengatur
hak Dewan Pimpinan Pusat Partai (DPP) untuk membentuk fraksi dan
menunjuk ketuanya.21 Dominasi DPP yang terkait dengan fraksi di DPR
pusat, serta DPRD propinsi dan kota/kabupaten, tercermin dari fakta
bahwa mereka bisa melakukan recall terhadap anggota DPR mereka
berdasarkan hasil rapat pimpinan partai.22

Mekanisme kerja dan hubungan antara fraksi dan partai


politik tunduk pada peraturan terpisah, yakni Peraturan Partai atau
Peraturan Organisasi. Peraturan tersebut biasanya dikeluarkan oleh
DPP. Semakin besar fraksinya, semakin penting pula tatib internal
mengatur keanggotaan fraksi, pembuatan keputusan, disiplin dan
etika. Peraturan yang dijabarkan dengan jelas bisa menengahi
berbagai faksi dalam suatu fraksi. Tetapi, meskipun merupakan
perangkat parlemen banyak partai di tempat lain, hanya sedikit fraksi
di DPR-RI yang telah membuat Peraturan Tata Tertib Fraksi atau Sistem
dan Prosedur Kerja Fraksi atau Tata Kerja Fraksi.23 Sebagian besar
fraksi bertindak berdasarkan ketentuan tidak tertulis dan berdasarkan
keputusan yang dibuat selama rapat pimpinan atau rapat paripurna
fraksi. Bagaimana fraksi menjalankan urusan mereka masing-masing
didasarkan pada kebanyakan praktek tidak tertulis ini.

20 Sebagai contoh, lihat, Bab XXII, Pasal 27 (1), “Anggaran Dasar Partai Golkar”, Denpasar, 19 Desember 2004; Juga,
Bab IV, Bagian Dua, Pasal 11 (1)(j), “Anggaran Dasar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan”, Keputusan Kongres
II PDI Perjuangan, Denpasar, Bali, 28-31 Maret 2005.
21 Untuk menetapkan pemilihan pimpinan fraksi, DPP mengeluarkan Surat Keputusan (SK). Lihat juga, Bab IX,
Pasal 23 (1), “Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar”, Denpasar, 19 Desember 2004; Juga, Bab III, Bagian Dua,
Pasal 18 (10), “Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan”, Keputusan Kongres II PDI
Perjuangan, Denpasar, Bali, 28-31 Maret 2005.
22 Sebagai contoh, lihat, Bab III, Bagian Tiga, Pasal X (6), “Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan”, Keputusan Kongres II PDI Perjuangan, Denpasar, Bali, 28-31 Maret 2005. Hak untuk melakukan
recall dipersoalkan, dan amandemen atas Undang-undang mengenai Susunan dan Kedudukan MRR, DPR, DPD
dan DPRD (Undang-undang No.22 tahun 2003, atau Undang-undang Susduk) dimungkinkan.
23 Sebagai contoh, lihat, “Peraturan Tata Tertib Fraksi Partai Keadilan Sejahtera”, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
DPR RI, Jakarta, Februari 2007; juga, “Sistem dan Prosedur Kerja FKB DPR-RI”, Jakarta, Desember, 2007; serta “Tata
Kerja Fraksi Partai Golongan Karya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”, Jakarta, Nopember 2005.

Peran Perwakilan Parlemen 25


Struktur Fraksi
Secara tertulis maupun tidak, fraksi-fraksi di DPR RI memiliki
struktur manajemen yang sangat mirip. Semua fraksi memiliki
pimpinan yang terdiri dari Ketua atau Pimpinan dan satu atau lebih
Wakil Ketua. Dalam fraksi yang besar, Wakil Ketua bertanggung jawab
atas sejumlah bidang yang terkait bidang komisi di DPR. Dengan
demikian, mereka sering disebut sebagai Koordinator Bidang.
Selanjutnya, pimpinan mencakup seorang Sekretaris dan Wakil
Sekretaris, Bendahara, dan Wakil Bendahara. Di samping pimpinan
inti, fraksi menunjuk sejumlah Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) atau
Ketua Kelompok Alat Kelengkapan yang mewakili anggota-anggota
yang duduk pada masing-masing komisi. Ketua komisi merupakan
perpanjangan tangan dari pimpinan fraksi. Masa kerja pimpinan fraksi
ditentukan DPP dan biasanya berlangsung satu tahun. Perpanjangan
masa kerja dimungkinkan setelah evaluasi tahunan.24

Menarik untuk diperhatikan bagaimana berbagai fraksi telah


memutuskan untuk memilih dan menunjuk pimpinannya. Meskipun
pada umumnya semua ketua fraksi ditunjuk DPP berdasarkan
pembicaraan sebelumnya di antara pimpinan partai dan anggota
fraksi, proses pemilihan wakil ketua, sekretaris, dan bendahara lebih
berada di tangan anggota fraksi, yang berhak mengusulkan nama-
nama untuk kedudukan-kedudukan ini kepada partai.25 Pimpinan
komisi semuanya diusulkan oleh rapat pleno fraksi dan ditunjuk oleh
ketua fraksi.26 Kriteria yang sering kali tidak tertulis untuk pemilihan
ketua fraksi, wakil ketua, sekretaris, dan bendahara adalah senioritas
di partai serta perwakilan di daerah di cabang-cabang partai.
Diharapkan, pimpinan komisi memiliki pengalaman dengan isu-isu

24 Sebagai contoh, lihat, Bab V, Pasal 10, “Peraturan Tata Tertib Fraksi Partai Keadilan Sejahtera”, Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera DPR RI, Jakarta, Februari 2007; juga Bab II, Pasal 2 (e), “Tata Kerja Fraksi Partai Golongan Karya
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”, Jakarta, Nopember 2005.
25 Sebagai contoh, panduan untuk sekretariat F-PDIP menyatakan bahwa “Ketua fraksi adalah anggota DPR yang
telah ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan keputusan DPP”; lihat Bab I, “Pedoman Tugas dan Tanggung Jawab
Sekretariat Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI”, Jakarta, 9 Januari 2005.
26 Sebagai contoh, lihat, Bab VI, Pasal 13 (2), “Peraturan Tata Tertib Fraksi Partai Keadilan Sejahtera”, Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera DPR RI, Jakarta, Februari 2007.

26 Peran Perwakilan Parlemen


dimasing-masing komisi. Ketentuan tertulis atas susunan pimpinan
fraksi bisa cukup tidak spesifik. Sebagai contoh, jumlah wakil ketua,
wakil sekretaris, wakil bendahara tidak selalu dirumuskan dengan
tegas dan bisa berubah selama periode DPR.27

Pengambilan Keputusan di Fraksi


Keputusan di fraksi dibuat selama rapat pimpinan fraksi atau rapat
pleno fraksi. Namun, nampaknya, semakin banyak keputusan internal
dibuat selama rapat pimpinan mingguan rutin daripada pada rapat
pleno, yang menunjukkan pimpinan fraksi yang agak eksklusif. Fraksi
yang besar di DPR mengadakan rapat pleno hanya dua kali selama
masa persidangan, satu kali pada awal masa persidangan dan satu kali
lagi pada akhir masa persidangan. Tetapi, fraksi berukuran menengah
dan kecil mengadakan rapat pleno mingguan, terutama sebelum
rapat pleno DPR mingguan, untuk memantapkan keputusan pimpinan
dengan semua semua anggota fraksi.28 Berbeda dari badan legislatif
model Westminster dengan dominasi fraksi serta kewenangan yang
kuat dari rapat pleno fraksi, Indonesia menerapkan prinsip sistem
presidensial dengan dominasi partai politik di luar parlemen dan
fokus pada pimpinan fraksi. Di samping memimpin dan mewakili
fraksi secara internal dan eksternal, ketua fraksi bersama wakil ketua
memiliki kewenangan untuk menetapkan agenda rapat dan kebijakan
fraksi, menentukan dan menunjuk anggota komisi dan kelompok
kerja, serta memilih anggota fraksi yang akan ikut perjalanan ke luar
negeri.29

Proses pengambilan keputusan internal di fraksi pada umumnya


mengikuti ketentuan atau praktek tidak tertulis. Hanya ada sedikit
aturan tertulis dan aturan tertulis tersebut cukup membingungkan,

27 Lihat, Bab IV, Pasal 5 (1), “Sistem dan Prosedur Kerja FKB DPR-RI”, Jakarta, Desember, 2007.
28 Sebagai contoh, Fraksi PAN mengadakan rapat pimpinan mingguan pada hari Senin. Pada hari Selasa, fraksi ini
mengadakan rapat paripurna mingguan yang diikuti dengan rapat paripurna mingguan DPR.
29 Lihat, Bab IV, Pasal 7, “Sistem dan Prosedur Kerja FKB DPR-RI”, Jakarta, Desember, 2007; Juga, Bab V, Pasal 11,
“Peraturan Tata Tertib Fraksi Partai Keadilan Sejahtera”, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI, Jakarta, Februari
2007.

Peran Perwakilan Parlemen 27


menekankan bahwa pimpinan fraksi bersifat “kolektif”, tanpa
menyebutkan secara eksplisit bagaimana keputusan dalam rapat
harus diambil.30 Sama seperti Tatib DPR yang tidak secara jelas
menyebutkan proses pengambilan keputusan selama rapat komisi
serta rapat kerja DPR lainnya, proses pengambilan keputusan dalam
rapat paripurna fraksi diharapkan mengikuti tuntunan “pembicaraan
ke arah tercapainya kesepakatan yang dapat diterima (musyawarah
dan mufakat). Beberapa fraksi menganjurkan voting untuk keadaan
di mana kesepakatan bersama tidak bisa dicapai.31 Fraksi yang lain
menyerahkan keputusan final selama terjadi jalan buntu kepada ketua
fraksi untuk memutuskan.

Pengembangan Agenda dan Disiplin Partai


dalam Fraksi
Sikap Fraksi isu-isu yang telah dibahas di DPR diputuskan dalam
rapat pimpinan dan paripurna. Karena lingkungan yang dinamis,
ketua fraksi harus membahasnya dengan partai pada saat pertemuan
rutin di kantor pusat partai. Yang menarik, tidak satupun dari dua
partai politik terbesar di Indonesia, Golkar dan PDI-P, ketua fraksinya
di parlemen diwakili oleh ketua partai. Ketua dari kedua partai politik
utama ini tidak menjadi anggota parlemen. Namun, pimpinan kedua
fraksi utama ini adalah anggota senior di DPP-nya masing-masing.
Sedangkan pimpinan fraksi menengah dan kecil adalah pimpinan
atau anggota eksekutif partai.

Walaupun faktanya beberapa fraksi tidak dipimpin ketua partainya,


komunikasi antara pimpinan fraksi dan organisasi partainya relatif
tetap lancar. Kebanyakan pimpinan fraksi juga punya kedudukan
pada DPP sehingga mereka secara rutin menghadiri rapat-rapat partai.
Sebagai tambahan penjelasan atas rapat-rapat di kantor pusat partai,
sekali dalam masa sidang, DPP bertemu secara pleno dengan fraksi
untuk menjelaskan dan membahas kebijakan partai pada umumnya.
30 Lihat Bab IV, Pasal 5 (2), “Sistem dan Prosedur Kerja FKB DPR-RI”, Jakarta, Desember, 2007; juga Bab IV, Pasal 6 (2),
“Tata Kerja Fraksi Partai Golongan Karya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”, Jakarta, Nopember 2005.
31 Sebagai contoh, lihat, Bab VIII, Pasal 28 (1), “Peraturan Tata Tertib Fraksi Partai Keadilan Sejahtera”, Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera DPR RI, Jakarta, Februari 2007.

28 Peran Perwakilan Parlemen


Topik-topik yang lebih khusus dibicarakan selama rapat-rapat rutin
DPP dengan pimpinan fraksi.

Untuk menentukan sikap partai atas suatu isu, pimpinan fraksi


juga harus berkonsultasi dengan para koordinator bidang dan
ketua-ketua komisi. Ketua-ketua komisi secara teratur melaporkan
kepada pimpinan fraksi mengenai isu-isu yang dibahas selama rapat
kerja komisi dan isu-isu apa yang memerlukan sikap partai. Ketua-
ketua komisi selanjutnya menyampaikan keputusan yang telah
diambil dalam rapat pimpinan kepada anggota lainnya yang duduk
di komisi DPR yang sama. Sebagai aturan umum, para anggota
fraksi diharapkan mengikuti keputusan pimpinan dan rapat pleno
serta tunduk kepada garis partai yang telah disepakati. Biasanya,
dalam sistem presidensial, disiplin partai tidak begitu ketat, karena
perbedaan garis partai para anggotanya tidak mudah menjatuhkan
pemerintah.32 Tetapi, di Indonesia, seperti halnya sistem presidensial
di Amerika Latin, kebanyakan keputusan dibuat pimpinan partai
politik dan pada rapat-rapat partai.33

Anggota fraksi pada umumnya mengikuti agenda yang telah


disepakati. Karena sistem daftar terbuka yang relatif tertutup di
Indonesia, mereka sangat tergantung pada partai mereka untuk
bisa mendapatkan kedudukan yang bagus di DPR dan daftar partai
untuk dipilih kembali. Jadi, ada harga yang sangat mahal yang harus
dibayar bila berani menentang garis partai. Ini boleh jadi merupakan
salah satu alasan mengapa sedikit partai politik di Indonesia yang
telah memasukkan kesetiaan pada garis partai dalam tatib internal
mereka.34 Jika anggota fraksi ingin menggunakan haknya untuk
mengajukan petisi atau hak angket, ia diharapkan berkonsultasi
dengan pimpinan fraksi terlebih dahulu. Fraksi bisa memberikan

32 Dalam sistem parlementer, stabilitas pemerintahan sangat bergantung pada apakah pimpinan partai-partai
pemerintah bisa menjaga disiplin para anggota DPR mereka. Lihat juga, Arend Lijphart, Presidential versus
Parliamentary Government, Oxford University Press, Oxford, 1992.
33 Mengenai perbedaan fraksi dalam sistem parlementer dan sistem presidensial, lihat, “Political Parties in the
Legislature”, UNDP Technical Paper, http//:www.undp.org/governance/docs/Parl-Pub-political.htm.
34 Sebagai contoh, lihat, Bab VI, Pasal 17 (c), “Sistem dan Prosedur Kerja FKB DPR-RI”, Jakarta, Desember, 2007; juga,
Bab VIII, Pasal 46 (2), “Tata Kerja Fraksi Partai Golongan Karya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”,
Jakarta, Nopember 2005.

Peran Perwakilan Parlemen 29


sanksi kepada anggota yang tidak mengikuti keputusan dan instruksi
internal. Sanksi, seperti peringatan, tetap merupakan kebijakan
pimpinan partai dan rapat pleno partai, contohnya, jika seorang
anggota memutuskan untuk menyimpang dari agenda yang telah
disepakati selama voting penentuan sikap partai pada rapat pleno
DPR.35 Beberapa fraksi di DPR telah mengeluarkan kode etik mereka
mengenai disiplin anggota, penyalahgunaan kekuasaan, kerahasiaan,
dan pembentukan badan kehormatan ad hoc.36

Hubungan Konstituen Fraksi


Hubungan konstituen fraksi bersifat ganda. Di satu pihak, fraksi
melalui anggota mereka secara aktif mengunjungi konstituen mereka
selama masa reses. Di pihak lain, fraksi menerima konstituen secara
perorangan atau delegasi di DPR untuk mendengar keluhan dan
menerima pernyataan tertulis mereka. Selama reses, anggota DPR
diharapkan mengunjungi daerah pemilihan (dapil) mereka dan
bertemu muka dengan konstituen mereka.37 Kunjungan ini merupakan
kesempatan bagi anggota DPR dan fraksi untuk menjadi yang paling
dulu mengetahui mengenai isu-isu yang menjadi keluhan masyarakat.
Beberapa fraksi selama rapat paripurna mereka yang terakhir sebelum
reses memutuskan isu-isu apa yang harus dibahas dengan konstituen
mereka.

Setelah reses, kebanyakan fraksi mengharapkan para


anggotanya membuat laporan mengenai kunjungan kerja mereka,
mendokumentasikan isu-isu dan masalah-masalah yang mereka
temui dan mempertanggungjawaban biaya-biaya yang telah mereka

35 “Golkar scolds MP over fuel policy inquiry”, The Jakarta Post, 29 Juni 2008.
36 Sebagai contoh, lihat, “Kode Etik Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR-RI”, Bogor, 5 Mei 2001; Juga, “Kode Etik Ang-
gota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera”, 2007. Fraksi Partai Golkar memiliki badan kehormatan tetap, lihat,
Bab VI, Pasal 25-29, “Tata Kerja Fraksi Partai Golongan Karya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”,
Jakarta, Nopember 2005.
37 Sebagai contoh, lihat, Bab XII, Pasal 40 (2), “Sistem dan Prosedur Kerja FKB DPR-RI”, Jakarta, Desember, 2007;
Juga Bab IX, Pasal 73 (2), “Tata Kerja Fraksi Partai Golongan Karya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”,
Jakarta, Nopember 2005.

30 Peran Perwakilan Parlemen


keluarkan.38 Selanjutnya, fraksi mengumpulkan informasi yang
telah dihimpun mengenai berbagai isu dan masalah. Wawasan
yang telah diperoleh digunakan untuk memberitahukan sikap dan
kebijakan fraksi. Untuk tujuan ini, sejumlah fraksi telah mewajibkan
para anggotanya melaporkan kunjungan konstituen mereka dan
membuat laporan dengan pola yang sama. Namun, tanpa panduan
mengenai bagaimana proses pelaporan harus dilakukan dan tanpa
sanksi khusus, sistem pelaporan tersebut tidak selalu berjalan
baik.39 Beberapa anggota fraksi tidak melaporkan kegiatan mereka
secara rinci dan sejauh ini hanya sedikit fraksi yang secara sistematis
mempublikasikan informasi yang telah dihimpun para anggotanya
melalui situs jaringan atau laporan tahunan mereka. Lebih jauh, fraksi-
fraksi sering kekurangan sumber daya manusia dan kemampuan
yang memadai untuk memproses dan mendokumentasikan laporan
serta data mengenai konstituen mereka. Kesiapan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan konstituen masih lemah.

Kebanyakan fraksi di DPR bersikap terbuka menerima delegasi


dan kelompok kepentingan di kantor-kantor mereka. Kunjungan-
kunjugan ini sering disiapkan para anggota fraksi sendiri atau cabang
partai. Biasanya fraksi mengganti biaya yang dikeluarkan delegasi
yang mengunjungi mereka di DPR. Delegasi konstituen diberikan
kesempatan untuk menjelaskan masalah dan kepentingan mereka
kepada kelompok kerja internal yang relevan. Koordinator komisi
juga memiliki kesempatan menyarankan agar kelompok kepentingan
dan pakar diundang ke rapat-rapat kerja komisi. Seperti informasi
yang dihimpun selama kunjungan ke konstituen, keluhan delegasi
yang berkunjung dihimpun dan diteruskan ke pimpinan fraksi. Isu-
isu penting juga dikomunikasikan kepada DPP pada akhir setiap
masa persidangan DPR. Idealnya, semua keluhan masyarakat dicatat,
dibahas dan ditindaklanjuti. Walaupun demikian, meskipun fraksi
menghimpun dan – sampai tingkat tertentu– membahas keluhan,
namun tindak lanjut serta umpan balik ke konstituen belum memadai.

38 Sekretariat Jenderal DPR menyusun laporan keuangan atas penggunaan tunjangan selama masa reses yang
wajib dibuat semua anggota DPR. Namun, format laporan keuangan yang tersebut kurang rinci.
39 Lihat juga, Hasanuddin Wahid, “Sistem Pelaporan Kegiatan Anggota DPR”, Makalah Penelitiani, Parliamentary
Support Facility, UNDP, Jakarta, Juli 2008.

Peran Perwakilan Parlemen 31


Sejumlah fraksi telah mulai menyiapkan informasi mengenai isu-isu
yang sedang diperjuangkan partai. Informasi tertulis ini bisa dibawa
anggota DPR saat kunjungan ke konstituen.

Sepuluh tahun setelah dimulainya era reformasi dan dengan banyak


partai politik baru yang ikut pemilihan umum, hubungan dengan
konstituen menjadi semakin penting bagi anggota DPR dan fraksi.
Undang-undang Pemilihan Umum tahun 2007 dengan keterwakilan
berimbang daftar terbuka yang telah diperbarui kini membuat lebih
mudah para caleg memenuhi jumlah suara yang dibutuhkan untuk
memenangkan kursi secara langsung daripada kursi yang diisi partai
politik. Kenyataan ini membuat anggota DPR yang berminat dipilih
kembali untuk meraih lebih banyak konstituen di daerah pemilihan
mereka. Pelaporan dan perwakilan konstituen menjadi kepentingan
setiap anggota DPR, dan fraksi masih harus menyiapkan dirinya untuk
mendukung kebutuhan ini. Sebagai contoh, beberapa anggota DPR
telah berinisiatif menggunakan tunjangan komunikasi mereka untuk
membuka kantor konstituen dengan jam kantor secara teratur. Juga,
kebutuhan terhadap akuntabilitas ditanggapi lebih serius, dengan
beberapa anggota DPR sedang menyusun laporan tahunan atas
pekerjaan dan kemajuan mereka. Sejak Mei 2008, Sekretariat Jenderal
DPR telah membiayai seorang staf ahli tambahan untuk melayani
setiap anggota DPR. Diharapkan penambahan kapasitas ini bisa
digunakan untuk lebih meningkatkan hubungan dengan konstituen.

Selama beberapa tahun belakangan, fraksi-fraksi di DPR juga


telah meningkatkan jangkauan mereka melalui pengembangan situs
jaringan, publikasi, serta hubungan dengan media. Pembuatan situs
jaringan khusus yang terpisah dari situs jaringan partai politik masih
dalam tahap awal.40 Sebagai contoh, tidak satupun dari dua fraksi
terbesar di DPR telah memiliki situs jaringan mereka sendiri. Situs
jaringan yang ada milik fraksi-fraksi yang lebih kecil menyediakan
informasi dasar untuk kontak dan berita mengenai fraksi. Namun,
situs jaringan ini hanya sedikit sekali memuat informasi lebih khusus
mengenai kebijakan dan keputusan partai yang telah diambil atas isu-
40 Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) adalah fraksi yang pertama kali mengembangkan situs jaringan., yakni;
http://www.fkb-dpr.or.id, yang juga memuat kumpulan laporan para anggota yang dibuat setelah kunjungan ke
konstituen mereka selama masa reses. Situs jaringan lainnya termasuk: http://www.fpks-dpr.or.id.

32 Peran Perwakilan Parlemen


isu tertentu. Tidak ada ruang khusus yang disediakan untuk memuat
hasil kerja para anggota fraksi. Sejak tahun 2007, brosur dan laporan
tahunan tentang kebijakan dan kerja fraksi mulai bermunculan.41
Publikasi ini serta iklan di surat kabar nasional memberikan kepada
publik gambaran yang lebih jelas mengenai wakil-wakil mereka di
DPR, dan fraksi diharapkan melanjutkan upaya ini.

Kebutuhan untuk melakukan komunikasi dengan media


secara lebih terkordinasi telah mendorong beberapa fraksi
menyelenggarakan konferensi pers secara rutin dan mengeluarkan
pernyataan pers. Beberapa fraksi bahkan telah merekrut beberapa
wartawan terlatih untuk mengelola hubungan dengan pers. Anggota
fraksi memanfaatkan konferensi pers untuk menyampaikan informasi
terkini mengenai sikap partai terhadap isu-isu serta kerja mereka
di berbagai komisi DPR.42 Meskipun praktek untuk menyiapkan
konferensi pers dan pernyataan pers secara teratur membutuhkan
kerja keras dan komitmen serta kerjasama para anggota fraksi, tetapi
hal ini disambut positif pihak media.

Dukungan kepada Fraksi


Kerja fraksi memerlukan sumberdaya. Dalam kasus Indonesia,
dukungan kepada fraksi oleh DPR masih kecil. Setiap fraksi yang
memenuhi persyaratan memperoleh sebuah ruangan sekretariat dan
ruangan kantor tambahan untuk staf ahli dan staf pendukung. Fasilitas
untuk fraksi terbatas pada perlengkapan kantor untuk para anggota,
asisten, staf sekretariat dan staf ahli mereka. Setiap ruangan kantor
anggota, sekretariat fraksi, dan staf ahli menerima satu komputer.
Peralatan tambahan harus dibeli sendiri oleh fraksi.

41 Sebagai contoh, pada tahun 2007 dan 2008, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) telah
membuat apa yang dinamakan “Laporan kepada Rakyat” yang menjelaskan sikap partai terhadap berbagai isu
kebijakan dan dengannya sekaligus memperkenalkan dirinya sebagai sebuah kelompok oposisi di parlemen
42 Sebagai contoh, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) telah memperkenalkan konferensi pers mingguan yang
fokus pada kerja para anggotanya di komisi tertentu. Kegiatan ini memampukan fraksi ini untuk menampilkan
laporan setiap komisi setiap dua belas minggu sekali.

Peran Perwakilan Parlemen 33


Sekretariat Jenderal DPR menyediakan pegawai negeri untuk
membantu setiap sekretariat fraksi dan menanggung gaji staf ahli.
Jumlah staf ahli untuk setiap fraksi berimbang dengan besarnya partai
di DPR. Sehingga, partai besar bisa mengandalkan lebih banyak staf
ahli dibandingkan dengan partai kecil. Hal ini memberikan fraksi yang
lebih besar keuntungan dalam menjalankan tugas-tugas mereka.
Hanya fraksi besar memiliki staf ahli yang memadai untuk mendukung
kerja mereka di keseluruhan sebelas komisi DPR. Staf ahli pada fraksi
menengah dan kecil harus membagi perhatian mereka untuk sejumlah
tugas.

43
Jumlah Staf Ahli Fraksi DPR-RI
No. Fraksi Jumlah Staf Ahli
1 Fraksi Partai Golkar 14
(F-PG)
2 Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 11
(F-PDIP)
3 Fraksi Partai Persatuan Pembangunan 6
(F-PPP)
4 Fraksi Partai Demokrat 7
(F-PD)
5 Fraksi Partai Amanat Nasional 6
(F-PAN)
6 Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa 6
(F-PKB)
7 Fraksi Partai Keadilan Sejahtera 5
(F-PKS)
8 Fraksi Partai Bintang Reformasi 3
(F-PBR)
9 Fraksi Partai Damai Sejahtera 3
(F-PDS)
10 Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi 4
(F-BPD)
TOTAL 65

43 “Tenaga Ahli Fraksi DPR-RI”, Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Mei
2008.

34 Peran Perwakilan Parlemen


Tidak seperti parlemen di tempat lain, badan legislatif Indonesia
tidak memberikan dukungan kepada fraksi secara finansial. Selain
disediakan ruangan dan perlengkapan kantor, dan beberapa sumber
daya manusia, dalam rapat-rapat pimpinan dan rapat paripurna
fraksi diberikan minuman dan kudapan. Fraksi membiayai kegiatan
mereka dari iuran para anggotanya. Iuran tetap dipotong dari gaji
dan tunjangan bulanan mereka untuk digunakan fraksi dan partai
politik.44

Bendahara fraksi bertanggungjawab atas pengelolaan akuntansi


dan keuangan fraksi. Laporan keuangan dilakukan secara teratur
dan laporan ini dibagikan kepada semua anggota fraksi.45 Beberapa
fraksi telah merancang panduan khusus untuk tugas-tugas sekretariat
mereka.46 Panduan ini merinci struktur sekretariat dan menjelaskan
uraian tugas berbagai sub-bagian sekretariat. Rekrutmen dan evaluasi
staf fraksi merupakan bidang lain di mana fraksi tidak memiliki panduan
maupun prosedur kerja standar yang terkonsolidasi.47 Panduan yang
sama berlaku untuk keuangan dan audit anggaran fraksi.

Rekomendasi Mengenai
Bagaimana Fraksi Bisa
Meningkatkan Perwakilan
Memajukan demokrasi perwakilan dapat dicapai melalui kerja
para anggota DPR dan dukungan fraksinya di DPR. Hal ini menuntut
44 Pada tahun 2007, iuran ini berjumlah Rp 5.000.000 per bulan untuk anggota fraksi PDI-P. Lihat, “Brokerage
common in House, MPs say”, The Jakarta Post, 3 Juli 2008.
45 Sebagai contoh, Fraksi Partai Golkar mewajibkan bendaharanya untuk menyusun laporan keuangan dan
membagikannya kepada semua anggota fraksi setiap tiga bulan sekali, lihat, Bab XI, Pasal 79, “Tata Kerja Fraksi
Partai Golongan Karya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”, Jakarta, Nopember 2005.
46 Sebagai contoh, lihat, “Pedoman Tugas dan Tanggung Jawab Sekretariat Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI”, Jakarta, 9
Januari 2005.
47 Sebagai contoh, staf ahli Fraksi Partai Golkar dievaluasi setiap enam bulan oleh ketua fraksi.

Peran Perwakilan Parlemen 35


komitmen dan prosedur kerja internal yang khusus. Sehingga,
rekomendasi yang diusulkan bagi fraksi difokuskan pada dua bidang,
yakni prosedur internal dan hubungan konstituen.

Perbaikan Prosedur Internal


Karena tidak semua fraksi di DPR telah membuat prosedur
internal, upaya pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan
dan meloloskan berbagai peraturan itu. Fraksi dengan prosedur
yang sudah ada harus memperbaikinya dengan memfokuskan pada
sejumlah bab utama yang bisa mencakup prinsip perwakilan dan
hubungan konstituen. Struktur prosedur bisa disederhanakan dengan
mengikuti praktek-praktek terbaik.

Prosedur fraksi idealnya memiliki bagian-bagian utama berikut:


- Anggaran dasar fraksi
- Keanggotaan fraksi
- Alat kelengkapan dan batang tubuh fraksi: keanggotaan dan
kewenangan
- Pengaturan tugas-tugas di fraksi
- Permufakatan, korum, pembuatan keputusan dan komunikasi
- Sekretariat fraksi
- Anggaran fraksi dan neraca
- Ketentuan final: asisten fraksi, perubahan prosedur

Perbaikan Hubungan Konstituen


Rekomendasi kedua terhadap fraksi merujuk kepada peningkatan
hubungan konstituen. Hal ini harus mencakup perbaikan cara-cara
dan pendokumentasian isu-isu yang dihimpun selama reses dan
dari delegasi yang datang ke DPR, khususnya masukan terhadap
pertanyaan-pertanyaan dari konstituen. Karena tugas-tugas fraksi

36 Peran Perwakilan Parlemen


sangat memerlukan sumber daya, Sekretariat Jenderal DPR harus
mengalokasikan lebih banyak dukungan bagi setiap fraksi. Dukungan
ini mencakup dana yang cukup untuk dialokasikan dan difokuskan
pada rekrutmen staf ahli yang lebih banyak dan perangkat penelitian
yang dapat digunakan untuk melaporkan dan memperbaiki hubungan
konstituen.

Di pihak lain, fraksi-fraksi disarankan untuk:


1. memperbaiki panduan bagi anggota mengenai bagaimana
tugas-tugas selama masa reses harus dijalankan. Kunjungan
ke konstituen bukan sekedar menghimpun isu-isu selama
reses, tetapi harus dimanfaatkan untuk memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya disampaikan
kepada fraksi dan para anggotanya;
2. memfasilitasi secara lebih baik para anggotanya dengan staf
ahli dan fasilitas penelitian dalam menjalankan hubungan
konstituennya;
3. membuat dan mengelola database mengenai kekhususan
demografis konstituen dan isu-isu penting di setiap daerah
pemilihan;
4. menerbitkan kode etik dan memperkenalkan sanksi bagi
para anggotanya yang tidak membuat laporan rutin dan rinci
mengenai hubungan konstituennya;
5. memperkuat interaksi dan komunikasi dengan konstituen
melalui pembuatan publikasi, situs jaringan yang di-update
secara teratur yang memuat kolom mengenai setiap anggota,
dan konferensi pers berkala dengan pernyataan pers.
6. mencatat sikap fraksi terhadap isu-isu kebijakan dan
kemajuan tugas mereka di parlemen, dan membuat informasi
ini tersedia untuk publik.

Peran Perwakilan Parlemen 37


Kepustakaan

Alliance of Liberals and Democrats for Europe, Rules of Procedure, yang


dibuat pada rapat Kelompok pada tanggal 23 Februari 2005.
Anggaran Dasar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Keputusan
Kongres II PDI Perjuangan, Denpasar, Bali, 28-31 Maret 2005.
Anggaran Dasar Partai Golkar, Denpasar, 19 Desember 2004.
Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
Keputusan Kongres II PDI Perjuangan, Denpasar, Bali, 28-31 Maret
2005.
Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar, Denpasar, 19 Desember 2004.
Arbeitsordnung der CDU/ CSU-Bundestagsfraktion der 16. Wahlperiode
vom 28. November 2005.
Belloni, Frank P. and Dennis C. Beller, “The Study of Party Factions as
Competitive Political Organizations”, The Western Political Quarterly,
Vol. 29, No. 4, (Dec. 1976), hal. 531-549.
Benchmarks for Democratic Legislatures, A Study Group Report,
Commonwealth Parliamentary Association, 2006.
“Brokerage common in House, MPs say”, The Jakarta Post, 3 Juli 2008.
Buku Saku Anggota FPKS DPR RI, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, February 2007.
Crespo, J.A., “The Liberal Democratic Party in Japan: Conservative
Domination”, International Political Science Review, Number 16,
1995.
“DPR Setujui Angket BBM”, Kompas, 25 June 2008.
Feulner, Frank, “Standing Orders: Making Parliament Work”, WBI
Working Papers, World Bank Institute, 2007.
Feulner, Frank, Andi Rahman Alamsyah, and Djayadi Hanan, “Towards
a More Effective Indonesian House of representatives: Options for
Positive Change by Legislators”, National Democratic Institute for
International Affairs, Jakarta, 2005.
Giannetti, Daniela and Michael Laver, “Party Cohesion, Party Discipline,
Party Factions in Italy”, Draft Paper, October 2007. Rancangan yang
lebih awal dipresentasikan pada Joint Workshop Session pada
European Consortium for political Research, Granada, 13-19 April
2005.
Geschäftsordnung der FDP-Fraktion im Deutschen Bundestag,
Beschlossen am 12. Nopember 1991, zuletzt geändert durch
Fraktionsbeschluss vom 13.12.2005.
38 Peran Perwakilan Parlemen
“Golkar scolds MP over fuel policy inquiry”, The Jakarta Post, 29 Juni
2008.
Hamilton, Lee H., How Congress Works and Why You Should Care,
Indiana University Press, Bloomington and Indianapolis, 2004.
Helms, Ludger, “Parliamentary party Groups and their Parties: A
Comparative Assessment”, The Journal of Legislative Studies, Vol.
6, No. 2, Summer 2000, hal. 104-120.
“House votes to review SBY’s fuel price policy”, The Jakarta Post, 25
Juni 2008.
Tatib Fraksi Greens/ European Free Alliance, Budget Item 4000, yang
diputuskan oleh Kelompok Greens/EFA di Parlemen Eropa pada
tanggal 28 September 2005.
“Kerangka Kerja Politik FKB-DPR RI: Kritis – Konstruktif – Solutif,
2007-2009”, Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI, 2007.
Kode Etik, Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI, Bogor, 5 Mei 2007.
Kode Etik Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jakarta,
February 2007.
“Laporan Kepada Rakyat”, Fraksi Oposisi DPR-RI, Masa Sidang IV,
Mai-Juli 2007, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,
DPR RI, 2007.
“Laporan Kepada Rakyat”, Fraksi Oposisi DPR-RI, Masa Persidangan
IV, Tahun Sidang 2006-2007 (Mei-Juli 2007), Masa Persidangan
I, Tahun Sidang 2007-2008 (Agustus-Oktober 2007), Masa
Persidangan II, Tahun Sidang 2007-2008 (Nopember-Desember
2007), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, DPR RI,
2007.
Lijphart, Arend, Presidential versus Parliamentary Government, Oxford
University Press, Oxford, 1992.
Loewenberg, Gerhard, “Parliamentarism in Western Germany: The
Functioning of the Bundestag”, The American Political Science
Review, Vol. 55, No. 1, Maret 1961, hal. 87-102.
McHugh, Declan and Philip Parvin, Neglecting Democracy:
Participation and representation in 21st Century Britain, The
Hansard Society, London, 2005.
Page, Donald, “Streamlining the Procedures of the Canadian House
of Commons, 1963-1966”, Canadian Journal of Economics and
Political Science, Vol. 33, No. 1, (Feb. 1967), hal. 27-49.
Parliament and Democracy in the Twenty-first Century: A guide to good
practice, Inter-Parliamentary Union, Geneva, 2006.

Peran Perwakilan Parlemen 39


Pedoman Tugas dan Tanggung-Jawab Pelaksanaan Sekretariat Fraksi
PDI Perjuangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Fraksi
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, DPR RI, Jakarta, 9 Januari
2005.
“Perang Berbayang Ketakutan”, Kompas, 5 Maret 2008
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
Sekretariat Jenderal DPR RI, 2005.
Peraturan Tata Tertib Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Februari 2007.
“Political Parties in the Legislature”, UNDP Technical Paper, http//www.
undp.org/ governance/ docs/ Parl-Pub-political.htm.
Tatib Parlemen Kosovo, 2003.
Tatib Fraksi European People’s Party and European Democrats di
Parlemen Eropa, Desember 2006.
Sistem dan Prosedur Kerja FKB DPR-RI, Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR
RI, Jakarta, Desember 2007.
Susunan Pimpinan Fraksi Kebangkitan Bangsa Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia Periode Tahun 2007-2009, Lampiran SK DPP PKB
Nomor 2462/ DPP-02/ IV/ A.I/ VIII/ 2007.
Tatib Bundestag Jerman, [Geschäftsordnung des Deutschen Bundestages],
31 Oktober 1990.
Tatib Dewan Perwakilan Rakyat Rumania, sejak tahun 2003.
Anggaran Dasar Fraksi The Greens/ European Free Alliance di Parlemen
Eropa, yang ditetapkan di Brussels, 8 Nopember 2006.
Tata Kerja Fraksi Partai Golongan Karya Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai
Golongan Karya Nomor KEP.77/ DPP/ GOLKAR/ XI/ 2007, Jakarta,
21 Nopember 2005.
Tenaga Ahli Fraksi DPR-RI, Sekretariat Jenderal, Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Mei 2008.
Thomas, Paul G., “The Role of House Leaders in the Canadian House of
Commons”, Canadian Journal of Political Science, Vol. 15, No. 1, (Mar.
1982), hal. 125-144.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Wahid, Hasanuddin, “Sistem Pelaporan Kegiatan Anggota DPR”,
Makalah Survei, Parliamentary Support Facility, UNDP, Jakarta, Juli
2008
40 Peran Perwakilan Parlemen
bab III

PERATURAN TATA TERTIB DPR RI:


PERAN PERWAKILAN ANGGOTA
DAN
KELEMBAGAAN DPR

Peran Perwakilan Parlemen 41


PENDAHULUAN

I Latar Belakang
Pasca Orde Baru, kinerja DPR menunjukkan peningkatan
dibanding era sebelumnya. Fungsi-fungsi DPR telah secara optimal
diimplementasikan. Di samping itu, pada era ini kebebasan berekspresi
menemukan momentumnya. Ketidakpuasan massa diekspresikan
dengan mengadakan berbagai unjuk rasa. Maraknya unjuk rasa
yang sering diwarnai dengan kekerasan mengindikasikan bahwa
masyarakat masih mencari saluran sendiri daripada mempercayakan
penyelesaian masalahnya kepada DPR. Hal ini juga mengindikasikan
bahwa tingkat kepercayaan publik kepada DPR masih rendah.

Rendahnya tingkat kepercayaan publik kepada DPR merupakan


pencerminan dari rendahnya kemampuan mayoritas Anggota DPR
menangkap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Kurang responsif
dan kurang sensifitasnya Anggota Dewan terhadap permasalahan
yang dihadapi publik menjadikan penilaian negatif publik terhadap
lembaga DPR yang ada selama ini masih tetap melekat pada anggota
DPR dan DPR secara kelembagaan.48

Jajak pendapat Kompas yang menyoroti kinerja DPR menyatakan


bahwa publik masih menyangsikan kualitas DPR dalam menjalankan
fungsi-fungsinya. Sejumlah 65,6% responden tidak puas dengan
fungsi legislasi yang dijalankan oleh DPR selama ini. Sebanyak 76,3%
responden mengaku tidak puas dengan kinerja DPR dalam mengontrol

48 Untuk sebagian penjelasan, situasi ini diakibatkan oleh peta politik Indonesia yang sifatnya masih elitis yang
dicirikan dengan masih memihaknya para elit terhadap kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan
masyarakat yang mereka wakili. Lihat Leo Suryadinata, Elections and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS,
2002), hal. 212-214.

42 Peran Perwakilan Parlemen


Pemerintah. Sementara 76,4% responden tidak puas dengan kinerja
DPR dalam menyalurkan aspirasi rakyat.49

Penyaluran aspirasi masyarakat kepada Anggota DPR, baik secara


individu dan DPR secara kelembagaan merupakan manifestasi dari
representasi anggota DPR sebagai wakil rakyat, serta DPR sebagai
institusi yang mewakili rakyat. Namun sampai saat ini, belum ada
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara
eksplisit tentang peran perwakilan/representasi DPR dan anggota
DPR.

Disamping itu, banyak keluhan masyarakat baik yang disuarakan


oleh LSM, mahasiswa maupun elemen masyarakat lain mengenai
sulitnya mereka ketika mengakses informasi ke DPR. Dalam
implementasi fungsi legislasi misalnya, partisipasi masyarakat hanya
diakomodasi pada tahap awal pembahasan yakni pada pembicaraan
tingkat satu pada saat hearing atau Rapat Dengar Pendapat Umum
(RDPU). Biasanya RDPU dilaksanakan pada tingkat Pansus. Namun
setelah itu, yakni pada pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja),
Panitia Perumus (Timus), dan di tingkat Tim Sinkronisasi (Timsin),
maka pembahasan suatu UU dilakukan secara tertutup. Pada level
ini, tertutuplah akses masyarakat terhadap aspirasi yang telah
disampaikan saat RDPU. Publik tidak mengetahui apakah pendapatnya
diakomodasi atau tidak. Barulah kemudian pada saat Rapat Paripurna
pengesahan RUU atau Pembicaraan Tingkat II, akses publik terbuka
lagi karena Rapat tersebut dilakukan secara terbuka.

Kasus terbatasnya akses publik terjadi juga dalam risalah rapat-


rapat di DPR. Risalah pembahasan suatu RUU ternyata tidak ada
batasan waktu kapan harus diselesaikan. Peraturan Tata Tertib DPR
tidak mengatur kapan risalah pembahasan RUU harus diselesaikan
dan kapan bisa diakses oleh masyarakat sebagai salah satu wujud
pertanggungjawaban DPR terhadap yang diwakilinya.

49 Kompas, 27 Agustus 2007.

Peran Perwakilan Parlemen 43


II Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apakah Peraturan Tata Tertib yang berlaku sekarang ini telah
merefleksikan prinsip-prinsip perwakilan/representasi ?
2. Apa saja prinsip-prinsip perwakilan/representasi yang seharusnya
tercermin di dalam Peraturan Tata Tertib DPR ?
3. Mengapa prinsip-prinsip perwakilan/representasi tersebut penting
dimasukkan dalam rumusan Peraturan Tata Tertib DPR ?
4. Bagaimana memasukkan prinsip-prinsip perwakilan representasi
itu dalam rumusan pasal-pasal Peraturan Tata Tertib DPR?

III Kerangka Pemikiran


Sesuai dengan namanya, DPR adalah lembaga yang mewakili
rakyat. Menurut Bintan Saragih, peran mewakili/merepresentasikan
rakyat ini wujudnya adalah menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat.50 Namun menurut Arbi Sanit, selain menampung dan
menyalurkan aspirasi, juga membela dan memperjuangkan aspirasi
masyarakat.51

Selanjutnya Bintan mengatakan bahwa DPR yang mengemban


peran perwakilan /representasi ini ibarat bendungan yang diharapkan
mampu menampung sebanyak mungkin air (masukan/aspirasi/
kepentingan masyarakat) untuk kemudian disalurkan melalui
macam-macam saluran sesuai kebutuhan masyarakat. Apabila DPR

50 Bintan Saragih, dalam diskusi terbatas dengan peneliti P3DI, 16 April 2008.
51 Arbi Sanit, FGD UNDP,

44 Peran Perwakilan Parlemen


tidak mampu menyalurkan air bendungan tersebut, maka saluran
akan mampet dan air akan mencari salurannya sendiri. Mampatnya
saluran ini mengakibatkan munculnya ketidakpuasan dan massa akan
mencarikan solusinya sendiri seperti ditunjukkan dengan maraknya
demonstrasi. Akibat lebih lanjut dari aksi-aksi demonstrasi tersebut
umumnya mengarah ke tindakan kekerasan.

Berawal dari menampung aspirasi rakyat, selanjutnya anggota


DPR dan DPR sebagai lembaga menyalurkannya/memperjuangkannya
melalui tiga fungsi DPR yakni fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan
fungsi anggaran. Menurut Arbi Sanit, fungsi representasi itu mendasari
tiga fungsi DPR.52 Melalui fungsi legislasi, maka dengan kesadaran
sebagai wakil rakyat yang dimiliki anggota DPR dan DPR sebagai
lembaga maka akan menggunakan hak-haknya menyalurkan aspirasi
dan kepentingan rakyat ke dalam pasal-pasal UU yang dibuatnya
bersama Pemerintah.

Melalui fungsi pengawasan, maka anggota DPR dan DPR sebagai


lembaga dalam kualifikasinya sebagai wakil rakyat melakukan
pengawasan yang bersifat politis. Adapun hal yang diawasi oleh
Anggota DPR dan DPR sebagai lembaga adalah yang berkenaan
dengan pelaksanaan UU yang telah dihasilkannya. DPR mengawasi
pula badan eksekutif dan yudikatif yang bertindak sebagai pelaksana
UU, apakah sudah tepat melaksanakan UU tersebut ataukah belum.

Terkait dengan fungsi anggaran, maka Arbi Sanit menegaskan:


“Justru karena Parlemen mewakili rakyat maka badan ini berwenang menentukan
pemasukan dan pengeluaran uang negara yang pada hakekatnya adalah uang
rakyat. Baik pembelanjaan negara yang diambil dari pajak sebagai sumbernya,
maupun yang berasal dari bantuan atau pinjaman luar negeri, semuanya tentulah
menjadi beban rakyat.” 53

Melalui fungsi anggaran, DPR menetapkan kebijakan perpajakan,


dengan memperhatikan kesesuaian kemampuan wajib pajak.
Selain itu, DPR menetapkan anggaran pengeluaran negara yang
operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintah. Pajak dan pengeluaran
52 Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 48 – 52.
53 Ibid, hal. 50.

Peran Perwakilan Parlemen 45


negara harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai
pembayar pajak dan pihak yang menanggung akibatnya apabila ada
kegagalan pemanfaatan anggaran yang telah ditetapkan oleh DPR.
Jadi, anggota DPR harus menjadikan peran sebagai representasi rakyat
dengan cara menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran
sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Sementara menurut John K. Johnson,54 bahwa fungsi dasar


parlemen adalah fungsi representasi, fungsi penyusunan UU, dan
fungsi pengawasan. Fungsi anggaran tidak dieksplisitkan di sini,
dengan asumsi bahwa fungsi anggaran sudah termasuk dalam fungsi
legislasi, karena persetujuan parlemen terhadap anggaran yang
diajukan pemerintah tertuang dalam bentuk UU APBN.

Maswadi Rauf dan Bintan Saragih juga sependapat dengan


Johnson, yang menggunakan istilah fungsi representasi di samping
tiga fungsi DPR yakni fungsi legislasi, pengawasan dan fungsi
anggaran. Menurut Maswadi Rauf, fungsi representasi di Parlemen
merupakan fungsi yang dijalankan oleh wakil rakyat sebagai pihak
yang bertindak atas nama rakyat dalam menjalankan pengawasan
terhadap lembaga eksekutif”.55

Namun demikian UUD 1945 pasca amandemen, serta perangkat


peraturan perundang-undangan lain yang mengatur tentang DPR
tidak menyebutkan adanya fungsi representasi. Fungsi representasi
tidak diatur secara eksplisit dan bukan diatur sebagai fungsi yang
berdiri sendiri dan terpisah dari tiga fungsi DPR.

Karena aspek representasi tersebut menjiwai atau melandasai


ketiga fungsi Dewan, maka dalam konteks ini aspek representasi/
perwakilan memayungi implementasi ketiga fungsi Dewan. Istilah
yang tepat digunakan dalam konteks ini adalah peran representasi/
perwakilan. Sementara istilah peran berarti “perangkat tingkah
yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam
masyarakat”.56

54 John K. Johnson, The Role of Parliament in Government, World Bank Institute, Washington, D.C., 2005, hal. 2.
55 Maswadi Rauf, FGD bertema ”Definisi dan Pinsip Representasi di Parlemen”, Hotel Ibis, tanggal 22 Mei 2008.
56 Kamus Besar Bahasa Indonesia.

46 Peran Perwakilan Parlemen


Selanjutnya, pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan memerlukan
aturan main. Di DPR, aturan main tersebut diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPR (Tatib DPR). Tatib merupakan aturan main yang
mendasari lembaga perwakilan tersebut berproses atau beraktivitas
dalam kerangka tugas kedewanan. Oleh karena itu, Tatib sangat
menentukan ruang gerak DPR. Tatib DPR yang berlaku sekarang
adalah Peraturan Tata Tertib yang tertuang dalam Keputusan DPR RI
No. 08/DPR RI/I/2005 – 2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI.

Terkait dengan peran perwakilan, maka Tatib DPR antara lain


menyinggungnya pada pasal 1 butir 5 yang menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan Anggota adalah; “............ wakil rakyat
yang telah bersumpah atau berjanji sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh
memperhatikan kepentingan rakyat.”

Demikian juga dalam bunyi sumpah anggota DPR yang tertuang


didalam Pasal 7 ayat (4) yang menyatakan bahwa; ”Demi Allah (Tuhan)
saya bersumpah: ............ bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi
rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi
kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia”.

Sementara itu pada Pasal 6 ayat (1) huruf l, menyatakan bahwa


DPR mempunyai tugas dan wewenang; “menyerap, menghimpun,
menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.” Peran
perwakilan anggota Dewan yang dirumuskan dalam bentuk
kewenangan untuk menerima dan menyalurkan aspirasi masyarakat
yang disejajarkan dengan kewenangan lain, menyebabkan fungsi
ini menjadi terkesampingkan. Apalagi bila aspirasi masyarakat yang
disampaikan ke DPR tidak mempunyai bobot politis yang tinggi, maka
akan tenggelam di antara kewenangan Dewan yang lain.

Dari perumusan terkait masalah menjaring dan menindaklanjuti


aspirasi masyarakat ini, maka perumusannya di Tatib DPR masih
salah arah. Semestinya Tatib DPR bisa merumuskan bagaimana
penyerapan/penjaringan aspirasi beserta tindaklanjutnya menjiwai/
melandasi aktivitas anggota Dewan dan kelembagaan DPR
dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Namun perihal menyerap,

Peran Perwakilan Parlemen 47


menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
hanya ditempatkan sebagai salah satu dari kewajiban anggota Dewan
dan DPR sebagai lembaga.

Peran perwakilan hendaknya diatur pada bagian awal Tatib setelah


bagian Ketentuan Umum. Hal ini dimaksudkan agar peran perwakilan
menjadi payung bagi pengaturan selanjutnya. Disamping itu, Tatib
DPR yang selama ini hanya mengatur hal-hal yang bersifat prosedural,
maka ke depan perlu mengatur juga tentang hal-hal yang bersifat
substansial terkait dengan substansi interaksi kedewanan.

Sementara itu, paralel dengan pemikiran Logemann bahwa


negara merupakan organisasi jabatan-jabatan, maka DPR merupakan
jabatan kolektif (Samengestelde Ambten).57 Samengestelde Ambten
berarti ”beberapa orang pejabat bergabung kedalam satu jabatan,
dan mereka tidak mewakili diri sendiri dalam jabatan itu, tapi mewakili
kepentingan jabatan.” 58

Sementara itu, fungsi jabatan terlihat dari keputusan yang dibuat


oleh jabatan tersebut.59 DPR sebagai lembaga kolektif yang pejabatnya
banyak, maka pengambilan keputusan harus ditempuh dengan cara
musyawarah mufakat, dan apabila tidak mencapai kesepakatan, maka
dilakukan dengan pemungutan suara.60 Sedangkan keputusan bisa
dibuat/diambil dalam semua jenis rapat DPR.61

Sementara itu, Pasal 206 menyatakan bahwa; ”Setiap rapat DPR


dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh
jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi.”
Jadi keterlibatan unsur fraksi merupakan hal yang penting dalam
pengambilan keputusan pada rapat-rapat di DPR.

57 Logemann Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 26
58 Ibid, hal. 27.
59 Ibid, hal. 27.
60 Lihat Bab XXVIII tentang Tata Cara Pengambilan Keputusan.
61 Termuat dalam Pasal 204 ayat (2) Tatib DPR. Sementara itu, jenis-jenis rapat di DPR adalah; Rapat Paripurna,
Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Fraksi, Rapat Pimpinan DPR, Rapat Badan Musyawarah, Rapat Komisi, Rapat
Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, Rapat BURT, Rapat BKSAP, Rapat Badan
Kehormatan, Rapat Panitia Khusus, Rapat Panitia Kerja atau Tim, Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan Rapat
Dengar Pendapat Umum.

48 Peran Perwakilan Parlemen


Dari perumusan Tatib yang masih menempatkan fraksi dalam posisi
yang kuat, maka penilaian Muchtar Pakpahan tentang Peraturan Tata
Tertib DPR yang berlaku pada masa Orde Baru ternyata masih relevan
untuk menilai keberadaan Tatib DPR saat ini. Pakpahan mengatakan
bahwa:
”Menurut Tata Tertib, maka keanggotaan DPR bukanlah keanggotaan yang aktif
(personnel active) akan tetapi partai atau fraksi yang aktif (faction active). Artinya
pendekatan yang berlaku adalah pendekatan struktural, sehingga aktivitas pribadi
dalam DPR harus dipandang sebagai aktivitas kelompok atau fraksi. Pendapat pribadi
tidak mempunyai arti walaupun mempunyai kebenaran dan mendapat dukungan
dari rakyat, bila sebaliknya yang diputuskan oleh kelompok atau fraksi. Pola ini pula
yang mendasari Peraturan Tata Tertib DPR.” 62

Terkait dengan konsep representasi (perwakilan), menurut


Maswadi Rauf konsep tersebut memerlukan akuntabilitas dari wakil
rakyat terhadap rakyat yang diwakili. Akuntabilitas wakil rakyat adalah
pertanggungjawaban anggota DPR kepada para konstituen, dengan
menjalin kontak secara langsung dan berkala. Dengan demikian,
konstituen dapat mengawasi wakil mereka di DPR.” 63 Oleh karena itu,
setiap aktivitas yang dilakukan Anggota Dewan perlu diinformasikan
kepada rakyat, serta membuat laporan kepada konstituennya.
Misalnya, aktivitas Dewan melakukan kunjungan kerja ke daerah
pada saat reses, maka Anggota Dewan perlu memberikan informasi
kepada publik dan melaporkan ke konstituen tentang apa yang telah
dilakukan beserta hasilnya.

Di samping itu, Tatib yang merefleksikan peran perwakilan


semestinya membuka peluang bagi rakyat/konstituen untuk terlibat
dalam setiap proses di lembaga perwakilan tersebut. Prinsip partisipasi
dan keterbukaan terhadap ide/aspirasi dari rakyat/konstituen akan
diakomodasi dalam perumusan Tatib tersebut. Partisipasi masyarakat
dalam proses kegiatan di DPR dimungkinkan pada setiap tahapan-
tahapan persidangan selama proses tersebut berlangsung. Aspirasi
tersebut hendaknya diakomodasi, dan untuk itu Tatib hendaknya
mengatur mekanismenya.

62 Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 174-175
63 Prof. Maswadi Rauf, FGD bertema ”Definisi dan Pinsip Representasi di Parlemen”, Hotel Ibis, tanggal 22 Mei
2008

Peran Perwakilan Parlemen 49


Selain itu, Tatib juga harus mengatur tentang transparansi bagi
publik untuk mengakses proses kegiatan Dewan serta produk-
produk Dewan. Rapat-rapat/persidangan di DPR hendaknya terbuka
untuk publik. Adapun rapat-rapat Dewan yang dinyatakan tertutup
haruslah disertai dengan alasan-alasan kenapa rapat tersebut bersifat
tertutup.

Di samping itu, Tatib hendaknya mengatur tentang keterbukaan


bagi publik untuk mengakses produk-produk Dewan. Tatib harus
mengatur berapa lama sebuah produk harus diselesaikan, dan kapan
bisa diakses publik. Publik hendaknya mendapat jaminan kemudahan
dalam mengakses produk-produk tersebut. Di samping produk-
produk tersebut didokumentasikan oleh Sekretariat DPR, maka pada
era ini hendaknya produk-produk Dewan juga bisa diakses melalui
jaringan internet.

Dalam tradisi demokrasi, maka segala hal dilakukan perbaikan


secara terus menerus. Perbaikan berarti pembaruan terus menerus
di dalam setiap sistem.64 Dalam konteks DPR, maka hendaknya
selalu dilakukan pembaruan misalnya dalam meningkatkan kualitas
UU, peningkatan kualitas pelayanan dari Sekretariat DPR dan lain
sebagainya. Untuk mewujudkan peran representasi menjadi landasan
tiga fungsi DPR tersebut maka perlu ada perbaikan Tatib DPR yang
mampu merefleksikan peran perwakilan/representasi dalam
pengaturan fungsi-fungsi beserta mekanisme kerja Dewan.

64 Apter, op-cit, hal. 270

50 Peran Perwakilan Parlemen


IV Metode Penelitian

Strategi Penelitian
Secara akademis, upaya untuk menjadikan fungsi representasi
terakomodasi dan masuk ke dalam Tatib DPR, dapat didekati dengan
menggunakan strategi kajian studi kasus. Sebagai sebuah kajian
yang diharapkan dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi yang
sifatnya praktis, maka strategi kajian studi kasus ini mengedepankan
dua pertanyaan dasar yakni “how” dan “why” dengan fokus kajiannya
pada peristiwa-peristiwa yang terjadi selama ini.65 Strategi kajian
ini terlihat memiliki kesamaan dengan strategi penelitian historis.66
Namun demikian, hal yang membedakannya dengan penelitian
historis adalah bahwa strategi studi kasus menawarkan dua sumber
bukti yang tidak biasa ditemukan dalam studi historis yakni observasi
langsung dan wawancara sistematis. Dengan kata lain, kedua strategi
ini terlihat saling tumpang tindih tetapi kekuatan unik studi kasus
ini terletak pada kemampuannya untuk mengolah serangkaian
bukti yang bersifat variatif seperti dokumen, artifak, wawancara, dan
observasi, sesuatu yang kecil kemungkinannya dapat dilakukan dalam
strategi kajian historis. Dengan mengedepankan dua pertanyaan
dasar itu, akhirnya dapat disajikan sebuah kajian akademis dengan
tujuan mencapai suatu kesimpulan dasar sebagai dasar perumusan
serentetatan rekomendasi yang diharapkan sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan.

65 Robert K. Yin, Case Study Research, Design and Method, (2nd ed.), Sage Publication, 1994, hal. 6-9.
66 Ibid., hal. 9.

Peran Perwakilan Parlemen 51


Bahan dan Teknik Pengumpulan Data

Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam kajian ini, yaitu:
a. Data Primer :
(1) Lemahnya kinerja fungsi perwakilan anggota DPR RI selama ini;
(2) Peraturan Tata Tertib DPR RI, dan
(3) Dampak tidak inherennya prinsip-prinsip perwakilan dalam
Tatib berdasarkan kinerja DPR selama ini sebagai parameter
penilaian.
(4) Hasil wawancara mendalam dengan anggota DPR yang selama
ini terlibat aktif dalam penyusunan maupun perubahan Tatib
DPR RI.
b. Data Sekunder:
Tatib, Rules of Procedure atau Standing Orders salah satu parlemen
negara lain secara purposif, kajian-kajian teoritis yang terkait
dengan fungsi dan peran parlemen, sejumlah artikel dan hasil
penelitian lainnya yang terkait dengan fungsi, peran dan kinerja
parlemen.
Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik:
a. Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan permasalahan kajian. Dokumen
ini dapat berbentuk peraturan perundang-undangan seperti
dalam bentuk UU, Tatib dan sumber-sumber data terkait lainnya,
dokumen-dokumen administratif dan sejumlah hasil penelitian
resmi.
b. Wawancara mendalam dengan anggota DPR yang selama ini
terlibat aktif dalam penyusunan maupun perubahan Peraturan
Tata Tertib DPR RI dan akademisi yang berkompeten yang dipilih
secara purposif.

52 Peran Perwakilan Parlemen


Analisis Data
Sebagai persoalan kebijakan, maka penelitian ini menggunakan
metode penyelesaian masalah legislatif dengan mengedepankan
setidak-tidaknya empat langkah yang terhubung secara logis.67
Namun demikian, karena sifat kajian ini akan berhenti pada penyajian
rekomendasi maka hanya tiga tahapan metode analisis yang pertama
yang akan dipakai dalam penelitian ini:
(1) Mengidentifikasi masalah
Dalam tahapan ini, identifikasi masalah bertujuan untuk memahami
sifat dan ruang lingkup masalah yang dihadapi. Dalam tahapan ini,
dua hal akan dilakukan yakni (a) mencari fakta-fakta dasar dan spesifik,
dan (b) bentuk-bentuk perilaku apa yang dianggap menjadi masalah
sosial dan mencari siapa saja yang menjadi aktor termasuk di dalamnya
lembaga-lembaga pelaksananya, atas perilaku yang menyimpang atau
menciptakan masalah sosial tersebut.
(2) Mendesain dan memperkuat penjelasan
Dalam rangka membantu penyelesaian masalah, akan diusulkan
suatu aturan main publik yang diyakini akan mampu merubah dan
mengeliminasi serangkaian penyebab (dalam bentuk penjelasan) atas
masalah tersebut. Untuk lebih memperkuat, akan dilibatkan pihak-
pihak lain yang sejalan untuk membantu menjelaskan perilaku-perilaku
tersebut dan menunjukkan bahwa penjelasan mereka terbukti konsisten
dengan bukti-bukti yang ada.
(3) Mengusulkan sebuah solusi dalam bentuk sejumlah rekomendasi.

Setelah mendapatkan fakta-fakta yang diyakini akan memperkuat


penjelasan terhadap masalah-masalah yang ada, lalu dilakukan
penilaian untuk menentukan bahwa secara logis suatu aturan main
publik baru---terutama sisi implementasinya---besar kemungkinan
akan merubah atau mengeliminasi penyebab-penyebab masalah dan
akan menginduksi pola-pola perilaku yang diinginkan. Dalam tahapan
ini, juga akan dilakukan solusi alternatif termasuk di dalamnya dengan
menunjukkan kekuatan dan kelemahannya dibandingkan dengan
usulan pengkaji.

67 “Legislative Theory and Methodology: The Key to a Legislator’s Tasks”, Manual for Legislators, tt., hal. 68-69.

Peran Perwakilan Parlemen 53


V Hasil Kegiatan
Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan kajian dan
rekomendasi kebijakan tentang:
1. Arti pentingnya memasukkan prinsip perwakilan/representasi
dalam Tatib DPR.
2. Arti pentingnya pengaturan tentang mekanisme penjaringan
aspirasi masyarakat secara lebih tegas yang diatur dalam Tatib
dalam rangka optimalisasi partisipasi dan kontrol masyarakat
terhadap parlemen.
3. Hal-hal apa saja yang mencerminkan prinsip-prinsip perwakilan/
representasi yang seharusnya diatur dalam Tatib DPR.
4. Bagaimana hal-hal yang mencerminkan prinsip-prinsip perwakilan/
representasi seharusnya diatur dalam Tatib DPR.
5. Mengapa hal-hal yang mencerminkan prinsip-prinsip perwakilan/
representasi harus diatur dalam Tatib DPR.

VI Tujuan dan Pengguna


Hasil Kegiatan
Kegiatan ini bertujuan untuk:
1. Menyusun kajian tentang peran perwakilan/representasi dalam
perbaikan dialog kebijakan parlemen dan implikasinya terhadap
hajat hidup masyarakat.
2. Mendiskusikan dan menyamakan persepsi tentang pentingnya
peran perwakilan/ representasi dalam parlemen dan bagaimana
hal itu ditegaskan dalam Tatib DPR.
3. Melakukan dialog dengan Panitia Khusus revisi Tatib DPR dalam hal
mengintegrasikan peran perwakilan/representasi dalam Tatib DPR.

54 Peran Perwakilan Parlemen


Sementara itu, pengguna hasil kajian peran perwakilan/
representasi dalam Tatib DPR antara lain:
1. Panitia Khusus Revisi Tata Tertib DPR
2. Anggota DPR dari 10 fraksi
3. Staf Fraksi
4. Tenaga Ahi Fraksi

VII Jadwal Pelaksanaan


No. Kegiatan April Mei Juni
1 Penyusunan Proposal X X X X X X X X X X X
2 Diskusi Terbatas X
3 Pengkajian Literatur X X X X X X
Pendukung dan Tatib, serta
Penyusunan Rekomendasi
4 Seminar Hasil Kajian X
5 Penyusunan Final Report X X X
8 Penyerahan Hasil Kajian ke X
UNDP

Peran Perwakilan Parlemen 55


PERAN PERWAKILAN
ANGGOTA DPR DALAM PERATURAN
TATA TERTIB KOMPARATIF

Sejalan dengan hasil amandemen UUD 1945 yang memberikan


peran yang lebih besar dalam pembentukan undang-undang, DPR
dihadapkan pada tuntutan untuk meningkatkan kinerja peran
perwakilannya dalam menjalankan tiga fungsi konstitusionalnya di
bidang legislasi, pengawasan dan anggaran. Dalam bidang legislasi,
undang-undang yang telah dihasilkan DPR ternyata belum memenuhi
target kuantitas berdasarkan prioritas yang telah ditetapkan
dalam Prolegnas. Secara kualitas, undang-undang yang dihasilkan
belum sepenuhnya memberikan manfaat secara langsung kepada
kepentingan masyarakat banyak dan terbatasnya akses masyarakat
dalam setiap proses pembahasan RUU.

Kasus yang sama juga ditemukan dalam bidang pengawasan dan


anggaran. Di bidang pengawasan, persoalannya masih berkutat pada
rendahnya efektifitas pengawasan DPR dan mekanisme penyerapan
aspirasi masyarakat yang sering hanya menjadi kumpulan masukan-
masukan yang tidak pernah jelas tindaklanjutnya. Sementara di
bidang anggaran, persoalannya terletak pada lemahnya perencanaan
anggaran, efektifitas dan efisiensi alokasi pembelanjaan bagi
pemenuhan kebutuhan publik.68

Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya,


upaya untuk melihat sejauhmana peran perwakilan anggota DPR
baik secara kelembagaan maupun individual sebagai wakil rakyat,
maka kita perlu melihat konteks kelembagaan Tatib di mana anggota

68 Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI tanggal 23 Februari 2007, diakses dalam www.parlemen.
net pada tanggal 18 Juni 2008.

56 Peran Perwakilan Parlemen


DPR harus menjalankan perannya.69 Untuk maksud tersebut, kiranya
menjadi kebutuhan dalam rangka mengkaji dinamika perkembangan
pelaksanaan fungsi perwakilan DPR secara komparatif, bagaimana dan
sejauh mana peran perwakilan telah dilakukan berdasarkan konteks
Tatib dari waktu ke waktu.

Namun demikian, untuk alasan terbatasnya ruang lingkup


pembahasan, pada bagian ini akan melihat perkembangan konteks
rezim Tatib secara periodik kemudian dijabarkan dalam bagian
berikutnya sejauh mana masing-masing dapat memberikan ruang
gerak politis bagi setiap anggota DPR baik secara individual maupun
kelembagaan dalam menjalankan fungsinya selama ini.

Diakui bahwa penyempurnaan Tatib DPR hanyalah salah satu


dimensi upaya peningkatan kinerja DPR yang bermuara pada
peningkatan aktualisasi fungsi kepentingan masyarakat yang harus
dijalankan oleh anggota DPR sebagai wakil rakyat.70 Sebagai unsur
superstruktur bagi masing-masing anggota DPR berinteraksi satu
sama lain dalam memperjuangkan kepentingan mereka, kelembagaan
Tatib tetap memiliki memiliki peran sentral dalam melingkungi
proses kebijakan DPR dan mempengaruhi bagaimana setiap aktor
mencapai kepentingan dan gagasan-gagasan mereka. Dari gagasan
seperti inilah akhirnya dapat dipetakan persoalan-persoalan yang
selama ini muncul dalam melihat kinerja DPR secara individual dan
kelembagaan.

Untuk memudahkan pembabakannya, akan dibedakan


berdasarkan pada kelembagaan Tatib dalam setiap kurun waktu
menurut periodisasi kerja lembaga perwakilan rakyat dan landasan

69 Masing-masing kelompok atau kelas membawa kepentingan tetapi cara di dalam mana mereka
menginterprestasikan dan mencapai kepentingan mereka dan hasil (outcome) upaya mereka ditentukan oleh
faktor-faktor kelembagaan. Dalam interaksi di antara mereka, mereka sering menyerah atau memodifikasi
tujuan-tujuan mereka sebagai ganti atas konsesi yang diterimanya dari pihak lain. Interaksi-interaksi ini tentunya
terjadi dalam konteks aturan-aturan atau bentuk-bentuk kelembagaan yang melingkungi proses pembuatan
kebijakan dan mempengaruhi bagaimana setiap aktor mencapai kepentingan mereka dan dalam batas-batas
mana upaya-upaya itu berhasil (Michael Howlett and M. Ramesh, 1995: 51).
70 Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, tanggal 23-2-2007, naskah diproses oleh PSHK dan
ditampilkan di www.parlemen.net, diakses tanggal 17 Juni 2008. Bandingkan juga dengan Bivitri Susanti,
”Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi”, makalah seminar di The Habibie Centre, 8 Maret 2007, naskah
diproses oleh PSHK dan ditampilkan di www.parlemen.net, diakses tanggal 18 Juni 2008.

Peran Perwakilan Parlemen 57


konstitusi yang berlaku pada saat itu.71 Secara sederhana, pembabakan
dinamika kelembagaan peran perwakilan anggota DPR dan DPR
sebagai lembaga akan dikelompokkan ke dalam tiga periode rezim
pemerintahan yakni: (1) periode awal kemerdekaan dan era rezim
Orde Lama; (2) periode Orde Baru; dan (3) periode reformasi. Dalam
tiga kelompok periode tersebut masing-masing akan disajikan salah
satu contoh kelembagaan Tatib yang diambil secara purposif.

Peran Perwakilan
dalam Tatib
A
Tatib DPR Periode Awal Kemerdekaan
s.d. Orde Lama
Dalam periode yang berlangsung dari tahun 1947 s.d. 1966,
kelembagaan DPR mengalami evolusi dari masa Komite Nasional
Pusat (KNP) dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNP)
sampai dengan sistem kelembagaan negara dan konstitusi negara
yang berbeda-beda yakni semasa RIS, semasa negara menggunakan
konstitusi UUDS, UUD 1945 sampai pada masa ketika Partai Komunis
Indonesia dilarang pada akhir era Orde Lama.

Dalam periode ini, sejumlah Tatib dipakai antara lain Tatib KNP dan
BK-KNP, Tatib Periode DPR dan Senat RIS, Tatib Periode DPR Sementara
(1950-1956), Tatib Periode DPR Hasil Pemilu 1955 (1966-1959), Tatib
Periode DPR Hasil Pemilu 1955 (1959-1960) yang didasarkan pada
UUD 1945, Tatib Periode DPR GR Orde Lama (1960-1965) dan Tatib
Periode DPR GR Minus PKI (1965-1966).

Pada periode awal kemerdekaan, cikal bakal lembaga DPR (KNP),


71 Himpunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Setjen DPR RI, 1984, hal. i.

58 Peran Perwakilan Parlemen


terdapat dua Peraturan Tata Tertib (Tatib) yakni yang dipakai oleh KNP
dan BP-KNP. Tatib KNP disahkan oleh BP-KNP pada tanggal 1 Desember
1949 terdiri dari 7 Bab, 32 Pasal, 65 ayat. Sementara itu, Tatib BP-KNP
disahkan oleh rapat BP-KNP tanggal 10 Juni 1947, terdiri dari 9 Bab, 62
Pasal, 120 ayat.

Dimensi fungsi perwakilan anggota dapat dilihat dari beberapa


pengaturan yang menyangkut masalah prosedural maupun
substansial. Satu hal yang menarik adalah bahwa meskipun fungsi
seksi (sekarang komisi) tidak menjadikan fungsi mendengar suara
rakyat dan menerima rakyat dalam masa sidang sebagai kewajiban
yang paling tinggi (Pasal 22 Tatib BP-KNP), pelembagaan komunikasi
langsung dengan rakyat dalam masa sidang diatur dalam bab
tersendiri (Bab VIII tentang Tentang Perhubungan Dengan Rakyat,
Tatib BP-KNP).

Beberapa aspek fungsi perwakilan lain, terlihat dalam pola


pengambilan keputusan yang menempatkan setiap individu anggota
KNP memiliki otonomi penuh dalam mengambil sikapnya seperti
ditunjukkan dengan pelembagaan pemungutan suara setelah
perdebatan suatu agenda kegiatan. Kedaulatan preferensi politik
individual dalam setiap pengambilan keputusan juga terlihat dalam
hal pengajuan usul, minta keterangan kepada pemerintah atas
soal tertentu dan hak angket (Tatib KNP, Bab VII tentang Tentang
Memajukan Usul dan Lain-Lain Oleh Anggota, Pasal 29-32; Pasal 39,
Pasal 48-59 Tatib BP-KNP). Aspek akuntabilitas pelaksanaan fungsi
perwakilan terlihat dalam mekanisme dan waktu bicara dalam
forum rapat. Dalam kedua Tatib tersebut ditegaskan bahwa untuk
menghindari berlarut-larutnya pembicaraan dan menjaga efektifitas
peran anggota dalam proses pengambilan keputusan di DPR, ketua
rapat memiliki kewenangan untuk mengarahkan peserta sidang
untuk berbicara secara proporsional sesuai dengan topik dan dalam
rentang waktu yang dibatasi (Pasal 13 dan Pasal 15 Tatib KNP; Pasal 4
Tatib BP-KNP). Hal lain terlihat dalam kewajiban bagi setiap anggota
untuk menghadiri sidang kecuali ada alasan yang bisa diterima (Pasal
9 ayat (2) Tatib KNP; Bab IV Pasal 25 dan Pasal 27 Tatib BP-KNP).

Peran Perwakilan Parlemen 59


Namun demikian ada satu hal yang boleh jadi mengilhami
perumusan Tatib masa-masa setelah itu yakni tentang adanya hal
--yang menurut kajian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan-- yang
bertentangan dengan logika demokrasi yakni pengaturan tentang
terbatasnya akses rakyat terhadap forum-forum rapat panitia kerja
yang dinyatakan tertutup (Bab III tentang Tentang Panitia, Pasal 5 ayat 6).

Aspek lain terlihat dalam aspek keadilan pembagian keanggotaan


dalam setiap panitia/komisi yang harus mempertimbangkan
perwakilan berdasarkan aliran [politik] dalam Badan Pekerja KNP
tanpa melihat pengelompokkan kekuatan-kekuatan politik seperti
sekarang terlihat dalam sistem fraksi (Pasal 14 ayat 3 Tatib BP-KNP).

Berikutnya adalah Tatib Periode DPRS dan Senat RIS. Tatib pada
periode ini terbagi ke dalam dua kelembagaan yakni DPR Sementara
dan Senat RIS. Tatib DPRS disahkan penggunaannya berdasarkan SK
DPRS No. 30/K/1950 tentang Tatib DPRS. Tatib ini terdiri dari 10 Bab
135 Pasal. Sementara Tatib Senat yang disahkan pada tanggal 22
Februari 1950 terdiri dari 15 Bab, 127 Pasal.

Beberapa pengaturan tentang peran perwakilan, dapat dilihat


dari beberapa aspek sebagai berikut. Aspek kelembagaan internal
DPRS misalnya, dapat dilihat dari keanggotaan Panitia Musyawarah
(sekarang Bamus) yang menegaskan perlunya semua aliran masuk
dalam panitia ini (Pasal 25 ayat (2)). Hal yang sama terjadi dalam
kasus pembentukan keanggotaan keorganisasian ”Bagian” yang
menegaskan bahwa Panitia Musyawarah harus menempatkan
keanggotaan Bagian-Bagian dengan mempertimbangkan perwakilan
semua aliran dan keinginan anggota itu sendiri (Pasal 30).72 Namun
satu hal kontradiktif dengan peran perwakilan sejati adalah justru
keanggotaan seksi (komisi) ditunjuk oleh DPR dengan memperhatikan
keinginan fraksi-fraksi (Pasal 28 ayat (3)).

Sementara itu, penegasan peran perwakilan dapat dilihat dari


pengaturan tentang kewajiban seksi (komisi) untuk ”mendengar suara
72 Namun demikian, perlu dikaji apakah yang dimaksud dalam kata ”aliran” merujuk pada apa yang dikenal
sebagai fraksi dalam konteks pengelompokan kekuatan politik berdasarkan hasil pemilu di DPR seperti masa
sekarang ini.

60 Peran Perwakilan Parlemen


rakyat” dan melakukan penyelidikan atas peristiwa-peristiwa penting
atas inisiatif seksi dan putusan DPR meskipun penempatannya setelah
kewajiban-kewajiban lain (Pasal 29 huruf d dan e).

Dalam konteks akuntabilitas politik, efektifitas dan efisisensi kerja


DPR, peran perwakilan anggota DPR dapat dilihat dalam pelaksanaan
hak-hak DPR yang tidak mengharuskan adanya campur tangan fraksi,
dan dalam pelaksanaan hak angket DPR juga diatur kapan harus
selesai (Pasal 92-128). Hal lain terlihat dalam konteks akses masyarakat
terhadap produk-produk DPR yang dapat dilihat adanya keharusan
untuk melampirkan pertanyaan-pertanyaan dan jawabannya sebagai
lampiran risalah rapat dalam pelaksanaan hak bertanya (Pasal 107).
Pengaturan yang kurang lebih sama atas peran perwakilan yang harus
dijalankan oleh anggota DPR dan DPR dapat ditemukan pula dalam
Peraturan Tatib Senat RIS.

Selanjutnya adalah Tatib DPR Periode Hasil Pemilu 1955 (1956-


1959). Tatib yang terdiri dari 10 Bab dan 158 Pasal ini disahkan dalam
rapat paripurna terbuka pada tanggal 9 Oktober 1959. Dalam Tatib ini,
pengelompokkan anggota ke dalam fraksi mulai dilembagakan (Bab
IX), sebuah pelembagaan yang secara filosofis bertentangan dengan
kedaulatan anggota DPR dalam menjalankan perannya. Hal lain
adalah dimulainya pelembagaan pembagian tahun sidang ke dalam
empat masa sidang dan pelembagaan pidato presiden dalam masa
pembukaan masa sidang pertama di DPR yang disertai dengan pidato
pengantar nota keuangan pemerintah (Pasal 97).

Secara kelembagaan, DPR mulai memperkuat alat-alat


kelengkapannya dengan sifat pengisian keanggotaannya dengan
melibatkan fraksi seperti Panitia Rumah Tangga (Pasal 20), Komisi-
Komisi (Pasal 22), Panitian Anggaran (Pasal 26) dan Panitia Khusus
(Pasal 28). Pengisian keanggotaan alat kelengkapan DPR lainnya
memiliki korelasi dengan peran perwakilan dan kedaulatan
anggota seperti dalam pengisian anggota Panitia Musyawarah yang
mempertimbangkan keinginan anggota itu sendiri (Pasal 18 ayat 2).
Sementara pengisian keanggotaan yang mengharuskan keterlibatan
pertimbangan fraksi dan pertimbangan anggota itu sendiri sekaligus
terjadi dalam pengisisan keanggotaan Komisi.
Peran Perwakilan Parlemen 61
Penegasan peran perwakilan dalam bingkai kelembagaan alat
kelengkapan DPR setidaknya dapat dijumpai dalam tugas komisi yang
menyebutkan adanya keharusan untuk mendengarkan suararakyat
(Pasal 24 huruf c).73 Hal lain terjadi dalam hal pelembagaan
komunikasi dan akses masyarakat terhadap apa yang dilakukan di
komisi yakni adanya penegasan bahwa pembicaraan dalam komisi
harus dicatat sementara setelah rapat komisi berakhir dalam waktu
2x24 jam untuk dikoreksi pembicara dan dalam kurun waktu 2x24 jam
setelah itu catatan final harus diberikan kepada anggota dan pihak
eksekutif. Untuk memperkuat akuntabilitas anggota dan kontrol
masyarakat terhadap para wakilnya, dalam catatan komisi itu harus
mencantumkan nama-nama anggota yang tidak hadir. Kasus yang
sama dalam risalah rapat dalam rapat DPR dengan pemerintah yang
mengharuskan pencatuman nama-nama anggota yang setuju atau
tidak setuju dalam hal terjadi pemungutan suara (Pasal 122). Namun
demikian, dalam jangka pendek catatan ini tidak boleh diumumkan
kepada masyarakat (Pasal 45).

Aspek signifikan lain dalam konteks peran perwakilan dapat dilihat


dalam pelaksanaan hak-hak DPR yang tidak melibatkan keterlibatan
fraksi seperti dalam pelaksanaan hak bertanya (Pasal 71), meminta
keterangan (Pasal 73 ayat (1)), hak angket (Pasal 77) dan usulan
perubahan terhadap RUU yang sedang dibicarakan (Pasal 83). Satu
hal menarik adalah bahwa dalam hal terjadi pelaksanaan hak angket,
pengajuan hak ini juga harus menjelaskan perincian biayanya, sebuah
format pelembagaan akuntabilitas bagi kegiatan DPR terhadap
penggunaan anggaran publik.74 Untuk alasan efektifitas dan efisiensi,
setiap rapat dengan pemerintah juga dibatasi maksinmal 10 menit
sehingga dapat menghindari berlarut-larutnya dan tidak fokusnya
pembicaraan agenda rapat.

73 Bunyi Pasal 24 huruf c adalah: ”Kewajiban Komisi-komisi ialah mendengarkan suara rakyat (public hearing)
dalam hal-hal yang masuk urusan Komisi masing-masing, antara lain dengan memperhatikan surat-surat, yang
disampaikan kepada DPR dan menerima pihak-pihak yang berkepentingan”.
74 Pengaturan ini telah diakomodasi ke dalam semua Tatib setelah masa itu sampai sekarang, meskipun ironisnya
keterbatasan akses masyarakat terhadap hasil angket, rancangan dan pembiayaannya sampai sekarang masih
terjadi.

62 Peran Perwakilan Parlemen


Memasuki masa rezim Orde Lama, terdapat tiga Tatib yang
dipakai dalam masa itu yakni Tatib periode DPR Hasil Pemilu 1955
(1959-1960)---berdasar UUD 1945, Tatib Periode DPR GR Orde Lama
(1960-1965), dan Tatib Periode DPR GR Minus PKI (1965-1966). Dari
ketiga Tatib tersebut, kita ambil sebagai sampel beberapa pengaturan
tentang aspek peran perwakilan anggota DPR kira-kira sama
dengan yang telah ditemukan dalam Tatib-Tatib sebelumnya seperti
dalam pengisian keanggotaan alat kelengkapan DPR yang harus
memerhatikan kepentingan golongan, tata acara /prosedur beracara
DPR yang sejalan dengan Tatib-Tatib sebelumnya dan masalah
pelaksanaan hak dan kewajiban anggota DPR dan (alat kelengkapan)
DPR dalam menjalankan ketiga fungsi konstitusionalnya dalam
bidang legislasi, anggaran dan pengawasan. Hanya saja dalam ketiga
Tatib ini, kewenangan DPR masih di bawah bayang-bayang kekuasaan
subordinatif pemerintah di bawah kekuasaan Presiden Sukarno.
Dasar hukum Tatib-Tatib tersebut masih Peraturan Presiden (Perpres).
Kasus yang sama terjadi dalam tata cara pengambilan keputusan
misalnya yang dalam hal tidak mencapai kesepakatan (mufakat),
berbagai pendapat anggota DPR disampaikan kepada presiden
untuk kemudian presidenlah yang akhirnya mengambil keputusan
(Pasal 103, periode DPR Hasil Pemilu 1955 masa jabatan 1959-1960).
Terkait dengan kedudukan anggota DPR GR yang masih di bawah
subordinasi kewenangan kekuasaan presiden karena mereka diangkat
dan diberhentikan oleh presiden selaku mandataris MPR/PBR (Pasal
2 ayat (1) Peraturan Presiden RI No. 28 Tahun 1960 tentang Tatib
Pengubahan), maka pelaksanaan sumpah janji di hadapan presiden
yang isi sumpahnya ditetapkan berdasarkan Penetapan Presiden
(Pasal Pasal 2, Peraturan Presiden RI No. 32 Tahun 1964 tentang
Peraturan Tatib Periode DPR GR). 75

75 Pasca-G30S/PKI, Tatib DPR-GR fase terakhir memasuki awal era Orde Baru, tata cara pemilihan Pimpinan DPR
dilakukan perubahan mendasar setelah keluarnya Keputusan DPR-GR No. 30/DPR-GR/IV/65-66 tanggal 17
Mei 1966 tentang Peraturan Tatib Pemilihan DPR di mana pemilihan pimpinan diatur oleh mekanisme dan
berdasarkan kekuatan masing-masing golongan di DPR.

Peran Perwakilan Parlemen 63


B
Tatib DPR Periode Orde Baru
Memasuki masa-masa awal menuju dimulainya Tatib DPR hasil
pemilu 1971 dan pemilu periodik lima tahunan berikutnya, lahirlah
Tatib perintisan Orde Baru (Peraturan Tatib DPR-GR berdasarkan
Keputusan DPR-GR No. 10/DPR-GR/III/1967-1968), yang mulai
melembagakan penguatan fraksi yang di dalamnya mengatur
tentang kewajiban setiap anggota DPR untuk menjadi anggota fraksi
dan untuk alasan efisiensi diharuskan penyatuan fraksi-fraksi kecil ke
dalam suatu fraksi baru (Pasal 10 ayat 3; Pasal 13). Setelah masa ini,
Tatib yang dipakai berdasarkan mekanisme internal kelembagaan
DPR hasil pemilu periode lima tahunan dari pemilu 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, 1997 sampai berakhirnya periode pemerintahan Orde
Baru pada tahun 1998.

Selama kurun waktu periode ini, karakteristik dasar Tatib


tidak banyak berubah dengan periode sebelumnya dalam hal
pengakomodasian terhadap peran perwakilan anggota DPR sebagai
individu dan lembaga. Perbedaannya terletak pada konteks politik
yang lebih mengarah pada satu kekuatan politik yaitu Fraksi Karya
Pembangunan yang mendominasi proses tata cara dan dalam setiap
pengambilan keputusan yang mencerminkan kepanjangan tangan
kekuasaan Orde Baru. Akibatnya, dalam situasi peran fraksi begitu
kuat dalam melakukan fungsinya, setiap pengambilan keputusan
dalam forum DPR masih diwarnai oleh kedaulatan fraksi daripada
kedaulatan anggota. Begitu kuatnya peran fraksi, sampai-sampai ia
menjadi bagian dari alat kelengkapan DPR seperti dapat ditemukan
misalnya, dalam Pasal 3 (2), Tatib No. 10/DPR-RI/III/1982-1983.

Pelembagaan peran perwakilan DPR yang langsung berkaitan


fungsi penyerapan aspirasi rakyat misalnya baru terlihat menjelang
berakhirnya kekuasaan Orde Baru yaitu pada akhir 1997 melalui Tatib
tahun 1997-1998 (Bab XV) dan dalam Tatib-tatib sesudah masa itu.

Namun demikian, persoalan penguatan peran perwakilan anggota


DPR dalam menjalankan ketiga fungsi DPR secara konstitusional

64 Peran Perwakilan Parlemen


masih diwarnai oleh belum maksimalnya kinerja lembaga DPR
akibat masih (1) kuatnya peran fraksi, (2) hasil legislasi DPR baik
secara kuantitas maupun kualitas belum memenuhi kepentingan
masyarakat, (3) pandangan masyarakat bahwa lembaga DPR belum
sepenuhnya memenuhi aspirasi dan kepentingan masyarakat
banyak, (4) pelaksanaan fungsi kontrol dan anggaran yang belum
sepenuhnya mengarah pada efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan, dan (5) belum terbangunnya komunikasi, dan
akuntabilitas moral dan politik yang kuat bagi anggota DPR terhadap
konstituennya sebagai akibat penggunaan sistem pemilihan yang
belum membuka ruang bagi terciptanya loyalitas anggota terhadap
para pemilihnya.

C
Tatib DPR Periode Reformasi
Dalam era reformasi, persoalan peran perwakilan DPR dan
anggota DPR belum banyak mengalami perubahan. Kedaulatan
anggota DPR dalam melaksanakan fungsi belum sepenuhnya karena
masih kuatnya peran lembaga pimpinan DPR dalam prosedur
pelaksanaan hak-hak DPR dan anggota DPR, kurang optimalnya
efektifitas pelaksanaan aturan-aturan Tatib yang membuka pintu bagi
penyerapan aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi,
pengawasan dan penentuan anggaran negara dan belum terjalinnya
komunikasi anggota DPR dengan masyarakat konstituennya secara
utuh dalam bingkai pelaksanaan sistem pemilihan anggota DPR yang
sifatnya masih mengaburkan peran dan tanggung jawab anggota
DPR terhadap pemilihnya.

Peta persoalan kinerja perwakilan anggota DPR dan DPR era


reformasi selama ini misalnya dapat dilihat dari kinerjanya dalam
menjalankan fungsi legislasi DPR. Berdasarkan data dari Badan
Legislasi DPR misalnya, dari Prolegnas sebanyak 230 RUU yang
direncanakan pada tahun 2005-2009, sampai dengan April 2008 baru
144 undang-undang yang dihasilkan. Dari sejumlah 144 UU, hanya 28

Peran Perwakilan Parlemen 65


UU yang berasal dari RUU Inisiatif dan sebanyak 56 UU diantaranya
berkaitan dengan pemekaran wilayah.76

Sejak bergulirnya era reformasi, upaya revisi Tatib DPR dalam


rangka memperkuat kelembagaan peran perwakilan anggota DPR
dan DPR telah mengalami kemajuan berarti walau secara normatif.
Beberapa hal masih harus dibenahi karena beberapa alasan: (1)
pelembagaan itu masih bersifat, memakai istilah Darul Siska,
”besarannya saja” belum kepada hal-hal yang lebih spesifik dengan
konsekuensi semakin kuatnya hubungan antara anggota dengan
daerah pemilihan, (2) pandangan publik bahwa kinerja DPR masih
belum responsif dan memenuhi harapan publik dalam menjalankan
tiga fungsi konstitusionalnya; (3) masih terbatasnya kedaulatan
anggota dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai
akibat masih kuatnya peran fraksi-fraksi di DPR sebagai kepanjangan
tangan kepentingan partai,77 dan (4) pelembagaan peran perwakilan
anggota DPR dan DPR secara lebih tegas dan spesifik [komprehensif ]
dalam Tatib diyakini menjadi salah satu cara ideal dalam mendorong
peningkatan kinerja anggota DPR dan DPR.

Berikut ini akan disajikan sejumlah contoh pengaturan secara


umum tentang pelembagaan peran perwakilan anggota DPR dan
DPR dalam Tatib DPR periode 2005-2006 dan sedikit kaitannya
dengan pengaturan Tatib sebelumnya sebagai satu kasus Tatib DPR
era reformasi. Tatib No. 8/DPR RI/2005-2006 telah mengakomodasi
sejumlah besar pengaturan yang terkait dengan peran perwakilan
DPR dan anggota DPR. Dalam Pasal 1 huruf 5 Ketentuan Umum
misalnya, telah mengatur pendefinisian ”Anggota DPR” sebagai wakil
rakyat yang telah bersumpah atau berjanji sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh
memperhatikan kepentingan rakyat.78 Sebagai lembaga, DPR
bertugas dan berwenang antara lain untuk menyerap, menghimpun,
menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

76 Data diolah dari data Bagian Hukum, Biro Hukum dan Panlak UU, Deputi Perundang-Undangan Setjen DPR RI.
77 Pengaturan masalah ini misalnya dapat ditemukan dalam Pasal 130 ayat (3), Pasal 171 ayat (2), dan Pasal 206
Tatib No. 08/DPR RI/I/2005-2006.
78 Sumpah/janji anggota DPR antara lain berbunyi: ”Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah bahwa saya akan
memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia (Pasal 7 ayat (4), Pasal 24 ayat (2)).

66 Peran Perwakilan Parlemen


Dalam pengaturan tentang kewajiban anggota DPR ditegaskan
tiga pokok yang langsung berkaitan dengan peran perwakilan dalam
rangka (1) menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat, (2) mendahulukan kepentingan negara di atas
kepentingan pribadi, kelompok dan golongan, dan (3) memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan
daerah pemilihnya (Pasal 13 ayat (2) huruf f dan h).

Secara kelembagaan, peran perwakilan DPR secara tegas dapat


dilihat dalam sejumlah pengaturan tentang tugas dan wewenang
yang dijalankan oleh sejumlah alat kelengkapan DPR dan Fraksi,
Komisi-Komisi, Panitia Anggaran, Badan Legislasi (Baleg), BKSAP,
dan Badan Kehormatan (BK). Dalam pengaturan Tatib, secara jelas
disebutkan bahwa dalam pelaksanaan ketiga fungsi DPR, alat
kelengkapan-kelengkapan DPR tersebut dapat mengadakan RDPU
baik atas permintaan salah alat kelengkapan tersebut ataupun
atas permintaan pihak lain (Pasal 37 ayat (4) huruf 4; Pasal 46 ayat
(2) huruf b; Pasal 55 ayat (2) huruf a; dan Pasal 59). Hal yang sama
dapat ditemukan di alat kelengkapan Baleg terutama terkait dengan
kedudukannya sebagai pusat pembentukan undang-undang. Dalam
proses legislasi, peran perwakilan Baleg dapat ditemukan misalnya
dalam hal: (1) penyebarluasan dan mencari masukan RUU yang
sedang dan akan dibahas dan sosialisasi undang-undang yang telah
disahkan; (2) pelaksanaan RDPU dan kunjungan kerja dalam rangka
menyerap aspirasi masyarakat untuk penyiapan RUU (Pasal 42 ayat (1)
huruf f dan Pasal 42 ayat (2) huruf d dan e).

Di samping itu, kehadiran Kode Etik DPR RI yang mulai


dilembagakan sejak 2001 secara filosofis memiliki kaitan dengan
tujuan untuk memperkuat peran perwakilan anggota DPR dan
DPR dalam melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya. Kode Etik
tersebut bertujuan untuk menjaga martabat, kehormatan, citra dan
kredibilitas DPR RI serta membantu anggota DPR dalam melaksanakan
wewenang, tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya kepada negara,
masyarakat dan para pemilihnya (Pasal 2, Lampiran Keputusan DPR RI
No. 03B/DPR RI/I/2001-2002 tentang Kode Etik DPR RI).

Peran Perwakilan Parlemen 67


Perkembangan penting pelembagaan peran perwakilan DPR
dapat ditemukan dalam Tatib DPR mulai tahun 1997 dengan keluarnya
Tatib DPR No. 9/DPR RI/I/1997-1998 dan dipertahankan pada Tatib
sesudahnya yakni pada Tatib DPR No. 16/DPR RI/I/1999-2000, Tatib
DPR No. 03A/DPR RI/I/2001-2002, Tatib No. 15/DPR/I/2004-2005
dan Tatib No. 05/DPR RI/I/2005-2006. Dalam pengaturan Tatib-Tatib
tersebut, terjadi penambahan bab tersendiri tentang Aspirasi dan
Pengaduan Masyarakat secara terpisah (Bab XV Tatib DPR No. 9/DPR
RI/I/1997-1998; Bab XVII Tatib DPR No. 16/DPR RI/I/1999-2000; Bab
XVIII Tatib DPR No. 03A/DPR RI/I/2001-2002, dan Bab XX Tatib No. 15/
DPR/I/2004-2005 dan Tatib No. 05/DPR RI/I/2005-2006).

Perkembangan pelembagaan peran perwakilan DPR penting


lainnya dapat ditemukan dalam proses legislasi yakni dalam penyiapan
dan pembahasaan RUU. Dalam pengaturan yang mulai diakomodasi
dalam Tatib No. 15/DPR/I/2004-2005 dan Tatib No. 05/DPR RI/I/2005-
2006, di sana dibuka ruang dan akses seluas-luasnya bagi terciptanya
partisipasi masyarakat dalam kedua tahapan tersebut (Partisipasi
Masyarakat, Pasal 139 ayat (1) s.d. ayat (7), Pasal 140 ayat (1) s.d. ayat
(8), dan Pasal 141 ayat (1) s.d. ayat (3) dan Bagian Ketujuh, Partisipasi
Masyarakat, Pasal 141 ayat (1) s.d. ayat (7), Pasal 142 ayat (1) s.d. ayat
(8), dan Pasal 143 ayat (1) s.d. ayat (3)).

Beberapa persoalan lain terkait dengan peran perwakilan secara


tidak langsung juga diatur dalam Tatib-Tatib tersebut. Walaupun
keberadaan kelembagaan Tatib hanyalah salah satu faktor yang
menentukan kinerja anggota DPR dan DPR, namun disain Tatib
yang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi anggota DPR dan
DPR dalam arti kelembagaan menjadi kebutuhan wahana/sarana
politik yang berharga dalam menopang kinerjanya secara internal.
Sementara secara eksternal, struktur politik haruslah mengarah
pada terciptanya sebuah sistem pemilihan anggota DPR yang lebih
mendukung terciptanya pertanggungjawaban politik anggota DPR
dan DPR dalam memenuhi kepentingan rakyatnya secara optimal.
Berangkat dari semua paparan inilah kiranya penting untuk dilakukan
penataan kembali pelembagaan peran Tatib DPR RI.

68 Peran Perwakilan Parlemen


PETA PERMASALAHAN
PERAN PERWAKILAN
DALAM TATIB DPR RI

Dalam Peraturan Tata Tertib Dewan yang tertuang dalam


Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/2005-2008 tentang Peraturan Tata
Tertib DPR RI, peta permasalahan terkait peran perwakilan meliputi
antara lain:

1
Kuatnya Peran Pimpinan Fraksi
dalam Tugas Kedewanan
Di dalam Tatib tersebut, beberapa tugas kedewanan selalu
melibatkan peran pimpinan fraksi. Tugas-tugas tersebut antara lain :
a. Tugas Pimpinan DPR.
Pasal 27 ayat (3) butir h menyatakan bahwa:
”Pimpinan DPR dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat: membentuk Tim atas nama DPR terhadap
suatu masalah mendesak yang perlu penanganan segera, setelah
mengadakan konsultasi dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Komisi
yang terkait.”

b. Mengajukan/Menganjurkan, Memberikan Persetujuan,


Pertimbangan / Konsultasi, dan Pendapat.

Peran Perwakilan Parlemen 69


Pasal 156 menyatakan bahwa :
”Apabila suatu peraturan perundang-undangan menentukan agar
DPR memberikan pertimbangan/konsultasi, pertimbangan/konsultasi
tersebut diberikan oleh Pimpinan DPR bersama Pimpinan Komisi terkait
dan Pimpinan Fraksi, kecuali Badan Musyawarah menentukan lain”.

Pasal 158 menyatakan bahwa :


Pemberian pertimbangan terhadap calon Duta Besar negara sahabat
untuk Republik Indonesia dalam Masa Sidang DPR dilakukan sebagai
berikut :
a. ..............
b. Surat pencalonan tersebut dibahas dalam konsultasi antara Pimpinan
DPR, Pimpinan Komisi terkait, dan Pimpinan Fraksi secara rahasia.

Pasal 159 menyatakan bahwa :


”Pemberian pertimbangan terhadap calon Duta Besar negara sahabat
untuk Republik Indonesia dalam Masa Reses dilakukan sebagai
berikut:
a. surat pencalonan Duta Besar negara sahabat untuk Republik
Indonesia yang disampaikan oleh Presiden, oleh Pimpinan DPR
segera disampaikan kepada Pimpinan Fraksi secara rahasia.
b. Surat tersebut sebagaimana dimaksud pada huruf a, segera
dibahas dalam pertemuan konsultasi antara Pimpinan DPR
dengan Pimpinan Komisi terkait, dan Pimpinan Fraksi secara
rahasia.

Dari ketentuan pasal-pasal di atas menimbulkan pertanyaan


mengapa dalam menjalan tugasnya, Pimpinan DPR harus melibatkan
peran Pimpinan Fraksi? Fraksi adalah kepanjangan tangan partai,
sedang kerja kedewanan mestinya dilakukan oleh anggota Dewan
yang tidak perlu lagi memperhitungkan atau mempertimbangkan
pendapat Fraksi.

c. Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK


Bab XXI : Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK
Bagian Pertama : Hasil Pemeriksaan Semester

70 Peran Perwakilan Parlemen


Pasal 166 menyatakan bahwa;
(1) DPR membahas hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang diberitahukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan dalam bentuk Hasil Pemeriksaan Semester, yang
disampaikan dalam Rapat Paripurna untuk dipergunakan sebagai
bahan pengawasan.
(2) DPR menugaskan Komisi untuk membahas dan menindaklanjuti
Hasil Pemeriksaan Semester sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Untuk keperluan pembahasan dan mempelajari Hasil Pemeriksaan
Semester, Komisi dapat mengadakan konsultasi dengan unsur Badan
Pemeriksa Keuangan untuk mengklarifikasi hasil pemeriksaan Badan
Pemeriksa Keuangan sesuai dengan ruang lingkup tugas Komisi.
(4) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan
bahan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat.
(5) Hasil Rapat Kerja dan/atau Rapat Dengar Pendapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilaporkan secara tertulis kepada Pimpinan
DPR.
(6) Pimpinan DPR mengadakan konsultasi dengan Pimpinan-Pimpinan
Fraksi untuk membahas laporan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (5).

Rumusan ayat (6) di atas menimbulkan pertanyaan mengapa


Pimpinan Dewan perlu mengkomunikasikan hasil pemeriksaan
Semester BPK kepada Pimpinan Fraksi-Fraksi? Masih terkait dengan
Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK, selanjutnya Pasal 169 ayat (1)
huruf d menyatakan bahwa :
”konsultasi dan koordinasi antara DPR dengan Lembaga Negara yang lain
dilaksanakan dalam bentuk:
d. pertemuan antara Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi dan alat kelengkapan
DPR lainnya sesuai dengan ruang lingkup tugasnya dengan Pimpinan
dan/atau unsur jajaran Lembaga Negara yang lain.”

d. Konsultasi dan Koordinasi sesama Lembaga Negara


Pasal 169 ayat (1) angka 4 menyatakan:
1) Konsultasi dan koordinasi antara DPR dengan Lembaga Negara yang
lain dilaksanakan dalam bentuk :
1) ................

Peran Perwakilan Parlemen 71


2) ................
3) ................
4) pertemuan antara Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi dan alat
kelengkapan DPR lainnya sesuai dengan ruang lingkup tugasnya
dengan Pimpinan dan/atau unsur jajaran Lembaga Negara yang
lain.
2) Pertemuan konsultasi dan koordinasi antara Pimpinan DPR, unsur
Pimpinan Fraksi dan unsur Pimpinan alat kelengkapan DPR terkait,
dengan Presiden dilakukan secara berkala atau dengan MK dan MA
sesuai kebutuhan.
3) .........
4) Hasil pertemuan konsultasi dan koordinasi, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), diberitahukan secara tertulis kepada
Pimpinan Fraksi dan Pimpinan alat kelengkapan DPR yang terkait,
dan apabila dipandang perlu dilaporkan dalam Rapat Paripurna.

Mengapa konsultasi dan koordinasi dengan lembaga negara


lain mengikutsertakan fraksi, bukankah Pimpinan Dewanlah yang
merepresentasikan lembaga DPR dalam berinteraksi dengan lembaga
negara lain?
e. Penggunaan Hak Dewan dan Hak Anggota
1) Hak Interpelasi
Pasal 171 menyatakan bahwa :
1) ”Sekurang-kurangnya 13 (tiga belas) orang Anggota dapat mengajukan
usul kepada DPR untuk menggunakan hak interpelasi tentang suatu
kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”
2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara singkat
dan jelas serta disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR
dengan disertai daftar nama dan tandatangan pengusul serta nama
Fraksinya.

2) Hak Angket
Pasal 176
(1) Sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang Anggota dapat mengajukan
usul kepada DPR untuk menggunakan hak angket mengenai

72 Peran Perwakilan Parlemen


kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak
luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis
kepada Pimpinan DPR disertai dengan daftar nama dan tandatangan
pengusul serta nama Fraksinya.

3) Hak Menyatakan Pendapat


Pasal 184
(1) Sekurang-kurangnya 13 (tiga belas) orang Anggota dapat
mengajukan usul menyatakan pendapat mengenai :
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang
terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 171 ayat (1) dan hak angket sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 176 ayat (1); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/
atau Wakil Presiden.
(2) Usul menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beserta penjelasannya disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan
DPR, yang disertai dengan daftar nama dan tanda tangan pengusul
serta nama Fraksinya.

4) Hak Mengajukan RUU


Pasal 191
(1) Setiap Anggota mempunyai hak mengajukan RUU.
(2) Hak mengajukan Rancangan Undang-Undang, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 sampai dengan Pasal 133.

Rancangan Undang-Undang dari DPR


Pasal 130
(1) Sekurang-kurangnya 13 (tiga belas) orang Anggota dapat mengajukan
usul inisiatif Rancangan Undang-Undang.

Peran Perwakilan Parlemen 73


(2) ................
(3) Usul inisiatif Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) beserta penjelasan, keterangan dan/atau
naskah akademis disampaikan secara tertulis oleh Anggota atau
Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, atau Pimpinan Badan
Legislasi kepada Pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan
pengusul serta nama Fraksinya setelah dilakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (1) huruf c.

Menyertakan ”nama fraksi” bisa membebani Anggota yang


dalam waktu tertentu dan terkait isu tertentu yang tidak sejalan
dengan kebijakan fraksinya. Sekurang-kurangnya 13 orang Anggota
mengajukan RUU Usul Inisiatif, sedangkan menurut Pasal 21 UUD
1945 dinyatakan bahwa: ”Anggota DPR berhak mengajukan usul
RUU.” Ini berarti bahwa Anggota secara individu mempunyai hak
untuk mengajukan RUU. Persyaratan 13 orang Anggota memperberat
persyaratan pengajuan RUU Usul Inisiatif.

2
Belum Diatur Secara Memadai Tentang
Mekanisme Penyerapan Masyarakat

Pasal 6 ayat (1) huruf l menyatakan bahwa DPR mempunyai tugas


dan wewenang:
1. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat;

Sedangkan kewajiban Anggota seperti yang diatur pada Pasal 13


ayat (2) huruf e, f, dan h menyatakan bahwa:
e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat;
h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
pemilih dan daerah pemilihannya;

Sementara itu terkait dengan aspirasi dan pengaduan masyarakat


diatur pada Pasal 164.

74 Peran Perwakilan Parlemen


Pasal 164
(1) DPR menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat tentang suatu permasalahan yang berada dalam ruang
lingkup tugas dan wewenang DPR.
(2) Selain melalui RDPU sebagaimana dimaksud dalam Ps 37 (4) huruf d,
Ps 42 ayat (2) huruf d, dan Ps 46 ayat (2) huruf d, dan melalui kunjungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf e, Pasal
42 ayat (2) huruf e, dan Pasal 46 ayat (2) huruf d, DPR menerima
penyampaian aspirasi dan pengaduan masyarakat secara langsung
dan/atau melalui surat.

Sedangkan Pasal-Pasal yang dirujuk tersebut berbunyi sebagai


berikut;
Pasal 37 (4) huruf d
Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), dapat: mengadakan RDPU, baik atas permintaan
Komisi maupun atas permintaan pihak lain;

Pasal 42 ayat (2) huruf d


Badan Legislasi dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat: mengadakan Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat,
dan rapat RDPU.

Pasal 46 ayat (2) huruf d


Panitia Anggaran dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat:
mengadakan studi banding atas persetujuan Pimpinan DPR yang hasilnya
dilaporkan dalam Rapat Panitia Anggaran untuk ditentukan tindak
lanjutnya.

Pasal 37 ayat (4) huruf e


Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), dapat:
mengadakan kunjungan kerja dan studi banding dalam Masa Reses,
atau apabila dipandang perlu, dalam Masa Sidang dengan persetujuan
Pimpinan DPR yang hasilnya dilaporkan dalam Rapat Komisi untuk
ditentukan tindak lanjutnya;

Peran Perwakilan Parlemen 75


Pasal 42 ayat (2) huruf e
Badan Legislasi dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat:
mengadakan Kunjungan Kerja dalam rangka menyerap aspirasi
masyarakat dan studi banding untuk penyiapan RUU dengan persetujuan
Pimpinan DPR yang hasilnya dilaporkan dalam Rapat Badan Legislasi
untuk ditentukan tindak lanjutnya.

Tugas dan kewenangan DPR untuk menyerap, menghimpun,


menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat ditegaskan
menjadi kewajiban Anggota DPR. Namun tugas dan kewenangan ini
tidak mendapat porsi pengaturan lebih lanjut yang proporsional dan
jelas di Tatib DPR. Aspirasi masyarakat bisa dihimpun dengan berbagai
cara antara lain melalui media, melalui surat, delegasi yang datang
ke DPR, atau melalui kegiatan proaktif anggota DPR yang menjaring
masukan dari masyarakat, melalui kunjungan kerja saat reses atau
kunjungan kerja ke daerah-daerah dalam rangka pembahasan
suatu RUU atau untuk melakukan investigasi atas isu tertentu dalam
kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan.

Tatib hanya mengatur tentang mekanisme penyampaian aspirasi


yang disampaikan melalui surat dan delegasi yang datang langsung
ke DPR. Namun, pengaturannya tidak diikuti dengan mekanisme yang
jelas bagaimana tindak lanjut itu dijalankan. Sementara tindak lanjut
penjaringan aspirasi dengan melakukan kunjungan kerja ke daerah
juga tidak diatur tindaklanjutnya. Dengan demikian, masalah dari
pengaturan tentang penyerapan aspirasi masyarakat di dalam Tatib
belum diatur secara substansial.

3
Pengaturan Tentang Parstisipasi Masyarakat
Mekanisme untuk menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut pada pelaksanaan
fungsi legislasi diatur pada Pasal 137 ayat (2) yang menyatakan bahwa
dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diadakan Rapat Dengar Pendapat
Umum (RDPU).

76 Peran Perwakilan Parlemen


Terkait dengan implementasi fungsi legislasi, partisipasi
masyarakat terhadap penyiapan dan pembahasan UU diatur pada
Pasal 141 – 143.
Pasal 141 mengatur bahwa;
(1) Dalam rangka penyiapan Rancangan Undang-Undang, masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis kepada DPR.
(2) Masukan secara tertulis ..... disampaikan kepada Pimpinan DPR
dengan menyebutkan identitas yang jelas.
(3) Pimpinan meneruskan masukan .......... kepada alat kelengkapan DPR
yang menyiapkan Rancangan Undang-Undang dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari.
(4) Dalam hal pemberian masukan dilakukan secara lisan, Pimpinan alat
kelengkapan menentukan waktu pertemuan dan jumlah orang yang
diundang dalam pertemuan.
(5) Pimpinan alat kelengkapan menyampaikan undangan kepada orang
yang diundang ....
(6) Pertemuan .......... dapat dilakukan dalam bentuk Rapat Dengar
Pendapat Umum, pertemuan dengan Pimpinan alat kelengkapan,
atau pertemuan dengan alat kelengkapan didampingi oleh beberapa
Anggota yang terlibat dalam penyiapan Rancangan Undang-
Undang.
(7) Hasil pertemuan ........ menjadi bahan masukan terhadap Rancangan
Undang-Undang yang sedang dipersiapkan.

Sedangkan Pasal 142 mengatur partisipasi masyarakat dalam


pembahasan RUU pengaturannya seperti yang diatur pada Pasal 141.
Hanya, masukan dari masyarakat secara tertulis disampaikan kepada
Pimpinan DPR sebelum pembicaraan Tingkat II. Sementara itu, Pasal
143 menyatakan bahwa;
(1) Selain masukan berdasarkan permintaan masyarakat................, alat
kelengkapan yang menyiapkan atau membahas Rancangan Undang-
Undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapatkan masukan
dari masyarakat.
(2) Kegiatan sebagaimana .......... dapat berupa Rapat Dengar Pendapat
Umum, seminar atau kegiatan sejenis, dan kunjungan.

Peran Perwakilan Parlemen 77


Tatib DPR hanya mengatur partisipasi masyarakat di bidang
legislasi yakni dalam penyiapan dan pembahasan RUU. Sedang dalam
rangka pelaksanaan fungsi yang lain baru secara implisit diatur dalam
aturan Pasal yang mengatur tugas alat kelengkapan yakni tugas
Komisi, Panitia Anggaran dan Badan Legislasi. Dengan demikian,
pengaturan tentang partisipasi masyarakat secara substansial belum
diatur secara jelas dan tegas.

4
Kunjungan Kerja Anggota Dewan
Biasanya, kunjungan kerja Anggota Dewan dilakukan dalam
kerangka penyerapan aspirasi masyarakat. Pasal 8 ayat (3) menyatakan
bahwa:
“Setiap Anggota mengadakan kunjungan ke daerah pemilihannya
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali 2 (dua) bulan dengan waktu paling lama
5 (lima) hari yang dilaksanakan di luar Masa Reses dan di luar sidang-
sidang DPR”

Adapun Pasal 42 ayat (2) butir e menyatakan bahwa:


Badan Legislasi dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat:
Mengadakan Kunjungan Kerja dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat
dan studi banding untuk penyiapan Rancangan Undang-Undang dengan
persetujuan Pimpinan DPR yang hasilnya dilaporkan dalam Rapat Badan
Legislasi untuk ditentukan tindak lanjutnya.

Sementara itu, Pasal 37 ayat (4) huruf e menyatakan:


Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), dapat:
mengadakan kunjungan kerja dan studi banding dalam Masa Reses,
atau apabila dipandang perlu, dalam Masa Sidang dengan persetujuan
Pimpinan DPR yang hasilnya dilaporkan dalam Rapat Komisi untuk
ditentukan tindak lanjutnya;

Jadi kunjungan kerja yang diatur dalam Tatib adalah kunjungan


kerja perorangan dan kunjungan kerja alat kelengkapan. Seperti

78 Peran Perwakilan Parlemen


yang diatur dalam Pasal 37 ayata (4) e di atas, Komisi mengadakan
kunjungan kerja pada saat reses, tapi juga bisa melakukan kunjungan
kerja saat masa sidang yakni yang disebut kunjungan kerja khusus.
Namun begitu, pada prakteknya pelaksanaan kunjungan kerja baik
perorangan maupun alat kelengkapan seringkali tidak berdasarkan
pada perencanaan yang baik.

5
Tidak Ada Rumusan yang Operasional Terkait
dengan Pertanggungjawaban Anggota Dewan
Secara umum, pengaturan tentang mekanisme
pertanggungjawaban, baik secara kelembagaan maupun secara
individu Anggota DPR dalam menjalankan tugas konstitusional
belum secara tegas diatur Tatib. Yang diatur selama ini adalah
pelaksanaan ketiga fungsi tersebut dari sisi prosedural. Demikian juga
halnya dengan kewajiban Anggota Dewan untuk “memperhatikan
upaya peningkatan kesejahteraan rakyat”; dan “memberikan
pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih
dan daerah pemilihannya.” Pencantuman tugas yang mulia ini
belum jelas operasionalisasinya, dan bagaimana bentuk perhatian
Anggota Dewan dalam hal upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.
Padahal, pengaturan yang memadai mengenai kewajiban Anggota
untuk memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat akan
berdampak pada tingginya tingkat kredibilitas Anggota Dewan di
mata rakyat.

Sedangkan kewajiban Anggota Dewan untuk memberikan


pertanggungjawaban moral dan politis kepada pemilih dan
daerah pemilihannya, juga belum diatur operasionalisasinya.
Bagaimana langkah konkrit yang mengatur mekanisme dan bentuk
pertanggungjawaban Anggota Dewan secara moral dan politis kepada
pemilih dan daerah pemilihannya belum tegas diatur dalam Tatib.

Peran Perwakilan Parlemen 79


Selain itu, Anggota Dewan juga dituntut melakukan kewajibannya
untuk “mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok, dan golongan” (Pasal 13 ayat (2) huruf g). Atau
dengan istilah lain, Anggota Dewan wajib bersikap sebagai negarawan
dalam menjalankan tugas kedewanan. Apa dan bagaimana cara
mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi juga
tidak dijabarkan lebih lanjut.

6
Pemberhentian Antar Waktu Anggota Dewan
Terkait dengan Pemberhentian Antar Waktu (PAW) Anggota
Dewan, Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa :
Anggota berhenti antar waktu karena;
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri sebagai Anggota atas permintaan sendiri secara
tertulis; dan
c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

Pada bagian tentang sanksi, Pasal 62 ayat (1) dinyatakan bahwa;


Setelah Badan Kehormatan melakukan penelitian dan
mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, bukti-bukti serta saksi-
saksi, Badan Kehormatan dapat memutuskan sanksi berupa:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian dari jabatan Pimpinan DPR atau Pimpinan alat
kelengkapan DPR; atau
c. Pemberhentian sebagai Anggota.

Sementara itu, pada Bab XXVI tentang Larangan bagi Anggota, pada
Pasal 202 ayat (5) dinyatakan bahwa Anggota yang tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberhentikan oleh
Pimpinan DPR berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan.
Apakah Pimpinan DPR berhak memecat Anggota Dewan? Apakah
tidak sebaiknya BK merekomendasikan pemecatan itu kepada partai?

80 Peran Perwakilan Parlemen


7
Mekanisme Kerja Dewan dan Akses Publik
atas Produk Dewan
Pasal 95 menyebutkan bahwa :
(1) Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat
Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran,
Rapat Panitia Khusus, Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, dan Rapat
Dengar Pendapat Umum pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali
rapat tersebut memutuskan tertutup.
(2) Rapat Pimpinan DPR, rapat pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya,
Rapat Badan Musyawarah, Rapat BURT, Rapat BKSAP, Rapat Badan
Kehormatan, dan Rapat Panitia Kerja atau Tim, pada dasarnya bersifat
tertutup, kecuali rapat tersebut memutuskan terbuka.

Pasal 96 menyebutkan bahwa :


(1) Rapat terbuka yang sedang berlangsung dapat diusulkan untuk
dinyatakan tertutup, baik oleh Ketua rapat maupun oleh Anggota
atau salah satu Fraksi dan/atau pihak yang diundang menghadiri
rapat tersebut.
Sementara itu ayat (3), dan (4) menyatakan bahwa :
(3) Rapat yang bersangkutan memutuskan apakah usul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disetujui atau ditolak.
(4) Apabila rapat menyetujui usul tersebut, menyatakan rapat yang
bersangkutan sebagai rapat tertutup dan mempersilahkan para
peninjau dan wartawan meninggalkan ruang rapat.

Pasal 97 ayat (1) menyatakan bahwa :


(1) Pembicaraan dan keputusan dalam rapat tertutup yang bersifat
rahasia tidak boleh diumumkan apabila dinyatakan secara tegas
sebagai rahasia.

Sedangkan keterbukaan terhadap produk-produk kedewanan


bisa ditelusur dari Pasal-Pasal berikut :
Pasal 114 menyatakan bahwa:
(1) Untuk setiap Rapat Paripurna dan Rapat Paripurna Luar Biasa, dibuat
Risalah yang ditandatangani oleh Ketua Rapat atau Sekretaris atas
nama Ketua Rapat.

Peran Perwakilan Parlemen 81


Sementara Pasal 115 menyatakan bahwa :
Sekretaris Rapat menyusun Risalah untuk dibagikan kepada anggota dan
pihak yang bersangkutan setelah rapat selesai.

Pasal 116 ayat (1) menyatakan bahwa :


(1) Dalam setiap Rapat Pimpinan DPR, Rapat Badan Musyawarah, rapat
Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia
Anggaran, Rapat BURT, Rapat BKSAP, Rapat Badan Kehormatan, dan
Rapat Panitia Khusus, dibuat Catatan Rapat dan Laporan Singkat yang
ditandatangani oleh Ketua Rapat atau Sekretaris Rapat atas nama
Ketua Rapat yang bersangkutan.

Sedangkan Pasal 117 menyatakan bahwa :


(1) Sekretaris Rapat secepatnya menyusun Laporan Singkat dan Catatan
Rapat sementara untuk segera dibagikan kepada Anggota dan pihak
yang bersangkutan setelah rapat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1), selesai.
(2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk mengadakan koreksi terhadap Catatan Rapat sementara dalam
waktu empat hari sejak diterimanya Catatan Rapat sementara tersebut
dan menyampaikannya kepada Sekretaris Rapat yang bersangkutan.

Pengaturan tentang keterbukaan mekanisme kerja Dewan


dalam berbagai rapat yang pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali
rapat tersebut memutuskan tertutup, sebaliknya ada rapat yang
pada dasarnya bersifat tertutup, kecuali rapat tersebut memutuskan
terbuka. Tatib ternyata tidak menyertakan alasan mengapa rapat
tersebut terbuka dan mengapa rapat-rapat yang lain bersifat tertutup.
Pada sisi lain, Tatib juga belum mengatur mengenai akses publik
terhadap produk-produk Dewan. Tidak ada rumusan terkait kapan
risalah pembahasan RUU misalnya harus selesai, kapan Catatan
Rapat atau Laporan Singkat harus selesai, dan apakah produk Dewan
tersebut secepatnya bisa diakses publik, dan lain sebagainya.

82 Peran Perwakilan Parlemen


8
Manajemen Persidangan
Pasal 98 menyatakan bahwa :
(1) Setiap Anggota wajib menandatangani daftar hadir sebelum
menghadiri rapat.
Sementara Pasal 108 mengatakan bahwa:
(1) Ketua Rapat dapat menentukan lamanya anggota rapat
berbicara.
(2) Ketua Rapat memperingatkan dan memintanya supaya
pembicara mengakhiri pembicaraan apabila seorang
pembicara melampaui batas waktu yang telah ditentukan.

Seharusnya anggota DPR tidak cukup hanya diwajibkan


menandatangani daftar hadir, karena dalam prakteknya seringkali
daftar hadir yang ditandatangani namun secara fisik yang
bersangkutan tidak hadir dalam rapat tersebut. Begitu pula dalam
sidang, anggota DPR seringkali tidak mengindahkan efektivitas dan
efisiensi waktu dalam berbicara. Tidak ada pembatasan waktu, begitu
pula tidak ada prioritas isu dalam suatu persidangan.

Peran Perwakilan Parlemen 83


ANALISIS

Peran perwakilan yang diemban oleh Anggota Dewan dan Dewan


secara kelembagaan paling tidak terkait dengan empat prinsip.
Prinsip-prinsip tersebut adalah adanya:
1. transparansi
2. partisipasi masyarakat
3. akuntabilitas, dan
4. kredibilitas

Transparansi
Dalam proses politik, masalah transparansi akan sangat terkait
dengan apa yang dikenal sebagai kecenderungan terjadinya asimetri
informasi antara penguasa dengan rakyat. Asimetri informasi
akan menjadikan pejabat publik dan para pengambil keputusan --
karena diskresinya untuk mengambil keputusan-- diarahkan pada
pemenuhan kepentingan mereka daripada kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, peningkatan akses masyarakat terhadap informasi
yang terkait dengan proses yang terjadi dalam lembaga publik,
apalagi lembaga pengambil keputusan, dan pengaturan tentang
mekanismenya, diyakini dapat membatasi ruang bagi terjadinya
kecendrungan penyimpangan tadi.79 Alasan mendasar lainnya, seperti
yang pernah ditegaskan Mill bahwa pengawasan publik merupakan

79 Lihat Joseph Stiglitz, “Transparancy in Government”, The Right To Tell, the Role of Mass Media in Economic
Development (Washington, DC: World Bank Institute, 2002), hal. 27-28.

84 Peran Perwakilan Parlemen


persyaratan bagi terciptanya sebuah kemanfaatan dan sekaligus
menjadi cara terbaik dalam menentukan argumen atau posisi atas
suatu persoalan.80

Transparansi dalam konteks kajian ini menyangkut kebutuhan


akan keterbukaan dalam proses/mekanisme kerja di DPR. Proses
yang terjadi dan berjalan di lingkup DPR, baik proses politik untuk
kepentingan penyelenggaraan dan pengelolaan lembaga internal
DPR maupun dalam menjalankan fungsi konstutusionalnya, termasuk
di dalamnya menyangkut keterbukaan terhadap mekanisme kerja
kedewanan, maupun keterbukaan terhadap produk-produk yang
dihasilkan oleh DPR. Sebagai sebuah lembaga publik yang menjadikan
peran perwakilan sebagai centre of excellence, pelembagaan Tatib
DPR seharusnya mengatur tentang kemudahan bagi terciptanya
akses publik tentang mekanisme kerja DPR dan terhadap produk-
produknya. Prinsip transparansi dalam mekanisme kerja itu secara
khusus dapat dilihat pada sifat rapat di persidangan DPR.

Tatib DPR mengatur dua jenis rapat yakni terbuka dan tertutup.
Ditegaskan di sana bahwa rapat-rapat yang dilakukan dalam forum
Paripurna, Paripurna Luar Biasa, Komisi, Gabungan Komisi, Badan
Legislasi, Panitia Anggaran, Panitia Khusus, Rapat Kerja, Rapat Dengar
Pendapat dan atau Pendapat Umum, pada dasarnya bersifat terbuka,
kecuali rapat tersebut memutuskan tertutup. Sebaliknya rapat-
rapat dalam forum Pimpinan DPR, pimpinan alat kelengkapan DPR,
Badan Musyawarah, BURT, BKSAP, Badan Kehormatan, Rapat Panitia
Kerja atau Tim pada dasarnya bersifat tertutup kecuali rapat tersebut
memutuskan sebaliknya. Sementara dalam forum internal fraksi, Tatib
menyerahkan sepenuhnya kepada fraksi yang bersangkutan (Pasal 95
Tatib).

Terdapat sejumlah hal yang terlihat kontradiktif dalam hal


pengaturan akses masyarakat terhadap rapat-rapat di DPR. Pertama,
sejauh ini belum jelas alasan filosofis dan prinsipil tentang kriteria
rapat-rapat di DPR yang dinyatakan “pada dasarnya” terbuka atau
sebaliknya tertutup. Dalam kondisi seperti ini, akses publik terhadap

80 John Stuart Mill, Ibid., hal. 30.

Peran Perwakilan Parlemen 85


apa yang diperdebatkan dan nantinya diputuskan dalam forum-
forum rapat DPR sangat berpotensi diabaikan. Hal ini dikarenakan
isu yang menjadi agenda pembicaraan dan derajat politis sebuah isu
akan menggiring preferensi para anggota DPR terhadap sifat rapat
yang memberikan keuntungan politis bagi mereka. Akibatnya, akses
publik terhadap rapat-rapat DPR berpotensi penuh ketidakpastian.
Dalam kondisi seperti ini, “derajat” transparansi DPR dalam melakukan
kegiatannya tereduksi dengan sendirinya, apalagi lembaga DPR itu
identik dengan kegiatan berbicara dan rapat.

Kedua, aspek kendala aksesibilitas dan transparansi kegiatan rapat


DPR juga dapat dilihat dari pengaturan tentang tempat rapat. Pasal
76 ayat (3) dan (4) menegaskan bahwa semua jenis rapat dilakukan
di gedung DPR dan dapat dilakukan di luar itu setelah mendapatkan
persetujuan pimpinan DPR. Fenomena rapat-rapat DPR yang dilakukan
di luar gedung DPR dengan berbagai alasannya, secara teknis juga
mengurangi tingkat aksesibilitas dan transparansi kegiatan rapat DPR.

Ketiga, pengaturan sifat rapat yang pada dasarnya tertutup


juga dianggap kontradiktif dengan logika demokrasi. Seperti telah
disinggung di atas bahwa sebagai sebuah lembaga publik, segala
aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan publik pada dasarnya
harus bersifat terbuka kecuali karena alasan yang demi kepentingan
nasional yang lebih tinggi, dapat dinyatakan tertutup.81

Keempat, Tatib belum mengatur lebih luas tentang akses


masyarakat terhadap proses dan produk-produk DPR yang sifatnya
satu pintu sehingga secara teknis lebih efektif, efisien dan mudah
dijangkau bagi masyarakat yang berkepentingan. Dengan demikian,
menjadi sebuah kebutuhan untuk merumuskan masalah ini, terutama
dalam proses pembuatan keputusan di DPR supaya rakyat bisa
memberikan pandangan yang tidak selalu berat sebelah terhadap
anggota dan lembaga DPR.

81 Lihat Bivitri Susanti, “Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi”, Makalah Seminar, Jakarta, 8 Maret 2007,
diakses dalam www.parlemen.net, 17 Juni 2008, hal. 10.

86 Peran Perwakilan Parlemen


Sejumlah informan kajian ini telah menyadari urgensi di akomidasinya
prinsip transparansi dan akses masyarakat terhadap mekanisme dan
produk-produk DPR. Persoalan yang hadapi publik selama ini adalah
pada persoalan teknis bagaimana pengaturannya di Tatib.82

Sejalan dengan upaya reformasi DPR, secara kelembagaan


persoalan transparansi dalam proses legislasi menjadi bagian dari
persoalan yang dihadapi DPR sebagai lembaga yang setelah era
reformasi politik memiliki peran politik yang semakin besar walau
kinerjanya dinilai masih relatif rendah.83 Masalah trasparansi dalam
pembahasan RUU menjadi bagian tidak terpisahkan dari dua persoalan
lembaga DPR dalam bidang legislasi yaitu masalah kualitas UU yang
dihasilkan dan waktu penyelesaian UU yang telah masuk dalam daftar
prioritas Program Legislasi Nasional.84

Untuk mengatasi problem kurang transparannya mekanisme kerja


Dewan, maka Tim Peningkatan Kinerja DPR RI merekomendasikan
antara lain: membangun kerjasama dengan stasiun TV, radio, dan
media massa lainnya, serta mengembangkan website DPR yang dapat
menyiarkan/mempublikasikan/mensosialisasikan kegiatan, berita,
dan informasi keparlemenan dalam lingkup nasional (dapat diakses
oleh semua anggota masyarakat).85 Selain itu, Tim mengusulkan
penentuan sifat rapat Panitia Kerja pada dasarnya terbuka kecuali
dinyatakan lain.86

Disamping itu, direkomendasikan untuk membuka akses publik


melalui website DPR RI tentang sosialisasi hasil penetapan Program
Legislasi Nasional, sosialisasi RUU yang akan dan sedang dibahas,
serta mensosialisasikan seluruh rencana/jadwal kunjungan kerja, dan
membuka akses publik untuk memberikan pendapat tentang calon
pejabat publik melalui media cetak dan website DPR RI.87

82 Wawancara dengan Nizar Dahlan (Fraksi BPD dari PBB), 15 Juli 2008. Agus Purnomo (PKS), tanggal 7 Juli 2008,
Lukman Hakim Saefuddin (Ketua Fraksi PPP), tanggal 10 Juli 2008.
83 Reformasi DPR, Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, Jakarta: Setjen DPR RI, Desember 2006,
hal. vii.
84 Ibid.
85 Rekomendasi dan Program Kerja, Tim Peningkatan Kinerja DPR RI, Jakarta, 2006, hal. 38
86 Ibid., hal. 47
87 Ibid., hal. 61 – 68

Peran Perwakilan Parlemen 87


Sementara itu, maraknya praktek korupsi dan kolusi yang
dilakukan Anggota DPR disebabkan adanya praktek pembahasan
anggaran yang sifatnya tertutup. Sangat relevan apa yang diusulkan
Tim Peningkatan Kinerja untuk menjadikan rapat Panitia Kerja supaya
bersifat terbuka. Eva Sundari (F-PDIP) mengatakan bahwa salah satu
hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi banyaknya ‘ruang gelap’
yang bisa dimainkan anggota DPR adalah melakukan pembahasan
anggaran secara terbuka.88

Masih rendahnya kinerja DPR ini dapat pula disebut sebagai


sebuah pengakuan politis yang sejalan dengan semangat untuk
menciptakan sebuah lembaga perwakilan yang benar-benar
mencerminkan fungsinya secara konstitusional. Kebutuhan bagi
terciptanya transparansi dan akses masyarakat terhadap mekanisme
kerja DPR dan dalam proses legislasi juga sejalan dengan tuntutan
transparansi akan informasi publik.

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik


menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi
publik secara cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana
sebagai konsekuensi dari sifat informasi publik yang sifatnya terbuka
dan dapat diakses oleh setiap masyarakat pengguna informasi publik
(Pasal 2). Jaminan akan akses masyarakat terhadap informasi publik
bertujuan antara lain untuk (1) menjamin hak warga negara untuk
mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan
publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan
pengambilan suatu keputusan publik; (2) mendorong partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (3)
meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan
publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik, dan (4) mewujudkan
penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif
dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 3).
Dengan demikian, kini menjadi kewajiban bagi setiap lembaga publik
untuk memberikan informasi publik sepanjang informasi itu tidak
dikategorikan sebagai informasi yang dilarang untuk diakses karena
alasan yang dijamin UU ini.
88 Republika, Korupsi DPR Berawal dari Rapat Tertutup, Sabtu, 5 Juli 2008

88 Peran Perwakilan Parlemen


Sedangkan keterbukaan terhadap produk-produk kedewanan,
dalam Tatib hanya dirumuskan dalam Pasal 114 ayat (1) yang
menyatakan bahwa: “Untuk setiap Rapat Paripurna dan Rapat Paripurna
Luar Biasa, dibuat Risalah yang ditandatangani oleh Ketua Rapat atau
Sekretaris atas nama Ketua Rapat.” Sementara Pasal 115 menyatakan
bahwa: “Sekretaris Rapat menyusun Risalah untuk dibagikan kepada
anggota dan pihak yang bersangkutan setelah rapat selesai.”
Sementara itu, Pasal 116 ayat (1) menyatakan bahwa:
”Dalam setiap Rapat Pimpinan DPR, Rapat Badan Musyawarah, Rapat
Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia
Anggaran, Rapat BURT, Rapat BKSAP, Rapat Badan Kehormatan, dan
Rapat Panitia Khusus, dibuat Catatan Rapat dan Laporan Singkat yang
ditandatangani oleh Ketua Rapat atau Sekretaris Rapat atas nama Ketua
Rapat yang bersangkutan.

Sedangkan Pasal 117 menyatakan bahwa :


(1) Sekretaris Rapat secepatnya menyusun Laporan Singkat dan Catatan
Rapat sementara untuk segera dibagikan kepada Anggota dan pihak
yang bersangkutan setelah rapat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1), selesai.
(2) Setiap Anggota dan pihak yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk mengadakan koreksi terhadap Catatan Rapat sementara dalam
waktu empat hari sejak diterimanya Catatan Rapat sementara tersebut
dan menyampaikannya kepada Sekretaris Rapat yang bersangkutan.

Tidak ditemui rumusan dalam Tatib DPR bahwa publik bisa


mengakses produk-produk DPR. Risalah rapat dan laporan singkat
dibagikan kepada Anggota dan pihak-pihak yang terlibat dalam rapat.
Tidak ada rumusan untuk yang mengatur bagaimana mekanismenya
apabila publik yang mempunyai kepentingan dengan produk Dewan
tersebut membutuhkan risalah atau catatan rapat.

Kesempatan yang diberikan kepada Anggota dan pihak yang


bersangkutan untuk mengadakan koreksi terhadap Catatan Rapat
Sementara dalam waktu empat hari sejak diterimanya Catatan Rapat
Sementara dan menyampaikannya kepada Sekretaris Rapat yang
bersangkutan. Waktu empat hari untuk mengoreksi catatan rapat

Peran Perwakilan Parlemen 89


tersebut merupakan waktu yang lama. Mestinya beberapa jam atau
paling lama 24 jam koreksian terhadap catatan rapat harus masuk
ke Sekretaris rapat. Sebaiknya Laporan Singkat atau Catatan Rapat
setelah dikoreksi bisa diakses oleh media massa dan publik yang
membutuhkan, kecuali yang memang bersifat rahasia.

Oleh karena itu, transparansi mekanisme persidangan di DPR ke


depan harus lebih dipertegas perumusannya dalam Tatib. Demikian
juga dengan produk-produk DPR seperti risalah rapat atau produk
DPR lainnya terkait dengan solusi isu tertentu ke depan harus
transparan dan harus bisa diakses oleh masyarakat. Tatib DPR harus
membuat rumusan terkait batasan waktu kapan risalah pembahasan
RUU misalnya atau risalah rapat, atau risalah hasil investigasi terkait
isu tertentu bisa diakses masyarakat.

Partisipasi Masyarakat
Partisipasi politik masyarakat dapat diartikan sebagai peran
masyarakat secara aktif dalam upaya mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik termasuk di dalamnya
dalam proses penentuan kepemimpinan politik. Dengan demikian,
partisipasi ini diarahkan pada kegiatan atau partisipasi masyarakat
dalam proses input dan output sekaligus.89

Untuk menciptakan tingkat partisipasi masyarakat yang optimal


dan memadahi, masyarakat harus dibekali dengan informasi publik
yang memadai. Dengan demikian, partisipasi politik memiliki kaitan
yang erat dengan transparansi atau sejalan dengan perspektif
instrumentalis, transparansi dapat diposisikan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan lainnya yang sama-sama fundamental yakni
partisipasi.90

89 Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Sarana Indonesia, 1992), hal. 118 dan 142.
90 Stiglitz, op.cit., hal. 28, 31.

90 Peran Perwakilan Parlemen


Sementara itu, terkait dengan implementasi fungsi legislasi,
partisipasi masyarakat terhadap penyiapan dan pembahasan UU
telah diatur pada Pasal 141 sampai 143. Pada Pasal 141 antara lain
diatur tentang hak masyarakat untuk memberikan masukan secara
lisan dan tertulis kepada DPR, dan tata cara penyampaian masukan
masyarakat sampai diadakan RDPU. Pasal 142 mengatur partisipasi
masyarakat dalam pembahasan RUU, pengaturannya seperti yang
diatur pada Pasal 141. Hanya, masukan dari masyarakat secara
tertulis disampaikan kepada Pimpinan DPR sebelum Pembicaraan
Tingkat II. Sementara itu, Pasal 143 mengatur bahwa selain masukan
berdasarkan permintaan masyarakat, maka alat kelengkapan yang
menyiapkan atau membahas Rancangan Undang-Undang dapat
melakukan kegiatan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat.
Kegiatan tersebut dapat berupa Rapat Dengar Pendapat Umum,
seminar atau kegiatan sejenis, dan kunjungan.

Tatib DPR hanya mengatur partisipasi masyarakat di bidang


legislasi yakni dalam penyiapan dan pembahasan RUU. Sedang dalam
kerangka pelaksanaan fungsi yang lain secara implisit diatur dalam
aturan Pasal yang mengatur tugas alat kelengkapan yakni tugas
Komisi, Panitia Anggaran dan Badan Legislasi.

Masyarakat juga bisa berpartisipasi menyampaikan aspirasinya


saat Anggota mengadakan kunjungan kerja yang dilakukan dalam
rangka penyerapan aspirasi masyarakat. Pasal 8 ayat (3) menyatakan
bahwa: “Setiap Anggota mengadakan kunjungan ke daerah
pemilihannya sekurang-kurangnya 1 (satu) kali 2 (dua) bulan dengan
waktu paling lama 5 (lima) hari yang dilaksanakan di luar Masa Reses
dan di luar sidang-sidang DPR”
Adapun Pasal 42 ayat (2) butir e, yang menyatakan bahwa :
Badan Legislasi dalam melaksanakan tugasnya, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat:
Mengadakan Kunjungan Kerja dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat
dan studi banding untuk penyiapan Rancangan Undang-Undang dengan
persetujuan Pimpinan DPR yang hasilnya dilaporkan dalam Rapat Badan
Legislasi untuk ditentukan tindak lanjutnya.

Peran Perwakilan Parlemen 91


Pasal 37 ayat (4) huruf e
Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), dapat:
mengadakan kunjungan kerja dan studi banding dalam Masa Reses,
atau apabila dipandang perlu, dalam Masa Sidang dengan persetujuan
Pimpinan DPR yang hasilnya dilaporkan dalam Rapat Komisi untuk
ditentukan tindak lanjutnya;

Jadi, selain melalui mekanisme RDPU, maka penyerapan aspirasi


dilakukan melalui surat yang disampaikan ke DPR baik dalam
rangka memberikan masukan terhadap pembahasan RUU, maupun
permasalahan lainnya. Seminar juga merupakan ajang bagi Anggota
Dewan untuk mendapatkan masukan. Di samping itu, penyerapan
aspirasi juga dilakukan dengan mengadakan kunjungan kerja.

Adapun kunjungan kerja yang dilakukan Anggota Dewan selain


kunjungan kerja perorangan yang mengunjungi konstituennya, maka
juga ada kunjungan kerja yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai
anggota alat kelengkapan DPR. Kunjungan kerja yang dilakukan oleh
Komisi misalnya, maka ada dua jenis kunjungan kerja yakni kunjungan
kerja komisi pada saat reses, dan kunjungan kerja khusus yang terkait
dengan isu tertentu misalnya tentang isu beras untuk keluarga miskin
(raskin).

Khusus mengenai kunjungan kerja Anggota Dewan, pada


prakteknya selama ini tidak menggunakan pola yang baku dan bisa
dipertanggungjawabkan. Kunjungan kerja yang dilakukan komisi
seringkali dilakukan tanpa rencana. Anggota turun ke daerah bukan
dengan maksud untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
masyarakat di daerah saat itu. Tapi umumnya Anggota DPR justru
baru mengetahui di daerah tersebut sedang menghadapi berbagai
masalah ketika mereka melakukan kunjungan kerja tersebut.91

Saat melakukan kunjungan kerja ke daerah tersebut, Anggota


Dewan menghimpun permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Namun bagaimana penyelesian masalah mereka, masyarakat yang

91 Informasi dari staf Komisi VII FGD UNDP tentang Pengaduan Masyarakat, Agustus 2007.

92 Peran Perwakilan Parlemen


bersangkutan tidak akan mengetahuinya secara pasti sampai Anggota
Dewan kembali ke daerah tersebut untuk menghimpun kembali
permasalahan yang baru. Sehingga siklus kunjungan ke daerah hanya
berkutat seputar menghimpun dan menampung permasalahan tapi
tidak menginformasikan penyelesaian masalahnya dan masyarakat
pengadupun tidak mendapatkan solusi atas permasalahan yang
mereka hadapi.

Hal ini akan berbeda apabila kegiatan Dewan diliput oleh media
massa, misalnya TV Parlemen atau di upload di website DPR, maka
publik atau konstituen akan melihat bahwa wakil mereka membahas
permasalahan mereka dalam kesempatan Raker dengan Pemerintah,
karena seperti yang dilakukan oleh F-PG bahwa :
“Di awal masa sidang, semua diminta membuat laporan dari daerah pemilihannya,
laporan anggota disampaikan ke hubda (penghubung daerah), hubda disampaikan
ke hubwil (penghubung wilayah), hubwil disampaikan ke fraksi, baik itu laporan
mengenai kondisi daerahnya, masalah yang dihadapi di daerah, saya di Komisi V
tapi kalau masalah yang dihadapi masalah pertanahan, itu urusan komisi II. Dengan
kompilasi itu masing-masing anggota mengetahui masalah-masalah yang dihadapi
daerah-daerah, masalah pertanahan menjadi perhatian anggota di komisi II untuk
dibicarakan dengan Menteri waktu Raker. Itu yang dilakukan terkait dengan fungsi
koordinasi fraksi terhadap anggota”.92

Dengan dieksposnya Raker dengan Menteri yang membahas


permasalahan rakyat pengadu, maka masyarakat tahu bahwa wakil
mereka telah berbuat banyak untuk masyarakat yang diwakili. Selama
ini masyarakat menganggap wakil rakyat tidak berbuat apa-apa
terkait dengan kepentingan mereka, karena tidak terekspose oleh
media yang memberitakan kegiatan/apa yang dilakukan Anggota
Dewan terkait kepentingan masyarakat/konstituen.

Terkait dengan kunjungan kerja perorangan, maka sebenarnya


ada fraksi yang sudah membuat pola mekanisme kerja kunjungan
daerah. Di Fraksi Partai Golkar (F-PG) misalnya, semua Anggota
diminta membuat laporan tertulis di akhir masa reses. Laporan tertulis
tersebut adalah laporan Anggota melakukan kunjungan kerja alat
kelengkapan dan kunjungan kerja perorangan pada saat reses.

92 Wawancara dengan Darul Siska, Fungsionaris F-PG, tanggal 8 Juli 2008.

Peran Perwakilan Parlemen 93


Demikian juga di Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP).
Mekanismenya dimulai dari fraksi menyiapkan surat tugas ke setiap
Anggota fraksi saat menjelang reses. Dalam surat tugas itu dikatakan
bahwa Anggota yang bersangkutan akan kembali ke daerahnya
masing-masing dalam rangka menyerap aspirasi yang berkembang
di masyarakat, menemui pihak-pihak tertentu yang terkait. Lukman
Hakim Saefuddin menyatakan:
“setidaknya ada dua atau tiga hal yang dilakukan dalam reses kunjungan kerja
perorangan itu: Pertama, mensosialisasikan ketika bertemu dengan konstituen atau
ketika bertemu pejabat-pejabat terkait yang ada di daerah. Mensosialisasikan apa
yang telah dilakukan Dewan melalui komisi-komisi, telah mensyahkan Undang-
undang ini atau sedang membahas Undang-undang ini, jadi apa yang sudah
dan sedang dilakukan. Kedua, menyerap aspirasi terhadap apa yang sedang dan
dilakukan oleh DPR, ketika kita akan membahas revisi Undang-undang tertentu
kita meminta masukan masyarakat. Ketiga, karena masing-masing juga terkait di
komisinya, maka dia bertemu dengan pejabat pemerintah atau aparat eksekutif yang
terkait dengan komisinya. Jadi kalau dia komisi III maka kaitannya dengan kepolisian.
Ketika di daerah dia juga bisa bertemu dengan Polres setempat atau Polda setempat
untuk kemudian untuk dua hal tadi itu.” 93

Laporan tertulis dari Anggota F-PPP sebenarnya diharuskan tetapi


pelaksanaannya tidak semua membuat laporan tertulis tersebut.
Untuk mengatasi hal ini, maka fraksi menyiasati dengan mengadakan
rapat pleno fraksi. Jadi setelah reses, pada minggu pertama atau
kedua awal persidangan diadakan rapat pleno dimana masing-
masing anggota diberikan waktu untuk menyampaikan hal-hal yang
penting, yang khusus terkait aspirasi di masyarakat.

Di Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), maka Kunjungan Kerja


tiap dua bulanan dibagi habis ke dalam semua daerah pemilihan dan
dikoordinasikan dengan DPW. Dalam prosesnya juga melibatkan
semua anggota DPRD terkait. Mekanisme perjuangan anggota
terhadap konstituen tergantung pada isu yang dihadapi. Jika isu
policy diperjuangkan lewat saluran mekanisme di DPR, urusan
realisasi program public diruntut kepada instansi berwenang untuk
memfasilitasi menghubungkan ke sumber dana publik. Namun
urusan yang nilainya kecil yakni 1-2 juta dibiayai oleh Anggota sendiri.

93 Wawancara dengan Lukman Hakim Saefudin, Fungsionaris F-PPP, tanggal 15 Juli 2008.

94 Peran Perwakilan Parlemen


Namun demikian, dalam proses penyerapan aspirasi seringkali terjadi
missing link antara perencanaan di daerah dengan apa yang riil
dihadapi masyarakat sehingga sering tidak nyambung antara aspirasi
dengan program yang dilakukan. Secara implisit bisa dikatakan bahwa
perencanaan pemerintah (daerah) yang tidak selalu klop.94

Meskipun masalah partisipasi masyarakat telah diakomodasi


dalam Tatib tetapi sejumlah persoalan masih dianggap mengganjal.

Pertama, Tatib baru sebatas memberikan ruang bagi partisipasi


masyarakat dalam proses legislasi sampai pada tingkatan yang
terbatas. Akses masyarakat dalam proses legislasi yang hanya sampai
pada tahapan RDPU, dianggap belum memberikan peran publik yang
memadai dalam proses pembuatan keputusan politik.

Kedua, kedua proses interaksi antara kepentingan dan pandangan


masyarakat dengan para pengambil keputusan tidak selamanya
mengalami sinergi dengan kepentingan fraksi-fraksi di DPR sebagai
akibat tereduksinya kedaulatan politik anggota DPR oleh kekuatan
fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik yang bersangkutan.
Dalam kondisi seperti ini, potensi terputusnya partisipasi publik dalam
proses legislasi sangat besar.

Ketiga, masih rendahnya akuntabilitas DPR dalam pelaksanan fungsi


representasi yang sebagian diakibatkan oleh persoalan derajat
kedaulatan anggota dan sistem rekrutmen politik yang belum begitu
memihak kepada konstituen. Ditambah lagi dengan masih kurang
terbukanya proses legislasi di DPR, maka akibatnya masyarakat
sering tidak mengetahui tindaklanjut dari aspirasi dan usulan yang
disampaikannya dalam proses tersebut.

Hal lain adalah yang menyangkut persoalan bagaimana


menentukan instrumen dalam membuka ruang partisipasi rakyat.
Namun demikian, secara prinsip kiranya telah menjadi sebuah
konsensus bahwa masalah ruang yang lebih besar bagi partisipasi
masyarakat dalam proses legislasi di DPR semakin menjadi kebutuhan

94 Wawancara dengan Agus Purnomo, Anggota F-PKS, tanggal 7 Juli 2008.

Peran Perwakilan Parlemen 95


yang mendesak untuk diakomodasi dalam Tatib menuju terwujudnya
produk legislasi yang semakin berkualitas, aspiratif dan partisipatif.95

Rekomendasi Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI sangat


progresif terkait partisipasi masyarakat dalam tugas kedewanan.
Rekomendasi-rekomendasi Tim tersebut antara lain:96

1. memfasilitasi dialog publik antara Anggota DPR RI dengan


masyarakat secara reguler melalui fraksi-fraksi.
2. membuka kesempatan kepada masyarakat yang ingin
menyampaikan aspirasi secara langsung. Untuk itu, program kerja
yang perlu dilakukan adalah membuat mekanisme penyampaian
aspirasi masyarakat kepada Pimpinan, alat kelengkapan dan fraksi-
fraksi di DPR RI. Juga membentuk kelompok kerja pengaduan
masyarakat pada masing-masing alat kelengkapan DPR RI.
3. menyediakan nomor panggil telepon khusus pelayanan /akses
informasi kegiatan DPR RI. Untuk itu perlu melakukan kerjasama
dengan perusahaan jasa telekomunikasi untuk menyediakan
nomor panggil telepon khusus pelayanan/akses informasi kegiatan
DPR RI.
4. membangun tempat khusus bagi delegasi masyarakat yang datang
langsung ke DPR untuk menyampaikan aspirasinya.
5. melakukan kerjasama dengan kantor pos, media cetak, dan media
elektronik lainnya untuk mensosialisasikan kotak pos pengaduan
masyarakat, agar dapat dimanfaatkan publik untuk menyampaikan
aspirasinya.
6. memperluas jaringan dan meningkatkan kerjasama dengan
lembaga pendidikan tinggi dan lembaga yang terkait dengan
perundang-undangan (misalnya Badan Pembinaan Hukum
Nasional), serta institusi lain yang bergerak di bidang penelitian
(untuk mendapatkan informasi yang tepat guna dan tepat waktu,
guna mendukung proses legislasi seperti penyusunan naskah
akademis dan uji sahih).

95 Wawancara dengan Nizar Dahlan (Fraksi BPD dari PBB), 15 Juli 2008.
96 Rekomendasi dan Program Kerja Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, hal. 11-67.

96 Peran Perwakilan Parlemen


7. menyiapkan rencana Kunjungan Kerja komisi-komisi,
mensosialisasikan seluruh rencana/jadwal kunjungan kerja
lewat website DPR RI, dan menyiapkan draft buku mekanisme
pelaksanaan kunjungan kerja lintas fraksi.
8. membuat mekanisme baku mengenai pelaksanaan kunjungan
kerja perorangan lintas fraksi (berdasarkan daerah pemilihan) dan
lintas komisi.
9. mendirikan rumah aspirasi yang menjembatani anggota DPR
dengan rakyat di daerah pemilihannya.
10. Terkait dengan aspirasi masyarakat, maka perlu:
1. membuat analisa terhadap pengaduan masyarakat dalam
website DPR RI.
2. membuat draft mekanisme penyampaian aspirasi masyarakat,
disosialisasikan lewat website DPR RI.
3. menyusun jadwal rapat komisi untuk menindaklanjuti surat-
surat pengaduan masyarakat.
4. membuka akses publik melalui website DPR RI.

Akuntabilitas Anggota Dewan


Akuntabilitas (politik) dapat diartikan sebagai:
Pertama; pertanggungjawaban pemerintah, pejabat publik dan politisi
terhadap publik dan terhadap badan-badan publik yang berdasarkan
aturan hukum didirikan untuk menerima pertanggungjawaban publik
seperti parlemen atau legislatif.
Kedua; merujuk pada pertanggungjawaban setiap orang [publik--
pejabat publik] atas segala tindakannya berdasarkan ruang lingkup
tanggung jawabnya dan peran-perannya yang telah didefinisikan
secara jelas.
Ketiga; diartikan sebagai mekanisme di mana setiap orang
yang diberi tanggungjawab atau tugas tertentu diminta untuk
mempertanggungjawabkan hasil kerjanya.97

97 The Chartered Institute of Public Finance and Accountancy, Corporate Governance in the Public Service (London:
CIPFA, 1994)

Peran Perwakilan Parlemen 97


Pasal 13 ayat (2) huruf h memang telah mengatur tentang
kewajiban Anggota Dewan untuk memberikan pertanggungjawaban
secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya.
Namun, ketentuan dalam Tatib ini tidak atau belum mengatur
tentang mekanisme akuntabilitas Anggota Dewan tersebut
dioperasionalisasikan.

Bagaimana sebenarnya bentuk pertangggungjawaban Anggota


Dewan dioperasionalisasikan? Arbi Sanit menyatakan yakni dengan
mewajibkan pada setiap Anggota Dewan untuk menginformasikan
hasil kerjanya kepada publik dan melaporkannya kepada konstituen.98
Selanjutnya dikatakan bahwa informasi kepada publik dan laporan
kepada konstituen tentang apa-apa yang telah dilakukannya, seperti
sikap dan tindakannya terkait isu tertentu baik menyangkut konstituen
secara langsung atau tidak, dilakukan setiap periode waktu tertentu
atau paling lama per masa sidang.

Implementasi fungsi-fungsi seperti fungsi legislasi, Anggota DPR


bisa menginformasikan ke publik dan melaporkan ke konstituen
tentang posisinya dalam pembahasan suatu UU. Demikian juga
pada pelaksanaan fungsi pengawasan, maka Anggota bisa
menginformasikan dan melaporkan bahwa pada pelaksanaan hak
angket misalnya, posisinya menyetujui atau menolak dengan alasan-
alasan tertentu. Anggota juga bisa menginformasikan dan melaporkan
apa yang telah dilakukan saat melakukan kunjungan kerja waktu reses.
Demikian juga saat mengadakan rapat kerja dengan menteri, Anggota
bisa menginformasikan isu-isu yang dia angkat dan bahas dengan
Menteri, dan lain sebagainya. Informasi dan pelaporan tersebut bisa
dilakukan pada akhir masa sidang.

Informasi dan pelaporan sebagai bentuk pertanggungjawaban


publik dapat dilakukan melalui berbagai media. Anggota bisa
memberikan keterangan pers secara periodik tentang pelaksanaan
tugas-tugasnya.99 Atau publikasi kegiatan Anggota tersebut bisa

98 Arbi Sanit dalam Pembahasan Proposal Kajian tentang Pelembagaan Fungsi Representasi dalam Tatib DPR RI,
PROPER – UNDP, Hotel Ibis Jakarta, 15 Mei 2008
99 Saran Arbi Sanit, Ibid.

98 Peran Perwakilan Parlemen


dilakukan dengan meng-upload semua catatan kegiatan mereka
melalui website DPR.

Kewajiban Anggota Dewan untuk menyerap, menghimpun,


menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dalam
rangka menjalankan ketiga fungsinya sehari-hari bisa dicatat dan
didokumentasikan oleh staf ahli masing-masing Anggota. Seperti
pendapat Darul Siska, apabila staf ahli Anggota bisa meng-upload
catatan kegiatannya di website DPR, maka “kegiatan harian saya bisa
dilihat, staf saya tahu hari ini saya rapat dengan siapa, substansi apa
yang dibicarakan. Staf ahli mestinya mengikuti saya rapat dengan
siapa, saya bicara apa, ini dikoordinasi, itu dicatat (dikompilasi) setiap
masa sidang”.100 Jadi, apabila staf ahli Anggota telah mencatat kegiatan
harian Anggota, maka pemberian dan pelaporan informasi bisa
dilakukan secara harian, mingguan, bulanan atau per masa sidang.

Selama ini, tindak lanjut dari aspirasi/masukan dari masyarakat


yang disampaikan dalam RDPU, atau melalui surat, juga dengan
seminar atau melalui kunjungan kerja Anggota Dewan tersebut,
publik tidak pernah tahu. Tatib DPR tidak mengatur bagaimana
aspirasi yang diserap tersebut ditindaklanjuti. Apakah aspirasi mereka
benar-benar dijadikan bahan pertimbangan Anggota Dewan atau
tidak. Publik juga tidak mengetahui atau tidak mendapatkan informasi
yang cukup bagaimana proses tindaklanjut yang berlangsung telah
mengakomodasi aspirasi/masukan masyarakat atau tidak. Akibatnya,
terkesan di publik DPR tidak pernah memberitakan /menginformasikan
aktivitasnya kepada publik dan konstituennya.

Adalah hal yang tidak selayaknya dilakukan DPR yaitu ketika


mengundang para undangan untuk memberikan masukan saat RDPU
tapi masukannya justru tidak diakomodasi.101 Dari praktek yang
selama ini terjadi, terkesan bahwa aspirasi masyarakat diakomodasi
oleh Anggota Dewan adalah aspirasi yang sejalan dengan kebijakan
dan pendirian fraksi. Apabila tidak sejalan/bertentangan dengan
pendirian fraksi, maka tidak diakomodasi. Sehingga yang menjadi
100 Wawancara dengan Darul Siska, Ibid
101 Arbi dalam Seminar Proposal, Ibid.

Peran Perwakilan Parlemen 99


pertimbangan pertama dan utama adalah pendirian fraksi terlebih
dahulu, baru kemudian mempertimbangkan aspirasi yang
disampaikan masyarakat.102

Ketika kami menginformasikan praktek tersebut kepada Ketua


Fraksi PPP, beliau membenarkan praktek tersebut, dan menambahkan
bahwa hampir semua fraksi akan berperilaku seperti itu. Hal itu
dilakukan dengan alasan bahwa aspirasi masyarakat yang datang
kepada/disampaikan ke DPR itu hanyalah aspirasi yang muncul
di permukaan. Namun aspirasi yang tidak disampaikan oleh
kalangan masyarakat yang lain atau yang tidak manifes juga harus
dipertimbangkan.103

Menurut kami, pendapat semacam itu berarti menenggelamkan


aspirasi/masukan masyarakat yang muncul ke permukaan dengan
dalih mempertimbangkan aspirasi kelompok masyarakat lain yang
laten. Terkesan jawaban semacam itu merupakan upaya yang hendak
mengelak dari tanggungjawab. Apalagi, dikatakan bahwa hal itu
dilakukan demi mempertimbangkan aspirasi yang tidak muncul di
permukaan. Permasalahannya adalah kenapa aspirasi yang tidak
muncul di permukaan dijadikan bahan pertimbangan?

Untuk itu, maka seharusnya aspirasi/masukan masyarakat dan


kepentingan kelompok melalui surat, petisi, delegasi harus dijamin
untuk dibahas dan ditindaklanjuti pada setiap tahap pembahasan-
pembahasaan berikutnya.104 Apabila terpaksa tidak diakomodasi,
maka publik sebaiknya juga mengetahui alasannya mengapa
masukan mereka tidak diakomodasi. Di sinilah letak pentingnya
keterbukaan akses publik tersebut. Diakomodasi atau tidaknya suatu
aspirasi akan bisa diketahui apabila persidangan di DPR dilakukan
secara terbuka atau hasil pembahasannya dipublikasikan di website
DPR, atau ditayangkan secara langsung oleh TV Parlemen dan/atau
oleh TV swasta lainnya.
102 Pengalaman pribadi penulis saat mendampingi kunjungan kerja Pansus RUU Pemilu Legislatif dan RUU Partai
Politik.
103 Wawancara dengan Sekretaris Fraksi PPP, Ibid.
104 Masukan Revisi UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD tentang Prinsip Representasi,
Point ke-5, PROPER – UNDP.

100 Peran Perwakilan Parlemen


Terkait dengan upaya untuk meningkatkan tingkat akuntabilitas
Anggota Dewan, maka usulan Tim Peningkatan Kinerja DPR yang
merekomendasikan pembentukan rumah aspirasi105 juga perlu
dipertimbangkan. Rumah aspirasi tersebut dirikan untuk menjembatani
anggota Dewan dengan konstituen di daerahnya. Rumah aspirasi juga
bisa dijadikan tempat untuk menampung konstituen dari lintas partai.
Di samping itu juga bisa dijadikan sebagai ajang bertemunya Anggota
DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota.

Selama ini, tidak ada komunikasi antara Anggota DPR, DPRD


Provinsi dan Anggota DPRD Kab./Kota. Satu-satunya jalur yang
digunakan untuk komunikasi mereka adalah jalur partai. Di rumah
aspirasi tersebut, aspirasi/masukan yang masuk bisa dipilah-pilah
mana permasalahan yang masuk pada kewenangan DPR RI, DPRD
Provinsi dan mana permasalahan yang masuk kewenangan DPRD Kab/
Kota. Oleh karena itu, “harus dipikirkan dalam rangka meningkatkan
efektivitas tugas anggota Dewan, bagaimana menyinkronkan peran
anggota DPR dan DPRD secara berbarengan. Itu harus menjadi
pemikiran di UU Susduk.”106

Menurut Darul Siska, rumah aspirasi akan banyak membantu


karena:
“Anggota Dewan di daerah konstituen paling lama 2 minggu, padahal problema kita
sepanjang waktu. Karena belum tentu dalam waktu 2 minggu dimana Anggota di
dapil, semua yang berkepentingan bisa hadir. Tapi kalau ada kantor tetap, orang bisa
mengadukan masalahnya setiap waktu. Anggota segera bisa dihubungi, seandainya
ada kelangkaan pupuk di dapil tersebut. Kalau Anggota sedang di Jakarta, bisa
berkoordinasi dengan Anggota dari Komisi VI untuk mempertanyakan kepada menteri
terkait tentang langkanya pupuk tersebut. Kalau tidak begitu, maka Anggota tahu
langkanya pupuk saat reses, padahal problem itu perlu penyelesaian segera. Kalau
masalah pupuk baru terselesaikan sebulan kemudian, masa kebutuhan pupuknya
sudah lewat.

Dalam kerangka pelaksanaan kunjungan kerja ini, maka


Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR merekomendasikan untuk;

105 Rekomendasi dan Program Kerja, Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, Jakarta, Desember 2006, hal. 55.
106 Ibid.

Peran Perwakilan Parlemen 101


pertama, menyiapkan rencana Kunjungan Kerja komisi-komisi.
Kedua, mensosialisasikan seluruh rencana/jadwal Kunjungan Kerja
lewat website DPR RI. Ketiga, menyiapkan draft buku mekanisme
pelaksanaan Kunjungan Kerja lintas fraksi.107

Untuk menunjukkan bahwa Anggota Dewan mempunyai


akuntabilitas politik, maka Tatib Dewan hendaknya mengatur bahwa
Anggota DPR harus menginformasikan ke publik dan melaporkan
kepada konstituen mereka tentang kegiatan-kegiatan mereka.
Lukman H.S. pada prinsipnya setuju dengan mekanisme pelaporan
tersebut, dengan catatan harus disiapkan instrumennya misalnya
membuat form, apa yang dilaporkan, kalau tidak lalu apa sanksinya.
Hal-hal ini penting supaya aplicable.

Anggota melalui staf ahlinya bisa memberikan laporan


kegiatannya ke rumah aspirasi di daerah pemilihan Anggota yang
bersangkutan. Demikian juga apabila sedang dilakukan pembahasan
suatu RUU, maka sesuai rekomendasi Tim Kajian Peningkatan Kinerja
DPR RI bahwa minimal setiap akhir masa sidang, Panitia Khusus/
Komisi memberikan press release kepada masyarakat tentang progress
pembahasan suatu RUU.

Terkait dengan akuntabilitas ini, maka Arbi Sanit menyarankan


agar dalam lembaga internal Dewan juga membuat laporan dari
anggota kepada ketuanya, misal anggota fraksi kepada ketua fraksinya,
anggota komisi kepada ketua komisinya begitu pula dengan alat
kelengkapan Dewan yang lain.

Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI juga merekomendasikan


untuk menerbitkan laporan tahunan pelaksanaan tugas dan fungsi
serta pertanggungjawaban keuangan Dewan, yang dipublikasikan
kepada umum.108 Selama ini, Sekretariat Jenderal sudah menyusun
buku tahunan tentang kegiatan DPR maupun kegiatan Sekretariat
Jenderal, namun tidak atau belum memasukkan pertanggungjawaban
keuangan Dewan maupun Setjen ke dalam buku tahunan tersebut.

107 Ibid, hal. 66


108 Rekomendasi dan Program KerjaTim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI, Jakarta, 2006, hal. 37.

102 Peran Perwakilan Parlemen


Kredibilitas Anggota Dewan
Secara harfiah, kredibilitas berkaitan dengan derajat kepercayaan
yang harus diberikan terhadap janji dan perilaku seseorang. Kredibilitas
merujuk pada ketulusan dan kebenaran. Dengan demikian, kredibilitas
politik dari seorang aktor politik dapat dirumuskan sebagai kondisi yang
merujuk pada seorang politisi yang berhak untuk dimintai informasi
dan berhak untuk memberikan bukti dalam suatu pengadilan.109

Untuk menjadi wakil rakyat maka dipersyaratkan memenuhi


kualitas tertentu yang memungkinkan bisa memperoleh kepercayaan
dari rakyat. Secara konseptual, wakil rakyat akan dianggap memiliki
kredibilitas yang tinggi apabila dapat memenuhi tiga kualifikasi, yaitu
intelligence, character, dan goodwill.110

Selanjutnya dikatakan bahwa:


Intelegensi atau kecerdasan berkaitan dengan kualitas pengetahuan
yang disampaikan (practical wisdom) oleh the speaker (wakil rakyat)
kepada pihak lain. Adapun karakter atau watak berkaitan dengan
citra the speaker (wakil rakyat) sebagai pribadi yang baik dan jujur.
Dengan kata lain, agar wakil rakyat kredibel di hadapan publik, ia
harus berbudi luhur (virtuous character). Dan goodwill dicerminkan
oleh adanya kehendak atau niat baik wakil rakyat untuk memberikan
sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.111

Parameter kredibilitas tersebut bersifat normatif yang menuntut


“bagaimana seharusnya” wakil rakyat berperilaku supaya dipercaya
rakyat. Wakil rakyat melalui komunikasi politik yang dilakukan, adalah
individu-individu yang berpotensi melakukan kebohongan (lying)
dan kecurangan (deception). Dalam pandangan etika, kebohongan
dan kecurangan pada dasarnya adalah ekspresi dari penindasan
terhadap kebenaran.112 Oleh karena itu, wakil rakyat/politisi harus

109 Blak’s Law Dictionary, 4th.rev.ed., West Publishing Co., 1968.


110 Pendapat Em Griffin yang dikutip oleh Turnomo Rahardjo, pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas
Diponegoro, Suara Merdeka, Kamis, 01 Maret 2007.
111 Ibid.
112 Ibid.

Peran Perwakilan Parlemen 103


menyadari bahwa kekuasaan mereka bersumber dari rakyat dan harus
mempertanggungjawabkan kekuasaan yang dipercayakan itu kepada
rakyat.

Terkait Tatib DPR, maka problemnya adalah bagaimana membuat


aturan Tatib yang bisa mengarahkan Anggota Dewan menjadi
Anggota Dewan yang kredibel. Terkait dengan peran representasi,
maka dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 no. 5 dinyatakan
bahwa: “Anggota DPR, selanjutnya disebut Anggota, adalah wakil
rakyat yang telah bersumpah atau berjanji sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh
memperhatikan kepentingan rakyat.”

Sementara itu, sumpah/janji Anggota DPR antara lain mengatakan


bahwa: “Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah; bahwa saya akan
memenuhi kewajiban saya sebagai Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya;............ Bahwa
saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara
kesatuan Republik Indonesia (Pasal 7 ayat (4)).”

Di samping itu, Anggota mempunyai kewajiban; “memperhatikan


upaya peningkatan kesejahteraan rakyat.” (Pasal 13 ayat (2) butir e),
dan; “mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongan.” (Pasal 13 ayat (2) butir g).

Namun begitu, dalam pengaturan tentang penggunaan hak-


hak Anggota dan mekanisme kerja dalam melaksanakan fungsi-
fungsi Dewan tidak terlihat ada pedoman bagaimana bentuk/cara
Anggota bersungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat,
bagaimana memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan
rakyat, dan bagaimana mendahulukan kepentingan negara diatas
kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Tidak terlihatnya pedoman untuk operasionalisasi seperti yang


disebutkan diatas, karena pengaturan tentang kewajiban kelembagaan
DPR dan Anggota Dewan secara individu didalam Tatib hanya diatur

104 Peran Perwakilan Parlemen


secara prosedural bagaimana kewajiban tersebut dijalankan. Dalam
kerangka implementasi fungsi-fungsi tersebut tidak diatur hal-hal
yang bersifat substansial yakni substansi interaksi anggota dalam
pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan.

Pengaturan secara substansial tentang kewajiban Anggota


untuk memperhatikan kepentingan rakyat, memperhatikan upaya
peningkatan kesejahteraan rakyat secara memadai akan berdampak
pada tingginya tingkat kredibilitas Anggota Dewan dimata rakyat.
Dari kumpulan Anggota yang mempunyai tingkat kredibilitas yang
tinggi, maka akan meningkatkan kredibilitas kelembagaan DPR.

Untuk menciptakan lembaga DPR yang kredibel, maka mekanisme


kerja pelaksanaan fungsi-fungsi DPR dikondisikan supaya bermuatan
perwakilan politik. Setiap kegiatan dalam kerangka pelaksanaan
fungsi-fungsi Dewan, maka; “dipastikan kepada Anggota-Anggotanya
untuk: pertama, menyelesaikan masalah; kedua, mendorong kemajuan;
ketiga, mensejahterakan konstituen secara adil.”113

Menanggapi usulan ini, maka Darul Siska menyetujuinya,


sehingga ke depan ada laporan perkembangan yang mereka lakukan.
Sementara itu, Agus Purnomo mengatakan bahwa: ”Karena Tatib
merupakan pengaturan prosedural, maka pengaturan Tatib ke arah
yang lebih substansial kurang pas diatur di sana dan lebih pas diatur
di Susduk yang selanjutnya normanya kemudian di-break down ke
Tatib.114

Sementera bagi Lukman H. Saefudin, bahwa pengaturan tentang


dimensi substansi di Tatib setuju saja sepanjang tidak menimbulkan
perdebatan, jelas parameternya, memang masih diperlukan
mekanisme operasionalisasi dari tugas dan wewenang Anggota untuk
menyerap aspirasi masyarakat dan memperhatikan peningkatan
kesejahteraan rakyat. Hal ini menuntut berbicara hal yang sifatnya
substansial dan kualitatif.115

113 Saran Arbi Sanit dalam Pembahasan Proposal, op-cit.


114 Wawancara dengan Agus Purnomo, op-cit.
115 Wawancara dengan Lukman H. Saefudin, op-cit.

Peran Perwakilan Parlemen 105


Selain itu, seorang Anggota Dewan yang mempunyai kredibilitas
yang tinggi tentunya akan mengedepankan sikap kenegarawanan.116
Sikap semacam itu memang sesuai dengan tuntutan dalam Tatib
yang memberikan kewajiban pada Anggota untuk “mendahulukan
kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan.”(Pasal 13 ayat (2) butir g). Untuk itu, maka Anggota Dewan
harus mempunyai kemandirian dalam bersikap.

Seperti penilaian Muchtar Pakpahan bahwa keanggotaan DPR


bukanlah keanggotaan yang aktif (personnel active) akan tetapi partai
atau fraksi yang aktif (faction active). Artinya pendekatan yang berlaku
adalah pendekatan struktural, sehingga aktivitas pribadi dalam DPR
harus dipandang sebagai aktivitas kelompok atau fraksi. Pendapat
pribadi tidak mempunyai arti walaupun mempunyai kebenaran dan
mendapat dukungan dari rakyat, bila sebaliknya yang diputuskan
oleh kelompok atau fraksi. Pola inilah yang mendasari Peraturan Tata
Tertib DPR.

Untuk mengarahkan Anggota Dewan agar bertindak dan bersikap


sebagai negarawan dan mendahulukan kepentingan negara diatas
kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, maka kooptasi fraksi
atas anggota-anggotanya perlu diperlonggar. Dengan demikian,
maka Anggota Dewan mempunyai kemandirian, kedaulatan ada pada
diri mereka sendiri, walaupun pada saat tertentu terikat dengan sikap
fraksi.

Untuk itu, maka peran fraksi yang dalam Tatib Dewan ini sangat
besar ke depan perlu dikurangi. Sampai saat ini, memang terdapat
beberapa tugas kedewanan yang terkait Pimpinan Fraksi. Penjelasan
tugas kedewanan tersebut yang terkait dengan Pimpinan Fraksi telah
diuraikan secara detail pada Bab III. Berikut ini adalah versi ringkasnya,
antara lain:
1. Dalam hal Pimpinan DPR membentuk Tim atas nama DPR
terhadap suatu masalah mendesak seperti yang tertuang pada
Pasal 27 ayat (3) butir h.

116 Arbi Sanit, op-cit.

106 Peran Perwakilan Parlemen


2. Terkait dengan perihal “Mengajukan/Menganjurkan,
memberikan persetujuan, Pertimbangan/Konsultasi, dan
Pendapat.” Pertimbangan/konsultasi tersebut diberikan oleh
Pimpinan DPR bersama Pimpinan Komisi terkait dan Pimpinan
Fraksi, kecuali Badan Musyawarah menentukan lain. Pemberian
pertimbangan terhadap calon Duta Besar negara sahabat,
apabila bertepatan dengan masa sidang, maka surat pencalonan
tersebut diberitahukan dalam Rapat Paripurna, kemudian surat
pencalonannya dibahas dalam konsultasi antara Pimpinan DPR,
Pimpinan Komisi terkait, dan Pimpinan Fraksi secara rahasia
(Pasal 158). Sementara pertimbangan terhadap calon Duta
Besar negara sahabat pada masa reses, surat pencalonan tersebut
oleh Pimpinan DPR segera disampaikan kepada Pimpinan Fraksi
secara rahasia. Kemudian surat tersebut dibahas dalam pertemuan
konsultasi antara Pimpinan DPR dengan Pimpinan Komisi terkait,
dan Pimpinan Fraksi secara rahasia (Pasal 159).
3. Terkait dengan Pembahasan Hasil Pemeriksaan BPK. Hasil
Pemeriksaan Semester BPK setelah dibahas dan ditindaklanjuti oleh
Komisi, kemudian hasil pembahasan oleh Komisi dijadikan bahan
Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat. Hasil Rapat Kerja dan/
atau Rapat Dengar Pendapat kemudian dilaporkan secara tertulis
kepada Pimpinan DPR. Kemudian Pimpinan DPR mengadakan
konsultasi dengan Pimpinan-Pimpinan Fraksi untuk membahas
laporan tertulis tersebut (Pasal 166 ayat 6).
4. Terkait dengan Konsultasi dan Koordinasi sesama Lembaga
Negara. Konsultasi dan koordinasi antara DPR dengan Lembaga
Negara yang lain dilaksanakan antara lain dalam bentuk pertemuan
antara Pimpinan DPR, Pimpinan Fraksi dan alat kelengkapan DPR
lainnya sesuai dengan ruang lingkup tugasnya dengan Pimpinan
dan/atau unsur jajaran Lembaga Negara yang lain (Pasal 169 ayat
(1) huruf d). Pada Pasal 169 ayat (2) dinyatakan bahwa: Pertemuan
konsultasi dan koordinasi antara Pimpinan DPR, unsur Pimpinan
Fraksi dan unsur Pimpinan alat kelengkapan DPR terkait, dengan
Presiden dilakukan secara berkala atau dengan MK dan MA
sesuai kebutuhan. Sementara itu, hasil pertemuan konsultasi dan

Peran Perwakilan Parlemen 107


koordinasi diberitahukan secara tertulis kepada Pimpinan Fraksi
dan Pimpinan alat kelengkapan DPR yang terkait, dan apabila
dipandang perlu dilaporkan dalam Rapat Paripurna”(Pasal 169 ayat
(4)).

Keempat hal tersebut diatas merupakan tugas kedewanan.


Berbicara tentang tugas kedewanan, maka seharusnya yang
melakukan kegiatan tersebut adalah lembaga internal Dewan atau
alat kelengkapan Dewan. Fraksi merupakan kepanjangan tangan
partai yang menempatkan wakilnya di DPR, dan bukan merupakan
alat kelengkapan Dewan. Idealnya, yang melakukan tugas kedewanan
adalah alat kelengkapan Dewan tanpa harus melibatkan Fraksi.

Tugas fraksi sendiri sebenarnya telah diatur dalam Tatib yaitu


pada PasaL 17, yang meliputi:
(1) mengkoordinasikan kegiatan anggotanya dalam
melaksanakan tugas dan wewenang DPR.
(2) meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan, dan
efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas
yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.

Dari ketentuan Pasal 17 tersebut, maka tugas fraksi bersifat


mengatur ke dalam yakni mengatur anggota-anggota fraksinya. Dalam
hal-hal tertentu, misal pada Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II
pembahasan RUU, maka pengaturan Anggota berbicara diatur per
fraksi, hal ini ditempuh untuk efisiensi karena tidak memungkinkan
tiap-tiap Anggota berbicara. Namun dalam konteks 4 tugas Dewan
diatas seharusnya tidak perlu melibatkan fraksi.

Menanggapi masalah tersebut, Darul Siska mengatakan bahwa;


“Yang menyangkut duta besar, sebenarnya dengan Komisi I cukup, karena
komisi sudah cerminan semua fraksi. Duta Besar ke kita ini kan sebenarnya
political appointee, dan tentu kami melihatnya dari kacamata politik. Komisi
memang memberikan pertimbangan, makanya sebelum konsultasi itu kita
dengar pendapat komisinya dulu sebagai alat kelengkapan. Jadi sebetulnya
untuk mendapatkan dukungan politik saja sebagai representasi pengelompokan

108 Peran Perwakilan Parlemen


kekuatan politik yang ada di Dewan. Kalau mau ditiadakan asal dirapatkan di
Komisi, sebetulnya cukup. Tidak semua harus melibatkan Pimpinan Fraksi, tapi
kadangkala ini jadi jalan/solusi di kala, umpama Bamus tidak lengkap atau
tidak bisa diadakan berkali-kali, maka diadakan konsultasi. Bamus kan juga
penunjukannya atas dasar fraksi.”117

Demikian juga dengan penggunaan hak Dewan dan hak Anggota


Dewan yang melibatkan fraksi. Penggunaan hak interpelasi, hak
angket, hak menyatakan pendapat, dan hak mengajukan RUU Usul
Inisiatif. Usul penggunaan hak-hak tersebut disampaikan secara tertulis
kepada Pimpinan DPR dengan disertai daftar nama dan tandatangan
pengusul serta nama fraksinya. Menyertakan ”nama fraksi” dalam
usulan penggunaan hak-hak tersebut bisa membebani Anggota yang
akan mengusulkan penggunaan hak tertentu. Hal ini terjadi apabila
dalam waktu tertentu dan terkait isu tertentu, ada Anggota yang tidak
sejalan dengan sikap fraksinya.
Menanggapi hal tersebut, Darul Siska mengatakan bahwa:
“Sebetulnya itu secara psikologis saja, tapi kan tahu kalau Darul Siska itu anggota
F-PG. Sebetulnya mau ditulis atau tidak, sama saja. Hal itu sebenarnya tidak
prinsip, toh di F-PG, sebelum ada sikap Fraksi, anggota Fraksi bisa melakukan
apa saja termasuk penggunaan hak bebas, asal yang bersangkutan cerdas
melihatnya. Karena, misal si X ikut menandatangani interpelasi, besok
tandatangan angket, kalau semua yang X usul kemudian tidak lolos, kredibilitas
saya menandatangani hak itu rugi, karena saya cuma ikut menandatangani
tanpa saya yakini apa yang saya tandatangani ini menjadi sesuatu hak Dewan.
Oleh karena itu, seseorang dalam menggunakan hak-hak semacam itu jangan
sekedar ikut. Yang menandatangani dan yang tidak menandatangani ada
argumentasi, kalau argumentasinya tidak meyakinkan maka kita tidak dukung.
Kalau menang dia kita dukung.” 118

Sementara itu, menurut Agus Purnomo, kaitannya dengan


kedaulatan Anggota:
“dalam kasus pelaksanaan hak-hak Anggota dan DPR, penghilangan
keterlibatan fraksi bisa dilakukan tetapi harus dilihat dalam konteks kapasitas
Anggotanya bagus dan daya dukungnya [suporting system] bagus. Tanpa itu,
aturan penghilangan peran fraksi akan kerepotan. Fraksi sampai sekarang masih
sangat kuat tidak hanya dalam mengkordinasikan para anggotanya tetapi

117 Wawancara dengan Darul Siska, op-cit.


118 Ibid.

Peran Perwakilan Parlemen 109


juga dalam menentukan posisi fraksi/partai atas isu tertentu di DPR, meskipun
dalam konteks presidensial, kebebasan anggota menjadi sesuatu yang normal.
Jadi dapat dipahami ketika usulan ini dapat diakomodasi apalagi fraksi bukan
alat kelengkapan Dewan. Hanya saja, khusus untuk pemeriksaan hasil laporan
BPK, penentuan Dubes/Panglima/Kapolri sejauh ini fraksi PKS masih longgar
terhadap para anggotanya. Dengan demikian, tidak masalah ketika peran fraksi
dihilangkan.” 119

Khusus penggunaan hak mengajukan RUU Usul Inisiatif,


mensyaratkan bahwa sekurang-kurangnya 13 (tiga belas) orang
Anggota dapat mengajukan usul inisiatif Rancangan Undang-Undang.
Padahal Pasal 21 UUD 1945 menyatakan bahwa: ”Anggota DPR berhak
mengajukan usul RUU.” Ini berarti bahwa Anggota secara individu
mempunyai hak untuk mengajukan RUU. Untuk itu sebaiknya Tatib
Dewan mengembalikan kedaulatan Anggota dalam pengajuan RUU
Usul Inisatif, sehingga seorang Anggota berhak mengajukan RUU Usul
Inisiatif.

Menurut Lukman, “aturan itu memang ideal, namun apabila sudah


ada penataan yang cukup baik, bagaimana mekanisme sebuah RUU, lalu
prosedurnya ke mana, diatur oleh Baleg yang punya staf ahli, kalau itu bisa
tergambarkan dengan baik. Tetapi kalau itu belum tergambarkan dengan
baik dikhawatirkan terjadi kekacauan.120

Hal lain yang mengintervensi kedaulatan Anggota yang telah


dipilih oleh rakyat adalah kewenangan Badan Kehormatan (BK)
yang mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi berupa
pemberhentian sebagai Anggota (Pasal 62 ayat (1) huruf c). Sementara
itu, Pasal 202 ayat (4) dan (5) menegaskan bahwa Anggota yang
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diberhentikan oleh Pimpinan DPR berdasarkan hasil pemeriksaan
Badan Kehormatan. Sedangkan ayat (4) menyebutkan bahwa Anggota
tidak boleh melakukan rangkap jabatan antara lain sebagai pejabat
struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, dan
lain sebagainya. Seharusnya sanksi pemberhentian sebagai Anggota

119 Wawancara dengan Agus Purnomo, op-cit.


120 Wawancara dengan Luqman H.S., op-cit

110 Peran Perwakilan Parlemen


merupakan kewenangan partai, bukan Pimpinan DPR berdasarkan
hasil pemeriksaan Badan Kehormatan.

Menurut Darul Siska, sebaiknya kewenangan Badan Kehormatan


(BK) DPR hanya mengingatkan, membuat catatan tentang etika
seseorang, tapi tidak merekomendasikan orang untuk dipecat.
Apabila BK menemukan unsur pidana serahkan ke penegak hukum.
Soal dipecat atau tidak, partai yang punya hak untuk itu.121

Senada dengan pendapat tersebut, Lukman H.S. mengatakan


bahwa:
BK itu sebenarnya institusi politis, dalam pengambilan keputusan, BK kalau
tidak musyawarah ya voting yang sangat politis berhubungan dengan suara
mayoritas, jadi kebenaran BK itu relatif sifatnya. Kalau BK punya kewenangan
memberhentikan, pemberhentian anggota itu sangat politis. Dikhawatirkan
apabila BK punya kewenangan itu, BK bisa dipolitisir untuk kepentingan-
kepentingan tertentu. Masalah pemecatan Anggota adalah urusan partai, BK
hanya berwenang dalam upaya penegakan etika.” 122

Berbeda dengan pendapat tersebut, maka Agus Purnomo


menanggapi positif dengan mengatakan:
“Sesuai dengan prinsip bahwa jabatan anggota DPR adalah jabatan amanah/
terhormat bukan jabatan layaknya jabatan-jabatan publik lainnya, maka
pelanggaran etika akan berakibat pada penghentian anggota tersebut, dan jika
terbukti ada kesalahan kriminal/pidana diserahkan kepada penegak hukum.” 123

Recall yang dilakukan oleh partai menurut pendapat kami masih


bisa dibenarkan, karena pada prakteknya masih banyak Anggota
ynag melakukan tindakan indisipliner, seperti bertahun-tahun tidak
melakukan kunjungan kerja ke daerah pemilihan walaupun tetap
mengambil dana tunjangan reses. Atau sering mangkir, dalam arti
menandatangani absensi tetapi tidak mengikuti sidang, atau malah
tidak pernah datang sama sekali. Konsekuensi dari pemberlakuan
sistem proposional representatif dengan daftar calon terbuka, maka
apabila ada anggota Dewan dari partai tertentu tidak menunjukkan

121 Wawancara dengan Darul Siska, op-cit.


122 Wawancara dengan Lukman H.S. op-cit.
123 Wawancara dengan Agus Purnomo, op-cit.

Peran Perwakilan Parlemen 111


kinerja yang baik, maka akan lebih baik apabila partai menggantinya
dengan kader lain yang lebih baik.

Hal yang secara tidak langsung terkait dengan kredibilitas


Anggota Dewan adalah kedisiplinan Anggota mengikuti sidang.
Untuk itu, maka seharusnya ada perbaikan pada manajemen
persidangan. Tatib Dewan pada Pasal 98 menyatakan bahwa: “Setiap
Anggota wajib menandatangani daftar hadir sebelum menghadiri
rapat.” Seharusnya anggota tidak cukup hanya menandatangani
daftar hadir, karena dalam prakteknya daftar hadir ada tandatangan
tapi secara fisik yang bersangkutan tidak datang. Begitu pula dalam
sidang, Anggota seringkali tidak mengindahkan efektivitas dan
efisiensi waktu dalam berbicara. Tidak ada pembatasan waktu, begitu
pula tidak ada prioritas isu dalam persidangan.

Tim Peningkatan Kinerja DPR merekomendasikan bahwa


penentuan kuorum pengambilan keputusan: dihadiri oleh 60% wakil
fraksi atau 50%+1 dari jumlah anggota. Tatib DPR menegaskan pada
Pasal 206 bahwa: “Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan
apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat
yang terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi”. Dalam prakteknya,
menunggu sampai lebih dari separuh unsur fraksi sering memakan
waktu. Selain itu direkomendasikan ada pembatasan waktu bicara
yaitu 3 kali 3 menit untuk masing-masing anggota dengan diselingi
jawaban pemerintah. Selain itu diusulkan bahwa Anggota sudah
mempersiapkan pertanyaan sebelum rapat dimulai dengan didukung
data dan informasi yang akurat, serta Anggota yang datang terlambat
lebih dari 30 menit kehilangan hak bicara, serta sanksi bagi anggota
yang meninggalkan rapat sebelum ditutup.124

Selain itu, kredibilitas Anggota Dewan dan DPR secara kelembagaan


akan meningkat di mata publik dan konstituen apabila: “Anggota
dan Dewan memiliki keterbukaan secara aktif kepada publik dan
konstituen dalam bersikap dan bertindak. Selain itu argumen, sikap,
dan keputusan Dewan dan Anggota hendaknya menguntungkan
sebanyak mungkin publik/konstituen. Di samping itu, diharapkan
124 Rekomendasi Tim Peningkatan Kinerja, op-cit. hal. 53

112 Peran Perwakilan Parlemen


ada konsistensi untuk membela atau memperjuangkan nilai-nilai dan
kepentingan publik atau konstituen.” 125

Sementara itu, agar lembaga DPR benar-benar merepresentasikan


rakyat Indonesia, maka hendaknya komposisi Anggota dalam setiap
struktur seperti di Komisi, Panitia Kerja, Tim Kerja, Pimpinan dan
sebagainya sejauh mungkin diupayakan berdasarkan pemerataan
daerah pemilihan. Apabila konvensi yang berlaku selama ini, bahwa
pencalonan paket pimpinan Dewan didasarkan pada besarnya
perolehan kursi, maka ke depan haruslah didasarkan pada perwakilan
daerah pemilihan. Apabila jumlah Pimpinan hanya berjumlah 3 – 4
orang, maka hendaknya bisa mewakili Indonesia bagian barat, tengah
dan timur. Kriteria yang sama hendaknya diberlakukan di pemilihan
alat kelengkapan dan Tim, atau Panitia Kerja.

Penutup
A
Kesimpulan
Peraturan Tata Tertib DPR yang tertuang pada Keputusan DPR RI
No. 08/DPR RI/1/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI yang
sekarang ini berlaku, sebenarnya sudah mengawali dengan pengaturan
mengenai eksistensi Anggota Dewan, kedudukan serta tugas dan
kewenangan Dewan dan anggota Dewan yang memposisikan rakyat
yang diwakilinya pada posisi yang penting.

Namun pada perumusan pasal-pasal selanjutnya, tidak


diketemukan rumusan operasional yang menjabarkan keberadaan
Anggota Dewan sebagai wakil rakyat, yang dalam sumpah/janjinya
akan menjadi Anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,

125 Arbi Sanit, Ibid.

Peran Perwakilan Parlemen 113


dan akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara
kesatuan Republik Indonesia, memperhatikan upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat, dan mendahulukan kepentingan negara diatas
kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Peraturan Tata Tertib Dewan merupakan aturan main yang


menentukan ruang gerak Anggota Dewan. Hanya saja, Peraturan
Tata Tertib Dewan yang sekarang ini berlaku belum merumuskan
sejumlah rumusan yang mampu mengarahkan Anggota Dewan
supaya menjadi sosok Anggota seperti yang dituntut oleh sumpah/
janjinya serta kewajiban yang dibebankan kepadanya selaku wakil
rakyat. Secara kelembagaan, Tatib juga belum mampu membuat
DPR sebagai lembaga yang betul-betul mampu memperjuangkan
kepentingan rakyat.

Hal itu terjadi, karena Peraturan Tata Tertib yang sekarang ini
berlaku belum sepenuhnya merefleksikan prinsip-prinsip perwakilan
politik. Prinsip-prinsip perwakilan/representasi tersebut adalah prinsip
transparansi, partisipasi masyarakat, akuntabilitas serta kredibilitas.
Keempat prinsip tersebut terkait satu dengan yang lain. Prinsip
transparansi disini berarti adanya keterbukaan bagi publik untuk
mengakses mekanisme kerja dalam melaksanakan tugas kedewanan,
maupun mengakses produk-produk yang dihasilkan oleh DPR. Oleh
karena itu, Tatib DPR harus mengatur tentang kemudahan bagi publik
untuk mengakses baik mekanisme kerja maupun produk-produk
Dewan tersebut.

Sementara partisipasi masyarakat berarti ada keterlibatan


masyarakat dalam proses kegiatan kedewanan. Tatib perlu
memperbesar ruang keterlibatan publik dalam pelaksanaan fungsi-
fungsi Dewan. Prinsip ini terkait erat dengan prinsip akuntabilitas
Anggota Dewan. Prinsip ini merujuk pada pertanggungjawaban
Anggota Dewan atas tindakan-tindakannya/hasil kerjanya kepada
publik dan konstituen. Setiap periode waktu tertentu, anggota
Dewan perlu menginformasikan hasil kerjanya kepada publik dan
mempertanggungjawabkan kepada konstituen.

114 Peran Perwakilan Parlemen


Sedangkan prinsip kredibilitas Anggota merujuk pada bagaimana
seharusnya wakil rakyat berperilaku supaya dipercaya rakyat. Tatib
Dewan yang mengarahkan kepada Anggota supaya kredibel, maka
Tatib harus merumuskan hal-hal yang bersifat substansial tentang
kewajiban Anggota untuk memperhatikan kepentingan rakyat,
memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat secara
memadai. Setiap kegiatan dalam kerangka pelaksanaan fungsi-fungsi
Dewan, maka dipastikan kepada Anggota-Anggotanya untuk dapat;
menyelesaikan masalah; mendorong kemajuan; dan mensejahterakan
konstituen secara adil.

Mengapa prinsip-prinsip representasi tersebut penting untuk


dimasukkan dalam Peraturan Tata Tertib Dewan? Hal itu diperlukan
dengan alasan:
Pertama; dalam konteks diseminasi nilai-nilai demokrasi perwakilan
yang belum mengakar di tingkatan elit, maka dengan memasukkan
prinsip-prinsip representasi diharapkan akan dapat memberikan
landasan yang kokoh dalam mengelimansi terjadinya demokrasi
yang sifatnya elitis. Dengan cara pelembagaan peran perwakilan/
representasi di dalam Tatib, diharapkan dapat memperkuat fungsi
kontrol massa terhadap kinerja parlemen.
Kedua, sebagai upaya peningkatan kinerja konstitusional parlemen
seperti ditunjukkan oleh perspektif instrumentalis, dengan demikian
pelembagaan peran perwakilan/ representasi menjadi sebuah ”roh”
baru yang sifatnya ”inspiring the rule of the game” dalam pelaksanaan
tiga fungsi DPR.
Ketiga, secara sosiologis, rakyat belum banyak merasakan optimalnya
peran representasi. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kritik dan
resistensi dalam bentuk demonstrasi dan lain-lain atas kinerja DPR.
Oleh karena itu, menjadi kebutuhan mendesak DPR untuk segera
mereformasi diri secara kelembagaan sebagai landasan penguatan
infrastruktur legal bagi penguatan peran perwakilan/representasi
melalui penyempurnaan perangkat peraturan seperti UU tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, serta Peraturan Tata
Tertib Dewan.

Peran Perwakilan Parlemen 115


Keempat, secara politis, laporan kinerja DPR menjadi semacam
”pengakuan dosa politik” lembaga DPR atas kinerjanya selama ini,
terutama dalam hal akuntabilitas publiknya. Dengan demikian,
pelembagaan peran perwakilan ke dalam Tatib menjadi simbol
kemauan politik DPR dalam upaya mendongkrak kinerjanya dan
kepercayaan publik. Hal ini sangat beralasan, lebih-lebih dengan
dilakukannya sistem rekrutmen kepemimpinan politik yang semakin
terbuka dan langsung menjadi insentif setiap kadernya di lembaga
politik terutama di DPR untuk memberikan kinerja terbaik dalam
rangka mengekalkan cengkeraman mereka terhadap jabatan-jabatan
politis yang meskipun semakin terbuka tetapi masih sangat elitis.

Lalu bagaimana cara memasukkan prinsip-prinsip perwakilan/


representasi itu dalam rumusan pasal-pasal Peraturan Tata Tertib
DPR? Oleh karena prinsip-prinsip perwakilan tersebut menjiwai atau
melandasai ketiga fungsi Dewan, maka prinsip-prinsip tersebut harus
diintegrasikan ke dalam perumusan pengaturan tiga fungsi Dewan
tersebut seperti yang diuraikan pada bagian rekomendasi berikut.

B
Rekomendasi
Untuk menyempurnakan Tatib DPR RI agar supaya bermuatan
atau merefleksikan prinsip-prinsip perwakilan/representasi, maka ke
depan langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Norma perwakilan/representasi Anggota Dewan
Menempatkan satu bab di bagian awal Tatib setelah Pasal 1 tentang
Ketentuan Umum, yang berfungsi memayungi pengaturan pada
pasal-pasal selanjunya. Bab tersebut memuat tentang paket norma
representasi/perwakilan politik rakyat. Norma-norma tersebut
antara lain tentang:
a. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi kedewanan, maka Anggota
Dewan mengemban mandat rakyat yang diwakilinya.
b. Keterbukaan Anggota secara aktif kepada publik, dan konstituen
dalam bersikap dan bertindak.

116 Peran Perwakilan Parlemen


c. Konsistensi dalam membela dan memperjuangkan nilai dan
kepentingan publik atau konstituen, dan lain-lain.
d. Argumentasi, sikap dan keputusan Anggota Dewan harus
berorientasi menguntungkan sebanyak mungkin orang/rakyat.
e. Dalam melaksanakan tugas kedewanan, Anggota harus
mengembangkan sikap kenegarawanan.
2. Prinsip Transparansi
a. Perlu adanya keterbukaan terhadap mekanisme kerja
kedewanan. Keterbukaan mekanisme kerja kedewanan ini bisa
ditempuh dengan cara:
i. Merubah sifat rapat di persidangan DPR. Rapat-rapat Dewan
pada dasarnya harus bersifat terbuka kecuali karena alasan
yang demi kepentingan nasional yang lebih tinggi, dapat
dinyatakan tertutup.
ii. Perlu ada transparansi dalam pembahasan RUU.
iii. Mempermudah akses publik pada persidangan di DPR.
iv. Memperberat syarat pengadaan rapat-rapat kerja dengan
Pemerintah di luar gedung DPR.
b. Keterbukaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh DPR.
i. Mempermudah akses publik pada produk-produk Dewan.
ii. Perlu diatur bahwa akses masyarakat terhadap produk-
produk DPR yang sifatnya satu pintu sehingga secara teknis
lebih efektif, efisien dan mudah dijangkau bagi masyarakat
yang berkepentingan.
iii. Perlu membuat rumusan terkait batasan waktu kapan
risalah pembahasan RUU misalnya atau risalah rapat, atau
risalah hasil investigasi terkait isu tertentu harus selesai dan
kapan bisa diakses masyarakat.
iv. Membuat rumusan di Tatib yang menginstruksikan Setjen
untuk menyiarkan/mempublikasikan/mensosialisasikan
kegiatan, berita, dan informasi keparlemenan dalam lingkup
nasional (dapat diakses oleh semua anggota masyarakat).
Serta sosialisasi hasil penetapan Program Legislasi Nasional
dan prioritas, sosialisasi RUU yang akan dibahas, serta
mensosialisasikan seluruh rencana/jadwal kunjungan kerja,

Peran Perwakilan Parlemen 117


dan membuka akses publik untuk memberikan pendapat
tentang calon pejabat publik melalui media cetak dan
website DPR
3. Prinsip Partisipasi
a. Tatib hendaknya membuka ruang yang lebih besar bagi
partisipasi masyarakat dalam proses legislasi di DPR demi
terwujudnya produk legislasi yang semakin berkualitas, aspiratif
dan partisipatif.
b. Perlu dibuat tata cara/mekanisme kerja penyampaian aspirasi
masyarakat kepada Pimpinan, alat kelengkapan Dewan. Juga
membentuk kelompok kerja pengaduan masyarakat pada
masing-masing alat kelengkapan DPR RI.
c. Menginstruksikan kepada Setjen untuk membuat line khusus
untuk pelayanan/akses informasi kegiatan DPR RI, juga
menyediakan kotak pos pengaduan masyarakat, agar dapat
dimanfaatkan publik untuk menyampaikan aspirasinya, serta
membuka akses publik melalui website DPR RI.
d. Perlu dirumuskan dalam Tatib bahwa halaman dan gedung DPR
terbuka untuk publik.
e. Merumuskan mekanisme baku mengenai pelaksanaan
kunjungan kerja perorangan lintas fraksi (berdasarkan daerah
pemilihan) dan lintas komisi.
f. Merumuskan pendirian rumah aspirasi di daerah pemilihan
untuk menjembatani Anggota dengan konstituennya.
4. Prinsip Akuntabilitas
a. Tatib perlu merumuskan kewajiban bagi Anggota untuk
menginformasikan hasil kerjanya kepada publik dan
melaporkannya kepada konstituen. Dalam laporan tersebut
termasuk melaporkan tentang sikap dan tindakannya terkait
isu tertentu baik menyangkut konstituen secara langsung
atau tidak, posisinya dalam pembahasan suatu UU, dan dalam
pelaksanaan hak dalam kerangka fungsi pengawasan, dan
lain sebagainya. Pelaporan ini dilakukan setiap periode waktu
tertentu (berkala) atau paling lama per masa sidang.
b. Tatib perlu mengatur bagaimana aspirasi/masukan dari

118 Peran Perwakilan Parlemen


masyarakat yang disampaikan dalam RDPU, atau melalui surat,
juga dengan seminar atau melalui kunjungan kerja Anggota
Dewan tersebut ditindaklanjuti, dan aspirasi masyarakat
tersebut dibahas/dijadikan bahan pertimbangan pada tahap
selanjutnya.
c. Dalam kerangka pelaksanaan fungsi legislasi, maka Panitia
Khusus/Komisi memberikan press release kepada masyarakat
tentang progress pembahasan suatu RUU.
d. Tatib perlu merumuskan untuk menginstruksikan kepada
Setjen untuk menerbitkan laporan tahunan pelaksanaan tugas
dan fungsi serta pertanggungjawaban keuangan Dewan, yang
dipublikasikan kepada umum.
5. Prinsip Kredibilitas
a. Tatib perlu merumuskan hal yang bersifat substansial tentang
kewajiban Anggota untuk memperhatikan kepentingan rakyat
dan memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat
secara memadai.
b. Tatib perlu merumuskan mekanisme kerja pelaksanaan fungsi-
fungsi DPR agar dikondisikan dengan muatan-muatan prinsip
perwakilan politik. Setiap kegiatan dalam kerangka pelaksanaan
fungsi-fungsi Dewan, maka dipastikan kepada Anggota-
anggotanya untuk: menyelesaikan masalah, mendorong
kemajuan, dan mensejahterakan konstituen secara adil.
c. Tugas-tugas kedewanan ke depan harus dilaksanakan oleh alat
kelengkapan Dewan, tanpa harus melibatkan Pimpinan Fraksi.
d. Perlu menanggalkan persyaratan menyertakan “nama fraksi”
dalam usulan penggunaan hak-hak Dewan dan hak Anggota
Dewan.
e. Mengembalikan kedaulatan kepada perseorangan Anggota
untuk mengajukan RUU Usul Inisiatif.
f. Merevisi kewenangan Badan Kehormatan untuk tidak
menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sebagai Anggota,
dan mengembalikan kewenangan pemberhentian sebagai
Angota kepada fraksi atau partai.
g. Memperbaiki manajemen persidangan, dengan mewajibkan
Anggota untuk hadir secara fisik mengikuti siding, bukan hanya

Peran Perwakilan Parlemen 119


mempersyaratkan adanya tandatangan. Di samping itu, perlu
juga pengaturan mengenai pembatasan hak bicara Anggota,
dan membuat prioritas isu yang akan dibahas dalam suatu
persidangan, sehingga materi sidang tidak ngelantur kemana-
mana.
h. Merubah kuorum pengambilan keputusan yakni dihadiri oleh
60% wakil fraksi atau 50%+1 dari jumlah Anggota, Anggota
yang datang terlambat lebih dari 30 menit kehilangan hak
bicara, serta sanksi bagi anggota yang meninggalkan rapat
sebelum ditutup.
i. Komposisi Anggota dalam setiap struktur seperti di Komisi,
Panitia Kerja, Tim Kerja, Pimpinan Dewan dan sebagainya sebisa
mungkin diupayakan susunannya berdasarkan pemerataan
daerah pemilihan.

Daftar Pustaka
APTER
1985, Pengantar Analisa Ilmu Politik, Kata Pengantar (Indonesia):
Nazaruddin Syamsuddin, Gramedia, Jakarta.
HADAD (ed.)
1981, Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, LP3ES, Jakarta.
PAKPAHAN, Muchtar
1994, DPR RI Semasa Orde Baru, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
SANIT, Arbi.
1985, Perwakilan Politik di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.
SARAGIH
1987, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya
Media Pratama, Jakarta.
SURYADINATA, Leo.
2002, Elections and Politics in Indonesia, Institute of Southeast Asian
Studies, Singapore.

120 Peran Perwakilan Parlemen


THOMPSON
1999, Etika Politik Pejabat Negara, Pen. Benyamin Molan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
YIN, Robert K.
1994, Case Study Research, Design and Method, (2nd ed.), Sage
Publication, New York.
Stiglitz, Joseph.
2002, “Transparancy in Government”, The Right To Tell, the Role of Mass
Media in Economic Development, World Bank Institute, Washington, DC.
Setjen DPR RI.
2006, Reformasi DPR, Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja
DPR RI, Setjen DPR RI, Jakarta.
Setjen DPR RI
2006, Rekomendasi dan Program Kerja Tim Kajian Peningkatan Kinerja
DPR RI, Jakarta.

Makalah
M. Steven Fish, Stronger Legislatures, Stronger Democracies, Journal of
Democracy, Vol. 17, No. 1, National Endowment for Democracy and
The Johns Hopkins Univ. Press, January 2006.
Bintan R Saragih, Strategi Memasukkan Fungsi Representasi dalam UU
Susduk dan Tata Tertib DPR RI, Hotel Ibis Slipi, Jakarta, 5 Juni 2008.
Arbi Sanit, Relevansi Tata Tertib dengan Perwakilan Politik DPR RI, Hotel
Ibis Slipi, Jakarta, 15 Mei 2008
John K. Johnson, The Role of Parliament in Government, World Bank
Institute, Washington, D.C., 2005.
“Legislative Theory and Methodology: The Key to a Legislator’s Tasks”,
tanpa tahun.
Bivitri Susanti, “Problem Kelembagaan dalam Proses Legislasi”, Makalah
Seminar, Jakarta, 8 Maret 2007, diakses dalam www.parlemen.net, 17
Juni 2008, hal. 10.
Laporan Hasil Tim Kajian Peningkatan Kinerja DPR RI tanggal 23
Februari 2007, diakses dalam www.parlemen.net pada tanggal 18 Juni
2008.
Michael Howlett and M. Ramesh, Studying Public Policy: Policy Cycles
and Policy Subsystems, Oxford Univ. Press, 1995.

Peran Perwakilan Parlemen 121


Internet
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/13/opini/2711158.htm.
Harian Umum
Kompas, 27 Agustus 2007.
Republika, Korupsi DPR Berawal dari Rapat Tertutup, 5 Juli 2008
Dokumen
UUD Negara RI Tahun 1945
UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota, DPR, DPD
dan DPRD.
Keputusan DPR RI No. 8/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata
Tertib DPR RI
Keputusan DPR RI No. 16/DPR RI/I/2004-2005 tentang Peraturan Kode
Etik DPR RI
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Hasil FGD 1, PROPER UNDP, Definisi dan Prinsip Representasi di Parlemen,
22 Mei 2008
Hasil FGD 1, PROPER UNDP, Rekomendasi untuk RUU Susuduk tentang
Fungsi Representasi Parlemen, 22 Mei 2008
Setjen DPR RI Himpunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Setjen DPR RI, 1984.
Peraturan Tata Tertib DPR RI, No. 10/DPR RI/III/1982-1983.
Peraturan Tata Tertib DPR RI, No. 09/DPR RI/I/1997-1998.
Peraturan Tata Tertib DPR RI, No. 16/DPR RI/I/1999-2000.
Peraturan Tata Tertib DPR RI, No. 03A/DPR RI/I/2001-2002.
Peraturan Tata Tertib DPR RI, No. 15/DPR RI/I/2004-2005.
Peraturan Tata Tertib DPR RI, No. 08/DPR RI/I/2005-2006.

122 Peran Perwakilan Parlemen


bab IV

KOMPILASI HASIL FGD 1-6, “PENGUATAN


PRINSIP REPRESENTASI/PERWAKILAN
DALAM FUNGSI POKOK PARLEMEN”

Peran Perwakilan Parlemen 123


KOMPILASI HASIL FGD 1-6:
“Penguatan Prinsip Representasi
dalam Fungsi Pokok Parlemen”

FGD 1 Definisi dan Prinsip


126

Representasi di Parlemen
Pokok masalah diskusi: Prinsip perwakilan (representasi) menjadi hal penting
bukan hanya untuk didiskusikan tetapi juga dirumuskan secara eksplisit dan
tegas ke dalam undang-undang yang menjadi rujukan kegiatan, tingkah laku
dan rujukan keberpihakan bagi Anggota Parlemen, seperti UU Susduk dan Tatib
DPR.

Pokok bahasan diskusi pertama terkait dengan hal-hal dasar yang memberi
penjelasan tentang prinsip representasi di parlemen, yaitu: 1) deskripsi tentang
apa fungsi representasi dalam sistem politik dan parlemen di Indonesia; 2) deksripsi
tentang tentang peran dan fungsi representasi Anggota DPR sebagai pelaksana
tiga fungsi pokok Parlemen yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan; 3) diskripsi dan analisa tentang prinsip-prinsip representasi yang
melekat pada fungsi Parlemen dalam aturan perundang-undangan DPR, baik
dalam UU Susduk dan Tata Tertib DPR; 4) pemaparan tentang sistem dukungan
yang tersedia bagi Anggota DPR dalam melaksanakan fungsi representasinya; 5)
berbagi pengalaman Anggota terhadap pelaksanaan fungsi pokoknya di DPR;
dan 6) rumusan rekomendasi tentang penguatan prinsip representasi di DPR
adalah bagian terpenting dari setiap FGD yang dilaksanakan.

126 FGD 1 dilaksanakan di Hotel Ibis, Kamis 22 Mei 2008.

124 Peran Perwakilan Parlemen


Prinsip Representasi sebagai bagian penting
dalam demokrasi
127

Berikut adalah prinsip-prinsip dasar demokrasi bekerja dalam


sebuah sistem:
Pertama, Kebebasan rakyat menghasilkan kedaulatan rakyat. Persoalan
demokrasi adalah keinginan untuk meningkatkan kedaulatan rakyat.
Bagaimana membuat rakyat berdaulat? Banyak pemikir berpendapat
bahwa demokrasi itu terlalu idealis atau utopis. Terlalu mulia nilai-nilai
yang mau ditegakkan, yaitu rakyat berdaulat atau berkuasa. Tetapi,
pada saat yang sama rakyat harus diperintah atau harus tunduk
kepada pemerintah. Ini kontroversi di dalam demokrasi.
Kedua, karena rakyat jumlahnya besar, maka perlu ada wakil-wakil
rakyat yang bertindak atas nama rakyat (representative government).
Pemerintahan yang dijalankan oleh para wakil rakyat (dalam bentuk
indirect democracy) yang bertindak atas nama rakyat.
Ketiga, meskipun ada wakil rakyat, hak-hak rakyat yang bebas tidak
berkurang sedikitpun. Para pemilih dapat menyampaikan aspirasinya
kepada wakil rakyat dan menilai kelayakannya. Apabila para konstituen
menganggap wakil rakyat tidak berusaha mengetahui, menampung,
dan memperjuangkan aspirasi mereka, masyarakat berhak menuntut
pergantian wakil rakyat dengan orang yang lebih mampu. Sehebat
apapun wakil rakyat, pasti ada kepentingan-kepentingan rakyat
tertentu yang tidak disuarakan wakil rakyat, maka fungsi representasi
di Parlemen merupakan fungsi yang dijalankan oleh wakil rakyat
sebagai pihak yang bertindak atas nama rakyat dalam menjalankan
pengawasan terhadap lembaga eksekutif.

Meskipun rumit dan paling pelik dalam demokrasi, konsep


representasi diperlukan untuk memenuhi akuntabilitas dari wakil
rakyat terhadap rakyat yang diwakili. Akuntabilitas wakil rakyat adalah
pertanggungjawaban anggota DPR kepada para konstituen, dengan
menjalin kontak secara langsung dan berkala. Dengan demikian,
konstituen dapat mengawasi wakil mereka di DPR.
127 Prof. Dr. Maswadi Rauf (Pembahas Utama FGD 1 sebagai pengamat dan pakar politik Universitas Indonesia).

Peran Perwakilan Parlemen 125


Prinsip Representasi dalam Peraturan
Perundang-undangan
Akuntabilitas wakil rakyat harus memiliki unsur pemberian sanksi
jika wakil rakyat dianggap tidak menjalankan fungsi perwakilan
dengan baik. Oleh karena itu, harus dibuka kesempatan bagi para
pemilih untuk mengusulkan pemecatan wakil mereka kepada DPR.

UU No. 22 Tahun 2003 (Susduk) memberikan kesempatan bagi


para pemilih untuk mengadukan kepada Badan Kehormatan (BK) DPR,
wakil rakyat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota
DPR (Pasal 85 ayat (2) huruf c). Bila terbukti benar, wakil rakyat tersebut
dapat diberhentikan (pergantian antar waktu).

Bagaimana Prinsip Representasi Terpenuhi


dalam Kinerja Anggota
Kunjungan ke konstituen perlu didukung oleh fasilitas yang
memadai dan wakil rakyat perlu membuat program yang jelas yang
akan dilakukan di daerah. Aspirasi penting dari hasil kunjungan
ke daerah dipadukan dengan aspirasi dari daerah lain yang akan
dijadikan bagian dari program kerja fraksi bersangkutan di DPR.

126 Peran Perwakilan Parlemen


Capaian dari terlaksananya –atau tidak terlaksana- prinsip
representasi di parlemen:
1. Citra DPR yang buruk terkait erat dengan citra parpol yang
buruk pula. DPR dan parpol sering dituduh mementingkan diri
sendiri dan mengabaikan kepentingan rakyat.
2. Langkah-langkah untuk memperbaiki citra DPR adalah:
a. dengan mengurangi kebijakan DPR yang terkesan
menguntungkan pada anggota DPR secara finansial;
b. para wakil rakyat bersedia menerima kedatangan kelompok
rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi mereka secara
langsung;
c. para wakil rakyat perlu lebih banyak menggunakan aspirasi
dari konstituen dalam melakukan tugas;
d. kunjungan ke daerah untuk menjaring aspirasi rakyat perlu
lebih diintensifkan; dan
e. pimpinan fraksi perlu meminta laporan secara tertulis kepada
setiap wakil rakyat setelah melakukan kunjungan ke daerah
yang disampaikan dalam rapat fraksi dan menilai kinerjanya.

Dinamika Forum :
Pembahasan Pengantar

Kelemahan dari Sistem Perwakilan dalam


128
Konsep Ideal
Wakil rakyat adalah manusia, mereka mempunyai kepentingan-
kepentingan tertentu yang berbeda dengan kepentingan rakyat.
Akibat perbedaan kepentingan ini maka wakil rakyat dapat dengan

128 Prof. Dr. Maswadi Rauf (Pembahas Utama FGD 1)

Peran Perwakilan Parlemen 127


mudah mengabaikan kepentingan rakyat. Pengingkaran terhadap
rakyat dan menafsirkan sendiri kepentingan rakyat tanpa ingin
mengetahui lebih dalam apa yang sebenarnya menjadi aspirasi dari
konstituen.

J.J. Rousseau pada abad 18 berpandangan bahwa demokrasi


dengan sistem perwakilan bukanlah demokrasi sesungguhnya karena
wakil rakyat tidak akan pernah mampu menyuarakan aspirasi rakyat.
Oleh karena itu Rousseau mengusulkan negara itu menjadi negara
yang kecil-kecil, mungkin semacam negara desa di mana setiap
orang menjadi anggota DPR atau terlibat dalam setiap pembuatan
keputusan. Menurut pembahas, wakil rakyat semenjak lama sudah
dipermasalahkan. Tapi memang tidak ada alternatif lain, indirect
democracy atau tidak ada demokrasi sama sekali. Dibandingkan
dengan direct democracy, indirect democracy lebih mungkin dilakukan.
Banyak pemikir mengatakan bahwa demokrasi itu secara inheren
mengandung banyak kontradiksi.

Adapun Pemilu sebagai salah satu instrumen demokrasi dapat


memilih pemerintah perwakilan yang hanya bisa dibenarkan bila
ada pemilu yang bebas. Dengan adanya pemilu yang bebas, rakyat
bisa menentukan dengan bebas partai politik (parpol) atau calon
yang akan mewakili mereka di DPR. Hal tersebut dapat terjadi
dengan asumsi bahwa rakyat (sesuai syarat) memang bisa memilih.
Bagaimana memilih yang benar dan ideal? Para pemilih melakukan
kajian terhadap kinerja dan wakil rakyat dari partai. Jadi setiap pemilih
itu seharusnya mempunyai raport dari semua partai dan tokoh.
Ketidaktahuan, kurang informasi dan ketidakpedulian masyarakat
membuat pilihan dalam pemilu tidak dilakukan secara rational choice
tetapi secara emosi.

Representasi dan Akuntabilitas


Konsep perwakilan memerlukan adanya akuntabilitas dari wakil
rakyat terhadap rakyat yang diwakili. Jadi, kalau rakyat memilih wakil

128 Peran Perwakilan Parlemen


maka wakil itu harus accountable atau bertanggungjawab. Konstituen
harus berpengaruh terhadap tindak tanduk dan pekerjaan dari
wakil rakyat. Wakil rakyat harus terbuka dan berkomunikasi dengan
konstituen.

Akuntabilitas wakil rakyat adalah pertanggungjawaban para


anggota DPR kepada para konstituen. Untuk mewujudkannya,
diantaranya, wakil rakyat harus menjalin kontak secara langsung dan
berkala dengan konstituen. Akuntabilitas wakil rakyat hanya bisa
berjalan dengan baik bila konstituen dapat mengawasi wakil-wakil
mereka di DPR. Jadi, tidak hanya anggota DPR yang berkunjung ke
daerah tetapi rakyat juga harus bereaksi terhadap kunjungan itu.
Tidak hanya pasif tetapi juga aktif menilai dan memberi masukan. Para
pemilih dengan demikian dapat menyampaikan aspirasi kepada wakil
mereka di samping menilai kelayakan sebagai wakil rakyat. Jadi harus
ada inisiatif rakyat terhadap wakil rakyat sehingga bisa menjalankan
fungsinya.

Akuntabilitas wakil rakyat harus memiliki unsur penegakkan


sanksi jika wakil rakyat dianggap tidak menjalankan fungsi perwakilan
dengan baik. Hal itu adalah konsekuensi dari pengawasan yang harus
mempunyai sanksi. Bila tidak ada sanksi yang keras, secara naluriah,
wakil-wakil rakyat tidak akan menjalankan tugas mereka dengan baik.
Oleh karena itu harus dibuka kesempatan bagi para pemilih untuk
mengusulkan pemecatan wakil mereka kepada DPR.

Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat juga dapat dilakukan, misalnya dalam
UU Susduk (UU No. 22/2003) memberikan kesempatan bagi para
pemilih untuk mengadukan kepada BK DPR wakil rakyat yang “tidak
melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR” (Pasal 85 Ayat (2)
huruf c).

Peran Perwakilan Parlemen 129


Pengaduan ini ditujukan kepada BK DPR yang akan melakukan
penyidikan dan verifikasi. Bila terbukti benar, wakil rakyat tersebut
dapat diberhentikan (pergantian antar waktu). Karena banyak
pemilih yang tidak mengetahui hak ini (dan karena sebab-sebab lain),
pengaduan seperti ini belum pernah terjadi.

Capaian dari Terlaksananya atau Tidak Terlaksana


Prinsip Representasi di Parlemen
Beberapa sandungan yang membuat citra DPR akan memperburuk
kinerja wakil rakyat. Ada juga tuduhan tanpa alasan karena yang
penting anti DPR. Itu yang sering terjadi. Citra DPR yang buruk terkait
erat dengan citra parpol yang buruk pula. Citra DPR dan parpol yang
buruk adalah produk dari sosialisasi anti parpol yang dijalankan
selama masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto selama 39 tahun
(1959-1998). Oleh karena itu, DPR dan partai politik sering dituduh
mementingkan diri sendiri dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Sebenarnya kalau kita tanyakan apa bukti konkritnya, jangan-jangan
dia (penuduh) tidak tahu seperti dalam masalah Slank. Hampir semua
kegiatan DPR dan wakil rakyat mendapat kritik keras dari masyarakat.
Akibatnya, DPR/para wakil rakyat dianggap tidak memperjuangkan
dan membela kepentingan rakyat.

Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk


memperbaiki citra DPR: Pertama, mengurangi kebijakan DPR yang
terkesan menguntungkan para anggota DPR secara finansial. Kedua,
bila terpaksa dibuat, kebijakan tersebut harus diumumkan secara
terbuka dan perhitungannya harus transparan. Ketiga, para wakil
rakyat dituntut untuk bersedia menerima dengan baik kedatangan
kelompok-kelompok rakyat yang ingin menyampaikan aspirasi mereka
secara langsung kepada para wakil rakyat. Keempat, para wakil rakyat
perlu lebih banyak menggunakan aspirasi dari konstituen dalam
melakukan tugas sebagai wakil rakyat. Kelima, untuk menjaring aspirasi
rakyat secara lebih baik, kunjungan ke daerah perlu lebih diintensifkan
sehingga keberadaan wakil rakyat lebih dapat dirasakan oleh para

130 Peran Perwakilan Parlemen


konstituen. Keenam, kunjungan yang intensif juga memberikan
kesempatan bagi para pemilih untuk berdialog dan menyampaikan
aspirasi mereka secara lebih baik. Ketujuh, untuk membuat kunjungan
ke konstituen lebih transparan, pimpinan fraksi perlu meminta laporan
secara tertulis kepada setiap wakil rakyat yang disampaikan dalam
rapat fraksi. Kedelapan, pimpinan fraksi berkewajiban memberikan
penilaian terhadap kunjungan tersebut yang merupakan bagian dari
penilaian kinerja wakil rakyat oleh pimpinan fraksi.

Menghimpun dan Tindak Lanjut Aspirasi


Konstituen/Masyarakat
Mengingat pentingnya citra baik wakil rakyat, maka kunjungan
ke konstituen perlu didukung oleh fasilitas yang memadai. Wakil
rakyat perlu membuat program yang jelas di daerah dan melaporkan
pelaksanaannya dan hasil yang dicapai dalam rapat fraksi. Hasil
kunjungan ke daerah adalah terjaringnya beberapa aspirasi penting
yang akan dipadukan dengan aspirasi-aspirasi dari daerah-daerah lain
yang akan dijadikan bagian dari program kerja fraksi bersangkutan di
DPR. Jadi sebenarnya, program kerja DPR adalah program kerja fraksi-
fraksi yang dihasilkan dari berbagai macam aspirasi yang berhasil di
jaring oleh anggota-anggota fraksi itu di masing-masing konstituen
mereka. Jadi yang disebut agregasi itu adalah menghimpun berbagai
macam kepentingan. Lalu kenapa harus berkala? Karena aspirasi
perubahan sosial terus terjadi dan selalu berkembang.



Prinsip Representasi dalam Pandangan Anggota
129

Fokus kerja DPR selama ini hanya terbagi tiga, yaitu legislasi,
pengawasan, dan anggaran. Fungsi representasi belum mengemuka
dan menjadi perhatian bagi Anggota dalam menjalankan fungsi
legislasi di DPR.
129 Ir. Afni Achmad (Pembahas Utama FGD 1 sebagai Anggota Tim Peningkatan Kinerja Anggota. Utusan dari Fraksi
Partai Amanat Nasional).

Peran Perwakilan Parlemen 131


Mungkin jawabannya ada pada sejarah, bahwa dulu DPR ini
hanya kelengkapan dari eksekutif. Bahkan dulu DPR hanya dikenal
sebagai tukang stempel saja. Kemudian ketika era reformasi, segala
hal bergeser ke DPR, baik itu kewengan, kesempatan, dana, bahkan
kemudian UU itu tidak bisa disahkan kalau tidak ditanda tangani
oleh Presiden dan DPR. Terjadi banyak pergeseran kewenangan atau
kekuasaan yang bagi sebagian orang dianggap sudah seimbang tetapi
tidak dengan kapasitas yang memadai untuk menampung beban-
beban tersebut. Sehingga banyak hal yang terjadi dari sisi sistem dan
output, masih banyak yang mengecewakan jika dilihat dari proses
berjalannya fungsi representasi dan tiga fungsi lainnya terutama dari
parpol. Kalau dilihat dari kinerja di Komisi, anggota DPR yang aktif
itu mungkin hanya 15-20 orang dari 50 orang. Bahkan dalam tahap
penyusunan undang-undang yang sampai ke Timus, paling-paling
hanya 4-5 orang.

Perilaku politik Indonesia masih feodal, karena ketika berbicara


kekuasaan yang muncul adalah feodalisme. Hal itulah yang
menggagalkan proses demokrasi kita. Ketika ada pemilihan ketua
umum partai, bukan ajang adu kompetensi melainkan ada atau
tidaknya pengaruh dari pimpinan partai. Bisa disebut 1-2 partai yang
punya sistem, tetapi sebagian besar masih punya kultur (feodal).
Bagaimana DPR bisa demokratis jika sumber kulturnya ada di situ
(parpol).
Sebagai contoh, ketika itu Partai Amanat Nasional sejak pagi menolak impor
tetapi pada detik-detik terakhir menerima impor beras. Akhirnya saya mengambil
sikap abstain dan keluar. Demikian juga dengan Cepu, saya keluar. Saya tidak
mau berbenturan dengan partai tetapi juga tidak mau berbenturan dengan hati
nurani. Menurut saya, situasi-situasi seperti itu menggamangkan kita di DPR. Jadi
menurut saya yang pertama adalah kompetensi. Mungkin tidak banyak yang
berminat pada politik, tetapi garis tangannya sampai ke sana. Ada persoalan
kompetensi, minat, sistem, pendidikan masyarakat. Misalkan ketika masyarakat
datang kepada kita, saya tidak menemukan keluhan yang spesifik. Tapi, hanya
problem-problem kecil atau personal.

Ini sekedar pemikiran saja, jika demokrasi itu ada eksekutif,


legislatif, dan yudikatif. Mengapa partai tidak diberikan fasilitas untuk
mengembangkan demokrasi. Seluruh parpol seharusnya dibiayai

132 Peran Perwakilan Parlemen


oleh APBN. Mengapa partai dibiarkan bertarung sendiri padahal dia
dibutuhkan? Misalnya parlemen di Jerman, seluruh partai politik yang
menang mendapat dana dari APBN. Jadi seluruh kegiatannya dibiayai
APBN karena dia bagian dari demokrasi. Untuk kasus di Indonesia, apa
yang terjadi ketika partai tidak berdaya? Maka dia meminta kadernya
untuk mencari dana kemana-mana untuk membiayai kegiatannya.
Kehidupan seperti ini tidak sehat dalam demokrasi, apalagi dalam
partai sekarang dana menjadi yang utama, bukan kompetensi.
Penghargaan terhadap kita ini di DPR tidak mendapatkan porsi yang bagus. Saya
pernah, mengurus pengerukan pasir, menyelamatkan 234 trilyun uang negara,
tetapi tidak ada satu pun penghargaan buat saya. Singapura bangkrut gara-gara
itu. Kemudian berhasil mencegah Cemex menguasai Semen Padang, juga tidak
ada apresiasi apapun. Kalau di Amerika kita lihat, kalau seseorang itu berjasa
diberikan medali oleh Kongres, di sini tidak ada perhatian. Tetapi kalau kita
jelek, itu luar biasa habis-habisan. Oleh sebab itu, saya bersama-sama teman-
teman mendorong terbentuknya Tim Kinerja DPR. Kita bekerja dan mennyusun
banyak hal tetapi akhirnya kita putus asa juga dan jadi malas karena orang yang
memimpin tidak mengerti apa yang di kerjakan.

Pelajaran yang dapat diambil pada saat kunjungan bersama salah seorang
pimpinan DPR ke Kanada untuk belajar berparlemen, yaitu seorang speaker
(pimpinan DPR kalau di Indonesia) di Kanada tidak mempengaruhi apa-apa dan
tidak menentukan apa-apa, hanya menentukan jalannya persidangan. Tidak
ada teriakan macam kita nyeletuk, sopan dan akustiknya bagus dengan bentuk
ruangan letter U. Hanya parlemen di Cina yang menyamai kita di mana ruang
sidangnya berbentuk theatre yang menunjukkan dominasi pimpinan.

Pada periode DPR selanjutnya, perlu ada pelatihan calon anggota


DPR, karena partai tidak siap. Partai perlu mempersiapkan calon
anggota legislatifnya di parlemen. Pernah diusulkan perubahan lay-
out ruangan menjadi letter U sehingga ada interaksi tapi tidak pernah
diindahkan. Jadi yang pertama ada sistem, kemudian ada raw material
yang perlu ditingkatkan dan memadai, kemudian ada instrumen. Satu
contoh misalnya ada pengaduan masyarakat kepada DPR, kemudian
di data oleh Setjen, dan diteruskan kepada Anggota. Selama ini,
dari 200-an usul hanya 14 yang direspon. Karena apa? Pengaduan
yang seharusnya bisa dengan tatap muka dilakukan secara mekanik.
Pengaduan atau aspirasi hanya bisa dilakukan dengan tatap muka.

Peran Perwakilan Parlemen 133


Parlemen di Singapura, misalnya menyediakan hari bagi Anggota
DPR menerima rakyat. Amerika, nota anggota DPR sangat bermakna
di eksekutif. Harus ada langkah yang sifatnya cepat selain yang rutin.
Seringkali Anggota mendapatkan keluhan dari masyarakat dan
terkadang tidak yakin bisa diperjuangkan karena mekanismenya
memang sulit untuk dilakukan. Kadang-kadang pengaduan itu juga
berada di luar kewenangan saya. Kejadian-kejadian yang sifatnya
parsial dan langsung dirasakan oleh rakyat, kita sulit mengatasi.
Jadi, rakyat tidak merasakan apa yang dilakukan oleh DPR berimbas
langsung kepada rakyat.

Berikutnya mengenai proses pembahasan undang-undang. Dari


seluruh undang-undang di mana pembahas terlibat, hanya satu
undang-undang yang mulus dijalankan dan aman karena dibuat
satu kreasi baru. Setiap undang undang-undang sebelum disusun
dimasukkan ke dalam RDPU yang terkadang sangat seremonial.
Misalnya, tentang Undang-Undang Tata Ruang yang sangat sensitif,
dibuat suatu seminar selama tiga hari di tempat yang bebas, masyarakat
dipersilahkan bicara apa saja, lalu kemudian dirangkum. RDPU juga
dilengkapi, setelah itu diadakan lagi seminar untuk sosialisasi dan
tidak ada protes apa-apa. Padahal diperkirakan undang-undang ini
akan mendapat protes yang luar biasa. Berdasarkan pengalaman ini,
seharusnya sebelum undang-undang disusun dan bahas di parlemen
dilakukan sosialisasi secara terbuka di masyarakat sehingga tidak ada
protes.

Permasalahan terjadi karena belum ada standar yang baku


sehingga ada kesulitan, juga tergantung jam terbang pimpinannya.
Sebagai contoh di dalam Pansus di mana pimpinan Pansusnya mungkin
belum pernah sama sekali memimpin sidang, akhirnya undang-
undang itu berlangsung selama 1,5 tahun karena anggota Pansus
dan ketuanya ribut tentang bagaimana mengatur sidang. Karena
pimpinan sidang itu dihasilkan dari rapat fraksi dan rapat pimpinan
maka kita harus menerima kenyataan itu. Harusnya pimpinan DPR ada
kriterianya. Paling tidak mengerti cara memimpin sidang. Ada kadang-
kadang pendapat pribadi menjadi pendapat DPR. Kemampuan menyerap
informasi dari bawah itu yang harusnya ditingkatkan oleh pimpinan DPR.

134 Peran Perwakilan Parlemen


DPR yang ideal adalah yang mampu menjalankan tiga fungsinya
secara optimal. Ada juga sebab mengapa DPR itu lamban menyusun
anggaran. Pada saat rapat komisi, baru diberikan draft RAPBN 3 jam
sebelum sidang. Bagaimana mungkin dapat dibahas? Yang terjadi
asal petik. Mungkin perlu ada satu institusi yang mengkaji ini sebelum
sampai ke DPR, sehingga anggota DPR memiliki second opinion
apakah layak atau tidak. Kompetensi dan kapasitas anggota DPR
adalah masalah utama, demikian halnya dengan fasilitas yang dimiliki
oleh Eksekutif dan Yudikatif.

Kerangka sistem di parlemen Indonesia memang banyak harus


diperbaiki dari waktu ke waktu. Pembahas yang juga sebagai Wakil
Ketua Bidang Legislasi, meminta agar waktu proses pembahasan RUU
diperpendek dan tidak diperpanjang serta sidang paripurna itu lebih
efektif. Selama ini hanya di DPR yang diperhatikan tetapi sumbernya
yaitu partai tidak diberikan perhatian yang cukup. Mungkin bisa
dijadikan contoh seperti di Jerman sehingga partai bisa lebih
independen dan mengemukakan kompetensi ketimbang pergulatan-
pergulatan kepentingan.

Representasi dalam Pandangan


Tenaga Ahli Fraksi-fraksi
130
Pandangan 1

Penggunaan istilah ’fungsi representasi’ harus lebih jelas


penggunaannya agar tidak membingungkan terhadap tiga fungsi
pokok Anggota/parlemen (legislasi, budgeting, dan monitoring).
Apakah selama ini sudah ada tugas representasi di DPR? Secara garis
besar sudah ada, tetapi masih ecek-ecek –tidak maksimal dan efektif-,
misalnya kunjungan kerja komisi, yang tidak dilakukan ke konstituen
melainkan hanya ke pejabat-pejabat daerah. Sedikit-sedikit anggota
DPR sudah mau menerima masukan dari pemerintah daerah.

130 Rusman Lumban Toruan (Pembahas FGD 1 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PDIP).

Peran Perwakilan Parlemen 135


Sedangkan kunjungan perseorangan (Anggota DPR), baru dilakukan
kepada partai politiknya di daerah pemilihan.

Tanggapan mengenai fungsi representasi, jika mungkin dapat


dimasukkan ke dalam UU Susduk tidak hanya di Tata Tertib.

Kemudian, apakah fungsi representasi sudah dilakukan DPR di luar


kunjungan kerja? Sudah. Fraksi kami juga memiliki tempat pengaduan
masyarakat yang sifatnya terbuka. Kalau bisa dilakukan di fraksi dan
dilanjutkan di paripurna dalam pandangan umum. Di fraksi kami dari
109 anggota masih ada 6 anggota lagi yang belum pernah berbicara,
mungkin juga ada di fraksi-fraksi lain.

Pertemuan dengan konstituen untuk menerima aspirasi dapat


dilakukan di: 1) di ruang kerja anggota DPR. Seringkali anggota DPR
meninggalkan ruang kerjanya karena banyak orang tidak jelas yang
datang ke ruang kerjanya; 2) ruang fraksi; 3) perlu juga dimasukkan
dalam UU Susduk anggota DPR membangun rumah aspirasi di daerah
pemilihan. Peraturan partai kami yang baru sekarang, paling banyak
10 ruang dan paling sedikit 3 ruang/kamar di daerah bagi anggota
DPR sebagai rumah aspirasi. Anggaran DPR masih belum 1 persen di
APBN, padahal anggaran pemerintah sekarang mencapai 892 trilyun.
Anggaran DPR masih 1,2 trilyun dalam setahun, terbesar untuk gaji
anggota, tenaga ahli, dan staf sekretariat.

Catatan-catatan lain adalah bahwa konstituen dapat mengawasi


wakil rakyat di DPR. Saat ini, hanya LSM yang melakukannya, rakyat/
konstituen belum melakukannya. Mana ada kesempatan rakyat
mengawasi DPR? Rakyat selalu disbukkan dengan masalah yang
mengancam ekonominya, contohnya, pasar tradisional yang selalu
digusur. Kemudian tentang partai politik, parpol baru muncul kembali
setelah tahun 1955 adalah pada tahun 1998. Bagaimanapun lemahnya
partai politik, tetap harus dipertahankan untuk membangun dan
memaknai demokrasi perwakilan. Kemudian UU Susduk Pasal 85,
13 anggota BK menurut Tatib DPR bisa memecat anggota DPR yang
dipilih oleh 200 ribu orang. BK DPR dalam hal ini terlalu berkuasa.
Tata beracara sebaiknya jangan diputuskan di paripurna. Kalau

136 Peran Perwakilan Parlemen


dikatakan, bahwa ada partai politik yang tidak menindak dengan
tegas anggotanya yang melanggar kode etik, maka silahkan rakyat
tidak usah memilih partai politik itu di pemilu berikutnya.
131
Pandangan 2

Mengenai fungsi representasi di parlemen, perumusan


perundang-undangan masih memprihatinkan, dimana banyak
kata-kata yang kadang-kadang maknanya dangkal padahal telah
menghabiskan waktu, biaya, dan energi. Mengenai pengaduan, itu
sudah ditampung di RDPU. Fraksi, DPD (Dewan Pimpinan Daerah/
setingkat Provinsi) menjadi rumah aspirasinya. Seharusnya parpol
semakin cerdas, namun sayangnya di parpol, kalau Ketua Umumnya
ganti, fatsoennya ganti, gerbongnya ganti, dan sistemnya ganti, jadi
susah berkembang.
132
Pandangan 3

Berdasarkan pengalaman, masyarakat menilai layak atau tidaknya


anggota DPR itu dipilih kembali karena ada tiga hal: 1) jika dia (Anggota
DPR) berangkat kerja ke DPR saat pagi pulang sore/malam (rutin)
menjadi pekerja politik; 2. jika dia (Anggota DPR) sering tampil di TV; 3.
jika dia (Anggota DPR) bisa memenuhi hajat hidup konstituen seperti
memberi uang konstituen. Jadi memang terminologi mengenai fungsi
representasi ini perlu disepakati oleh peserta FGD terlebih dahulu.
Kita harus bersepakat dengan apa yang disebut dengan representasi
karena ketiga hal tersebut (penilaian masyarakat terhadap Anggota)
bisa saja di sebut representasi. Misalnya, kunjungan kerja itu
–terkadang- tidak menjadi kapasitas DPR RI tetapi DPRD, misalnya
minta jalan atau jembatan di tingkat desa.

Apakah kita ingin anggota DPR menjalankan tiga fungsi (legislasi,


budgeting, dan monitoring) ditambah lagi dengan mendengarkan
masyarakat dan kemudian mengeksekusi dan mengadvokasi keluhan-
keluhan masyarakat. Tetapi persoalannya adalah seberapa banyak

131 Virgiani Rahayu (Pembahas FGD 1 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PG).
132 Handoyo (Pembahas FGD 1 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PKS).

Peran Perwakilan Parlemen 137


yang mengetahui fungsi-fungsi perseorangan dari anggota DPR. Hal
ini perlu dikritisi. Misalnya, sikap politik partai perlu ditayangkan di
koran atau di media lain. Lepas dari persoalan substansi yang tadi
disampaikan (Pembahas: Ir. Afni Achmad) mengenai sikap fraksi. Hal
ini memang merupakan persoalan yang pelik. Usulan: Jika mungkin,
ada pembahasan mendalam dan kesepakatan tentang representasi
yang lebih aplikatif. Buku panduan133 yang kemarin dibahas juga bisa
jadi sangat aplikatif.
134
Pandangan 4

Persoalan representasi dalam benak pembahas adalah anggota


Dewan yang duduk di DPR yang memperjuangkan anggotanya.
Dengan demikian, tidak ada lagi daerah di Indonesia yang tertinggal.
Dengan demikian, anggota Dewan harus mengetahui aspirasi
masyarakat. Misalnya, perwakilan anggota Dewan dari Papua atau
Maluku misalnya, sementara ini hanya menjadi dagelan saja. Hal
ini juga disebabkan oleh masalah sistem. Partai politik seharusnya
memilih apa yang dikehendaki. Dalam konteks ini, masyarakat harus
bisa berpartisipasi aktif kepada anggota Dewan, meskipun sangat
sulit terjadi. Saat ini, ada LSM yang menjelaskan dan berperan aktif
melaksanakannya.

Masalah –sistem- lainnya mengenai sisa suara. Jika ada sisa suara
ditarik ke provinsi, maka Anggota tersebut akan mewakili siapa.
Sistem distrik adalah yang paling tepat untuk kondisi Indonesia, jika
kinerja Anggota tidak baik akan lebih mudah bisa disalahkan dan
dapat diberi sanksi di Pemilu berikutnya.

Mengenai keberadaan fraksi-fraksi di DPR, memang perlu


diperdebatkan. Apa perlu fraksi dibubarkan agar frasi-fraksi tidak lagi
memperjuangkan aspirasi partainya? Seringkali terjadi pertentangan
batin yang luar biasa antara anggota dan fraksi. Apakah fraksi masih
diperlukan? Kalau iya, bagaimana syaratnya? Terkait dengan sistem
pemilu. Misalnya di Argentina tidak ada spanduk, bendera, yang

133 Buku panduan tentang sistem pelaporan kinerja Anggota yang sedang dikaji oleh UNDP.
134 AM. Furqon (Pembahas FGD 1 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PAN).

138 Peran Perwakilan Parlemen


nilainya miliaran. Perlunya dibangun sebuah sistem yang ketika
pemilu datang tidak lagi ada spanduk. Tapi bagaimana menampilkan
anggota Dewan di media massa se-elegan mungkin.

Mengenai Badan Kehormatan, yang merupakan representasi dari


fraksi-fraksi. Ada satu kasus yang tidak ada penyelesaiannya. Misalnya,
kasus Pak Agung yang dilaporkan melakukan safari menggunakan
fasilitas negara, ada VCD dan bukti-buki lainnya, tetapi kasusnya tidak
diteruskan. Mungkin atau tidak, Badan kehormatan diisi oleh orang-
orang yang berkompeten tetapi di luar anggota DPR. Mengenai citra,
DPR memang a good news is a bad news and a bad news is a good
news, seperti yang tadi dikatakan oleh Pak Afni.

Dinamika Forum :
Klarifikasi dan Diskusi

Pemberhentian dilakukan oleh


Badan Kehormatan : Apakah Bertentangan
dengan Prinsip Representasi ?
135

BK bisa memecat anggota DPR yang dipilih ratusan ribu orang.


Jadi dalam UU Susduk memang ada ketentuannya, tetapi tugas BK
adalah memverifikasi tuduhan-tuduhan yang masuk untuk kemudian
dibahas di DPR dan di PAW (pergantian antar waktu). Jadi bukan BK
yang memecat tetapi kesalahan orang tersebutlah yang membuat
Anggota tersebut dipecat. Hal ini menyangkut kode etik, jika sudah
melanggar aturan, maka anggota Dewan itu tidak layak lagi meskipun
ia dipilih, umpamanya 400 ribu orang. BK ini menjadi alat atau mahluk
baru yang menimbulkan banyak pertanyaan. BK ini menjadi penjaga

135 Prof. Dr. Maswadi Rauf (Pembahas utama).

Peran Perwakilan Parlemen 139


kode etik karena tidak ada lagi lembaga selain BK yang memverifikasi
pelanggaran kode etik.

Kemudian apa tolak ukur anggota DPR. Apa sebenarnya tugas


anggota DPR? Tugasnya adalah mengagregasi dan mengartikulasi
aspirasi rakyat. Tidak semua, hanya konstituen dari daerah pemilihan
untuk menyelami aspirasi yang berkembang. Sesuai Susduk dan Tatib
yaitu menghimpun, menyusun, menyalurkan, dan mencari aspirasi
rakyat. Rakyat saat ini belum bisa diharapkan untuk mengawasi
anggota DPR. Kita bisa berharap LSM, namun kerap over acting. Kita
harapkan memang masyarakat yang peduli, lebih cerdas, dan punya
cakrawala bisa diajak untuk mengkritisi wakil rakyat yang berkunjung
ke daerah.

Peran Fraksi dan Akuntabilitas Anggota


136

Keresahan kita soal fungsi representasi ini adalah karena: 1) ada


kompetensi yang kurang memadai; 2) ada sistem yang juga belum
mendukung; dan 3) ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPR.

Ketika pembahas berkunjung ke Kanada, begitu indah, sopan,


dan tertib perdebatan di parlemennya. Apa makna di situ? Anggota
parlemen mengakomodasi debat. Dengan debat masyarakat melihat
kompetensi dan kapasitas wakilnya. Tapi, apa yang kita lihat di
paripurna? Tidur, ngobrol, dan baca koran. Artinya sidang paripurna
ini tidak membuat Anggota cerdas, kreatif, dan menjadi aspirator
rakyat. Padahal Sidang Paripurna merupakan panggung politik yang
dilihat rakyat sehingga rakyat akan percaya dengan Anggota. Perlu
adanya perubahan paradigma dari lobby dengan debat dalam Sidang
Paripurna. Saya menganggap fraksi mendistorsi demokrasi.

Publikasi aktifitas Anggota sebagai upaya memenuhi akuntabilitas


sejauh ini belum ada forum dan fasilitas untuk melaksanakannya.
Misalnya di Kanada, masyarakat melihat dari TV kabel -yang hidup dari

136 Ir. Afni Achmad (Pembahas utama).

140 Peran Perwakilan Parlemen


iuran masyarakat-, mereka dapat melihat dan mengikuti perdebatan
wakil-wakil mereka; tidak ada lobby, tidak ada distorsi. Jika parlemen
kita dapat berlangsung seperti itu, persoalan representasi ini selesai.

Tidak hanya kompetensi, ada sistem yang mengekang Anggota


karena sangat mekanik dan banyaknya prosedur yang berbelit-belit.
Seperti di Singapura, ada hari yang disediakan untuk tatap muka
dengan konstituen yang kemudian rakyat akhirnya percaya karena
komunikasi politik terjadi. Jika hal tersebut terjadi, maka demonstrasi
akan berkurang jumlahnya karena demonstrasi merupakan wujud
ketidakpuasan akibat tersumbatnya komunikasi. Kalau sistem politik
semacam ini terjadi, maka masyarakatnya akan fungsional dan peserta
parpol yang ikut pemilu juga tidak akan banyak.

Fraksi bukan untuk dibubarkan, melainkan mengurangi


cengkraman terhadap kebebasan anggota DPR untuk memiliki ruang
menyampaikan atau memperjuangkan aspirasi masyarakat. Debat
bukan hal yang haram dan voting bukan sesuatu yang ditakutkan.
137
Tanggapan
Mengenai fraksi, apakah secara teoritis ada kemungkinan tetap
ada atau dapat ditiadakan? Hal ini menyangkut prinsip representasi
itu sendiri, maka orang yang mewakili menjadi perwakilan masyarakat
di daerah pemilihannya. Dia betul-betul menjadi milik masyarakat.
138
Klarifikasi
Keberadaan fraksi tergantung sistem pemilu. Sistem pemilu
proporsional menghasilkan partai atau fraksi yang cukup kuat
mencengkram Anggota DPR karena wakil rakyat didukung oleh rakyat
atau para pemilih dan partai politik. Anggota DPR yang dipilih dengan
sistem proporsional sebenarnya mereka adalah wakil rakyat sekaligus
juga wakil partai.

137 Ai Furqon (Pembahas FGD 1 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PAN).


138 Prof. Dr. Maswadi Rauf (Pembahas utama).

Peran Perwakilan Parlemen 141


Adapun sistem distrik memang melemahkan ikatan partai di
mana figur lebih menentukan, hal ini dapat dilihat di Pilkada. Jika
ingin mengurangi cengkeraman fraksi, maka sistem distrik yang harus
dipilih.

Dengan sistem distrik, maka akuntabilitasnya juga lebih jelas,


sistem lebih jelas, wakil rakyat dan konstituen lebih jelas, dan daerah
pemilihan jelas. Jika ingin me-reform sistem pemilu dalam konteks ini,
sistem distrik -meskipun banyak kelemahan tetapi kualitas wakil- akan
lebih baik dibandingkan dengan sistem proporsional.
139
Klarifikasi

Pasal 22 e, dalam konstitusi kita mengatakan bahwa peserta


pemilu adalah partai politik. Jika fraksi dibubarkan, maka tidak perlu
lagi partai politik. Kecuali kalau Konstitusi dirubah, tetapi sampai
sekarang tidak bisa tidak pemilu kita masih mengandalkan partai
politik.
140
Klarifikasi

Ada dua tuntutan dalam demokrasi, yaitu pendidikan dan


kesejahteraan. Jika dapat dipilih, mungkin yang pertama pendidikan.
Pada zaman Orde Lama, kita belum sejahtera tapi masyarakatnya
sudah lebih terdidik, lebih santun dalam berpolitik seperti di tahun
1955. Politik tidak banyak ongkos di mana orang karena kapasitasnya
tampil sebagai politisi.

Pembahas melihat misalkan dengan adanya TV parlemen atau


merubah bangunan DPR menjadi lebih megah, perubahannya hanya
bersifat fisik bukan substantif.

Rekomendasi pembahas adalah; i) harus adanya perubahan


substantif mengiringi perubahan fisik infrastruktur DPR, ii) adanya
sistem yang mendorong pembangunan kinerja DPR, iii) harus ada
pemimpin yang memberi inspirasi dan visi.
139 Rusman Lumban Toruan (Pembahas FGD 1 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PDIP).
140 Ir. Afni Achmad (Pembahas Utama).

142 Peran Perwakilan Parlemen


Rekomendasi Hasil FGD 1
Rekomendasi Untuk RUU Susduk
Tentang Prinsip Representasi Parlemen
1. Fungsi representasi di Parlemen merupakan fungsi yang harus
dijalankan oleh wakil rakyat sebagai pihak yang bertindak
atas nama rakyat dalam menjalankan pengawasan terhadap
lembaga eksekutif. Fungsi representasi (perwakilan) telah
dilaksanakan oleh DPR, baik melalui Anggota yang melakukan
kunjungan kerja ke daerah pemilihan maupun fraksi yang
menampung aspirasi masyarakat. Fungsi perwakilan DPR
juga dilakukan oleh Setjen DPR dengan menyalurkan aspirasi
masyarakat ke komisi-komisi yang terkait.
2. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat bagi DPR dalam
melaksanakan fungsi perwakilan, fungsi perwakilan seharusnya
dimuat di dalam UU Susduk. Oleh karena itu, ke depan perlu
ditambahkan dalam Pasal 18 RUU Susduk dengan rumusan
“DPR mempunyai fungsi:
a. legislasi,
b. anggaran,
c. pengawasan, dan
d. perwakilan.”
Selanjutnya, Pasal 19 RUU Susduk memuat rumusan “fungsi
perwakilan dilaksanakan dengan menyerap, menghimpun,
menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, baik
dilakukan di dalam gedung DPR maupun kunjungan kerja ke
daerah secara berkala.”
3. Berkaitan dengan penyerapan aspirasi masyarakat, Pasal 31
huruf e dan f RUU Susduk menyebutkan bahwa “Anggota DPR
mempunyai kewajiban:
e. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui
kunjungan kerja secara berkala;
f. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan
masyarakat;

Peran Perwakilan Parlemen 143


Rumusan ini perlu dipertahankan dan terhadap Anggota DPR
yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenakan sanksi,
sebagaimana telah disebut dalam Pasal 36 ayat (2) RUU, bahwa
“Dalam hal anggota DPR tidak melaksanakan salah satu atau
lebih kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 huruf
d sampai dengan huruf k, yang bersangkutan dapat dikenakan
sanksi berupa pemberhentian sementara sebagai anggota
DPR.”

UU No. 22 Tahun 2003 (UU Susduk) sebenarnya telah


memberikan kesempatan kepada para pemilih untuk
mengadukan wakil rakyat yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagai Anggota DPR kepada Badan Kehormatan (BK) DPR
sebagaimana diatur pada Pasal 85 ayat (2) huruf c. Kemudian
BK melakukan penyelidikan dan verifikasi, bila terbukti benar,
maka wakil rakyat tersebut dapat diberhentikan (pergantian
antar waktu). Hal itu, juga dimuat dalam Pasal 36 ayat (3) RUU
Susduk, bahwa “Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat
mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPR dalam
hal memiliki bukti-bukti yang cukup bahwa terdapat anggota
DPR yang tidak melaksanakan salah satu atau lebih kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.” Selanjutnya, ayat (4)
menegaskan “Badan Kehormatan DPR berwenang menyelidiki,
memverifikasi dan memutuskan pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).”
4. Badan Kehormatan sebagai Alat Kelengkapan DPR bertugas
menjaga kehormatan lembaga DPR dengan cara memberi
sanksi kepada Anggota DPR yang melanggar kode etik atau
tidak melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, peran BK
sangat penting dan perlu dipertahankan, seperti telah dimuat
dalam Pasal 111 ayat (2) huruf g RUU Susduk, hanya saja perlu
dipertimbangkan alternatif lain dalam hal keanggotaan BK
yang saat ini merupakan representasi dari fraksi-fraksi sehingga
kadangkala timbul konflik kepentingan.

144 Peran Perwakilan Parlemen


FGD 2
141

Strategi Memasukkan Prinsip


Representasi dalam UU Susduk
MPR, DPR, DPD, DPRD, dan Tata
Tertib DPR RI

Pokok masalah diskusi: Prinsip perwakilan (representasi) perlu dirumuskan untuk


menjadi masukan konkrit bagi perubahan UU Susduk yang tengah dibahas di
DPR.

Pokok bahasan diskusi seri kedua adalah mengumpulkan best practices


pelaksanaan 3 (tiga) fungsi pokok parlemen dalam bingkai representasi dan
melihat kemungkinan dimasukkannya substansi representasi di parlemen
dalam UU Susduk, yaitu: i) pembahasan tentang proses dan perkembangan
pembahasan RUU Susduk di DPR, ii) pembahasan tentang hal-hal krusial terkait
dengan pemenuhan fungsi representasi dalam sistem politik dan perwakilan
di Indonesia, iii) rumusan tentang strategi memasukkan prinsip-prinsip dan
tata pelaksanaan fungsi representasi ke dalam UU Susduk Tata tertib DPR, iv)
usulan tentang langkah memasukan fungsi representasi dalam UU Susduk
dan Tatib DPR, v) menyusun upaya pengembangan prinsip representasi dalam
mekanisme yang lebih terbuka, tegas dan rinci dalam aturan UU Susduk dan
Tata Tertib DPR RI.


141 FGD 2 dilaksanakan di Hotel Santika, Jakarta, 5 Juni 2008.

Peran Perwakilan Parlemen 145


Dinamika Rapat Pembahasan Rancangan

142

Undang-undang SUSDUK MPR, DPR, DPD, DPRD


Belajar dari pengalaman pembahasan RUU Pemilu yang waktunya
banyak dihabiskan untuk lobby, maka diharapkan DPR dapat
membahas RUU Susduk dengan satu suara yang bulat walaupun sulit
dilakukan karena ada 550 suara.

Hal utama yang menjadi pembahasan dalam RUU Susduk


adalah alur pembahasan yang mengikuti alur konstitusi sampai
dengan hukum acaranya. Terkait dengan DPR, beberapa masalah
yang masih menjadi pembicaraan adalah:
- Mekanisme kerja DPR dan juga DPD, yang saling melengkapi
dan bukan tumpang tindih dengan jenis kerja yang hampir
-jika tidak dikatakan memang- sama.
- Pemahaman mengenai kerja DPR yang lebih jelas.
- Fungsi Partai Politik dimana kantor Partai Politik menjadi
outlet di daerah, walaupun kapasitas di daerah belum begitu
tertib.
- Mekanisme penerimaan –dan pengelolahan- aspirasi atau
pengaduan rakyat melalui kunjungan kerja, rapat di gedung
DPR, pengaduan melalui berbagai media komunikasi, tidak
hanya melalui perorangan tetapi juga melalui Fraksi.

Masih ada waktu -walaupun singkat- untuk dapat memberikan


masukan sebelum Rapat Kerja RUU Susduk dilaksanakan. Beberapa
hal yang perlu menjadi sorotan adalah:
- mekanisme baku pelaksanaan kunjungan kerja;
- pengadaan rumah rakyat di masing-masing daerah pemilihan
Anggota;
- pengadaan staf di daerah pemilihan yang membantu kelancaran
mekanisme penerimaan pengaduan;

142 Ganjar Pranowo (Pembahas Utama FGD 2 sebagai Ketua Pansus RUU Susduk di DPR/FPDIP).

146 Peran Perwakilan Parlemen


- pembentukan kelompok kerja pada masing-masing alat
kelengkapan; dan
- mekanisme penerimaan aspirasi dan monitoring.
Permintaan rakyat –kebanyakan- sangat sederhana, tetapi jika
Anggota yang diharapkan dapat mewakili tidak dapat menyuarakan
permintaan tersebut, maka fungsi perwakilan anggota menjadi tidak
maksimal.

DPR sebagai Bendungan yang Mahal, Besar dan


Kuat
143
Bagi Aspirasi Rakyat
Keinginan sebagian besar –meski bukan seluruh- Anggota DPR
adalah dapat dipilih kembali dalam setiap Pemilu. Oleh karena itu, jika
ada Anggota yang tidak ingin dipilih kembali, maka itu merupakan
hal yang luar biasa. Selama ini yang menentukan seorang menjadi
Anggota DPR atau tidak adalah Partai Politik, dan bukan rakyat atau
konstituen di daerah pemilihan. Akibatnya Anggota DPR di Indonesia
umumnya tidak merasa bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi
lebih kepada partainya. Dari sistem pemilu yang berlaku, terlihat tidak
ada pertalian antara rakyat dengan wakilnya yang dipilih.

Mekanisme pembahasan yang sangat kuat nuansa politiknya,


menyebabkan masukan ideal dari mereka yang terlibat dalam
penyusunan RUU Susduk tidak berdampak maksimal.

DPR merupakan lembaga yang menampung dan menyalurkan


aspirasi rakyat (prinsip representasi). Prinsip ini seharusnya menjiwai 3
(tiga) fungsi DPR, yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Urgensi
pencantuman prinsip representasi seharusnya dapat diangkat atau
dijabarkan lebih lanjut pada pasal berikutnya. Fungsi representasi
seharusnya dikemukakan sejak awal, tidak seperti yang sekarang yang
hanya memuat satu butir mengenai prinsip representasi Anggota
dari 16 tugas yang ada (Susduk yang sekarang). Oleh karena itu, ke

143 Prof. Dr. Bintan Saragih (Pembahas Utama FGD 2 sebagai Pengamat politik dan pakat Hukum Tata Negara,
Universitas Pelita Harapan).

Peran Perwakilan Parlemen 147


depan sebaiknya fungsi “menyerap, menghimpun, menampung, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat,” sebagaimana diatur dalam
Pasal 20 UU Susduk diangkat ke atas, sehingga sejak awal sudah
diperkenalkan bahwa DPR merupakan lembaga yang menampung
aspirasi rakyat.

DPR seperti bendungan yang mahal, besar, dan kuat, yang


diharapkan dapat menampung semua hal dari yang besar sampai yang
kecil, dari yang bersih sampai yang kotor. Apa yang sudah tertampung
dapat disaring dan atur oleh bendungan tersebut.

Rakyat perlu menyadari bahwa DPR adalah lembaga yang


mewakilinya. Jika dibandingkan dengan DPD yang sebenarnya lebih
kuat karena mewakili lebih banyak suara dibandingkan dari Anggota
DPR, maka peran DPR perlu diangkat sejak awal. Satu provinsi terdiri
dari beberapa daerah pemilihan dan satu daerah pemilihan dapat
diwakili oleh sepuluh Anggota DPR. Bandingkan dengan 4 (empat)
Anggota DPD yang harus mewakili satu provinsi.

Nilai,
144
Subyek dan Mekanisme Perwakilan Politik
Mengapresiasi ide Pimpinan Panitia Khusus RUU Susduk untuk
menyelaraskan pembahasan isi RUU dengan konstitusi. Struktur, fungsi,
dan tugas DPR berbeda antara sistem presidensial dan parlementer.
Jika sistem presidensial yang ingin diterapkan, maka keberadaan Fraksi
sebenarnya hanya dua, yaitu fraksi yang mendukung Pemerintah dan
fraksi oposisi. Posisi Anggota ada di antara rakyat dan DPR dan tidak
perlu diganggu oleh Fraksi. Hal ini berakibat pada Pimpinan DPR yang
terdiri dari pendukung dan oposisi.

144 Arbi Sanit (Pembahas Utama FGD 2 sebagai Pengamat dan pakar politik, Universitas Indonesia)

148 Peran Perwakilan Parlemen


Prinsip Representasi Mendasari 3 (tiga) Pokok
Fungsi Anggota DPR
Masukan berharga untuk penyempurnaan Tata Tertib adalah tidak
cukup hanya menggambarkan tiga fungsi DPR tetapi juga penyebutan
kinerja perwakilan politik. Perlu dijelaskan bahwa DPR adalah wakil
rakyat. Fungsi legislasi, keuangan, dan pengawasan tidak perlu dipisah
lagi dari perwakilan/representasi politik.

Apa, siapa, bagaimana, dan kapan fungsi perwakilan politik


itu diperlukan merupakan beberapa pertanyaan yang perlu
dijawab. Berikut ini adalah beberapa parameter perlunya fungsi
perwakilan politik:
i) Nilai dan kepentingan rakyat merupakan hal yang diwakili.
Jangan sampai nilai dan kepentingan bertabrakan satu
dengan yang lain.
ii) Subyek meliputi individu, golongan masyarakat, dan rakyat
(keseluruhan masyarakat). Rumusannya mungkin sulit,
tetapi masih terbuka untuk diskusikan.
iii) Mekanisme ’mewakili’ meliputi; pertama, utusan yang harus
mengenal rakyat, kedua, wali, dan ketiga, politikus yang
menggabungkan utusan dan wali. Anggota perlu memiliki
empati kepada rakyat serta berpihak kepada rakyat.
iv) Tindakan perwakilan itu akan bersifat situasi

Peran Perwakilan Parlemen 149


Dinamika Forum :
Pembahasan Pengantar

Pembahasan UU Susduk Pararel dengan


Alur Konstitusi
145

UU Susduk ini mengikuti alur konstitusi berdasarkan kewenangan


setiap institusi sampai dengan hukum acaranya, misalkan saja
mengenai relasi antara legislatif dan eksekutif hingga dengan MK.
Setelah didiskusikan, maka ada beberapa persoalan, yakni: Pertama,
kewenangan MPR. Pimpinan MPR pernah membicarakan mengenai
keinginannya menjadi penafsir konstitusi; kedua, mengenai DPD. DPD
memberikan usul agar dapat ikut membahas undang-undang dan
melakukan tugas pengawasan secara efektif. Ketiga, mengenai DPR.
Fungsi legislasi selalu saja menimbulkan masalah carry over legislasi.
Begitu DPR akan membuat Tatib di tingkat DPR, pemahamannya tidak
sama. Kemudian, berapa lama undang-undang dibuat dan jika terjadi
’kemacetan’, apa yang harus dilakukan. Keempat, berkaitan dengan
anggaran. DPR dan DPD ingin mendapatkan status jelas apakah
sebagai pejabat negara atau bukan. Kelima, mengenai keberadaan
DPD, apakah di Jakarta atau di daerah. Setelah pembahasan dilakukan,
akhirnya keberadan DPD tetap ada di Jakarta dan ikut reses bersama
DPR. Keenam, mengenai fungsi representasi. Metode representasinya
seperti apa? Ada yang dengan membuat laporan fraksi ke konstituen.
Pada sisi lain, metode reses untuk penyerapan aspirasi juga tidak jelas.
Ketujuh, muncul pemikiran agar ada representasi yang berbasis daerah
pemilihan. Konsepnya mungkin anggota DPR punya perwakilan
staf di daerah pemilihan. Kedelapan, mengenai fungsi parpol untuk
menyerap aspirasi. Kantor-kantor parpol di daerah bisa menjadi outlet

145 Ganjar Pranowo (Pembahas Utama FGD 2)

150 Peran Perwakilan Parlemen


dan address untuk konstituen datang. Namun, kapasitasnya belum
sampai atau belum bisa tertib administasi untuk mengumpulkan
aspirasi.

Jalan dan Cara Anggota Menjalankan


Prinsip Representasi Politiknya
Kemudian ada beberapa metode untuk anggota DPR ketemu
dengan rakyat, yakni: pertama, melalui kunjungan kerja yang dilakukan
alat kelengkapan DPR atau yang sifatnya pribadi; kedua, melalui rapat-
rapat di gedung dengan cara RDPU (rapat dengar pendapat umum)
atau pengaduan langsung; ketiga, melalui komunikasi intensif antara
anggota DPR dengan konstituen misalkan melalui telepon atau SMS.

Peluang Memasukkan Usulan dan


Rekomendasi bagi UU Susduk
Pansus RUU Susduk tentunya akan senang jika ada masukan
karena masih tersisa 10 hari untuk merestrukturisasi DIM dan
setelah itu masuk ke Raker. Jika ada masukan, dapat didistribusi dan
sosialisasikan dengan cepat.

Harapan mereka (DPR) dalam UU Susduk adalah: pertama,


membuat aturan baku dalam menghimpun, menyusun, dan
menyalurkan aspirasi; kedua, mendirikan rumah aspirasi di daerah
pemilihan, apakah sendiri atau terdiri dari beberapa anggota; ketiga,
menyediakan staf di daerah pemilihan; keempat, membuat mekanisme
penyampaian aspirasi dengan cara mereka datang, melalui telp/fax,
dan sebagainya; kelima, membentuk kelompok kerja pada masing-
masing alat kelengkapan; dan keenam, menyusun mekanisme aspirasi
dan monitoring.

Peran Perwakilan Parlemen 151


Dominasi
Partai Politik di Parlemen
146

Secara teoritik, anggota DPR ingin dipilih kembali karena anggota


DPR tidak bertanggungjawab ke rakyat pemilihnya tetapi kepada
partainya. Pembahas turut membantu menyusun UU pemilu tahun
2003 yang mengatur bahwa partai politik masih begitu kuat. Jadi akan
percuma penasehat-penasehat yang bagus karena yang menentukan
tetap saja partai politik.

Pada saat itu, dibuat fungsi DPR ada 16 namun fungsi representasi
hanya satu yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat.
Seharusnya fungsi DPR itu hanya menampung dan menyalurkan
aspirasi rakyat sesuai dengan fungsi wakil rakyat, karena yang
bertanggungjawab adalah partai politik. Dengan demikian, fungsi
pengawasan dan anggaran jangan dibuat ke dalam sistem politik.

Persoalannya adalah, jika sistem proporsional terbuka sudah


dijalankan dalam 10 tahun, maka setelah itu sebaiknya menggunakan
sistem distrik. Proporsional terbuka sudah mirip dengan sistem
distrik karena nomor urut tidak menentukan. Dirumuskan dulu fungsi
representasi dalam satu pasal, jangan di dalam sub pasal. Fungsi
pembentukan undang-undang juga merupakan fungsi representasi
karena dalam pembahasan UU ada masukan dari rakyat.

Konsep Partisan dan Partisipatif dalam


Prinsip Representasi
DPR saat ini masih bertujuan untuk mencapai kekuasaan bukan
menggunakan kekuasaan untuk mensejahterakan rakyat. Konsep
partisan, pada akhirnya menghilangkan hubungan pemilih dengan
wakilnya setelah pemilu, karena yang muncul selanjutnya adalah
hubungan wakil dengan partai dan fraksinya. Hal ini sangat berbeda
dengan konsep partisipatif. Hal yang terpenting dalam hubungan

146 Prof. Dr. Bintan Saragih (Pembahas Utama FGD 2)

152 Peran Perwakilan Parlemen


perwakilan itu adalah adanya mekanisme pertanggungjawaban. Saat
ini, partai lebih berkuasa ketimbang konstituennya.

Oleh karena itu, harus disusun strategi agar masyarakat tahu


bahwa DPR adalah sarana untuk menampung dan menyalurkan
aspirasi mereka. Dalam sejarahnya, DPR lahir dari kecelakaan sistem
feodal di Inggris pada era raja John Abad ke-12. Raja melalui panglima-
panglimanya meminta pajak dari para tuan tanah atau lord. Para
lord ini bertemu dan menanyakan pajak tersebut, kemudian lahirlah
undang-undang pertama untuk membatasi penggunaan pajak
rakyat. Kemudian para lord menjadi anggota parlemen tetapi rakyat
juga ingin terpilih melalui sistem distrik.

Usulan Memasukkan Prinsip Representasi


dalam UU Susduk
Strategi yang harus dibuat dalam UU Susduk, yakni: pertama,
masukkan dulu prinsip representasi dengan cara mencabut terlebih
dahulu pasal 26 UU Susduk tentang tugas dan wewenang DPR, jangan
membuat fungsi representasi diperkecil; kedua, memperkuat sumpah
anggota DPR.

Antara Sistem Presidensial dan Parlementer



dalam Menjalankan Prinsip Representasi
147

Persoalan yang sangat penting terkait dengan hal ini adalah;


Pertama, mengenai UU Susduk yang sekarang masih ’bengkok’
karena tidak ada kaitannya dengan Undang-Undang Dasar
(selanjutnya disebut UUD). UU Susduk itu harus diletakkan posisinya
sebagai operasional UUD. Amandemen UUD meletakkan bentuk
pemerintahan adalah sistem presidensial. Oleh karena itu, hendaklah
UU Susduk yang mengatur DPR dan DPD sebagai legislatif ke dalam

147 Arbi Sanit (Pembahas Utama FGD 2).

Peran Perwakilan Parlemen 153


sistem presidensial bukan parlementer. Akibatnya fungsi dan struktur
DPR dan DPD berbeda cara kerjanya.

Misalnya di DPR, mengenai fraksi harus diarahkan kepada dua


sisi yakni mendukung pemerintah dan oposisi. Hanya akan ada dua
fraksi, yakni fraksi yang bersatu mendukung pemerintah dan yang
lainnya menjadi oposisi sebagi struktur yang mutlak dalam sistem
presidensial. Anggotanya lebih longgar kepada fraksi sehingga
anggota dapat berdiri di antara fraksi dan rakyat yang berarti bahwa
hak-hak istimewa partai dan fraksi dikurangi.

Pergantian Antar Waktu (PAW), Sahkah jika


Dilakukan oleh Fraksi ?
Hak recall mestinya ditiadakan karena Anggota tidak bisa objektif
kepada rakyat karena takut kepada fraksi. Demikian juga dengan di
komisi yang menjalankan tiga fungsi (legislasi, pengawasan, dan
budgeting), harus ada perimbangan antara yang pro pemerintah
dengan oposisi. Pimpinan DPR juga dengan demikian, harus ada
perimbangan kekuatan sehingga hanya ada dua pimpinan DPR (pro
dan oposisi).

Dimensi Perwakilan Politik, Sikap Wakil


Rakyat, dan Fungsi DPR
Keberadaan DPD saat ini menunjukkan adanya sistem
bikameralisme meskipun saat masih lemah, tapi bisa saja
dikembangkan di dalam UU Susduk untuk mengatur hubungan DPR
dengan DPD sejauh memperkuat sistem presidensiil.

Mengenai tata kerja DPR, tentu kita harus masuk ke dalam tata
tertib. Tatib ini tidak hanya menggambarkan tiga fungsi DPR tetapi
juga menggambarkan perwakilan –representasi-politik karena yang

154 Peran Perwakilan Parlemen


ada sekarang ini tidak jelas apakah dia –Anggota parlemen- dari
rakyat, mewakili rakyat, dan bekerja untuk rakyat. Pembahas tidak
melihat urgensi penjelasan tentang fungsi representasi terkumpul
dalam satu bagian Tatib dan kemudian terpisah dengan bagian
legislasi, pengawasan, dan anggaran. Pembahas berpendapat bahwa
bentuknya integratif. Oleh karena itu, pembahas mencoba melihat
dimensi perwakilan politik, sikap wakil rakyat, dan fungsi DPR.

Hal-hal berikut menjadi penting di dalam dimensi perwakilan


politik;
i) siapa yang diwakili adalah tentang subjeknya yakni: individu
penduduk, kelompok atau golongan, dan regional atau
wilayah.
ii) apa yang diwakili, yakni: nilai atau kepentingan individu,
nilai atau kepentingan golongan, dan nilai atau kepentingan
masyarakat secara keseluruhan.
iii) bagaimana mewakili, yakni: utusan terwakil, wali terwakil,
dan campuran atau gabungan antara utusan terwakil dengan
wali terwakil. Apakah terus menerus atau tidak, dalam hal ini
situasional atau konsisten.
iv) kapan mewakili.

Jika hal-hal tersebut dalam operasionalisasi masih terlalu abstrak,


maka pembahas memasukkan lagi unsur;
v) sikap perwakilan dari wakil rakyat, yakni: empati kepada rakyat
yang diwakilinya atau berpihak dengan cara membela atau
melindungi, memperjuangkan, dan memenangkan apa yang
diinginkan konstituen.

Jika dirumuskan dalam bahasa hukum, dalam Tatib baru nanti


akan terlihat misalkan, fungsi legislasi akan ditampilkan ke dalam
unsur-unsur dari dimensi perwakilan poltik, demikian pula dengan
fungsi pengawasan serta anggaran. Sementara itu, sikap wakil rakyat
dan fungsi DPR ini nantinya akan diatur ke dalam aturan mengenai
anggota, fraksi, komisi, dan pleno.

Peran Perwakilan Parlemen 155


148
Pandangan 1
Pembahasan mengenai UU Susduk semakin banyak dan beragam
dan mungkin akan memakan dua kali masa sidang. Dalam konteks
representasi, sangat terkait hubungan antara anggota dan konstituen
yang diwakilinya. Dalam konteks UU Susduk tidak boleh dilupakan
keterkaitannya dengan UU Pemilu yang telah disahkan, di mana masih
ada kekhawatiran tentang perolehan kursi lebih berdasarkan nomor
urut ketimbang suara terbanyak. Tantangannya adalah apa yang bisa
dilakukan dengan anggota yang terpilih dengan kondisi tersebut.

Partai sudah unggul dengan keberadaan fraksi di DPR yang


mempunyai kebijakan. Dengan demikian, partai masih mempunyai
kekuatan besar dalam konteks tersebut. Dalam UU Susduk, masih
diakuinya PAW (pergantian antar waktu) yang dapat dilakukan
oleh fraksi. Hal ini berarti Anggota masih tergantung dengan fraksi.
Kemudian, penempatan-penempatan Anggota di alat kelengkapan
juga masih tergantung fraksi. Sistem ini dibuat agar anggota lebih
tunduk kepada partai ketimbang konstituen karena tidak ada
mekanisme konstituen dapat mengganti wakilnya di DPR.

Jika dilihat di negara lain di mana anggota DPR menemui


konstituennya setiap minggu atau tiap bulan dan dibiayai oleh negara.
Sebaliknya yang terjadi di Parlemen Indonesia, biaya anggota DPR yang
dari Jawa Timur dengan Papua sama, padahal biaya transportasinya
berbeda. Dari sistem yang ada memang harus ada pilihan-pilihan
yang dibuat dalam perubahan UU Susduk agar semakin jelas dan baik,
sehingga ketergantungan anggota terhadap partai pelan-pelan dapat
berkurang bahkan dihilangkan. Fungsi partai dikembalikan pada
hanya mendidik kader dan menempatkannya untuk jabatan-jabatan
politik.
149
Pandangan 2
Kami sudah mempersiapkan beberapa alternatif dan kajian yang
pernah disampaikan kepada Pansus Susduk. Ketika mempersiapkan
148 Sulastio (pembahas FGD 2 sebagai utusan Indonesia Parliamentary Centre)
149 Ronald Rofriandri (Pembahas FGD 2 sebagai utusan PSHK).

156 Peran Perwakilan Parlemen


kajian tersebut, kata kuncinya adalah representasi sehingga
kemudian segala ketentuan dalam UU Susduk adalah mencoba
menjawab kebutuhan bagaimana mengangkat dan memperkuat
fungsi representasi. Kita beranggapan model seperti apalagi yang
harus digunakan untuk memperkuat lembaga parlemen selain UU
Susduk. Kehadiran RUU Susduk ini menjadi entry point bagi penguatan
lembaga parlemen.

Ada problem ketika RUU Susduk ini dimunculkan yakni


operasionalisasi atau penjabarannya di level Tatib yang sedemikian
kompleks persoalannya. Kemudian dilakukan diagnosa bahwa fungsi
representasi ini tidak hanya di UU No. 22/2003 tetapi juga ketika UU
Susduk itu dioperasionalisasi ke dalam Tatib ternyata kinerja DPR, jauh
dari memperkuat lembaga DPR.

Menarik dari yang disampaikan Pembahas Utama di halaman


dua mengenai pembagian waktu, jika ditarik ke fungsi representasi,
150

jelas tidak akan terjawab. Perlu konsistensi mengenai nilai representasi


hingga ke tingkat teknis bahkan pada persoalan hak recall dan
PAW. Kami pernah mengusulkan agar 30 persen dari BPP boleh
mengajukan hak recall supaya legitimate karena selama ini anggota
DPR tidak dibiasakan dengan membuat laporan. Ternyata hal ini masih
menimbulkan kebingungan apakah perolehan 30 persen suara ini
dari Dapil atau nasional. Hal ini merupakan suatu peluang mengenai
bagaimana pengejawantahan nilai representasi itu muncul.
151
Pandangan 3
Berdasarkan diskripsi yang di sampaikan pembahas utama,152
pembahas berpendapat bahwa apa yang dihasilkan pemerintah
dalam draft UU Susduk sangat tidak memadai karena banyak sekali
yang belum tertampung. Apakah dalam jangka pendek bisa merubah
DIM-nya. Pembahas memberikan pandangan bahwa dalam UU
Susduk, sebaiknya tidak sampai bias lagi karena yang diatur tidak

150 Makalah Bintan R. Saragih; “Strategi Memasukkan Fungsi Representasi dalam Undang-undang SUSDUK dan Tata
Tertib DPR RI.
151 Refli Harun (Pembahas FGD 2 sebagai akademisi, UNAND).
152 Yang dimaksud adalah Ganjar Pranowo (Pembahas Utama FGD 2)

Peran Perwakilan Parlemen 157


hanya DPR melainkan MPR, DPD, dan DPRD. Pembahasan mengenai
perubahan UU Susduk, tidak perlu diperkuat semua, misalkan tentang
keberadaan pimpinan MPR yang tidak perlu dipertahankan lagi dan
anggaran 200 milyar yang digunakan untuk sosialisasi konstitusi.

UU Susduk harus mengatur secara jelas hubungan antara DPR


dan DPD. Di dalam draft yang ada tidak jelas hubungannya, misalnya
tentang keikutsertaan membahas UU dan memberikan pertimbangan.
Kemudian hubungan DPR dengan DPRD yang harus jelas koneksinya,
jangan sampai DPRD selalu ke Depdagri –dalam melakukan koordinasi-.
Selanjutnya relasi dan pembagian tugas antara DPD dengan DPRD. UU
Susduk harus mengatur hubungan antar lembaga-lembaga tersebut.

Mengenai recall dan PAW. Berani atau tidak DPR meniadakan


hak recall untuk kemudian diganti dengan petisi dari konstituen?
Kemudian, berani atau tidak DPR me-recall anggotanya yang tidak
pernah hadir atau tidak pernah bicara? Selanjutnya mengenai
kemandirian keuangan. Saya kira antar lembaga mendapat hak
protokoler dalam mengontrol 100 persen keuangannya karena yang
penting akuntabilitasnya.

Dinamika Forum :
Klarifikasi dan Diskusi

Klarifikasi Pembahas Utama153

Pembahas berpendapat bahwa penentuan waktu penggunaan


sistem distrik, maksimal dua pemilu lagi dengan sistem proporsional
terbuka selanjutnya kita sudah siap dengan sistem distrik. Mengenai
recall, sudah diatur dalam UU Parpol. Kalau sudah mengarah ke
153 Prof. Dr. Bintan Saragih (Pembahas Utama FGD 2)

158 Peran Perwakilan Parlemen


proporsional terbuka atau distrik maka tidak ada recall karena harus
dilaksanakan pemilihan ulang atau pemilihan sisipan (sela).

Kemudian, kecenderungan anggota DPR memang ingin dipilih


kembali kecuali dia ingin menanjak ke tempat yang lebih tinggi
seperti di eksekutif. Jadi yang penting, cerminkan dulu bahwa DPR
adalah lembaga representasi dengan membuat rumusan, baru entry
point itu buat yang lain. Kemudian, hubungan DPR dan DPD sulit
diatur karena fungsinya berbeda dan sudah diatur dalam konstitusi.
Saya kira hubungan DPR dan DPD berbeda porsinya.

Mengenai representasi, ada representasi yang sudah terpelihara


secara emosional dalam hubungan antara anggota dengan rakyat.

Klarifikasi
Pembahas Utama 154

Ada banyak tantangan dalam membahas UU Susduk ini, salah


satunya kapasitas anggota yang tidak sama di dalam Pansus. Pembahas
kemudian merubah metode dengan melakukan lobi di awal. Ada zona
netral yang harus kita hormati dalam proses politik.

Kemudian mengenai representasi, sudah terjawab di paper


Pak Arbi Sanit. Pak Bintan benar bahwa anggota DPR ingin terpilih
kembali dan karena itu bebannya menjadi berat. Selanjutnya, dalam
menjalankan representasi ini adalah apa yang diminta rakyat.

Pembahas merasa tidak keberatan kalau nomenklatur fungsi


representasi dimasukkan. Demikian juga dengan keberadaan fraksi.
Kita ingin ada perbaikan dengan jumlah fraksi karena fraksi yang kecil-
kecil ada yang anggotanya double di komisi atau alat kelengkapan,
jadi saat kungker mereka selalu mengikuti.

Mengenai PAW itu sudah diatur UU. Tapi semua fraksi intinya
sepakat bahwa PAW harus tetap dipersulit. Kalau hak recall dihilangkan,
pembahas yakin bahwa kinerja anggota bisa diperbaiki. Kalau petisi,
154 Ganjar Pranowo (Pembahas Utama FGD 2).

Peran Perwakilan Parlemen 159


hal itu bisa dipermainkan oleh orang-orang yang tidak suka terhadap
seorang Anggota atau lawan politik. Hampir semua partai punya
mekanisme internal yang tidak menutup mata karena ada tuntutan
publik. Semua (parpol atau fraksi) mau memperbaiki diri.

Klarifikasi
Pembahas Utama
155

Pembahas sependapat tentang PAW jika tidak dilakukan oleh


fraksi, misalnya petisi memang sangat mudah dan bisa dipermainkan
tetapi bagaimana kalau menggunakan lembaga survey independen.

156
Mekanisme Recall
Dalam mekanisme recall ada jalan keluar seperti di parlemen
negara-negara demokratis lain, recall dari fraksi dimungkinkan karena
setiap wakil rakyat harus bergabung di dalam fraksi. Di dalam fraksi
ada peraturan atau Tatib. Kalau ada anggota tidak sesuai dengan garis
atau visi fraksi maka recall bisa dilakukan melalui voting di fraksi tetapi
recall dari DPR tidak bisa. Dia bisa ada di DPR tetapi tidak sebagai
anggota fraksi –dari parpol asalnya-. Anggota yang di recall tersebut
bisa melakukan beberapa tugas yang ada di luar fraksi, misalkan ikut
sidang paripurna atau masih bisa membawa aspirasi dari masyarakat
ke Dewan, tetapi dia tidak bisa untuk berinisiatif atau menyusun UU
baru. Saya kira dalam UU Susduk perlu dijelaskan tugas dan fungsi
yang bisa dilakukan oleh anggota atau fraksi.

Salah satu standing order atau Tatib bukan peraturan dalam UU


Susduk. Banyak hal yang dari Tatib harus di-delegate ke dalam Susduk
dan dari beberapa hal juga di Susduk dipindahkan ke Tatib terutama
yang berkaitan dengan fraksi. Saya sangat setuju dengan Pak Refli
bahwa konsep DIM mungkin tidak cocok untuk membahas UU Susduk

155 Arbi Sanit (Pembahas Utama FGD 2).


156 Frank Feulner, Ph.D (Pembahas sebagai konsultan PROPER-UNDP).

160 Peran Perwakilan Parlemen


karena sekarang sudah terlambat. Yang penting, kesalahan yang sama
tidak dilakukan dengan Tatib.

157
Klarifikasi
Persoalan-persoalan yang hampir mirip di banyak undang-
undang dapat diintegrasikan ke dalam satu undang-undang, misalkan
UU Pemilu dengan UU Pilpres. Bab penyusunan pemilih, pemungutan
suara, pengawasan, dan pemantauan yang secara teknis hampir sama.
Kemudian yang mencolok hanya bab mengenai persyaratan.

Menyinggung mengenai representasi di dalam UU Pemilu menurut


pembahas menjadi bias di tingkat DPRD padahal yang bersinggungan
dengan masyarakat adalah DPRD, baik Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kemudian mengenai sistem trias politika, ternyata DPRD itu tidak
sama fungsinya dengan DPR. Kalaupun DPRD membuat Perda (bidang
legislasi), jika bertentangan dengan UU di atasnya itu tidak dibawa ke
MA melainkan ke Depdagri. Jadi yang memutuskan adalah Depdagri
dan dengan demikian DPRD menjadi bagian eksekutif. Demikian juga
dengan budgeting dan sebagainya di mana kontrol dari eksekutif kuat
sekali.

Terakhir, apakah mungkin DPR membuat lembaga budgeting


tersendiri, dalam artian ketika pemerintah membuat APBN maka tiap
komisi membuat perkiraan. Kemudian di komparasikan dari masing-
masing perspektif (pemerintah dan DPR).

Trias
Politika di Indonesia
158

Seharusnya trias politik jelas. Lembaga yang membuat legislasi


itu hanya DPR sebagai legislatif, namun pada saat ini, pemerintah
(eksekutif ) turut mengajukan UU dan bahkan cenderung turut
membahas. Padahal, seharusnya faksi pendukung pemerintah yang
157 .M. Furqon (Pembahas sebagai tenaga ahli Fraksi PAN).
158 Arbi Sanit (Pembahas Utama FGD 2).

Peran Perwakilan Parlemen 161


berada di DPR yang mengajukan, sehingga jelas sistem presidensilnya
bukan menteri yang mengajukan ke DPR.

Filosofi yang digunakan selama ini adalah gotong royong, yang


mulai diberlakukan pada era Orde Lama, tahun 1960-an. Dalam
sejarahnya, Presiden Soekarno ’kesal’ dengan kegagalan penyusunan
APBN di DPR, lalu pemerintah menyusun APBN dan disahkan oleh
DPR. Filosofi gotong royong ini bisa diimplementasikan ke dalam
parlementer.

Lembaga-lembaga Negara yang Terlibat dalam


Pengajuan, Pembahasan dan Persetujuan
Sebuah
Undang-undang 159

Undang-undang Dasar berbicara tentang persetujuan bersama


pemerintah dan DPR dalam hal legislasi tetapi tidak berbicara tentang
pembahasan bersama. Pembahasan bersama ini dilakukan sejak
zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga saat ini. Pernah ada anggota DPR
yang bilang bahwa persetujuan bersama itu adalah DPR membahas
kemudian ketika sudah 100 persen diajukan ke pemerintah. Jadi
pemerintah punya hak veto di sana untuk setuju atau tidak. Kalau
kita mau bongkar sistem ini, saya kira entry point-nya di UU Susduk.
Isu sesungguhnya setelah reformasi adalah pergeseran kekuasaan
legislasi dari eksekutif ke legislatif.

Klarifikasi
Pembahas Utama 160

Pasal 20 ayat 2 UUD menyatakan bahwa setiap undang-undang


dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan. Jadi
tidak bisa dimasukkan ke UU Susduk. Sekarang ini, dalam kapasitas
yang tidak sama, DPR berpikir teknis. Agar DPR-nya tidak berbicara
persoalan teknis maka ia harus didukung oleh staf ahli.
159 Refli Harun (Pembahas FGD 2 sebagai akademisi, UNAND).
160 Ganjar Pranowo (Pembahas Utama FGD 2).

162 Peran Perwakilan Parlemen


Kemudian, pembahas sedang mengusulkan agar DPR punya
lembaga khusus yang mampu membuat APBN tandingan. Mengenai
ketentuan fraksi, seseorang harus terlibat di dalam fraksi. Paripurna
seharusnya hanya merupakan voting day agar tidak bertele-tele
dengan perdebatan dan lamanya pembacaan pendapat fraksi.
Fraksi seharusnya diperkecil, semangatnya adalah agar setiap alat
kelengkapan ada orangnya (wakil fraksi) dan agar pengambilan
keputusan tidak ter-fragmented dan bertele-tele.

Mengenai pengajuan –inisiatif- RUU selalu datang dari pemerintah


karena DPR tidak mampu. Ketika Prolegnas dibuat, kita bagi tugas
dengan pemerintah. Pemerintah memiliki infrastruktur yang jauh
lebih mapan untuk menyusun rancangan undang-undang, sedangkan
di DPR keberadaan staf ahli di Badan Legislasi hanya 15 orang.

Ketika merevisi undang-undang, pengalaman di luar negeri


hanya di pasal-pasal tertentu yang memang mau direvisi, sedangkan
di Indonesia tidak dan hal ini sedang menjadi trend sehingga rapat-
rapat seringkali terjebak pada perdebatan yang tidak substansial dan
bertele-tele, misalnya perdebatan panjang mengenai titik dan koma
dalam sebuah kalimat.

Usulan
Perbaikan UU Susduk 161

Strategi memasukkan fungsi representasi dengan memasukkan


bagian-bagian khusus ke dalam beberapa pasal yang mengatur
prinsip-prinsip ke dalam UU Susduk yang sekarang. Seandainya masih
seperti sekarang, dengan memasukkan empat lembaga (DPR, DPD,
MPR, dan DPRD) ke dalam Susduk, maka sebaiknya DPR dan DPD
hanya dimasukkan prinsip-prinsipnya saja kemudian penjabarannya
atau teknisnya ke dalam Tatib. Di dalam Susduk harus dimasukkan hal-
hal yang substantif dan prosedural.

161 Siti Nur Sholichah (Pembahas FGD 2 sebagai peneliti PROPER-UNDP tentang prinsip representasi masuk ke
dalam Tatib.

Peran Perwakilan Parlemen 163


Mengenai mekanisme lobi yang tidak ada di Susduk dan Tatib
padahal lobi menjadi penting sebagai suatu mekanisme yang harus
dilakukan. Lobi ini sangat substansial.

Pembahasan mengenai fraksi, apakah tidak sebaiknya fraksi ada


di DPP atau DPD masing-masing partai bukan di parlemen karena
praktek-praktek tertentu ada yang menyimpang. Sistem fraksi saat ini
hanya ada di Jerman, Belanda, dan Indonesia.

Usulan
Perbaikan UU Susduk 162

Masalah dari representasi itu terjadi karena: pertama, terdapat


kelemahan, kesalahan, dan kebobrokan partai politik; kedua,
kompetensi anggota masih jauh; ketiga, ada benarnya untuk
memuat fungsi representasi ini di dalam Susduk dan menjadi bagian
tersendiri.

Rekomendasi Hasil FGD 2

Rekomendasi untuk RUU Susduk tentang


Prinsip Representasi Parlemen

1. Rumusan tentang strategi dimasukkannya prinsip-prinsip dan tata


pelaksanaan fungsi representasi ke dalam UU Susduk Tata Tertib DPR
RI adalah sebagai berikut:
a) Pencantuman prinsip representasi dilakukan sejak awal –dalam
UU Susduk DPR- sehingga fungsi “menyerap, menghimpun,
menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat,” dalam Pasal
20 UU Susduk diangkat ke atas atau ke permulaan UU, sehingga
sejak awal sudah diperkenalkan bahwa DPR merupakan lembaga
yang menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip representasi
seperti menampung aspirasi rakyat.

162 Rusman Lumban Toruan (Pembahas FGD 2 sebagai tenaga ahli Fraksi PDIP).

164 Peran Perwakilan Parlemen


b) Harus ada pilihan agar (walaupun tidak secara drastis) ada perubahan
yang makin jelas dan baik untuk mengurangi ketergantungan
Anggota terhadap Partai. Dalam UU Partai Politik, fungsi partai
adalah untuk pendidikan politik dan penempatan posisi, bukan
mengurus –secara teknis- kinerja Anggota saat di DPR.
c) Perlu ada konsistensi dari apa yang sudah dituangkan dalam UU
Susduk dengan apa yang akan dituangkan dalam aturan teknis
berikutnya (dalam hal ini Tata Tertib).
d) Tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat teknis.

2. Susunan langkah dan strategi untuk memasukkan prinsip representasi


dalam UU Susduk dan Tatib DPR:
a) Jangan sampai DPR bias, karena yang diatur dalam UU Susduk
adalah DPR, DPRD, MPR, dan DPD. Tidak berarti harus dihapuskan
semuanya, tetapi harus ada tahapan dimana UU Susduk dapat
digunakan untuk merombak wajah politik untuk menjadi lebih baik.
Saat membicarakan tentang daerah pemilihan tidak seharusnya
hanya membahas tentang DPR saja, dan melupakan DPRD.
b) Ada aturan yang sudah dituangkan dalam Tata Tertib yang dapat
dimasukkan ke dalam UU Susduk, dan ada aturan dalam Susduk
yang sebetulnya lebih tepat dituangkan dalam Tata Tertib. Perlu ada
pemahaman lebih mendalam mengenai apa saja –aturan-aturan-
yang seharusnya masuk ke masing-masing aturan.

3. Daftar usulan-usulan tentang pengembangan konsep representasi


dalam mekanisme yang lebih terbuka, tegas dan rinci dalam aturan
Susduk dan Tata Tertib DPR RI:
o Hak recall ditiadakan karena mereka dipilih oleh rakyat, bukan oleh
Fraksi. Walaupun perlu ada pembahasan lebih lanjut bahwa hak
ini merupakan hak legitimate dan bukan hanya memunculkan like
dan dislike dan sudah diatur dalam UU. Mekanisme penggunaan
hak perlu diatur dan diperketat sebagai bentuk pemenuhan prinsip
representasi. Walaupun dalam praktek yang berjalan saat ini, Fraksi
sebenarnya memiliki mekanisme yang cukup baik dan dipengaruhi
juga oleh konstituen. Jika dimungkinkan, ada mekanisme petisi
dari konstituen dengan hitungan persentase, atau survei lembaga
independen.

Peran Perwakilan Parlemen 165


o Tata Tertib yang mengatur hak legislasi, anggaran, dan pengawasan
menguraikan proses awal yang menampilkan unsur-unsur dimensi
perwakilan (representasi) politik, baik sebagai pribadi, anggota
Fraksi, anggota Komisi, dan pleno.
o Pengaturan hubungan yang jelas antara DPR dan DPD, DPR dengan
DPRD, dan DPD dengan DPRD, agar tidak tumpang tindih walaupun
agak sulit dan mungkin melanggar konstitusi. Jika sudah ada
aturannya dalam konstitusi, maka ada pendapat untuk tidak perlu
diatur lagi dalam UU Susduk.
o Pengaturan keterlibatan DPD dalam pembahasan di DPR.
o Pengaturan hubungan antar-lembaga, misalnya antara DPR dengan
DPD dan MA.
o Pengaturan kemandirian keuangan parlemen dan hak protokol.
Hal penting yang menjadi pertimbangan adalah akuntabilitas dan
pertanggungjawaban.
o Kemungkinan untuk membuat lembaga budgeting tersendiri, agar
tidak terjadi kebingungan membaca anggaran yang diusulkan
Pemerintah.
o UU Susduk perlu mencantumkan kembali penguatan peran Fraksi
dalam ‘persetujuan’ bersama dan bukan ‘pembahasan’ bersama.
Veto Pemerintah adalah veto di tempat, apakah setuju atau menolak
untuk beberapa isu utama. Menteri tidak perlu lagi menghadiri
keseluruhan rapat pembahasan.
o Pada saat pembahasan RUU, DPR sebagai institusi perlu menyatukan
pendapat Anggota Tim, sehingga pada akhirnya yang menjadi
sandingan adalah DIM Pemerintah dan DIM DPR.
o Prinsip-prinsip representasi akan diberlakukan secara umum
kepada DPR dan DPRD. Dan bukan untuk DPD dan MPR.
o Perlu dimasukkan materi lobby mengingat mekanisme lobby yang
belum terekam dalam Susduk atau Tata Tertib.
o Tidak terlalu menyalahkan partai politik karena sebenarnya secara
sistem perlu diatur secara benar agar kompetensi Anggota yang
direkrut oleh Partai Politik lebih baik.

166 Peran Perwakilan Parlemen


FGD 3
163

Tata Hubungan Anggota


Parlemen dengan
Konstituennya
Pokok masalah diskusi: Tata hubungan Anggota dengan konstituennya adalah
salah satu indikator terpenuhinya prinsip perwakilan (representasi).

Pokok bahasan diskusi serial ketiga adalah mengumpulkan best practices


berdasarkan pengalaman langsung tentang hubungan politik yang terjalin antara
Anggota dengan konstituen/rakyatnya. Hasil yang diharapkan adalah: i) rumusan
tentang idealitas tata hubungan Anggota DPR dengan konstituennya, ii) rekaman
pengalaman tentang sistem dan mekanisme yang selama ini digunakan oleh Anggota
dalam membangun hubungan dengan konstituen dan masyarakat secara umum, iii)
deskripsi tentang bagaimana Anggota dan fraksinya melakukan penyeimbangan
kepentingan taktis parpol dengan kepentingan konstituen/masyarakat, iv) rumusan
tentang hubungan timbal balik kedua belah pihak antara anggota dan konstituen/
masyarakat dalam forum-forum pembahasan untuk memperjuangkan suatu
kepentingan bersama, v) deskripsi bentuk efektifitas jaring aspirasi/konsultasi publik/
kunjungan kerja yang selama ini dilaksanakan dalam meningkatkan partisipasi
politik konstituen/masyarakat, vi) peranan fraksi-fraksi di DPR dalam mengelola
dan menjadikan aspirasi konstituen/masyarakat mendasari kebijakan fraksi serta
memperjuangkannya di DPR.

Manajemen
Kontak Konstituen 164

Basis konsistuen, tidak terbatas pada orang di daerah pemilihan


tetapi juga anggota masyarakat yang mempunyai keterkaitan dengan

163 FGD 3 dilaksanakan di Ruang Pansus B, DPR RI, 10 Juli 2008.


164 Alvin Lie, M. Sc. (Pembahas Utama FGD 3 sebagai Anggota Tim Peningkatan Kinerja/Fraksi PAN).

Peran Perwakilan Parlemen 167


partai dan masyarakat yang mempunyai ikatan emosional dengan
anggota DPR. Anggota DPR dapat mengangkat isu/masalah dari
konstituen melalui cara pasif, yaitu dengan menunggu masukan dari
masyarakat, atau dengan cara pro aktif yakni mengangkat isu penting
dari hasil kunjungan, pemberitaan media, riset, atau dengan membuat
jaringan.

Alasan Publik Menghubungi Anggota


DPR antara lain:
a. merasa diperlakukan tidak adil seperti haknya dirampas.
b. tidak puas terhadap respon atau kinerja pejabat pemerintah.
c. tidak puas dengan kebijakan pemerintah.
d. masyarakat mempunyai informasi tentang penyalahgunaan
kekuasaan.
e. mengharapkan dukungan atas gagasan atau aspirasi yang
diperjuangkan.
f. meminta nasihat, pendapat dan saran (hubungan ini bisa terjalin
secara berkelanjutan meski sudah tidak di bidang yang terkait).
g. meminta dukungan politis untuk mengatasi masalah yang
dihadapi.
h. meminta bantuan untuk menjembatani dalam komunikasi.
i. meminta sumbangan (merupakan alasan yang paling banyak
dilakukan oleh masyarakat dan terjadi setiap hari, oleh karena itu
diperlukan batasan yang jelas dan tegas yaitu bahwa persoalan
yang disampaikan kepada Anggota terbatas pada persoalan publik
dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan kebijakan, bukan
persoalan pribadi).
j. menyumbang pikiran dan solusi (umumnya dilakukan oleh
akademisi dan pakar).

Pertimbangan masyarakat memilih Anggota dihubungi terkait


dengan masalah yang dihadapi umumnya didasarkan pada alasan:
masyarakat percaya Anggota yang bersangkutan akan memberikan
solusi atas permasalahan yang diajukan; sudah kenal dengan

168 Peran Perwakilan Parlemen


Anggota yang bersangkutan; mempunyai suatu ikatan tertentu
dengan Anggota; dan masyarakat mempunyai saluran akses dengan
Anggota.

Akses keterbukaan Anggota sangat penting untuk menjalin


komunikasi dengan konstituen yang dapat dilakukan dengan
model: SMS yang bisa berlanjut pada kontak person, telpon, datang
ke kantor pelayanan konstituen, datang ke rumah, atau melalui fax.
Sedangkan media surat dan e-mail masih relatif jarang digunakan
oleh masyarakat.

Harapan Konstituen atas Permasalahan yang


Disampaikan Kepada Anggota DPR:
a. Didengar masalahnya: dalam prakteknya tidak semua Anggota
DPR mempunyai kemampuan untuk mendengarkan keluhan
masyarakat.
b. Anggota menunjukan tanggapan yang simpatik, tegas dan jelas
terhadap masalah yang disampaikan oleh konstituen dan solusi
yang diberikan harus jelas dan dihindari solusi yang sifatnya
menggantung atau di-pingpong, tetapi diarahkan sesuai dengan
domain DPR dan dijelaskan kewenangan DPR berikut saran dan
advis, selanjutnya harus ada tindak lanjut penanganan masalah,
yaitu dengan meneruskan ke instansi terkait.
c. Perkembangan penanganan masalah selalu dimonitor oleh
Anggota DPR.

Penanganan Tindak Lanjut oleh Anggota DPR


Dilakukan Melalui Tahapan Sebagai Berikut:
a. Verifikasi dan klarifikasi informasi serta data yang diterima, apakah
sudah lengkap dan berimbang untuk selanjutnya ditetapkan skala
prioritas dan urgensi masalah.
b. Pengambilan keputusan disesuaikan domainnya, untuk selanjutnya
dibawa dalam Rapat Kerja di DPR.

Peran Perwakilan Parlemen 169


c. Diperlukan data dan dokumen pendukung yang lengkap, sekaligus
merupakan persiapan sebelum Anggota melakukan rapat-rapat.
d. Identifikasi kemungkinan konflik kepentingan antara masalah
dengan kepentingan partai atau pihak-pihak pendukung partai.
Jika terdapat konflik, masalah harus dibawa ke rapat fraksi agar
tidak terjadi benturan dengan partai.
e. Menyusun riwayat persoalan, identifikasi masalah, pihak-pihak
terkait, dan solusi yang diharapkan. Tahap ini tidak mudah untuk
dilakukan, namun minimal dibuat sinopsis permasalahan secara
tertulis. Berdasarkan pengalaman, selama ini penyampaian data
secara tertulis akan ditanggapi oleh pihak terkait secara formal dan
tuntas.
f. Jika persoalan merupakan domain Anggota DPR, akan lebih baik
apabila masalah tersebut dijadikan agenda komisi atau fraksi.
Dalam hal ini untuk mendapatkan respon yang optimal, diperlukan
lobby untuk meyakinkan anggota lain yang berada dalam satu
komisi atau fraksi. Jika bukan domain Anggota yang bersangkutan,
maka persoalan tersebut harus disampaikan pada komisi terkait
di samping diperlukan upaya lain dengan menulis surat pada
departemen terkait, malah jika perlu ke Presiden.
g. Penanganan tindak lanjut pada pihak lain sebaiknya dengan
menentukan batas waktu penanganan agar ada kejelasan/
kepastian penangan. Selanjutnja apabila batas waktu yang
diberikan terlewati, instansi terkait harus dihubungi kembali untuk
menanyakan perkembangan penanganan masalah oleh instansi
tersebut.
h. Perkembangan penanganan disampaikan kepada masyarakat yang
mengadu sehingga masyarakat merasa terlayani dengan baik dan
akan akan berdampak pada nama baik partai dan DPR. Dampak
lebih lanjut, konstituen akan memberi penilaian positif terhadap
keseriusan Anggota dalam menangani permasalahan masyarakat.

Partai politik memiliki keterbatasan dalam memfasilitasi


hubungan Anggota DPR dengan konstituennya, oleh karena itu
Anggota DPR tidak mungkin dapat membina hubungan yang sehat
dengan konstituennya jika hanya mengandalkan fasilitas atau peran

170 Peran Perwakilan Parlemen


partai. Berdasarkan pengalaman narasumber, membina hubungan
dengan konstituen dapat dilakukan dengan membuka kantor
perwakilan, membuka akses komunikasi melalui telepon, dialog
interaktif di radio daerah, dan menjalin kerja sama dengan Anggota
DPRD untuk mengetahui berbagai permasalahan di daerah sekaligus
mencari solusi atas berbagai masalah yang disampaikan konstituen
dan langkah tersebut selama ini terbukti sangat efektif.


Kualitas Hubungan Anggota dengan
Konstituennya
165

Sistem dan mekanisme hubungan anggota parlemen dengan


konstituen yang dilakukan selama ini, masih jauh dari ideal dan lebih
pada hubungan yang bersifat pragmatis dibanding dengan yang
seharusnya yaitu sebagai alat perjuangan dalam jangka panjang
menuju proses kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Anggota Parlemen masih menjadi alat (subordinat) dari partai


politik, sehingga Partai Politik mendominasi Anggota Parlemen
sementara Anggota Parlemen harus tunduk meskipun bertentangan
dengan hati nuraninya. Pada tataran praktek, dominasi partai politik
sangat besar yang berpengaruh pada rasa perwakilan rakyat oleh
Anggota DPR kurang menonjol. Anggota DPR berada pada posisi yang
berhadapan dengan kehendak masyarakat yang diwakilinya pada
satu pihak dan fraksi di pihak lainnya. Seringkali fraksi mempunyai
kehendak yang tidak dikehendaki oleh konstituennya, dalam posisi ini
Anggota DPR dituntut bersikap arif untuk menyikapi permasalahan
dengan bijaksana.

Masih terjadi proses kapitalisasi demokrasi yang menguntungan


pemilik modal dalam rekrutmen partai, dimana penguatan perwakilan
terjadi melalui proses jual beli. Pada umumnya calon wakil rakyat
masih sulit keluar dari persoalan langkah-langkah pemberian uang
kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya.

165 H. Masduki Baidlowi (Pembahas Utama FGD 3 sebagai Anggota Tim Pansus Rancangan UU Susduk/FPKB).

Peran Perwakilan Parlemen 171


Kualitas hubungan antara wakil rakyat dengan konstituennya juga
dipengaruhi oleh sosok wakil, hal ini sebagai akibat dari proses seleksi
seorang calon wakil rakyat. Pada kenyataannya kaum profesional
masih terkendala untuk menjadi Anggota leglislatif yang dinilai
sebagai dunia kalangan politikus, sehingga diperlukan langkah untuk
menembus dinding pemisah antara kaum profesional dan kalangan
aktifis politik. Ke depan akan lebih baik jika wakil rakyat merupakan
perpaduan antara politisi dengan profesional.

Untuk menyerap aspirasi masyarakat dan membahas berbagai


permasalahan di daerah, khususnya di daerah-daerah yang diwakilinya
perlu dijalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan
eksekutif serta legislatif di daerah. Sebagaimana pengalaman yang
dilakukan oleh pembahas dengan melakukan kunjungan periodik
ke daerah-daerah kantong pemilih pada setiap reses, kunjungan
bersama antar fraksi, melakukan pertemuan dengan Anggota DPRD
dan gubernur.

Penanganan permasalahan konstituen biasa dilakukan dengan


menghubungi menteri terkait baik melalui telepon maupun tertulis,
misal tentang diskriminasi pendidikan sesuai komisi yang ditangani.

Di fraksi asal pembahas, terdapat forum OKSAM yang memiliki


agenda tahunan mengadakan pertemuan eksekutif se-Jawa
Timur untuk merumuskan bersama berbagai permasalahan dan
kebijakan yang harus dilakukan untuk selanjutnya hal tersebut akan
diperjuangkan oleh fraksi melalui komisi-komisi terkait. Apabila
dipandang perlu, pertemuan juga dilakukan dengan Menteri dan
berdasarkan pengalaman pembahas, pertemuan bersama legislatif
dan eksekutif hasilnya lebih optimal.

172 Peran Perwakilan Parlemen


Tata Hubungan Anggota Legislatif dengan

Konstituen
166

Pada dasarnya ketidakpuasan masyarakat terhadap DPR


sebagai lembaga maupun Anggota DPR sebagai wakil rakyat dalam
memperjuangkan kepentingan publik merupakan hal wajar yang
terjadi di setiap negara, namun ada hal-hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan fungsi wakil rakyat. Sayangnya upaya meningkatkan
fungsi wakil rakyat ini tidak banyak dilakukan oleh Anggota DPR.

Permasalahan hubungan antara Anggota dan konstituen sering


dinyatakan sebagai principal agent problem, yaitu konstituen sebagai
principal seringkali tidak dapat manfaat atau diabaikan kepentingannya
oleh agent (wakil rakyat).

Tata hubungan antara parlemen dengan konstituen perlu


dibangun dalam suatu aturan hukum tertentu, baik Undang-Undang
maupun kode etik DPR. Pada tataran praktek, Anggota DPR bertindak
sebagai orang super yang mengurus segala permasalahan, seharusnya
yang wajib ditangani Anggota DPR adalah masalah kepentingan
nasional, atau setidaknya kepentingan nasional yang berdampak
pada kepentingan masyarakat daerah konstituennya. Problem yang
dihadapi sekarang adalah belum ada pemilahan masalah secara
jelas dan tegas, sehingga setiap masalah ditujukan ke DPR dan pada
akhirnya Anggota terbebani dengan masalah yang berada di luar
domain kewenangannya.

Konsep Perwakilan Politik Memiliki Konsekuensi


Akuntabilitas yang Berbeda yaitu :
a. Perwakilan politik yang didasarkan pada pemenuhan janji-
janji politik ketika kampanye pemilihan. Wakil rakyat yang
memperjuangkan janji-janji kampanyenya akan dianggap
bertanggungjawab dan memiliki akuntabilitas oleh pemilihnya.
166 Nico Harjanto (Pembahas Utama FGD 3 sebagai peneliti CSIS).

Peran Perwakilan Parlemen 173


b. Perwakilan politik bertindak dan berjuang untuk konstituennya.
Pada prakteknya, Anggota DPR tidak harus serta merta memenuhi
keinginan konstituennya, tapi praktek memperjuangkan
kepentingan konstituen juga merupakan hal yang penting untuk
kepentingan pemilihan Anggota DPR periode berikutnya.
c. Perwakilan politik pada kesamaan ide atau program antara
wakil rakyat dengan konstituennya. Dalam hal ini pemahaman
konstituen terhadap jejak rekam wakilnya menjadi hal penting
karena merupakan dasar kepercayaan politik konstituennya dan
wakil rakyat hanya akan berhasil jika memiliki integritas nilai dan
konsisten terhadap kepentingan umum konstituen.
d. Perwakilan politik yang bersifat non teritorial, dimana representasi
di tingkat nasional tidak mempunyai basis di tingkat nasional. Pada
konsep ini, wakil rakyat bertindak dan memperjuangkan suatu isu
atau aspirasi lintas batas daerah pemilihan, dalam hal ini isu yang
diperjuangkan merupakan kepentingan nasional yang lebih besar
meskipun bukan isu yang diprioritaskan daerah pemilihannya.

Proses perwakilan politik yang efektif sulit


dilakukan di Indonesia, karena:
a. Cakupan tugas Anggota DPR sangat luas, dan seringkali Anggota
mewakili daerah yang sangat luas bahkan terpecah-pecah dalam
banyak kepulauan.
b. Magnitude kepentingan yang harus diperjuangkan Anggota
sangat besar sementara partai tidak memiliki platform kebijakan
yang jelas terhadap isu tertentu atau terhadap konstituennya.
c. Proses rekrutmen politik kurang demokratis dan mengakar,
sehingga hubungan anggota dengan konstituennya tidak sehat dan
cenderung mengarah pada pola patron-client, yaitu Anggota DPR
dianggap bermakna oleh pemilih selama pemilih mendapatkan
insentif atau kontribusi material.
d. Mekanisme checks and balances vertikal antara Anggota DPR
dengan konstituennya sangat terbatas bahkan mungkin tidak ada,
sehingga sulit mengharapkan perilaku politik Anggota DPR yang
akuntabel.

174 Peran Perwakilan Parlemen


e. Faktor-faktor lain seperti masalah kompetensi dan kapabilitas
Anggota DPR dalam menjalankan fungsi-fungsi dasarnya serta
keterbatasan dana untuk untuk menghimpun dan memperjuangkan
aspirasi konstituen secara terukur dan rutin.

Upaya mengatasi berbagai masalah/kendala untuk


membina tata hubungan yang sehat antara wakil
rakyat dengan konstituennya antara lain melalui:
a. Cara konvensional yaitu dengan melakukan kunjungan kerja,
memanfaatkan masa reses, membuat jaring aspirasi masyarakat.
Cara ini perlu dilakukan tapi kurang mendorong peningkatan
kualitas perwakilan politik karena keterbatasan jangkauan waktu
dan isu yang tertampung.
b. Menggunakan cara modern yaitu dengan membuka kantor
perwakilan di daerah pemilihannya yang selalu siap dan pro aktif
menampung aspirasi dan kepentingan konstituennya.
c. Membuka layanan call center bebas biaya bagi konstituen yang
telah tercatat nomer telponnya dalam database, untuk menampung
aspirasi dan memberikan penjelasan kepada konstituen.
d. Memanfaatkan media massa di daerah pemilihan untuk
menggantikan kehadiran fisik yang kadang kurang efektif dalam
menampung aspirasi dan memberi penjelasan terkait dengan
keputusan politik yang diambilnya.

Hubungan komunikasi harus selalu dibangun untuk mendekatkan


jarak pilihan politik dengan preferensi dan kepentingan konstituennya
yang dibuat secara terbuka dan lebih bagus dan dengan skala yang
lebih luas. Di banyak negara, penyampaian aspirasi secara langsung
pada Anggota legislatif sangat jarang dilakukan, biasanya cukup
ditangani oleh staf Anggota parlemen.

Peran Perwakilan Parlemen 175


Dinamika Forum :
Pembahasan Pengantar

167
Manajemen Kontak Konstituen
Berdasarkan pengalaman pembahas, menunjukkan bahwa
konstituen tidak hanya terbatas pada konstituen yang berada di
daerah pemilihan Anggota saja tetapi juga anggota masyarakat yang
punya keterkaitan dengan partai Anggota tersebut walaupun tidak
ada di daerah pemilihannya.

Kemudian juga ada kelompok masyarakat yang mempunyai


kepentingan yang sama atau yang mirip-mirip dengan Anggota
terpilih. Jadi, mungkin bukan pendukung partai atau daerah itu bukan
daerah pemilihan Anggota terpilih tetapi mereka merasa bahwa
keberadaan Anggota terpilih di DPR mewakili mereka. Orang-orang
seperti ini adalah konstituen dari anggota DPR.

Bagaimana suatu isu atau masalah diangkat; Pertama, yang paling


umum adalah bersikap pasif atau menunggu dari unsur masyarakat
untuk datang membawa masalahnya. Kedua, secara pro aktif Anggota
mengembangkan permasalahan untuk diangkat menjadi isu politik
apakah dihasilkan dari kunjungan, pemberitaan media, dari riset
mandiri maupun dari jaringan yang dibangun.

Anatomi masalah terbagi menjadi dua: Pertama, penyandang


masalah. Siapa yang mempunyai masalah? Ada masalah-masalah
yang bersifat pribadi, kelompok, atau institusi seperti perusahaan,
yayasan atau sekolah, dan juga masalah yang umum. Lumpur Sidoarjo,
misalnya sudah merupakan masalah publik.

167 Alvin Lie, M. Sc. (Pembahas Utama FGD 3).

176 Peran Perwakilan Parlemen


Mengapa Unsur dari Publik
Mendatangi DPR
Pertama, yang paling umum adalah karena masyarakat merasa
diperlakukan tidak adil, kemudian tidak puas terhadap respon pejabat
pemerintah lalu mereka mengadu agar ada tindak lanjut secara politis
dari DPR.

Ada juga yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah,


misalnya, kenaikan harga BBM atau unsur masyarakat mengetahui
informasi tentang penyalahgunaan kekuasaan. Ini sangat penting,
biasanya hal-hal seperti ini menyangkut data-data bersifat rahasia. Data
tersebut dari orang dalam, yang apabila dikelola dengan baik menjadi
instrumen yang efektif dalam menjalankan fungsi pengawasan DPR.
Ada juga unsur masyarakat yang datang ke DPR untuk mengharapkan
dukungan atas gagasan atau aspirasi yang diperjuangkan. Kita masih
ingat masalah Ahmadiyah misalnya, kelompok pro dan kontra datang
ke DPR mengharapkan dukungan dari aspirasi yang diperjuangkan.

Sebagian dari unsur masyarakat ada yang minta pendapat dan


saran terkait masalah yang dihadapi, contoh yang sampai sekarang
masih dihubungi oleh mantan karyawan dari PT DI (Dirgantara
Indonesia). Tidak sedikit juga unsur publik yang minta bantuan
untuk dijembatani permasalahannya namun mereka tidak tahu mau
menghubungi siapa, misalnya dalam kasus kesulitan elpiji. Di daerah
mereka, minyak tanah sekarang sudah ditarik, namun elpiji juga tidak
ada. Terus mau minta elpiji kemana? Karena tahunya DPR, lalu larilah ke
DPR. Tugas kita adalah menghubungi dan membuat janji agar mereka
bisa bertemu dengan siapa (pihak Pertamina). Jadi tidak semuanya
harus diselesaikan oleh anggota DPR. Tapi, disayangkan sebagian
besar masyarakat yang datang ke DPR umumnya minta sumbangan
apapun bentuk dengan berbagai alasannya.

Peran Perwakilan Parlemen 177


Bagaimana Masyarakat Memilih
Anggota DPR
Pertama, tentu mereka akan cari track record masing-masing
anggota DPR. Minimal mereka sudah pernah dengar track record-
nya. Unsur pertama adalah kepercayaan bahwa apa-apa yang telah
disampaikan mengenai inside information itu tadi yang tidak mudah
unsur publik memberikan kepada anggota DPR tapi mereka yakin
bahwa anggota DPR yang diberi informasi tidak akan menggunakan
informasi yang disampaikan sebagai komoditas politik atau bisnis
(informasi diperdagangkan). Kemudian mereka juga merasa kenal
sebelumnya, pernah ketemu, atau mempunyai hubungan entah itu
hubungan sesama simpatisan partai, pernah berada di sekolah yang
sama, dan sebagainya. Tidak kalah pentingnya adalah punya saluran
akses yang paling mudah dihubungi, punya nomor telepon dan tahu
alamatnya di mana.

Kebetulan sejak tahun 2000, pembahas membuka kantor


pelayanan konstituen di Semarang. Kebanyakan permasalahan
yang diadukan bukan permasalahan yang terkait dengan tugas
DPR RI. Kebanyakan permasalahan konflik pribadi, konflik hukum
yang penyelesaiannya tentu saja melalui hukum, kalaupun masalah
kebijakan kebanyakan masalah yang terjadi di tingkat kabupaten/
kota, bukan kebijakan nasional. Ada juga yang datang ke rumah, DPR,
atau melalui fax, sementara melalui surat dan email masih jarang.
Mungkin ini masih menjadi karakteristik masyarakat kita, komunikasi
masih cenderung verbal atau SMS.

Harapan Publik Ketika Berhubungan


dengan Anggota
Berdasarkan pengalaman pembahas, tidak semuanya
mengharapkan bahwa Anggota DPR ini menjadi manusia super yang
bisa memberikan jalan keluar bagi semua permasalahan. Terutama
mereka ini sudah cukup senang kalau ada yang mendengarkan

178 Peran Perwakilan Parlemen


kemudian Anggota menunjukkan tanggapan yang simpatik, tegas,
dan jelas.

Berikutnya harus ada tindak lanjut. Tindak lanjut terhadap instansi


terkait juga bisa cukup memuaskan bagi masyarakat yang mengadu.
Ada permasalahan yang cukup dilampirkan surat pengantar
kepada Menteri atau Dirjen terkait. Harapan dari konstituen mereka
diperlakukan dengan baik, didengarkan, ada tanggapan simpatik,
dan ada tindak lanjut.

Tindak Lanjut Pengaduan yang Disampaikan


Kepada Anggota DPR
Anggota mempunyai kewajiban untuk memverifikasi pengaduan
agar tetap seimbang dan juga melihat kategori urgen atau tidak.
Selain itu, perlu adanya kelengkapan dokumen dan data. Kemudian
pengambilan keputusan oleh DPR apakah termasuk domainnya
atau bukan, patut ditindaklanjuti atau tidak. Jika memang patut
ditindaklanjuti, apa langkah berikutnya agar kalau kita masuk rapat
kerja, hal tersebut adalah hal-hal yang perlu dipertahankan.

Agar Anggota dapat menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat,


perlu adanya input data dan dokumen yang lebih lengkap. Efektivitas
anggota DPR sangat ditentukan oleh informasi. Persiapan itu
sangat penting. Jika tidak ada persiapan biasanya hanya pasif saja
dan kontribusinya minim. Kemudian juga perlu identifikasi konflik
kepentingan, ada atau tidak masalah yang diadukan itu dengan
kepentingan partai. Kalau ada dibicarakan dulu dengan fraksi. Kira-
kira nanti komprominya seperti apa? Sejauh mana Anggota bisa atau
tidak menolong? Bagaimana pun keberadaan anggota DPR ini karena
partai. Jadi diupayakan tidak berbenturan dengan partai secara
frontal.

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan penyusunan riwayat


persoalan, identifikasi masalah, pihak-pihak terkait secara tertulis
dan membuat sinopsisnya. Hal ini akan sangat membantu anggota

Peran Perwakilan Parlemen 179


DPR. Ketemu siapa saja dengan pihak terkait ceritanya akan sama
atau konsisten dan data-datanya akan sama terus. Akan lebih baik
jika laporan itu disampaikan secara tertulis dan disampaikan kepada
pihak-pihak terkait. Pembahas sudah membuktikan efektifitas laporan
tertulis tersebut, ketika disampaikan kepada pihak pemerintah secara
tertulis tidak ada laporan yang tidak ditanggapi. Ditanggapi secara
formal sampai tuntas, apakah itu dipenuhi atau tidak tetapi tuntas
tidak ada yang terus menggantung.

Tindak lanjut berikutnya, jika persoalan itu merupakan domain


anggota DPR akan lebih baik jika diperjuangkan isu tersebut bisa
melalui agenda anggota fraksi atau agenda komisi untuk mendapatkan
kekuatan atau bobot lebih baik dalam memperjuangkan agenda
tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan lobby dan meyakinkan teman-
teman, baik itu fraksi yang sama maupun dari fraksi-fraksi yang lain.

Kemudian tindak lanjut anggota DPR: a) jika persoalan merupakan


domain anggota diupayakan untuk jadi anggota Komisi atau hak alat
kelengkapan agar dibahas dalam rapat-rapat kerja, b) tetapkan batas
waktu tentang tindak lanjut pihak lain. Ini kewajiban dari anggota DPR
untuk menghubungi pihak lain, c) secara rutin hubungi pihak-pihak
terkait untuk monitor perkembangan, dan d) secara rutin memberi
laporan perkembangan kepada pengadu.

Pemenuhan Prinsip Representasi akan


Menghasilkan Kualitas Hubungan Anggota
dengan
Konstituen
168

Mengenai representasi memang harus terus kembangkan ke


depan karena pada dasarnya, berbicara mengenai representasi, maka
berbicara tentang sumber kekuasaan rakyat sebagai penguasa dan
wakil rakyat yang dalam hal ini dijembatani oleh parpol. Hingga saat
ini, jembatan tersebut masih begitu dominan berkehendak bahkan
dalam kasus-kasus tertentu mensubordinasi hubungan antara rakyat

168 H. Masduki Baidlowi (Pembahas Utama FGD 3)

180 Peran Perwakilan Parlemen


dengan yang diwakili. Jadi yang dominan itu terkadang adalah fungsi
parpolnya.

Kemudian bagaimana ketika rakyat sebagai sumber kekuasaan


mempunyai kemauan, kehendak, dan rencana yang harus diserap. Tadi
sudah dikemukakan secara detail oleh pembahas sebelumnya, jika
rakyat mempunyai kehendak di sisi yang lain juga partai mempunyai
kehendak dan ternyata kehendak partai dengan yang diwakili itu
berbeda seperti apa kita harus bersikap dan tidak jarang terjadi. Dalam
suatu kasus misalnya yang masih agak makro, di media massa tentang
fungsi-fungsi atau hak yang dilakukan oleh DPR mulai dari interpelasi
bahkan yang hak angket. Pada saat itulah Anggota berposisi sebagai
wakil rakyat. Pembahas, setidak-tidaknya merasakan bagaimana
kehendak rakyat di satu sisi, lalu bagaimana kehendak partai politik
di sisi yang lain. Hal ini sangat menarik untuk disikapi. Seringkali fraksi
sebagai etalase parpol yang memiliki keinginan atau kepentingan
yang tidak korelatif dengan konstituen.

Beranjak dari kondisi mikro di lapangan –basis- konstituen


pembahas, yaitu, Dapil IX Jatim (Gresik, Lamongan, Tuban, dan
Bojonegoro). Ada empat wakil dari partai asal pembahas, atau total ada
11 kursi dari Dapil IX. Kami memiliki forum khusus untuk membahas
persoalan-persoalan terkait bagaimana aspirasi di daerah tersebut.
Sekedar satu gambaran, Jawa Timur itu secara kultur berangkat dari
daerah pemilihan Pantura, kulturnya santri dan NU yang sangat kuat,
kultur Mataraman (berpusat di Kediri dan Madiun), kultur Arek yang
egaliter (Surabaya dan Malang), dan kultur Tapalkuda yang umumnya
santri. Daerah pemilihan pembahas adalah kultur santri.

Pengalaman lapangan pembahas ketika reses, kecuali


kunjungan yang sangat mendadak seperti undangan Banom-
Banom NU, melakukan kunjungan secara periodik dan kami banyak
melakukan serap aspirasi. Untuk melakukan serap aspirasi tentu
saja ada beberapa forum untuk follow up. Kami juga pernah dua kali
melakukan kunjungan bersama antar fraksi untuk menyerap aspirasi,
kami bertemu anggota DPRD setempat untuk mengetahui setiap
permasalahan yang terjadi di daerah tersebut. Kami juga datang ke

Peran Perwakilan Parlemen 181


gubernur untuk menyampaikan gagasan bersama. Bahkan kami
juga pernah memprakarsai pertemuan dengan Gubernur di Dapil itu
sehingga sampai saat ini kami masih terus memperjuangkan beberapa
hal yang terkait dengan gagasan-gagasan di Jawa Timur. Misalnya,
kami diberi tugas untuk menyelesaikan masalah Suramadu.169 Itu
hal-hal yang bersifat umum tetapi kalau hal yang bersifat spesifik di
kabupaten di Dapil tidak jauh beda antara yang dikemukakan oleh
pembahas sebelumnya yang secara administratif lebih bagus, terus
terang kami lebih sering menggunakan telepon. Misalkan, untuk
menghubungi Menteri atau Dirjen terkait. Konstituen kami mayoritas
dari kalangan madrasah atau pondok pesantren.

Kami memperjuangkan pendidikan dasar gratis bagi sekolah-


sekolah agama, tetapi sampai saat ini kami belum berhasil. Tapi
setidak-tidaknya kami telah menghasilkan BOS. Hingga saat ini, kami
sudah berulang-ulang baik di rapat fraksi supaya diskriminasi ini tidak
terjadi, contoh DAK –Dana Alokasi Khusus- di daerah kami yang lebih
banyak diberikan oleh para Bupati kepada SD ketimbang madrasah,
alasannya bahwa madrasah secara vertikal ke Depag, padahal sudah
ada kesepakatan antar Menteri bahwa semua pendidikan dasar itu
harus ditangani di daerah, baik madrasah maupun sekolah umum.

Partai asal pembahas memiliki forum tahunan (Foksam) yang


diikuti oleh eksekutif dan legislatif dari seluruh Indonesia. Untuk
lebih memperjuangkannya, antara lain kami juga mengundang
menteri-menteri dan akhirnya menteri-menteri itu mengerti duduk
persoalannya dan itulah yang kami kejar.

Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan


Penyerapan Aspirasi
Rakyat masih berada pada kepentingan yang bersifat pragmatis.
Adanya pengaruh Pilkada yang bernuansa uang bukan nuansa ide
yang dijual juga berimplikasi pada Anggota DPR.

169 Jembatan yang dibangun untuk menghubungkan transportasi antara Surabaya dan Pulau Madura.

182 Peran Perwakilan Parlemen


Ketika kita akan melakukan proses ke depan bagaimana
konsolidasi demokrasi dibangun dan mengarah kepada hal-hal
substansial melalui sistem demokrasi yang kira-kira akan terhambat
oleh proses pragmatis tersebut. Jika hal tersebut terjadi, kekalahan
akan membayangi aktivis-aktivis partai politik tidak memiliki uang
banyak di satu sisi, tetapi punya konsep dan nilai yang bagus. Dengan
demikian, ide konstruktif akan kalah dengan modal yang besar yang
cenderung pragmatis.

Catatan berikutnya terkait dengan pengalaman pembahas adalah


bagaimana agar ada satu upaya-upaya untuk menembus perwakilan
dari partainya yaitu antara aktivis politik di satu pihak dengan kaum
profesional di pihak lain. Hingga saat ini, ada anggapan partai politik
itu adalah dunia yang lain lalu kemudian kaum profesional adalah
dunia yang lain lagi. Ada tembok pemisah. Kita ingin membayangkan
ke depan agar bagaimana ada aktivis-aktivis partai politik itu terdiri
dari kalangan profesional.

Tata Hubungan Anggota Legislatif dengan


Konstituen
Abstraksi tata hubungan antara legislatif dan konstituen yang
terjadi di banyak negara dan bagaimana tata hubungan tersebut
berpengaruh terhadap akuntabilitas dari hubungan itu. Bagaimana
masalah-masalah yang dihadapi secara sistemik atau di luar faktor-
faktor non personal atau faktor-faktor yang sifatnya insidentil,
keterbatasan waktu, dan lain sebagainya.

Jika melihat dari sekian banyak survey dan polling, memang ada
ketidakpercayaan dan ketidakpuasan dari publik terhadap DPR sebagai
lembaga maupun anggota-anggota DPR sendiri, terutama dalam
memperjuangkan aspirasi atau menjalankan fungsi representasi.
Ketidakpuasan publik terhadap fungsi representasi tidak hanya terjadi
di Indonesia, melainkan di semua negara meskipun kadarnya berbeda-
beda. Hal ini tentu dapat dipahami karena ekspektasi publik memang

Peran Perwakilan Parlemen 183


terlalu tinggi terhadap proses politik dan wakil-wakil maupun tokoh
yang mereka pilih. Hanya saja, ada banyak hal yang seharusnya bisa
diperbaiki, bisa dilakukan untuk meningkatkan fungsi representasi
politik dan mungkin yang belum dilakukan oleh sebagian besar
anggota DPR. Hal-hal tersebut yang membuat ketidakpercayaan dan
ketidakpuasan meningkat. Tentunya ada faktor-faktor lain, misalnya
perilaku korup anggota atau juga ketidakpedulian anggota DPR.

Pada intinya, hubungan antara anggota legislatif dan konstituen


dalam definisi klasik seperti antara principle dan agent di mana
konstituen yang menjadi principle atau memiliki kedaulatan dan
agent hanya menjadi pemegang mandat atau wali kepentingan
(trustee). Mereka seharusnya menjadi penyambung atau pembela
dari kepentingan-kepentingan masyarakat di suatu distrik pemilihan.
Pengertian ini adalah konsepsi yang relatif klasik yang disebut primary
representation. Pada kenyataannya, di Amerika dan di mana-mana ada
berbagai macam representasi politik yang terkadang menyulitkan.
Bagaimana tata hubungan antara legislatif dan konstituen perlu
dibangun bahkan dilembagakan dalam undang-undang atau
peraturan yang lebih rinci atau hanya cukup dalam suatu kode etik
ataukah perlu dibuatkan lembaganya.

Persoalan di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke itu


menjadi domain anggota DPR, karena Anggota DPR tidak mewakili
rakyat di satu konstituen tapi di tingkat nasional. Masalah-masalah
yang ditangani adalah tingkat nasional atau masalah yang terkait
dengan kewenangan pemerintah pusat di daerah pemilihannya atau
di basis konstituen lain karena seperti 2 (dua) pembahas sampaikan,
bahwa basis konstituen anggota legislatif tidak hanya di daerah
pemilihannya tapi bisa juga menjadi basis partai. Jadi basisnya tidak
tunggal. Saat ini, pemilahan masalah tersebut belum jelas. Banyak
kontituen yang datang yang membawa masalah yang sebetulnya
bisa diselesaikan di daerah. Tapi sepertinya kurang mantap jika hanya
datang ke anggota DPRD Kab/Kota atau Provinsi karena pokoknya
yang penting bertemu dengan tokoh nasional. Hal ini menjadi
masalah karena akhirnya anggota legislatif terbebani dengan aduan-
aduan yang berada di luar domainnya.

184 Peran Perwakilan Parlemen


Pada tataran praktek, anggota DPR bisa saja tidak harus memenuhi
janji-janji kampanyenya karena ada pertimbangan-pertimbangan ke
depan, hal ini yang disebut secondary representation atau membuat
pilihan-pilihan ke depan karena mereka ada yang mau dipilih lagi.
Jadi tidak serta merta praktek seperti itu juga buruk. Di Amerika pun
ada yang seperti itu. Hal ini juga tergantung dari mana Anggota dapat
melihat sisi politik dan akuntabilitasnya.

Kemudian ada juga model wakil rakyat yang memiliki kebebasan


untuk membuat keputusan-keputusan politik terlepas dari janji-janji
yang pernah disampaikan, selama keputusan politik tersebut tidak
keluar dari ide, gagasan ataupun nilai-nilai utama yang menjadi
preferensi anggota atau konstituennya. Misalnya, pembahas yang
berasal dari PKB dan NU, konstituen dapat memaklumi atas kebijakan-
kebijakan tertentu selama kepentingan konstituen di daerah masih
terwakili atau masih diperjuangkan.

Ada juga praktek representasi yang dalam tingkat nasional


yang kurang atau tidak memiliki lagi batasan teritorial. Isu nasional
kadang overlap antara satu daerah dengan daerah yang lain. Dalam
memperjuangkan kualitas pendidikan, tentu tidak bisa hanya di Dapil
IX Jawa Timur, tetapi BOS itu juga harus berlaku di Aceh dan daerah
lain seluruh Indonesia. Oleh karena itu, kadang juga banyak anggota
konstituen di satu daerah pemilihan merasa kepentingan politiknya
tidak terwakili sepenuhnya karena anggota DPR di tingkat nasional
harus juga mengakomodasi kepentingan-kepentingan nasional atau
mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok di luar distrik
pemilihannya. Jadi praktek-praktek seperti itu lazim, di Amerika pun
seperti itu, misalnya anggota Kongres dari satu negara bagian bisa
menolak perang yang sekalipun di konstituennya tidak ada masalah
dengan perang bahkan ada yang sebenarnya cenderung menyetujui
perang. Misalkan di daerah itu ada pabrik perlengkapan tempurnya
sehingga kalau ada perang berarti ekonomi semakin membaik di
daerah itu, tapi karena ada kepentingan yang lebih besar, dia bisa
saja menolak perang itu. Praktek-praktek empiris itu yang terkadang
menyulitkan keberlangsungan tata hubungan antara konstituen dan
legislatif harus dibangun dan harus dikelola.

Peran Perwakilan Parlemen 185


Pembahas tadi juga sudah menyampaikan manajemen mikro dari
hubungan konstituen dengan legislatif. Bagaimana bentuknya? Apa
saja yang diharapkan? Ekspetasinya seperti apa? Langkah-langkah
apa yang harus ditindaklanjuti? Secara mikro manajemen itu memang
mudah untuk diidentifikasi.

Kembali pada persoalan representasi di Indonesia, jika dihitung


secara kasar, anggota DPR itu mewakili 392 ribu penduduk atau sekitar
264 ribu pemilih, ini tergantung konstituen itu didefinisikan sebagai
pemilih (active voters) atau populasi penduduk secara umum, tapi
artinya satu orang anggota mewakili ratusan ribu. Jika dalam standar-
standar yang lain terlihat jelas, misalkan satu orang polisi mewakili 400
penduduk, dalam seribu penduduk harus ada satu dokter kalau mau
kualitas kesehatan bangsa membaik. Ini masalahnya, mungkin tidak
realistik, satu orang ini harus bisa mengakomodasi, memperjuangkan
aspirasi yang sangat banyak itu. Apalagi daerah pemilihan di Indonesia
memiliki jarak dan volume yang tidak sama. Ada satu daerah pemilihan
yang terdiri dari 13 Kab/Kota. Itu secara geografis saja sudah luas sekali
sehingga membutuhkan banyak biaya, waktu, dan segala macam
untuk bisa menjaring atau bertemu dengan menggunakan metode
yang klasik. Jadi masih ada kendala yang sistemik. Belum lagi jika
berbicara, misalnya, wakil-wakil dari daerah kepulauan.

Kendala-kendala tersebut juga merupakan implikasi dari


penerapan sistem pemilu yaitu sistem proporsional. Berbeda dengan
di negara-negara yang menggunakan sistem distrik di mana biasanya
di situ satu Dapil ada satu wakil, satu distrik kecil, mungkin jumlah
penduduknya besar namun secara geografis mudah dijangkau.

186 Peran Perwakilan Parlemen


Tata Hubungan Anggota Legislatif Dengan
Konstituen Dalam Sistem Pemerintahan
Presidensiil Atau Parlementer
Tata hubungan antara anggota legislatif dan konstituen sulit
untuk membaik karena sistem yang dianut adalah presidensial. Dalam
sistem parlementer misalkan anggotanya tidak responsif, tidak baik,
dan segala macam, kalau ada pemilu sela atau ada pemilu yang bisa
datang kapanpun dia akan kalah. Artinya partai tersebut kalah di
legislatif dan juga di eksekutif. Mau tidak mau mereka harus berjuang
keras untuk mendapatkan kepercayaan dari rakyat sementara dalam
sistem presidensial-multi partai seperti ini, sistem lima tahun, terpilih
lagi akan sangat baik, setahun menjelang pemilu bisa untuk menarik
simpati. Jadi insentif untuk membangun basis dukungan dan loyalitas
itu agak kurang karena sistem penghukumannya tidak seperti di
dalam sistem distrik-parlementer. Hal ini juga yang menjadi masalah
dalam proses rekrutmen, sehingga terkadang hubungannya agak
seperti patron-client. Lebih mengejutkan lagi bagi anggota DPR
untuk membangun tata hubungan yang sehat dan demokratis dalam
artian yang tidak melulu melibatkan insentif uang, barang, ataupun
kompensasi-kompensasi.

Mekanisme check and balances secara vertikal terbatas sekali.


Tidak ada mekanisme untuk membuat semacam popular referendum
untuk me-recall karena recall masih hak partai. Kemudian juga insentif
bagi anggota legislatif yang sudah kepilih untuk turun ke lapangan
agak berkurang.

Rakyat pada akhirnya tidak bisa mengatur hubungannya dengan


anggota legislatif secara rigid atau kaku karena anggota legislatif
sendiri mempunyai tugas yang sangat berat di Jakarta. Kalau misalnya
di Inggris, mereka memiliki kesempatan paling tidak dua minggu
sekali diberi fasilitas untuk pulang ke ditrik pemilihannya. Jika hal
tersebut dilakukan di Indonesia, secara teknis susah yang disebabkan
oleh letak geografis.

Peran Perwakilan Parlemen 187


Penggunaan sarana dan metode-metode yang agak modern
masih agak sulit untuk digunakan, sebagian masyarakat belum bisa
mengakses teknologi-informasi. SMS sudah banyak yang bisa tetapi
masih terbatas dan belum bisa dijadikan dasar formal. Suatu survey
yang dilakukan Partnership pada pengurus partasi, konstituen, dan
kelompok strategis dalam hal metode untuk menampung aspirasi
itu lebih banyak dilakukan secara konvensional seperti kunjungan ke
komunitas, kemudian melalui kegiatan-kegiatan partai yang sifatnya
sosial. Kemudian menggunakan jaring aspirasi masyarakat. Kadang-
kadang jaring aspirasi bisa dimasukkan juga ke dalam kegiatan partai
juga yang lain atau dalam kunjungan-kunjungan temu komunitas.
Kemudian menggunakan sarana yang mudah seperti media massa.
Itu memang tantangan bagi para anggota Dewan. Saya kira masih
ada harapan untuk memperbaiki tata hubungan meskipun secara
sistemik inisiatif itu masih sangat sedikit, tetapi paling tidak hubungan
komunikasi harus lebih terbuka dan aksesnya lebih bagus.

Dinamika Forum :
Klarifikasi dan Diskusi
170
Pandangan 1
Secara prinsip, pandangan yang lebih bagus adalah yang
seimbang. Artinya, tugas dari kedua belah pihak untuk saling mengisi
antara agent dan principle. Pembahas tadi mengungkapkan ada sistem
yang dilakukan di Inggris, mungkin karena dua minggu sekali namanya
parlementer-distrik. Di sana kondisi geografisnya kecil sedangkan
di sini besar. Apakah mungkin jika dimasukkan ke Susduk akan
bertentangan dengan UUD 45 karena tidak ada fungsi representatif? Ini
bentuk tanggungjawab dari anggota Dewan dan bentuknya macam-
macam, dalam FGD sebelumnya, ada yang bentuknya website, buku,

170 Baginda Pakpahan (Pembahas FGD 3 sebagai Tenaga Ahli FKB).

188 Peran Perwakilan Parlemen


atau yang lainnya. Apakah bisa digabung sistem yang di Amerika
dan di Inggris? Kalau dimasukkan ke dalam Susduk apakah ini akan
membebankan anggota Dewan? Lalu bagaimana mengurai quo vadis
hubungan representif ini?
171
Pandangan 2
Pembahas –peneliti CSIS- tadi memulai bahwa citra parpol dan
DPR adalah pilar demokrasi yang dinilai secara negatif paling rendah
di antara lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Berdasarkan survey
atau polling yang dilakukan oleh dua LSI yang kecenderungannya
parpol dan DPR di nilai yang terbawah. Begitupun kemudian kita
mendapatkan gambaran teknis yang agak mikro bahwa sebenarnya
tidak ada yang tidak dikerjakan sehingga muncul persoalan kalau
begitu inti persoalannya ada di mana. Kalau kita kembali ke FGD I,
apakah memang perlu ada fungsi representasi di konstitusi kita tetapi
bukankah kita menerapkan mekanisme perwakilan. Sebenarnya
substansinya di situ. Kemudian persoalannya ada di mana? Apakah
ada di tingkat sistemik? Kalau persoalannya di situ, maka yang harus
ditekan adalah perubahan sistem pemilu. Persoalannya sejak FGD I dan
II, UU Pemilu sudah jelas proporsional terbuka. Kalau begitu ada pada
praktek di lapangan, ada di Susduk dan di Tatib DPR RI. Saya kira dari
sejak FGD II ada sumbangan dalam bentuk buku atau gagasan yang
saya kira merupakan lesson learn yang perlu dikapitalisasi. Apakah
ada proses seperti itu di DPR mengenai lesson learn yang bagus-
bagus? Kedua, apakah di tingkat yang punya kemampuan mengikat
dan kita tidak punya sanksi dalam hal ini, apakah fraksi atau badan
kehormatan yang seharusnya ada. Apa yang sebaiknya perlu diatur
dan ditata payung hukumnya sehingga Susduk dan Tatib menjabarkan
teknisnya jika ada yang tidak dikerjakan oleh anggota Dewan? Ke
depan, untuk merekatkan anggota DPR dan konstituen kita misalnya
menetapkan sistem pelaporan, evaluasi terhadap laporan, feedback
yang dilaporkan. Mungkin ini bisa dikembangkan lebih jauh.

171 Audy Wuisang (Pembahas FGD 3 sebagai Tenaga Ahli FPDS).

Peran Perwakilan Parlemen 189


172
Pandangan 3
Perlu disadari, kita bertemu di sini yang menghadirkan tenaga
ahli dengan anggota DPR. Forum ini perlu clear dulu bahwa betul ada
dinding pemisah di antara profesional, aktivis politik, dan kalangan
civil society yang cara pemikirannya mungkin tidak sama.

Kegiatan DPR ada kunjungan, apakah ada tanggungjawab dari


anggota untuk memberikan laporan dari aspirasi yang dikumpulkan.
Di FGD I dan II kita sudah coba bahas. Sekarang dalam konteks kita
di sini betul tidak perlu pemikiran jauh-jauh, namun pengalaman
kedua Pembahas Utama dari DPR, akan menjadi bahan bagi kita
untuk Susduk, misalnya. Pertemuan dengan para tenaga ahli di sini
pertanyaan-pertanyaannya sederhana saja, misalnya apakah di fraksi
kami, ada satu DIM yang menyangkut tentang hubungan representasi
itu dan apakah itu dimasukkan ke dalam hak dan kewajiban anggota
DPR misalnya, kalau fraksi kami sudah memasukkan hal itu bagaimana
dengan fraksi-fraksi yang lain.

Pada FGD I juga kita sudah mencari nomenklatur fungsi


representasi tapi sudah semakin matang dan di sini fungsi representasi
sudah betul-betul masuk tidak di Tatib. Nanti jabaran yang lebih
lengkap bisa di Tatib. Fraksi kami sudah masukkan dalam DIM-nya
tentang kewajiban anggota seperti apa yang sudah dilakoni anggota
DPR selama ini. Tinggal bagaimana persoalannya di Tatib di atur dulu
ada dua yang menjadi tindak lanjut, dia mempunyai memo. Pembahas
melihat –dalam suatu rapat alat kelengkapan di DPR- bahwa anggota
DPR akan mempunyai kertas memo untuk menulis surat kepada
menteri, sehingga ada format resmi dari anggota DPR. Sekali lagi
dalam konteks UU Susduk, apa yang sudah dikerjakan fraksi-fraksi?

Pandangan 3173
Pembahas menyampaikan tentang pentingnya perumusan
tentang potret anggota. Beberapa pertemuan yang lalu kita
konsentrasinya ke anggota, misalnya, potret anggota DPR yang sukses
172 Rusman L. Toruan (Pembahas FGD 3 sebagai Tenaga Ahli FPDIP).
173 Handoyo (Pembahas FGD 3 sebagai Tenaga Ahli FPKS).

190 Peran Perwakilan Parlemen


apakah hal-hal yang sifatnya ideal (memenuhi hajat publik, membuat
buku atau website) atau bahkan sering muncul di TV. Kesimpulan yang
dapat ditarik terkait dengan tata hubungan anggota parlemen dengan
kosntituen berbanding lurus dengan cara berpikir konstituen yang
diwakili. Jangan-jangan frame-nya tidak sama. Kesuksesan anggota
DPR akan beragam indikatornya, masyarakat Jakarta, misalnya, peran
anggota DPR mungkin tidak terlalu terasa, berbeda dengan di daerah-
daerah lain. Di DPRD mungkin jauh lebih konkrit. Kalau bicara dalam
tataran teknis pun ingin di masukkan ke dalam Susduk atau Tatib,
tata hubungan ini yang kita buat hanya sarana-sarananya saja tetapi
untuk mengatakan indikator berhasil atau tidak, apakah mungkin UU
Susduk bisa mengagregasi hal ini.

Apakah kesimpulan-kesimpulan FGD hari ini dan ke depan


mendekati tipe ideal ataukah apa yang paling mungkin dilakukan
dengan sistem politik seperti di Indonesia? Jadi pilihan-pilihannya
jangan terlalu ideal sehingga tidak konkrit.
174
Pandangan 4
Bicara tentang tata hubungan konstituen dengan anggota
menyangkut bagaimana pola ideal. Berbicara tentang tata hubungan,
maka kita bicara tentang tata perwakilan politik. Jadi bagaimana
anggota sebagai agent dan konstituen sebagai client, perwakilan
politik antara wakil dan terwakil. Mengenai tipe perwakilan, sebaiknya
tipe seperti apa yang dikembangkan anggota, tergantung dari
masalah yang dihadapi. Misalnya, Pembahas Utama kedua, mewakili
daerah yang mayoritas nelayan maka beliau menjadi delegate tentang
hal-hal yang berkaitan dengan UU perikanan, tetapi ketika berkaitan
dengan konvensi internasional misalnya, beliau sebagai wakil nelayan
bertipe sebagai wali atau trustee. Jadi tergantung masalah yang
dihadapi. Kemudian masalah apa saja yang harus ditanggapi oleh
wakil rakyat itu tergantung juga. Wakil rakyat harus menentukan
kriteria. Jadi kriteria seperti apa yang harus ditanggapi. Tidak semua
masalah harus ditanggapi. Apa yang dibilang tadi, ada kunjungan
kerja alat kelengkapan seperti Komisi dan perorangan. Kunjungan
174 Siti Nur Sholicha (Pembahas FGD 3 dari P3DI).

Peran Perwakilan Parlemen 191


kerja perorangan ini tempat pertemuannya di mana dan komunitas
apa yang ditemui? Kalau hanya anggota partai akan menjadi bias.
Pembahas juga memberikan respon positif dengan ide rumah
aspirasi.
175
Pandangan 5
Pertama, ada hubungan yang harus ditata antara anggota parlemen
dan konstituen. Bagi konstituen yang paling sederhana adalah yang
bisa di ukur. Pembahas Utama menyampaikan, di awal anggota Dewan
membuat kontrak politik. Dari kontrak itulah konstituen menilai
sebagai alat ukur. Selain itu, konstituen juga melihat kuantitas seberapa
sering Anggota datang ke daerah padahal di luar itu kualitas lebih
penting lagi. Misalnya, masalah penyerapan aspirasi melalui berbagai
sarana yang dapat dimanfaatkan. Yaitu ketika anggota Dewan turun
semestinya tidak lagi pada tataran mendata persoalan, kemudian
pada reses berikutnya lagi turun untuk memberikan jawaban. Jika hal
ini dilakukan, akan sangat telat. Berbagai sarana teknologi (telepon,
fax, e-mail) perlu dimaksimalkan untuk mendata masalah dan pada
saat reses sudah memberikan solusi.

Kedua, dari segi pertanggungjawaban reses, baik dari segi laporan


dan dana, masih belum jelas. Hal ini mesti diperjelas lagi, misalnya
terbayang juga mengenai kontrak politik apakah dapat dikumpulkan
di BK. Itu hal yang paling gampang untuk di ukur tapi memang bagi
anggota yang tidak buat kontrak politik akan jadi kabur.

Komunikasi antara anggota Dewan dan konstituen seolah-


olah melupakan adanya jembatan yang mengantarkan calon
anggota legislatif dari parpol. Hal ini yang belum tersentuh, secara
administrasi, program, visi, dan misi, semuanya sudah diatur di parpol.
Parpol selama ini tidak clear, jika dibandingkan dengan Republik dan
Demokrat itu di Amerika sangat clear. Artinya, kalau Republik atau
Demokrat yang menang mana yang pro buruh, kebijakannya jelas.
Tukang sapu di Australia misalnya akan tahu kebijakan jika Rudd yang
terpilih, mengenai pengurangan pajak dan peningkatan tunjangan

175 A.M. Furqon (Pembahas FGD 3 sebagai tenaga ahli FPAN).

192 Peran Perwakilan Parlemen


dari perusahaan. Jangankan tukang sapu, akademisi pun jelas ketika
akan mendukung Rudd di mana ia mengatakan hubungan Indonesia-
Australia akan ditingkatkan menjadi lebih baik dalam hal diplomasi
maupun akademik.

Kasus di Indonesia banyak ketidakjelasan dan semakin kabur saja,


misalkan, dulu di pemerintahan yang lama BBM naik, sekarang juga
naik. Kemudian, apa bedanya antara pemerintahan yang dulu dengan
sekarang? Apakah kalau pemerintahan yang sekarang memilih tidak
naik tetapi pajak akan dinaikkan sehingga para pengusaha akan clear
melihatnya. Implikasinya, sekarang ini kalau anggota DPR terjun ke
masyarakat mulai dari urusan anak sakit, melahirkan, jalan rusak, dan
sebagainya semua diadukan ke anggota Dewan. Seharusnya ketika
dia ingin mengadukan, misalnya ke PAN memperjuangkan kesehatan
tentu saja dia akan berbicara tentang pelayanan kesehatan di rumah
sakit. Demikian juga dengan PKB, positioning-nya menurut saya
misalnya concern pada pesantren, PKB beritikad akan memperjuangkan
kepentingan pesantren di Departemen Agama. Persoalnnya ketika
PKB memperjuangkan di Depag akan berbenturan dengan yang lain,
Al Khairat dan yang lain tidak merasa terwakilkan. Jadi, positioning
parpol nyaris tidak ada, sehingga komunikasi hubungan antara
anggota Dewan dengan konstituen dari A-Z semua dibicarakan.
176
Pandangan 6
Parpol di anggap seperti mahluk lain, tadi Bu Nur Soleha
mengatakan kalau Pak Alvin pergi ke Semarang kemudian bertemu
dengan anggota-anggota partai ini menjadi bias. Hal ini perlu clear,
Pak Alvin tadi sudah memberikan rumusan yang sangat tepat, bahwa
yang kita sebut dengan konstituen adalah anggota partai, penduduk
di daerah pemilihan itu, dan yang punya kepentingan. Kelompok
akademisi, LSM, dan mahasiswa coba melihat secara objektif partai
politik. Kita baru sepuluh tahun berpartai sebelumnya hanya
“semacam” partai politik.

176 Rusman L. Toruan (Pembahas FGD 3).

Peran Perwakilan Parlemen 193


177
Klarifikasi Pembahas Utama
Menarik ini masalah kunjungan dan peran partai politik. Mengapa
pembahas membuka kantor pelayanan konstituen tahun 2000 dan
tidak menumpang di kantor partainya: 1) pembahas merasa bahwa
yang diwakili adalah siapapun yang ada di daerah pemilihannya,
apakah yang mencoblos partainya, dari partai lain, atau bahkan
yang Golput. Kalau kantor pelayanan ini ada di dalam kantor parpol,
masyarakat merasa hambatan psikologis, rasa-rasanya akan lebih
baik kalau tempat itu netral, 2) ada apatisme terhadap parpol, 3) tidak
semua parpol mempunyai infrastruktur yang sama. Ada yang lebih
kaya dan ada yang masih miskin bahkan ada yang masih menumpang
sama kantor pengurus.

Kemudian mengenai kunjungan reses di mana. Sejauh ini,


pembahas belum pernah mengadakan temu konstituen di kantor
partainya di daerah. Pembahas mengadakan kerjasama dengan
anggota DPRD karena mereka yang lebih tahu daerah, misalkan
menyewa ruangan atau rumah makan untuk bicara dengan tokoh-
tokoh masyarakat, supaya lebih terarah ditetapkan dulu topik
pembahasannya, misalkan mengenai UU yang tengah dibahas atau
telah dihasilkan, juga masalah-masalah yang sedang in saat itu seperti
masalah elpiji dan sebagainya. Kemudian juga bekerjasama dengan
stasiun radio yang seminggu sebelumnya telah diumumkan untuk
interaktif live. Pertemuan diarahkan kepada pembahasan mengenai
UU dan kebijakan publik. Respon dari publik biasanya berupa
keluhan. Ini lebih efektif ketimbang temu kader di kantor partai.
Follow up-nya kemudian, bekerjasama dengan radio jika masalah
tersebut masih terdapat masukan dari masyarakat maka pihak stasiun
radio melanjutkannya kepada pembahas. Secara jujur, Pembahas
menyatakan tidak berani mengandalkan partai untuk berhubungan
dengan konstituen. Di partai sangat majemuk dengan motivasi orang
yang sangat beragam mungkin juga ada rivalitas di dalamnya. Ada
saatnya bersama-sama sebagai partai.

177 Alvin Lie, M. Sc. (Pembahas Utama FGD 3).

194 Peran Perwakilan Parlemen


Terkait kebijakan-kebijakan nasional, masyarakat itu sudah
gampang mengikutinya dari pemberitaan. Justru yang spesifik kita
ini harus bisa menangkap implikasi dari kebijakan nasional terhadap
di daerah kita. Di sanalah pembahas melihat pentingnya kerjasama
dengan DPRD yang sebetulnya tidak ada garis komando atau
melalui garis partai. Di sana kita menyelaraskan dan mensinkronkan
permasalahan di pusat dan di daerah.

Klarifikasi
Pembahas Utama 178

Mengenai RUU usulan pemerintah, misalnya kita punya RUU


di Pansus dan DIM itu adalah inisiatif pemerintah padahal kita
sedang berbicara mengenai dapur DPR sendiri tetapi inisiatifnya
dari pemerintah, ini aneh. Itulah sebabnya ketika kita baca DIM
mulai dari A-Z akhirnya tidak ketemu hubungan-hubungan seperti
yang kita bahas itu. Juga tidak ketemu hal yang sangat mendasar,
misalkan konsep independensi budget dari DPR. Banyak hal yang
cukup mendasar itu tidak ada di DIM pemerintah. Itulah sebabnya
pembahas bersama-sama dengan Pak Ganjar dan Pak Idrus179 untuk
bertemu dengan Poksi untuk mencoba ada lintas fraksi tanpa ada
batas kepentingan fraksi karena ini kepentingan lembaga ke depan
agar bagaimana ke depan DPR sesuai dengan yang diharapkan dalam
konteks persolan representasi sesuai dengan apa yang kita diskusikan
hari ini.

Jadi sekali lagi, kita mendiskusikan standar pelayanan untuk


memaksimalkan fungsi yang dimiliki DPR dalam konteks fungsi
representasi, hal ini adalah sangat mendasar kita butuhkan. Ini
masukan yang bagus. Jujur saja kita sudah tidak ada batas fraksi di
DPR untuk kepentingan Susduk, jadi lawan kita adalah pembuat
RUU dari pemerintah dan kita merekonstruksi DIM. Ini adalah sangat
penting. Kita sudah sampai di satu diskusi, ada satu contoh misalkan
dalam budget di mana BPK juga sudah sampai di situ.

178 H. Masduki Baidlowi (Pembahas Utama FGD 3)


179 Ganjar Pranowo adalah Ketua tim dan Idrus Marham adalah unsur pimpinan pansus RUU Susduk.

Peran Perwakilan Parlemen 195


Mengenai penyerapan aspirasi atau fungsi-fungsi representasi,
pengalaman-pengalaman yang ada pada kami, memang kami sepakat
bahwa watak atau karakteristik setiap Dapil itu berbeda. Di Dapil,
pembahas basisnya adalah NU, maka pendekatan yang kami lakukan
adalah berbasis komunitas. Misalkan sekarang ini pembahas sedang
melayani IPNU (Ikatan Pelajar NU) yang meminta laptop bekas untuk
pelatihan blogger.

Kemudian mengenai citra DPR dan parpol yang sangat buruk.


Terkait dengan DPR pembahas memiliki pengalaman, beberapa kali
pernah bertemu dengan Pimpinan DPR untuk bagaimana agar ada
satu strategi komunikasi yang harus disampaikan mengenai alur
kerja dari DPR yang sebenarnya cukup produktif. Tidak semua pers
tertarik dengan hal itu, tidak semua pers mau tahu duduk persoalan
sebenarnya, dan apa yang diperjuangkan oleh DPR maka tidak ada
indeepth report terhadap persoalan-persoalan yang mendasar yang
sebenarnya banyak dilakukan oleh DPR tetapi itu tidak. Pak Agung
selalu menjawab: “Anggota DPR itu seluruhnya adalah pimpinan yang
bisa mem-PR ( relation) dirinya sendiri.”Itu okay, tetapi sebagai lembaga,
citra ini harus dijaga karena kalau kita berbicara tentang korupsi
misalnya, karena DPR adalah lembaga legislatif yang berbanding lurus
dengan eksekutif yang tidak kalah gencarnya melakukan korupsi.

180
Klarifikasi Pembahas Utama
Ada kesepahaman bahwa memang ada masalah antara anggota
legislatif dengan konstituen, remedy dari masalah-masalah yang ada
juga di berbeda di daerah dan tingkat pemilihan. Ada karakteristik
yang berbeda di daerah pemilihan, di dalam daerah pemilihan, dan
skup dari wewenang tanggungjawab anggota DPR lebih dibandingkan
dengan anggota DPR di daerah.

180 Nico Harjanto (Pembahas Utama FGD 3).

196 Peran Perwakilan Parlemen


Penataan hubungan ini sebagai sebuah prinsip dan aturan di
dalam UU Susduk dan segala macam, itu yang harus dipertimbangkan.
Bahwa tadi ada usulan rumah aspirasi sangat baik tetapi kalau tidak
ada yang mengawasi, tidak ada orangnya, dan tidak ada dananya
percuma hanya akan menjadi rumah hantu. Kemudian trade off yang
lain apakah representasi hanya dalam menjaring aspirasi dan segala
macam atau representasi yang lebih luas lagi yang tidak teritorial
based dan tidak segmented, jadi representasi yang bersifat nilai
dan ideologi lintas batas dan dijadikan prioritas untuk semuanya.
Kesulitan-kesulitan seperti itu yang akan menjadi kendala bagi
peningkatan hubungan anggota legislatif dengan konstituen. Tapi
pada intinya memang harus diadakan suatu mekanisme komunikasi.
Jadi tata hubungan dimulai dulu dari mekanisme komunikasi yang
lebih intensif dan bagus antara konstituen dengan anggota legislatif.
Legislatif sebagai lembaga bukan sebagai individu.

Tanggapan
Tadi disinggung tentang budget reses, apakah ada standar
evaluasi tentang laporan penggunaan dana reses? Kemudian apa
dasar pertimbangan untuk mengambil sebuah keputusan jumlah
dana reses yang sama di semua wilayah?
181
Tanggapan
Jika diamati tentang praktek di Amerika, itu berkait juga dengan
budget. Kami mencoba dari sekretariat DPR menggelindingkan
satu pemikiran atau wacana bahwa anggota Dewan dalam rangka
meningkatkan hubungan tata kerjanya dengan konstituen memang
harus diberikan sarana berupa anggaran atau tunjangan kegiatan
anggota DPR atau member budget office. Oleh karena itu, mulai
dipikirkan sekarang dan ke depan sehingga anggota itu perannya
dengan konstituen itu sangat intens. Apakah isu lokal atau nasional
kalau tidak didukung dengan sarana yang cukup, maka perjuangannya
juga tidak maksimal. Konsekuensinya anggota harus merogoh
kantongnya sendiri sehingga itu juga mempersulit anggota sendiri.

181 Untung Djumadi (Pembahas FGD 3 dari P3DI Setjend DPR).

Peran Perwakilan Parlemen 197


Oleh karena itu, diwacanakan dalam rangka meningkatkan peran
anggota DPR khususnya hubungan dengan konstituennya mereka
dilengkapi dengan penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan.
Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan banyak
dengan konstituen itu harus dikurangi, contohnya selama ini anggota
melakukan kunjungan dengan alat kelengkapan Dewan seperti
Komisi yang menyerap budget sangat tinggi kenapa tidak dialihkan
untuk kepada para anggota setiap intensitas kunjungan lebih banyak,
contohnya di Amerika selama satu tahun itu maksimal 30 kali kecuali
kunjungan yang bersifat kasuistis. Di sini kesannya itu kalau anggota
DPR dari Jawa Timur juga ingin tahu daerah lain misalnya Papua
padahal dari Papua juga ada anggota DPR. Ini kan kesannya jalan-
jalan. Oleh karena itu harus dirubah paradigma seperti itu. Juga
konsekuensinya hubungan intensitas anggota Dewan itu lebih tinggi
dan dia akan lebih dekat dengan rakyat. Itu saja. Terima kasih.
182
Tanggapan
Tatkala kita bicara hubungan anggota dengan konstituen, masih
ada yang rancu. Pembahas utama tadi membukanya dengan seluas-
luasnya. Secara ideal, wakil rakyat seharusnya mendekati negarawan.
Jadi, tidak ada batas partai asal dia rakyat. Karena sistem partai di
harus di Dapil, dia diposisikan di situ. Sementara komentar pembahas
Utama,183 agak berbeda, jadi yang nasional saja. Nasional itu
maksudnya apakah yang 33 itu (provinsi), pengawasan yang bersifat
ke departemen kerjanya, atau katakanlah public facilities atas nama
rakyat. Ini rumusannya harus jelas untuk kita buat dan kita sampaikan.
Klarifikasi ini karena ada dua kutub yang berbeda, makanya di daerah
itu bukan masalah kami (anggota DPR), kami –Anggota DPR- hanya
masalah nasional. Mungkin ada seperti itu. Kalau begitu apa yang
harus dikerjakan. Dari sisi perspketif akademis diberikan justifikasi
yang menghalangi atau membatasi skup yang harus diperjuangkan
dari rakyat.

182 Pheni Chalid, Ph. D (PROPER-UNDP).


183 Nico Harjanto (Pembahas Utama FGD 3).

198 Peran Perwakilan Parlemen



Klarifikasi Pembahas Utama
184

Ketika berbicara tentang tata hubungan legislatif dan konstituen


adalah ketika anggota legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten
mengatasi masalah. Oleh karena itu, sebenarnya yang mengatasi
permasalahan di daerah tidak harus anggota DPR. Tadi pembahas
sampaikan adalah batasannya yang masih bisa diperdebatkan tapi
paling tidak itu hal yang menyangkut masalah-masalah yang lintas
batas, kepentingan kelompok, misalnya, pendidikan yang mau tidak
mau pendidikan di daerah perlu diberikan suntikan yang tidak hanya
berlaku di daerah karena tidak mungkin ada UU peningkatan kualitas
pendidikan di daerah tertentu. Melalui kewenangan dan resources
yang ada di pusat, anggota Dewan ini bisa memperjuangkan
masalah yang ada di daerah meskipun konstituen di daerah lain bisa
merasakannya. Mengenai jalan, baik jalan itu juga ada kategorinya, tapi
akan menjadi isu nasional kalau jalan di seluruh kampung itu rusak.
Memang harus terbuka untuk semua persoalan tetapi juga harus ada
kejelasan prioritas dalam menangani masalah apakah memang harus
ditangani oleh DPR atau teman-teman DPRD provinsi atau Kabupaten
dan kota karena mereka juga mempunyai kewenangan yang sama.

Klarifikasi
Pembahas Utama 185

Mengenai pertanyaan tentang dana reses apakah dievaluasi


atau tidak. Kemudian bagaimana kalau reses itu tidak dilakukan
di luar wilayahnya, berarti lebih berfokus ke daerah pemilihannya
saja. Selama ini, kenapa dana reses itu dibikin sama, Pembahas baru
mengetahui dari penanggap kalau dana reses itu sama besarnya
dengan yang lainnya. Cuma kalau kenapa dana reses itu dibikin sama
padahal daerahnya berbeda dan tingkat kesulitannya juga berbeda,
antara lain disebabkan oleh betapa dominannya Setjen di dalam
mengalokasikan anggaran. Betapa tidak berdayanya BURT di dalam
persoalan ini. Itu lagi-lagi pentingnya kita berbicara soal Susduk dan
184 Nico Harjanto (Pembahas Utama FGD 3).
185 H. Masduki Baidlowi (Pembahas Utama FGD 3).

Peran Perwakilan Parlemen 199


betapa pentingnya Setjen ini tidak dominan dan tidak menjadi bagian
dari orang lain. Independensi budget dalam Susduk ke depan harus
dibangun. Perkara evaluasi masing-masing fraksi punya karakter yang
berbeda untuk mengevaluasi dana reses ini. Fraksi kami memiliki
mekanisme internal untuk evaluasi dan hasilnya biasanya diserahkan
ke Setjen.

Saat ini, sebenarnya reses sudah lebih diarahkan ke daerah


pemilihan, ada tiga dana reses: 1) reses perorangan; 2) kunjungan ke
daerahnya yang dibiayai oleh negara setiap bulan; 3) kunjungan kerja
komisi yang bisa beberapa kali.

Penyelesaian tidak bisa dihindari, karena ada kasus-kasus secara


nasional misalkan pendidikan yang perlu kunjungan investigatif.
Saya setuju kalau dana kunjungan itu diperbanyak tetapi jangan
juga menghilangkan sebagai anggota DPR RI tidak boleh berkunjung
ke daerah yang lain apalagi itu hanya dikesankan jalan-jalan. Tidak
menutup kemungkinan ada oknum yang jalan-jalan. Oleh karena itu,
prototipe ideal sukses dalam konteks tata hubungan anggota dengan
konstituen akan menjadi kunci pokok untuk kita rumuskan bersama-
sama.
186
Tanggapan
Saya mau masuk tentang independensi keuangan DPR bahwa
DPR sedang mengalami kesulitan karena UU 12/80. Kemudian 23
tahun kemudian muncul UU tentang Keuangan Negara No. 17/2003
di mana di sana di katakan bahwa pengelola keuangan negara itu
adalah Menteri Keuangan sehingga siapapun di gedung ini tidak bisa
mengatur. Oleh karena itu Pak Masduki tadi mengatakan perlu juga
mengambil contoh UU BPK. Kalau mau serius inedependensi budget
ini tinggal meng-copy-paste yang di UU BPK.

186 Rusman L. Toruan (Pembahas FGD 3).

200 Peran Perwakilan Parlemen


187
Tanggapan
Independensi itu ada konsekuensinya yaitu ada pelaporan dan
pertanggungjawaban penggunaan anggaran. Setiap saat harus bisa
dipertanggungjawabkan.

Rekomendasi Hasil FGD 3


Tata Hubungan Anggota Parlemen Dengan Konstituennya
1. Tata hubungan antara anggota leglislatif dan konstituen perlu
diperbaiki, melalui peraturan yang tegas dan mengikat anggota
leglislatif dan asistensi negara dalam melaksanakan fungsi dan
kewajibannya dalam UU tentang Susduk untuk pengaturan pokok-
pokoknya dan Peraturan Tata Tertib DPR RI untuk pengaturan yang
lebih teknis. Pada sisi lain, diperlukan pula perbaikan yang bersifat
sistemik dan elementer, seperti dalam sistem rekrutmen politik,
kepartaian, susunan dan kedudukan anggota legislatif, subsidi negara,
dan partisipasi aktif kelompok masyarakat sipil.
2. Rancangan Undang-Undang tentang Susduk harus berisi nilai-nilai
yang mampu mengakomodir dan memberi solusi atas berbagai
permasalahan dalam tata hubungan antara anggota parlemen dengan
konstituennya.
3. Perlu ada kriteria masalah-masalah konstituen yang harus direspons
oleh Anggota Legislatif sesuai dengan fungsi dan wewenangnya
antara lain: masalah berskala nasional atau kepentingan nasional yang
berdampak pada kepentingan daerah konstituennya.
4. Dalam rangka meningkatkan hubungan Anggota dengan
konstituennya, harus difasilitasi dengan sarana dan prasarana yang
memadai di samping mengurangi kegiatan-kegiatan Anggota legislatif
yang tidak mempunyai keterkaitan hubungan dengan konstituennya.
5. Dalam rangka meningkatkan kualitas hubungan antara Anggota
legislatif dengan konstituennya, perlu dipertimbangkan mekanisme
pelibatan stakeholder yang lebih luas melalui kegiatan politik kolektif
yang memungkinkan partisipasi konstituen dan kelompok masyarakat
sipil lainnya menjadi lebih luas.

187 Pheni Chalid, Ph.D (PROPER-UNDP).

Peran Perwakilan Parlemen 201



FGD 4
188

Penjaringan Aspirasi
Masyarakat dan Pengaruhnya
terhadap Kebijakan Fraksi

Pokok masalah diskusi: Penjaringan aspirasi adalah suatu upaya untuk


mendorong dan memperkuat partisipasi politik masyarakat, untuk selanjutnya
advokasi setiap persoalan yang dihadapi masyarakat menjadi tanggung jawab
Anggota yang mewakilinya.

Pokok bahasan diskusi serial keempat adalah sejauhmana aspirasi masyarakat


dapat mempengaruhi agenda pembahasan dan titik pijak bagi fraksi dalam
penyelesaian setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hasil yang diharapkan
dari FGD ini adalah: i) rumusan konsep partisipasi politik masyarakat dalam sistem
politik dan perwakilan di Indonesia, dan beberapa contoh pengembangan model dan
mekanisme jaring aspirasi konstituen di beberapa negara, ii) uraian tentang kelebihan
dan kelemahan inisiatif kontrak politik yang marak dilakukan oleh masyarakat
dengan calon Anggota legislatif, Capres dan Cawapres atau Kepala Daerah sebelum
pemilihan dilaksanakan. Bagaimana kontrak politik dapat diterapkan sebagai media
komunikasi politik masyarakat kepada Anggota DPR dan juga sebaliknya, iii) rumusan
tentang mekanisme pengorganisasian/pelembagaan jaring aspirasi konstituen
yang lebih mengikat dan saling menguntungkan antara Anggota dan masyarakat,
iv) deskripsi tentang kendala substansial yang dihadapi Anggota DPR dalam
mengorganisir aspirasi konstituennya, v) deskripsi tentang bagaimana Anggota dan
fraksinya melakukan penyeimbangan kepentingan taktis parpol dengan kepentingan
konstituen/masyarakat, vi) berbagi pengalaman anggota atas prestasi Anggota/
Fraksinya dalam melaksanakan fungsi representasinya terhadap suatu masalah/

188 FGD 4 dilaksanakan di ruang Pansus C DPR RI, Jakarta, 7 Agustus 2008

202 Peran Perwakilan Parlemen


kasus tertentu yang dihadapi masyarakat. Jalan apa saja yang diupayakan untuk
menyelesaikan masalah tersebut seperti, bagaimana mengumpulkan aspirasi
masyarakat, mencari jalan keluar yang ditempuh dan proses lobby yang dilakukan,
vii) rekomendasi tentang pelibatan konstituen dan masyarakat dalam pelaksanaan
fungsi representasi Anggota dan fraksi/parpolnya di DPR.

Menjaring
Partisipasi Politik Masyarakat
189

1. Aspirasi adalah hasrat atau kemauan untuk lebih maju atau lebih
meningkat, sedangkan menjaring aspirasi merupakan aktifitas
yang dilakukan untuk mengenali berbagai bentuk persoalan,
gagasan, dan kepentingan stakeholder kelompok masyarakat.
2. Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan stakeholder/masyarakat
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan,
implementasi dan evaluasi/monitoring.
3. Dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat terdapat dua rezim
yang harus dipertimbangkan, yaitu:
a. Peran negara tidak perlu terlalu besar sehingga peran tersebut
dapat diberikan kepada masyarakat dan partisipasi masyarakat
menjadi besar. Namun terdapat pendapat bahwa asumsi ini
benar ketika masyarakat kita sudah educated yang paham akan
hak dan kewajibannya.
b. Negara harus banyak berperan dan masyarakat tidak boleh
diberikan partisipasi terlalu besar. Pendapat ini umumnya
ditujukan untuk negara yang baru berkembang.

Berdasarkan pengalaman yang dialami pembahas selama menjadi


Anggota DPR, Indonesia berada diantara dua rezim tersebut.
4. Partisipasi masyarakat hanya dianggap sebagai ‘kewajiban’
masyarakat untuk menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya
untuk mensukseskan agenda kegiatan yang dirumuskan oleh
pemerintah.
5. Cara yang digunakan dalam menjaring aspirasi masyarakat adalah
dengan menggunakan jaringan yang ada di setiap daerah seperti:
189 Nursanita Nasution, SE, ME. (Pembahas Utama sebagai Wakil Ketua Tim Pansus RUU Susduk/FPKS)

Peran Perwakilan Parlemen 203


Pemda, DPRD, organisasi profesi, lembaga adat, lembaga agama,
jaringan ketika kampanye Pilkada, dan LSM.
6. Metode yang digunakan dalam menjaring aspirasi masyarakat
antara lain:
a. Polling.
b. membuka kotak pos.
c. membuka website.
d. membuka email.
e. komunikasi langsung dengan masyarakat.
f. mailinglist.

Aspirasi masyarakat perlu diklarifikasi berdasarkan kebutuhan


masyarakat daerah, isu nasional, dan bukan merupakan kepentingan
kelompok.
7. Aspirasi yang telah disusun perlu ditindaklanjuti, termasuk
ditindaklanjuti ke instansi atau lembaga lain yang dapat dilakukan
melalui konsultasi publik, atau melalui publikasi seperti penerbitan
newsletter, opini di surat kabar, progress report anggota DPR,
talkshow di radio/televisi, dll.
8. Pada prinsipnya masyarakat mempunyai hak dalam perumusan
dan penetapan kebijakan publik yang meliputi:
- Hak untuk diinformasikan
- Hak untuk memberikan masukan
- Hak untuk komplain/menyatakan keberatan
- Hak untuk mengawasi pelaksanaan
9. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Anggota Legislatif dalam
melakukan penyerapan aspirasi masyarakat antara lain:
a. Mendengarkan langsung dari sumber utama dan menelusuri
kembali isu-isu yang terkait dengan aspirasi yang disampaikan.
b. Profesional dan transparan dengan cara membuka akses
publik.
c. Tidak diskriminatif yaitu dengan mengakomodasi semua unsur
masyarakat dari berbagai etnis, ras, dan agama.
10. Hambatan penyerapan aspirasi masyarakat
- Sulitnya menyesuaikan waktu, kadang kegiatan di masyarakat
berbarengan dengan kegiatan anggota legislatif.

204 Peran Perwakilan Parlemen


- Tuntutan publik untuk segera menyelesaikan semua masalah
yang dikeluhkan masyarakat, sedangkan pada sisi lain terjadi
kendala seperti pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan
tindak lanjut aspirasi, atau lambat dalam merespon aspirasi.
- Sering kali anggota legislatif tidak fokus dalam menyerap aspirasi
sehingga kurang bisa difungsikan sebagai sarana pendidikan
politik.
11. Kendala yang merupakan tantangan dalam pelaksanaan partisipasi
politik masyarakat, antara lain:
a. Rendahkan kepercayaan masyarakat kepada politisi.
b. Kejenuhan masyarakat akibat seringnya kegiatan pilkada
diselenggarakan.
c. Belum optimalnya program pendidikan politik yang harus
diselenggarakan parpol atau LSM.
d. Rendahnya upaya parpol dalam menyiapkan pemimpin.
12. Beberapa faktor yang menyebabkan kebijakan publik yang belum
mencerminkan aspirasi masyarakat, antara lain:
a. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang hukum dan
perundang-undangan.
b. Lemahnya penegakan hokum.
c. Belum luasnya sarana penyaluran aspirasi masyarakat sehingga
rendahnya partisipasi politik berakibat tidak sesuai kebijakan
dengan keinginan masyarakat.
13. Pada tataran regulasi, partisipasi masyarakat dibuka dalam beberapa
UU, namun pada beberapa UU yang lain partisipasi masyarakat
tertutup. Artinya pada sisi pemerintah, masih terkesan kesempatan
berpartisipasi hanya untuk menjalankan atau mensukseskan apa
yang sudah digarisi oleh pemerintah. Hal yang hampir sama juga
terjadi pada lembaga legislative, dimana Tatib DPR RI menyebutkan
bahwa setiap rapat dinyatakan terbuka (masyarakat boleh melihat)
tapi dalam praktiknya hampir semua rapat tertutup, demikian juga
dengan peran serta masyarakat dalam pembahasan UU yang pada
dasarnya sudah diatur dalam UU maupun Tatib namun belum
optimal. Dengan kata lain, problem terletak pada pemahaman
atau paradigma yang dianut, dimana partisipasi masyarakat

Peran Perwakilan Parlemen 205


yang berlaku sekarang masih mengesankan sebagai kewajiban
masyarakat untuk menyumbangkan sumber daya yang dimiliki.

Tujuan kontrak politik:


a. Kontrak Politik dimaksudkan untuk mengikat bakal calon legislatif
agar taat asas dan bisa melaksanakan apa yang diharapkan partai
dan rakyat yang memilih mereka. Kontrak politik juga dapat
menjadi garansi bagi partai atau masyarakat. Jika kontrak politik
dapat terlaksana, maka peningkatan demokrasi akan berjalan dan
lahir wakil rakyat sesuai yang diharapkan. Namun jika anggota
legislatif tidak melaksanakan kontrak politiknya maka dapat
dikenai sanksi sampai pada tingkatan pemecatan.
b. Selama ini, kontrak politik selalu masalah moral dan pada
umumnya bersifat normatif yang hakekatnya berkaitan dengan
hal-hal yang sudah diatur dalam UUD maupun UU sehingga bisa
dilakukan secara individu dan tidak perlu konsultasi ke partai,
seperti memperjuangkan hak-hak perempuan, komitmen tidak
melakukan korupsi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c. Kontrak politik sangat sulit jika tidak melibatkan parpol karena
legislatif merupakan kerja kolektif bukan individual, kecuali
yang sifatnya sangat umum, namun hal ini dapat menimbulkan
multitafsir diantara individu-individu tersebut.

Dari pengalaman melakukan penjaringan aspirasi masyarakat


terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Dalam melakukan penjaringan aspirasi perlu didukung dengan
kebijakan anggaran.
- Mengoptimalkan fasilitas yang tersedia di DPR, seperti
memanfaatkan masa reses sebagai sarana menjaring aspirasi
masyarakat.
- Harus ada tindak lanjut atas keluhan yang telah diaspirasikan
masyarakat.
- Berdasarkan pengalaman sebagai anggota legislatif, penggunaan
metode turun langsung ke masyarakat, pada kenyataannya masih
diharapkan oleh masyarakat dan merupakan saranan yang efektif
untuk menjaring aspirasi masyarakat.

206 Peran Perwakilan Parlemen


Rumah aspirasi sebagai salah satu sarana menjaring aspirasi rakyat,
seharusnya berada di setiap daerah pemilihan (multi-partai) sehingga
masyarakat yang datang tidak segan menyalurkan aspirasinya ke
parpol di luar parpol yang dianutnya. Pada sisi lain, masyarakat akan
lebih mudah memberi penilaian partai mana yang benar-benar
memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Pemahaman dan kesadaran anggota DPR sangat dibutuhkan


dalam penjaringan aspirasi rakyat untuk kemudian mensosialisasikan
dan menindaklanjutinya. Hal ini membutuhkan tingkat kesabaran
yang tinggi serta ketrampilan untuk menyerap dan memformulasikan
apa yang menjadi aspirasi rakyat untuk diperjuangkan di lembaga
legislatif serta mampu menerjemahkan apa-apa yang menjadi
kebijakan legislatif kepada masyarakat.

Mekanisme menjaring aspirasi masyarakat sebaiknya diatur


dalam undang-undang dan peluang pengaturan tersebut terdapat
di UU Susduk. Untuk melihat sejauh mana tindak lanjut pelaksanaan
penjaringan aspirasi rakyat, seharusnya kinerja Anggota Dewan dapat
di akses dengan mudah oleh masyarakat dan setiap anggota DPR
harus membuat kinerja laporan tahunan.

Konteks penjaringan aspirasi rakyat bukan aspirasi konstituen


tetapi aspirasi dan kepentingan publik yang menjangkau ke seluruh
pelosok. Namun aspirasi perlu ada pembatasan tegas, mana yang
menjadi mandatnya DPR RI dan mana yang menjadi mandat DPRD
agar mudah dipilah-pilah wilayah-wilayah penjaringan aspirasi rakyat.
Untuk meminimalisasi distorsi dalam pembuatan kebijakan perlu
dilakukan rekayasa institusi, pemilu proposional dan dibutuhkan
kontrak politik. Selanjutnya perlu dipikirkan bagaimana mekanisme
masyarakat untuk menyampaikan asprasi masyarakat yang bisa
diwadahi dalam UU Pemilu (pusat) dan Perda. Tapi jika konteksnya
berkaitan dengan tanggungjawab individu maka menjadi ruang
lingkup kode etik.

Peran Perwakilan Parlemen 207


190

Partisipasi Politik dan Penjaringan Aspirasi Rakyat


1. Konsep partisipasi politik pada umumnya didefinisikan sebagai
keterlibatan rakyat sebagai warga negara, bukan “massa”, dalam
proses pembuatan kebijakan publik, baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui sarana partisipasi seperti partai politik,
pemilu, media massa, kelompok-kelompok kepentingan (LSM,
ormas, organisasi profesi, dan lain sebagainya).
2. Konsep warga negara harus dimaknai sebagai keterlibatan politik
secara damai atau tidak mengganggu yang lain, sebab sebagai
warga negara kita diberi hak kebebasan tapi dibatasi oleh hak
orang lain.
3. Bentuk partisipasi lazimnya, turut memberikan suara, kampanye,
ikut diskusi politik, demonstrasi, petisi, menulis di media, dan lain
sebagainya.
4. Problematika partisipasi antara lain adalah karena masih
melekatnya stigma di kalangan masyarakat bahwa politik itu “kotor”
yang merupakan dampak serius dari kebijakan “depolitisasi” dan
“deparpolisasi” yang dilakukan oleh Orde Baru. Sebagai dampak
lanjutnya:
a. sebagian masyarakat masih curiga terhadap segala sesuatu
yang berbau politik, termasuk parpol, sehingga diperlukan
waktu untuk menciptakan masyarakat yang sadar hak dan
kewajibannya sebagai warga negara.
b. masyarakat cenderung berkembang sebagai “massa
mengambang” ketimbang komunitas warga negara yang
memiliki hak serta berdaulat atas parpol.
c. parpol baik sengaja maupun tidak, cenderung melembagakan
situasi tidak sehat ini dalam rangka “penguasaan” atas
masyarakat.
5. Untuk meningkatkan kesadaran politik, parpol perlu melakukan
pendidikan politik. Dewasa ini sebagai akibat kurangnya pendidikan
politik oleh parpol dan melekatnya stigma terhadap politik, maka
berdampak pada munculnya partisipasi mengatasnamakan

190 Syamsuddin Haris (Pembahas utama FGD 4 sebagai peneliti LIPI).

208 Peran Perwakilan Parlemen


masyarakat oleh kaum aristokrat, pengusaha (pemilik modal),
dan jawara (preman), seperti kasus unjuk rasa yang umumnya
mengatasnamakan rakyat meski dibalik semua itu terdapat
kepentingan pihak-pihak tertentu. Akibat lanjutnya, masyarakat
terperangkap sebagai “massa” (tanpa orientasi dan tujuan jelas)
ketimbang mengorganisir diri sebagai warga negara dalam
kelompok-kelompok kepentingan sukarela.
6. Dilema partai politik adalah bagaimana membedakan partisipasi
yang sungguh-sungguh dengan partisipasi yang manipulatif.
Partisipasi manipulatif mudah diorganisasikan oleh kelompok-
kelompok pengusaha, preman, dan lain sebagainya yang selanjutnya
menyebutnya dengan mengatasnakannya kepentingan publik.
7. Dalam situasi di mana rakyat cenderung terperangkap sebagai
“massa” daripada sebagai warga negara, maka pengertian aspirasi
masyarakat bisa sangat manipulatif, artinya tidak mustahil lebih
merupakan aspirasi elite (aristokrat, pengusaha, jawara).
8. Demonstrasi dan gerakan protes yang mengabaikan hak warga
negara lainnya untuk hidup damai dan tertib dalam kolektivitas
belum tentu mencerminkan partisipasi, apalagi aspirasi rakyat.
9. Sebagai akibat minimnya kesadaran tentang hak rakyat selaku
warga negara, aspirasi rakyat tidak selalu terungkap secara verbal
(muncul di koran atau dalam unjuk rasa/demo).
10. Empat cara penjaringan aspirasi rakyat yang efektif:
a. pemahaman problematik rakyat melalui analisis terhadap
database daerah/dapil (termasuk struktur APBD) untuk
mengetahui apa saja potensi ekonomi dan sumberdaya daerah,
dan bagaimana peta demografis daerah/dapil sehingga dapat
dengan mudah dapat diketahui masalah yang dihadapi oleh
dapil.
b. melakukan FGD secara terpisah ataupun bersama-sama dengan
berbagai kelompok kepentingan yang dianggap signifikan.
c. bekerjasama dengan kalangan akademisi/perguruan tinggi
dalam rangka mencari benang-merah persoalan rakyat daerah/
dapil.
d. mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap
berpengaruh (ulama, mantan pejabat, atau pengusaha sukses
tapi bersih, dan sebagainya).

Peran Perwakilan Parlemen 209


11. Perkembangan ekonomi dan pendidikan merupakan faktor
menentukan kualitas demokrasi dan pemerintahan yang kita capai
saat ini, pada sisi lain tanggungjawab etis untuk menopang keadaan
menjadi lebih baik masih minim. Oleh karena itu, menjaring aspirasi
tidak harus dengan kunjungan ke dapil, dapat menggunakan
cara lain yang lebih efektif seperti menjalankan kewenangan dan
tanggungjawab DPR di bidang legislasi (pembentukan undang-
undang) tanpa suap, pada hakekatnya sudah memenuhi aspirasi
masyarakat.
12. Tugas utama dewan adalah membuat UU, adakah pembuatan UU
yg di dasarkan akumulasi penjaringan aspirasi (adakah sinkronisasi
dg prolegnas), contoh revisi UU Agraria merupakan aspirasi dan
merupakan prioritas prolegnas tetapi sampai sekarang tidak
terealisasi.
13. Penjaringan kolektif melalui komisi atau lintas komisi akan lebih
efektif daripada individu, mengingat tugas dewan ada di komisi
bukan di fraksi. Oleh karenanya, komisi harus lebih optimal dalam
menjaring dan mem-follow up aspirasi masyarakat. Peran sekretariat
komisi sangat penting khususnya dalam menginformasikan
surat aspirasi yang masuk untuk di bicarakan dalam rapat komisi
sehingga anggota komisi secara keseluruhan mengetahui.

Idealitas sebuah Kontrak Politik


1. Kontrak politik dapat dilakukan dalam konteks Pilpres dan Pilkada
karena antara kandidat dan konstituen memiliki hubungan
langsung.
2. Dalam dalam konteks pemilu legislatif, mengingat sistem pemilu
masih proposional yang agak tertutup, sulit dilakukan kontrak
politik antara caleg dengan konstituen, mengingat hubungan
caleg dengan konstituen dijembatani oleh partai politik. Kalaupun
dilakukan kontrak politik sifatnya segitiga yaitu caleg, partai politik,
dan konstituen.
3. Visi-misi dan program caleg secara individu sulit diwujudkan
tanpa dukungan partai, oleh karenanya kontrak politik untuk caleg

210 Peran Perwakilan Parlemen


hanya mungkin dilakukan dengan melibatkan partai pada tingkat
kepengurusan masing-masing.
4. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan kontrak
politik:
- Kontrak politik sebaiknya dilakukan dengan wakil dari kelompok-
kelompok kepentingan yang signifikan di suatu daerah/dapil
dan tidak dilakukan secara individual.
- Kontrak politik sebaiknya tidak bersifat umum, tetapi juga tidak
terlalu detail.
- Kontrak politik sebaiknya melibatkan tokoh yang dianggap
berpengaruh sebagai saksi.
- Kontrak politik sebaiknya realistik untuk dicapai dalam jangka
waktu maksimal lima tahun (satu periode pemerintahan).
- Aspirasi berkaitan dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya
alam maupuan ekonomi untuk kepentingan pemerintah atau
masyarakat setempat.

Partisipasi Politik Masyarakat


191

1. Fasilitas untuk menunjang pelaksanaan penjaringan aspirasi


masyarakat oleh anggota Dewan, saat ini cukup memadai, antara
lain melalui:
- Kunjungan Kerja Komisi.
- Kunjungan Kerja gabungan komisi.
- Kunjungan Kerja lintas Komisi.
- Kunjungan Kerja perorangan (dana penyerapan aspirasi).
2. Salah satu bentuk dukungan Sekretariat Jenderal DPR RI terkait
dengan penjaringan aspirasi masyarakat, di Setjen DPR RI terdapat
Bagian Pengaduan Masyarakat, yang tugasnya membantu
menangani surat-surat aspirasi masyarakat untuk anggota dewan.

191 Nining Indra Saleh (Pembahas FGD 4 Sekjen DPR).

Peran Perwakilan Parlemen 211


Dinamika Forum :
Pembahasan Pengantar
192

Partisipasi Politik Masyarakat


Memang salah satu hal yang penting kita diskusikan menjelang
pemilu yakni soal partisipasi dan juga aspirasi publik atau rakyat.
Berikut adalah hal-hal pokoknya. Sebagaimana diketahui, mengenai
konsep partisipasi sebagai bagian keterlibatan publik atau rakyat dalam
kehidupan politik, lebih spesifik politik ini adalah proses pembuatan
kebijakan. Apapun bentuknya, itu bisa disebut partisipasi politik.
Tentu wadahnya bisa macam-macam; partai politik, media massa,
kelompok kepentingan, LSM, organisasi profesi, dan sebagainya.
Point-nya dalam konteks partisipasi itu sendiri. Jadi, menyebut rakyat
atau demos merupakan pengertian yang umum atau luas sekali.
Tapi dalam konteks politik, mau tidak mau kita harus lebih spesifik;
bagaimana kita membedakan rakyat di satu pihak dan sebagai massa
di pihak lain.

Namun demikian, tujuan kita ke depan adalah bagaimana supaya


rakyat ini bukan sekedar sebagai massa. Massa tidak punya tujuan yang
jelas. Jika diprovokasi ada yang bilang: “Bunuh,” semua melakukan
pembunuhan atau kalau “Bakar,” semua melakukan pembakaran
apapun yang menjadi sasarannya. Yang muncul bukan partisipasi
tetapi anarki. Obsesi kita ke depan bagaimana masyarakat dalam
pemilu itu betul-betul ambil bagian dalam politik atas kesadarannya
sebagai warga negara (citizen) bukan sebagai massa. Massa ini tidak
punya orientasi dan tujuan yang jelas dan pada ujungnya justru
akan mengancam atau mematikan demokrasi itu sendiri. Dilema kita
adalah, rakyat dalam pemilu atau Pilkada terjebak sebagai massa,
192 Syamsuddin Haris (Pembahas utama FGD 4).

212 Peran Perwakilan Parlemen


belum sebagai warga negara. Itu bisa kita lihat dalam fenomena
Pilkada, kantor KPU-nya dirusak dan sebagainya. Hal tersebut adalah
fenomena massa.

Konsep warga negara itu konotatif harus dimaknai sebagai


keterlibatan politik secara damai atau tidak mengganggu yang lain
sebab sebagai warga negara kita diberi hak kebebasan tapi dibatasi
oleh hak orang lain. Ini memang sesuatu yang sudah terbentuk
sebagai dampak sistem otoriter selama 40 tahun. Apalagi kemudian
pada zaman Soeharto ada kebijakan depolitisasi dan deparpolisasi
sehingga politik itu dipandang sebagai sesuatu yang kotor atau
tidak baik. Makanya Golkar pada waktu zaman Soeharto tidak mau
disebut sebagai partai politik sebab diciptakan fobia atau ketakutan
pada politik supaya elemen-elemen sistem otoriter itu bisa leluasa
menguasai masyarakat.

Bagaimanpun masih diakui, masyarakat kita masih mencurigai


sesuatu yang berbau politik. Maka, butuh waktu untuk menciptakan
masyarakat yang rakyat sadar hak dan kewajibannya. Dalam pemilu,
tidak mengherankan yang disebut rakyat itu sebagian besar masih
sebagai massa mengambang. Ini sesuatu yang diwariskan Soeharto
sehingga betul-betul dimanfaatkan oleh elite politik dalam hal ini
politisi kita. Rakyat hingga saat ini belum menjadi kolektivitas yang
memiliki kesadaran atas hak dan tanggungjawabnya sebagai warga
negara. Dilemanya, elite politik atau parpol kita justru melembagakan
atau mempertahankan kondisi rakyat sebagai massa mengambang.
Sebagai akibat minimnya pendidikan politik, maka yang muncul adalah
partisipasi ataupun aspirasi yang pada umumnya mengatasnamakan
rakyat. Kita lihat dalam banyak kasus aksi massa dan unjuk rasa semua
mengatasnamakan rakyat padahal di belakang itu sesungguhnya
kalangan pengusaha, jawara, preman, bangsawan dalam pengertian
luas, dan lain sebagainya.

Jadi, ketika Soeharto sudah jatuh pada 1998 kita dihadapkan pada
ledakan partisipasi. Ini fenomena yang umum ketika sistem otoriter
pindah atau beralih ke sistem demokrasi. Ledakan partisipasi ini kalau
tidak dikelola dengan baik, bisa mengancam demokrasi itu sendiri.

Peran Perwakilan Parlemen 213


Pada saat yang sama tidak ada pendidikan politik yang signifikan
untuk rakyat atau masyarakat kita.

Masalah kedua adalah masalah penjaringan aspirasi. Ada empat


kelompok penjaringan aspirasi yang bisa efektif, yaitu: 1) para caleg
atau anggota DPR mempunyai database dapil yang memadai sebab
dengan database kita bisa membaca persoalan atau kelemahan, 2)
bagaimanapun rakyat sebagai warga negara dalam sistem politik atau
demokrasi yang sehat mengorganisasikan kepentingannya melalui
organisasi-organisasi sukarela. Kita tidak mungkin membayangkan
apa aspirasi publik tanpa masyarakat sebagai warga negara yang
mengorganisasikan kepentingannya ke dalam organisasi yang bersifat
sukarela baik itu kepentingan petani, nelayan, dan sebagainya.
Sekarang ini, organisasi-organisasi tersebut justru dikooptasi oleh
elite, misalkan HKTI yang ketuanya Letjend (Purn.) Prabowo Subianto.
Semestinya politisi atau partai politik kita menyadarkan publik atau
masyarakat dengan pembentukan organisasi-organisasi sukarela.
Dengan demikian, penjaringan aspirasi pola kedua yang efektif
itu bisa dilakukan dengan FGD atau sejenisnya dengan kelompok-
kelompok kepentingan ini, bisa sifatnya terpisah atau gabungan,
3) bekerjasama dengan kalangan universitas. Kalangan universitas
tentu bisa mengidentifikasi benang-merah persoalan setiap provinsi
atau setiap Dapil, 4) mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat yang bisa
dianggap tokoh.

Kontrak Politik
Mengenai kontrak politik, dalam konteks pemilu legislatif,
mengingat sistem pemilu kita masih proposional yang agak tertutup,
memang sulit ada kontrak politik antara caleg secara individu dan
kelompok-kelompok atau komunitas masyarakat sebagai warga
negara sebab hubungan caleg dengan konstituen dijembatani oleh
partai politik. Kalaupun dilakukan kontrak politik dia bersifat segitiga:
Caleg, partai politik, dan konstituen kecuali dalam konteks Pilkada
atau pemilu Pilpres di mana hubungan antara kandidat dan konstituen
bersifat langsung.

214 Peran Perwakilan Parlemen


Pembahas pernah melakukan penelitian mengenai aspirasi,
sebagai contoh, katakanlah di Kabupaten Jepara yang merupakan
basis PPP. DPC PPP setempat paham bahwa salah satu potensi wilayah
itu adalah kerajinan kayu dalam bentuk meubel dan sebagainya. Oleh
sebab itu yang menjadi komitmen PPP, ini contoh saja, untuk wilayah
Kabupaten Jepara adalah bagaimana memperjuangkan daya saing
industri permeubelan setempat pada level provinsi, nasional, atau
internasional. Setiap wilayah pada dasarnya punya potensi pada
umumnya atau sumber daya alam pada khususnya. Aspirasi sudah
pasti berkaitan dengan kebutuhan pengelolaan atau pemanfaatan
sumber daya ekonomi atau sumber daya lainnya untuk kepentingan
kolektif atau komunitas setempat.

Menjaring
Partisipasi Politik Masyarakat
193

Ketika berbicara menjaring apirasi masyarakat terkait erat dengan


tugas anggota DPR mengenai perwakilan. Ada dua rezim yang
mengatakan bahwa peran negara tidak usah terlalu besar sehingga
diberikan ke masyarakat dan partisipasi mereka menjadi besar, tetapi
ada yang mengatakan asumsi ini benar, ketika masyarakat kita sudah
educated sehingga mereka juga paham akan hak dan kewajibannya.
Di sisi lain, negara berkembang itu tidak boleh diberikan partisipasi
terlalu besar, justru negara yang harus banyak berperan. Dua pemikiran
ini yang harus dipertimbangkan. Berdasarkan pengalaman pembahas,
selama 3,5 tahun lebih di DPR RI, kelihatannya Indonesia berada di
tengah-tengah. Dalam beberapa UU kita lihat memang dibuka tetapi
di UU yang lain ditutup. Jadi artinya, kalau kita berbicara dengan mitra
pemerintah, mengesankan bahwa masyarakat diberikan kesempatan
untuk berpartisipasi hanya untuk menjalankan atau mensukseskan
apa-apa yang sudah digarisi oleh pemerintah. Jadi bukan dalam arti
partisipasi keterlibatan masyakat dalam banyak hal. Yang kedua, dalam
dinamika Dewan tidak terlalu jauh berbeda. Misalnya, soal rapat-rapat
di DPR, dikatakan dalam Tatib DPR, dikatakan dalam setiap rapat
terbuka, masyarakat boleh melihat. Dalam praktiknya hampir semua
rapat tertutup.
193 Nursanita Nasution, SE, ME. (Pembahas Utama FGD 4).

Peran Perwakilan Parlemen 215


Mengenai partisipasi masyarakat di DPR diatur dalam pembahasan
UU misalnya, di dalam RUU Susduk ada keinginan untuk dieksplisitkan,
ternyata partisipasi bukan hal baru dan di Tatib sudah ada. Jadi
problemnya adalah pemahaman atau paradigma Anggota itu sendiri.
Sejauh ini, jika dilihat bagaimana kaitan dengan kebijakan-kebijakan
yang ada termasuk sebagai anggota DPR. Pengalaman pembahas
pada Pemilu tahun 2004 melakukan kontrak politik khususnya
dengan komunitas kaum perempuan, mereka menginginkan
diperjuangkannya peningkatan kualitas perempuan. Demikian halnya
dengan permintaan kontrak politik ini adalah individu sifatnya, tidak
memerlukan persetujuan dari parpol, dan selalu terkait dengan
masalah moral.

Kontrak politik lainnya, misalkan dalam Pilpres ketika partai


pembahas mendukung SBY, PKS telah melakukan kontrak politik
dengan mensyaratkan bahwa kesejahteraan rakyat adalah harus
nomor satu, kedua, politik internasional di mana kita tidak setuju
dengan adanya penjajahan dan seterusnya. Hal-hal tersebut sifatnya
normatif bahkan di preambule atau Pembukaan UUD 1945 sudah ada.

Mengenai follow up kontrak politik, sangat sulit bagi anggota


Dewan untuk langsung mencari solusi terhadap semua yang
diinginkan konstituen. Banyak hal yang hanya bisa dilakukan melalui
mekanisme atau bantuan dari partai. Berdasarkan pengalaman
pembahas selama ini, partai sangat efektif untuk menyelesaikan
masalah-masalah konstituen. Secara teknis, koordinasi dengan Ketua
Wilda (Wilayah Dakwah) yang mengatur jadwal pertemuan dengan
konstituen dan stakeholder, jadi mereka ke DPW lalu ke DPC. Biasanya
kami akan didampingi oleh anggota DPRD karena banyak persoalan
yang cukup diselesaikan di tingkat daerah.

Demikian halnya, jika ada pertemuan di daerah, diupayakan


kehadiran lurah dan camat. Di satu forum ketika menjaring aspirasi
dari DKI, satu kelurahan sekarang sudah dimulai dari tahun 2003, satu
miliar anggarannya untuk satu kelurahan, ada PPMK dan seterusnya.
Kemudian ternyata ketika itu masyarakatnya langsung complain dan
mengatakan kepada Pak Lurah bahwa mereka tidak tahu ada anggaran

216 Peran Perwakilan Parlemen


tersebut. Jadi kita tahu dari anggaran di APBN itu berapa anggaran
di satu daerah atau provinsi dan kemudian ada anggota DPRD yang
mengatakan berapa jumlah anggaran yang diketok palu. Ini menarik
dan kemudian turunnya sampai lurah. Jika informasi dari anggota
DPRD bahwa DKI Jakarta itu sudah lebih maju dari sisi administrasi,
bahwa KTP itu gratis dan dari sisi pelayanan misalnya. Nah ini bisa di-
confirm langsung ketika pertemuan-pertemuan dengan konstituen
itu hadir Lurah-nya atau mungkin hadir Camat-nya.

Jika kita compare kepada anggota DPR yang lain, khususnya


ketika pembahas masih di Komisi XI, pembahas sering diskusi dengan
Pak Drajad Wibowo. Ketika ditanyakan bagaimana caranya menjaring
informasi, beliau mengatakan: “bahwa beliau mempunyai satu forum
intelejen,” jadi intelejen perbankan. Kalau ada orang perbankan
yang terzalimi di kantornya atau kalau melihat penyelewengan
disampaikan langsung kepadanya sehingga ia teriak lantang. Ada
dua hal penting: aspirasi dan data yang akurat. Hal itu yang kemudian
dihargai wartawan sehingga bagus dalam hal media.

Beberapa catatan dari teman-teman partai lain yang mengatakan


bahwa mereka tidak mau menggunakan mekanisme satu bulan turun
ke masyarakat di bulan ketiga karena kelelahan dan terlalu banyak
uang yang diminta oleh konstituen. Tetapi memang, menjadi anggota
membutuhkan tingkat kesabaran yang tinggi serta ketrampilan
untuk menerjemahkan apa-apa yang ada di Dewan karena biasanya
kita berbicara dengan bahasa Dewan yang kadang masyarakat tidak
nyambung. Kemudian juga, apa yang telah disampaikan masyarakat
harus kita formulasikan untuk bisa kita perjuangkan ke Dewan.
194
Pandangan 1
Beberapa point yang bisa membantu mengarahkan diskusi
sore ini. Pembahas sependapat dengan analisis tentang warga yang
bisa menyampaikan aspirasi melalui partai politik lewat kelompok
kepentingan, hanya saja kelompok kepentingan punya elite yang
mengarahkan dan tidak dalam proses demokratis. Karena itu, susah

194 Frank Feulner, Ph. D (Pembahas FGD 4 sebagai konsultan PROPER-UNDP).

Peran Perwakilan Parlemen 217


bagi parpol untuk menjaring aspirasi lewat kelompok kepentingan
tersebut karena nanti akan ada lagi kontrak antara elite parpol dan
elite kelompok kepentingan.

Mengenai rapat terbuka atau tertutup tidak ada hubungannya


dengan partisipasi tetapi lebih merupakan transparansi.

Kontrak politik individual antara warga dengan perwakilan rakyat


di dalam sistem parlementer atau presidensial harus didasarkan
melalui parpol. Ada pendapat berbeda bahwa kontrak antara
warga dengan parpol kelihatan, misalnya seperti parpol diberikan
kesempatan kepada warga bukan sebaliknya, padahal kontrak politik
berlangsung selama lima tahun untuk memperjuangkan masyarakat
di dalam forum DPR. Sederhana saja, hanya saja apakah dilakukan
wakil rakyat atau forum DPR ini sangat tertutup untuk warga. Akses
tidak ada. Ini sangat general bahwa parpol memperjuangkan aspirasi
masyarakat tetapi caranya kurang jelas dan harus ada perbedaan. Opsi
untuk warga negara dalam membedakan tujuan, cara, dan tujuan
parpol ini sangat minim. Diskusi sore ini adalah bagaimana fraksi
atau anggota parpol yang duduk di parlemen bisa menjelaskan opsi
atau jalan dalam memperjuangkan aspirasi ke masyarakat. Kampanye
adalah salah satu cara.

Seperti yang disampaikan pembahas utama, wakil rakyat langsung


turun ke masyarakat. Ini gambaran yang aneh, mengapa harus turun.
Untuk apa dia harus turun, padahal dia harus hidup di antara rakyat.
Ini bukan masalah PKS atau anggota itu sendiri.
195
Pandangan 2
Mengenai penjaringan aspirasi rakyat yang terpasung dari warga
negara ke massa di mana massa tidak punya orientasi yang jelas.
Faktornya lebih pada peninggalan pada masa sistem otoriter Orde
Baru, terjadi depolitisasi dan deparpolisasi. Kalau kita kembali pada
era reformasi selama 10 tahun, kalau di masa Orde Baru depolitisasi
dan deparpolisasi dibuat oleh rezim, bukankah sekarang terjadi
depolitisasi oleh para elite parpol. Kalau kita lihat berbagai survey,
195 AM. Furqon (Pembahas FGD 4 sebagai tenaga ahli Fraksi PAN).

218 Peran Perwakilan Parlemen


tingkat kepercayaan terhadap partai politik dan politisi ini rendah
sekali. Bahkan, banyak juga masyarakat yang tidak mau ikut Pilkada. Ini
artinya di era reformasi juga terjadi kesengajaan dan melanggengkan
apa yang pernah terjadi di era Orde Baru. Ini persoalan yang sangat
serius.

Kemudian yang dimaksud konstituen adalah konstituen partai


atau masyarakat luas. Saya lihat selama ini anggota Dewan kembali ke
daerah saat reses bertemu hanya dengan partainya. Mereka bergulat
di situ-situ saja padahal pejabat publik dibiayai oleh negara. Kita lihat
juga floating mass lebih banyak dibanding anggota parpol tertentu.
Dalam konteks ini, hasil survey Reform Institute, masyarakat tidak
tahu anggota DPR dan tidak tahu apa yang telah dikerjakannya. Ini
satu hal yang perlu dipertimbangkan, jaring aspirasi adalah seluruh
masyarakat bukan hanya anggota parpol saja.
196
Pandangan 3
Analisis terhadap proses dan mekanisme internal parlemen
cukup tajam dan sedikit banyak berimplikasi di diskusi ini.
Presentasi pembahas mengkritik sistem proporsional ini yang tetap
dipertahankan meskipun efek negatifnya banyak. Sejak FGD I kita
berusaha mensiasati bagaimana mengurangi efek negatif pilihan
sistem ini. Apakah model penjaringan masyarakat punya implikasi
terhadap pengambilan kebijakan di tingkat fraksi? Kemudian, sejauh
mana kelompok kepentingan bisa mengakses adanya korelasi model
penjaringan di masyarakat dengan pengambilan kebijakan di tingkat
fraksi. Levelnya apakah kita taruh di Susduk atau Tatib, atau kita
percaya saja dengan aturan di fraksi? Apakah aturan-aturan seperti ini
masih mungkin dalam konteks dan alur politik saat ini? Dari awal kita
sudah listing pilihan sistem ini tidak ada hubungan langsung antara
konstituen dengan wakil rakyat yang harus di-bridging oleh parpol.
Apakah dari sudut pandang teoritis akademik ada atau tidak tips-
tips untuk mensiasati hal ini? Di mana sebaiknya tips itu ditaruh atau
dalam hal ini peraturannya?

196 Audy Wuisang (Pembahas FGD 4 sebagai tenaga ahli Fraksi PDS).

Peran Perwakilan Parlemen 219


197
Pandangan 4
Ketika menjelang pemilu, kita menyaksikan demarketisasi dan
remarketisasi parpol atau lembaga itu sendiri seperti DPR. Celakanya,
di ujung menjelang 2009 performa atau opini yang muncul terkait
di media itu negatif. Opini yang dibangun DPR dilihat terlalu wah
sehingga muncul pragmatisme dari masyarakat sehingga kontrak
politik yang diminta itu bersifat pragmatis. Pada Pemilu 2004 kita
melihat banyak Caleg yang melakukan kontrak politik yang berakhir
tidak jelas. Kemudian masyarakat yang melakukan kontrak politik
sebagai personal law. Ini persolan yang muncul karena lahir dari
persepsi yang salah.

Satu kritik yang tidak hanya menjadi beban fraksi, kalau DPR
salah wajar disorot tetapi kalau DPR berhasil menyelesaikan UU itu
tidak ada pemberitaan yang cukup jelas. Ini persoalan Kehumasan
sehingga rakyat merasa pantas dan percaya aspirasi yang disampaikan
diperjuangkan sehingga menjadi seimbang. Sehingga kalau ada
proses perbaikan diri maka persoalan aspirasi ini menjadi layak. Dalam
tingkatan sempit, ini juga salah, tentang bagaimana FPKS DPRD DKI
pernah membuat klaim sesuatu yang tidak layak diklaim. Pernah
ada spanduk tentang keberhasilan peningkatan honor. Itu diprotes
karena ketika telah jadi kebijakan, maka dia menjadi kebijakan DPRD
atau negara yang tidak bisa serta merta diklaim oleh partai politik
tertentu.
198
Pandangan 5

Gejala deparpolisasi dan depolitisasi masih sangat kita rasakan


sekarang. Memperkuat juga apa yang telah disampaikan teman-
teman bahwa sekarang ini ada gejala fobia politik. Demikian halnya
media massa mengapa tidak berpihak kepada para politisi padahal
tidak semua politisi tidak baik.

Jeleknya performance menyebabkan tingginya pragamatisme


masyarakat. Partai politik kita tidak mampu dengan sistem yang ada
197 Handoyo (Pembahas FGD 4 sebagai tenaga ahli Fraksi PAN).
198 M. Fathullah (Pembahas FGD 4 sebagai tenaga ahli Fraksi PPP).

220 Peran Perwakilan Parlemen


sehingga agak sulit. Pada saat pembahas membantu di Komisi II, satu
kasus mengeni pemekaran daerah, DPR cukup produktif dalam hal
pemekaran daerah, sementara UU lain yang sudah berjalan selama tiga
tahun tidak selesai misalkan UU Peradilan Militer. Ada satu daerah yang
baru dimekarkan kemudian dimekarkan lagi. Sistem parpol dan DPR
tidak kondusif karena belum bisa mendefinisikan aspirasi masyarakat
walaupun ada juga yang berhasil seperti kasus kepelabuhan.
199
Pandangan 6
Negara ini penuh dengan orang-orang pintar tetapi mengapa
negara tidak memberikan tempat bagi kader-kader terbaik bangsa.
Juga, selalu saja parpol tidak memberikan kader-kader secara
maksimal, kader terbaik mungkin hanya di dalam partai itu sendiri
tetapi tidak di Dewan. Ini akhirnya menciptakan satu kebiajkan yang
kadang-kadang bertentangan di mana terjadi produk dari legislatif
tidak aplikatif di masyarakat.

Mengenai pemerintahan terdahulu, terdahulu, dan yang terdahulu.


Ada satu masa pemerintahan dalam kurun 30 tahun punya mata uang
yang $ 1 US hanya Rp. 2.300. Sekarang berapa harga currency kita?
Ini kan satu bukti bahwa menyulitkan kita dalam sedemikian kurs
yang rendahnya itu sungguh-sungguh memutus urat nadi kita dalam
semua aspek hidup kita.

Apakah rumah aspirasi ada karena di sini nampaknya perlu


dimasukkan ke dalam UU untuk dikelola parpol sehingga tidak lagi
sia-sia ada RDPU yang jadwal antriannya satu tahun?

Mengenai kebijakan fraksi, perlu juga tenaga ahli yang ada di


DPR lebih didayagunakan karena terkadang ada informasi yang tidak
utuh. Juga mungkin percepatan untuk rumah aspirasi ini ditunjang.
Nanti para pemikir dari pada tenaga ahli juga akan memberikan saran
kepada anggota DPR yang berasal dari fraksi tersebut. Rumah aspirasi
bagaimana caranya bisa dimasukkan ke dalam UU politik, karena jika
tidak susah juga memberi sanksi bagi parpol.

199 Virgiani Rahayu (Pembahas FGD 4 sebagai tenaga ahli Fraksi PG).

Peran Perwakilan Parlemen 221


Dinamika Forum :
Klarifikasi dan Diskusi

200
Klarifikasi Pembahas Utama
Aspirasi Rakyat Yang Terdistorsi
Ada tiga hal yang muncul: pertama, kita memiliki persepsi
yang sama mengenai bangsa ini. Kadang-kadang pemikiran kita
saling tumpang tindih atau saling membatalkan satu sama lain.
Bagaimanapun perkembangan bangsa kita dalam bidang politik
dan ekonomi bisa dihubungkan dengan realitas bangsa itu sendiri.
Tesis demokrasi itu dapat dilihat pada perkembangan ekonomi dan
pendidikan. Ini mendasar dan harus kita akui, selain mengkritik para
politisi atau anggota Dewan, di sisi lain kita juga harus memahami
kondisi objektif bangsa kita. Faktor keterbelakangan ekonomi dan
pendidikan yang masih banyak level Sekolah Dasar itu menentukan
kualitas demokrasi atau kualitas pemerintahan saat ini. Oleh karena
itu, walaupun kita kecewa dengan parpol, politisi, atau parlemen, ada
kondisi yang membuat transisi ini begitu panjang atau tertatih-tatih
meskipun ada ahli yang mengatakan kita sudah masuk ke konsolidasi
padahal transisinya masih tertaih-tatih.

Kalaupun kita menyalahkan politisi, parpol, atau legislatif mungkin


pada minimnya tanggungjawab etis untuk merubah lebih baik. Yang
dimaksud dengan tanggungjawab etis misalkan membuat UU tanpa
harus menerima suap itu sudah memenuhi tuntutan aspirasi publik.
Jadi tidak usah turun ke Dapil atau konstituen, karena buang-buang
waktu saja sebab substansinya bukan di situ. Substansinya untuk
hal kecil membuat UU BI yang baik untuk bangsa ini tanpa melalui
suap. Itu sudah sangat memenuhi aspirasi publik di bidang itu. Jadi
200 Syamsuddin Haris (Pembahas Utama FGD 4).

222 Peran Perwakilan Parlemen


tidak mesti seperti yang dicontohkan pembahas utama tadi, kalau
ada yang minta uang dikasih, hal ini sangat tidak mendidik dan juga
merendahkan bangsa kita sendiri. Seolah-olah aspirasi semacam itu,
terjadi pendangkalan atau pendistorsian aspirasi, dan itu artinya kita
menikmati dan mengangkangi aspirasi publik. Kalau kita melakukan
itu artinya kita menikmati situasi ketidakberdayaan publik. Jadi kita
sebagai elite, entah itu di Dewan, UNDP, LIPI, atau tenaga ahli mesti
bertangungjawab untuk itu dan bagaimana meminimalisirnya. Oleh
sebab itu, kalau dihubungkan dengan parlemen dan parpol, parpol
kita tidak punya proposal yang genuine bagaimana bangsa ini akan
ditata lebih baik.

Ketika pemerintah mengemukakan langkah pemberantasan


korupsi di awal tahun 2005, tidak ada reaksi dari partai politik mengenai
hal yang sama. Apa maknanya? Maknanya adalah partai politik kita
tidak punya ideologi bagaimana mestinya memberantas korupsi itu
dengan baik, tidak punya agenda mengenai hal tersebut. Lalu yang
disebut reformasi itu apa? Reformasi miliknya teman-teman aktivis
kampus, NGO, atau akademisi yang dimanfaatkan oleh elite politik
kita untuk masuk Senayan, Istana Presiden, dan sebagainya. Apakah
kemudian lalu kita pesimis? Tidak juga. Dalam beberapa hal, pemilu
kita masih lebih baik di banding Filipina, partai politik kita masih
lebih baik dari Filipina dan Thailand. Kemudian yang membuat kita
optimistik, konflik komunal entah itu di Sambas, Poso, atau Ambon
bisa dikatakan bukan disebabkan oleh perbedaan pandangan politik
tetapi lebih disebabkan oleh kesenjangan ekonomi atau ketersisihan
ekonomi. Apa maknanya? Maknanya adalah ada potensi bagi
demokrasi, kemajemukan, dan perbedaan-perbedaan.

Kemudian juga aspek optimis yang lain adalah, kalau kita lihat
Bapak-bapak pendiri menjadikan partai politik sebagai tempat
mengabdi seperti Bung Hatta, M. Natsir, dan sebagainya kita baca
umumnya miskin. Bung Hatta tidak sanggup membayar tagihan
listrik di rumahnya. Kita bayangkan dulu orang masuk partai untuk
mengabdi, sekarang orang masuk partai untuk mengambil. Kalau
mengambil yang haknya tidak apa-apa, ini mengambil yang bukan
haknya.

Peran Perwakilan Parlemen 223


Depolitisasi Dan Deparpolisasi Pasca Soeharto
Apakah depolitisasi dan deparpolisasi itu hanya terjadi pada
zaman Soeharto, memang tidak akibat situasi partai politik seperti
tadi. Pada saat ini, hampir mendekati keadaan yang sama walaupun
tidak dilakukan oleh state. Hal ini terjadi sebagai akibat tidak adanya
pendidikan politik, dan partai politik saat ini hanya menikmati situasi
masyarakat mengambang supaya mudah dibohongi atau diiming-
imingi dengan janji.

Jika masyarakat kita jauh memiliki kesadaran politik, tentunya


tidak akan mudah. Kita juga harus menyamakan persepsi dan jangan
menganggap bahwa dengan uang segala sesuatunya bisa diwujudkan.
Masyarakat saat ini sudah meningkat kesadaran politiknya, hanya
seringkali dimanipulasi oleh banyak kepentingan elite. Peluang
manipulasi ini akan semakin besar apabila peluang partai politik tidak
kunjung melakukan pendidikan politik.

Aspirasi Kepentingan Publik

Mengenai aspirasi publik, konteks penjaringan aspirasi sebenarnya


adalah aspirasi konstituen bukan dalam hal sempit tetapi aspirasi
kepentingan publik. Aspirasi kepentingan publik dalam konteks DPR
RI tentu tidak harus masuk ke pelosok-pelosok, tidak mesti turun ke
bawah mengunjungi konstituen. Hal ini dapat ditangkap melalui
banyak jalur komunikasi dan informasi seperti media massa dan
elektronik.

Kemudian untuk meminimalkan distorsi akibat sistem yang tidak


compatible memang dibutuhkan rekayasa institusi dan bentuknya
bisa bermacam-macam. Electroral treshold yang dirubah menjadi
parliamentary treshold adalah salah satu contoh rekayasa institusi
untuk membuatnya compatible antara sistem presidensil dan
multi-partai. Dalam konteks ini, jika sistem pemilunya proporsional
kemudian pada saat yang sama melakukan kontrak politik apa
rekayasa yang dibutuhkan. Atau, dalam konteks sistem pemilu
proporsional bagaimana mekanisme konstituen untuk menyampaikan

224 Peran Perwakilan Parlemen


kepentingannya. Hal-hal yang masih berkaitan dengan mekanisme
partisipasi atau penjaringan aspirasi bisa diwadahi dalam UU Pemilu
atau UU yang lain, katakanlah UU Pemda misalnya untuk konteks
legislatif. Tetapi jika konteksnya pada komitmen atau tanggungjawab,
akan masuk ke wilayah kode etik. Pembahas berpendapat bahwa
dalam Kode Etik Anggota Dewan mencakup hal-hal tentang komitmen
anggota Dewan yang sungguh-sungguh dan juga merepresentasikan
kepentingan publik.

Mekanisme apa untuk menilai bahwa apa yang dilakukan Dewan


itu mewakili kepentingan publik? Itu tentu saja menjadi bagian dalam
konteks kode etik tadi. Kemudian masyarakat kita tidak seperti apa
yang dibayangkan bahwa sikap pragmatismenya sudah melembaga,
sebenarnya hal tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab pragmatisme
di masyarakat lebih bersifat by product elite.

Kontrak Politik

Mengenai kontrak politik, saat ini memang sulit diwujudkan


tanpa melibatkan partai politik sebab jika komitmennya hanya
individual hampir mustahil terpenuhi, sebab pekerjaan lembaga
legislatif bukanlah pekerjaan individual tetapi kerja kolektif kecuali
sifatnya yang umum-umum tetapi hal ini justru menimbulkan banyak
penafsiran karena sifatnya umum.

Hubungan partai politik dan konstituen. Penelitian yang kami


lakukan membuktikan bahwa hubungan konstituen dengan parpol
pada umumnya baru terjadi menjelang Pemilu, kecuali PKS karena dia
punya kelompok-kelompok. Hanya saja, dilemanya PKS, terkadang
menyempitkan konstituennya sendiri, jadi hanya terbatas pemilih PKS,
padahal seharusnya tidak hanya pemilih PKS saja, tetapi masyarakat
di satu wilayah yang memang mewakilkan kepentingannya melalui
partai politik. Kenapa demikian? Sebab sistem pemilu kita setiap
wilayah atau Dapil tidak tunggal, bersifat multi member karena
banyak parpol. Maka dengan demikian, aspirasi bersifat pluralistik,
tidak semata-mata satu segmen parpol tertentu.

Peran Perwakilan Parlemen 225


201
Klarifikasi Pembahas Utama
Pertama, transisi demokrasi yang terjadi sudah baik dan on the
track. Pertama, Peran DPR sangat besar untuk mendorong tercapainya
demokrasi yang kita inginkan. Kedua adalah partai politik.

Problem yang kita hadapi adalah tidak banyak pemimpin yang


visioner, yang mempunyai gagasan ke depan. Bahkan, dari beberapa
diskusi dengan mitra di Komisi, kami sering bertanya-tanya, mana
kira-kira yang termasuk industri strategis, ternyata tidak bisa dijawab
oleh Menteri.

Pembahas berpendapat bahwa masalah konstituen yang


dimaksudkan tentu dalam artian konstituen pendukung partai.
Pengalaman pembahas pasca Pemilu 2004 dan terpilih menjadi
Anggota mendapatkan kritik dari masyarakat –yang golput- dan
beranggapan bahwa dia tidak berhak untuk didengarkan, tetapi dia
berujar bahwa uang pajak yang dia bayar dipotong untuk membayar
gaji anggota DPR. Contoh lainnya, pada saat kami menolong korban
kebakaran, pemilih partai lain datang dan mengatakan bahwa dia
juga minta diperjuangkan aspirasinya. Tetap saja kami tampung dan
sampaikan ke DPRD.

Media yang dapat menjangkau luas adalah internet. Kami memiliki


web yang banyak juga aspirasi atau masukan dari masyarakat.
Permasalahannya kemudian, bagaimana masyarakat bisa mengontrol
apakah aspirasinya diperjuangkan atau tidak?

Jaring Aspirasi Melalui Media Face To Face


Pengalaman pembahas ketika menulis kritik berkaitan dengan
kenaikan harga minyak goreng, tepung, dan sebagainya. Masyarakat
menanggapi bahwa kami hanya bicara saja, karena tidak pernah
turun, bagaimana kami mengetahuinya? Kenyataannya, masyarakat
masih membutuhkan atau perlu bertemu langsung dengan anggota
DPR. Sekali waktu, pembahas juga pernah turun ke suatu tempat yang
201 Nursanita Nasution, SE, ME. (Pembahas Utama FGD 4).

226 Peran Perwakilan Parlemen


masyarakatnya sangat antusias dan mengungkapkan bahwa mereka
sangat senang dikunjungi setelah 30 tahun tidak pernah ada Anggota
yang datang sehingga mereka akan terus memilih.

Sebagai catatan, selain mengakses internet, tiap anggota harusnya


juga bisa membuat laporan tahunan. Semacam buku informatif bagi
masyarakat yang dapat disebarkan.

Jaring Aspirasi Dalam Undang-Undang Yang Mengikat


Bagaimana aspirasi masyarakat tersalurkan dalam artian yang
makro? Peluang besarnya berada di RUU Susduk. Pembahas adalah
salah satu pimpinan di dalam Pansus, menarik yang terkait dengan
Tatib ini akan dimasukkan ke dalam Susduk, seperti hak angket, hak
interpelasi, dan ke-Setjen-an.

Mengenai DPRD juga menarik. Jika masalahnya adalah hal terkait


dengan segmen ada di DPR atau DPRD, beberapa anggota DPRD
menyampaikan kepada kami tentang intensitas pertemuan mereka
dengan masyarakat dan anggota DPR yang jarang turun ke dapilnya
masing-masing. Selama ini tidak ada pembagian uang pada saat
pertemuan dengan konstituen. Anggaran dana dikeluarkan untuk
mengadakan acara, misalnya sewa tempat dan teknis persiapan
acara.

Terkait dengan rumah aspirasi, saya juga berpikir apakah


rumah aspirasi itu akan efektif jika diadakan bagi seluruh anggota.
Persoalannya sebagai sebuah parpol, struktur yang ada saat ini
memiliki syarat, misalkan menyediakan uang untuk plang sekretariat
atau bendera baru bisa dicalonkan. Ini yang seharusnya menjadi
rumah aspirasi juga kalau per parpol. Setiap masyarakat bisa datang
ke parpol.

Jika dibandingkan dengan Amerika, demokrasinya sudah cukup


lama dan support negaranya besar. Setiap anggota house of representative
punya staf ahli di capitol house 10 orang yang levelnya Doktor dan
kemudian di daerah pemilihannya ada lagi 10 orang yang dibiayai
oleh negara. Tapi pernyataannya pembahas -dari LIPI- juga perlu

Peran Perwakilan Parlemen 227


digaris bawahi, sistem kita Dapil multipartai atau kursinya banyak.
Jika ingin diefektifkan, rumah aspirasi harus digunakan semua partai
dalam satu Dapil.

Pembahas sependapat dengan analisa tentang kerusuhan yang


terjadi di Ambon misalnya, yang bukan disebabkan oleh persoalan
partai dan perbedaan pandangan politik, tetapi dari kesenjangan
ekonomi, ini menandai bahwa tidak menjadi masalah jika ada rumah
aspirasi yang ditempati beberapa partai.
202
Tanggapan

Pembahas memulai dari definisi aspirasi yang kurang jelas. Dalam


banyak peraturan termasuk di Tatib dan UU Susduk peran dan fungsi
sangat statik dan tidak ada definisi yang cukup rinci. Situasi dan
kondisi di Indonesia mengenai hal ini memang rumit, pembahas
misalnya sudah belajar sistem politik Indonesia selama 18 tahun dan
sudah ditinggal di Indonesia selama delapan tahun.

Bahwa aspirasi adalah kata lama dan sangat Orde Baru. Diskusi
pada persoalan ini adalah tentang interest atau kepentingan. Parlemen
adalah forum kepentingan dan parpol harus memilih kepentingan
mana yang akan diperjuangkan, dan membuatnya compatible dengan
agenda partai politik, jika tidak ada agenda maka di dalam partai
politik ada masalah. Seperti sudah kita dengar tadi, menjadi pekerjaan
rumah bagi semua pihak untuk mendefinisikan agenda-agenda yang
berbeda agar ada opsi untuk masyarakat sehingga bisa memilih cara
yang mereka mau support dan memilih untuk diberikan kepercayaan
selama lima tahun untuk dilihat hasilnya.

Mengenai aspirasi. Tidak ada apirasi yang bagus dan jelek, aspirasi
tidak mengandung nilai. Demikian halnya dengan kepentingan. Hal
ini hanya dapat dilakukan melalui dialog dan keputusan Dewan
Pengurus Partai untuk memilih atau membuat prioritas kepentingan
yang mana diperjuangkan sebagai kepentingan pertama, kedua, dan
selanjutnya.

202 Frank Feulner, Ph. D (Pembahas FGD 4 sebagai konsultan PROPER-UNDP).

228 Peran Perwakilan Parlemen


Kemudian, rumah aspirasi yang bisa di-introduce di daerah belum
jelas apakah ada benefit bagi anggota parpol sendiri atau apakah itu
hanya sebagai satu forum diskusi masyarakat sipil untuk diorganisir.
Negara lain –Amerika- mempunyai representative office atau kantor
perwakilan bagi anggota yang duduk di parlemen pusat atau daerah.
Jika di Indonesia akan mencoba konsep baru, belum ada pengalaman
atau best practice di negara lain, maka ke kuatiran akan muncul bahwa
langkah tersebut tidak mengena. Demikian halnya langkah ke depan
yang tidak perlu ada revisi UU lagi dalam waktu lima atau sepuluh
tahun.

Dewan Perwakilan Daerah sekarang juga memiliki cabang di


daerah. Namun terdapat masalah dimana masyarakat tidak mau
bertemu dengan staf di daerah karena mereka memang mau bertemu
dengan anggota Dewan. Jika satu kantor di mana semua wakil
digabung, diperlukan juga ada kamar (ruang kerja) untuk anggota
karena ada hal-hal sensitif yang dibicarakan. Jika kita berpikir 5-10
tahun ke depan pasti ada agenda parpol, ada beberapa warna dan
tidak seperti tahun ini. Hal ini mengapa kantor perwakilan tidak
untuk semua anggota –dalam satu Dapil- tetapi sendiri karena setiap
anggota menerima tunjangan, uangnya bisa dipakai untuk membuat
perwakilan di situ.
203
Tanggapan

Rumah aspirasi adalah suatu tempat yang mewakili parpolnya.


Harus ada kantor perwakilan yang terpisah-pisah karena tiap parpol
memiliki agenda-agenda yang berbeda antara yang satu dengan
yang lain sesuai dengan ideologinya. Dalam konteks ini rumah aspirasi
didirikan di kantor cabang masing-masing atau ruangan di kantor DPR,
katakanlah fraksi tertentu memiliki satu ruangan di mana masyarakat
bisa bertemu dengan anggota. Singkatnya, berfungsi sebagai sarana
pertemuan antara konstituen dengan anggota Dewan.

Satu lagi, di Indonesia voters-nya belum cerdas seperti di negara


Amerika atau Jerman. Ada pemikiran dan harapan di masyarakat, ketika

203 Virgiani Rahayu (Pembahas FGD 4)

Peran Perwakilan Parlemen 229


datang ke DPR saja sudah bangga apalagi jika bertemu dengan anggota
Dewan. Kita tidak bisa memenuhi tuntutan setiap voters yang tidak
cerdas ini dan juga mengganggu kinerja anggota Dewan. Sebetulnya
anggota Dewan itu tidak cukup 24 jam sehari untuk hidup mereka
karena padatnya kegiatan anggota Dewan. Jika dibuka kesempatan
bertemu dengan masyarakat, lalu bagaimana dengan rapat-rapat.
Akhirnya, kualitas dari rapat-rapat yang menjadi tugas primer anggota
menjadi tidak berkualitas. Bagaimana mendayagunakan sumber daya
yang ada untuk menjaring aspirasi dalam rumah aspirasi.
204
Tanggapan

Terkait dengan supporting system. Gambaran-gambaran tentang


supporting system sebenarnya telah diberikan Sekretariat Jenderal
kepada anggota Dewan, khususnya yang berkaitan dengan aspirasi
masyarakat. Sebagaimana disampaikan, untuk DPR periode 2004-
2009, sudah sangat terbantu dengan keberadaan para tenaga ahli.
Mulai tahun ini, kita sudah merekrut tenaga ahli dengan sistem yang
telah diskusikan. Pembahas merasa bangga karena ada asessment dan
hal-hal tersebut didiskusikan yaitu tentang suatu sistem rekrutmen
yang belum sepenuhnya efektif. Ini akan menjadi dasar di periode
berikutnya dengan beberapa perbaikan agar lebih optimal.

Mengenai penjaringan aspirasi masyarakat, memang masih


diperlukan untuk turun –face to face-. Kesempatan untuk bertemu
antara masyarakat dan anggota DPR periode 2004-2009 yang sudah
kita fasilitasi cukup banyak, paling tidak dari segi kunjungan ke
masyarakat melalui kungker komisi, kungker lintas komisi, kungker
(reses) perseorangan yang sudah dilengkapi dengan dana penyerapan
masyarakat. Pada awalnya, kita sempat terganggu karena sistem
pertanggungjawaban dana reses. Kemudian juga karena Dapil itu
terdiri dari beberapa parpol maka ada juga kunjungan kerja gabungan
para anggota ke daerah pemilihan. Mengenai hal ini, sudah disiapkan
dan banyak sekali fasilitas yang diberikan kepada anggota Dewan
untuk bertemu konstituennya baik sebagai anggota Dewan ataupun

204 Nining Indra Shaleh (Pembahas FGD 4, Sekretaris Jenderal DPR)

230 Peran Perwakilan Parlemen


alat kelengkapan Dewan. Hasil kunjungan seperti ini yang harus
dioptimalkan.

Kemudian juga ada problem. Ada ribuan surat yang datang


dari masyarakat. Kita punya biro surat pengaduan masyarakat yang
memproses itu. Paling banyak masalah pertanahan kemudian
perburuhan. Kemudian analisis itu kita sampaikan ke pimpinan untuk
bagaimana diarahkan alat kelengkapan Dewan karena demikian
prosedurnya menurut Tatib. Masalahnya sekarang, ketika hasil analisa
itu disampaikan ke alat kelengkapan Dewan dan Komisi-komisi lalu
bagaimana seharusnya informasi ini digunakan. Ini kelihatannya belum
begitu efektif, tapi karena sekarang Komisi dilengkapi tenaga ahli, bisa
dijadikan bahan yang efektif ketika mereka rapat dengan pasangan
kerjanya. Dari hasil rapat kerja ini kita sampaikan ke masyarakat tetapi
mekanisme ini belum efektif berjalan.

Kemudian, mengenai internet ini memang masih banyak keluhan.


Ini harus dikembangkan lebih lanjut. Saat ini, kita hanya memiliki
7 MB dan digunakan lebih dari 1000 komputer. Targetnya akan
dikembangkan hingga 15 MB. Sistem TI ke depan, mungkin kita tidak
perlu beli PC dan laptop tetapi sewa pakai saja karena perkembangan
teknologi informasi, perkembangannya perbulan. Dengan demikian,
hasil-hasil rapat Pansus, Komisi, atau Paripurna bisa diakses secara
cepat.
205
Tanggapan

Pembahas sering diminta anggota Dewan untuk membuat riset


tentang UU pemilu, ketika dicari resources-nya buku, risalah, atau
transkripnya tidak ada di perpustakaan, dan tidak dapat diakses secara
cepat. Kemudian, hampir semua riset mengenai MPR, tidak banyak
sumber referensinya di perpustakaan.

205 AM. Furqon (Pembahas FGD 4 sebagai tenaga ahli Fraksi PAN)

Peran Perwakilan Parlemen 231


206
Tanggapan
Mengenai risalah, karena merupakan dokumen rapat sangat
penting dan seharusnya sudah digunakan dengan teknologi yang
lebih canggih. Di parlemen lain, sudah menggunakan voice teknologi,
jadi di mana anggota DPR bersidang suaranya langsung ditirukan oleh
voice writer dan mesinnya mengetik sendiri dan begitu selesai rapat
langsung keluar. Sekarang tenaga risalah kita ada 40 tetapi rapatnya
tersebar di mana-mana. Tetapi untuk beberapa RUU yang dibahas,
ada yang bekerja lembur. Risalah rapat RUU yang sudah selesai itu
ada yang akan dibuat buku. Untuk tahun 2006, 50 buku sudah kita
cetak. RUU-nya ada 80 yang sekarang sedang dibahas sedangkan staf
risalahnya hanya 40. Mengenai RUU yang sudah disahkan di paripurna,
rata-rata sudah selesai dikerjakan tetapi terkadang masih perlu ada
pasal-pasal yang disinkronkan lagi. Pemerintah bertanggungjawab
mensosialisasikan RUU yang telah disahkan menjadi UU jadi
anggarannya bukan lagi di Setjen.

207
Klarifikasi Pembahas Utama
Konfirmasi untuk Frank, bahwa pembuatan UU itu tidak
membutuhkan konsultasi ke publik. Dia salah tangkap. Maksudnya
tanpa suap. Mengenai penjaringan aspirasi melalui kunjungan
baik-baik saja. Pertanyaannya, sejaumana efektifitasnya? Apa tolok
ukurnya? Tugas utamanya adalah setelah amandemen, tugas anggota
Dewan adalah membentuk UU (legislasi). Sejauh ini ada atau tidak
produk UU yang didasarkan dari penjaringan aspirasi? Kalau ada tentu
sangat bagus.

Kerja Dewan itu tidak di fraksi tetapi lebih di Komisi. Artinya,


penjaringan aspirasi yang bersama-sama atau gabungan itu bisa lebih
efektif dibanding yang individu. Sebentar lagi masa kerja anggota DPR
akan habis, bisa atau tidak dihitung sejumlah inisiatif UU di Dewan
asal-usulnya bersumber dari aspirasi? Kalau tidak, hal ini berkaitan
dengan Prolegnas, kita hanya buang-buang uang.

206 Nining Indra Shaleh (Pembahas FGD 4, Sekretaris Jenderal DPR).


207 Syamsuddin Haris (Pembahas Utama FGD 4).
232 Peran Perwakilan Parlemen
Klarifikasi
Pembahas Utama
208

Sistem atau mekanisme pelibatan masyarakat dalam penjaringan


aspirasi sudah ada tetapi masih terlalu lambat. Tidak usah terlalu jauh
bicara mengenai surat, RDPU yang sudah ada tidak optimal. DPD saja
menanyakan sejauhmana aspirasi yang telah mereka sampaikan itu
diperjuangkan. Bahwa memang komisi yang harus lebih optimal.
Hanya prakteknya yang masih jadi masalah, di DPR ada beberapa
staf ahli komisi, tetapi mereka lebih melayani ke pimpinan bukan
ke anggota. Problemnya, banyak rapat intern yang terkait dengan
komisi itu dibacakan atau direkapkan, nanti kita bisa lihat sejauhmana
hubungannya dengan RUU yang dibahas. Aspirasi bisa diperjuangkan
atau tidak, hal itu yang masih menjadi masalah dan ada di banyak
rapat yang tertutup jadi saya memang perlu dibuka karena aksesnya
akan lebih mudah dilihat di masyarakat. Kuncinya ada di Susduk.

Rekomendasi Hasil FGD 4


Penjaringan Aspirasi Masyarakat Dan Pengaruhnya
Terhadap Kebijakan Fraksi
1. Perlu penyadaran kepada masyarakat dan elit politik untuk
menempatkan rakyat sebagai warga negara yang memiliki hak dan
kewajiban, memiliki orientasi dan tujuan, bukan sekedar sebagai
massa.
2. Perlu pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, khususnya
berkaitan dengan tugas dan kewajiban serta apa yang telah dikerjakan
oleh Anggota DPR.
3. Alternatif konsep partisipasi masyarakat:
a. Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan stakeholder/masyarakat
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan,
implementasi dan evaluasi/monitoring.

208 Nursanita Nasution, SE, ME. (Pembahas Utama FGD 4).

Peran Perwakilan Parlemen 233


b. Partisipasi masyarakat adalah keterlibatan rakyat sebagai warga
negara, bukan “massa”, dalam proses pembuatan kebijakan publik,
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sarana
partisipasi seperti partai politik, pemilu, media massa, kelompok-
kelompok kepentingan.
4. Parpol perlu menyadarkan masyarakat melalui pembentukan
organisasi sukarela yang tidak ditumpangi kepentingan elit politik.
5. Pelaksanaan penjaringan aspirasi rakyat perlu didukung anggaran
yang memadai.
6. Perlu mendorong pemanfaatan database di daerah oleh Anggota DPR
untuk mengetahui secara pasti permasalahan yang dihadapi daerah
sekaligus sebagai daya dukung lokal.
7. Perlu model penjaringan aspirasi masyarakat yang mudah diakses
oleh masyarakat khususnya kelompok-kelompok kepentingan.
8. Perlu pengaturan mengenai mekanisme menyampaikan asprasi
masyarakat yang bisa diwadahi dalam UU maupun Perda.
9. Mengingat visi-misi dan program caleg secara individu sulit
diwujudkan tanpa dukungan partai, maka kontrak politik untuk caleg
hanya mungkin dilakukan dengan melibatkan partai politik pada
tingkat kepengurusan masing-masing.
10. Perlu dibuat aturan main dalam melakukan kontrak politik yang antara
lain mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. dilakukan dengan wakil dari kelompok-kelompok kepentingan
yang signifikan di suatu daerah/dapil dan tidak dilakukan secara
individual;
b. materi kontrak politik tidak bersifat umum, namun juga tidak terlalu
detail;
c. dilakukan dengan melibatkan tokoh yang dianggap berpengaruh
sebagai saksi; dan
d. materi kontrak politik harus realistis untuk dicapai dalam jangka
waktu maksimal lima tahun (satu periode pemerintahan).

234 Peran Perwakilan Parlemen


FGD 5
209

Peran Fraksi dalam Mengelola


Aspirasi Masyarakat dan
Menjadikannya sebagai Basis
Keberpihakan
Pokok masalah diskusi: Prinsip perwakilan (representasi) secara teknis
diantaranya dipenuhi dengan menjadikan aspirasi (kehendak) masyarakat sebagai
sesuatu yang diperjuangkan dan menjadi basis keberpihakan Anggota parlemen.
Peran fraksi sebagai identitas partai politik di parlemen menjadi sangat penting untuk
mendorong dan memperjuangkan hal tersebut.

Pokok bahasan diskusi terkait dengan peranan Fraksi dalam menyerap aspirasi
dan sejauhmana aspirasi masyarakat menjadi landasan berpihak dalam pengambilan
keputusan di DPR: i) Hal-hal apa saja yang menjadi indikator terrepresentasikannya
aspirasi masyarakat, ii) Rumusan tentang bagaimana idealnya Fraksi dan parpol
mengambil peranan dalam penjaringan, pengelolaan dan memperjuangkan aspirasi
konstituennya, iii) Apa saja hambatan-hambatan yang dialami Anggota DPR dan
konstituen/masyarakat dalam melakukan penyamaan persepsi terhadap suatu
masalah atau terhadap isu-isu tertentu dan menjadikannya sebagai dasar perjuangan
bersama antara Anggota, fraksi/parpolnya dengan konstituen/masyarakat yang
diwakillinya. Selain itu, bagaimana inisiatif konstituen atau masyarakat mewarnai
proses penjaringan aspirasi, iv) Deskripsi pengalaman Anggota tentang mekanisme
internal fraksinya dalam menjaring, mengelola dan menjadikan aspirasi konstituen
sebagai bahan pembahasan pada rapat-rapat di DPR serta memperjuangkan
aspirasi masyarakat melalui tiga fungsi pokoknya, v) Deskripsi pengalaman Anggota
tentang standar pelaporan Anggota kepada fraksinya atas hasil rapat dengar
pendapat umum, kunjungan reses dan kunjungan kerja ke konstituen/masyarakat,
vi) Deskripsi pengalaman Anggota tentang bagaimana menyampaikan dan

209 FGD 5 dilaksanakan di Ruang Pansus, DPR. Kamis, 21 Agustus 2008.

Peran Perwakilan Parlemen 235


menjelaskan suatu masalah, kebijakan dan keputusan fraksi/parpol yang dianggap
penting atau berdampak langsung kepada konstituen/masyarakat yang diwakilinya,
vii) penyusunan rekomendasi model pengorganisasian/pelembagaan jaring aspirasi
konstituen yang lebih mengikat bagi fraksi/Parpol.

Dinamika Forum :
Pembahasan Pengantar

210
Prinsip Representasi dalam Parlemen Indonesia

Pengertian representasi:

- Dalam arti sempit: representasi diartikan terlalu sederhana terbatas


pada menerima pengaduan masyarakat.

- Dalam arti luas: representasi merupakan mainstreaming dalam


bekerjanya lembaga-lembaga demokrasi yang mengarah pada
legitimasi anggota legislatif untuk mewakili kelompok/konstituen
yang diwakilinya.

- Dalam implementasinya, belum semua anggota memperjuangkan


representasi yang diwakilinya. Sebagai contoh, banyak anggota DPR
perempuan tidak mampu memperjuangkan representasi perempuan
di komisi.

210 Eva Kusuma Sundari, MA., MDE. (Pembahas Utama FGD 5 sebagai Anggota tim Pansus RUU Susduk/Anggota
tim peningkatan kinerja DPR/FPDIP).

236 Peran Perwakilan Parlemen


Pembahas berpandangan bahwa praktek penyelenggaraan
demokrasi yang berlangsung selama 10 tahun terakhir khususnya
di DPR RI, merupakan demokrasi tanpa representasi. Hal ini terjadi
salah satunya karena adanya kelemahan proses representasi yang
berlangsung di Indonesia, yaitu:
- Proses rekrutmen caleg berlangsung di fraksi, menyebabkan
ketidakjelasan individu yang bersangkutan mewakili kelompok
mana.
- audit terhadap kinerja anggota legislasi tidak menjadi concern
masyarakat, seperti LSM.

Berdasarkan pengalaman pembahas, seharusnya dibuat list


sebagai acuan mengenai apa saja yang harus dilakukan dan apa
saja yang sudah dicapai, untuk mengukur kinerja individu-individu
anggota. Pengalaman pembahas di PDIP, setiap caleg sudah memiliki
portofolio sehingga jelas isu apa yang akan diangkat oleh masing-
masing caleg.

Kendala Pelaksanaan Peran Representasi


di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang ada kurang
menginternalisasi isu representasi. UUD 1945 dan UU tentang Susduk
tidak mengakomodir fungsi representasi karena baik dalam UUD 1945
maupun dalam Susduk hanya menyebut tiga fungsi DPR yaitu legislasi,
anggaran, dan pengawasan, sementara fungsi utama parlemen yaitu
menjalankan prinsip-prinsip representasi disamping fungsi leglislasi
dan fungsi pengawasan yang di dalamnya terdapat pengawasan
terhadap APBN.

Solusi terhadap permasalahan tersebut, di dalam RUU Susduk


ditambahkan rumusan yang menyatakan bahwa fungsi utama DPR
adalah representasi yang diterjemahkan ke dalam 3 fungsi yaitu
leglislasi, pengawasan, dan anggaran. Selanjutnya fungsi representasi
harus tercermin dalam ketiga fungsi DPR, oleh karenanya pembahasan

Peran Perwakilan Parlemen 237


APBN di DPR juga harus mempertimbangkan fungsi representasi,
artinya anggota legislatif yang terlibat dalam pembahasan APBN
harus benar-benar mempresentasikan kepentingan yang ada di
masyarakat. Selama ini, Anggota DPR kurang dalam mengoptimalkan
isu representasi tersebut.

Ke depan diharapkan UU Susduk akan memunculkan isu


representasi di semua lembaga. Disamping itu, perlu diatur secara
tegas tentang definisi/pengertian fraksi dan bagaimana mekanisme
pembentukan fraksi. Sementara dalam Tatib sudah ada 2 lembaga
yang bertujuan untuk mengoptimalisasi isu representasi di DPR, yaitu:
1) Lembaga yang bertugas melakukan follow up terhadap laporan
BPK, 2) Lembaga untuk melakukan investigasi sendiri.

Upaya Meningkatkan dan Mengoptimalkan


Isu Representasi
Diperlukan dukungan dari Sekretariat Jenderal berupa supporting
system yang handal tidak terbatas pada tenaga-tenaga administrasi
tetapi juga bertugas menyiapkan policy paper berkaitan dengan
tugas-tugas dewan.

Membangun rumah aspirasi di daerah adalah juga upaya


memperbaiki fungsi representasi.

Terkait otoritas fraksi, isu institusional dari fraksi menjadi sangat


penting, sehingga perlu dibuat standar kerja fraksi secara tegas dan
jelas yang harus dilaksanakan oleh anggota fraksi.

Demikian halnya, pembenahan birokrasi Sekretariat Jenderal DPR


melalui pembentukan standar operasional prosedur perijinan yang
lebih fleksibel bagi masyarakat yang hendak memperoleh data atau
informasi mengenai DPR, sehingga lebih reponsif terhadap inisiatif
rakyat yang ingin menyampaikan aspirasinya ke anggota DPR.

238 Peran Perwakilan Parlemen


Akuntabilitas politisi merupakan break down dari partai, oleh
karenanya akuntabilitas politik bersifat individu, sehingga setiap
anggota DPR harus mempunyai basis konstituen yang diwakilinya
melalui penguasaan isu-isu normatif dan problem- problem yang
dihadapi oleh konstituen.

Salah satu faktor tidak berjalannya fungsi representasi adalah tidak


dipatuhinya aturan main yang tersedia oleh anggota fraksi. Untuk
mengatasi hal ini diperlukan advokasi untuk menyuarakan aspirasi
konstituen. Mengingat fungsi representasi belum berjalan dengan
baik, maka dalam prakteknya kelompok kepentingan menyampaikan
aspirasi ke semua fraksi tanpa melihat fraksi yang mempunyai
mandat atau ideologi sesuai aspirasi yang ingin disampaikannya.
Terkait dengan hal ini, maka tiap-tiap fraksi perlu mempunyai divisi
pengaduan.

Peran Fraksi di Parlemen


Pada tataran praktek, fraksi belum mencerminkan ideologi yang
diembannya, hal ini lebih merupakan output dari sistem politik
yang sudah dibangun sejak lama, dampaknya banyak fraksi yang
ideologinya “abu-abu” dan dampak selanjutnya banyak anggota fraksi
yang lebih mementingkan hak dari pada tanggungjawab yang harus
dilakukan. Secara ideal, fraksi seharusnya menjadi think-tank untuk
anggota-anggota parlemen, dengan merumuskan antara lain: i) tugas
dan tanggung jawab masing-masing anggota fraksi secara tegas dan
jelas; ii) sistem rekrutmen, dan iii) membangun monitoring kinerja
anggota.

Dinamika Rapat-rapat di Parlemen


Rapat-rapat di DPR sangat sulit mencapai kuorum, untuk
sementara dapat disiasati dengan pengaturan jumlah anggota fraksi
minimal 4 kali jumlah alat kelengkapan Dewan. Meski disadari formula

Peran Perwakilan Parlemen 239


ini kurang tepat karena mendasarkan pada jumlah alat kelengkapan,
namun ke depan diharapkan secara alamiah akan ditemukan formula
yang tepat dan memadai.

Salah satu upaya mengoptimalkan keberpihakan anggota fraksi


terhadap aspirasi masyarakat adalah melalui dukungan pengaturan
sidang (dalam UU Susduk) DPR yang bersifat terbuka. Hal ini juga
bertujuan dalam rangka menciptakan transparansi sekaligus
pembelajaran etika anggota, tanpa menutup kemungkinan adanya
sidang tertutup, yang terbatas pada pembahasan masalah-masalah
tertentu seperti: masalah keinteljenan atau kesaksian yang harus
diproteksi.

Namun demikian, amandemen UU Susduk perlu diikuti dengan perubahan


kultur anggota fraksi. Dengan demikian, diperlukan pembangunan karakter
dan institusi. Sistem partai yang belum baik dan belum modern, menyebabkan
kekuasaan fraksi powerful, meski diakui fraksi tidak efisien tetapi efektif untuk
mengatasi pembahasan yang berkepanjangan dalam rapat-rapat.

Peran dan Posisi Fraksi dalam Parlemen


Indonesia
211

Pembahas berpendapat bahwa fraksi menjadi sumber masalah dan


tempat bagi penyelesaian masalah karena fraksi yang sesungguhnya
paling berkuasa di DPR. Tanpa ada fraksi, maka DPR tidak ada. Jadi,
kalau ada problema di DPR maka sumbernya di fraksi dan fraksi harus
menyelesaikannya karena kekuasaan ada di situ. Pimpinan DPR dipilih
oleh fraksi-fraksi, jadi real power itu ada di fraksi. Parlemen dikendalikan
dan dikontrol oleh fraksi. Dengan demikian, kita mengetahui secara
keseluruhan bahwa parlemen lebih cenderung menjadi lembaga
konspirasi bukan lembaga perwakilan. Di situlah letak persekongkolan
tertinggi di negara ini dilakukan. Banyak sekali bukti yang kita lihat
dan nanti dapat dicuplik satu sama lain.

211 Arbi Sanit (Pembahas Utama FGD 5 sebagai pakar politik dari Universitas Indonesia)

240 Peran Perwakilan Parlemen


Fraksi dibentuk oleh, seijin, dan atas restu partai serta
bertanggungjawab kepada partai. Gambaran kekuasaan di negara ini
wujudnya adalah fraksi. Semenatra di dalam fraksi ada macam-macam
ikatan, ada ikatan ideologi, bercampur juga ikatan tradisi, ikatan korps
(seperti kampus), agama, suku, klik, dan nepotisme juga berlaku.
Jadi, campur aduk semua ikatan tradisional terdapat dalam fraksi,
padahal parlemen merupakan lembaga modern. Maka, di sinilah letak
persoalannya –penyakitnya-.

Perselingkuhan (baca: Persekongkolan)


Politik di Parlemen
Parlemen tidak ada di zaman Majapahit. Ia diciptakan setelah jaman
kolonial sejak 1918. Jadi, ia adalah barang impor dan modern tetapi
diisi dengan hal-hal yang “tradisional”. Persoalannya, ketidakcocokan
perjalanan institusi negara dengan apa yang harus dikerjakan oleh
institusi tersebut. Dia menjadi jarak antara apa yang berlaku dengan
apa yang dikerjakan, karena apa yang berlaku ini kita angkat dari
zaman Majapahit, apa yang harus dikerjakan kita angkat dari luar,
di-import dari Amerika, Eropa, dan seterusnya. Jadi, ada kesenjangan
karena sifat-sifatnya yang tidak pas. Kita tidak berpikir secara rasional
untuk mengolah suatu organisasi yang rasional dan tidak bekerjasama
secara rasional untuk mencapai tujuan-tujuan yang rasional. Negara
adalah sesuatu yang rasional, dan parlemen sebagai unsur negara
seharusnya rasional. Jika negara dan parlemen tidak rasional maka
tidak akan tercapai pertarungan emosi yang datang dari sejarah
dan tidak akan pernah berubah. Gunanya negara adalah melakukan
penyelesaian atas masalah-masalah yang tidak terselesaikan. Penyakit
kita adalah penyakit untuk menjalankan barang (sesuatu) yang baru
dengan cara yang lama. Oleh karena itu, pembahas menilai bahwa
DPR atau fraksi adalah akar perselingkuhan politik. Memang tidak
semuanya bermain curang di situ, tetapi terlalu banyak yang terlibat
dengan kecurangan.

Peran Perwakilan Parlemen 241


Perselingkuhan –politik- itu datang dari proses bargain dan
konsensus yang semestinya selalu mengarah untuk mewakili rakyat
yang diwakili. Jadi, perundingan atau tawar-menawar yang dilakukan
seharusnya untuk memperbaiki keadaan rakyat. Tetapi karena yang
terjadi adalah konspirasi, maka hanya menguntungkan orang yang
melakukan perdebatan melalui tawar-menawar. Jadi, bedanya tipis
sekali? Siapa yang mendapat manfaat dari proses fraksi di DPR?
Kalau rakyat yang mendapat manfaat, itu konsensus. Tetapi kalau
hanya anggota DPR, fraksi atau partai yang mendapat manfaat maka
itulah konspirasi. Itulah kecenderungan yang ada sampai sekarang
ini. Inspirasi untuk sampai kepada konspirasi ini dapat kita temukan
dalam film God Father jilid II, ada kalimat yang dikatakan pemain
di situ bahwa politik dan kejahatan tidak berbeda, sama saja. Ada
hakekat persamaannya.

Kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan terjadi dalam dunia


politik dan dunia kejahatan. Kemudian, saling menyembunyikan atau
merahasiakan banyak hal untuk menutupinya. Misalnya, kebanyakan
sidang ditutup, menjadi rahasia. Persis permainan mafia. Sebenarnya
DPR tidak ada yang tertutup, harus terbuka semua kalau mau
membedakan DPR dari mafioso. Lalu, soal anggaran yang kejam, 70
persen anggaran untuk membiayai aparatur sedangkan rakyat yang
ratusan juta hanya kebagian 30 persen. Apa itu tidak kejam? Lihat saja
ada orang telanjang setelah pemilihan Bupati, hal ini terjadi karena
kekejaman politik. Kegagalan seorang caleg DPRD di Semarang pada
tahun 2004 membawa kematiannya dengan bunuh diri. Sekali lagi,
ada wajah dunia politik yang sama dengan dunia kejahatan meskipun
tidak seluruhnya sama.

Persekongkolan benar-benar terjadi di Parlemen kita. Misalnya


pada perumusan UU Pemilu, disana sudah dibuat aturan 2,5 persen
electoral treshold (ET) yang kemudian diprotes partai kecil, terjadilah
persekongkolan antara partai besar dan kecil yang hasilnya bukan
untuk rakyat. Jika Undang-undang tersebut buat rakyat, justru ET-
nya dibuat tujuh persen. Baru-baru ini juga terjadi konspirasi baru,
partai-partai yang tidak ikut pemilu tidak datang ke MK melainkan ke
PTUN yang diancam KPU. Demikian halnya KPU, karena dihasilkan dari

242 Peran Perwakilan Parlemen


konspirasi, maka tidak ada nyali melawan demo partai kecil. Padahal,
KPU bisa mengajukan naik banding karena –gugatan- sudah melewati
masa pendaftaran partai politik. Jadi, permainan politik dilawan
dengan permainan politik. Siapa saja di negeri ini harus memahami
konspirasi, karena kalau tidak, akan dimakan sendiri. KPU yang tidak
mengerti apa-apa dimakan oleh partai kecil.

Kompetisi Terbuka: Mengurangi


“Perselingkuhan” Politik di Parlemen
Mungkin kita perlu kembali, bagaimana agar fraksi tidak terjebak
terus-menerus sehingga konstituen tidak mendapat manfaat yang
memadai dari keberadaannya. Hal ini adalah persoalan kompetisi, jika
kompetisi dilaksanakan secara terbuka maka yang terjadi adalah adu
argumen dan saling mengungkap fakta. Dengan demikian, konspirasi
tidak bisa bermain. Jika terbuka, pers mengetahui dan rakyat mengerti.
Lalu, beradu argumen yang sugguh-sungguh, adu data, ada kompetisi
penuh. Jika bicara demikian, ini –sistem- harus liberal dan tidak bisa
prinsip-prinsip kekeluargaan, gotong-royong, musyawarah-mufakat
digunakan. Saat ini, kita terjebak oleh tradisi-tradisi, yang lebih sebagai
produk dari rezim otoritarian, dimana rakyat dipojokkan pada tradisi
sehingga elite bisa bermain dengan leluasa di atas. Tetapi, saat ini kita
sudah jelas berbeda, kenapa harus terus menerus mau dijebak dan
seharusnya melakukan perbaikan atau reform.

Dengan adanya kompetisi, setiap anggota bersaing untuk


berbicara, memikirkan dan memperjuangkan yang terbaik bagi rakyat.
Antar fraksi berkompetisi melakukan hal yang sama. Tetapi jika yang
terjadi adalah gotong royong, ada rasa tidak enak, apalagi kalau senior
yang bicara. Lalu, di samping adanya kompetisi, ada pelembagaan yang
intinya mematuhi rule yang disepakati, bukan hubungan-hubungan
personal tetapi impersonal di dalam institusi. Adanya aturan main
dan tepat waktu. Kalau hubungannya personal maka institusinya akan
terganggu, karena aturan main akan dikompromikan. Jadi, aturan
main harusnya dibuat tegas dan jelas. Misalnya, memilih tempat rapat-

Peran Perwakilan Parlemen 243


rapat yang tidak menggunakan fasilitas di DPR, menggunakan hotel
misalnya. Gedung saja diselingkuhi. Bagaimana rakyat mau terlayani,
kalau gedung saja diselingkuhi.

Konsolidasi Demokrasi Melalui Fraksi


Perwakilan politik dapat dihidupkan jika ada tiga faktor
kepentingan yang dipadukan dalam setiap isu: 1) kepentingan partai;
2) anggota dan fraksi; 3) kepentingan rakyat. Saat ini, persentase
keutamaannya berat ke partai dan fraksi, sementara rakyat sedikit.
Lihat alokasi APBN yang 70% untuk pegawai, akhirnya untuk partai
karena isinya pegawai adalah orang partai yang berkuasa. Jadi, dua
golongan itu diutamakan karena rakyat cuma dapat 30 persen. Ini
komposisi yang sekarang. Dalam mempertimbangkan hal tersebut,
banyak kepentingan partai dan anggota fraksi yang diutamakan.
Amat sedikit perhatian pelayanan kepada rakyat. Oleh karena itu, jika
hendak mewakili rakyat maka dibalik persentasenya. Kepentingan
partai 15-20 persen, kemudian kepentingan fraksi juga 15-20
persen, lalu kepentingan rakyatnya 50-75 persen. Kira-kira begitu
perhitungannya.

Jadi konsolidasinya dimana? Konsolidasinya pada saat porsi


kepentingan rakyat diberikan paling banyak di dalam proses
pembahasan dan di dalam proses pembuatan keputusan tentang isu-
isu apapun di dalam DPR. Ini sekedar hitungan kalau mau dihitung,
tetapi ini sekedar gambaran agar kita mengetahui dan mengerti
apakah kita telah terlalu melupakan rakyat atau tidak. Mungkin begitu
mekanismenya, persentase itu tidak bisa eksak, ini hanya gambaran
angka-angka saja yang sebenarnya abstrak dilakukan.

Saat ini, kondisinya masih dalam masa transisi, banyak orang


mengatakan kita sudah konsolidasi demokrasi dan bukan transisi
lagi. Apa yang dikonsolidasikan? Korupsi dan konspirasi yang
dikonsolidasikan? Itu tidak benar. Jadi kondisi Indonesia saat ini,
masih jauh dari konsolidasi, transisi saja hanya baru sebagian kecil.
Jadi, transisi dimaksimalkan dulu, baru kita bicara konsolidasi.

244 Peran Perwakilan Parlemen


212
Pandangan 1
Pembahas berpendapat dan khawatir jika Pembahas Utama
merumuskan fraksi adalah pusat persekongkolan politik. Hal ini juga
pernah didiskusikan di FGD I. Sesuatu yang terbuka tetapi ditutup-
tutupi secara sengaja memang layak disebut persekongkolan politik.
Demikian juga apa yang disampaikan membuka sesuatu yang
inspiratif untuk mellihat beberapa hal yang seharusnya mengalami
pembaruan. Mari kita mulai dari hal-hal tersebut. Sebenarnya hampir
semua komponen parlemen kita memang sangat butuh perubahan
dan sangat butuh perbaikan. Setjen DPR dan hampir semua tenaga
ahli dan kawan-kawan yang masuk ke area ini memang mengalami
persolan-persoalan bawaan dari orde sebelumnya atau masa lalu,
seperti rendahnya profesionalisme, kelambanan, dan lain-lain. Entah
ini sistemik atau pengalaman masa lalu, atau apa yang disampaikan
Pembahas bahwa lembaganya modern tetapi semangat dan isinya
masih tradisional. Justru tampilan-tampilan seperti ini yang hadir
ke masyarakat, baik penampilan maupun kinerjanya memang
menggambarkan hal-hal yang uncompatible antara lembaga dengan
seharusnya lembaga itu bekerja. Pembahasan-pembahasan dari FGD
1 sampai dengan sekarang, jika dikompilasi akan menggambarkan
incompatibility secara jelas.

Beberapa pertanyaan yang mengganjal, misalnya tentang tenaga


ahli, baik anggota maupun fraksi. Kami sempat mempercakapkan
tenaga ahli, yang dihargai adalah skill dan profesinya tetapi
penghargaan itu tidak sebanding dengan background keahlian karena
di SK-nya kalau hari ini mau dipecat juga boleh. Oleh karena itu, ini
sebenarnya terjadi pemerasan skill. Tetapi, ini hal-hal yang harus
diperbaiki ke depan. Yang disampaikan Pembahas Utama kedua, ada
hal-hal yang perlu diperbaiki termasuk RDPU, mekanismenya, public
sharing, dan lain-lain.

Point terakhir, forum ini agak advance karena hadir anggota yang
ada di Susduk. Fraksi ini adalah lembaga yang sangat powerful, hampir
setiap kebijakan DPR ada di sana. Setiap keputusan strategis pasti
ada trade off atau jarang lewat voting atau mekanisme terbuka. Tadi
212 Audy Wuisang (Pembahas FGD 5 sebagai tenaga ahli Fraksi PDS).

Peran Perwakilan Parlemen 245


diusulkan jalan keluarnya, biarkanlah kompetisi dibuat terbuka karena
memang harus terbuka. Pertanyaan kepada Pembahas Utama kedua,
bagaimana menangkap satu jalan keluar yang sebetulnya terlihat
sederhana agar ada cantolannya di RUU Susduk? Borok-borok akan
susah diterobos tanpa adanya entry point yang cukup signifikan. Sejak
awal kita memang sudah mengingatkan, bisa atau tidak RUU Susduk
memuat cantolan, paling tidak misalnya tidak ada lagi rapat tertutup.
Hal-hal yang diungkap pembahas adalah kelemahan-kelemahan yang
diperbaiki dan akan mungkin mendapat channeling yang pas di RUU
Susduk sehingga penetapan Tatib-nya akan mengacu kesana dan ada
kekuatan hukum yang mengikat untuk diberlakukan.
213
Pandangan 2
Menarik sekali pembahasan tentang fraksi. Mengambil contoh
di beberapa negara misalnya, di dalam parlemen, selain fraksi, ada
juga faksi. Apakah hal ini dapat dilakukan di parlemen kita? Jepang
misalnya, ada faksi dari petani-petani gandum, demikian halnya di
Prancis, walaupun mereka bertempur antara kiri dan kanan, tetapi
mereka bisa bergabung di dalam faksi untuk memperjuangkan,
misalnya ada faksi yang khusus membicarakan tentang nelayan.
Pembahas Utama (Anggota DPR) telah bicara tentang representasi,
apakah ada? Apakah mungkin membicarakan fraksi, kemudian juga
membicarakan faksi. Apakah ada Tatib-nya di DPR untuk membentuk
faksi? Sekitar tahun 2002 ada kaukus-kaukus, apakah itu bisa disebut
faksi?
214
Pandangan 3
Mengenai peran fraksi dalam menindaklanjuti aspirasi
masyarakat sebagai basis keberpihakan, Pembahas Utama (Anggota
DPR) telah menyinggung, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan secara
pribadi maupun fraksinya tetapi harus seluruh fraksi komitmen
dengan cara merumuskan tugas dan peranan fraksi sebagai basis
keberpihakan. Oleh karena itu, seluruh peserta dari tenaga ahli agar
dapat menyampaikan kepada fraksi masing-masing bahwa dalam

213 Suryo (Pembahas FGD 5 sebagai utusan Lingkar Madani Indonesia).


214 Rusman Lumban Toruan (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PDIP).

246 Peran Perwakilan Parlemen


RUU Susduk sekarang tengah ada pembicaraan tentang, misalnya,
fraksi. Dalam rancangan UU Susduk harus muncul tentang fraksi yang
baru supaya tidak menjadi tempat persekongkolan. Kemudian, kalau
boleh ini menjadi pesan bagi seluruh fraksi, rumusan Tatib yang ada,
bisa atau tidak menjadi acuan bagi teman-teman kita yaitu anggota
Dewan. Ada perbaikan-perbaikan Tatib sekaligus dirumuskan di sana.

Misalnya, BK ada di Tatib dan ada di UU Susduk. Bagaimana


agar tidak sampai mencederai peranan BK atau sampai mencederai
anggota Dewan sebagai representasi rakyat? Jangan sampai BK
yang mengatur persoalan etika, tiba-tiba me-recall. Hal ini juga harus
menjadi perhatian. Semua fraksi mengatakan bahwa politik anggaran
kami harus di atas 50 persen untuk publik misalnya, saya kira sudah
selesai itu tadi, tidak ada lagi persekongkolan. Jadi, komitmen fraksi
memang masih menunggu penyegaran dan pembaruan dari semua
pihak.
215
Pandangan 4
Bahwa kedudukan fraksi yang begitu kuat memang konsekuensi
dari sistem kepartaian kita dengan menjadikan partai sebagai peserta
pemilihan umum dalam sistem pemilu. Karena itu, jika membatasi
fraksi akan kesulitan karena yang menyusun DIM RUU adalah fraksi
itu sendiri. Semua pembahasan UU diwakili oleh fraksi-fraksi. Point-
nya adalah, dalam Susduk selain semua sistem harus dibuat terbuka,
jangan sampai membeli kucing dalam karung seperti bagaimana
panitia angket berjalan, penyusunan anggaran yang yang tidak
didasarkan kepentingan rakyat tetapi memikirkan individu dan partai.
Dalam penyusunan anggaran terjadi alokasi bukan untuk kepentingan
rakyat.

Dalam kerangka membangun efektivitas pembahasan kebijakan


publik, maka jumlah fraksi dibatasi dengan ketat. Saat ini yang terjadi
yang tidak memenuhi jumlah fraksi (13 orang) yang kecil ikut dengan
yang kecil, bukannya yang kecil ikut yang besar. Paling tidak jumlahnya
tiga kali lipat dari jumlah komisi yang ada. Itu akan menjadi kinerja
215 Andi Rusnandi (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PPP).

Peran Perwakilan Parlemen 247


DPR lebih baik tidak seperti saat ini dimana satu substansi harus dua
putaran sampai akhirnya di lobby fraksi.

Bagaimana ada semacam ruang komunikasi yang cukup


terbuka antara fraksi dengan publik atau konstituennya? Itu harus
dibuka sistemnya. Sekarang kita tidak punya. Ketika membicarakan
kelangkaan pupuk misalnya, itu jalurnya masing-masing, rakyat tidak
tahu masuknya dari mana. Seperti Setjen membuat ruang delapan
fraksi maka di lobby itu seharusnya ada delapan ruang pengaduan.
Ada satu tempat dimana masyarakat dilayani dengan baik tetapi tidak
mengganggu kerja anggota ataupun rapat yang ada. Ada satu tempat
yang menjadi pusat pengaduan masyarakat yang terkait dengan
pengaduan mereka. Mereka juga harus dimanusiakan. Ada fraksi-
fraksi yang punya kantor di bawah (lobby). Sekarang yang terjadi tidak
seperti itu, dimana rakyat langsung datang ke anggota. Jadi rakyat
harus kita didik bahwa jangan persoalan remeh-temeh yang diadukan
ke DPR tetapi persoalan-persolan yang besar. Mungkin, bagaimana
memformulasikan RUU Susduk sehingga jangan sampai DPR tidak
peka dengan persoalan rakyat. Terima kasih.
216
Pandangan 4
Pembahasan kita muaranya pada kinerja parlemen, agar tidak
ada konspirasi politik. Jumlah fraksi seharusnya ganjil, sehingga
dalam memberikan keputusan bukan lagi jumlah fraksi. Kemudian,
jumlah anggota dalam fraksi itu juga tidak hanya terbatas di komisi-
komisi, misalkan fraksi kecil seperti PBR dan partai-partai lain, ketika
mereka dengan jumlah yang terbatas, mereka tidak berperan karena
hanya partai-partai besar yang ada di komisi. Menguatkan pembahas
sebelumnya217 bahwa Anggota tidak bisa sendiri supaya bisa
bekerjasama dengan fraksi-fraksi lain.

216 M. Fathullah (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PBR).


217 Yang dimaksud adalah Rusman Lumban Toruan.

248 Peran Perwakilan Parlemen


Dinamika Forum :
Klarifikasi dan Diskusi

218
Dinamika Fraksi di Parlemen
Bahwa di dalam draft RUU Susduk, kita sudah menentukan
bagaimana fraksi bisa dibentuk. Jadi, kasus yang sekarang ada tirani
minoritas, fraksi kecil yang lima persen itu nilainya sama dengan fraksi
PDIP misalnya yang 30 persen. Hal ini artinya, banyak sidang tidak
berlangsung karena tidak diketemukannya quorum. Quorumnya
itu ada dua, quorum partai dan quorum anggota. Quorum fraksi ini
yang berat, fraksi-fraksi sudah habis dibagi-bagi di Pansus. Akhirnya
ada formula dari Koalisi Pengadilan yang Bersih. Mereka mengajukan
formula, fraksi harus terbentuk dengan jumlah (minimal) empat kali
dari jumlah alat kelengkapan yang ada. Jadi tidak tersandera kalau
nanti ada fraksi.

Pembahas berpendapat bahwa fraksi yang sehat itu harusnya


berlandaskan ideologi dan bukan jumlah. Hal ini menjadi matematis,
tetapi representasi ideologinya tidak akan sampai. Mudah-mudahan
secara alamiah akan muncul pengelompokan berdasarkan garis-garis
ideologi.

Mengenai kaukus masih berjalan, misalkan saya di Kaukus Labour


Rights yang kemudian loose karena tidak punya kekuatan. Misalnya
di Amerika, kaukus dapat meminta budget khusus. Kaukus basisnya
individu karena ada kepentingan khusus atau spesifik dan biasanya
tidak terorganisasi kecuali Kaukus Perempuan Parlemen yang didanai
oleh UNDP, tetapi akhirnya tidak respon terhadap isu-isu kontemporer

218 Eva Kusuma Sundari, MA., MDE. (Pembahas Utama FGD 5 sebagai Anggota tim Pansus RUU Susduk/Anggota
tim peningkatan kinerja DPR/FPDIP).

Peran Perwakilan Parlemen 249


karena sudah diikat oleh program. Jadi mau issue based ataukah
program based. Terakhir, kita bentuk Kaukus Pancasila setelah kejadian
FPI untuk mengingatkan banyak orang agar jangan pakai anarki untuk
menyelesaikan masalah.

Ada hal yang agak mengganggu dari pernyataan pembahas


yang menyamakan gotong royong dengan konspirasi. Kalau gotong
royong non hirarkial dan selalu untuk kepentingan yang sifatnya
multi, sedangkan konspirasi adalah untuk yang sifatnya gerombolan.
Saya hanya ingin menjelaskan bahwa jangan sampai disamakan.
Hal ini terjadi diantaranya sebagai konsekuensi dari pengelolaan
partai yang masih oligarki, kemudian nyambung ke fraksi yang masih
belum modern. Kadang-kadang kepentingan pimpinan parpol yang
memanipulasi Anggota. Jadi, karena partai yang belum modern,
maka praktek berparlemen pun masih primitif, dimana ada manipulasi
pemimpin partai yang orientasinya self, belum pada rakyat. Kita
masih latihan berpartai kecuali bernegara sejak jaman Belanda sudah
didirikan sehingga mempunyai kultur yang lebih canggih. Tapi tidak
apa-apa, ada proses belajar dan implikasinya adalah kinerja yang
sekarang maka fokus Susduk sebaiknya jangan terjebak judul karena
tujuannya agar fungsional dan kita menjadi lembaga yang check
and balances yang efektif, sehingga esensinya untuk perbaikan-
perbaikan.

Mengenai APBN, sudah dikemukakan bahwa di fraksi PDIP sudah


ada formula yang berjudul advokasi pro budget dengan komposisi
30-70, persis seperti rekomendasi pembahas. Jika ada award bagi
local government atau otonomi daerah, PDIP dapat semua karena
pembagiannya –penganggaran APBD- 70% untuk rakyat. Misalnya
kader-kader PDIP di Blitar, dapat award dari UNDP karena pro budget,
kemudian Jembrana dan Sulawesi. Mereka menjalankan mandat
ideologi partai. Sayangnya memang, konstelasi politik di DPR lebih
tinggi dibandingkan dengan eksekutif, dimana ada yang belum
established, yaitu unsur leadership yang punya visi dan kuat, dan
itu sangat mempengaruhi. Repotnya kalau di parlemen, posisi kami
masih oposisi meskipun sudah punya formula pro budget.

250 Peran Perwakilan Parlemen


Pengaruh Pimpinan Parpol pada Kinerja Anggota
Pimpinan-pimpinan parpol terkadang mempengaruhi kinerja
individu anggota. Kita berharap tekanan parpol masih kuat sehingga
yang menjadi hulu dari parlemen semakin kredibel, legitimate, dan
juga semakin akuntabel karena kita ini petugas yang kadang memilih
yang tidak kita sukai. Itu faktanya. Politiknya adalah kombinasi kapan
muncul, seninya terletak di situ, yaitu ketika parpol dan fraksi masih
belum modern. Jika transparansi dibuka, maka pasti negosiasi-
negosiasi gelap akan hilang dan terutama etika dari anggota akan
membaik.

Beberapa waktu lalu misalnya, terjadi dalam rapat panitia


anggaran, ada satu Anggota yang mengusulkan proyek seragam di
Jawa Tengah yang harus dinaikkan. Kami mengetahui tujuan orang
tersebut adalah mendapatkan proyek mengurus seragam. Andaikan
rapat-rapat tersebut dilakukan secara terbuka, maka Anggota
tersebut akan hati-hati. Memang harus masih ada rapat yang ditutup,
misalkan soal BIN atau intelejen, tetapi kalau ngomong tentang
subsidi atau anggaran kemiskinan maka itu konyol kalau ditutup.
Makanya memang, statement-nya harus dibuka di dalam Tatib,
kecuali memang yang harus tertutup misalkan mendengar pendapat
saksi yang harus diproteksi karena saksinya ingin tertutup. Hari ini,
pembahas berseteru karena tiba-tiba tadi Panitia Angket hanya karena
konsultasi dengan BPK secara tertutup, wartawan disuruh keluar
dan pembahas memprotes sehingga akhirnya semua mendukung
terbuka. Terkadang, meskipun di awal yang disepakati terbuka, tiba-
tiba bisa saja pimpinan membuat deal tersendiri untuk tertutup. Jadi
memang harus terus diingatkan dan didorong untuk dibuka. Protes
yang dilakukan pembahas ternyata membangunkan banyak Anggota
DPR yang semula belum memiliki tradisi untuk terbuka dan akuntabel
dalam prakteknya, kulturnya masih Orde Baru.

Satu hal lagi pendapat yang menjadi berbeda dengan pembahas


sebelumnya adalah pentingnya juga membangun nation and character
building. Itu concern pembahas. Jika liberalisasi anggota DPR boleh

Peran Perwakilan Parlemen 251


melakukan apa saja, maka nanti bisa seperti Brazil. Brazil memiliki
pemilihan distrik terbuka murni sehingga tidak ada yang namanya
disiplin partai ketika akan melawan partai dan seterusnya, tetapi
dengan catatan partainya benar sehingga mendispilinkan anggotanya
menjadi relevan. Kalau partainya buruk maka disiplinnya buruk maka
korupsi akan makin merajalela. Ketika diliberalkan seperti di Brazil dan
Rusia berlandaskan pada kompetisi bebas, tetapi karena parpolnya
belum beres nanti orang bilang menang karena dirinya sendiri. Hal ini
yang membuat takut partai kami yang coba bermain antara otoritas
partai dan pemilih. Jadi, dibuat antara BPP (bagian pembagi pemilih)
dan nomor urut. Mengherankan pada sikap Golkar, paling kencang
mengusulkan, tiba-tiba berubah, PKS malah yang dulunya setuju suara
terbanyak tiba-tiba memilih untuk sesuai dengan undang-undang.
Partai-partai yang mengusulkan dan memperjuangkan nomor urut
sudah pada berubah, kalau PAN memang sejak awal mengusulkan
suara terbanyak.

Pembahas setuju dengan adanya nation and character building


bukan full kompetisi karena perilaku DPR sekarang masih aneh dan
kalau dibiarkan akan makin tambah aneh. Mungkin masih transisi
demokrasi, kalau tidak setuju malah kita masih belajar karena
pengangkatan/perekrutan belum base on competency, base on
competition, dan base on integrity, jadi masih feodal sehingga jangan
dilepas dulu.

Mengenai ide yang melemahkan fraksi, diantaranya disebabkan


oleh adanya sistem yang belum establish. Meskipun belum efisien,
Fraksi masih efektif untuk mengatasi blunder. Konsultasi memang
masih rawan, tetapi kadang-kadang bisa menyelesaikan putaran-
putaran proses tadi karena semua fraksi yang lima persen tiba-tiba
kekuatannya sama dengan yang 30 persen. Jadi yang paling penting
proses yang ada di hulu. Parlemen itu merupakan hasil dari proses
yang ada di hulu.

252 Peran Perwakilan Parlemen


219
Tanggapan 3
Hulunya sebenarnya bukan hanya di partai politik dan fraksi
tetapi karena memang sudah diurai dari konstitusi. Pasal 22 E sudah
mengatakan, para peserta pemilu adalah partai politik. Secara
konstitusional kita tidak bisa mengatakan bagaimana mengurangi
peranan partai politik. Sebetulnya bukan mengurangi tetapi yang
lebih tepat adalah memodernisasi.

Pemahaman Anggota Dewan terhadap


Kondisi
Dapilnya 220

Kompetisi bisa diwujudkan di dalam Tatib. Menurut pembahas,


fraksi juga harus mempunyai Tatib sebagai aturan main pelembagaan
fraksi. Yang tadi disampaikan, mengenai liberal tadi, mengacu pada
kebebasan yang harus ada aturan, bukan berarti tidak diatur. Ada
standar dalam Tatib, misalnya mengenai ketajaman pembicaraan dan
solusi masalah, sehingga begitu masuk menjadi anggota parlemen,
bisa belajar. Hal seperti itu yang akan membuat kompetisi bisa berjalan
dan semua orang bekerja secara baik dan produktif. Aturan main juga
ditujukan untuk menghilangkan konspirasi di dalam DPR.

Beberapa hal yang ditulis dalam makalah Pembahas Utama


bahwa Anggota mesti tahu betul detail dari Dapil-nya. Jadi, ada
kewajiban di dalam Tatib fraksi yang mengatakan Anggota harus tahu
semua yang terkait dengan Dapil-nya. Setiap anggota fraksi, begitu
masuk dalam fraksi memiliki peta masalah sosial di Dapilnya dan apa
yang akan dilakukan. Itu harus diwajibkan kepada anggota fraksi
sehingga dia bisa menjiwai konstituennya. Jadi representasi bukan
hanya terpilih tetapi memahami dengan sungguh-sungguh dan bisa
merumuskan permasalahan ke dalam solusi masalah dan ke dalam
formula-formula kebijakan publik. Oleh karena itu, kuncinya di calon
yang tidak main-main. Kalau artis yang diajukan kebanyakan bisanya

219 Rusman Lumban Toruan (Pembahas FGD


220 Arbi Sanit (Pembahas Utama FGD 5)

Peran Perwakilan Parlemen 253


hanya menampang. Jika dosen juga bukan sembarangan dosen,
terutama kalau tidak ada pemahaman masalah.

Fraksi harus efisien. Lengkapi anggota fraksi dengan tugas


yang didetailkan sehingga tahu apa yang harus dikerjakan. Ada daftar
tugas. UU Pemilu tidak mengatur persyaratan wakil rakyat yang punya
kemampuan jadi pemimpin. Kalau sekedar orang yang populer masuk,
maka dia diberi tugas oleh fraksi.

Ada baiknya fraksi mempunyai rumah. Jika anggota tidak


bekerja di Jakarta, dia tinggal di daerah supaya berkomunikasi
dengan baik dan ada komitmen yang dibangun dan perjuangkan. Hal
tersebut penting dikondisikan, karena harus ada kondisi sosial yang
memaksa anggota itu menjadi efektif. Jadi tanggungjawabnya yang
ditekankan.

Pembahas berkesimpulan bahwa kekacauan negara ini


karena kebanyakan dari kita mengutamakan hak sementara
tanggungjawabnya justru diabaikan. Jika masing-masing anggota
sudah bertanggungjawab maka tidak akan ada banyak partai karena
mereka tahu jumlah kursinya. Kalau hanya 2-3 kursi, maka tidak ada
gunanya dan hanya akan didagangkan kepada partai besar. Itu fungsi
operasi partai kecil. Jika dia (partai kecil) bertanggungjawab, dia akan
bergabung dengan partai besar yang ada. Pembahas berkesimpulan
bahwa orang memilih tidak bertanggungjawab dalam kondisi
seperti ini, tetapi yang Golput yang bertanggungjawab daripada
yang memilih, karena tahu yang dipilih tidak memberi harapan. Itu
peringatan pentingnya golput.

Perdebatan tentang Komposisi Ideal Fraksi


Membatasi jumlah fraksi mungkin benar. Apakah dalam UU
Susduk mengarahkan fraksi hanya menjadi dua? Sistem presidensial
dengan banyak fraksi memang amat sulit. Jadi kalau tidak bisa
menyederhanakan partai menjadi dua dalam pemilu, maka fraksinya
dipaksa setelah pemilu menjadi dua fraksi, yaitu fraksi yang mendukung

254 Peran Perwakilan Parlemen


pemerintah dan satu lagi adalah fraksi oposisi. Jika aturan semacam ini
tidak ada dalam UU Susduk maka oposisi tidak akan bisa bekerja karena
tidak mendapat hak-hak yang jelas. Jadi, dijelaskan juga di dalam UU
Susduk bahwa fraksi pendukung pemerintah harus konsisten. Apakah
mereka (DPR) bisa menyetujui UU seperti itu? Multifraksi memang
cocok untuk sistem parlementer dan tidak untuk sistem presidensial.
Fraksi tidak harus ganjil tetapi kalau bisa cuma dua saja. Kalau jumlah
fraksi disederhanakan maka dengan sendirinya ada koalisi.

Mengenai gotong royong. Gotong royong itu di level masyarakat


memang untuk bersama-sama karena untuk kepentingan publik.
Tetapi inikan gotong royong politik, tentu tidaklah tepat.

221
Tanggapan 1

Fenomena Golput dari pemilu ke pemilu semakin meningkat. Ada


beberapa hal, diantaranya karena parpol memang hulunya. Peran
artikulasi politik, pendidikan politik, atau sosialisasi politik belum
dilakukan parpol sehingga kita dapat melihat dari fenomena Pilkada
misalkan, golput luar biasa dan kemungkinan di Pemilu mendatang
juga akan makin tinggi. Jika kita kemudian bersepakat untuk golput,
pembahas tidak setuju karena pada kenyataannya, ada partai-partai
yang menurut kita sebenarnya sudah melakukan proses kaderisasi
luar biasa. Yang harus kita ingatkan kepada partai-partai adalah
bagaimana menjalankan fungsi dan perannya dengan baik.

Mengenai fraksi yang belum bisa menjalankan aspirasi dengan


baik, karena memang Susduk –aturan-nya belum baik. Jika dikatakan
bahwa fraksi dan partainya masih belajar, maka harus ada dorongan
dari masyarakat, karena kita tetap butuh negara dan parlemen.
Bagaimana hal ini bisa dikuatkan? Maka dua elemen harus tetap
dirangkul antara masyarakat sipil dan parpol.

Pembahasan mengenai representasi, terutama representasi


kepentingan, bagaimana perempuan sebagai pemilih tertinggi
dengan 53 persen tetapi perwakilannya masih rendah. Pembahas

221 Masruchah (Pembahas FGD 5 sebagai Sekretaris Jenderal KPI).

Peran Perwakilan Parlemen 255


berpendapat bahwa di Susduk harus ada perwakilan berdasarkan jenis
kelamin dalam rekrutmen politik yang tidak hanya dilegislatif tetapi
juga di eksekutif. Penting juga untuk melakukan matrikulasi tentang
hal ini. Syarat menjadi anggota DPR yang sensitif memang harus ada
aturan. Jika melihat situasi sekarang ini agak sulit, masyarakat tidak
secara baik melihat wakil dalam proses pemilu nanti, harus ada uji
publik sebagai pendidikan politik kepada rakyat. Problem di pemilu
2009, negara ini sudah dipandang demokratis, maka tidak ada lagi
dana untuk voter education yang ada peningkatan kualitas caleg. Hal
ini akan menjadi soal jika partai tidak memikirkannya, hal ini sehingga
rakyat tidak akan semakin jauh. Saya yakin partai tidak punya sistem
kaderisasi yang baik mulai dari tingkat ranting hingga pusat.
222
Tanggapan 2

Bagaimana memonitor aspirasi masyarakat yang masuk ke fraksi?


Apa solusi atau masalah yang belum tersosialisasikan? Apa dampak
golput dari sisi positif maupun negatif?
223
Tanggapan 3

Bagaimana anggota Dewan menjabarkan aspirasi konstituennya


di dalam rapat-rapat yang dilaksanakan di DPR? Kalau melihat
kenyataan yang ada, banyak sekali rapat-rapat yang dilaksanakan di
DPR sangat minim dihadiri oleh anggota Dewan hingga selesai.
224
Tanggapan 4

Mengenai posisi fraksi memang harus diperjelas. Jika fraksi


merupakan perpanjangan partai politik, maka partai harus punya
fraksi. Fraksi dalam pengertian itu tidak berada di parlemen, tetapi di
luar. Konsekeunsinya anggarannya juga bukan anggaran negara tetapi
menjadi tanggungjawab partai politik. Jika fraksi dalam pengertian
seperti ini, maka wibawa parpol sangat ditentukan oleh fraksi. Fraksi
nantinya merupakan tempat pergulatan masyarakat ke dalam ideologi
222 Beginda Pakpahan (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli Fraksi Kebangkitan Bangsa).
223 Virgiani Rahayu (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli Fraksi Partai Golkar).
224 Sebastian Salang (Pembahas FGD 5 sebagai Direktur Eksekutif dari FORMAPPI).

256 Peran Perwakilan Parlemen


partai, lalu kemudian didorong ke dalam parlemen hingga kebijakan.
Dia (fraksi) berada di luar parlemen. Namun, nampaknya tidak seperti
itu. Kalau fraksi merupakan pengelompokan politik maka fraksi
harus ada di parlemen dan jumlah fraksi cukup dua, yaitu oposisi dan
pendukung pemerintah. Fraksi yang kita pahami hari ini tugasnya
tidak jelas, tetapi menggunakan anggaran negara. Masing-masing
partai politik menjaga fraksi agar punya kewibawaan dan staf-staf ahli
yang paling hebat ditempatkan di fraksi dan menyiapkan gagasan
partai terhadap hal tertentu yang diperjuangkan di dalam parlemen.
Mereka (staf ahli) menyiapkan skala prioritas, menggodok, dan
merumuskan sehingga anggota fraksi akan yakin untuk tampil. Fraksi
yang kita pahami hari ini terjadi kerancuan yang macam-macam, di
satu sisi semuanya ingin mendapat fasilitas negara dan di sisi lainnya
fraksi menjadi perpanjangan partai untuk mengontrol anggotanya di
parlemen. Seringkali tidak ada bedanya antara staf ahli fraksi dengan
staf ahli komisi. Sebenarnya, staf ahli di fraksi adalah mereka yang
memahami dengan benar ideologi partai. Jadi, bukan hanya sekedar
staf ahli yang dicomot dari mana-mana yang tidak memahami ideologi
dan garis perjuangan partai.

Menurut pembahas, jika ingin mendorong fraksi sebagai


pengelompokan kepentingan politik seharusnya hanya ada dua
fraksi di dalam Susduk, atau paling banyak tiga. Rinciannya adalah
fraksi oposisi, fraksi pendukung pemerintah, dan fraksi alternatif jika
terjadi kebuntuan. Ada persyaratan yang dibuat, anggota fraksi boleh
pindah tetapi cukup sekali. Ketika dia (anggota) pindah karena alasan
yang jelas dan aturan yang jelas. Hal ini kemudian menjadi jelas,
masyarakat juga menjadi jelas fraksi mana yang harus di lobby atau
didukung. Sekarang ini tidak jelas, kalau sebelumnya menolak tetapi
kemudian mendukung karena ada iming-iming dari pemerintah. Hal
ini harusnya ada perbaikan untuk masuk di UU Susduk.
225
Tanggapan 5

Dalam sistem politik modern, bisa saja dikatakan ada dua fraksi;
oposisi dan pendukung pemerintah. Pembahas lebih memilih sistem
225 Handoyo (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli FPKS).

Peran Perwakilan Parlemen 257


parlementer, artinya ada kejelasan jenis kelamin. Tetapi, saat ini tidak
ada ketegasan tersebut. Ada edukasi politik yang baik dilakukan
Fraksi PDIP yang dengan tegas mengatakan “kami oposisi” meskipun
istilah tersebut tidak terlalu dikenal dalam sistem seperti ini. Tetapi
lepas dari itu, tidak hanya aspirasi masyarakat sebagai aspek yang
dipilih, namun fraksi mempunyai variabel lain (yaitu ideologi partai
atau platform) dalam mengambil kebijakan atau memilih altenatif-
alternatif kebijakan. Menurut pembahas, mengambil atau tidak
mengambil aspirasi masyarakat sebagai pijakan pengambilan
kebijakan juga menjadi hak partai. Artinya, belum tentu juga aspirasi
yang mengemuka diinginkan banyak orang atau bermanfaat kelak
dikemudian hari bagi Indonesia.

Terkait dengan persoalan Dapil, dalam praktek sesungguhnya


ada modus yang relatif baik ketika ada kaukus-kaukus daerah yang
semakin diperkuat, sehingga tidak hanya ada sosialisasi sebelum
dipilih tetapi juga setelah dipilih secara masif di tempat-tempat
publik. Hal ini dilakukan lintas fraksi, tetapi faktanya juga tidak bisa
menafikan ketika ada sesuatu yang buruk ataupun yang baik di DPR,
maka kita tidak dikatakan bahwa yang buruk hanyalah “Fraksi X”. Peran-
peran menjalankan karakter representasi sangat baik dimainkan dan
disosialisasikan di Dapil tertentu. Pembahas berpendapat bahwa, jika
akan dilakukan penguatan tidak hanya diatur di fraksi tetapi juga di
Dapil yang sama karena penting dan biasanya tersebar di beberapa
alat kelengkapan.
226
Tanggapan 7

Untuk pembahas (Anggota DPR), siapa yang mewakili kelompok-


kelompok kepentingan, misalnya kepentingan buruh, petani,
perempuan, dan lain-lain? Setiap kelompok punya fraksi kepentingan
juga karena mereka tidak homogenus. Pertanyaan selanjutnya,
bagaimana fraksi-fraksi bisa mengelompokkan kepentingan dari
kelompok-kelompok kepentingan? Bagaimana kepentingan tertentu
bisa digabung atau dicocokkan dengan kebijakan-kebijakan atau opsi
kebijakan fraksi? Bagaimana pengalaman pembahas utama (Anggota
226 Frank Feulner, Ph. D (Pembahas FGD 5 sebagai konsultan proyek UNDP).

258 Peran Perwakilan Parlemen


DPR) di dalam fraksinya? Bagaimana solusi atau rekomendasi kepada
fraksi lain bahwa ada hubungan antara kebijakan atau opsi kebijakan
mewakili kelompok kepentingan atau memberikan opsi pilihan
kepada konstituen di fraksi yang ada di DPR? Untuk sementara, jika
satu kelompok tidak sukses bertemu –sependapat- dengan salah satu
fraksi mereka akan mencari dengan fraksi yang lain, tetapi opsi-opsi
kebijakan tidak dibicarakan karena respon dari fraksi sangat umum.
Sampai sekarang belum di-breakdown.

Klarifikasi
227

Tanggapan tadi sebenarnya lebih pada akuntabilitas seorang


politisi. Jika seseorang misalnya ingin menjadi Anggota DPR berasal
dari Kediri, maka dia harus mempunyai basis konstituen. Jika
konstituennya adalah buruh pabrik rokok, maka dia harus menguasai
dari A-Z segala hal tentang rokok itu. Misalnya, PKS tiba-tiba mau
mengharamkan rokok, maka dia harus bela (buruh pabrik rokok).
Jadi, tidak bisa partai seperti supermarket yang merespon semua
kepentingan buruh. Dalam platform, akuntabilitas basisnya adalah
individu. Dalam platform PDIP tidak spesifik buruh yang mana, tetapi
wong cilik yang diterjemahkan sebagai kaum buruh, nelayan, dan
petani. Tetapi, itupun masih lemah bagaimana operasionalisasinya.
Kalau kita berbicara bagaimana akuntabilitas kita sebagai politisi,
maka elemen konstituen itu yang menjadi penting. Anggota tidak
harus menjadi ahli semuanya, misalkan mengenai buruh metal
yang dia tidak mengerti karena bukan merupakan konstituennya.
Jika konstituennya dari buruh pertambangan maka dia akan belajar
mengenai pertambangan. Karena pembahas di Kediri, pembahas
harus mengerti mengenai rokok, isu normatifnya, isu strategis, problem
hukumnya, jadi lebih merupakan platform individu yang merupakan g
dari platform partai yang belum operasional dan spesifik.

Di PDIP ada Divisi Pengaduan, ada petugas yang standby dengan


nomor HP-nya yang dimilik semua orang untuk mengatur kalau ada
pengaduan. Karena memang problem representasi yang agak kacau,
227 Eva Kusuma Sundari (Pembahas Utama FGD 5).

Peran Perwakilan Parlemen 259


jadi memang kelompok kepentingan pun sasarannya ke semua fraksi
tanpa melihat fraksi mana yang mempunyai mandat atau konstituen
yang terkait dengan isu yang diadukan. Kebanyakan selalu PDIP yang
disasar, baru kemudian siapa yang mau terima. Jadi agak kasihan
juga rakyat yang tidak mengerti cara menyampaikan aspirasi atau
tuntutan, bahkan semua yang dituntut itu lebih bersifat advokasi.
DPR itu jadi seperti LSM, bukan policy making tetapi kasus. Hal ini
nampaknya akibat proses penegakkan hukum di daerah yang macet
dan semuanya memilih ke Pusat agar dapat perhatian.

Kembali ke pertanyaan, bagaimana sebaiknya fraksi dan


bagaimana membentuknya. Pembahas mempunyai postulat bahwa
sebuah negara tidak harus mengikuti makna yang harus diikuti. Seluruh
negara mix sistem antara parlementer dan presidensil, tidak ada yang
murni. Mungkin bisa diikuti westmindster gaya Inggris atau Amerika
tetapi yang lain itu campur. Prancis agak aneh gaya presidensialnya.
Australia agak taat tetapi begitu berbicara mengenai postur komite
tidak sama. Memang banyak perkembangan dan Indonesia mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan atau mencari sistem yang cocok.
Kalau fraksi yang selama ini belum mencerminkan garis ideologi,
ini memang output yang sudah lama dibangun dan sekarang masih
tidak jelas. Memang jika dibagi antara (fraksi) oposisi dengan (fraksi)
pemerintah, agak berat karena banyak orang lebih suka abu-abu dan
tidak tegas mana yang rulling party dan oposisi. Pengalaman di UU
Pemilu, fraksi hanya mencari yang menguntungkan fraksi sendiri. Lebih
sehatnya, memang harus ada pengelompokan kepentingan supaya
ada check and balances yang efektif, maka terwujudnya sikap politik
oposisi dan rulling party masih berjangka panjang. Bagi pembahas,
idealnya fraksi menjadi think-tank bagi individu-individu (anggota)
parlemen terutama karena supporting-nya belum mantap. Pembahas
juga mendukung ide bahwa harus ada performance indicator yang jelas
dari fraksi, seperti: tugas dan fungsi, output, sistem rekrutmen yang
akuntabel, dan monitoring kinerja anggota. Jika tidak berdasarkan
pada integritas dan kompetensi maka akan kembali ruwet.

260 Peran Perwakilan Parlemen


228

Klarifikasi
Golput memperingatkan partai. Jika Golput-nya sedikit, maka
perhatian Parpol kepada kondisi masyarakat lemah, tetapi jika
Golput-nya banyak baru diperhatikan. Jika kita perhatikan, demokrasi
yang berlangsung saat ini tidak dipersiapkan untuk demokrasi yang
maksimal tetapi untuk minimal democracy, yaitu hanya memilih orang
untuk duduk di parlemen tanpa harus tahu apa yang dikerjakan. Pemilu
tidak di-design demikian, meskipun bisa. Caranya adalah membuat
syarat atau kriteria yang jelas bagi pemimpin. Jika yang duduk di
parlemen itu adalah pemimpin yang sungguh-sungguh maka dia
pasti akan bekerja dengan benar. Lalu, bangunlah sistem partai yang
kuat, kondisikan agar Pemilu itu partai-partai berkoalisi. Hasil pemilu
adalah partai yang mayoritas. Pemimpin yang benar menjadi kuat
dan berkuasa sehingga menjadi stabil dan pemerintahan efektif. Lalu,
pemilu juga mengkondisikan supaya pemerintahan setelah pemilu
berlangsung haruslah konsisten atau tidak campur aduk dan disertai
dengan UU yang lain tentunya. Pemilu yang lebih luas hasilnya akan
memberikan manfaat yang banyak kepada demokrasi.

Mengenai fraksi, pilihannya adalah dua atau banyak fraksi, tidak


harus tiga karena Soeharto juga bikin tiga fraksi. Maksudnya, jika
ingin menggunakan cara untuk kompetisi, maka harus jelas siapa
lawan siapa. Dengan multipartai tidak jelas siapa lawan siapa, ini yang
menjadi persoalan. Kalau hanya dua maka jelas siapa mengontrol
siapa. Pembahas berpendapat bahwa masyarakat yang bodoh
seperti ini jangan dikasih barang rumit nanti dia tidak bisa pelihara.
Pembahas menggunakan bahasa yang dipertajam walaupun tidak
tepat supaya gampang ditangkap maknanya. Hal demikian untuk
menyederhanakan persoalan agar mudah ditangkap maknanya. Buat
masyarakat seperti kita diberikan sistem yang simpel dimana dia
(masyarakat) bisa mengerti, bisa terlibat, dan bisa mengambil untung
atau menerima kerugian. Bagi pembahas, lebih memilih sistem
presidensil ketimbang parlementer. Rakyat tidak bisa diajak berputar-
putar apalagi dengan sistem yang dikeruhkan. Mari kita ramai-ramai

228 Arbi Sanit (Pembahas Utama FGD 5).

Peran Perwakilan Parlemen 261


perjelas sistem ini. Nanti kalau penghasilan masyarakat Indonesia
sama dengan Singapore, kalau mau yang rumit tidak masalah.

Sekarang ini kita butuh yang sederhana karena transisi dari


masyarakat yang terbelakang ke masyarakat yang maju. Masalahnya
adalah sekalipun kita hendak mengkritik atau memperbaiki fraksi,
jangan lupa bahwa fraksi itu adalah alat partai. Fraksi walaupun milik
partai tetapi barang selundupan di dalam DPR karena dia bukan
alat atau badan kelengkapan. Hal ini yang menjadi masalah, kalau
dijadikan badan kelengkapan maka dia menjadi milik negara bukan
milik partai lagi.

Antara Sistem Presidensial dan Parlementer


di Indonesia
Pembahas menolak bahwa parlementer lebih tegas. Jangan
melihat sistem presidensial di bawah Soekarno atau Soeharto, karena
sistem yang berlaku pada saat itu tidak presidensial murni karena acak-
acakan atau tidak jelas dan yang pasti otoriter. Jadi jangan mengacu
pada era Soekarno dan Soeharto, karena akan mengakibatkan
perspektif kita mengenai sistem presidensial menjadi ancaman.
Indonesia hanya pernah parlementer mulai Oktober 1945 hingga Juli
1959. Itu parlementer yang murni. Tetapi, sejak kembali ke UUD 1945
dengan Dekrit, sistemnya kembali menjadi gabungan, karena UUD 45
itu banci dalam menentukan sistem pemerintahan. Presiden dipilih
oleh MPR, bertanggungjawab kepada MPR, dan bisa dijatuhkan oleh
MPR. MPR adalah parlemen karena dipilih dan disana ada utusan
daerah maka jadilah parlementer. Tetapi dikatakan lagi bahwa Presiden
tidak dijatuhkan selama lima tahun, maka presidensil dia. Kedua-
duanya dikatakan di UUD 1945 karena yang membuat tidak mengerti
tentang tata negara. Itu persoalannya. Itu kesalahan Soekarno-Hatta
yang tidak jelas membuat sistem. Sekarang juga parlemen tidak serius
dengan membuat UU Pemilu yang tidak serius. Saya kira memang ada
pusaka kesalahan tetapi kita tidak bisa melimpahkan saja melainkan
juga memperbaikinya. Oleh karena itu, sekarang kita melihat secara

262 Peran Perwakilan Parlemen


clear persoalannya mana yang harus kita lakukan dan mana yang
tidak boleh kita lakukan. Itu mesti jelas.

Orang mengatakan bahwa demokrasi sebagai bangunan


kesepakatan, tetapi kalau kesepakatan hanya asal kesepakatan, itu
namanya konspirasi. Jika kesepakatan untuk yang lebih baik jangka
panjang maka itulah demokrasi. Kalau kesepakatan karena takut akan
kesepakatan maka itulah konspirasi dan itulah yang kita lakukan dan
banyak sekali di negeri ini.

Mengenai aspirasi masyarakat, tadi dikatakan apakah anggota


DPR itu menampung aspirasi dalam bentuk advocacy atau policy.
Pembahas berpendapat bahwa kedua-duanya harus dilaksanakan,
karena sebagai politisi dia harus menolong konstituennya, sedangkan
advokasi dilaksanakan dalam kapasitasnya sebagai seorang
negarawan disamping parlemen bertugas membuat public policy.
Jadi dia mengeneralisasi persoalan bersama teman-temannya dari
daerah lain dan membuat kebijakan publik untuk seluruh masyarakat.
Tetapi berkaitan dengan keluhan konstituennya, itu namanya
advokasi dan itu bentuk kampanye seumur hidup, makanya tidak
perlu lagi kampanye sembilan bulan seperti sekarang, tetapi karena
advokasi tidak dilakukan maka kader partai harus berkampanye
selama sembilan bulan. Di dalam policy making tentu ada problema
bagaimana mentransfer isu-isu dari setiap golongan atau kelompok
masyarakat menjadi suatu masalah yang bersifat umum. Disitulah
peran fraksi. Fraksilah yang merangkai bahwa persoalan di tiap
daerah menjadi satu pandangan kebijaksanaan yang bersifat umum.
Itulah tugas anggota fraksi, sebagai negarawan paham apa yang
harus dikerjakan supaya dia terjamin terpilih kembali dan terjamin
melaksanakan tugasnya membuat kebijakan publik. Masing-masing
ada tanggungjawabnya, baik sebagai anggota fraksi maupun sebagai
anggota DPR. Jadi, kalau ada kesalahan semuanya terkait dan tidak
bisa terpisah-pisah.

Peran Perwakilan Parlemen 263


229
Tanggapan 1

Ada yang belum substansif dijawab dari pembahas (Anggota DPR).


Yaitu persoalan bagaimana kita merevisi UU Politik untuk memperkuat
sistem presidensial, bagaimana memperkuat posisi Presiden, tetapi
apa yang telah disampaikan tadi, posisi DPR juga cukup kuat, sehingga
seorang Panglima TNI dan Kapolri yang seharusnya merupakan bagian
dari eksekutif harus meminta persetujuan dari DPR.

Pembahasan menarik tadi adalah bagaimana mengefektifkan


fungsi fraksi untuk menyerap aspirasi masyarakat, apakah mungkin
bisa diatur dalam Susduk dan pengelompokannya tidak hanya
sejumlah fraksi tetapi berdasarkan fraksi pro pemerintah dan
oposisi. Peluangnya seperti apa? Kalau itu bisa, maka akan semakin
memudahkan juga tenaga ahli bekerja karena kita juga kadang-
kadang bingung dengan sikap yang mendua. Mengenai statemen
pembahas bahwa fraksi barang selundupan tidaklah benar karena
fraksi legal dan diatur UU.
230
Tanggapan 2

Mengenai benchmarking, apakah memungkinkan membuat


perfomance indicator dari masing-masing anggota diiatur lewat
Tatib atau Susduk sehingga mudah diakses. Paling tidak kontrol
publik terhadap performance anggota DPR bisa diakses lewat proses
tersebut.
231
Tanggapan 3

Karena tadi disebut-sebut tentang Golput, mungin juga perlu


nomenklatur Golput perlu dipahami. Koran hari ini mengatakan ada
30 juta orang yang berhak memilih namun belum terdata. Kalau benar
lebih dari 30 juta berarti lebih dari 15 persen dari total pemilih. Jika
nanti Golput lebih dari 40 persen, sebenarnya konstituen parpol lebih
dari 60 persen. Jadi tidak benar 60 persen itu adalah konstituennya
229 Andi Rusnandi (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PPP).
230 Audy Wuisang (Pembahas FGD 5 sebagai tenaga ahli Fraksi PDS).
231 Rusman Lumban Toruan (Pembahas FGD 5 sebagai tenaga ahli Fraksi PDIP).

264 Peran Perwakilan Parlemen


parpol. Kemudian, perlu ada usaha memerangi Golput karena di sana
memang ada hak-hak rakyat yang perlu kita tingkatkan.
232
Tanggapan 4

Menanggapi soal Golput, perlu dibedakan tentang terminologi


Golput. Golput karena alasan administratif, tidak dapat dikatakan
Golput, karena Golput adalah pilihan yang sadar. Jadi, orang yang
punya hak pilih namun tidak terdata, adalah kesalahan KPU dan itu
harus dihukum karena sudah membunuh hak pemilih yang ingin
memilih. Golput yang kita bicarakan selama ini adalah orang yang
dengan sadar tidak memilih. Golput ini yang harus kita dukung.

Klarifikasi
233

Institusionalisasi fraksi bisa kita contoh di Jerman. Fraksi di


Jerman yang diinstitusionalisasi dan dibiayai oleh APBN adalah yang
oposisi untuk mencari kebijakan alternatif berdasarkan investigasi.
Sementara fraksi pendukung pemerintah tinggal relay on data yang
sudah dipunyai pemerintah. Jadi, fraksi oposisi dibiayai oleh APBN
sementara fraksi pendukung pemerintah tidak. Fraksi di Indonesia,
semuanya dibiayai hanya statusnya tidak jelas. Jadi, mungkin perlu
usul penegasan, status, dan jenis kelamin fraksi untuk menyehatkan
check and balances. Pembahas berpendapat bahwa segala sesuatu
harus diukur kinerjanya. Jika semua fraksi bisa memonitor anggotanya
dengan indikator yang fair, objektif, dan bisa diukur, mungkin
akuntabilitas politisi tidak punya waktu lagi untuk bergelap-gelap. Hal
ini menjadi instrumen kaderisasi yang dikendalikan oleh partai melalui
fraksi sehingga mutunya naik terus. Jangan sampai tidak dikontrol
dan hanya berdasarkan like and dislike. Jadi, kalau fraksi mau memakai
uang APBN maka output-nya harus ditentukan oleh publik. Fraksi
harus menjadi institusi publik yang mencerminkan akuntabilitas.

232 Sebastian Salang (Pembahas FGD 5 sebagai Direktur Eksekutif dari FORMAPPI).
233 Eva Kusuma Sundari (Pembahas Utama FGD 5).

Peran Perwakilan Parlemen 265


Berdasarkan pengamatan pembahas, di sana (Jerman), Dewan-nya
akuntabel, hearing dengan siapa, hasilnya apa, kenapa tidak disetujui,
mana yang di-endorse. Itu semua termonitor di website dan bahkan
membuka public hearing melalui email oleh fraksi. Jadi, orang dari Papua
tidak harus beli tiket untuk ke Jakarta. Jadi isu benchmarking problem
utamanya adalah komitmen politik dan ini menjadi PR buat kita.

Klarifikasi
234

Bagi pembahas, pada Golput tidak ada ancaman, bebas saja. Jika
bersungguh-sungguh demokrasi harusnya boleh kampanye untuk
memilih tetapi juga boleh kampanye untuk Golput. Golput tidak salah
karena itu hak untuk memilih dan hak untuk tidak memilih. Sekarang
mana hak yang disertai kewajiban. Itu saja.

Klarifikasi
235

Fenomena Golput berdasarkan pengamatan pembahas adalah,


bahwa semakin tinggi tingkat pendidikannya maka akan semakin
banyak golput. Golput itu kebanyakan lulusan sekolah tinggi. Semakin
kritis semakin sulit karena susah dimanipulasi. Ini fenomena umum,
Amerika saja tingkat Golput-nya tinggi. Ini bukan kasus yang specific
di Indonesia karena hal ini sudah fenomena umum.

234 Arbi Sanit (Pembahas Utama FGD 5).


235 Eva Kusuma Sundari (Pembahas Utama FGD 5).

266 Peran Perwakilan Parlemen


Rekomendasi Hasil FGD 5

Peran Fraksi dalam Mengelola Aspirasi Masyarakat


dan Menjadikannya Sebagai Basis Keberpihakan

1. Untuk mengefektifkan fungsi representasi DPR, dalam RUU Susduk


perlu dicantumkan rumusan:
- fungsi utama DPR adalah representasi yang diterjemahkan ke
dalam 3 fungsi yaitu leglislasi, pengawasan, dan anggaran.
- definisi atau pengertian tentang fraksi, dan
- bagaimana mekanisme pembentukan fraksi.

2. Upaya meningkatkan dan mengoptimalkan isu representasi:


a. Fraksi perlu diefektifkan dan diefisienkan melalui perumusan
standar kerja fraksi secara detail dan tegas untuk mengukur kinerja
anggota fraksi.
b. Perlu peningkatan kualitas kemampuan anggota fraksi melalui
penguatan penguasaan isu-isu normative dan problem- problem
yang dihadapi oleh konstituen.
c. Perlu membangun rumah aspirasi di daerah dan devisi pengaduan
di tiap-tiap fraksi, serta penguatan advokasi untuk menyalurkan
aspirasi rakyat.
d. Perlu dukungan dari Sekretariat Jenderal berupa supporting sistem
yang handal tidak terbatas pada tenaga-tenaga administrasi tetapi
juga tenaga-tenaga handal yang bertugas menyiapkan policy paper
berkaitan dengan tugas-tugas dewan.
e. Perlu pembenahan birokrasi Sekretariat Jenderal DPR melalui
pembentukan standar operasional prosedur perijinan yang lebih
fleksibel dan reponsif terhadap inisiatif rakyat.
3. Fraksi perlu melakukan pembenahan dan merumuskan secara tegas
dan jelas mengenai:
a. tugas dan tanggung jawab masing-masing anggota fraksi.
b. sistem rekrutmen.
c. membangun monitoring kinerja anggota.

Peran Perwakilan Parlemen 267


4. Untuk mendorong optimalisasi pelembagaan perwakilan politik
anggota fraksi terhadap konstituennya, di dalam UU Susduk dan
Peraturan Tata Tertib DPR perlu diatur mengenai indiktator perwakilan
politik yang didasarkan pada kompetensi politik dan pelembagaan
fraksi dan komisi. Rumusan pengaturan indikator perwakilan politik
tersebut terbagi dalam dua tahap, yaitu:
a. Tahap transisi demokrasi:
- kepentingan partai: 40%
- Kepentingan diri anggota fraksi: 30 %
- Kepentingan rakyat: 30%
B. Tahap konsolidasi:
- kepentingan partai: 15 – 25 %
- Kepentingan diri anggota fraksi: 15 - 25 %
- Kepentingan rakyat: 30%

FGD 6
236

Peran Media dalam Mendorong


Peningkatan Kinerja Anggota DPR
dan Partisipasi Politik Masyarakat

Pokok masalah diskusi: Peran media adalah instrumen penting bagi upaya
mendorong peningkatan kinerja, sebagai bentuk akuntabilitas Anggota kepada
masyarakat dan upaya mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam melakukan
kontrol dan menyampaikan aspirasi kepada Anggota DPR.

236 FGD 6 dilaksanakan di Ruang Pansus A, DPR, Kamis, 28 Agustus 2008.

268 Peran Perwakilan Parlemen


Pokok bahasan diskusi terkait dengan peranan media yang tidak timpang dalam
pemberitaan tentang aktifitas politik Anggota. Pemberitaan diharapkan tidak saja
meliputi hal-hal negatif tentang DPR tetapi juga best practices aktifitas Anggota DPR.
Hal ini tentu menjadi bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat: i) Uraian tentang
efektifitas peranan media dalam membangun dan meningkatkan kualitas demokrasi
di parlemen Indonesia. Uraian juga memasukkan best practices keterlibatan media
dalam proses demokratisasi di parlemen negara-negara lain; ii) Uraian tentang sudut
pandang media dalam melakukan pemberitaan tentang kegiatan Anggota/DPR RI/
Fraksi/Parpol yang terkait dengan pemenuhan kewajibannya sebagai wakil rakyat; iii)
Hasil dan kesimpulan analisa terhadap beberapa media cetak untuk menguji peran
media tersebut dalam mendorong peningkatan kualitas kinerja Anggota DPR dan
partisipasi politik masyarakat. Analisis berita akan dilakukan misalnya pada penyajian
content berita oleh media terkait; iv) Uraian tentang sejauhmana Anggota dan DPR
menggunakan media sebagai salahsatu sarana bagi pemenuhan prinsip akuntabilitas
yang disampaikan kepada masyarakat; v) Strategi dan menejemen pencitraan
Anggota DPR melalui media massa, baik dilakukan atas inisiatif perorangan Anggota
dan secara kelembagaan DPR RI; vi) Deskripsi tentang ketersediaan dan kemudahan
akses data dan informasi terkait kinerja Anggota dan DPR secara kelembagaan; vii)
Deskripsi pengalaman Anggota dalam melibatkan media massa untuk memberikan
informasi tentang kegiatannya atau kegiatan fraksinya. Demikian halnya informasi
tentang pembahasan penyelesaian persoalan-persoalan yang dibahas di DPR; dan
viii) Rekomendasi tentang hubungan ideal yang dapat dibangun oleh Anggota dan
DPR secara kelembagaan dengan media sebagai mediator hubungannya dengan
konstituen/masyarakat.

Peran Perwakilan Parlemen 269


Dinamika Forum :
Pembahasan Pengantar

237

Prinsip Representasi dalam Konstitusi


Pembahas menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada forum ini yang membahas Peran Media dalam Mendorong
Peningkatan Kinerja Anggota DPR dan Partisipasi Politik Masyarakat.
Atas prakarsa pelaksana yang secara khusus melakukan pendalaman
terhadap representasi yang harusnya diperankan oleh DPR sebagai
lembaga perwakilan. Konstitusi hanya mengenal bahwa DPR punya
wewenang terhadap legislasi, budgeting, dan pengawasan.

Fungsi perwakilan parlemen mendapat sedikit pengaturan


dalam UU Susduk, sedangkan dalam prakteknya sangat banyak
tugas parlemen yang berkaitan dengan aspirasi masyarakat. Pada
sisi yang lain masih terdapat pemahaman prinsip perwakilan yang
berbeda mengenai apakah anggota mewakili rakyat atau partai,
mengingat pada tataran praktek anggota parlemen lebih memilih
pada kepentingan partai sebagai dampak keberadaan sistem recall.
Oleh karena itu, fungsi perwakilan perlu diformulasikan secara tegas
dan diatur mekanismenya dalam UU Susduk dan Tata Tertib DPR.

Aspek perwakilan dalam kerangka menyuarakan kepentingan


konstituen bersifat krusial dalam proses penguatan demokrasi,
karena pengabaian pada kepentingan rakyat berpotensi menjauhkan
parlemen dari konstituen. Namun fungsi perwakilan parlemen di
Indonesia sampai sekarang masih ditanggapi secara berbeda, pertama
oleh masyarakat yang merasa aspirasinya kurang terakomodasi dalam
proses pembuatan kebijakan publik dan kedua oleh partai politik yang
237 HR. Agung Laksono (Pembahas Utama FGD 6 sebagai Ketua DPR/Anggota Fraksi Partai Golkar).

270 Peran Perwakilan Parlemen


merasa induk atau sumber dari seorang anggota parlemen. Idealnya,
setiap anggota parlemen bekerja untuk kepentingan konstituennya
dan tidak dibatasi oleh kepentingan partai karena pada dasarnya
eksistensi partai bertumpu pada konstituen dan aspirasi konstituen
diasumsikan sebagai visi dan misi partai.

Dilema Anggota DPR Mewakili Rakyat atau Partai


Pertanyaan lama apakah anggota DPR mewakili partai atau
konstituen dari Dapil-nya. Selalu muncul anggapan bahwa biasanya
anggota parlemen lebih cenderung setia kepada partainya daripada
konstituennya. Hal ini dapat dimaklumi, karena partainya masih bisa
memecat sedangkan konstituen sampai sekarang masih belum bisa
memecat.

Aspek kepentingan dalam rangka menyuarakan kepentingan


konstituen bersifat krusial dalam proses penguatan demokrasi,
sebab pengabaian kepentingan masyarakat berpotensi menjauhkan
parlemen dari konstituen. Pertanyaan kritis berkaitan dengan fungsi
perwakilan sampai saat ini masih menimbulkan tanggapan yang
berbeda-beda baik dari sudut pandang masyarakat yang merasa
kepentingannya kurang terakomodasi dalam proses pembuatan
kebijakan publik, seperti pemangku kepentingan yang sangat
besar sehingga mereka datang ke DPR, bisa langsung ke pimpinan
atau ke fraksi-fraksi bahkan ada yang melakukan lobby langsung ke
anggota-anggota Pansus. Sehingga, kepentingan-kepentingan para
pemangku kepentingan bisa terakomodasi dengan baik. Dalam
pandangan pembahas secara ideal, setiap anggota parlemen bekerja
demi kepentingan konstituennya, tidak dibatasi oleh kepentingan-
kepentingan partai sebab pada dasarnya eksistensi parpol bertumpu
pada masyarakat pendukung itu sendiri dimana aspirasi konstituen
diasumsikan juga mengenal dan mengerti dengan visi dan misi partai.
Terlebih, sekarang ada usulan amandemen dari 60 anggota DPR dalam
UU Pemilu No. 10 tahun 2008 yang berkaitan dengan penetapan
calon legislatif agar ada pilihan (opsi), tidak hanya nomor urut di atas

Peran Perwakilan Parlemen 271


perolehan suara 30 persen (dari BPP) tetapi juga suara terbanyak. Jadi,
ada keinginan untuk diakomodasikan ke Undang-Undang sehingga
negara memberikan pilihan kepada masing-masing partai. Tentu saja
kepentingan konstituen dengan sistem ini akan lebih menonjol, karena
para calon anggota DPR di kemudian hari akan sangat bergantung
kepada konstituennya.

Peran Media dalam Menunjang Kinerja


dan Akuntabilitas Anggota
Dalam melaksanakan fungsinya, parlemen memerlukan peran
media agar pelaksanaan fungsi tersebut dapat sampai ke masyarakat
dan sebaliknya masyarakat dapat memberikan umpan balik kepada
parlemen. Dalam hal ini media berperan sebagai saluran yang
menghubungkan berbagai kepentingan masyarakat, sekaligus
sebagai ruang tempat menyampaikan pengaduan bagi masyarakat
yang merasa kepentingannya diabaikan oleh pengambil keputusan.

Peranan media sebagai instrumen pencerdasan bangsa sangat


penting dan strategis serta misi yang diembannya sangat sentral
dalam rangka memperkuat demokrasi. Media senantiasa bersikap
kritis terhadap proses dan hasil perundangan yang dihasikan oleh
parlemen. Apalagi, beberapa di antaranya (UU) sudah ada yang
didrop oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap berlawanan
dengan UUD 1945 meskipun persentasenya kecil, lebih banyak
UU yang lama karena dengan amandemen UUD 1945 mereka (UU)
menjadi ketinggalan bahkan bertentangan. Tetapi, UU yang baru
persentasenya sangat kecil yang dianggap bertentangan dengan
UUD 1945 karena mekanismenya di Dewan sudah lebih ketat lagi,
bahkan beberapa UU harus mendapat pertimbangan dari DPD. Jadi
DPR, cukup berhati-hati dalam rangka “meng-goal-kan” suatu pasal,
dikaitkan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, perlu didukung peran
media sebagai salah satu sarana pemenuhan akuntabilitas publik oleh
anggota maupun institusi parlemen dan pada akhirnya media juga
ikut menentukan citra anggota dan institusi parlemen.

272 Peran Perwakilan Parlemen


Pembahas mendukung peran media sebagai salah satu sarana
pemenuhan akuntabilitas publik terhadap anggota atau institusi
parlemen, seperti yang sedang marak diberitakan saat ini dalam
kasus-kasus hukum yang melibatkan beberapa anggota DPR. Dari
berbagai sorotan masyarakat, tentu tidak lepas juga tolok ukurnya
dari fungsi dan peran anggota Dewan dalam konstitusi. Bagaimana
dengan pengawasan terhadap pemerintah? Itu biasanya ditentukan
dari seberapa jauh proses penggunaan hak-hak yang dimiliki Dewan
(hak interpelasi, hak angket, dan lain lain).

Kemudian mengenai legislasi, publik juga menilai dari kuantitas,


sekarang ini pembahasan RUU kurang dari 50 persen dari 250 RUU,
padahal waktunya tersisa kurang dari satu tahun. Hingga saat ini,
baru sekitar 120-an (UU). Mungkin, Oktober (2008) tanggal 24 sudah
bisa mencapai 50 persen. Pembahas memperkirakan bisa mencapai
hingga 60 persen lebih. Saat ini, sekitar 50 persen adalah pekerjaan
yang berat ditengah-tengah pergumulan di Dewan yang masa
transisinya begitu tinggi, di tambah lagi keadaan negara di tahun-
tahun awal. Kita semua tentu ingat bahwa di tahun pertama saja,
DPR disibukkan dengan pimpinan dari Koalisi Kebangsaan dan Koalisi
Kerakyatan yang sempat mencuat lalu akhirnya bubar, belum lagi
peristiwa Tsunami dan lain sebagainya sehingga menyedot perhatian
parlemen ke peristiwa-peristiwa tersebut. Ini menyebabkan waktu
yang tertunda sehingga efektif waktu yang dimiliki DPR hanya tiga
tahun. Diharapkan satu tahun terakhir juga sulit, di satu sisi sedang
mengurus daftar Caleg yang turun-naik, lalu yang sudah dapat
sibuk mengatur bagaimana jangan mengecewakan konstituen. Lalu,
bagaimana dengan partai yang menganut suara terbanyak? Jadi,
keadaan yang kurang menguntungkan bagi mempercepat tugas-
tugas legislasi.

Untuk membangun dan meningkatkan relasi yang sehat,


transparan, akuntabel, dan reliable antara anggota dan institusi
parlemen dengan masyarakat dan media pers diperlukan dukungan
ketersediaan dan kemudahan akses data dan informasi yang
berkaitan dengan kinerja anggota maupun DPR secara kelembagaan.
Transformasi sistem politik dan pemerintahan yang demokratis

Peran Perwakilan Parlemen 273


memerlukan dukungan media yang mendukung pelaksanaan fungsi-
fungsi parlemen secara kritis tanpa melupakan tanggung jawab kedua
pihak (media dan parlemen) untuk memperkuat demokrasi.

Peran media yang sangat penting dan tidak mungkin diabaikan


oleh parlemen adalah peran media sebagai partner parlemen dalam
menyediakan saluran atau ruang bagi partisipasi politik yang dilakukan
oleh masyarakat, khususnya dalam proses pengambilan keputusan
dan pembuatan kebijakan publik. Media perlu menyampaikan
pemberitaan tentang DPR secara berimbang dan memperbanyak porsi
informasi mengenai kegiatan-kegiatan DPR, partai politik, maupun
anggota. Untuk memberikan citra positif pada DPR, peran Juru Bicara
(Public Relation/PR) DPR memang diperlukan, khususnya dalam
menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kinerja parlemen,
namun kehebatan PR DPR juga harus didukung oleh perilaku anggota
secara individu.

Mengenai budget yang sempat mernarik perhatian, bukan soal


angka-angkanya tetapi prosesnya yang kemudian sekarang melibatkan
berbagai kasus-kasus yang muncul di masyarakat, terutama apakah
sampai harus diterjemahkan sampai pada satuan tiga per proyek atau
besaran-besaran secara politik saja. Bahwa APBN diseluruh dunia
memang sarat dengan muatan-muatan politik. Pembahas mengaku
sebagai Ketua DPR yang sering menjadi sorotan citra DPR, sering
terluka oleh kasus-kasus terkait ini. Jadi, di satu sisi kita mendorong
citra DPR dengan berbagai langkah-langkah peningkatan kinerjanya,
bahkan dibentuk Tim Peningkatan Kinerja DPR dengan pembahas
sendiri sebagai Ketua-nya, itu sering disorot dengan pemberitaan
yang berputar di kasus-kasus hukum. Dalam hal ini, pembahas juga
menyesalkan.

274 Peran Perwakilan Parlemen


Harapan Masyarakat terhadap DPR dalam
Perwujudan Good Governance
Oleh karena itu, diharapkan pemaknaan fungsi representasi
tadi seberapa jauh bisa ditarget dengan ketiga hak tadi (legislasi,
penganggaran dan pengawasan) terutama hak budget. Dalam rangka
mewujudkan good government, bagi publik tidak hanya menginginkan
keseimbangan antara executive branch dengan legislative branch tetapi
lebih jauh lagi ada transparansi. Jadi, ekspektasi masyarakat sangat
jauh sekali. Hal ini tidak mudah. Oleh karena itu, pemaknaan prinsip
representasi sangat penting menurut, sehingga bisa dirumuskan
dan diformulakan ke dalam UU. Pada saat menjadi Ketua DPR, di
awal-awal, pembahas selalu menyatakan bahwa DPR adalah rumah
rakyat, terbuka untuk publik, bukan hanya untuk dilihat-lihat, tetapi
bagaimana mengakses proses dan hasil pengambilan keputusan
supaya fungsi representasi segera bisa terwujud. Tetapi, sekaligus
juga sebagai pembelajaran kepada massa, sehingga tidak harus
merobohkan pagar atau bakar-bakaran, pada saat demontsrasi,
bagaimana kita mengelola ini dengan sebaik-baiknya tergantung
pada pemaknaan representasi itu sendiri.

Dalam kapasitas sebagai media publik, media dapat membangun


ruang dan mendorong partisipasi politik masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan. Hal ini merupakan peran media yang
sangat penting, di mana parlemen tidak mungkin mengabaikannya.
Partisipasi masyarakat memerlukan saluran dalam proses
pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan publik. Wacana
yang kita kembangkan ini dapat menyempurnakan kinerja parlemen
dalam berbagai bidang. Pembahas berharap UNDP-PROPER dapat
terus melanjutkan program-programnya –seperti ini- dalam rangka
meningkatkan kinerja ke-parlemen-an kita.
238
Pandangan 1
Berkaitan dengan apa yang telah disampaikan Bapak, peran
dari pada media, dalam hal ini kami sebagai tenaga ahli terkadang
238 Virgiani Rahayu (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli Fraksi Partai Golkar).

Peran Perwakilan Parlemen 275


prihatin. Beberapa hal, media memang sangat efektif untuk dapat
mensosialisasikan kebijakan-kebiajkan yang dihasilkan DPR. Tapi di
satu sisi, terkadang ada para pengambil kebijakan (anggota Dewan)
yang sering diwawancara pada saat rapatnya belum selesai. Jadi,
sudah diwawancara terlebih dahulu di luar sehingga seolah-olah
yang tampil di media itu adalah mereka, padahal yang bekerja bukan
orang-orang itu (anggota Dewan). Ke depan, mungkin pers juga bisa
lebih bijaksana menyoroti persoalan ini sehingga siapa yang bekerja,
dialah yang layak dapat expose.

Kemudian, beberapa liputan dari media massa, terkadang


beberapa pembicaraan itu dimuat secara tidak pas sehingga
masyarakat menilai, misalkan penyataan dari Pak Agung Laksono
berbeda dengan pemerintah, padahal ada persesuaian antara Pak
Agung (DPR) dengan Pak Jusuf Kalla (Pemerintah). Entah bagaimana
itu di-cut?

Ke depan, DPR harus bersifat satu pintu dalam hal satu pokok
permasalahan tertentu yang disampaikan kepada media. Jangan nanti
ditanyakan kepada Fraksi A atau B, belum lagi masing-masing politisi,
padahal itu belum tentu berkesesuaian di media. Jadi, nanti perlu satu
unit khusus yang akan memberikan penyampaian dari Bapak kepada
pihak pers.
239
Pandangan 2

Dalam beberapa diskusi UNDP dengan kami, salah satu hal


mendasar yang kita sangat rasakan adalah, bahwa DPR secara
kelembagaan tidak berhasil membuat pencitraan yang berimbang.
Bahkan pencitraan yang sekarang terjadi menunjukkan pada titik
nadir, bahwa anggota DPR sudah jauh dari martabatnya di mata
pers. Harus ada upaya-upaya yang dilakukan secara kelembagaan
bagaimana DPR juga bisa menjelaskan ada banyak hal-hal positif
yang telah dilakukan Dewan. Seperti Mahkamah Konstitusi, di mana
satu keputusan langsung disosialisasikan. DPR tidak melakukan hal
itu. Sebuah UU disahkan tidak langsung dilakukan sosialisasi kepada

239 Andi Rusnandi (Pembahas FGD 6 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PPP).

276 Peran Perwakilan Parlemen


pers, satu contoh UU Kepelabuhan yang cukup bagus di mana DPR
sudah cukup serius sehingga bisa memotong monopoli Pelindo.

Apa yang telah dilakukan DPR untuk memberikan keseimbangan


informasi kepada publik? Kita memerlukan satu sistem manajemen
informasi yang lebih baik, mulai dari pembahasan RUU, kelengkapan
risalah, sampai pengelolaan perundang-undangan itu dengan lebih
baik. Bahkan bagi staf ahli, RUU itu hanya dibagikan ke anggota
sedangkan staf ahli tidak. Padahal, staf ahli yang membantu menyusun
pandangan fraksi, DIM, dan lain-lain tetapi tidak mendapat salinan dari
Sekretariat Jenderal. Belum lagi kelemahan akses pada hal-hal lainnya,
misalkan UU lama yang terkait. Website DPR tidak lengkap dan belum
bisa menjawab tentang itu.
240
Pandangan 3

Terkait dengan Pimpinan DPR, apakah tugas menjadi juru bicara


itu penting? Publik bisa menilai kinerja DPR atau tidak, salah satunya
dari apa yang disampaikan Pimpinan DPR. Tetapi, kalau kemudian
anggota Dewan yang lain bicara, itu dianggap bukan sebagai
representasi DPR. Oleh karena itu, mohon penjelasan apakah juru
bicara itu tunggal (Pimpinan DPR) atau seluruh anggota DPR.

Kemudian, terkait dengan efektivitas kinerja DPR yang tidak bisa


diukur oleh publik, salah satunya bisa dilihat dari TV Swara. Kalau ingin
tahu kerja DPR, mestinya TV Swara bisa diakses ke seluruh penjuru
negeri. Saat ini, TV Swara terkadang tidak jelas tayangnya, sinyalnya
terputus, kemudian jangkauannya terbatas. Harusnya, pimpinan DPR
bekerjasama dengan jaringan lain (TVRI atau yang lainnya) yang lebih
luas jangkauannya dan disiarkan secara lebih berkualitas. Kerja keras
anggota Dewan di Pansus atau apapun tidak ter-cover oleh publik,
yang publik hanya tahu soal skandal saja. Hal itu karena TV Swara
tidak menjadi alat untuk melihat kinerja DPR. Terakhir, media internal
lainya, mengenai website. Satu jam setelah MK membuat keputusan
itu bisa kita langsung lihat keputusannya di website mereka misalnya,
tetapi di DPR mungkin satu tahun setelahnya baru bisa kita lihat.

240 M. Hasanuddin Wahid (Pembahas FGD 6 sebagai Tenaga Ahli Fraksi Kebangkitan Bangsa).

Peran Perwakilan Parlemen 277


Dinamika Forum :
Klarifikasi dan Diskusi

241
Klarifikasi
Satu pertanyaan dengan pertanyaan yang lain terkait, umumnya
berkisar tentang pencitraan. Memang sampai sekarang terasa sekali
pemberitaan tentang DPR di masyarakat seolah-olah terbangun citra
yang negatif. Hal ini banyak disumbang oleh perilaku anggota Dewan
itu sendiri.

Terkait dengan fungsi DPR sesuai dengan fungsi yang tercantum


dalam UUD, pemberitaan banyak yang di luar itu, seperti kasus-kasus
–skandal- yang mencuat. Kasus-kasus yang terkait dengan KKN,
mendominasi berita-berita di media, bisa berbulan-bulan muncul.
Artinya, betapapun hebatnya PR (public relation) DPR akan rusak
sendiri jika perilaku anggotanya masih seperti itu. Perilaku anggota
seperti ini adalah produk dari partai yang mengirimnya ke DPR.
Belum lagi, peristiwa-peristiwa di masa yang lalu. Pembahas pernah
menyampaikan dalam pidato, bahwa kita harus melihat apakah
memang orangnya yang berniat melakukan KKN atau sistemnya yang
begitu lemah. Ketika KPK mau ikut dalam rapat anggaran, pembahas
menyetujui karena mereka bukan mau menginvestigasi kasus, tetapi
ingin melihat sistemnya dan mencari celah yang bisa menimbulkan
rentetan korupsi. Jadi, Pembahas sependapat tentang di satu sisi
ditambahkannya informasi kepada masyarakat. Saat ini, sudah mulai
bertahap dan anggarannya tidak kecil tentang informasi ke berbagai
media mengenai hasil pembuatan UU atau revisi UU.

Mengenai prosentase terbesar UU –yang dibahas/sahkan di


DPR- juga perlu hati-hati karena UU yang kita produksi masih di
241 HR. Agung Laksono (Pembahas Utama FGD 6 sebagai Ketua DPR/Anggota Fraksi Partai Golkar).

278 Peran Perwakilan Parlemen


sekitar pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah sebenarnya lebih
pada copy-paste saja, hanya beda tempat, tanggal, dan nama
daerahnya. Jadi, kami di Baleg melaksanakan tugas di bidang legislasi,
mengharmonisasi, membulatkan, melakukan koreksi baik redaksional
maupun substansial di pasal-pasal. Oleh karena itu, harus sejalan
antara upaya-upaya mensosialisasikan kepada publik tentang hasil-
hasil Dewan di bidang legislasi, pengawasan, dan budget dengan
perilaku –individual- anggota DPR.

Mengenai fungsi penyusunan anggaran, sudah disepakati


pembentukan tim tim kerja yang lebih mengurusi alat kelengkapan
Dewan kepada post-budget. Selama ini lebih pada pra-budget. Hal
ini perlu dilakukan, misalnya diperlukan para akuntan, bekerjasama
dengan BPKP dan BPK. Hal ini bertujuan dalam rangka membangun
citra.

Pertanyaan mengenai siapa yang menjadi juru bicara DPR.


Memang di luar negeri bukan Ketua DPR namanya melainkan speaker
of the house yang merupakan juru bicara. Undang-undang juga tidak
melarang anggota DPR berbicara. Fraksi-fraksi juga berbicara suatu
isu, dengan demikian, ada subyektifitas politik dalam menelaah isu
tertentu. Dalam hal ini, sulit untuk mengatakan tunggal atau satu
pintu, tetapi ada atau tidak ada pendapat, Pimpinan DPR secara
reguler menyampaikan hasil-hasil yang dicapai. Hal itu dilakukan
dalam press release sendiri, ke depan mencoba merambah media
seperti yang dicontohkan MK. Misalnya dalam setiap pidato awal dan
penutupan masa persidangan, sudah menggambarkan kurun waktu
selama satu masa sidang terhadap hal-hal yang sudah dilakukan dari
tiga fungsi DPR. Kalau kemudian ada tambahan lagi pendapat atau
pandangan anggota Dewan, tidak bisa menghalang-halangi karena
mereka dilindungi UU (untuk berpendapat). Demikian pula mengenai
website, pembahas juga merasakan, datanya lambat dan kalah cepat
dengan yang lain. Untuk mengatasinya diperlukan petugas yang
betul-betul profesional dan mengikuti perkembangan, dan dia juga
seorang jurnalis, tidak gagap teknologi, dan sebagainya sehingga bisa
cepat mengisi website dan tidak ketinggalan.

Peran Perwakilan Parlemen 279


Demikian, ada Ibu Sekjen di sini dan banyak yang hal bisa
diakomodasikan. Kalau ingin mempublikasikan seluruh UU di koran,
akan tergantung dengan budget yang dialokasikan.

242
Pers dan DPR Belum Saling Memahami
Pimpinan DPR tadi telah menyinggung banyak hal yang berkaitan
dengan pers. Baik dalam meningkatkan kinerja, maupun mengontrol
dan mengkritisi DPR. Demikian halnya sudah dimaklumi bersama, ada
keluhan yang sama dari staf ahli tentang ketimpangan pemberitaan
oleh media. Untuk menjawab hal ini, karena memang pers punya
dalil sendiri, tetapi banyak hal yang mempengaruhi itu. Walaupun
tidak dapat digeneralisasi, ada yang sudah benar, ada yang berusaha
untuk benar, dan ada pers yang memang tidak benar. Sebenarnya
pemberitaan pers sudah diatur dalam UU dan ada yang mengawasi
di asosiasi masing-masing. Pilihan seperti sekarang atau ketat seperti
dulu memang sama-sama tidak enak bagi DPR. Tetapi segala hal,
tergantung pada anggota itu sendiri di DPR, terutama soal ukuran
kinerja yang selama ini tidak jelas dan mereka yang suka diwawancara
saat rapat belum selesai. Artinya, bagaimana di DPR sendiri juga ada
mekanisme untuk mengatur etika seseorang memberikan keterangan.
Demikian halnya dengan pilihan Komisi tidak karena kompetensi, ini
tidak bisa ditutup-tutupi, tetapi kadang-kadang memang pilihan
fraksi.

Lemahnya fungsi representasi di DPR antara lain disebabkan oleh:


i) Masalah-masalah di tubuh DPR, antara lain anggota yang tidak serius
bekerja, kualitas anggota yang tidak merata, penempatan di komisi
tertentu tanpa kapasitas dan kapabilitas yang memadai, ii) Susduk dan
Tatib DPR sering berubah dan ketidaksinkronan pengaturan di dalam
Susduk dan Tatib, iii) Aturan di dalam Tatib juga kurang merefleksikan
praktek yang terjadi di DPR dan banyak materi yang mestinya diatur
dalam UU Susduk pengaturannya hanya di Tata Tertib DPR, seperti:

242 Imam Anshari Shaleh, SH. (Pembahas Utama FGD 6 sebagai Anggota Pansus RUU Susduk/Anggota Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa).

280 Peran Perwakilan Parlemen


- mekanisme interpelasi.
- syarat minimal sebuah fraksi hanya 13 orang (ketentuan ini
tidak ideal dan menimbulkan kesulitan bagi fraksi kecil untuk
mendistribusikan anggotanya dalam rapat-rapat DPR sehingga
rapat DPR seringkali tidak mencapai korum.
- kehadiran ditentukan hanya dari penandatanganan daftar hadir
bukan pada kehadiran fisik; dan
- soal lowongnya jabatan wakil ketua DPR.

Ada kelemahan-kelemahan Susduk juga yang mempengaruhi,


sehingga pers menjadikan DPR buruk karena anggota tidak banyak
berdaya akibat Susduk dan Tatib yang belum baik, misalnya Hak
Interpelasi yang meminta kehadiran Presiden tetapi Tatib-nya
mengatur Presiden tidak harus hadir. Terkadang ada yang bebal
dan tetap ngotot hingga dimuat pers. Jadi, sering kita mengulang
kebodohan yang tidak perlu. Kemudian contoh lain mengenai
lamanya lowongan pengganti Wakil Ketua DPR, ini karena memang
antara kenyataan di DPR dan Tatib tidak sinkron. Waktu itu, pemilihan
Ketua dan Wakil Ketua dilakukan secara paket, padahal selama ini
biasanya partai terbesar dan Tatib-nya masih menganut pada urutan
partai terbesar. Aturan main yang ada di DPR memang harus dibenahi.
Kemudian, adanya ketentuan fraksi maksimal 13 orang, sangat
menyulitkan di DPR. Sering rapat-rapat tidak kuorum karena anggota
dari fraksi kecil itu merangkap sekian banyak Pansus. Pembahas
berpendapat, Susduk ke depan memang harus hati-hati. Wajar kalau
pers mengkritik menyangkut produktifitas UU karena ada hambatan
politik dan tekhnis, tidak quorum, dan lain-lain. Selanjutnya, ada
juga belenggu dari fraksi dan partai. Jadi, garis fraksi atau partai agar
anggota fraksi tidak boleh memberikan keterangan atau informasi
melampaui kebijakan fraksi dalam prakteknya membelenggu anggota
fraksi untuk bicara sesuai nurani.

Kemudian, apakah perlu Humas? Dalam hal-hal tertentu atau


teknis ke-Setjen-an memang diperlukan. Dalam kasus pengadaan
laptop, karena salah dalam pemberitaan mengakibatkan tekanan
pers dan masyarakat, sehingga tidak jadi, padahal secara diam-diam,
anggota DPD diberikan semua. Juga soal-soal yang lain. Untuk hal-

Peran Perwakilan Parlemen 281


hal ke-Setjen-an atau BURT itu penting adanya Humas. Tetapi, untuk
soal-soal politis seperti RUU memang tidak bisa diseragamkan,
cuma memang perlu etika. Kalau tidak tahu tidak usah memberikan
keterangan. Humas di DPR diperlukan untuk informasi yang berkaitan
dengan Sekretariat Jenderal DPR, mengingat tujuan keberadaan
humas adalah agar hanya ada satu atau sedikit pintu informasi
kepada publik. Sedangkan untuk kegiatan anggota DPR idealnya
setiap anggota atau pejabat alat kelengkapan di DPR berbicara sesuai
kompentensi masing-masing.

Kritik saya terhadap pers juga demikian. Pers dan Anggota perlu
saling memahami tugas masing-masing berdasarkan aturan. Sekarang
banyak juga Anggota yang alergi terhadap pers, takut kalau komentar
malah salah dan juga (bagi pers) ada larangan menerima imbalan. Hal
ini memang masih banyak pers yang tumbuh dan banyak wartawan
yang belum mendapat gaji secara baik.

Pada hakekatnya pers merupakan pilar keempat demokrasi,


di samping tiga pilar lainnya yaitu, kekuasaan eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Terkait dengan hubungan DPR dengan pers, pers
mempunyai peran sangat besar dalam mendorong kinerja DPR karena
pers memotret dan memberikan gambaran kondisi dan aspirasi
rakyat yang selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu sumber
informasi dalam pengambilan keputusan oleh DPR. Di samping
itu pers juga merupakan salah satu sarana untuk mensosialisasikan
kinerja DPR kepada publik. Sedangkan bagi pers, DPR merupakan
sumber berita penting.

Dalam mengkritisi kinerja DPR, pemberitaan pers harus


proposional. Namun dalam prakteknya pemberitaan pers mengenai
DPR belum bersifat proposional, hal ini dapat dilihat dari:
- Tulisan-tulisan tajuk di surat kabar tertentu sering berdasar asumsi,
tidak secara cermat membaca apa yang terjadi di DPR. Juga sering
tidak memahami sistem ketatanegaraan dan mekanisme yang
terdapat dalam UU Susduk dan Tatib DPR.
- Sikap pers cenderung apriori dan general dalam memberitakan
DPR sehingga menjadikan DPR sebagai objek ”peradilan pers.”

282 Peran Perwakilan Parlemen


- Kritik pers cenderung kontraproduktif, menyebabkan sebagian
anggota DPR apriori, cuek, bahkan takut terhadap pemberitaan
pers. Sebagai contoh dalam memberitakan masalah kunker Panja
RUU ke luar negeri, lebih pada menonjolkan sisi “jalan-jalannya”
sedangkan atau peran edukasi atau kegiatan utama kunker untuk
memperoleh informasi atau bahan pembanding pembahasan RUU
tidak ditonjolkan.

Upaya untuk meningkatkan peran media dalam mendorong


peningkatan kinerja anggota DPR antara lain melalui:
- transparansi setiap kegiatan DPR, baik menyangkut kebijakan
komisi dan alat kelengkapan, kunjungan kerja, maupun peninjauan
lapangan (misalnya dengan menyiapkan suatu proposal ringkas
mengenai kegiatan yang bersangkutan).
- Penyebarluasan penyelenggaraan dan kesimpulan diskusi oleh
pers tentang masalah aktual serta penyerapan aspirasi masyarakat
melalui rapat dengar pendapat umum.

Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam membina hubungan


ideal antara Pers dan DPR:
- Pemberitaan oleh pers dilakukan secara proposional dengan
mengedepankan misi edukasi yang diemban oleh pers .
- Meminimalisasi kelemahan diri dan kekeliruan anggota DPR dalam
mempersepsikan pers.
- Perlu pengikisan terhadap perilaku ”amplop” pers, karena dapat
berdampak pada pemberitaan yang tidak proposional.
- Pers dan DPR perlu sama-sama menata diri dan saling memahami
fungsi masing-masing.

Peran Media dalam Pembangunan Parlemen


243

1. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh World Bank, terlihat


adanya korelasi antara kebebasan pers dengan pembangunan
ekonomi dan tata kelola pemerintahan sebagai berikut:

243 Bambang Harymurti; point-point presentasi (Pembahas Utama FGD 6 sebagai Redaksi Majalah TEMPO).

Peran Perwakilan Parlemen 283


a. Korelasi antara kebebasan pers dengan pembangunan
ekonomi:
- Dari hasil penelitian di tahun 2000 disimpulkan bahwa ada
korelasi positif antara kebebasan pers dengan pembangunan
ekonomi, artinya semakin besar negara memberikan
kebebasan pers maka tingkat pendapatan negara tersebut
semakin tinggi. Sebaliknya semakin rendah kebebasan yang
diberikan pada pers maka tingkat pendapatan negara yang
bersangkutan juga semakin rendah.
- Semakin kuat kebebasan pers maka semakin sehat
perekonomian negara yang bersangkutan dan semakin
lemah kebebasan pers berdampak pada semakin tidak
sehat perekonomian negara.
b. Korelasi antara kebebasan pers dan tingkat korupsi: Makin tinggi
tingkat kebebasan pers maka semakin besar kemungkinan
koruptor tertangkap.
c. Korelasi antara kebebasan pers dengan kesigapan pemerintah.
Penelitian di negara-negara bagian India menunjukan bahwa
negara bagian yang mempunyai pendapatan per kapita
rendah (miskin) tetapi memiliki kebebasan pers yang tinggi
maka pemerintahnya memiliki responsifitas yang tinggi. Hal ini
berdampak pada sikap aparat yang cenderung sulit melakukan
penyimpangan dan takut membuat skandal.
d. Korelasi antara kebebasan pers dengan bencana kelaparan.
Amartya Sen membandingkan antara dua negara yang
mempunyai problem kelaparan dengan tingkat kebebasan pers
yang berbeda:
- India: meskipun termasuk negara miskin namun memiliki
kebebasan pers.
- China: berpenduduk banyak dan tidak ada kebebasan pers.
Dampaknya bencana kelaparan di China lebih sering terjadi
di bandingkan dengan India, karena di India media sangat
berperan dalam menginformasikan kelaparan di salah satu
negara bagian/daerah secara cepat dan akurat, sehingga
bencana kelaparan yang terjadi lebih cepat tertangani. Dengan

284 Peran Perwakilan Parlemen


kata lain, untuk membantu mengatasi suatu permasalahan
masyarakat yang ada di suatu negara secara cepat diperlukan
pers yang demokratis.
e. Korelasi antara kebebasan pers dengan pasar bebas.
Menurut Joseph Stiglitz, dalam dunia usaha sering terjadi
ketidakseimbangan informasi yang diberikan oleh pengelola
perusahaan dan pemegang saham, oleh karenanya peran media
dalam memberikan informasi yang berimbang sangat penting
dan berpengaruh pada terciptanya kebebasan pasar.
f. Korelasi antara kebebasan pers dengan bantuan pembangunan
- James D Weolfensohn berpendapat bahwa kemiskinan
berdampak pada ketidakberdayaan masyarakat untuk
menentukan pilihan dalam mengambil keputusan yang
berkaitan dengan hidupnya. Kemiskinan juga mendorong
terjadinya korupsi dan pemerintahan yang tidak bersih.
Semakin banyak informasi yang diperoleh masyarakat maka
akan mendukung untuk memilih keputusan yang lebih baik.
- Ali Sadikin: Pers penting untuk mengkritik kinerja seseorang
atau lembaga. Kritik merupakan masukan sekaligus alat
koreksi, tanpa kritik tidak mungkin seseorang atau lembaga
akan maju. Menggunakan media sebagai sarana pengontrol
kerja pemerintahan tidak membutuhkan biaya yang
besar karena tidak perlu menggaji pegawai yang khusus
menangani suatu permasalahan tertentu.
g. Hukum bagi media.

Menurut Roumeen Islam: Jika pencemaran nama baik tergolong


tindak pidana maka akan berdampak pada kecenderungan wartawan
melakukan swasensor, dan jika kebenaran tidak dapat dijadikan
pembelaan alam gugatan pencemaran nama baik tersebut maka
wartawan akan membatasi investigasi yang dilakukannya. Namun
kebebasan pers akan diuntungkan jika ada hukum yang memberi
perlindungan terhadap tuduhan pencemaran nama baik yang
dilakukan media melalui pembebanan kewajiban pembuktian oleh
penggugat bahwa berita oleh media tersebut tidak benar dan dibuat
dengan maksud jahat.

Peran Perwakilan Parlemen 285


2. Kebebasan pers di Indonesia
Berdasarkan hasil survey, Indonesia termasuk negara Asia yang
kebebasan persnya belum baik. Tahun 2007 kebebasan pers
Indonesia menempati urutan ke-100 dari 169 negara Asia.
Beberapa alasan mengapa pers Indonesia belum bebas:
a. Wartawan yang serius dan berkualitas sering digugat di
pengadilan, sehingga berdampak pada makin meningkatnya
wartawan yang buruk/tidak berkualitas (mayoritas).
b. Tingginya ancaman untuk melakukan gugatan pencemaran
nama baik bagi media yang memberitakan keburukan
seseorang.
3. Hal yang perlu diperjuangkan untuk menciptakan kebebasan pers
di Indonesia:
- Dekriminalisasi delik pencemaran nama baik.
- Beban pembuktian pencemaran nama baik dan niat buruk
media pada penggugat.
- Kebenaran dapat menjadi pembelaan dalam kasus pencemaran
nama baik.
- Pemberdayaan Dewan Pers dalam menangani keluhan publik
terhadap ekses negatif pers, dalam meningkatkan kualitas
wartawan/media dan dalam menjaga kemerdekaan pers.
- Peningkatan kualitas dan kuantitas jurnalisme investigasi.
- Pemberlakuan UU Keterbukaan Informasi dan UU Perlindungan
Saksi/Pelapor.
- Peningkatan akses publik pada informasi melalui perbaikan
infrastruktur media, termasuk keragaman dalam kepemilikan
dan sistem distribusi yang sehat.
4. Keberadaan Humas di Sekretariat Jenderal DPR diperlukan
dengan paradigma membuat kebijakan yang mendukung upaya
peningkatan kualitas pers, yaitu dengan memberikan kemudahan
bagi pers yang serius/baik dalam mendapatkan informasi dan data,
serta sebaliknya tidak memberikan kemudahan bagi pers yang
buruk/tidak berkualitas (misalnya dengan mempersulit pemberian
kartu ijin liputan yang masa berlakunya relatif panjang).

286 Peran Perwakilan Parlemen


5. DPR harus menjadi sumber pengetahuan bagi wartawan dan
informasi yang menarik untuk diberitakan oleh pers.
6. Perlu etika peliputan bagi wartawan yang antara lain bertujuan
agar wartawan lebih proposional dalam melakukan peliputan
dan pemberintaan di media (sebagai contoh di Australia tidak
diperkenankan meliput anggota parlemen yang tertidur di ruang
sidang).

Mari kita lihat global brandmark industri pers. Negara-negara kaya,


hampir 90 persen persnya bebas, di negara-negara yang setengah
kaya, sekitar 40 persen, di negara yang miskin umumnya pers tidak
bebas. Pertanyaannya, apakah pers bebas itu hanya di negara kaya
atau pers bebas menjadi prasyarat bagi negara untuk kaya? Untuk
menjawab hal itu, ada kumpulan ahli-ahli ekonomi yang melakukan
pengkajian. Mereka melihat bagaimana kondisi suatu negara dan
bagaimana persnya secara statistik. Dilihat secara statistik ini terlihat
jelas keterkaitannya.

Kemudian, distatistikkan juga pers bebas dengan tingkat koruptor


tertangkap. Secara statistik juga memungkinkan antara pers bebas
dengan kemungkinan koruptor tertangkap. Saat ini, DPR juga sudah
merasakan. Pembahas menyatakan bahwa yang anti pers bebas itu
kalau tidak koruptor pasti didanai koruptor.

Menyangkut kinerja pers. Di India, ada negara-negara bagian. Mereka


bisa melihat income-nya dan tingkat responsiveness negara bagian
itu terhadap aspirasi rakyat. Kalau teorinya, makin kaya maka persnya
bebas. Ternyata, ada negara bagian yang miskin secara per kapita tetapi
per kapita news paper-nya luar biasa tinggi. Artinya, pembacanya juga
tinggi dan responsiveness-nya paling baik sehingga sulit bagi orang
untuk melakukan penyimpangan. Kalau ada penyimpangan, langsung
ditindak, tidak seperti di sini harus dibuktikan dulu hingga tingkat MA,
baru kemudian dipecat. Ini data yang menarik karena India bukan
negara yang kaya dan negara bagiannya beda-beda tingkat kemiskinan
dan kekayaannya, kebebasan pers dan responsiveness-nya juga beda-
beda. Indonesia mungkin bisa buat seperti ini dengan 400 kabupaten
misalnya. Kita lihat korelasinya mungkin sama.

Peran Perwakilan Parlemen 287


Hal ini juga suatu yang menarik, kalau negara maju itu suka
banyak beralasan negaranya sudah kaya dan segala macam. Amartya
Sen membandingkan antara India dan Cina, sama-sama tingkat
pertumbuhannya maju (Cina sepuluh persen dan India sembilan
persen), tetapi yang satu demokratis dan yang lainnya tidak, yang
satu punya kebebesan pers dan yang lainnya tidak. Semiskin apapun
India, sejak merdeka tidak pernah terjadi bencana kelaparan. Di
Cina, sudah beberapa kali terjadi bencana kelaparan, sekali bencana
hingga mencapai 28 juta orang. Hal itu menimbulkan pertanyaan
di perancang pembuatan kebijakan publik. Sebetulnya, menangkal
bencana kelaparan itu mudah. Persoalannya, informasi sampai atau
tidak. Di India, karena negara demokratis, baru saja gagal panen
sudah menimbulkan keributan sehingga pemerintah mau tidak mau
memberi perhatian dan melakukan tindakan penangkalan. Di Cina,
karena laporannya harus menyenangkan –pemerintah- akibat pers
tidak bebas, kalau terjadi bencana kelaparan karena informasinya
terlambat. Ini tidak hanya diuji oleh Amartya Sen di India dan Cina, di
banyak negara Afrika yang miskin kalau persnya bebas tidak pernah
terjadi bencana kelaparan. Untuk hasil penelitiannya tentang hal ini,
Amartya Sen mendapat hadiah nobel ekonomi.

Kemudian juga Joseph Stigliz, peraih hadiah nobel yang


mengembangkan pemikirannya bahwa perbedaan orang kaya dan
miskin begitu besar karena orang tidak mendapatkan informasi yang
berimbang, contohnya di Cina di mana orang yang kaya itu hanya
250 juta yang hidup di daerah pantai, kalau kita masuk ke daerah
yang satu milyar miskin luar biasa. Supaya Anda ketahui saja, di Asia
Pasifik, kita yang merasa sudah sangat timpang, kalau kita lihat ukuran
ketimpangan ekonomi berdasarkan 20 persen penduduk di bagi-bagi
20 persen, ternyata hanya kalah dari Jepang. Cina dan India jauh lebih
timpang ketimbang Indonesia, bahkan Singapura. Percaya atau tidak,
bisa dilihat data di Bank Dunia. Indonesia itu yang sangat kaya luar biasa
mungkin di bawah tiga atau empat persen, sisanya merata miskinnya.
Hal ini terbukti ketika menghitung subsidi BBM. Mungkin orang kaget,
jumlah penduduk Indonesia 220 juta atau sekitar 40-60 juta keluarga,
ternyata jumlah mobil di Indonesia – dengan segala kemacetan di
Jakarta – hanya empat juta. Artinya, tidak sampai 10 persen jumlah

288 Peran Perwakilan Parlemen


orang Indonesia yang punya mobil karena banyak keluarga yang
punya mobil lebih dari satu, paling hanya empat persen. Dan, banyak
orang tidak tahu PDB per kapita Jakarta jauh lebih tinggi ketimbang
Singapura. Indonesia sudah menempati posisi 18 kalau diukur dari
PDB karena besar sekali. Kenapa yang buka hutan dan batubara orang
Jakarta, karena orang lokalnya tidak tahu pasarnya.

James D. Wolfensohn, orang Bank Dunia pertama yang


mengatakan korupsi sebagai masalah pembangunan ekonomi bukan
persoalan politik sehingga Bank Dunia bisa ikut pemberantasan
korupsi. Ketika Bank Dunia bikin pool terhadap 10.000 orang miskin
di dunia, hasilnya mengejutkan karena mereka lebih menginginkan
–hidup yang- jauh dari ketakutan. Waktu saya sampaikan hasil pool
ini di Cilangkap, para Jenderal sudah senang dengan mengatakan
mereka (orang miskin) butuh kita (tentara), setelah saya sampaikan
ternyata mayoritas ketakutan dari tentara atau polisi karena di negara-
negara miskin seringkali polisi atau tentara menjadi predator bagi
orang miskin.

Saat ini, pembahas sedang berjuang untuk ada Ali Sadikin Award
karena beliau tokoh yang menarik. Ia jadi gubernur tahun 1966, waktu
itu anggaran belanja DKI sekitar 60-an juta (dua pertiganya dari pusat)
dan tidak cukup apa-apa, lalu beliau mendapat satu kiat dengan
melegalkan judi sehingga pendapatan DKI menjadi dua milyar dalam
tempo dua tahun. Di tengah keberhasilannya membangun, pada
tahun 1970, Ali Sadikin melakukan dua hal, yaitu sebagai gubernur dan
sebagai pribadi, mendirikan LBH yang menggugat Pemda setiap hari
karena persoalan penggusuran tanah. Selama ia menjabat gubernur,
LBH menggugat hampir 200 kali dan 60 diantaranya menang. Pada saat
yang sama ia mendirikan juga Yayasan Jaya Raya, yang didedikasikan
membangun sarana seni dan olah raga, meminjamkan uang kepada
sekelompok orang di antaranya Gunawan Muhamad, Fikri Jufri, dan
lain-lain sehingga mereka bisa bikin majalah Tempo yang antara lain
tiap minggu memberitakan tentang gugatan LBH tersebut. Pada suatu
saat, para staf ahli minta Bang Ali melakukan rapat khusus meminta
Bang Ali melakukan sesuatu terhadap Adnan Buyung dan Goenawan
Muhamad karena mereka merepotkan [Pemda] DKI dan banyak proyek

Peran Perwakilan Parlemen 289


terganggu. Kata Bang Ali: “Kamu mau apa?” Kata mereka: “Selama
inikan mereka (LBH dan Tempo) hidup dari Bang Ali, jadi tolong tekan
mereka dan kalau perlu ancam mereka.” Di jaman Bang Ali, 90 persen
uangnya –pendanaan kedua lembaga tersebut- dari Bang Ali, yaitu
dari gajinya beliau sebagai Preskom Jaya Group yang didonasikan.
Belum ada dana asing untuk LBH di jaman Bang Ali. Kata Bang Ali:
“Kalau kamu merasa tuduhan itu tidak benar, diadukan dan lawan
di pengadilan, saya full support. Kalau kamu benar akan menang di
pengadilan, tetapi kalau benar korupsi akan masuk penjara.” Dengan
lemas anak buahnya pulang.

Lalu, pembahas menanyakan kepada Bang Ali kenapa mendanai


untuk memukul. Jawab Bang Ali, “Ini soal manajemen sederhana,
saya tahu begitu (Pemda DKI) punya uang untuk membangun,
pasti anak buah saya korupsi karena godaannya besar. Lalu orang-
orang kasih tahu, bikin Irjen-Irjen dan diperkuat, nanti diawasi agar
sistemnya membaik. Tapi saya tahu, karena godaannya kuat, Irjen-
Irjen ini sebentar lagi ikut disuap. Jadi yang terjadi adalah saya tambah
pegawai, tambah koruptor. ”Saya pikir si Buyung dan teman-temannya
dikasih duit sedikit, selama 24 jam berikutnya berpikir bagaimana
caranya bongkar korupsi di DKI. Murah sekali biayanya. Sudah begitu,
Goenawan tulis-menulis lagi, kalau dia macam-macam digugat saja.
Kan gampang. Tidak perlu tambah pegawai, biayanya murah, dan
pemerintahan gua bersih.” Inikan manajemen sederhana.

Pembahas agak kaget mendengar salah satu pembahas peserta


sebelumnya mengatakan tentang komunikasi di DPR harus satu pintu.
Kenapa harus satu pintu? Dengan satu pintu membuat sarang korupsi.
Pak Ali Sadikin justru bilang wartawan itu harus yang kritis. Lalu ia
bikin deal dengan Pemred, cuma satu deal-nya. Dia bilang hanya mau
wartawan yang berpengalaman supaya tahu masalahnya, bukan asal
bunyi. Oleh karena itu, yang mendapat kartu pass pers minimum
sudah berpengalaman dua tahun dan jangan terlalu sering ditarik.
Kalau baru, salah lagi dan buang energi. Dia anggap: “Saya punya
wartawan yang jadi pegawai tidak perlu digaji.” Makanya, kalau kita
cari-cari wartawan untuk cari kebaikan, itu salah secara manajemen.
Tidak perlu ada Irjen, kalau perlu Irjen-nya pensiunkan saja, lebih

290 Peran Perwakilan Parlemen


hemat dan efisien. Hanya masalahnya, di Indonesia belum banyak
birokrat kita yang seperti Ali Sadikin sehingga mungkin Bapak dan
Ibu merasa pers di Indonesia sudah sangat bebas dan kebablasan.
Kenyataannya, di banding negara lain keadaan kita sudah lebih baik
di banding tahun lalu masih nomor 100 dari 160 negara. Makanya, jika
ada yang merasa pers kita kebablasan, maka akan lebih nikmat hidup
di Korea Utara dan Birma.

Kenapa pers Indonesia belum bebas? Seperti yang dikatakan Mas


Imam, justru kebanyakan“wartawan bodrex”-nya ketimbang wartawan
yang serius karena di Indonesia justru sebaliknya, wartawan yang
berani melakukan investigasi, jujur, sebagian waktunya dihabiskan di
pengadilan melawan gugatan pencemaran nama baik. Kalau Bapak/
Ibu perhatikan siapa saja yang menggugat wartawan di pengadilan,
tidak ada orang miskin, yang ada hanya orang kaya yang biasanya
punya reputasi hitam. Jadi, sebenarnya kita memberi intensif jangan
menjadi wartawan baik karena nanti akan menghabiskan banyak
waktu di pengadilan, diperiksa polisi, dimusuhin, tidak dapat duit
amplop. Ada environment yang menciptakan wartawan yang buruk
jadi mayoritas. Harusnya kan terbalik, wartawan yang baik makin naik,
sedangkan “wartawan bodrex” masuk ke penjara karena suka peras. Di
Indonesia masih kebalikannya.

Berdasarkan pengalaman, kami invetigasi kasus salah satu BUMN,


langsung besoknya staf marketing dan pesaing kita dipanggil, kontrak
iklan kita dicabut dan diberikan ke pesaing. Apa Humas seperti ini
yang kita bayangkan. Pembahas menghawatirkan, jika –pemberian
informasi- satu pintu, hal ini yang akan dimainkan maka yang terjadi
adalah kalau dimuat pemberitaan yang tidak baik tentang DPR, maka
kontrak iklannya dicabut. “It seems like good”, tetapi itu sama sebetulnya
dengan Anda menyuruh suami atau istri Anda makan yang enak-enak
saja jangan memakan obat yang pahit. Paradigma seperti itu yang
harus diperbaiki.

Beberapa persoalan tadi yang perlu dijawab. Pembahas setuju jika


ada Humas untuk Ke-Setjen-an tetapi paradigmanya harus membuat
satu kebijakan sehingga pers yang benar dan serius mendapat

Peran Perwakilan Parlemen 291


kemudahan, dan yang payah mendapat kesulitan. Di Kongres Amerika,
pers juga dibatasi bukan berdasarkan kedekatan. Jika wartawan baru
akan masuk masa percobaan, maka ia setiap hari mengurus kartu pass.
Nanti dilihat, ia maintenance berapa berita dalam kurun tiga bulan,
enam bulan, dan setahun. Kalau ia rutin maka dapat [kartu] pass
yang permanen sehingga bebas kemana-mana dan terus produktif.
Cuma masalahnya, Humas di Indonesia hanya memberikan pass
kepada –media/wartawan- yang ia anggap baik. Tetapi, saya tidak
menyalahkan Humas-nya karena mungkin instruksi dari pimpinannya
seperti itu, bukan seperti Bang Ali yang melihat wartawan itu yang
tidak usah digaji dan membantu memperbaiki institusi. Di DPR kita
juga punya satu problem karena pers banyak sekali jumlahnya tetapi
mencari yang baik sulit. Jika kita lihat wartawan yang meliput di DPR,
terus terang masih banyak yang junior sekali. Ketika kami meliput
di DPR, sudah sangat menguasai masalah, bahkan job anggota DPR
saja sampai ditanyakan Anggota ke kita. Pembahas menganggap hal
adalah problem sementara. Salah satu yang bisa dilakukan Humas
adalah pembinaan. Wartawan diberikan informasi, draft, dan lain-lain
bukan dikasih uang.

Kami memberitakan laptop bukan karena kami tidak setuju


anggota DPR dapat laptop tetapi karena harganya lebih dua kali lipat
dari harga pasar. Jadi jangan salah. Bukannya wartawan tidak suka
rumah Anggota yang sudah bobrok direnovasi tetapi masak harga
mesin cucinya lima juta yang kapasitasnya single. Jadi jangan salah,
bukan karena wartawan tidak suka dengan fasilitas yang diberikan
ke DPR tetapi mark up-nya. Harganya harus reasonable sesuai dengan
harga pasar. Kita tiap tahun mensubsidi konglomerat 60 trilyun dalam
BLBI dan para pemilik bank sebanyak 33 trilyun. Bayangkan, orang
yang menerima subsidi trilyunan tidak diributkan sementara orang
miskin, yang kebetulan hanya punya televisi black & white, terima 100
ribu sebulan diributin. Pembahas berharap teman-teman kita belajar
karena seharusnya DPR menjadi source of knowledge.

292 Peran Perwakilan Parlemen


244
Pandangan 4

Menanggapi apa yang disampaikan Pak Imam. Peran pers dan


DPR harus saling mendukung dan mengkritisi apa yang terjadi di
masyarakat. Berbicara mengenai apa-apa yang terjadi ataupun
perbuatan dari masyarakat sendiri. Kritik dari masyarakat kadang-
kadang tidak ada tanggapan. Kemudian, kerjasama pers dengan
anggota DPR. Berdasarkan pengalaman kami, teman-teman
wartawan terkadang tidak terlalu banyak memiliki waktu sehingga
tidak terlalu detail, misalkan dalam mengikuti rapat Pansus, kami dari
Litbang Kompas memang turut dalam proses itu tetapi masih kurang
mendapatkan informasi. Sehubungan dengan komentar Pak Imam,
kedepannya apakah kami bisa mengikuti hingga tuntas, mengetahui
daftar absen, dan apa yang sedang dibahas dalam suatu rapat sehingga
kami bisa membuat suatu analisis jumlah anggota yang hadir hingga
siapa saja yang bicara.

Kedepannya juga, mungkin kami diberikan masukkan juga. Kami


juga selalu menganalisa apa yang dikerjakan anggota DPR. Oleh
karena itu, kami butuh dukungan data sehubungan dengan apa yang
telah dilaksanakan sehingga informasinya akurat.

Mengenai informasi-informasi yang bisa disampaikan melalui


website, secara langsung seperti RUU yang telah disetujui mestinya
bisa langsung diakses. Walaupun bagaimana, kita harus bisa
menganalisa apa yang telah disetujui dan tidak menunggu UU itu
hingga ditandatangani Presiden misalnya, karena otomatis kita
akan ketinggalan memberi tahu ke masyarakat. Kita lihat juga sudah
dibahas, ada UU yang dihasilkan sifatnya kebanyakan hanya copy-
paste, dan itu kurang diperhatikan.
245
Pandangan 5

Menarik apa yang telah disampaikan Pak Bambang. Pembahas


sangat setuju tentang bagaimanapun akses publik terbuka
untuk melihat kinerja Dewan yang akan meminimalisasi potensi

244 Pembahas dari Litbang Kompas.


245 Handoyo (Pembahas FGD 6 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PKS).

Peran Perwakilan Parlemen 293


penyimpangan. Pada frame itu kita setuju, hanya saja, media juga
perlu cover both side dalam melihat sebuah persoalan. Dalam kasus
RUU pelayaran, DPR sudah sangat bagus untuk memangkas Pelindo
yang menjadi regulator sekaligus operator. Di lapangan demo
itu by design oleh manajemen. Hal itu bisa dipastikan, karena kita
tahu persis dan ada pemutarbalikan fakta. Hal ini agak unik, saat
itu media seakan-akan membela pekerja yang secara substansi itu
membela Pelindo yang akhirnya menimbulkan klausul damai. Klausul
itu menimbulkan pertanyaan kenapa bisa lahir. Yaitu, ketika Pelindo
melakukan penilaian (judgement) tentang kinerja Anggota DPR di
samping mengkritik pada aspek-aspek yang tidak benar, paling tidak
on the track harus juga diberikan proporsi yang tepat agar DPR tidak
melalu salah. Jadi, yang on the track itu seperti apa dalam proporsi
media?

Terkait dengan peningkatan kinerja, seringkali membaca


suasananya advertorial tetapi media itu mengatakan iklan, padahal
code of conduct-nya mengatakan harus disebut kalau advertorial ya
advertorial. Kalau sesuatu hal itu sudah on the track maka berikan
reward sehingga kita bisa mengedukasi masyarakat.
246
Pandangan 6

Mengenai rapat tertutup yang disampaikan Pak Imam. Apakah


rapat tertutup untuk semua wartawan atau hanya staf ahli? Ketika
ikut rapat UU Pemilu dari awal hingga akhir, disitu juga saya perang
batin karena UU Pemilu milik publik, masyarakat harus mengikuti step
by step, akhirnya saya sering SMS atau telepon ke wartawan untuk
mengkonfirmasi hal-hal yang bersifat krusial ke anggota karena publik
perlu tahu.

Kemudian untuk Mas Bambang tentang tata letak hak tanya-jawab.


Hak tanya-jawab, sampai sekarang belum berimbang. Dalam kasus
pemukulan di Monas, misalnya, terpampang di headline Kompas hari
senin. Di hari selasa, terpampang lagi foto yang sama, cuma dengan
capture yang kecil berisi ralat bahwa Munarman mencekek anak

246 M. Furqon (Pembahas FGD 6 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PAN).

294 Peran Perwakilan Parlemen


buahnya sendiri. Apalagi masalahnya, hak tanya-jawab terkadang
cuma masuk di surat pembaca sementara beritanya sudah kemana-
mana.
247
Pandangan 7

Penelitian-penelitian tentang relasi antara demokrasi dengan


kebebasan pers sudah cukup banyak diintrodusir. Agak mengherankan
ketika reformasi Indonesia di masa Habibie-Gusdur, kebebasan
pers agak anomali karena konon menurut teori politik prosedural
pada tahun 2004, kita sudah lepas dari masa transisi. Pada saat yang
bersamaan, kebebasan pers mengalami titik balik justru pada masa-
masa itu. Mungkin bisa di-explore beberapa indikator yang telah
disampaikan.

Pembahas sependapat mengenai Humas, bukan berarti


satu pintu tetapi memang perlu menjelaskan informasi tentang
keputusan bersama yang perlu di sosialisasikan kepada publik.
Pembahas mengikuti penelitian LSI yang mulai dilakukan tahun
2004, di mana justru masyarakat lebih percaya kepada pers atau
LSM/NGO ketimbang DPR dan partai politik. FGD yang kita lakukan
ini sebenarnya merupakan pembenahan-pembenahan di bagian luar
sehingga kita bisa memberi muatan yang signifikan untuk perbaikan
fraksi. Tetapi persoalannya tidak di situ, seperti pers yang di-explore
tadi. Seandainya semua anggota DPR kita seperti Bang Ali Sadikin,
maka selesai juga semua masalah kinerja di DPR tetapi kan tidak dan,
repotnya juga banyak wartawan yang tidak sesuai dengan paradigma
yang disampaikan Pak Bambang. Dalam posisi ketegangan kreatif,
minimalisasi penyimpangan itu akan terjadi otomatis kalau keduanya
berdiri pada posisi yang benar.

Sebagai catatan, dua pembicara mengingatkan kita bahwa


sebetulnya ada persoalan-persoalan mendasar yang masih belum
disentuh.

247 Audy Wuisang (Pembahas FGD 6 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PDS)

Peran Perwakilan Parlemen 295


248
Pandangan 8

Pembahas sependapat dengan beberapa hal yang disampaikan Pak


Harimurti. Namun, ada hal yang harus diklarifikasi untuk meluruskan
duduk permasalahan. Adanya kebebasan pers yang seperti ini, kita
juga harus kembali kepada iklim dan masyarakat di Indonesia secara
umum belum paham betul dengan apa yang dimaksud kebebasan
pers. Hal ini juga terbukti dengan banyaknya “wartawan bodrex.”
Kebetulan pembahas adalah advokat, banyak sekali wartawan yang
menjadikan para praktisi hukum sebagai sapi perahan. Dalam kaitan
dengan kebebasan pers ada hal-hal yang perlu diwasapadai oleh
teman-teman pers, bahwa jika keadaan terus seperti ini, maka akan
ada review mengenai kebebasan pers. Oleh karenanya, Dewan Pers
perlu membatasi atau memberikan sanksi bagi wartawan yang bekerja
dengan cara seperti itu.

Mengenai informasi yang satu pintu, dengan iklim demokrasi


seperti di Indonesia bahwa kadang-kadang wartawan mewawancara
orang per orang dalam satu case seolah-olah dia mewakili
yang lainnya padahal sidangnya juga belum selesai. Perlu juga
dimungkinkan adanya juru bicara dari DPR ataukah Ketua DPR
merangkap sebagai juru bicara agar masyarakat tidak bingung,
bukan artinya membelenggu pers dengan satu pintu.
249
Pandangan 9

BURT sedang membahas aturan mengenai “Juru Bicara DPR” yang


antara lain memuat aturan tentang:
- Setiap rapat-rapat DPR yang bersifat tertutup harus ada juru
bicara.
- Apa yang menjadi wilayah kewenangan Ketua DPR dan Ketua Alat
Kelengkapan DPR dalam memberikan keterangan resmi.
- Untuk keterangan atau informasi yang diberikan oleh anggota
secara individu tidak dapat dibatasi atau tidak diatur karena sudah
merupakan ranah politik.

248 Virgiani Rahayu (Pembahas FGD 5 sebagai Tenaga Ahli Fraksi Partai Golkar)
249 Riadlo Simanjuntak (Pembahas FGD 6 sebagai Kepala Biro Humas Setjend DPR RI).

296 Peran Perwakilan Parlemen


Humas DPR sulit membedakan wartawan berkualitas dengan
wartawan tidak berkualitas. Namun melalui ketua koordinator
wartawan DPR diharapkan dapat diseleksi wartawan berkualitas yang
meliput di DPR mengingat pemberian kartu ijin meliput (berlaku satu
tahun atau tiga bulan) diatur oleh koordinator.

Dalam upaya mensosialisasikan kinerja DPR kepada masyarakat,


Humas DPR bekerjasama dengan beberapa media cetak dan televisi
(antara lain: Media Indonesia, Republika, Harian Mereka, dan TVRI)
membuat rubrik yang berkaitan dengan kegiatan DPR. Kita sudah
mengupayakan TV Parlemen bersosialisasi di TVRI jam satu siang.
TV Swara juga sebetulnya membantu dan banyak hal yang sudah
disosialisasikan.

Di Amerika, official statement harus melalui satu pleno. Kalau di


sini, pernyataaan resmi lembaga itu tidak mudah. Pendapat berbeda-
beda dari Anggota terhadap suatu masalah, adalah hal yang wajar
karena DPR adalah lembaga poltik. Hanya saja, kita perlu membatasi
mana yang menjadi pernyataan resmi lembaga, baik oleh Ketua DPR
atau Ketua alat kelengkapan Dewan.

Mengenai website yang -terus terang- banyak keluhan, akan


dilakukan perbaikan. Mudah-mudahan tahun depan sudah lebih baik.
Mengenai tenaga ahli yang kesulitan bahan padahal harusnya lebih
mudah karena adanya anggota, mungkin foto copy-nya yang susah.

Peran Perwakilan Parlemen 297


Dinamika Forum :
Klarifikasi dan Diskusi
250
Klarifikasi
Pada masa mendatang, DPR seharusnya membuat Tatib yang
sesuai dengan kebutuhan, termasuk keluhan dari Litbang Kompas dan
staf ahli. Mungkin, hal itu akan diatur di Tatib. Mengenai rapat tertutup,
definisinya adalah rapat yang dihadiri oleh anggota dan mereka yang
diundang. Hal ini kemarin juga menjadi silang sengketa di Panggar
(Panitia Anggaran) karena waktu itu yang diundang Ketua tetapi yang
datang Wakil atau Dirjen. Jadi, kelemahan kita masih banyak sekali
karena memang ada hal-hal baru.

Mengenai laptop, memang awalnya dulu seperti itu (harga yang


lebih tinggi dari harga pasar), tetapi pada akhirnya berkembang
kepada perlu atau tidak perlunya pengadaan laptop. Jika terkait
masalah teknis, tidak perlu berpendapat. Pendapat memang tidak
perlu dibuat satu pintu kecuali yang teknis.

Ada baiknya meniru MK dalam hal pekerjaan yang bisa dikerjakan


ke masyarakat secara langsung. Pertanyaan dari Litbang Kompas,
tergantung kebijakan dari masing-masing Komisi. Kami di Komisi III
memperbolehkan staf ahli ikut dan kadang wartawan juga dalam
rapat tertutup. Kriteria tertutup juga harus dijelaskan. Harusnya ada
perbaikan nanti di Susduk atau Tatib.
251
Tanggapan
Setiap tahun ada evaluasi kinerja lembaga negara. Dari situ, kita
bisa memastikan kinerja-kinerja anggota Dewan yang hadir atau tidak,

250 Imam Anshari Shaleh, SH. (Pembahas Utama FGD 6 sebagai Anggota Pansus RUU Susduk/Anggota Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa).
251 Pembahas dari Litbang Kompas.

298 Peran Perwakilan Parlemen


mengikuti sampai akhir atau tidak. Akhirnya, mereka yang di luar yang
memberikan informasi padahal rapatnya belum selesai. Kita juga tidak
mengikuti hal-hal yang tidak penting. Kami hanya ingin menganalisis
lebih dalam akan hal ini nantinya.
252
Tanggapan
Bagaimana media bisa berperan sedangkan kolom iklannya mahal?
Juga, tidak ada ruang khusus tentang apa saja yang dikerjakan DPR.
Hal ini membuat peran media agak terhambat dalam meningkatkan
kinerja DPR. Kalaupun ada investigasi dari TV hanya membahas isu-isu
yang sangat strategis sedangkan isu seperti RUU Rumah Sakit itu tidak
pernah dibahas. Kemudian, agar masyarakat tertarik membicarakan
politik maka kemasan (packaging) harus dibawakan lebih sederhana.
253
Tanggapan
Untuk mengurangi “wartawan bodrex” kenapa juga tidak ada
standarisasi.

254
Klarifikasi
Mengenai wartawan paket. Memilih Presiden di Indonesia
sekarang memang unt ung-untungan. Tidak ada Bupati, gubernur,
atau senator yang sukses kemudian menjadi Calon Presiden, berbeda
dengan di negara-negara maju. Hal ini juga sama seperti di DPR, bukan
karena dia bagus di DPRD. Pertama kali memang untung-untungan,
ibaratnya orang yang buka jalan pertama, akan bertemu ular, semak-
semak, dan yang belakangnya sudah lebih enak. Kalau Anda lihat
di manapun, orang yang jadi anggota Kongres adalah orang yang
pandai bikin berita, karena jika tidak menarik tidak mungkin jadi
anggota Kongres. Jadi secara alamiah, orang-orang yang bisa menarik
perhatian dan menjadi sumber perhatian. Di Indonesia, DPR itu baru
menjadi dewan perwakilan partai.

252 Erni Y (Pembahas FGD 6 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PBR).


253 Andi Rusnandi (Pembahas FGD 6 sebagai Tenaga Ahli Fraksi PPP).
254 Bambang Harymurti; point-point presentasi (Pembahas Utama FGD 6 sebagai Redaksi Majalah TEMPO).

Peran Perwakilan Parlemen 299


Kemudian, kalau DPR dinilai belum berdaya, kenapa tidak
memberdayakan dirinya. Kita lihat sama di sidang-sidang paripurna di
luar negeri juga sepi tetapi begitu voting penuh, kenapa tidak kita tiru
hal seperti itu. Memang mendengarkan orang berpidato itu jenuh. Di
Australia, ada deal, kalau ada anggota yang tidur tidak boleh disorot.
Disana juga, wartawan boleh punya kantor pers di dalam parlemen
tetapi tidak boleh mengganggu privacy anggotanya, [kantor pers] itu
juga khusus wartawan yang punya priveledge.

Organisasi wartawan parlemen di Washington adalah termasuk


yang tertua di dunia, jika mau tinggal copy-paste dari sana karena
sudah banyak dipakai negara lain, tinggal sedikit dikoreksi dan
disesuaikan dengan kondisi Indonesia.

Mengenai hak tanya-jawab, tidak mungkin bersamaan. Koreksi itu


terjadi setelah kesalahannya muncul. Untuk menengahi soal itu, kalau
tidak puas dengan proporsi tanya-jawab bisa dilanjutkan ke Dewan
Pers yang menentukan apakah sudah proporsional atau belum.
Dewan Pers tidak memungut biaya, cepat, dan kalau perlu mengirim
orang ke daerah.

Mengenai iklan, mengapa bayar iklan yang mahal padahal


orang kan membaca isinya? Sebetulnya, jika anggota sudah sangat
publication friendly pasti sudah tahu. Manusia menurut hukum
ekonomi, ditentukan oleh intensif dan disintensifnya. Selama
intensifnya tidak menentukan tetapi yang lebih menentukan adalah
kedekatan dengan Ketua Umum partainya maka orang akan lebih
memilih ikut jalan-jalan dengan Ketua Umum dibandingkan dengan
ikut sidang. Kalau iklimnya sudah berubah, pasti banyak media
yang dengan senang hati memberitakan. Banyak wakil rakyat yang
bukannya memberdayakan dirinya tetapi justru melemahkan dirinya.
Pembahas tidak sependapat jika ada pemotongan gaji dari anggota
DPR untuk partai. Seharusnya partai yang memberikan sumbangan
karena wakil rakyat merupakan ujung tombak partai. Kalau pemerintah
tidak bisa membiayai, seharusnya partai yang menggaji staf. Di negara
kita memang belum normal, di negara yang masih feodal, ketua yang
membiayai, sedangkan seharusnya setiap partai atau organisasi itu
dibiayai oleh iuran anggota.

300 Peran Perwakilan Parlemen


Rekomendasi Hasil FGD 6

Peran Media dalam Mendorong Peningkatan Kinerja Anggota DPR dan


Partisipasi Politik Masyarakat
1. Diperlukan dukungan ketersediaan dan kemudahan akses data dan
informasi yang berkaitan dengan kinerja anggota maupun DPR secara
kelembagaan sebagai upaya membangun dan meningkatkan relasi yang
sehat, transparan, akuntabel, dan reliable antara anggota dan institusi
parlemen dengan masyarakat dan media pers.
2. Perlu dibuat aturan dalam Tatib DPR tentang Juru Bicara, untuk
menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kinerja parlemen.
3. Perlu diatur dalam Tatib DPR mengenai mekanisme pemberian statement
oleh anggota.
4. Humas DPR diperlukan khusus untuk menginformasikan data-data yang
berkaitan dengan kesetjenan.
5. Perlu upaya untuk meningkatkan peran media dalam mendorong
peningkatan kinerja anggota DPR antara lain melalui pembuatan proposal
singkat tentang kegiatan yang dilakukan anggota dewan dan pemberitan
oleh media mengenai penyelenggaraan kegiatan dan kesimpulan diskusi
tentang masalah aktual.
6. Perlu dibentuk aturan etika peliputan media yang meliput kegiatan-
kegiatan DPR.
7. Perlu seleksi untuk menjaring wartawan berkualitas serta meminimalisasi
wartawan tidak berkualitas yang melakukan peliputan di DPR RI melalui
aturan prosedur pemberian kartu liputan.
8. Fraksi perlu membuat aturan yang memberikan keleluasaan kepada
anggota fraksi untuk memberikan keterangan atau informasi sesuai
dengan kinerja yang dilakukannya di DPR.
9. Penempatan anggota di komisi-komisi, alat kelengkapan, dan pansus-
pansus oleh fraksi didasarkan pada kapasitas dan kompetensi karena akan
berpengaruh pada isi dan bobot informasi yang diberikan oleh anggota
DPR kepada media dan akan mendorong terbentuknya citra positif pada
kinerja DPR.

Peran Perwakilan Parlemen 301


302 Peran Perwakilan Parlemen

Anda mungkin juga menyukai